Ibnu Juraimi
Tak Lelah Lakukan Rihlah Dakwah
DIILHAMI hijrah dakwah Rasulullah Muhammad saw ke Thaif, Ibnu Juraimi bersama Majelis Tabligh PP Muhammadiyah melakukan rihlah (perjalanan) dakwah ke berbagai daerah. Ia datangi PDM di segala penjuru untuk mengadakan pengajian intensif dengan pendekatan spiritual, intelektual, dan amal. Tidak seperti kegiatan pengajian biasa, satu-dua jam muballigh bertatap muka dengan jamaah, kemudian setelah selesai lalu pulang.
Rihlah Dakwah yang digagas Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dalam Rakernas Tabligh 1996 ini dilaksanakan dari sore hari hingga Shubuh, kecuali bila hari libur sampai bakda Ashar hari berikutnya. Materi yang dibahas meliputi: Risalah Islamiyah, Tadabbur al-Qur’an, Pembajakan Diri dilanjutkan Shalat Tahajud, Pelajaran KH Ahmad Dahlan, dilanjutkan dengan diskusi berbagai materi yang disampaikan terdahulu, dan diakhiri dengan masalah ketarjihan.
Sejak digulirkannya rihlah dakwah pada pertengahan 1997, Ibnu Juraimi yang bernama asli Suprapto ini, yang kadang ditemani anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, telah menyelesaikan rihlah dakwahnya di seluruh PDM di Jawa, kecuali Lumajang yang belum siap. Hingga 2002 ini sudah terjangkau seluruh Kalimantan, kecuali Kalimantan Barat yang waktu itu tengah terjadi kebakaran hutan sehingga sulit ditempuh; Sulawesi tinggal Sulawesi Tenggara; Bali tinggal separo; NTB kecuali Lombok Tengah; sedangkan sisa tiga propinsi di Sumatera diselesaikannya Juni lalu. Sedangkan untuk Maluku maupun Papua memang belum digarapnya. Dalam sekali rihlah dakwah yang dilakukan mantan direktur Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta (1987) ini rata-rata ditempuh selama 8 hari perjalanan. Paling lama yang pernah dijalaninya ialah 23 hari. Biasanya, bila Muallimin (tempat pengabdiannya sekarang) sedang libur, ia gunakan waktu tidak mengajarnya itu untuk melakukan rihlah dakwah ke berbagai pelosok. Sedangkan pada saat liburan Ramadhan, ia mempunyai acara khusus ke Sulawesi Tengah sampai Sulawesi Utara dan Gorontalo menengok pondok Pesantren Muhammadiyah Palu yang dulu pernah ia kelola (1974-1987).
Salah satu tokoh angkatan pertama Ikatan Mahasiswa Indonesia (IMM) bersama Djazman al-Kindi (alm) ini tidak pernah lelah dengan kegiatannya itu. Lelaki yang lahir di Yogyakarta pada 3 Juli 1943 ini mengaku, justru di situlah ia mendapatkan kenikmatan-kenikmatan. Ia ingin mencontoh sekitar 70 orang sahabat Nabi yang hidupnya sudah diwakafkan untuk Islam. Di sisi lain ia merasa beruntung karena dalam perjalanan panjang itu bisa bertatap muka, berdialog, mendapat masukan, dan berkesempatan menyajikan materi-materi yang dirasanya penting bagi perkembangan Muhammadiyah ke depan.
Dalam materi Pelajaran KH Ahmad Dahlan, misalnya, hampir tidak pernah dikenal oleh umat Muhammadiyah, termasuk para pimpinan Muhammadiyah. Karena, menurut ayah 7 orang putra-putri ini, dalam berbagai acara kaderisasi: darul arqam, baitul arqam, refreshing, maupun upgrading, tidak pernah acara ini diangkat. Ia beruntung, karena ketika ia “ditendang” (diskor 5 tahun) dari IAIN Sunan Kalijaga di tahun 1962, ia justru mendapat rahmat dapat mengaji kepada ulama besar, KHR Hadjid, di Jakarta. Di antara kajian KHR Hadjid kepadanya selama 10 tahun, salah satunya adalah Pelajaran KH Ahmad Dahlan. Dari KHR Hadjid yang merupakan murid termuda dan satu-satunya murid yang rajin mencatat pelajaran KH Ahmad Dahlan, ia bersama murid KHR Hadjid lainnya, di antaranya Ki Bagus Hadikusuma sebagai murid senior, mendapatkan banyak masukan tentang Pelajaran KH Ahmad Dahlan. Dari sini, di samping mendapat amanat dari Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Drs. Muhammad Muqaddas, Lc, maka ia selalu mengagendakan acara ini dalam rihlah dakwahnya. Hal ini dimaksudkan agar umat Muhammadiyah, terutama para aktivis, mengenal Pelajaran KH Ahmad Dahlan.
al-Qur’an yang membahas surat Maryam ayat 1-12, ia selalu bertanya: siapa pewaris ideologi Muhammadiyah sekarang? siapa di kalangan tokoh Muhammadiyah sekarang ini yang mirip Nabi Zakaria as yang mempersiapkan Yahya-Yahya (putra-putrinya) untuk menjadi pelanjut perjuangan cita-cita Muhammadiyah? Karena, menurutnya, ada kesan bahwa di antara para aktivis dan pimpinan jarang ditemukan putra-putrinya siap di dalam perjuangan.
Ketika ditanyakan tentang target yang ingin dicapai dengan rihlah dakwahnya itu, seorang ayah yang bangga pada salah satu putrinya yang aktif di Badan Pendidikan Kader PP Aisyiyah ini bertutur merendah, bahwa ia hanyalah sekadar ngithih-ithik bagaimana seharusnya kita ber-Islam dan ber-Muhammadiyah itu. (au)