• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas pengobatan pasien gangguan saluran pencernaan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas pengobatan pasien gangguan saluran pencernaan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

i

EFEKTIVITAS PENGOBATAN PASIEN GANGGUAN SALURAN PENCERNAAN DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT

PANTI RINI YOGYAKARTA PERIODE JULI 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Silvia Agustina NIM : 098114061

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

EFEKTIVITAS PENGOBATAN PASIEN GANGGUAN SALURAN PENCERNAAN DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT

PANTI RINI YOGYAKARTA PERIODE JULI 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Silvia Agustina NIM : 098114061

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

v

Bekerja lebih keras tidak lebih

efektif dari bekerja lebih pintar

(Jack Trout)

Dalam hidup, akan selalu ada orang yg tak menyukaimu,

namun itu bukan urusanmu

.

Lakukan apa yg kamu anggap benar dan ENJOY.

Dibalik kebencian orang terhadap kita, sebenarnya

terdapat kekaguman atas yang tidak mereka mampu

atau miliki pada diri kita.

Kupersembahkan karya ini bagi :

Tuhan Yesus Kristus yang telah memberkati dan melindungiku

Papa dan Mama tercinta atas doa, kasih sayang dan pengorbanan selama ini

Adik-adikku tersayang

(6)
(7)
(8)

viii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

atas rahmat dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

yang berjudul “Efektivitas Pengobatan Pasien Gangguan Saluran Pencernaan

Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli

2012” dengan baik.

Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) pada program studi Farmasi, Jurusan

Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak dibantu dan

didukung oleh berbagai pihak sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada :

1. dr. Y. Wibowo Soerahjo, MMR selaku Direktur Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan

penelitian di Rumah Sakit Panti Rini.

2. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma yang telah membantu memberikan ijin pada peneliti untuk

melakukan penelitian di luar kampus.

3. Maria Wisnu Donowati, M.Si, Apt. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, saran dan dukungan dalam proses penyusunan

skripsi.

4. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen penguji yang telah memberikan saran

(9)

ix

5. Aris Widayati, M.Si., Apt selaku dosen penguji yang telah memberikan saran

dan masukan yang berharga dalam penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Betty selaku kepala instalasi farmasi Rumah Sakit Panti Rini yang telah

memberikan bimbingan selama penulis melakukan pengambilan data untuk

penelitian ini.

7. Suster A.M. Siti Listiyani selaku Kepala Subseksi Rawat Inap Umum dan

IMC yang telah banyak membantu peneliti dalam proses pengambilan data.

8. Bapak Harry selaku Kepala Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Panti Rini

beserta staf karyawan yang telah mengijinkan dan membantu peneliti dalam

pengambilan data.

9. Ayahanda Budiyanto dan Ibunda Sieny Susilowati yang telah melahirkan,

merawat, menjaga, mengasihi serta mendukung penulis dalam setiap langkah

di kehidupan penulis.

10.Adikku yang terkasih Fransisca Natalia dan Albert Adi Kurniawan atas

perhatian, kasih saying, serta dukungannya kepada penulis selama proses

penyusunan skripsi ini.

11.Friska, Maria dan Arning atas kekompakan dan kebersamaan selama proses

penyusunan skripsi ini.

12.Teman-teman kos Dewi 2 (Adel, Nindy, Lani, Sheilla, Agnes) atas

dukungannya selama kuliah S1 di Universitas Sanata Dharma.

13.Anak-anak Farmasi angkatan 2009 khususnya FSM kelas C dan FKK kelas B

atas semua dukungan dan canda tawa selama kuliah S1 di Universitas Sanata

(10)

x

14.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tidak ada yang tidak sempurna di dunia

ini. Segala keterbatasan baik tenaga, pikiran dan waktu yang membuat

penulisan skripsi ini kurang sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun sehingga penulisan skripsi ini menjadi lebih

baik lagi. Semoga skripsi ini berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta,11 Februari 2013

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saluran Pencernaan ... 8

D. Gangguan Saluran Pencernaan ... 10

(12)

xii

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 30

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 31

C. Subyek Penelitian ... 33

D. Bahan Penelitian ... 33

E. Tempat Penelitian ... 33

F. Tata Cara Penelitian ... 34

G. Tata Cara Analisis Hasil ... 35

H. Kesulitan/Keterbatasan Penelitian ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Profil Penggunaan Obat Gangguan Saluran Pencernaan Di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Meliputi Jumlah Macam Dan Golongan Obat ... 40

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I Kategori dan penyebab umum DTPs ... 7

Tabel II Pemberian Oralit yang Diharuskan dalam Tiga Jam Pertama... 16

Tabel III Oralit yang Harus Diberikan Setiap Habis BAB ... 16

Tabel IV Mekanisme dan Penyebab Konstipasi ... 18

Tabel V Golongan Obat-Obat Ulkus Peptikum Dan Contoh Sediaannya 29

Tabel VI Pengelompokkan Berdasarkan Diagnosa Masuk dan Manifestasi Klinik Pada Pasien Gangguan Saluran Pencernaan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode 2012 ... 38

Tabel VII Jenis Cairan Rehidrasi Yang Diberikan Pada Pasien Gangguan Saluran Pencernaan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 ... 39

Tabel VIII Pengelompokkan Jumlah Macam Obat Berdasarkan Golongan Obat yang Diterima Pasien Gangguan Saluran Pencernaan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 ... 40

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

(15)
(16)

xvi

Lampiran 31 Rekam Medis Kasus 31 ... 93

Lampiran 32 Rekam Medis Kasus 32 ... 94

Lampiran 33 Rekam Medis Kasus 33 ... 95

Lampiran 34 Rekam Medis Kasus 34 ... 97

Lampiran 35 Pengelompokkan Berdasarkan Jumlah Macam dan Golongan Obat yang Diterima Pasien Gangguan Saluran Pencernaan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 ... 98

Lampiran 36 Pengobatan Pasien Gangguan Saluran Pencernaan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 Yang Diduga Mengalami Masalah Terkait Efektivitas Obat ... 101

Lampiran 37 Surat Bukti Penerimaan Penelitian di Rumah Sakit Panti Rini ... 102

(17)

xvii INTISARI

Pasien gangguan saluran pencernaan dapat menerima obat dengan macam dan jumlah yang banyak, oleh karena itu diperlukan peran farmasis untuk melakukan evaluasi pengobatan. Salah satu evaluasi yang dapat dilakukan adalah efektivitas. Efektivitas pengobatan dapat mempengaruhi kesembuhan pasien. Evaluasi efektivitas dilihat dari indikasi yang muncul dan dosis obat tidak terlalu rendah. Penelitian ini melihat profil penggunaan obat dan efektivitas pengobatan pada pasien gangguan saluran pencernaan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental, rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang bersifat prospektif. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah rekam medik pasien dan wawancara tentang kondisi pasien ke perawat yang bertugas. Efektivitas pengobatan dievaluasi berdasarkan standar pelayanan RS, evidence based medicine dan kondisi pasien.

Pasien pada penelitian ini berjumlah 34 orang dengan diagnosis masuk terbanyak adalah gastroenteritis akut (GEA). Diagnosis masuk lainnya adalah vomitus dan dispepsi ulkus tipe vomitus. Jumlah obat yang paling banyak diterima oleh pasien GEA dan vomitus adalah 7 macam dan pada pasien dispepsi ulkus tipe vomitus adalah 5 macam. Golongan obat paling banyak diterima oleh pasien GEA adalah antidiare probiotik. Golongan obat paling banyak diterima oleh pasien vomitus adalah antiemetik ondansetron. Obat yang paling banyak mengalami masalah terkait efektivitas adalah ondansetron dan probiotik.

(18)

xviii ABSTRACT

Patients with gastrointestinal disorder may receive many kinds of medicines. Therefore, it is required that pharmacists should take their responsibilities related to pharmaceutical care practice on those patients. One of the pharmaceutical care components is evaluation of the medication effectiveness. The effectiveness evaluation includes the right indications of the medicines used and not too low dosage. Therefore, this study evaluates the effectiveness of medication applied to patients with gastrointestinal disorders at in patient unit of Panti Rini Hospital Yogyakarta in July 2012.

This study is a non experimental descriptive evaluative with a prospective approach. Data were collected from medical records of patients with gastrointestinal disorders during July 2012 and from interviews with nurses in that unit regarding clinical conditions of the patients. The evaluation was conducted using the hospital therapeutic guideline and evidences published in journals.

There are 34 cases involve in this study in which the most cases are acute gastroenteritis followed by vomitus and vomitus related to ulcer dyspepsia. The highest amount of medicines are 7 and 5 in acute gastroenteritis as well as in vomitus and in vomitus related to ulcer dyspepsia, respectively. The most medicines used in AGE is probiotic and in vomitus is ondansetron.

(19)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pharmaceutical care merupakan salah satu tugas dari farmasis dimana farmasis mampu bertanggung jawab terhadap obat yang diberikan kepada pasien.

Tujuan pharmaceutical care adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengobatan yang efektif dapat dilihat dari pemilihan obat yang digunakan dan

dosisnya (Cipolle and Strand, 2004).

Kesehatan pencernaan dapat dikatakan menentukan keadaan kesehatan

kita secara keseluruhan. Disadari atau tidak, kebanyakan penyakit termasuk

penyakit serius biasanya dimulai dari adanya gangguan pencernaan. Gangguan

pencernaan dapat menyerang segala jenis umur, mulai dari anak-anak, dewasa dan

lansia. Gangguan pencernaan yang muncul dapat berbeda antara orang yang satu

dengan yang lainnya. Seringkali orang beranggapan adanya gangguan pencernaan

merupakan hal yang sepele dan biasanya diabaikan. Padahal gangguan pencernaan

jika diabaikan dapat berbahaya akibatnya. Salah satu contoh gangguan pencernaan

yang sering diabaikan adalah sembelit atau konstipasi. Banyak racun yang

seharusnya telah dibuang melalui buang air besar, tetapi malah terserap kembali

ke dalam tubuh dan dapat menjadi racun yang berbahaya (Pangkalan Ide, 2007).

Macam gangguan pencernaan menurut Dipiro antara lain

(20)

Pancreatitis, Viral Hepatitis (Dipiro, 2008). Menurut WHO, pada tahun 2004 insidensi gangguan saluran pencernaan terutama diare memiliki angka kejadian

yang tinggi dibandingkan penyakit lainnya yaitu 4620,4 juta di dunia (WHO,

2008).

Berdasarkan International Database US Census Bureau pada tahun 2003 prevalensi konstipasi di Indonesia sebesar 3.857.327 jiwa (Friedman dan

Grendell, 2003). Prevalensi PUD (peptic ulcer disease) di negara barat/industri diperkirakan 10% populasi pernah mengalami PUD. Sedangkan di Indonesia

belum ada data lengkap. Diare merupakan penyakit nomor 1 dalam 10 besar

penyakit terbesar di Indonesia (Kemenkes RI, 2011). Kasus Penyakit Diare di

Provinsi D.I.Yogyakarta yang dilaporkan pada tahun 2007 sebesar 54.802 kasus

dengan angka kesakitan sebesar 15,89%. Jumlah kasus tahun 2007 meningkat

dibanding tahun 2006 yang berjumlah 36.875 kasus (Dinas Kesehatan Propinsi

DIY, 2008). Di Indonesia, diare merupakan salah satu penyebab kematian kedua

terbesar pada balita. Di Indonesia, sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun

atau sekitar 460 balita setiap harinya (Amiruddin, 2007).

Gangguan pada saluran pencernaan dipilih menjadi topik penelitian

karena beragamnya jenis gangguan pencernaan dan banyaknya jumlah obat yang

diberikan ke pasien. Karena penggunaan obat untuk gangguan pencernaan sangat

banyak, maka diperlukan peran farmasis untuk melakukan evaluasi pengobatan.

Salah satu evaluasi pengobatan yang dapat dilakukan oleh seorang farmasis

adalah efektivitas pengobatan. Efektivitas pengobatan berhubungan dengan

(21)

obat menjadi salah satu faktor penentu kesembuhan dari seorang pasien. Evaluasi

efektivitas dilakukan berdasarkan standar pelayanan RS, kondisi pasien dan

evidence based medicine berupa jurnal-jurnal penelitian yang terkait dengan efektivitas obat. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

karena pada bulan Juni 2012 didapatkan data penyakit terbanyak yang muncul di

Rumah Sakit Panti Rini adalah gangguan saluran pencernaan terutama

gastroenteritis. Hal ini sesuai dengan data yang didapatkan dari Kemenkes RI

yang mengatakan bahwa diare menjadi penyakit no 1 pada kasus pasien rawat

inap di rumah sakit Indonesia pada tahun 2010.

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

a. Seperti apa profil penggunaan obat yang diberikan pada pasien gangguan

saluran pencernaan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta periode Juli 2012 ?

b. Seperti apakah efektivitas pengobatan untuk gangguan saluran pencernaan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta ?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai Efektivitas Pengobatan Pasien Gangguan Saluran

Pencernaan Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode

Juli 2012 belum pernah dilakukan. Akan tetapi, terdapat beberapa penelitian yang

terkait dengan masalah gangguan saluran pencernaan telah dilakukan oleh

(22)

a. Evaluasi Ketaatan Antara Pasien Yang Diberi Informasi Vs Informasi Plus

Alat Bantu Ketaatan Serta Dampak Terapinya Pada Pasien Rawat Jalan RS

Panti Rini Yogyakarta Periode Juni-Juli 2009 (Kajian Penggunaan Obat

Saluran Cerna) oleh Sewa. Penelitian ini berjenis eksperimental semu dengan

rancangan analitik deskriptif. Hasil yang didapat adalah ketaatan antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang dihitung berdasarkan jumlah

unit obat golongan saluran cerna non infeksi yang diminum berbeda tidak

bermakna (p=0,447), berdasarkan cara pakai obat berbeda tidak bermakna

(p=1,000) dan aturan pakai pada kelompok taat dan kelompok tidak taat

berbeda tidak bermakna (p=0,997 dan 0,998).

b. Evaluasi Peresepan Kasus Pediatrik Di Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda

Yogyakarta Yang Menerima Resep Racikan Periode Juli 2007 (Kajian Kasus

Gangguan Sistem Saluran Cerna) oleh Marselin. Penelitian ini berjenis non

eksperimental rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang bersifat

prospektif. Hasil yang didapat adalah jumlah kasus gangguan saluran cerna

sebanyak 32 kasus. Jenis DRPs yang terjadi, yaitu : interaksi obat sebanyak 24

kasus, obat tanpa indikasi 31 kasus, dosis terlalu tinggi sebanyak 2 kasus dan

dosis terlalu rendah sebanyak 11 kasus.

c. Evaluasi Drug Related Problems Pada Pengobatan Pasien Stroke Di Unit

Stroke Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas Periode Januari Juni 2009 :

Kajian Obat Sistem Pencernaan Dan Sistem Pernapasan oleh Septiana.

Penelitian ini berjenis non eksperimental dengan rancangan deskriptif

(23)

obat sistem pencernaan terbanyak pada pasien stroke adalah ranitidine.

Identifikasi DRPs penggunaan obat sistem pencernaan dan sistem pernapasan

pada pasien stroke diperoleh 24 kasus, yang terdiri dari 23 kasus dosis kurang,

2 kasus dosis berlebih dan 1 kasus efek samping dan interaksi obat.

Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan yang telah disebut

diatas adalah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas

pengobatan pasien gangguan saluran pencernaan di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta. Perbedaan dengan penelitian terdahulu

terletak pada subyek yang diteliti, tempat penelitian, serta waktu

pelaksanaannya. Penelitian Efektivitas Pengobatan Pasien Gangguan Saluran

Pencernaan Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Juli 2012, berjenis eksploratif deskriptif yang bersifat prospektif.

Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak pada topik penelitian, yaitu

penyakit pada saluran pencernaan.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk

pengambilan keputusan mengenai penggunaan obat gangguan saluran pencernaan

oleh farmasis dan dokter.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengidentifikasi profil penggunaan obat gangguan saluran pencernaan pada

pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode

(24)

b. Mengetahui efektivitas pemilihan obat untuk pasien gangguan saluran

pencernaan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

(25)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Drug Therapy Problems (DTPs)

Drug Therapy Problems adalah masalah yang tidak diinginkan atau yang mungkin dialami pasien selama proses terapi, sehingga akan mengganggu tujuan

terapi yang sebenarnya. Drug Therapy Problems menjadi tanggungjawab dari seorang farmasis (Cipolle and Strand, 2004)

Tabel I. Kategori dan penyebab umum Drug Therapy Problems (Cipolle and Strand, 2004)

No DTPs Penyebab

1

Obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)

Ada pengobatan yang tidak valid

Adanya polifarmasi untuk pengobatan tunggal

Lebih baik menggunakan terapi non farmakologis

Terapi efek samping dari suatu obat

Penyalahgunaan obat, alkohol dan

merokok

2

Butuh tambahan terapi obat (need for additional drug

therapy)

Ada kondisi medis baru yang

memerlukan tambahan obat

Obat untuk mencegah risiko baru yang mungkin terjadi

Perlunya pencapaian efek sinergis atau efek tambahan dari suatu obat

3 Obat yang tidak efektif

(ineffective drug)

Obat yang tidak berguna untuk suatu kondisi medis

Adanya resistensi obat

Kombinasi obat yang salah

Obat yang digunakan bukan yang efektif atau bukan yang paling efektif

4 Dosis terlalu rendah

(dosage too low)

Dosis terlalu rendah untuk mencapai respon yang diharapkan

Waktu pemberian yang tidak tepat

Interaksi obat yang dapat mengurangi jumlah zat aktif yang ada

Durasi obat yang terlalu singkat

5 Efek samping

(adverse drug reaction)

Obat menyebabkan reaksi yang tidak diharapkan

Obat yang lebih aman diperlukan untuk mengurangi faktor risiko

(26)

Lanjutan Tabel I

No DTPs Penyebab

Obat yang menyebabkan reaksi alergi Kontraindikasi obat berhubungan dengan faktor risiko

6 Dosis terlalu tinggi (dosage too high)

Dosis terlalu tinggi

Frekuensi pemberian obat yang terlalu singkat

Durasi pemberian obat terlalu lama Interaksi obat yang menghasilkan reaksi toksik

7 Ketidakpatuhan (noncompliance)

Pasien tidak mengerti aturan pakai

Pasien tidak mau minum obat

Pasien lupa minum obat

Harga obat yang terlalu mahal

Pasien tidak dapat menelan atau

menggunakan obat dengan tepat

Obat tidak tersedia untuk pasien

B. Dosis dan Frekuensi Pemberiaan Obat

Apoteker perlu mempertimbangkan regimen obat (dosis dan frekuensi).

Faktor seperti umur, tinggi, bobot dan status penyakit atau terapi obat yang

bersamaan dapat mempengaruhi regimen obat. Obat-obat dengan indikasi

multiterapi, dapat ditetapkan dosis yang berbeda untuk tiap indikasi (Siregar,

2006).

C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saluran Pencernaan

Sistem pencernaan berurusan dengan penerimaan makanan dan

mempersiapkannya untuk diasimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas

bagian-bagian berikut : mulut,faring,esofagus,ventrikulus,usus halus dan usus

besar,tekak,kerongkongan dan lambung (Pearce, 2009).

Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan (alimentar),yaitu tuba

(27)

aksesoris,seperti gigi,lidah,kelenjar saliva,kandung empedu dan pankreas. Saluran

pencernaan yang terletak di bawah area diafragma disebut saluran gastrointestinal

(GI) (Sloane, 2004).

Fungsi sistem pencernaan. Fungsi utama sistem ini adalah untuk

menyediakan makanan,air dan elektrolit bagi tubuh dari nutrien yang dicerna

sehingga siap diabsorbsi. Pencernaan dapat berlangsung secara mekanik dan

kimia (Sloane, 2004).

Proses-proses dalam kegiatan pencernaan adalah sebagai berikut :

1. Ingesti : masuknya makanan ke dalam mulut.

2. Pemotongan dan pengilingan makanan dilakukan secara mekanik oleh gigi.

Makanan kemudian bercampur dengan saliva sebelum ditelan.

3. Peristaltis : gelombang kontraksi otot polos involunter yang menggerakkan

makanan tertelan melalui saluran pencernaan.

4. Digesti : hidrolisis kimia (penguraian) molekul besar menjadi molekul kecil

sehingga absorbsi dapat berlangsung.

5. Absorbsi : pergerakan produk akhir pencernaan dari lumen saluran pencernaan

ke dalam sirkulasi darah dan limfatik sehingga dapat digunakan oleh sel tubuh.

6. Egesti (defekasi) : proses eliminasi zat-zat sisa yang tidak tercerna,juga bakteri

(28)

Gambar 1. Anatomi Sistem Saluran Pencernaan (Enchanted Learning, 2010)

D. Gangguan Saluran Pencernaan

1. Dispepsia

Gangguan perut sebelah atas dan tengah, yang ditandai dengan kembung,

nyeri, mual-mual, perut keras, sampai muntah. Ada dua macam dyspepsia yaitu :

a. ulcus like dyspepsia (nyeri timbul bila terlambat makan/tak ada makanan) b. dismotoility like dyspepsia (rasa cepat penuh/kenyang, nyeri setelah makan

walau tidak makan banyak).

Walaupun mempunyai tanda yang berbeda, kedua dyspepsia ini

penyebabnya sama, yakni adanya ketidakseimbangan antara factor defensive

(factor pertahanan) dengan factor agresif (factor penyerang). Yang termasuk

(29)

sel-sel lambung) sedangkan yang dimaksud factor defensive adalah mucus

bikarbonat, PG dan gastrin (Puspitasari, 2010).

2. Diare

a. Definisi

Diare adalah keadaan terjadinya Buang Air Besar (BAB) lebih dari tiga

kali dalam sehari dengan konsistensi encer. Diare digolongkan sebagai diare akut

dan kronis berdasarkan lamanya terjadi diare. Bila diare terjadi selama kurang dari

2 minggu, maka digolongkan diare akut, selebihnya bersifat kronis (Puspitasari,

2010).

Bila diare disebabkan oleh adanya infeksi baik bakteri, parasit maupun

virus, maka disebut diare spesifik. Diare nonspesifik dapat terjadi akibat salah

makan (makanan terlalu pedas sehingga mempercepat peristaltik usus),

ketidakmampuan lambung dan usus dalam memetabolisme laktosa (yang terdapat

dalam susu hewani), sayuran atau buah tertentu (kubis, kembang kol, sawi,

nangka, durian), juga infeksi virus-virus noninvasive yang terjadi pada anak umur

di bawah 2 tahun karena rotavirus. Tanda diare nonspesifik adalah tidak terjadi

kenaikan suhu tubuh penderita, tidak ditemukan lender atau darah di feses

penderita (Puspitasari, 2010).

b. Epidemiologi

Rotavirus masih merupakan penyebab utama diare akut

pada anak-anak di seluruh dunia, baik di negara maju dan berkembang. WHO

Surveillance 2001-2008 menunjukkan bahwa pada anak di bawah usia lima tahun

(30)

penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa kejadian

diare akibat rotavirus pada anak-anak berkisar 20% -60% kasus. Namun, ada

beberapa studi mengidentifikasi genotipe strain rotavirus di Indonesia (Kadim,

M., et al., 2011).

Diare akut merupakan masalah umum yang terjadi diseluruh dunia. Di

Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan

pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia

data tentang diare akut karena infeksi mendapat peringkat pertama s/d ke empat

pada pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit (Hendarwanto, 1996).

Di negara maju diperkirakan insiden kasus diare sekitar 0,5-2

episode/orang/tahun sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA

dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada

dewasa terjadi setiap tahunnya (Manatsathit, S., et al., 2002). WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan

mortalitas 3-4 juta pertahun (Soewondo, E.S., 2002).Bila angka itu diterapkan di

Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare pada orang dewasa per tahun

(Rani, H.A.A., 2002).

c. Etiologi

1) Diare akut

Rotavirus merupakan penyebab diare nonbakteri (gastroenteritis) yang paling

sering. Bakteri penyebab diare akut antara lain organism Escherichia coli dan

(31)

infeksi traktus urinarius dan pernapasan atas), pemberian makan yang

berlebihan, antibiotik, toksin yang teringesti, irritable bowel syndrome, enterokolitis dan intoleransi terhadap laktosa (Muscari, 2005).

2) Diare kronis

Biasanya dikaitkan dengan satu atau lebih penyebab berikut ini : sindrom

malabsorbsi, defek anatomis, reaksi alergik, intoleransi laktosa, respon

inflamasi, imunodefisiensi, gangguan motilitas, gangguan endokrin, parasit,

diare non spesifik kronis (Muscari, 2005).

3) Faktor predisposisi diare antara lain usia yang masih kecil, malnutrisi,

penyakit kronis, penggunaan antibiotik, air yang terkontaminasi, sanitasi atau

hygiene buruk, pengolahan dan penyimpanan makanan yang tidak tepat

(Muscari, 2005).

d. Patofisiologi

Patofisiologi bergantung pada penyebab diare.

1) Enterotoksin bakteri menginvasi dan menghancurkan sel-sel epitel usus,

menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit dari sel kripta mukosa.

2) Penghancuran sel-sel mukosa vili oleh virus menyebabkan penurunan

kapasitas untuk absorbsi cairan dan elektrolit karena area permukaan usus

yang lebih kecil.

3) Patofisiologi diare kronis bergantung pada penyebab utamanya (Muscari,

(32)

Pada dasarnya diare terjadi bila terdapat gangguan transport terhadap

air dan elektrolit pada saluran pencernaan. Mekanisme gangguan tersebut ada

lima kemungkinan, yaitu :

1) Osmolaritas intraluminer yang meningkat (diare osmotic)

2) Sekresi cairan dan elektrolit meningkat (diare sekretorik)

3) Absorbsi elektrolit berkurang

4) Motilitas usus yang meningkat (hiperperistaltik) atau waktu transit yang

pendek

5) Sekresi eksudat (diare eksudat) (Priyanto, 2009)

e. Manifestasi klinik

Berdasarkan tingkat keparahan diare :

1) Diare ringan dengan karakteristik sedikit pengeluaran feses encer tanpa gejala

lain.

2) Diare sedang dengan karakteristik pengeluaran feses cair atau encer beberapa

kali, peningkatan suhu tubuh, muntah dan iritabilitas (kemungkinan), tidak

ada tanda-tanda dehidrasi (biasanya), dan kehilangan berat badan atau

kegagalan menambah berat badan.

3) Diare berat dengan karakteristik pengeluaran feses yang banyak, gejala

dehidrasi sedang sampai berat, terlihat lemah, menangis lemah, iritabilitas,

gerakan yang tak bertujuan, respon yang tidak sesuai, dan kemungkinan

letargi, sangat lemah atau terlihat koma.

4) Gejala-gejala terkait dapat meliputi demam, mual, muntah dan batuk

(33)

f. Strategi terapi

1) Non-farmakologi

Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari pemicu

diare. Contohnya, bila tidak mampu memetabolisme laktosa, maka dapat

minum susu nabati (berasal dari kedelai, beras merah). Namun upaya yang

paling penting dalam penanganan diare adalah mengoreksi kehilangan

cairan dan elektrolit tubuh (dehidrasi) dengan penggantian cairan dan

elektrolit secepat mungkin (rehidrasi). Bila masih memungkinkan secara

oral, maka larutan gula garam atau oralit buatan pabrik telah mencukupi

asalkan diberikan sesuai patokan (sesuai umur penderita dan berat

ringannya dehidrasi). Penyebab kematian terbesar pada kasus diare adalah

terjadinya dehidrasi, bukan karena bakteri atau penyebab lainnya

(Puspitasari, 2010).

Berikut ini tanda-tanda dehidrasi :

a) Dehidrasi ringan : mulut kering/bibir kering, kehausan. Cairan yang

keluar jumlahnya sekitar 5% dari berat badan penderita.

b) Dehidrasi sedang : selain mulut kering, kehausan, juga terjadi

penurunan tonus kulit (bila dicubit, kulit akan kembali secara lambat).

Cairan yang keluar berkisar 10% dari berat badan penderita. Urine

mulai sedikit dan warnanya mulai lebih tua dari keadaan normal.

c) Dehidrasi berat : mata cekung, kulit pucat, bila dicubit sangat lambat

kembali, ujung-ujung jari dingin, kesadaran menurun. Urine sudah

(34)

pekat. Cairan yang keluar lebih dari 50% berat badan penderita

(Puspitasari, 2010).

Menjaga agar dehidrasi segera terkoreksi, oralit harus

diberikan dalam 3 jam pertama dari saat terjadinya diare. Bila

penderita muntah, tunggulah sampai sepuluh menit, segera berikan

oralit. Pada anak-anak, bila sulit diberikan langsung, dapat diberikan

sesendok the tiap 1-2 menit (Puspitasari, 2010).

Dapat digunakan rumus : oralit yang diberikan = berat badan

penderita (kg) x 75 ml. Atau dapat juga dilakukan pemberian oralit

sesuai dengan tabel di bawah ini.

Tabel II. Pemberian Oralit yang Diharuskan dalam Tiga Jam Pertama (Puspitasari, 2010)

Umur Oralit yang Harus Diberikan

< 1 tahun 300 ml (1,5 gelas)

1-4Tahun 600 ml (3 gelas)

> 5 tahun 1200 ml (6 gelas)

Dewasa 2400 ml (12 gelas)

Selain itu, juga harus diperhatikan pemberian oralit setiap habis BAB.

Tabel III. Oralit yang Harus Diberikan Setiap Habis BAB (Puspitasari, 2010)

Umur Penderita Oralit yang Harus Diberikan Setiap

Habis BAB

< 1 tahun 50-100 ml (0,25-0,5 gelas)

1-5Tahun 100-200 ml (0,5-1 gelas)

> 5 tahun 200-300 ml (1-1,5 gelas)

Dewasa 300-400 ml (1,5-2 gelas)

2) Farmakologi

Pemberian obat pada diare nonspesifik bertujuan untuk :

a) Mengurangi frekuensi diare dengan zat yang bersifat pengental.

(35)

b) Mengurangi penyerapan air di usus dengan zat pengecil pori-pori

saluran cerna/adstringensia. Contoh : tannin (dalam the, daun jambu

biji dan buah salak muda).

c) Mengurangi motilitas/gerakan usus dengan zat parasimpatolitik.

Contoh : golongan narkotika (codein, loperamide) (Puspitasari, 2010).

3. Konstipasi

a. Definisi

Konstipasi adalah defekasi abnormal yang tidak teratur dan terjadi

pengerasan feses sehingga sulit untuk dikeluarkan dan terkadang terasa sakit

(Baughman dan Hackley, 2000).

b. Epidemiologi

Konstipasi (sembelit) sudah menjadi masalah umum, terutama di negara

Barat. Di Amerika Serikat, prevalensi konstipasi adalah 2-27% dengan 2,5 juta

kunjungan ke dokter dan hampir 100.000 rawat inap per tahun (Higgins and

Johanson, 2004). Sebuah survei yang dilakukan pada orang dengan usia di atas 60

tahun di beberapa kota di Cina menunjukkan tingginya insiden konstipasi yaitu

sekitar 15-20%. Survei lain yang dilakukan pada orang dengan usia 18-70 tahun

di Beijing menunjukkan ada sekitar 6,07% kasus konstipasi dengan rasio laki-laki

dan perempuan rasio 1: 4 (Chinese Society of Gastroenterology and Chinese

Medical Association, 2004).

(36)

Tabel IV. Mekanisme dan Penyebab Konstipasi (Brooker, 2005) Penyebab Konstipasi

Mekanisme Penyebab

Tidak cukup material di dalam usus

Kurang serat dalam diet, Kurang asupan cairan

Kontrol neurologis abnormal Cedera saraf spinalis yang memengaruhi sistem

saraf otonom, Penyakit Hirschsprung (kondisi dinding usus yang tidak memiliki saraf), Faktor psikologis, dengan efek inhibisi pada inervasi otonom

Obstruksi Tumor, Penyakit divertikel, Hemoroid,

Abnormalitas congenital

Kehamilan Kadar progesteron tinggi yang menyebabkan

penurunan motilitas pada saluran cerna

Metabolik Diabetes mellitus, Hipotiroidisme, Dehidrasi

Obat-obatan Aluminium (antasid), Antikolinergik, Diuretik, Zat

besi, Analgesia opioid, Verapamil

Penyalahgunaan laksatif Kelebihan penggunaan laksatif dapat menyebabkan

kerusakan saraf di dalam kolon, yang

menyebabkan atonia usus

Lingkungan Apapun yang mencegah defekasi (mis., kurangnya

privasi, toilet yang kotor, toilet yang tidak memadai)

Imobilitas Kurang beraktivitas menyebabkan usus kurang

aktif, Kesulitan ke toilet

d. Patofisiologi

Ada dua mekanisme yang menyebabkan terjadinya sembelit. Yang

pertama adalah disfungsi motilitas kolon atau dismotilitas. Hal ini biasanya

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : makanan, obat-obatan yang dapat

mengubah motilitas, atau penyakit sistemik (misalnya neurologis, metabolik,

endokrin atau gangguan lainnya). Mekanisme kedua adalah adanya disfungsi

dasar panggul, atau gangguan dari anorectum. Kedua mekanisme konstipasi

tersebut dapat terjadi sekaligus pada beberapa pasien, sehingga sulit untuk

menentukan penyebab pasti terjadinya konstipasi (Sultan, 1994 and Cheung,

2004).

(37)

1. Distensi abdomen, borbogimus (bunyi gaduh dalam usus/keroncongan),

nyeri dan rasa sesak.

2. Penurunan nafsu makan, sakit kepala, keletihan, tidak dapat mencerna,

rasa tak nyaman setelah defekasi (seperti tidak selesai).

3. Mengejan saat defekasi, eliminasi dalam jumlah kecil, keras, feses kering

(Baughman dan Hackley, 2000).

f. Strategi Terapi

1. Terapi non-farmakologi

a) Dilakukan dengan masukan makanan/diet seimbang, yakni

terpenuhinya serat tinggi berasal dari sayuran dan buah-buahan serta

masukan cairan yang memadai (setidaknya delapan gelas per hari).

b) Juga perlu dilakukan latihan otot-otot rectum, yakni dengan membiasakan BAB setiap hari (Puspitasari, 2010).

2. Terapi farmakologi

Bila dengan terapi nonfarmakologi/tanpa obat tidak berhasil,

barulah dilakukan pemberian obat laksan/pencahar. Jenis pencahar yang

dikenal antara lain :

a) Pencahar pembentuk massa : merupakan pilihan pertama karena

relative aman. Biasanya berasal dari biji atau karbohidrat sebagai

sumber serat tinggi, tapi harus disertai dengan masukan cairan yang

banyak karena obat bekerja dengan memperbesar massa feses dalam

keadaan cairan tinggi di usus besar/kolon. Contohnya : biji Plantago

(38)

b) Iritan, yang merupakan senyawa yang mampu memacu kolesistokinin

dan pankreasimin sehingga terjadi peningkatan peristaltic usus.

Contohnya : alakaloid dari daun Senna, akar klembak?Rhei radix,

alkaloid ricinol dari minyak jarak (oleum ricini), bisakodil.

c) Osmosis, berkaitan dengan penarikan air dari sekitar usus besar oleh

senyawa seperti sorbitol, gliserol, Mg sulfat.

d) Emolien/pelican, berasal dari minyak, yakni paraffin cair (Puspitasari,

2010).

4. Mual dan Muntah

a. Definisi

Muntah dapat dianggap sebagai suatu cara perlindungan alamiah dari

tubuh terhadap zat-zat merangsang dan beracun yang ada dalm makanan. Segera

setelah zat-zat tersebut dikeluarkan dari saluran cerna, muntah juga akan berhenti.

Namun demikian, sering kali muntah hanya merupakan gejala penyakit, misalnya

dari kanker lambung, mabuk darat dan pada masa hamil. Tidak jarang muntah

merupakan efek samping yang tidak nyaman dari obat-obat, seperti

onkolitika/sitolitika, obat Parkinson, digoksin dan sebagai akibat radioterapi

kanker (Tjay, 2007).

b. Etiologi

Penyebab mual dan muntah biasanya sangat mirip. Banyak hal yang

dapat menyebabkan rasa mual antara lain mabuk laut, penyakit tertentu, awal

(39)

kandung empedu, keracunan makanan, gangguan pencernaan, berbagai virus, dan

bau (The Cleveland Clinic Foundation, 2010).

Penyebab muntah dapat dibedakan menurut usia. Untuk orang

dewasa, muntah umumnya akibat dari infeksi virus dan keracunan makanan, dan

kadang-kadang akibat dari mabuk dan penyakit di mana seseorang mengalami

demam tinggi. Untuk anak-anak, biasanya muntah terjadi karena infeksi virus,

keracunan makanan, mabuk, makan berlebihan, batuk, dan penyakit di mana anak

mengalami demam. Meskipun jarang, usus yang tersumbat dapat menyebabkan

muntah, biasanya di awal masa bayi (The Cleveland Clinic Foundation, 2010).

Biasanya muntah tidak berbahaya, tetapi dapat menjadi tanda

penyakit yang lebih serius. Beberapa contoh kondisi yang dapat mengakibatkan

mual atau muntah adalah gegar otak, ensefalitis, meningitis, penyumbatan usus,

radang usus buntu, sakit kepala migrain, dan tumor otak (The Cleveland Clinic

Foundation, 2010).

c. Patofisiologi

Muntah pada umumnya didahului oleh rasa mual (nausea), yang

bercirikan muka pucat, berkeringat, liur berlebihan, takikardia dan pernapasan

tidak teratur. Pada saat ini lambung mengendur dan di usus halus timbul aktivitas

antiperistaltik yang menyalurkan isi usus halus bagian atas ke lambung.

Gejala-gejala tersebut kemudian disusul oleh menutupnya glottis (bagian pangkal

tenggorok), napas ditahan, katup oesophagus dan lambung merelaks. Akhirnya

timbul kontraksi ritmis dari diafragma serta otot-otot pernapasan disusul oleh

(40)

Muntah diakibatkan oleh stimulasi dari pusat muntah di sumsum

sambung (medulla oblongata) dan berlangsung menurut beberapa mekanisme, yaitu akibat rangsangan langsung melalui CTZ, atau melalui kulit otak (cortex). 1. Akibat rangsangan langsung dari saluran cerna. Bila peristaltic dan perlintasan

lambung tertunda, terjadilah dispepsi dan mual. Jika gangguan tersebut

menghebat, pusat muntah dirangsang melalui saraf vagus (saraf otak ke-10)

dengan akibat muntah. Susunan makanan dalam hal ini memegang peranan

penting. Pusat muntah dirangsang pula bila terdapat kerusakan pada mukosa

lambung-usus, seperti pada radioterapi dan oleh sitostatika. Organ-organ lain

juga dapat secara langsung merangsang pusat muntah, yaitu jantung (infark)

dan buah zakar (tekanan) (Tjay dan Raharja, 2007).

2. Secara tak langsung melalui CTZ. Chemoreceptor Trigger Zone adalah suatu daerah dengan banyak reseptor, yang letaknya berdekatan dengan pusat

muntah di sumsusm sambung, tetapi di luar barrier darah otak. Dengan

bantuan neurotransmitter dopamine (DA), CTZ dapat menerima isyarat-isyarat

mengenai kehadiran zat-zat kimiawi asing di dalam sirkulasi. Rangsangan

tersebut lalu diteruskan ke pusat muntah. Menurut perkiraan, CTZ juga

berhubungan langsung dengan darah dan cairan otak (Tjay dan Raharja,

2007).

Obat-obat yang terkenal merangsang kemoreseptor itu sebagai efek samping

adalah glikosida digitalis, alkaloida ergot, estrogen, morfin dan sitostatika.

Menurut mekanisme ini, gangguan pada fungsi labirin (organ keseimbangan di

(41)

pada mabuk darat. Gangguan metabolisme keto acidosis dan uremia (adanya

keton/asam dan urea dalam darah) dapat juga menyebabkan muntah. Begitu

pula diabetes dan penyakit ginjal, seperti naik turunnya kadar estrogen atau

naiknya kadar gonadotropin pada wanita hamil (Tjay dan Raharja, 2007).

3. Melalui kulit otak (cortex cerebri), misalnya adakala pada waktu melihat,

mencium. Atau merasakan sesuatu sudah cukup untuk menimbulkan mual dan

muntah (Tjay dan Raharja, 2007).

d. Manifestasi Klinik

1. Produksi air liur meningkat

2. Berkeringat

3. Denyut jantung meningkat

4. Pucat

5. Gerakan-gerakan mual muntah (Virtual Medical Centre, 2002)

e. Strategi Terapi

1. Terapi non-farmakologis

a) Minum minuman yang dingin (seperti air putih)

b) Makan ringan, makanan lunak (seperti biskuit asin atau roti biasa)

c) Hindari gorengan, makanan berminyak, atau manis.

d) Makan secara perlahan dan makan dalam porsi kecil tetapi dengan

frekuensi sering

e) Jangan mencampur makanan panas dan dingin

f) Minum minuman secara perlahan

(42)

h) Hindari menggosok gigi setelah makan.

i) Memilih makanan yang sesuai tetapi dengan asupan gizi yang cukup

untuk tubuh (The Cleveland Clinic Foundation, 2010)

2. Terapi farmakologis

a) Antihistaminergik

Indikasi :

Motion sickness, Inner-ear disorders. Prometazin juga digunakan untuk mual dan muntah yang diakibatkan oleh penyebab lain.

b) Antikolinergik

Indikasi :

Motion sickness, Inner-ear disorders, mual dan muntah pasca operasi. c) Antidopaminergic

Indikasi :

Pengobatan muntah akibat keracunan atau gangguan metabolik

d) Antagonis serotonin 5-HT3

Indikasi :

Muntah akibat pascaoperasi, setelah terapi radiasi, pencegahan

muntah akibat kemoterapi kanker.

e) Antagonis NK1

Indikasi :

Mual dan muntah akibat kemoterapi

f) Antidepresan trisiklik

(43)

Mual idiopatik kronis, muntah fungsional, Sindrom muntah siklik

(Cyclic vomiting syndrome), pasien diabetes dengan mual dan muntah dalam jangka waktu yang lama (Harrison’s Practice, 2009)

5. Peptic Ulcer Disease (PUD)

a. Definisi

Penyakit tukak peptic (PUD) adalah defek pada mukosa gastrointestinal

yang meluas sampai ke mukosa otot yang terjadi di esophagus, lambung atau

duodenum (Brashers, 2008).

b. Epidemiologi

Prevalensi PUD seumur hidup adalah 5%-10%, risiko semakin

meningkat seiring dengan pertambahan usia. Tukak duodenum lebih sering dari

pada tukak lambung dan terjadi pada pasien yang lebih muda, lebih sering

mengenai pria daripada wanita. Puncak terjadinya tukak lambung adalah pada

usia 55-65 tahun dan jarang terjadi sebelum usia 40 tahun, dengan angka insidensi

yang sama antara pria dan wanita. Angka rawat inap untuk PUD semakin

menurun tetapi angka komplikasi (perforasi, perdarahan dan kematian) relatif

stabil (Brashers, 2008).

H.pylori teridentifikasi 95% pada tukak duodenum dan 80%-85% pada tukak lambung. Di USA, prevalensi H.pylori lebih tinggi pada orang Amerika keturunan Afrika dan Hispanik. Selain meningkatkan risiko PUD, infeksi H.pylori

meningkatkan risiko adenokarsinoma lambung sampai 9 kali lipat. Di USA,

penggunaan NSAID diperkirakan menyebabkan 100.000 rawat inap dan

(44)

dengan NSAID. Risiko tukak lambung dan tukak duodenum berkisar dari

11%-30% untuk pasien yang mendapat NSAID harian, jauh lebih tinggi bila pasien

juga mendapat kortikosteroid, juga meningkatkan risiko perdarahan

gastrointestinal atas sebanyak 4 kali lipat, terutama pada lansia (Brashers, 2008).

c. Etiologi

Penyebab utama tukak adalah infeksi oleh bakteri Helicobacter pylori. Penyebab lainnya adalah obat-obat antiradang yang bukan senyawa steroid, atau

dikenal dengan NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs), yang dikonsumsi dalam jangka panjang. Stres dan mengkonsumsi alcohol dalam jumlah

berlebihan tidak dianggap penyebab, namun dapat memperburuk kondisi tukak

yang sudah ada, atau bersama-sama dengan faktor infeksi, obat antiradang dan

merokok akan menyebabkan munculnya tukak. H.pylori merupakan bakteri yang hidup dan berkembang biak di air minum dan makanan yang tidak ditangani

secara higienis atau dimasak dengan benar. Sebagian besar penderita tukak

memperoleh infeksi H.pylori sejak masa kanak-kanak, namun gejalanya baru muncul beberapa puluh tahun kemudian. H.pylori merupakan salah satu bakteri yang tahan terhadap asam lambung, sedangkan sebagian besar bakteri lainnya

akan mati karena tidak tahan asam lambung (Misnadiarly, 2009).

d. Patofisiologi

Infeksi bakteri H.pylori dan penggunaan obat antiinflamasi nonsteroids (NSAIDs) menjadi penyebab utama terjadinya tukak lambung. H.pylori

merupakan bakteri gram negative berbentuk spiral yang hidupnya pada bagian

(45)

yang dapat memecah pertahanan mucus kemudian menempel di sel epitel

lambung atau usus 12 jari (Misnadiarly, 2009).

Di lambung, bakteri akan menghasilkan karbon dioksida, ammonia dan

produk lain seperti protease, katalase dan fosfolipase yang bersifat toksik.

Produk-produk yang dihasilkan akan terakumulasi sehingga merusak pertahanan mukosa

lambung dan menyebabkan ulcerasi atau tukak (Misnadiarly, 2009).

Selain H.pylori, penggunaan obat NSAIDs (contohnya aspirin, piroxicam, ibuprofen, meloxicam, dan lain-lain) menjadi penyebab lainnya dari

tukak lambung. Menurut Dipiro, obat NSAIDs dapat menyebabkan tukak

lambung melalui dua cara, mengiritasi epithelium lambung secara langsung atau

melalui penghambatan sintesis prostaglandin. Namun, penghambatan sintesis

prostaglandin merupakan factor dominan penyebab tukak lambung oleh NSAIDs.

Prostaglandin merupakan senyawa yang disintesis di mukosa lambung yang

melindungi fungsi fisiologis tubuh seperti fungsi ginjal, homeostasis dan mukosa

lambung (Misnadiarly, 2009).

e. Manifestasi klinik

1. Dispepsia, termasuk bersendawa, kembung, distensi, dan intoleransi

makanan berlemak

2. Mulas

3. Dada terasa tidak nyaman

4. Hematemesis atau melena akibat adanya perdarahan gastrointestinal

(46)

6. Dapat menimbulkan gejala yang hampir mirip dengan anemia (misalnya,

kelelahan, dyspnea)

7. Tiba-tiba dapat mengalami gejala yang menunjukkan terjadinya perforasi

8. Gastritis atau ulcer akibat OAINS mungkin tidak menunjukkan gejala,

terutama pada pasien lanjut usia (Anand, 2012)

f. Strategi terapi

1. Terapi non-farmakologis

a) Makan secara teratur

b) Menyediakan krekers, biscuit atau roti tawar setiap saat agar bisa

mencegah perut terlalu kosong

c) Hindari mengkonsumsi makanan pedas, berbumbu tajam dan berlemak

d) Selama pengobatan, hindari mengkonsumsi makanan yang perlu dikunyah

dan dicernakan cukup lama.

e) Berhenti merokok, karena kandungan nikotin dari rokok akan

memperlambat proses penyembuhan.

f) Kurangi stress, beristirahat dan tidur lebih banyak (Misnadiarly, 2009)

2. Terapi farmakologis

Menurut mekanisme kerjanya, obat-obat ulkus peptikum

dibedakan menjadi :

1) Obat-obat yang mengurangi keasaman lambung

i. Antasid

ii. Antisekresi : Antihistamin-H2, Antimuskarinik, Penghambat pompa

(47)

2) Obat-obat yang memperkuat mekanisme pertahanan mukosa

i. Golongan Sitoproteksi yang bekerja dengan : Meningkatkan

pembentukan PGE-2 dan Pg I-2 dan memperbaiki mikrosirkulasi.

Obat-obat sitoproteksi antara lain adalah Sukralfat, CBS, Setraksat,

Analog PG, Karbenoksolon

ii. Antibiotika untuk H.pylori (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,2009)

Tabel V. Golongan Obat-Obat Ulkus Peptikum Dan Contoh Sediaannya (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas

Sriwijaya,2009)

Golongan Preparat

1. ANTASID Al-hidroksid, Ca-karbonat, Mg-hidroksid,

Na-bikarbonat

2. ANTISEKRESI

a. H2-bloker Simetidin, Ranitidin, Famotidin, Nizatidin

b. Antimuskarinik Pirenzepin, Hiosiamin, Mepenzolat

c. Penghambat pompa proton Omeprazol, Lansoprazol

3. SITOPROTEKTIF Bismut kolidal, Sukralfat, Misoprostol

4. KOMBINASI ANTIBIOTIK Amoksisilin, Klaritromisin, Metronidazol

E. Keterangan Empiris

Penelitian mengenai Efektivitas Pengobatan Pasien Gangguan Saluran

Pencernaan Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode

Juli 2012 diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai profil penggunaan

obat saluran cerna dan adanya kejadian terkait efektivitas dalam pengobatan yang

terjadi di RS Panti Rini. Hasil penelitian diharapkan pula dapat dijadikan bahan

(48)

30 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian Efektivitas Pengobatan Pasien Gangguan Saluran Pencernaan

Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012

merupakan penelitian non eksperimental, rancangan penelitian deskriptif evaluatif

yang bersifat prospektif.

Penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang dilakukan

dengan cara mengobservasi tanpa ada manipulasi atau intervensi dari peneliti.

Data pada penelitian deskriptif evaluatif diperoleh dari lembar catatan medik yang

kemudian dievaluasi berdasarkan studi pustaka dan kemudian dideskripsikan

dengan memaparkan fenomena yang terjadi dan ditampilkan dalam bentuk tabel

dan gambar. Fenomena disajikan secara apa adanya tanpa manipulasi dan peneliti

tidak mencoba menganalisis bagaimana dan mengapa fenomena tersebut bisa

terjadi, oleh karena itu penelitian ini tidak memerlukan adanya suatu hipotesis

(Nursalam, 2008).

Penelitian prospektif merupakan penelitian yang bersifat longitudinal

dengan mengikuti proses perjalanan penyakit ke depan berdasarkan urutan waktu.

Tujuan penelitian prospektif ini dimaksudkan untuk menemukan insidensi

penyakit pada kelompok yang terpajan oleh faktor risiko maupun pada kelompok

yang tidak terpajan, sehingga dapat diketahui apakah terdapat hubungan sebab

(49)

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi data rekam

medik pasien selama perawatan sedang berlangsung dan wawancara tentang

kondisi pasien ke perawat yang bertugas.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah macam, jumlah dan dosis obat gangguan

saluran pencernaan yang digunakan.

2. Definisi Operasional

a. Kasus dalam penelitian ini adalah kasus pasien rawat inap yang

menggunakan obat gangguan sistem saluran pencernaan di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012.

b. Gangguan saluran pencernaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

dyspepsia, PUD (Peptic Ulcer Disease), diare, konstipasi serta mual dan muntah yang ditegakkan oleh diagnosa masuk dari dokter.

c. Profil penggunaan obat yang dimaksud meliputi macam dan golongan

obat yang diterima pasien. Penggolongan obat dilakukan dengan pustaka

MIMS Edisi 10 2010/2011

d. Efektivitas adalah obat yang diberikan sesuai dengan indikasi dan

diagnosis yang telah ditentukan serta jumlahnya cukup. Evaluasi

efektivitas tidak termasuk cairan infus yang diberikan. Evaluasi

efektivitas berdasarkan standar pelayanan RS, evidence based medicine

berupa jurnal/artikel penelitian yang terkait dengan efektivitas obat dan

disesuaikan dengan kondisi pasien. Jurnal/artikel yang digunakan adalah

(50)

1) Evidence Based Medicine On Acute Diarrhea In Children

2) Acute Gastroenteritis: From Guidelines To Real Life

3) Peran Probiotik Pada Diare Akut Anak

4) Khasiat Klinik Pemberian Probiotik Pada Diare Akut Nonspesifik

Bayi Dan Anak

5) Oral Diosmectite Reduces Stool Output And Diarrhea Duration In Children With Acute Watery Diarrhea

6) Treatment Of Acute Diarrhea In Adults With Dioctahedral Smectite (Smecta) : A Prospective Randomized Study

7) Zinc For The Treatment Of Diarrhea : Effect On Diarrhea Morbidity, Mortality And Incidence Of Future Episodes

8) Acute Infectious Diarrhea

9) Antibiotics For The Empirical Treatment Of Acute Infectious Diarrhea In Children

10)Therapeutic Guidelines Antibiotic

11)A Review On The Management Of Acute Gastroenteritis In Children

12)European Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition/European Society for Paediatric Infectious Diseases Evidence-based Guidelines for the Management of Acute Gastroenteritis in Children in Europe

13)World Gastroenterology Organisation practice guideline : Acute diarrhea

(51)

15)Peptic Ulcer Disease

16)Penanganan Demam Pada Anak

17)Demam Pada Anak

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian meliputi : pasien yang dirawat inap di bangsal Rumah

Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 dengan mengalami gangguan

pencernaan sebagi keluhan utamanya. Kriteria inklusi subyek adalah pasien yang

dirawat di bangsal Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang menerima terapi

obat sistem saluran pencernaan pada bulan Juli 2012 serta keluhan utama pasien

berupa gangguan pencernaan. Bahan penelitian meliputi catatan medik pasien

termasuk peresepannya. Kriteria eksklusi subyek adalah pasien yang mengalami

gangguan pencernaan tetapi bukan merupakan keluhan utama.

Sebagai subyek wawancara adalah perawat, dokter dan apoteker yang

bekerja di bangsal Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta.

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar catatan medik dan form

pemantauan pasien yang menerima resep obat gangguan sistem saluran

pencernaan dan dirawat inap di bangsal Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

periode Juli 2012 yang ditulis oleh dokter dan perawat mengenai data klinis

pasien.

E. Tempat Penelitian

Penelitian Efektivitas Pengobatan Pada Pasien Gangguan Saluran

(52)

Juli 2012 dilakukan di bangsal Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta untuk kasus

rawat inap.

F. Tata Cara Penelitian

Terdapat tiga tahapan dalam penelitian ini, yaitu tahap orientasi, tahap

pengambilan data dan tahap analisis data.

1. Tahap Orientasi

Pada tahap orientasi ini peneliti mencari informasi mengenai insidensi

gangguan saluran pencernaan di bangsal Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta.

Selain itu, untuk mencari teknis pengambilan data yang sesuai sehingga tidak

menggangu aktivitas di bangsal tersebut.

2. Tahap pengambilan data

Pada tahap ini, pengambilan data terbagi menjadi 2, yaitu pengambilan

data primer dan pengambilan data sekunder.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara bertanya langsung

kepada perawat yang menanggani kasus pasien dengan gangguan saluran

pencernaan.

Data sekunder dikumpulkan adalah dari catatan medis pasien. Data yang

dikumpulkan meliputi identitas, tanda vital, riwayat pengobatan, riwayat penyakit,

lama tinggal di rumah sakit, anamnesis, diagnosis, obat yang diberikan (terapi)

dan data laboratorium serta keterangan kesembuhan pasien.

3. Tahap Analisis Data

Data yang diperoleh, diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dengan

(53)

pemakaian, tanggal pemberian obat, data laboratorium, tanda vital, waktu

penggunaan obat oleh pasien, serta nama obat yang diberikan kepada pasien di

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang menerima obat gangguan sistem saluran

pencernaan.

Data tersebut kemudian dievaluasi berdasarkan standar RS, evidence based medicine berupa jurnal-jurnal penelitian yang terkait dengan efektivitas obat dan disesuaikan dengan kondisi pasien. Penggolongan macam obat yang

diterima oleh pasien berdasarkan MIMS.

G. Tata Cara Analisis Hasil

1. Persentase berdasarkan manifestasi klinik pada pasien dengan diagnosis

GEA, vomitus, dyspepsia, konstipasi dan peptic ulcer disease (PUD). Persentase dilakukan dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap

kelompok manifestasi klinik dibagi jumlah total pasien yang mengkonsumsi

obat gangguan saluran pencernaan lalu dikali 100%.

2. Persentase berdasarkan jumlah macam obat gangguan pencernaan yang

diterima oleh pasien dan kemudian dikelompokkan menurut golongan obat.

Persentase dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus yang

menggunakan jumlah macam obat gangguan pencernaan dan kemudian

dibagi dengan jumlah keseluruhan kasus pasien dikalikan 100%.

3. Mengevaluasi pola peresepan dan kerasionalan terapi, dengan cara

mengidentifikasi obat yang tidak efektif.

(54)

H. Kesulitan/Keterbatasan Penelitian

Kesulitan dalam metode penelitian ini adalah membandingkan efektivitas

obat yang diterima pasien dengan evidence based medicine berupa jurnal/artikel penelitian yang ada disebabkan karena susahnya memperoleh jurnal yang bersifat

obyektif. Jurnal/artikel yang didapatkan biasanya merupakan penelitian di

beberapa populasi saja, sehingga informasi yang didapatkan mungkin ada yang

tidak bisa diterapkan ke populasi lain yang lebih luas. Selain itu pada evaluasi

dosis obat yang terlalu rendah (terutama untuk terapi simptomatik) sulit

disimpulkan secara pasti dikarenakan peneliti tidak langsung mengunjungi pasien.

(55)

37 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian mengenai Efektivitas Pengobatan Pasien Gangguan Saluran

Pencernaan Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode

Juli 2012 dilakukan dengan cara menelusuri kasus pasien rawat inap yang

terdiagnosis gastroenteritis dan peptic ulcer disease atau memiliki manifestasi

klinik berupa diare, mual muntah, dyspepsia dan konstipasi yang dapat

mengindikasikan terjadinya gangguan saluran pencernaan.

Hasil dan pembahasan penelitian ini akan dibahas menjadi beberapa

bagian, yaitu profil penggunaan obat gangguan saluran pencernaan di Rumah

Sakit Panti Rini Yogyakarta meliputi jumlah macam dan golongan obat dan

kerasionalan terapi kasus pasien di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta terkait

efektivitas pengobatan.

Selama periode Juli 2012, terdapat 42 pasien yang dirawat di bangsal

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang menggunakan obat gangguan saluran

pencernaan, dengan 34 pasien yang memenuhi kriteria penelitian. Ditemukan 21

orang dengan diagnosis masuk gastroenteritis akut (GEA), 12 orang dengan

diagnosis masuk vomitus dan 1 orang dengan diagnosis masuk dispepsi ulkus tipe

vomitus. Selama penelitian tidak ditemukan pasien dengan diagnosis masuk

peptic ulcer disease dan konstipasi. Data manifestasi klinik pada Tabel VI. dapat menunjukkan pasien dengan diagnosa masuk yang sama dapat memiliki

manifestasi klinik yang berbeda. Sehingga dalam pengobatannya pun dapat

(56)

Tabel VI. Pengelompokkan Berdasarkan Diagnosa Masuk dan Manifestasi Klinik Pada Pasien Gangguan Saluran Pencernaan di

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012

Pada penelitian ini, semua pasien yang menjadi subyek penelitian

menerima terapi rehidrasi cairan sebagai pertolongan pertama. Cairan rehidrasi

yang diberikan kepada pasien diberikan secara intravena. Jenis cairan rehidrasi

yang paling banyak diberikan oleh pasien adalah ringer laktat (RL). Jumlah pasien

yang menerima ringer laktat sebanyak 19 pasien. Hasil

Diagnosa

Manifestasi Klinik Jumlah kasus

(No. Kasus)

Diare, demam, dehidrasi 1 (32)

Mual muntah, diare, demam, dehidrasi, kejang

1 (33)

Mual muntah, diare 3 (1,3, 21)

Mual muntah, diare, kembung 1 (2)

Mual muntah, diare, dehidrasi 2 (16, 24)

Mual muntah, demam,

Mual muntah, dehidrasi 2 (28, 30)

Mual muntah, demam, kejang, dehidrasi

1 (14)

Mual muntah, diare, dehidrasi 1 (34)

(57)

Tabel VII. Jenis Cairan Rehidrasi Yang Diberikan Pada Pasien Gangguan Saluran Pencernaan di Rumah Sakit Panti Rini

YogyakartaPeriode Juli 2012 Jenis Cairan Elektrolit Jumlah Pasien Yang

Menerima Cairan Elektrolit

CaCl2 0.2 g, air untuk injeksi ad 1000 ml

Komposisi KA-EN 1B Per L : Na 38.5 mEq, Cl 38.5 mEq, glucose 37.5 g

Komposisi KA-EN 3A Per L : Na 60 mEq, K 10 mEq, Cl 50 mEq, lactate 20

mEq, glucose 27 g

Komposisi Tridex 27A Per L : Na 60 mEq, Cl 50 mEq, K 10 mEq, lactate 20

mEq, anhydrous glucose 100 g (NaCl 2.34 g, KCl 0.75 g, Na lactate 2.24 g, water

for injection 1000 ml)

Komposisi Tridex 27B Per L : Na 50 mEq, Cl 50 mEq, K 20 mEq, lactate 20

mEq, anhydrous glucose 100 g (NaCl 1.75 g, KCl 1.55 g, Na lactate 2.24 g, water

(58)

A. Profil Penggunaan Obat Gangguan Saluran Pencernaan Di Rumah Sakit

Panti Rini Yogyakarta Meliputi Jumlah Macam Dan Golongan Obat

1. Jumlah Macam Obat

Seluruh pasien dalam penelitian di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

periode Juli 2012 di kelompokkan berdasarkan jumlah macam obat yang diterima

selama menjalani perawatan di rumah sakit. Jumlah obat paling banyak yang

diterima oleh pasien GEA adalah 7 macam (diazepam, paracetamol, probiotik,

digestan, metamizole Na, hyosine-n-butylbromide, ondansetron). Tujuh macam

obat tersebut diberikan pada pasien dengan diagnosis GEA yang memilki

manifestasi klinik berupa mual muntah, diare, demam, dehidrasi, kejang. Jumlah

obat paling banyak yang diterima oleh pasien vomitus adalah 7 macam

(metronidazole, kaolin pektin, Zn sulfat heptahydrat, domperidone, cefixime,

ondansetron, ranitidin). Tujuh macam obat tersebut diberikan pada pasien dengan

diagnosis vomitus yang memilki manifestasi klinik berupa mual muntah,

dehidrasi. Jumlah obat yang diterima oleh pasien dispepsi ulkus tipe vomitus

adalah 5 macam (sukralfat, pantoprazole, ranitidin, ondansetron, cefotaxime).

Tabel VIII. Pengelompokkan Jumlah Macam Obat Berdasarkan Golongan Obat yang Diterima Pasien Gangguan Saluran Pencernaan di

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 Diagnosa

Probiotik + kaolin pectin 5

Probiotik 8

Probiotik + Zn sulfate

heptahydrate + kaolin pektin

2

Probiotik + loperamid 1

Probiotik + Dioctahedral smectite 1

Kaolin pectin 2

(59)

Lanjutan Tabel VIII Diagnosa

Masuk

Pengobatan Jumlah

GEA Golongan Jenis Obat

ANOAP Paracetamol 11

AB Cotrimoxsazol 5

Pancreatin, dimethylpolisiloxane 1

ASP Hyosine-N-butylbromide 1

AS Diazepam 2

ANARAU Ranitidin 3

Sukralfat + Pantoprazole 1

RGIT Domperidon 1

Paracetamol & n-asetilsistein 1

ANARAU

Probiotik + kaolin pectin 2

Attapulgite + loperamid 1

Probiotik 2

Domperdone + metoclorpramid 1

Domperidone 2

ASP Chlordiazepoxide, clidinium,

Hyosine-N-butylbromide

1

ABAM Metronidazole 2

D Pancreatin, dimethylpolisiloxane 1

Dispepsi ulkus tipe vomitus

ANARAU Sukralfat + pantoprazole + ranitidine 1

AE Ondansentron 1

(60)

AB : antibiotik

VMP : vitamin&mineral pediatrik OAINS : obat anti inflamasi non steroid

AE : antiemetik

AS : ansiolitik

D : digestan

ASP : antispasmodik

ANARAU : antacid, antirefluks, antiulserasi

RGIT : regulator GIT, antiflatulen, antinflamasi, antiemetik ABAM : antibiotik, antiamuba

2. Jumlah Golongan Obat

Seluruh pasien dalam penelitian di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

periode Juli 2012 di kelompokkan berdasarkan golongan obat yang diterima

selama menjalani perawatan di rumah sakit. Semua obat yang diberikan kepada

pasien berupa kombinasi. Golongan obat yang paling banyak diberikan kepada

pasien GEA adalah antidiare. Obat antidiare yang sering diberikan adalah berisi

probiotik dan diterima oleh 17 pasien. Golongan obat yang paling banyak

diberikan kepada pasien vomitus adalah antiemetik. Obat antiemetik yang sering

diberikan adalah berisi ondansentron dan diterima oleh 11 pasien.

B. Evaluasi Efektivitas Pengobatan Pasien Gangguan Saluran Pencernaan

Periode Juli 2012

Berdasarkan hasil evaluasi efektivitas pengobatan pasien gangguan

saluran pencernaan di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Juli 2012, ditemukan masalah terkait efektivitas obat yang digunakan

tidak sesuai dengan literatur. Masalah tentang efektivitas obat yang ditemukan

paling banyak adalah pada penggunaan antiemetik dan antidiare. Antiemetik yang

Gambar

Tabel I         Kategori dan penyebab umum DTPs ..........................................
Gambar 1       Anatomi Sistem Saluran Pencernaan .......................................
Tabel I. Kategori dan penyebab umum Drug Therapy Problems (Cipolle and Strand, 2004)
Gambar 1. Anatomi Sistem Saluran Pencernaan (Enchanted Learning, 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

antihipertensi, dosis obat, frekuensi dan lama pemberian. 2) Untuk mengetahui kesesuaian gambaran pengobatan hipertensi pada pasien.. rawat inap di Rumah Sakit Umum

Pemilihan Obat untuk Terapi Antibiotik pada Pasien ISPA Jenis Faringitis berdasarkan Guidelines Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes, 2006). Obat

Karakteristik pasien ISPA diidentifikasi dengan mengelompokkan data yang diperoleh berdasarkan jenis kelamin, umur, diagnosis dan lama perawatan. 1.) Distribusi jumlah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat frekuensi dan durasi pemberian pada

Namun, tidak dilakukan uji kuantitatif dan kualitatif pada sampel feses untuk mengetahui apakah pasien mengalami steatorrhea (ekskresi lemak dalam feses

potensial (teoritis) kejadian Drug therapy problems yang mungkin terjadi pada pasien hipertensi primer usia lanjut di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan

Masalah yang dapat dirumuskan mengenai evaluasi drug related problems pada pengobatan pasien hipertensi dengan komplikasi stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti

Kajian penelitian meliputi ada tidaknya kemungkinan interaksi obat yang dapat terjadi akibat penggunaan 2 obat atau lebih dan dosis obat yang digunakan selama