7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Obat
Obat didefinisikan sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis, mengurangi rasa sakit, mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan (Ansel, 1985).
Sediaan farmasi yang beredar di perdagangan sering berbentuk kombinasi campuran berbagai zat berkhasiat. Kombinasi ini bertujuan untuk meningkatkan efek terapi dan kemudahan dalam pemakaian. Salah satu sediaan yang populer saat ini adalah kombinasi parasetamol dan ibuprofen yang merupakan obat analgesik (Damayanti, dkk., 2003). Obat ini digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan menurunkan suhu badan yang tinggi. Misalnya pada sakit kepala, sakit gigi, keseleo, demam, flu dan sebagainya.
2.2 Parasetamol
2.2.1 Sifat Fisika dan Kimia
8
maksimum lebih kurang 244 nm, terhadap air sebagai blangko (Ditjen BKAK, 2014). Struktur parasetamol dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Struktur parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik, tetapi tidak anti radang. Pada umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman dan juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri) (Tan dan Rahardja, 2002). Mekanisme kerja sebagai analgesik dengan cara menghambat prostaglandin sehingga mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit. Sebagai antipiretik parasetamol dapat meningkatkan eliminasi panas pada penderita suhu tinggi dengan cara menimbulkan dilatasi pembuluh darah perifer dan mobilisasi air sehingga terjadi pengenceran darah dan pengeluaran keringat. Penurunan suhu tersebut adalah hasil kerja obat pada sistem saraf pusat yang melibatkan pusat kontrol suhu di hipotalamus (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
2.3 Ibuprofen
2.3.1 Sifat Fisika dan Kimia
9
praktis tidak larut dalam air; sangat mudah larut dalam etanol, dalam metanol, dalam aseton, dalam klorofom dan sukar larut dalam etil asetat. Ibuprofen dalam larutan dapar fosfat pH 7,2 memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang lebih kurang 221 nm (Ditjen BKAK, 2014). Struktur ibuprofen dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur ibuprofen
Ibuprofen adalah turunan asam propionat golongan obat Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs) yang mempunyai aktivitas antirematik, antiradang dan analgesik-antipiretik, digunakan terutama untuk mengurangi rasa nyeri akibat keradangan pada berbagai kondisi rematik dan artritis (Tan dan Rahardja, 2002; Siswandono dan Soekardjo, 2000).
2.4 Spektrofotometri Ultraviolet-Visible (UV-Vis)
Spektrofotometri adalah metode pengukuran yang didasarkan pada interaksi cahaya dengan materi. Suatu alat yang mengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet - visible yang diserap oleh sampel disebut spektrofotometer ultraviolet - visible. Ultraviolet berada pada panjang gelombang 200 − 400 nm, sedangkan visibel berada pada panjang gelombang 400 − 800 nm (Dachriyanus, 2004).
10
maka metode ini banyak dipakai dalam analisis farmasi dan analisis klinik (Munson, 1984).
Dasar analisis kuantitatif senyawa obat dengan spektrofotometri ultraviolet - visible adalah hukum Lambert – Beer. Menurut hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel yang disinari, sedangkan menurut Beer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi. Kedua pernyataan ini dapat disimpulkan menjadi satu dalam hukum Lambert-Beer, yaitu serapan berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan sel (Day dan Underwood, 1980; Roth dan Blaschke, 1981). Absorbansi senyawa yang akan dianalisis terbaca oleh spektrofotometer hendaknya berada pada rentang 0,2 − 0,8 (Gandjar dan Rohman, 2007). Dengan persamaan :
Keterangan:
A11 = serapan larutan (1% b/v) dalam kuvet 1 cm A = serapan yang diukur
b = ketebalan kuvet dalam (cm) c = konsentrasi larutan (g/100 mL)
Penyerapan energi oleh molekul terjadi jika suatu molekul dikenai suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai sehingga energi molekul tersebut ditingkatkan ke level yang lebih tinggi. Perpindahan energi dari suatu tingkat ke tingkat lain disebut transisi. Transisi-transisi elektronik yang terjadi diantara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada 4, yaitu transisi sigma-sigma star (σ →σ*
); transisi n – sigma star (n →σ*); transisi n – phi star (n →π*) dan transisi phi-phi star (π→π*) (Gandjar dan Rohman, 2007).
11 1.Transisi sigma-sigma star (σ →σ*)
Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi sinar yang frekuensinya terletak diantara UV vakum (kurang dari 180 nm) sehingga kurang bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometer ultraviolet – visible.
2. Transisi n – sigma star (n →σ*)
Energi yang diperlukan untuk transisi ini lebih kecil dibanding transisi σ → σ*
sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang yang lebih panjang, yaitu sekitar 150-250 nm.
3. Transisi n – phi star (n →π*)
Transisi ini sama seperti transisi π → π* yaitu mencakup sebagian besar senyawa organik. Energi yang diperlukan untuk transisi ini dalam daerah 200-700 nm. Dengan bertambahnya kepolaran pelarut, pada transisi ini bentuk puncak bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek (hipsokromik). 4.Transisi phi-phi star (π→π*)
Bedanya dengan transisi n → π* pada efek pelarut, dimana transisi ini bentuk puncak bergeser ke panjang gelombang yang lebih panjang (batokromik) dan merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis dengan cara spektrofotometer ultraviolet – visible, sebab memiliki panjang gelombang antara 200-700 nm (Khopkar, 1985; Gandjar dan Rohman, 2007).
2.4.1 Instrumentasi Spektrofotometri Ultraviolet - Visible (UV-Vis)
12
200 – 800 nm (Cairns, 2004). Suatu diagram sederhana spektrofotometer Ultraviolet - Visible ditunjukkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Diagram spektrofotometer ultraviolet - visible 1. Sumber cahaya
Sumber cahaya atau lampu yang digunakan adalah dua lampu terpisah yang digunakan secara bersama-sama, yang mencakup seluruh daerah ultraviolet - visible. Untuk senyawa yang menyerap pada daerah ultraviolet diperlukan lampu deuterium sedangkan untuk senyawa yang menyerap pada daerah visible digunakan lampu tungsten (Cairns, 2004). 2. Celah
Celah dibuat dari logam yang kedua ujungnya diasah dengan sama (Mulja dan Suharman, 1995).
3. Monokromator
Cahaya yang digunakan harus monokromatis, yaitu cahaya dengan satu panjang gelombang tertentu. Cahaya monokromatis ini didapat dengan melewatkan cahaya polikromatis pada sebuah monokromator (Cairns, 2004).
4. Tempat sampel
13 5. Detektor
Peranan detekor adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 1985).
2.4.2 Metode Umum Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen
Beberapa penelitian yang telah menetapan kadar campuran parasetamol dan ibuprofen dengan metode umum dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Metode Umum Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen
Berdasarkan Tabel 2.1 diatas penetapan kadar campuran parasetamol dan ibuprofen dengan KCKT dilakukan oleh Damayanti, dkk., (2003); Tuani, dkk., (2014); Battu dan Reddy, (2009). Penggunaan KCKT relatif lebih mahal dan memerlukan tahap pemisahan sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Giri dan Tripathi, (2010) menggunakan metode spektrofotometri UV untuk penetapan kadar campuran parasetamol dan ibuprofen dengan pelarut etanol 99%. Dibandingkan dengan pelarut metanol-air, pelarut etanol 99% menghasilkan spektrum senyawa yang tidak tersembunyi dalam suatu bentuk spektrum besar yang saling tumpang tindih.
Senyawa Metode Pelarut / Fase gerak Referensi
Parasetamol dan
Metanol : dapar fosfat pH 3 (80:20) nm dan ibuprofen 220 nm
etanol 99,9% Giri dan
14 2.5 Spektrofotometri Derivatif
Spektofotometri derivatif merupakan metode manipulatif terhadap spektrum serapan pada spektrofotometri ultraviolet - visible. Dimana spektrum serapan ditransformasikan menjadi spektrum derivatif pertama, kedua atau spektrum derivatif dengan orde yang lebih tinggi (Ditjen POM, 1995).
Metode spektrofotometri derivatif dapat digunakan untuk analisis kuantitatif senyawa dalam campuran yang spektrumnya mungkin tersembunyi dalam suatu bentuk spektrum besar yang saling tumpang tindih dengan mengabaikan proses pemisahan zat yang bertingkat-tingkat (Nurhidayati, 2007).
Penentuan derivatif adalah dengan cara menggambarkan selisih serapan dua panjang gelombang (∆A=Aλ 2 – Aλ1) terhadap harga rata-rata dua panjang gelombang tersebut
Pada prinsipnya semua spektrum yang dihasilkan oleh semua spektrofotometer ultraviolet − visible jenis apapun dapat diturunkan spektrum derivatifnya secara manual maupun otomatis (Mulja dan Suharman, 1995). Profil penurunan spektrum derivatif dari spektrum serapan normal sampai derivatif keempat dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4. Profil penurunan spektrum derivatif dari spektrum serapan normal sampai derivatif keempat (a). serapan normal (b). Derivat 1 (c). Derivat 2 (d). Derivat 3 (e). Derivat 4 (Mulja dan Suharman, 1995).
λ1 + λ2 2
λ
m =e
d
c b
15
Efek yang tidak diinginkan dari proses derivatisasi adalah terjadinya perubahan bentuk spektrum yang kurang halus, untuk mengurangi hal tersebut dapat dilakukan dengan teknik penghalusan (smoothing) yaitu perubahan bentuk spektrum pada derivat yang sama dengan Δλ yang berbeda. Penentuan Δλ diperoleh berdasarkan pada sampling interval pada program. Semakin meningkatnya Δλ maka spektrum akan semakin halus. Jika terlalu kasar, maka sulit untuk menentukan serapan sebenarnya, sedangkan jika terlalu halus, maka informasi yang diperlukan dapat berkurang karena adanya distorsi spektrum. Apabila distorsi spektrum terjadi, maka terjadi penurunan tinggi puncak, sedangkan lebar puncak akan meningkat (Skujins dan Varian, 1986).
2.5.1 Kelebihan dan Kekurangan Metode Spektrofotometri Derivatif Spektrofotometri derivatif menawarkan berbagai kelebihan yaitu :
1. Spektrofotometri derivatif ditekankan pada gambaran struktur yang lembut terhadap spektrum serapan derivatif. Gambaran ini lebih jelas bila meningkat dari derivatif pertama sampai ke derivatif keempat (Munson, 1984).
2. Dapat dilaksanakan analisis kuantitatif satu komponen dalam suatu campuran yang rumit (Munson, 1984).
3. Selain itu, metode ini juga memberikan beberapa keuntungan seperti menghemat waktu dan biaya, karena penentuan zat dalam contoh dapat dilakukan secara sederhana dan cepat (Munson, 1984).
16
Kekurangan dari metode ini adalah ketergantunganya pada parameter instrumentasi, seperti kecepatan pemindaian dan slit width. (Ojeda dan Rojas, 2013).
2.5.2 Teknik zero crossing
Spektrofotometri derivatif ultraviolet (SDUV) dengan teknik zero crossing merupakan pengembangan dari teknik spektrofotometri konvensional. Teknik ini memiliki kelebihan seperti dapat memilih puncak yang tajam di antara spektrum yang lebar, meningkatkan resolusi dari spektrum yang tumpang tindih, serta dapat menghilangkan gangguan background pada spektrum (Popovic, dkk, 2000).
Teknik zero crossing adalah prosedur yang paling umum untuk menentukan campuran biner yang spektranya saling tumpang tindih secara simultan (Nurhidayati L, 2007). Bila campuran biner memiliki panjang gelombang zero crossing lebih dari satu, maka yang dipilih untuk dijadikan panjang gelombang analisis adalah dimana panjang gelombang yang nilai serapan senyawa pasangannya dan campurannya persis sama atau hampir sama, karena pada panjang gelombang tersebut dapat secara selektif mengukur serapan senyawa pasangannya dan memiliki serapan yang paling besar. Pada serapan yang paling besar, serapannya lebih stabil sehingga kesalahan analisis dapat diperkecil (Hayun, dkk., 2006).
17
pertama tidak akan dapat memisahkan spektranya. Sehingga akan dilanjutkan pada spektrum derivatif berikutnya (Nurhidayati, 2007). Penentuan teknik zero crossing dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5. Penentuan teknik zero crossing (Talsky, 1994). 2.5.3 Jenis – jenis Teknik Spektrofotometri Derivatif
Teknik lain yang umum digunakan untuk mengevaluasi spektrum serapan derivatif untuk tujuan kuantitatif adalah metode peak-peak (p1), metode peak-tangen (t), metode peak-zero (z), metode rasio peak-peak (p1/p2), gambar jenis – jenis teknik spektrofotometri derivatif dapat dilihat pada gambar 2.6.
Gambar 2.6. Jenis – jenis teknik spektrofotometri derivatif (Popovic, dkk, 2000). 2.5.4 Teknik Penetapan Kadar Campuran Parasetamol dan Ibuprofen
18
Tabel 2.2. Berbagai Peneliti Yang Telah Menggunakan Spektrofotometri Derivatif Dengan Beberapa Teknik
Berdasarkan Tabel 2.2 diatas dapat dilihat bahwa hasil analisis berbagai senyawa dengan teknik yang berbeda menunjukkan akurasi dan presisi yang baik. Pada referensi Issa, dkk., (2010); Patel dan Patel, (2013) menggunakan teknik ratio spectra. Teknik ratio spectra ini memiliki tahap yang rumit dalam pengolahan spektrumnya bila dibandingkan dengan teknik zero crossing.
2.6 Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis adalah suatu penilaian terhadap parameter tertentu untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis yaitu: akurasi, presisi, linearitas, batas deteksi dan batas kuantitasi (Harmita, 2004).
2.6.1 Akurasi (Kecermatan)
Akurasi adalah hasil nilai rata-rata yang sangat dekat dengan nilai sebenarnya. Untuk menilai ukuran ketelitan digunakan parameter perolehan kembali (recovery) (Gandjar dan Rohman, 2007). Untuk mendokumentasikan akurasi, pengumpulan data dilakukan 9 kali penetapan kadar dengan 3 konsentrasi
Senyawa Teknik Pelarut Hasil Referensi
Parasetamol dan
Ibuprofen Ratio spectra Metanol
Akurasi dan Presisi baik
Issa, dkk., (2010) Ibuprofen dan
Klorzoxazon Ratio spectra Metanol
Akurasi dan Presisi baik
Patel dan Patel, (2013) Ondansetron dan
Parasetamol Zero crossing Metanol
19
yang berbeda (misal 3 konsentrasi dengan 3 kali replikasi). Jumlah analit yang yang ditambahkan kedalam sampel umumnya pada 80, 100 dan 120% (ICH, 2005; Harmita, 2004). Berikut rumus persen perolehan kembali:
% Perolehan Kembali= CF - CA
CA* ×100%
Keterangan:
CF = Konsentrasi sampel setelah penambahan bahan baku CA = Konsentrasi sampel sebelum penambahan bahan baku C*A= Jumlah baku yang ditambahkan
2.6.2 Presisi (Keseksamaan)
Presisi adalah ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya diekspresikan sebagai simpangan baku relatif (RSD) (Gandjar dan Rohman, 2007). RSD dirumuskan dengan:
RSD = SD
X x 100% Keterangan:
RSD = Standar deviasi relatif (%) SD = Standar deviasi
X = Kadar rata-rata zat pada sampel 2.6.3 Linearitas
20
Suatu koefisien korelasi -1≤ r ≤ 1 dianggap menunjukkan linearitas. Tanda ± (positif dan negatif) bukanlah tanda aljabar, tetapi menunjukkan arah korelasi saja. Koefisien korelasi positif yaitu koefisien korelasi dimana kenaikan variabel pertama diikuti dengan kenaikan nilai variabel yang kedua atau sebaliknya. Koefisien korelasi negatif yaitu koefisien korelasi dimana kenaikan variabel pertama diikuti dengan menurunnya nilai variabel kedua. (Gandjar dan Rohman, 2007; Hartono, 2004). Persamaan suatu garis lurus menghasilkan y = ax + b. 2.6.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi
Batas deteksi adalah konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi. Batas kuantifikasi didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Batas deteksi dan batas kuantitasi dapat dihitung melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi (Gandjar dan Rohman, 2007; Harmita, 2004).
Keterangan:
S𝑦𝑦�𝑥𝑥= Simpangan baku
slope = b (pada persamaan garis y = ax+b)
S𝑦𝑦�𝑥𝑥=
�
∑(Y−Yi ) 2n−2
LOD =
3 x S
𝑦𝑦 𝑥𝑥 �
slope
LOQ = 10 x S
𝑦𝑦 𝑥𝑥 �
slope