DANA FIKTIF CAPRES
Dugaan kasus adanya dana fiktif pasang Capres-cawapres yang dilaporkan oleh beberapa LSM menuju ke arah happy ending, bermuara dengan bahagia. Yang jelas bahagia adalah para Capres-Cawapres itu sendiri. Sebab KPU sendiri telah memutuskan untuk menolak audit
investigasi dan menyatakan tidak akan ada diskualifikasi Capres-Cawapres, sebagaimana banyak dikabarkan koran beberapa waktu lalu.
Yang dimaksud dengan dana fiktif adalah dana sumbangan untuk pasangan Capres-Cawapres yang penyumbangnya tidak jelas, atau berbeda antara daftar penyumbang dengan kenyataan di lapangan. Maksudnya, diduga ada penyumbang gelap, entah siapa dia atau mereka, entah sengaja atau tidak. Meski dalam peraturan, kalau terbukti ada yang menerima dana fiktif Capres-Czwapres dapat didiskualifikasi atau dibatalkan pencalonannya, tetapi kenyataan bahwa penyelenggara pemilu sendiri sudah bersikap seperti itu maka diduga pasangan Capres-Cawapres akan aman-aman saja, melenggang dan dapat mengikuti putaran kedua, dan mendulang
kemenangan. Lalu kita akan punya Presiden dan Wakil Presiden baru hasil Pemilihan Umum yang pertama kali di Indonesia, karena dipilih langsung.
Mungkin rakyat akan berkata dan bersikap, ya sudah. Kalau mau berkuasa silakan berkuasa. Kalau memang terpilih dengan suara terbanyak yang silakan naik tahta di negeri ini. Semua baik-baik saja, aman-aman saja. Dan demokrasi pun telah melahirkan sebuah
kepemimpinan yang sah. Apa boleh buat.
Kekurangan dan kecurangan dalam Pemilihan Presiden, termasuk pencoblosan untuk calon tettentu sebelum diadakan pencoblosan, mungkin mengabur, akan dilupakan orang. Juga berbagai kasus money politik yang dirasakan masyarakat dan dilihat rakyat tetapi sulit
dibuktikan secara hukum sebagai pelanggaran, akan pelan-pelan dilupakan.
Akan tetapi boleh jadi sebaliknya. Ada sebagian rakyat yang tidak tidur, tidak tidur matanya dan tidak tidur hati nuraninya. Mereka akan tetap mempersoalkan dana fiktif, kecurangan pemilu da semacamnya sebagai sesuatu yang serius yang harus dituntaskan penyelesaiannya. Kalau dibiarkan, kemudian ditoleransi dan ‘dimaafkan’ secara politik dan hukum, maka boleh jadi kita akan mengulang sejarah politik dan sejarah Pemilu Orde Baru belaka, dimana Pemilu demi Pemilu berlangsung diwarnai kecurangan berpola dan sistematis dan tidak tapat diusut dan siungkap, dan tidak dapat dijadikan alat untuk mendiskualifikasi kemenangan kontestan Pemilu.
Karena kita sekarang sudah tidak lagi hidup di zaman Orde Baru dan tidak lagi hidup di zaman status quo, termasuk status quo baru (neo status quo) maka LSM-LSM bersama rakyat tetap boleh terus mempersoalkan dana fiktif yang jumlahnya bermilyar-milyar rupiah itu.
Ini yang tidak boleh ditutup-tutupi, tidak boleh dpetieskan, harus diselesaikan secara transparan. Sebab dalam praktik ketidakseimbangan dana yang dilantongi oleh para Capres-Cawapres terbukti memiliki pengaruh terhadap hasil pemilihan Presiden secars langsung putaran pertama lalu. Para Capres-Cawapres yang kantongnya tipis dan kurang ‘gizi’ secara finansial, meski dia orang baik, kompeten, berkarakter, bervisi, berproogram konkrt dan bagus dan populer bisa kalah oleh Capres-Cawapres lain yang kantongnya lebih tebal. Mungkin masalah kantong atau dana ini berkaitan dengan pembelanjaan mereka dalam kampanye di televisi yang juga tidak seimbang, dan gerak mempengaruhi rakyat bawah yang miskin di tingkat bawah.
adil dan bermakna. Sebab kalau kasus dana fiktif ini dikalahkan oleh kehendak untuk
mempercepat, memperlancar, mengamankan, dan memuluskan berlangsungnya putaran kedua di bulan ini maka jelas akan menyebabkan pemilihan ini akan ternoda, cacat, paling tidak secara moral.
Pemilihan Presiden memang harus aman, damai, terlaksana sesuai jadwal, suaranya dihitung tanpa penggelembungan dan pengempisan, kemudian hasilnya diumumkan secara terbuka dan dapat dicek tanpa ada yang keberatan dan tanpa kecurangan apa pun. Mulus, jujur, adil, sah. Tidak dapat diganggu-gugat selama 5 tahun. Formal Konstitusional. Ini semua yang kita kehendaki bersama. Semua rakyat pasti setuju dan jika memang demikian halnya maka supremasi demokrasi yang betul-betul ada.
Akan tetapi kalau semua itu sampai tersandung oleh kasus-kasus semacam dana fiktif dan money politik, sungguh sayang. Sebab hanya akan menurunkan kepercayaan publik terhadap Pemilu dan Pilpres. Akibatnya, golput di Indonesia akan menggelembung dan makin
menggelembung tak terbendung. Rakyat memilih golput sebagai protes dan sebagai cara untuk menghukum para pelaku Pemilu yang curang. (bahan dan tulisan: sum)
Sumber: