HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DAN SELF
MANAGEMENT PADA INDIVIDU DENGAN DIABETES TIPE 2
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Ni Made Brigitha Aprilia Pamella Dewi 099114005
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
v
!
"#$ #%&
'
$!
('( #" )
*+
' !# + ! ', #- -+ %#',+ *
' ) '
%#'#% '( " "( ) ' % %
*#$.('*
)($(
!
! ', *()
"#$'
-#-
&#$ + ',
vii
HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DAN SELF MANAGEMENT PADA INDIVIDU DENGAN DIABETES TIPE 2 DI INDONESIA
Ni Made Brigitha Aprilia Pamella Dewi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dan self-management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia. Penelitian ini menggunakan 48 individu dengan diabetes tipe 2 (30 perempuan, 18 laki-laki). Instrument penelitian ini menggunakan skala self efficacy dan skala self management. Skala self efficacy terdiri dari 33 item dan skala self management terdiri dari 23 item. Hasil menunjukkan bahwa self efficacy berkorelasi secara positif signifikan pada self
management (r= 0.471, p= 0.001; p<0.01). Subjek dengan self efficacy tinggi memiliki self management yang baik di medication, diet, monitoring, olahraga, kontrol rutin ke dokter, dan
pengambilan keputusan. Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah subjek memiliki self
efficacy yang tinggi sehingga mereka memiliki tingkat self manajemen yang baik dan hanya 5,8% yang
memiliki self efficacy rendah. Tambahan, Usia berkorelasi positif dan signifikan dengan self efficacy (r= 0.307, p= 0.034; p< 0.05). Akan tetapi, usia tidak berkorelasi secara signifikan dengan self
management. Secara umum, subjek memiliki kontrol diabetes; mereka memiliki self efficacy yang
tinggi, dan perilaku self management yang optimal. Oleh karena itu self efficacy dan self management menjadi komponen dasar bagi pasien untuk menjalankan program diabetes.
viii
THE RELATION BETWEEN SELF EFFICACY AND SELF MANAGEMENT IN INDIVIDUALS WITH TYPE 2 DIABETES IN INDONESIA
Ni Made Brigitha Aprilia Pamella Dewi
ABSTRACT
The research aimed for knowing the relation between self efficacy and self management in individuals with type 2 diabetes in Indonesia. This research involved 48 individuals (30 women, 18 men) with type 2 diabetes. The used instrument were self efficacy scale and self management scale. The self efficacy scale consist of 33 items and self management scale consists of 23 items. Result showed that self efficacy was positively correlated with self management (r= 0.471, p= 0.001; p<0.01). Subject with higher self efficacy had better self management in medication, diet, monitoring, exercise, medical appointment, and decision making. The research showed that more than half of subjects had higher self efficacy and theyhad good self management and that only 5.8% had low self efficacy. In addition, age was positively correlated with self efficacy (r= 0.307, p= 0.034; p< 0.05). But, age wasn’t significantly correlated with self management. In general, subjects have diabetes controlled; their self efficacy was high and they had optimal self management behaviors. Therefore, self efficacy and self management for patients are essential components of diabetes programs.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala penyertaan dan pendampingan selama proses pengerjaan skripsi ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat hal-hal yang tidak berkenan. Pada proses penulisan skripsi ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Dosen pembimbing skripsi saya ibu Debri Pristinella, M.Si yang selalu sabar dan memberi arahan selama proses skripsi ini. Terima kasih sekali ibu, yang diajarkan akan selalu saya ingat.
4. Ibu Dr. Tjipto, M.Si Susana selaku dosen pembimbing akademik kelas A yang mendampingi saya selama perkuliahan. Terima kasih karena membuat saya untuk terus berpikir maju ke depan.
5. Ibu Monica EM., M.Psych selaku dosen yang memberikan inspirasi topik dan arahan dalam skripsi saya. Good luck for your study.. GBU ☺
6. Bapak Agung Santoso, M.A selaku dosen yang membantu membangun pondasi skripsi dan tempat saya curhat masalah analisis data.
xi
8. Seluruh staff Fakultas Psikologi: mas Gandung, mbak Nanik, pak Gi, mas muji dan mas Doni. Terima kasih untuk keramahannya. Maaf kalau sering bikin repot ☺.
9. Pak Parjianto personalia RS. Panti Rapih, ibu Lestari personalia St. Elisabet, ibu Endah personalia RS. Panti Nugroho, dr Sarjoko, dan pihak-pihak yang membantu proses pengambilan data penelitian saya.
10. Wakil Rektor III USD, Panitia APP Kevikepan DIY dan gereja St. Maria Assumpta Pakem yang sudah memberi support dan bantuan yang besar.
11. Seluruh staff perpustakaan terkhususnya pak yanto yang telah memberikan banyak bantuan selama saya mengerjakan skripsi.
12. Seluruh subjek penelitian saya yang sudah mau direpotkan dan mendoakan keberhasilan saya. Terus berjuang ya bapak/ibu, kalian dapat memiliki hidup yang berkualitas.
13. Matur suksma Papi dan Mama yang selalu mendoakan, memberikan support,
menunggu dengan sabar sampai skripsi ini selesai. Terima kasih karena memberikan saya kebebasan untuk hidup dan mengajarkan perbedaan. Skripsi ini hadiah kecil dari saya untuk kalian. Thank you for being a wonderful parent.
I love u so much..
14. Kak Tika dan Bella, saudara-saudara ku yang terpisah provinsi dan pulau yang memberikan doa dan dukungan.
xii
16. Dominicus Yusan Tria Putra untuk setiap cinta, kesabaran, penghiburan dan semangat yang diberikan kepada saya. Terima kasih telah menjadi seorang sahabat, kakak, teman berantem, dan harta saya. Mari kita selesaikan pendakian kita hingga puncak.
17. Sahabat yang luar biasa; Tania, Manik, Okvi, Vivin, Fheni, Jeanet, Meri, Adi, Ayu, Gunung, Pujo, Dimas, Dorin, Yoyo, Pungki, Sambat, Anton, OMK UPWW, dan OMK Paroki Pakem. Terima kasih untuk dukungan, bantuan, dan tempat berkeluh kesah. Kita adalah satu keluarga. Teruslah berjuang untuk cita-cita kita.
18. Tim pencari data penelitian: Dorin, mbak Puri, Yogi, Chiputera, Fheni, Angel, Riris, Vivi, Manik, Entong, Okvi, mas Putra, mbak Lina, mbak Siwi, mbak Erlin, mas Yosep, bude Tari, bude Dewi, bu Sri. Terima kasih karena sudah mau direpotkan. Skripsi ini ada berkat bantuan kalian. God Bless..
19. Arthur, Merlin, dan Berlin yang selalu ada dalam sedih, senang, menjaga, mengajarkan untuk sabar, dan bertanggung jawab. Terima kasih karena memilih saya untuk hidup bersama.
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
1. Manfaat Teoritis ... 9
xv
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A. Self Management ... 11
1. Definisi Self Management ... 11
2. Aspek-aspek Self Management Pada Individu Dengan Diabetes Tipe 2 ... 13
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2 ... 17
4. Optimalisasi Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2 (Santrock, 2011) ... 19
B. Self Efficacy ... 21
1. Definisi Self Efficacy ... 21
2. Aspek-aspek Self Efficacy ... 22
3. Sumber Self Efficacy (Sources of Self Efficacy) ... 24
C. Diabetes ... 29
1. Definisi Diabetes ... 29
2. Kriteria Diabetes Tipe 2 ... 31
3. Dampak Diabetes Tipe 2 ... 32
D. Hubungan antara Self Efficacy dan Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2 di Indonesia ... 35
E. Skema Hubungan antara Self Efficacy dan Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2 di Indonesia ... 38
xvi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40
A. Jenis Penelitian ... 40
B. Identifikasi Variabel ... 40
C. Definisi Operasional ... 40
1. Self Management ... 40
2. Self Efficacy ... 41
D. Subjek Penelitian ... 42
E. Metode Sampling ... 43
F. Instrumen Penelitian ... 43
1. Skala Self Management ... 44
2. Skala Self Efficacy ... 46
G. Pengujian Instrumen Penelitian ... 48
H. Kategorisasi ... 49
I. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 49
1. Validitas Skala ... 49
2. Seleksi Item ... 50
3. Reliabilitas ... 54
J. Metode Analisis Data ... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56
xvii
B. Deskripsi Subjek ... 57
1. Jenis Kelamin ... 57
2. Usia ... 57
3. Durasi Diabetes Tipe 2 ... 58
C. Hasil Penelitian ... 59
1. Statistik Data Penelitian ... 59
2. Kategorisasi Subjek Penelitian ... 59
3. Uji Normalitas ... 61
4. Uji Linearitas ... 62
5. Uji Hipotesis ... 62
6. Hasil Tambahan ... 63
D. Pembahasan ... 64
E. Keterbatasan Penelitian ... 69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
A. Kesimpulan ... 70
B. Saran ... 71
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 71
2. Bagi Instansi Kesehatan di Indonesia ... 71
3. Bagi Para Individu dengan Diabetes Tipe 2 ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Skala Self Management ... 45
Tabel 2. Blue Print Skala Self Efficacy ... 47
Tabel 3. Rumus Norma Kategorisasi (Azwar, 2012) ... 49
Tabel 4. Blue Print Skala Self Management setelah Uji Coba ... 51
Tabel 5. Blue Print Skala Self Efficacy setelah Uji Coba ... 53
Tabel 6. Interpretasi Koefisien Korelasi (Sugiyono, 2008) ... 55
Tabel 7. Deskripsi Jenis Kelamin ... 57
Tabel 8. Deskripsi Usia ... 58
Tabel 9. Deskripsi Lama Diabetes ... 58
Tabel 10. Statistika Data Penelitian ... 59
Tabel 11. Kategorisasi Skor Variabel Self efficacy dan Self Management ... 60
Tabel 12. Kategorisasi Data Self Efficacy dan Self Management ... 60
Tabel 13. Uji Normalitas ... 61
Tabel 14. Uji Linearitas ... 62
Tabel 15. Uji Hipotesis ... 63
xix
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1: SKALA UJI COBA ... 80
LAMPIRAN 2: RELIABILITAS SKALA ... 93
LAMPIRAN 3: SKALA PENELITIAN ... 103
LAMPIRAN 4: DESKRIPSI SUBJEK ... 112
LAMPIRAN 5: UJI ASUMSI ... 116
LAMPIRAN 6: UJI HIPOTESIS ... 119
LAMPIRAN 7: HASIL TAMBAHAN ... 120
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi penyebab kematian 80% bagi penduduk di negara-negara barat (Maes, Leventhal, & DeRidder, dalam Macrodimitris & Endler, 2001). Diabetes adalah perubahan sistem kimiawi dalam tubuh yang mengakibatkan kadar gula berlebih di dalam darah (Bilous, 2002). Sebagian besar diabetes dibedakan ke dalam dua kategori umum. Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes mellitus- IDDM) ditandai oleh defiensi absolut insulin akibat kerusakan sel β pankreas (Kummar, Abbas & Fauston, 2005). Hal ini disebabkan oleh kelainan genetik yang dibawa sejak lahir (Pramudiarja, 2012) yang membuat sel-sel di dalam tubuh tidak dapat memproduksi insulin sehingga penderita harus bergantung terhadap suntikan insulin selama hidupnya (Johnson, 1998). Pada diabetes tipe 2
(non-insulin-dependent diabetes mellitus –NIDDM) disebabkan oleh kombinasi resisten
Individu dengan diabetes cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa pada tahun 2000 jumlah individu dengan diabetes di Indonesia sebesar 8, 4 juta (Pdpersi, 2011) dari 206.264.595 juta penduduk (BPS, 2013). Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat adanya kenaikan jumlah individu dengan diabetes menjadi 13, 7 juta orang pada tahun 2003 (Pdpersi, 2011) dari 213.550.500 juta penduduk (DataStatistik-Indonesia, 2013). Berdasarkan pola pertambahan penduduk tersebut diperkirakan pada tahun 2030 akan ada kenaikan individu dengan diabetes sebesar 20,1 juta dengan tingkat prevalensi 14,7 % untuk daerah urban dan 7,2 % di rural (Pdpersi, 2011). Hal ini berarti bahwa adanya kenaikan individu dengan diabetes yang lebih tinggi sebesar 14,7% di daerah perkotaan dibandingkan di daerah pedesaan yang hanya mengalami kenaikan sebesar 7,2%. Saat ini diperkirakan jumlah individu dengan diabetes di dunia mencapai angka 200 juta jiwa dan diprediksikan bahwa pada tahun 2020 individu dengan diabetes akan bertambah menjadi 350 juta jiwa (RiauPosOnline, 2012).
sampai 90% dibandingkan individu dengan diabetes tipe 1 yang berkisar 10% (Kummar et al., 2005).
Adanya data yang menunjukkan tingginya angka individu dengan diabetes membuat pengobatan diabetes menjadi intensif dan berkelanjutan. Tritmen diabetes yang secara umum dilakukan pada individu dengan diabetes antara lain pengobatan medis, monitoring glukosa darah, terapi diet, dan olahraga (Gonder-Frederick, Cox, & Ritterband, 2002). Selain itu seleksi makanan serta pengaturan pola makan dapat diterapkan dalam perawatan diabetes (Savoca & Miller, 2001)
Pengobatan dan tritmen yang dilakukan oleh individu dengan diabetes dapat meminimalisir resiko terjadinya komplikasi kardiovaskular, mengurangi resiko hipertensi, hiperlipidemi, dan mengontrol gula darah. (Gonder-Frederick et al., 2002). Salah satu cara, yaitu ketaatan pengobatan dan kehadiran waktu kontrol dapat memberikan intervensi pada tekanan darah dan kolesterol (Hills-Briggs, Gary, Bone, Hill, Levine, & Brancati, 2005). Hasil tersebut dapat tercapai ketika penderita diabetes melaksanakan tritmen secara intensif sehingga memberikan dampak pada kualitas hidup individu dengan diabetes (Gonder-Frederick et al., 2002). Pelaksanaan tritmen secara intensif pada individu dengan diabetes sering dikenal dengan self management.
dan kepercayaan. Selain itu terdapat juga hambatan yang berupa pengetahuan, budaya, sumber penghasilan, co-morbidities, dan dukungan sosial dalam pelaksanaan manajemen diabetes (Nam, Chesla, Stotts, Kroon, & Janson, 2011).
Pada penelitian mengenai faktor penghambat dari pasien yang berupa perilaku dan kepercayaan menjelaskan bahwa sekitar 33 % individu dengan diabetes memiliki keengganan dalam melakukan terapi insulin (Polonsky, Fisher, Dowe & Edelman dalam Nam et al., 2011). Hal ini disebabkan oleh sikap dan keyakinan individu yang menganggap bahwa terapi insulin merupakan kegagalan mereka dalam mengelola penyakit diabetes (Davis & Renda dalam Nam et al., 2011). Selain itu, individu dengan diabetes ini meyakini bahwa terapi insulin akan memperburuk penyakit mereka dan menghasilkan komplikasi yang lebih parah (Davis & Renda dalam Nam et al., 2011). Kesalahpahaman inilah yang pada akhirnya mempengaruhi pasien dalam melakukan self-management diabetes tipe 2.
Pada faktor yang berasal dari penyedia layanan kesehatan, faktor penghambat berupa kepercayaan, perilaku, pengetahuan, interaksi dan komunikasi antara pasien dan penyedia layanan serta sistem kesehatan (Nam, et al., 2011). Salah satu penelitian menunjukkan bahwa perilaku empati yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan dapat membentuk perilaku
self-management (Peyrot, Burns, Daviesc, Forbes, Hermannse, Holtf, Kalrag,
kurang jelas dan intesif (Schetman et al., dalam Hill-Briggs et al., 2005). Padahal untuk menjalani self-management diperlukan pengertian dan penjelasan dalam pelaksanaannya.
Secara psikologis, Self management berperan sebagai pycho-behavioral yang mempengaruhi hasil kesehatan yang dapat menentukan perkembangan pengobatan dan penyakit (Cobden, Niessen, Barr, Rutten, & Redekop, 2010).
Self management juga berperan dalam meningkatkan kepuasan pelaksanaan
tritment dan mengurangi gejala depresi sehingga individu memiliki kesejahteraan (Cobden et al., 2010). Self management dibuat agar individu terfasilitasi secara pengetahuan, keterampilan, dan dalam pelaksanaan perawatan diri (Funnel, Brown, Childs, Hosey, Jensen, Maryniuk, Peyrot, Piette, Reader, Simineiro, Weinger, & Weiss, 2008)
mengurangi perilaku beresiko meskipun mereka mengetahui resikonya (Nam et al., 2011)
Tingginya angka individu dengan diabetes terutama di Indonesia serta kurangnya self management diabetes memberikan dampak permasalahan pada beberapa area seperti masalah kesehatan fisik dan psikologis. Dari segi dampak kesehatan fisik, individu dengan diabetes rentan terkena penyakit makrovaskular (komplikasi pada pembuluh darah arteri yang lebih besar), mikrovaskular (komplikasi pada pembuluh darah kecil), retinopati (kerusakan retina), nefropati diabetes (penyakit ginjal progresif), kebutaan dan penyakit ginjal stadium akhir (Kummar et al., 2005). Diabetes juga menjadi faktor munculnya sakit jantung, stroke, hipertensi, dan kerusakan pada sistem saraf (Cahyafitri, 2010).
menyesuaikan diri terhadap penyakitnya sehingga mengalami distress dan rendahnya self-efficacy setelah 2-3 tahun terdiagnosis (Thoolen, De Ridder, Benshing, Gorter, & Rutten, 2006).
Diabetes merupakan penyakit seumur hidup sehingga membutuhkan proses perawatan dan pengobatan yang panjang dan lama. Self-management merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan dalam memunculkan perilaku gaya hidup sehat yang dapat membantu meminimalkan atau mencegah komplikasi akut dan efek jangka panjang selanjutnya pada individu dengan diabetes (Sousa, Zauszniewski, Musil Price Lea & Davis dalam Al-Khawaldeh, Al-Hassan, & Froelicher, 2011). Adanya keyakinan individu dalam melakukan perilaku
self-management bervariasi sesuai dengan perilaku yang dibutuhkan oleh individu
(Al-Khawaldeh et al., 2011). Salah satu contoh, apabila individu ingin mendapatkan tingkat gula darah yang stabil maka individu akan melakukan
management terhadap asupan makanan yang dikonsumsi. Perilaku
self-management yang secara umum biasa dilakukan oleh penderita diabetes yaitu
obat, diet, monitoring glukosa, olahraga, kontrol dokter, dan pengambilan keputusan sehari-hari (Gonder-Frederick et al., 2002).
tindakan yang diperlukan untuk pencapaian tugas tertentu (Bandura, 1986).
Self-efficacy bertujuan agar seorang individu percaya terhadap kemampuan diri
sehingga dapat melaksanakan tugas yang diberikan secara kompeten dan efektif. Pada penelitian ini diharapkan self-efficacy yang dimiliki individu dengan diabetes membantu dalam pembentukan perilaku self-management sehingga dapat mengurangi dampak psikologis seperti depresi yang akhirnya mengurang resiko kesehatan dan komplikasi akut.
Pada penelitian ini, peneliti juga meneliti keseluruhan aspek self
management pada individu dengan diabetes 2. Hal ini dikarenakan pada
penelitian sebelumnya terbatas hanya meneliti hubungan self-efficacy dengan ketaatan perilaku self management berupa diet (Senécal, Nouwen & White, 2000) dan kontrol metabolik (Brown et al.; Stenstrom et al.; Surgenor et al. dalam O’Hea, Moon, Karen, Grothe, Boudereaux, Bodenlos, Wallston, & Brantley, 2009). Peneliti sebelumnya meneliti aspek diet karena aspek tersebut dianggap sebagai pusat dari self management pada diabetes (Senécal et al., 2000). Selain itu, peneliti sebelumnya meneliti aspek kontrol metabolik karena merupakan aspek self management secara klinis (O’Hea et al., 2009). Merujuk pada penelitian sebelumnya maka peneliti ingin menambahkan seluruh perilaku
self management yang wajib dilakukan oleh penderita diabetes yaitu obat, diet,
antara self-efficacy dan self-management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia.
Penelitian ini memiliki keunikan yaitu menggunakan variabel self-efficacy dalam dunia kesehatan yang biasa digunakan dalam dunia pendidikan. Penelitian ini juga berfokus pada individu dengan diabetes tipe 2 karena banyak penelitian yang telah meneliti diabetes namun tidak dikelompokkan secara spesifik berdasarkan tipe diabetes. Selain itu, tingkat jumlah individu dengan diabetes tipe 2 di indonesia yang lebih banyak dibandingkan penderita diabetes tipe 1. Individu dengan diabetes tipe 2 memiliki sakit yang lebih dapat dikontrol dibandingkan diabetes tipe 1 maka penelitian ini berfokus pada penderita diabetes tipe 2.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan self efficacy dan self management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self efficacy dan self
management pada individu dengan diabetes tipe 2 di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Self Management
1. Definisi Self Management
Self management merupakan kemampuan yang dapat digunakan untuk
membuat diri lebih terorganisir, produktif, memiliki kepuasan, dan mampu merealisasikan potensi yang dimiliki (Marshal & McHardy, 1999). Self
management juga merupakan proses-proses internal pengubahan cara
berpikir yang bertujuan untuk mengarahkan pada satu tujuan melalui penggunaan keterampilan yang dimiliki sehingga mempengaruhi perilaku atau perhatian individu (Karely dalam Creer & Holroyd, 1997). Dapat disimpulkan bahwa kemampuan self management merupakan kunci untuk menjaga fungsi tubuh dan meningkatkan hasil yang dituju oleh individu dengan diabetes (Nuovo, 2007). Self management dapat diterapkan pada berbagai bidang. Salah satu bidang yang menerapkan self management yaitu bidang kesehatan. Hal ini dikarenakan self management merupakan komponen inti pada seluruh penyakit kronis (Levich, 2007) yang digunakan sebagai strategi penanganan melakukan manajemen diri sehingga memberi hasil yang lebih baik.
penyakit diabetes untuk meningkatkan kesehatan (Funell, Brown, Childs, Haas, Hosey, Jensen, Maryniuk, Peyrot, Piete, Reader, Siminerio, Katieweinger, Weiss, 2008). Selain itu, self-management juga merupakan dasar penting bagi individu dengan diabetes agar dapat menerapkan pengambilan keputusan yang tepat dalam pengelolaan diabetes (Funnell & Anderson, 2004). Mamerow (2008) juga menjelaskan bahwa Self
management merupakan perubahan gaya hidup positif yang dapat
menghasilkan peningkatan kontrol glikemik dan mengurangi komplikasi diabetes. Self management yang dilakukan tidak hanya berupa ketaatan pada tritmen harian tetapi juga pada manajemen psikologi dan sosial (Hummel, 2013)
Self-management dibuat untuk membantu individu dengan diabetes
dalam memberi fasilitas pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri (Funell et al., 2008). Perilaku self management memberi pengaruh bagi individu dengan diabetes terhadap cara pengambilan keputusan, melakukan perawatan diri, memecahkan masalah terkait dengan penyakitnya serta dapat melakukan sinergi pengobatan dengan pelayan kesehatan (Funell et al., 2008). Pada akhirnya, self management dapat meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup individu dengan diabetes (Funell et al., 2008).
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan self
positif sehingga meningkatkan kesehatan dan mengurangi komplikasi bagi individu dengan diabetes.
2. Aspek – aspek Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2
Aspek-aspek self management individu dengan diabetes tipe 2 antara lain:
a. Medication
Secara klinis, penanganan diabetes yang umum dilakukan melalui pengobatan (medication). Pengobatan merupakan pemberian obat pengendali gula darah. Jenis obat yang diberikan kepada individu dengan diabetes, yaitu berupa tablet dan insulin (suntikan) (Cahyono, 2008). Setiap obat yang diberikan kepada individu dengan diabetes harus dapat dikenali dosis, dan aturan minum (Cahyono, 2008). Pada pemberian sutikan insulin, individu dengan diabetes diberikan keterampilan mengenai cara penyuntikan, pengaturan dosis insulin dan pemeliharaan alat. Penerapan manajemen pemberian obat secara teratur bertujuan untuk menjaga kenormalan tingkat glukosa dalam darah (ADA, 2013).
b. Diet
diet yang telah ditetapkan. Menurut Cahyono (2008) makanan bagi individu dengan diabetes harus mengandung unsur lengkap seperti kabrohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air yang cukup. Dalam konsumsi makanan, individu dengan diabetes harus terlebih dahulu mengkonsultasikan kepada ahli gizi. Diet bertujuan untuk menormalkan tingkat glukosa dan lipid (lemak) dalam darah. Diet juga dapat menjaga berat badan ideal (Brashers, 2003) dan menyeimbangkan asupan kalori individu dengan diabetes. Para ahli dan ADA (American
Diabetes Association) merekomendasikan asupan kalori yang
dikonsumsi sebanyak 50% – 60% berasal dari karbohidrat, 12%- 20% berasal dari protein, dan tidak lebih dari 30% berasal dari lemak (Health & Administration Development Group, 1999).
c. Monitoring atau Tes Glikemia
Monitoring glukosa darah merupakan salah satu strategi para
individu dengan diabetes untuk melihat kondisi glukosa darah dalam tubuh (ADA, 2013). Dalam monitoring glukosa darah, individu melakukan tes glikemia. Tes glikemia merupakan pengukuran kadar glukosa dalam darah atau urin (McDowell & Brown, 2007). Tes glikemia membantu pemahaman individu dengan diabetes dalam mengambil keputusan. Monitoring glukosa darah dan HbA1c (glycated
hemoglobin) dilakukan secara rutin setiap tiga bulan atau dua kali dalam
d. Olahraga
Olahraga merupakan salah satu tritmen penting dalam pelaksanaan
self management diabetes. Perilaku olahraga yang dikombinasikan diet
(Health & Administration Development Group, 1999) membantu menurunkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan pembakaran glukosa dan peningkatan kadar insulin (Cahyono, 2008). Salah satu jenis olahraga yang dapat dilakukan oleh individu dengan diabetes adalah berjalan (Regina, tanpa tahun). Berjalan merupakan latihan yang bagus, terutama untuk orang yang jarang berolahraga (Health & Administration Development Group, 1999). Seseorang dapat mulai berjalan 15 – 20 menit dalam kurun waktu 3 atau 4 kali seminggu, kemudian secara bertahap meningkatkan kecepatan atau jarak berjalan (Health & Administration Development Group, 1999). Olahraga yang dilakukan oleh individu dengan diabetes berdasarkan pada pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter (Bararah, 2012).
e. Kontrol Rutin ke Dokter
informasi akan kondisi diabetesnya. Individu yang sering melakukan kontrol ke dokter akan mendapatkan informasi mengenai kadar gula darah, sehingga semakin baik pula pengawasan terhadap diabetesnya (Purtierplacenta, 2011).
f. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan dalam dunia kesehatan diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki untuk membuat suatu keputusan yang masuk akal tentang cara menangani suatu penyakit, cedera, dan rasa sakit (Devettere, 2010). Pada pengambilan suatu keputusan, individu dengan diabetes harus terlebih dahulu memahami kondisi penyakitnya, mampu mengevaluasi dampak keputusan yang diambil berdampak baik, serta mampu memproses dampak yang dapat terjadi pada dirinya (Devettere, 2010). Pengambilan keputusan membantu memahami, mengevaluasi, dan memproses tentang diri dan kondisi sehingga individu dengan diabetes dapat mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Management pada Individu
dengan Diabetes Tipe 2
a. Edukasi
Penyakit diabetes merupakan penyakit yang tidak bisa sembuh. Penyakit diabetes memerlukan penanganan yang intensif agar terhindar dari komplikasi. Edukasi diabetes berfokus dalam meningkatkan kepercayaan diri individu dengan diabetes terkait dalam keefektivan pelaksanaan self-management (Aljasem et al., 2001; William & Bond, 2010). Edukasi bertujuan untuk menyampaikan cara melakukan manajemen diri, sehingga individu dapat menyusun program yang efektif terkait dengan kesehatannya (Aljasem et al., 2001). Pengetahuan tentang diabetes yang didapat mempermudah pekerjaan yang dilakukan serta memberikan keuntungan bagi kesehatan individu dengan diabetes (Aljasem et al., 2001). Informasi tentang diabetes dapat diperoleh dari petugas kesehatan, buku-buku kesehatan popular, seminar, atau media informasi lainnya (Cahyono, 2008).
b. Sosial dan Lingkungan
yang mendapatkan pertolongan dari anaknya memiliki tingkat dukungan emosional dan coping yang lebih tinggi bagi penyakitnya dibandingkan mereka yang tidak menerima pertolongan (Kanbara, Taniguchi, Sakaue, Wanga, Takaki, Yajima, Naruse, Kojima, Sauriasari, Ogino, 2008). Hal ini dapat dikaitkan dengan pola attachment yang terdapat dalam keluarga. Individu dengan diabetes dengan exhibited dismissing attachment memiliki tingkat ketaatan pengobatan yang rendah jika dibandingkan individu dengan pola kelekatan preoccupied atau secure attachment (Schafer, McCaul, Glasgow, 1986). Selain itu, individu dengan diabetes yang kurang mendapat dukungan dari keluarga biasanya akan memiliki ketidaktaatan dalam pengobatan harian maupun kontrol terhadap penyakitnya (Paul, Wayne, Joan, Edward, 2001; William & Bond, 2010). c. Sistem Pelayanan Kesehatan
putih (Schetman et al. dalam Hill-Briggs et al., 2005) sehingga menyebabkan kurangnya informasi dan pemahaman dalam pengobatan. d. Penyakit dan Obat
Diabetes merupakan jenis penyakit yang memiliki penanganan yang komplek. Penanganan dilakukan tidak hanya melalui obat tetapi juga mengubah keseluruhan gaya hidup penderitanya. Pada umumnya individu dengan diabetes lebih mudah mengikuti anjuran minum obat (Gonder-Frederick et al., 2002) daripada melakukan tritmen diabetes yang lain seperti merubah kebiasaan makan dan aktivitas fisik (Gonder- Frederick et al., 2002).
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi self management pada individu dengan diabetes tipe 2 meliputi edukasi, sosial, sistem pelayanan kesehatan, penyakit dan obat.
4. Optimalisasi Self Management pada Individu dengan Diabetes Tipe 2
(Santrock, 2011)
a. Seleksi (selection)
Seleksi merupakan proses pemilihan agar memiliki dampak atau respon yang baik dalam pelaksanaan tujuan (APA, 2007). Pada tahapan seleksi individu berfokus pada tujuan yang penting di dalam hidup, sehingga individu membuat komitmen terhadap pencapaian tugas-tugas. Dalam hal ini fokus tujuan individu adalah pelaksanaan self
management diabetes.
b. Optimalisasi (optimization)
Optimalisasi merupakan usaha individu dalam mempertahankan performa di beberapa bidang, melalui praktik terus menerus dan penggunaan teknologi baru. Individu diabetes tipe 2 melakukan hal-hal yang telah direncanakan dalam self management. Pada proses optimalisasi, individu meluangkan waktu untuk memperoleh informasi tentang self management, sehingga individu dapat menunjukkan peforma yang baik di dalam keseharian pelaksanaan self management pada diabetes tipe 2.
c. Kompensasi (compensation)
dan mengingat cara-cara lain untuk memenuhi pelaksanaan self
management.
B. Self Efficacy
1. Definisi Self Efficacy
Self efficacy merupakan penilaian akan kemampuan diri seseorang dalam
mengorganisasikan dan melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan (Bandura, 1986, 1997; Taylor, Peplau, & Sears, 2009; Schunk, 2012). Self efficacy juga diyakini sebagai keyakinan akan kemampuan diri terhadap kompetensi dan efektivitas di bidang tertentu (Woolfolk, 2009) yang dapat digunakan untuk mengubah kondisi yang ada di lingkungan (Feist & Feist, 2008) atau kondisi di masa mendatang (Pervin, Cervone, & John, 2010).
Pendapat lain mengatakan bahwa self efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuan dalam melakukan tindakan berdasarkan pada keterampilan, dan kecakapannya (Schunk 2012). Self efficacy juga didefinisikan sebagai pandangan akan kemampuan dalam melakukan suatu hal yang memuaskan dalam situasi tertentu berdasarkan kondisi lingkungan dan kondisi kognitif. (Alwisol, 2009).
Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
self efficacy dalam penelitian ini adalah penilaian terhadap kemampuan diri
2. Aspek-aspek Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) self efficacy terdiri dari tiga aspek yaitu: a. Tingkatan (level)
Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap kemampuan efikasi dirinya. Self efficacy dipengaruh oleh tingkatan tuntutan tugas yang terdiri atas tugas sederhana, tugas sulit atau tuntutan kinerja yang berat pada suatu bidang. Pandangan terhadap kemampuan melaksanakan tugas dapat diukur melalui kinerja yang sukses dalam melaksanakan tuntutan tugas. Jika tidak ada hambatan dalam melaksanakan tugas maka aktivitas menjadi mudah untuk dilakukan. Hal ini berarti tugas yang mudah membuat orang memiliki self efficacy yang tinggi.
b. Keadaan Umum (Generality)
Individu akan menilai kemampuan mereka lebih efektif dalam pada keadaan umum atau pada keadaan khusus saja. Individu yang memiliki
self efficacy tinggi di bidang tertentu merasa tidak takut gagal dan mampu
memunculkan strategi-strategi baru dalam pelaksanaan tugas (Woolfolk, 2009). Generality dapat mencangkup tingkat kesamaan kegiatan, modal akan kemampuan (perilaku, kognitif, afektif), kualitas lingkungan, dan karakteristik orang yang dikenai perilaku tersebut. Penilaian akan kemampuan tersebut juga bergantung pada domain aktivitas dan konteks situasional serta keyakinan masyarakat terhadap keberhasilan mereka. Artinya jika individu memiliki self efficacy yang tinggi maka dalam keadaan apa pun individu tersebut akan tetap merasa mampu. Jika Individu memiliki self efficacy yang rendah hanya akan mampu melakukan tugas yang spesifik.
c. Kekuatan (Strength)
Pada aspek strength berhubungan terhadap kekuatan individu terhadap keyakinannya dalam pelaksanaan tugas. Strenght dari self
efficacy yang rendah akan mudah hilang oleh pengalaman yang tidak
Kekuatan dari self efficacy yang besar dan kuat memungkinkan bahwa aktivitas yang dipilih akan berhasil dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa aspek-aspek dalam self efficacy meliputi level (Tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan umum dari tugas), dan strength (keyakinan akan kemampuan dalam pelaksanaan tugas).
3. Sumber Self Efficacy (Sources of Self Efficacy)
Ada beberapa faktor yang menjadi sumber dari self efficacy antara lain (Bandura, 1986; 1997):
a. Enactive Mastery Experiences
Enactive mastery experiences merupakan pengalaman langsung
tentang kesuksesan atau kegagalan yang memberikan pengaruh pada self
efficacy (Alwisol, 2009). Keberhasilan yang diraih oleh individu dapat
dalam menghadapi kesulitan dan tidak menyerah jika mengalami kemunduran. Hal ini menyebabkan individu memiliki self efficacy tinggi serta merasa lebih mampu.
b. Vicarious Experiences
Vicarious experience merupakan sikap seorang individu dalam
mengidentifikasi dirinya dengan pengalaman orang lain sehingga memberikan pengaruh pada self efficacy (Woolkfol, 2009). Vicarious
experience menjadi sumber informasi mengenai kemampuan seseorang.
Penilaian akan keberhasilan sebagian dipengaruhi oleh vicarious
experience melalui pencapaian dari pengalaman orang lain yang ditiru.
Pengalaman orang lain berfungsi sebagai alat yang efektif dalam menciptakan rasa keberhasilan pribadi. Efficacy individu akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efficacy akan menurun jika mengamati orang dengan kemampuan yang sama gagal (Alwisol, 2009). Salah satu contoh adalah seorang siswa yang melihat model dalam bekerja. Ketika model bekerja dengan baik maka efficacy siswa menjadi meningkat sedangkan jika model bekerja dengan buruk maka ekspektasi efficacy siswa menjadi menurun (Woolfolk, 2009).
Vicarious experience memiliki dua bentuk dalam pengamatan model yaitu live modeling dan symbolic modelling. Live modeling merupakan pengamatan individu terhadap model yang nyata (Alwisol, 2009).
simbolik seperti tokoh film, komik, atau cerita (Alwisol, 2009). Vicarious
experience tidak memiliki pengaruh yang besar ketika model yang
diamati memiliki kemampuan yang berbeda dengan individu pengamat (Alwisol, 2009). Vicarious experience merupakan pengalaman yang lebih lemah dari pada pengalaman langsung. Akan tetapi vicarious
experience dapat dijadikan sebagai pengganti dari pengalaman langsung
yang sifatnya meningkatkan atau menetralkan pengalaman langsung tersebut.
c. Verbal Persuasion (Persuasi Verbal)
Verbal persuasion merupakan umpan balik yang diberikan kepada
individu atas kinerjanya (Woolfolk, 2009). Verbal persuasion terbagi menjadi empat jenis yaitu sugestion, exhortation, self-instruction, dan
interpretive treatment (Alwisol, 2009). Sugestion merupakan kata-kata
yang didasari oleh kepercayaan individu yang dapat mempengaruhi.
Exhortation merupakan kata-kata nasihat atau peringatan yang sifatnya
mendesak/ memaksa. Self-instruction merupakan kata-kata persuasif yang memerintah diri sendiri. Interpretive treatment merupakan kata-kata yang mengubah atribusi atau sebagai penanggung jawab suatu kejadian emosional.
Verbal persuasion merupakan sarana yang dapat memperkuat
keberhasilan ditengah kesulitan maka individu juga akan lebih mudah menjaga sense of efficacy yang dimiliki. Verbal persuasion memiliki keterbatasan dimana tidak dapat bertahan lama dalam peningkatan self
efficacy. Akan tetapi, verbal persuasion dapat mendorong individu ke
arah yang positif jika masih dalam batas-batas yang realistis. Jika individu dipersuasi untuk meningkatkan kepercayaan dirinya secara tidak realistis hal ini akan menyebabkan kegagalan yang dapat merusak kepercayaan terhadap kemampuan indvidu tersebut. Dicontohkan bahwa individu yang dipersuasi bahwa memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas akan menunjukkan usaha yang lebih besar daripada individu yang dipersuasi oleh rasa keraguan dan kekurangan dalam diri ketika adanya kesulitan. Verbal persuasion memiliki dampak positif untuk meningkatkan self efficacy sehingga individu menjadi lebih percaya bahwa mereka memiliki kemampuan.
d. Psychological and Affective States (Keadaan Psikologis dan Emosional)
Psychological and Affective states merupakan interpretasi keadaan
performansi yang berdampak juga pada penurunan self efficacy (Feist & Feist, 2008). Individu yang memiliki perasaan cemas dan khawatir dalam pelaksanaan tugas akan menurunkan self efficacy sedangkan perasaan bergairah dapat meningkatkan self efficacy (Bandura; Pintrich & Schunk dalam Woolfolk, 2009).
Dalam melakukan penilaian akan kemampuan, individu mengandalkan pada informasi somatik (kondisi tubuh) yang disampaikan oleh keadaan psikologis dan emosional (Bandura, 1986; 1997). Indikator somatik dalam efficacy personal berhubungan dengan bidang-bidang seperti prestasi, fungsi kesehatan, dan mengatasai sumber stres. Terdapat empat cara utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan self
efficacy, yaitu meningkatkan kemampuan fisik, mengurangi tingkatan
stres, emosi negatif, dan manafsirkan secara tepat kondisi tubuh (Bandura, 1986; 1997).
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka sumber dalam self efficacy meliputi enactive mastery experiences (pengalaman langsung), vicarious
experience (pengalaman orang lain), verbal persuasion (persuasi verbal), dan
C. Diabetes
1. Definisi Diabetes
Diabetes merupakan kumpulan kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin (Ganong, 1995). Artinya suplai insulin di dalam tubuh berkurang atau tidak cukup efektif sehingga gula darah naik lebih lamban (Bilous, 2002). Diabetes juga merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan gambaran umum hiperglikemia (Kummar dkk, 2005). Artinya diabetes merupakan penyakit yang merusak sistem metabolisme tubuh sehingga gula darah menjadi tinggi. Berdasarkan pendapat para ahli maka diabetes didefinisikan sebagai ganguan hormon insulin yang mengatur kadar gula darah dalam tubuh (Cahyono, 2008).
Pada umumnya, diabetes dibedakan ke dalam dua kategori. Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes mellitus- IDDM) yang merupakan defisiensi absolute insulin akibat kerusakan sel β pankreas (Kummar et al., 2005) yang disebabkan oleh proses imunologis (anti bodi yang menyerang pankreas tubuh) atau dikarenakan infeksi virus (Cahyono, 2008).
sehat (Bararah, 2012). Diabetes tipe 2 juga dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadi keletihan pankreas dan adanya resitensi insulin di dalam tubuh (Cahyono, 2008) yang disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat.
Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa diabetes merupakan penyakit yang disebabkan oleh defisiensi insulin yang menyebabkan insulin tidak dapat berfungsi secara efektif di dalam tubuh. Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian secara khusus terhadap diabetes tipe 2 yaitu kondisi resistensi insulin di dalam tubuh yang menyebabkan berkurangnya jumlah insulin di dalam tubuh sehingga gula darah naik secara lamban.
(Macrodimitris & Endler, 2001). Diabetes tipe 2 juga merupakan penyakit yang terkontrol sehingga lebih fokus dalam pengukurannya.
2. Kriteria Diabetes Tipe 2
Diabetes tipe 2 merupakan kondisi resistensi insulin di dalam tubuh sehingga gula darah naik secara perlahan. Individu dengan diabetes pada umumnya akan memiliki kritetria sebagai berikut:
a. Kriteria Fisik
1) Merasa lelah dan mengalami penurunan berat badan atau obesitas tanpa penyebab yang jelas (Kummar et al., 2005).
2) Sulit terjadi penggunaan gula darah pada tubuh (Misnadiarly, 2006).
3) Pengobatan tidak harus dengan insulin (Misnadiarly, 2006). 4) Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun (Misnadiarly, 2006).
5) Mudah kehilangan tenaga dan merasa tidak sehat (Sustrani, Alam, & Hadibroto, 2006)
6) Sering buang air kecil (Sustrani et al., 2006)
7) Air seni memiliki rasa seperti kecap manis (Ganong, 1995) b. Kriteria Klinis (Brashers, 2003)
1) Menurut The expert Committee on Diagnosis an Classification of
− Glukosa plasma puasa (FPG) ≥ 7mmol/L (126mg/ dL) yang merupakan pengukuran tingkat glukosa dalam darah yang dilakukan ketika menjalani puasa.
− Konsentrasi glukosa plasma sewaktu ≥ 11,1 mmol/L (200mg/ dl) yang merupakan pengukuran tingkat glukosa dalam darah yang dapat dilakukan kapan saja tanpa memperhitungkan waktu makan.
− Kadar glukosa plasma 2 jam ≥ 11.1 mmol/L selama uji toleransi glukosa oral (OGTT) yang merupakan pengukuran tingkat glukosa dalam darah yang dilakukan dalam waktu dua jam setelah makan.
2) Kadar tingkatan hemoglobin yang mengandung glukosa(gula) berada diatas 7%
3) Kadar c-Peptida (fragmen tidak aktif yang terlepas dari proinsulin) normal atau meningkat.
3. Dampak Diabetes Tipe 2
a. Dampak Kesehatan Fisik (Misnadiarly, 2006; Sustrani et al., 2006)
1) Kehilangan kesadaran yang disebabkan oleh banyaknya kadar gula darah (hiperglikemia) atau sedikitnya kadar gula darah (hipoglikemia) dalam tubuh.
2) Penderita dapat mengalami tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan kerusakan pada organ ginjal.
3) Adanya ganguan penglihatan seperti katarak sampai terjadi kebutaan.
4) Adanya infeksi kulit yang berat sehingga harus diamputasi agar tidak menjalar ke jaringan yang lain.
5) Adanya penurunan kemampuan indra terutama pada indra mata dan telinga
6) Adanya kerusakan organ-organ tubuh seperti lambung, jantung, paru-paru dan kandung kemih
7) Penurunan kemampuan seksual terutama pada pria. b. Dampak Psikologis
1) Depresi (Anderson et al., 2001)
diabetes melakukan perubahan gaya hidup dan melaksanakan berbagai tritmen yang kompleks (Lerman, 2005). Kondisi inilah yang menyebabkan penderita diabetes menghadapi situasi fisik dan emosi yang penuh stress (Kanner et al., 2003).
Penderita diabetes tipe 2 yang mengalami depresi secara signifikan mengalami perubahan suasana hati dan disfungsi kognitif (Watari, Letamendi, Elderkin-Thompson, Haroon, Miller, Darwin, & Kumar, 2006). Disfungsi kognitif yang dialami penderita diabetes yaitu lambat dalam memproses informasi dan memiliki executive
functioning (perencanaan, pembuatan keputusan, pelaksanaan tugas)
yang rendah (Watari et al., 2006). 2) Ketaatan Perawatan Diri yang Rendah
D. Hubungan antara Self Efficacy dan Self Management pada Individu dengan
Diabetes Tipe 2 di Indonesia
Self efficacy merupakan penilaian akan kemampuan diri seseorang dalam
mengorganisasikan dan melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan (Bandura, 1986, 1997; Taylor et al., 2009; Schunk, 2012). Selain itu, self efficacy juga diyakini sebagai keyakinan akan kemampuan diri terhadap kompetensi dan efektivitas di bidang tertentu (Woolfolk, 2009) yang dapat digunakan untuk mengubah kondisi yang ada di lingkungan (Feist & Feist, 2008) atau kondisi di masa mendatang (Pervin et al., 2010). Self efficacy yang dimiliki oleh setiap individu berbeda satu sama lain. Berdasarkan keyakinan mereka atas tingkat kesulitan tugas yang dihadapi, keadaan umum dari tugas, dan keyakinan akan kemampuan dalam pelaksanaan tugas (Bandura, 1986; 1997).
Self efficacy berdasarkan teori kognitif sosial menjelaskan interaksi antara perilaku, diri, dan faktor lingkungan bagi kesehatan dan penyakit kronis (Sarkar, Fisher, Schillinger, 2006). Individu dengan diabetes tipe 2 dalam pelaksanaan
self management memerlukan perubahan perilaku, diri, dan lingkungan dalam
aktivitas sehari-hari (Sarkar et al., 2006). Konsep self efficacy menjadi relevan untuk meningkatkan self management. Self efficacy merupakan faktor kunci dalam perubahan perilaku karena memberikan pengaruh melalui proses kognitif, motivasional, afektif, dan pengambilan keputusan (Schunk, 2012). Teori self
efficacy mengatakan bahwa keyakinan individu akan kemampuan diri akan
diabetes, self efficacy merupakan keyakinan akan kemampuan diri, sehingga individu dengan diabetes menjadi percaya diri melakukan perilaku self
management (Sarkar et al., 2006). Penelitian di Jordania menunjukan bahwa
individu yang memiliki self efficacy tinggi juga memiliki perilaku self
management yang baik dalam diet, olahraga, dan tes glikemia (Al-Khawaldeh et
al., 2012). Self efficacy juga dapat memberikan pengaruh pada perilaku kesehatan (Schunk, 2012) sehingga individu akan melakukan self management bagi kesehatan dan kesejahteraannya (Bandura dalam Schunk, 2012).
Individu dengan diabetes tipe 2 yang memiliki self efficacy tinggi akan berpikir positif, dapat memotivasi diri ketika menghadapi kesulitan, dapat mengendalikan emosi ketika dalam keadaan yang penuh tekanan, serta dapat membuat keputusan di saat kritis (Benight & Bandura dalam Schunk, 2012). Di sisi lain, self efficacy yang tinggi membuat individu dapat menjalankan perilaku
self management dengan taat (Bandura, 1987). Akan tetapi, individu yang
memiliki tingkat self efficacy yang rendah akan memiliki perilaku yang kurang berusaha untuk mencapai keberhasilan (Bandura, 1987). Pada individu dengan diabetes tipe 2 terlihat bahwa individu dengan self efficacy rendah memiliki kontrol yang rendah dalam monitoring gula darah (O’Hea et al., 2008). Di samping itu, individu menjadi rentan mengalami depresi (Kanner et al., 2003; Thoolen et al., 2006)
Pada individu dengan diabetes tipe 2 perilaku yang menunjukan self
pengaturan pola makan, kontrol rutin ke dokter, dan pengambilan keputusan. Self
management merupakan kemampuan seseorang untuk mengelola gaya hidup
positif sehingga meningkatkan kesehatan dan mengurangi komplikasi bagi individu dengan diabetes.
E. Skema Hubungan antara Self Efficacy dan Self Management pada Individu
dengan Diabetes Tipe 2 di Indonesia
Penderita diabetes tipe 2
Self efficacy 1.Tingkatan (Level)
2.Keadaaan Umum (Generality) 3.Kekuatan (Strength)
Kepercayaan diri akan kemampuan mengontrol diri
Self Management
• Medication
• Diet
• Monitoring/ Tes Glikemia
• Olahraga
F. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
Ada hubungan positif antara self efficacy dengan self management pada individu dengan diabetes tipe 2. Apabila tingkat self efficacy tinggi maka tingkat
self management juga akan tinggi. Sebaliknya, apabila tingkat self efficacy
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasi. Penelitian korelasi adalah penelitian yang menghubungkan variabel independen dengan variabel dependen. Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan antara self
efficacy dan self management.
B. Identifikasi Variabel
Variabel dependen : self management Variabel independen : self efficacy
C. Definisi Operasional
1. Self Management
Self management bagi individu diabetes adalah kemampuan seseorang
untuk mengelola gaya hidup positif sehingga meningkatkan kesehatan dan mengurangi komplikasi bagi individu tersebut.
apabila glukosa darah telah terkontrol dengan baik. Pada aspek olahraga, aspek yang diukur individu ialah latihan secara rutin seperti berjalan 15-20 menit dalam kurun waktu 3 kali seminggu. Kemudian secara bertahap meningkatkan kecepatan atau jarak berjalannya. Pada aspek kontrol rutin ke dokter, aspek yang diukur individu ialah mengkonsultasikan penyakit diabetesnya secara berkala kepada dokter. Pada aspek pengambilan keputusan diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk membuat suatu keputusan yang masuk akal tentang cara menangani penyakitnya.
Pada penelitian ini, self management akan diukur menggunakan skala
self management yang akan dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek dari self
management pada individu dengan diabetes tipe 2.
2. Self Efficacy
Self efficacy merupakan penilaian terhadap kemampuan diri dalam
melaksanakan suatu tugas yang didasarkan pada kapabilitas, keterampilan, kondisi kognitif, dan kondisi lingkungan.
tingkat kesulitan tugas tinggi dan individu mampu dalam mengerjakan maka individu tersebut juga memiliki self efficacy yang tinggi.
Pada aspek keadaan umum (generality), merupakan keyakinan akan kemampuan diri yang dinilai berdasarkan bidang tertentu atau pada semua bidang.
Pada aspek kekuatan (strength), merupakan keyakinan akan kekuatan kemampuan diri dalam pelaksanaan tugas. Individu yang memiliki keyakinan yang tinggi terhadap kemampuan, mereka akan terus berusaha dalam menghadapi kesulitan dan hambatan. Hal ini mengindikasikan juga bahwa mereka memiliki self efficacy yang tinggi.
D. Subjek Penelitian
E. Metode Sampling
Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan jenis pengambilan sampel
non probability sampling. Non probability sampling merupakan teknik
pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/ kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2011). Di samping itu, penelitian ini akan menggunakan non probability sampling jenis
sampling purposive. Sampling purposive merupakan teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011). Pertimbangan tertentu yaitu penentuan sampel pada subjek yang memiliki diabetes tipe 2. Data pada penelitian ini akan diambil di rumah sakit dan daerah-daerah yang berada di Yogyakarta.
F. Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan 2 jenis skala di dalam metode pengambilan data. Metode pertama yaitu metode pengambilan data dengan menggunakan skala Likert yang tersusun menjadi skala self management. Metode ke dua yaitu metode pengambilan data dengan menggunakan rating
scale yang tersusun menjadi skala self efficacy. Pada penelitian ini, peneliti
1. Skala Self Management
Table 1. Blue Print Skala Self Managemet
Aspek Indikator No. Aitem Total Bobot (%) F UF
Medication 1. Rutin minum obat
2. Mengetahui
2. Menjaga berat badan
dilakukan.
Pada skala self efficacy berisi 42 pertanyaan yang terdiri atas pernyataan
favorable dan unfavorable. Dalam skala model rating scale , subjek akan
jawaban yang sesuai dengan diri subjek. Alternatif jawaban yaitu angka “1”, “2”, “3”, “4”, dan “5”. Semakin menuju angka “5” menunjukan semakin tingginya tingkat persetujuan subjek. Semakin menuju angka “1” menunjukan semakin rendahnya tingkat persetujuan subjek. Pada skala ini menggunakan rentang skor yang tidak banyak agar responden dapat merespon dengan baik dan tidak memunculkan bias.
Table 2. Blue Print Skala Self Efficacy
Aspek Indikator
Memiliki keyakinan akan
G. Pengujian Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan pengambilan data try out yang bertujuan untuk melihat tingkat reliabilitas skala serta mendapatkan item-item yang berkualitas. Sebelum melakukan pengambilan data try out, peneliti membuat
blue print skala berdasarkan aspek-aspek yang terdapat pada variabel self
management dan self efficacy. Blue print skala berguna mengatur bobot item
masing-masing aspek pada skala try out. Setelah skala try out selesai dibuat, maka skala diujikan kepada dosen pembimbing untuk dilihat kesesuaian dengan indikator perilaku serta tujuan pengukurannya.
Skala try out yang sudah sesuai kemudian diujikan untuk mendapatkan data penelitian. Pengambilan data try out dilakukan dari tanggal 1 September sampai dengan 22 september 2013. Peneliti melakukan pengambilan data try
out di RS. Santa Elisabeth, RS. Panti Rapih, kelompok ibu-ibu PKK Dusun
Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan 33 item baik untuk skala self
management dan 23 item baik untuk skala self efficacy.
H. Kategorisasi
Pada penelitian ini skala self efficacy dan self management akan digolongkan ke dalam 3 kategori. Kategorisasi ini bertujuan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang posisinya berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2012). Kategorisasi didasarkan pada model distribusi normal. Norma kategorisasi sebagai berikut.
Tabel 3. Rumus Norma Kategorisasi (Azwar, 2012)
Skor Kategori Keterangan
X < (µ - 1,0 σ)
I. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
1. Validitas Skala
Validitas skala bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan skala dalam menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar, 2012). Pada penelitian ini validitas yang dilakukan adalah validitas isi pada setiap item dalam skala ukur.
akal sehat (common sense) (Azwar, 2012). Pada penelitian ini, validitas isi dilakukan oleh professional judgement yaitu dosen pembimbing (Sugiyono, 2008).
2. Seleksi Item
Pada penyusunan skala self management dan self efficacy, peneliti melakukan seleksi item. Seleksi item digunakan untuk mengoptimalkan kualitas dari skala. Seleksi item menggunakan parameter daya beda item yaitu koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor total skala. Dengan demikian, pemilihan item-item pada skala dapat didasarkan pada besarnya angka koefisien korelasi. Menurut Azwar (2012) koefisien korelasi item-total memiliki rentang angka dari 0 sampai 1.00 dengan tanda positif atau negatif. Koefisien korelasi semakin mendekati angka 1,00 menunjukkan semakin baik daya diskriminasi sehingga item berkualitas baik. Koefisien korelasi mendekati angka 0 atau memiliki tanda negatif menunjukkan bahwa item tersebut semakin tidak memiliki daya diskriminasi sehingga item berkualitas buruk. (Azwar, 2012). Pada perhitungan koefisien korelasi item total menggunakan SPSS 15.0 for
windows
a. Skala Self Management
dibuat. Koefisien korelasi item total yang dipakai yaitu 0,305 sampai dengan 0,636.
Table 4. Blue Print Skala Self Management setelah Uji Coba
Aspek Indikator
No. Aitem
Total F UF
Medication 1. Rutin minum obat
b. Skala Self Efficacy
Pada skala self efficacy peneliti melakukan uji coba skala kepada 30 subjek diabetes tipe 2. Dari uji coba yang dilakukan didapatkan 20 item kualitas baik dari total 42 item. Akan tetapi untuk menyeimbangkan item disetiap indikator maka peneliti melakukan uji coba dengan menghilangkan item yang memiliki koefisien korelasi negatif. Item negatif dihilangkan karena dianggap sebagai item yang tidak memiliki daya diskriminasi (Azwar, 2012). Dari hasil uji coba menghasilkan 23 item yang memiliki kualitas baik dari total 42 item yang dibuat. Koefisien korelasi item total yang dipakai yaitu 0,254 sampai dengan 0,655.
Table 5. Blue Print Skala Self Efficacy setelah Uji Coba
3. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan tingkat kepercayaan atau konsistensi alat ukur dalam melakukan pengukuran sebuah instrument dari waktu ke waktu. Koefisien reliabilitas berada dalam rentang angka 0 sampai dengan 1,00. Koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi koefisien korelasinya. Sebaliknya, koefisien korelasi mendekati angka 0 berarti semakin rendah koefisien korelasinya (Azwar, 2012).
Reliabilitas skala pada penelitian ini menggunakan program SPSS 15.0
for windows yang akan ditunjukan oleh alpha cronbach sebelum dan
sesudah dilakukan seleksi item.
a. Skala Self Management
Data yang diperoleh pada skala self management dimasukan ke dalam program SPSS 15.0 for windows untuk dihitung reliabilitasnya. Dari hasil perhitungan ditunjukan bahwa alpha cronbach sebelum seleksi item sebesar 0,877 dan setelah seleksi item sebesar 0,810. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka skala self managemet yang dibuat dapat dikatakan reliabel.
b. Skala Self Efficacy
hasil perhitungan tersebut maka skala self efficacy yang dibuat dapat dikatakan reliabel.
J. Metode Analisis Data
Pada penelitian ini analisis data menggunakan teknik korelasi product
moment. Teknik korelasi product moment digunakan untuk mengetahui ada
atau tidaknya hubungan yang signifikan antara dua variabel berdasarkan koefisien korelasinya (Usman & Akbar, 2006). Koefisien korelasi dapat dilambangkan dengan r. Menurut Walpole (1982), Koefisien korelasi (r) memiliki rentang nilai dari -1 sampai +1. Nilai r mendekati +1 atau -1 menunjukan bahwa ada hubungan yang kuat positif atau kuat negatif pada dua variabel. Akan tetapi, nilai r mendekati nol dapat diartikan hubungan antara dua variabel sangat lemah atau tidak terdapat hubungan sama sekali. Pada penelitian ini menggunakan taraf signifikansi yaitu p< 0.05. untuk menggolongkan koefisien korelasi yang ditemukan besar atau kecil, maka dapat melihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 6. Interpretasi Koefisien Korelasi (Sugiyono, 2008)
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Perhitungan koefisien korelasi pada penelitian ini menggunakan SPSS 15.0
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Pada penelitian ini pengambilan data penelitian dilakukan dari tanggal 26 September 2013 sampai dengan 13 Oktober 2013. Peneliti melakukan pengambilan data di RS. Panti Nugroho, klinik dr. Sarjoko, dusun Karang Pakis, dusun Glagahwero, dusun Grogolan, daerah Banteng, dan daerah kaliurang. Peneliti terlebih dahulu menanyakan kesediaan individu mengisi kuesioner serta kesesuaian dengan karakteristik yang telah ditentukan. Individu yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian melakukan pengisian kuesioner sendiri atau dengan bantuan peneliti untuk mengisikan.
B. Deskripsi Subjek
1. Jenis Kelamin
Penelitian ini melibatkan 60 orang partisipan. Data pada penelitian ini berasal dari 48 orang yang menjawab keseluruhan item pada skala. Subjek pada penelitian ini terdiri atas 30 subjek (62,5%) berjenis kelamin perempuan dan 18 subjek (37,5%) berjenis kelamin laki-laki. Data dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Deskripsi Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Perempuan
Laki-laki
30
18
62,5 %
37, 5%
Total 48 100%
2. Usia
Tabel 8. Deskripsi Usia
Data penelitian menjelaskan tentang deskripsi durasi subjek yang memiliki diabetes tipe 2. Batas bawah durasi subjek memiliki diabetes tipe 2 yaitu 1 tahun. Batas atas durasi subjek memiliki diabetes tipe 2 yaitu 42 tahun. Rata-rata durasi subjek memiliki diabetes yaitu 7 tahun dengan standar deviasi yaitu ±7,4. Deskripsi durasi diabetes dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Deskripsi Lama Diabetes