• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aksara huruf lambang Jenis jenis tulisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aksara huruf lambang Jenis jenis tulisa"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

oleh

Henri Chambert-Loir

Kutipan dari buku :

Henri Chambert-Loir, Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu,

Muhammad Bakir dan Kawan-Kawan: Lima Belas Karangan

Tentang Sastra Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan

Populer Gramedia), 2014.

(2)

Perkembangan tulisan dari abad ke abad erat hubungannya dengan perkembangan kebudayaan dan peradaban. Sejarah berbagai tulisan yang pernah digunakan di alam Nusantara dapat mengisi sebuah buku, tetapi buku itu masih perlu ditulis. Di bawah ini kami berusaha menyajikan sebuah deskripsi singkat dari topik tersebut sejauh mana berkaitan dengan terjemahan. Kaitan itu sangat nyata karena ketiga jenis tulisan utama yang dipakai, atau pernah dipakai, di Nusantara adalah tulisan asing (India, Arab, Eropa). Ketiganya adalah hasil sebuah pengalihan (dengan segala perubahan dan penyesuaian yang mutlak ada dalam semua pengalihan), dan masing-masing jenis tersebut diserap secara berturut-turut atas desakan yang sama yang juga membuahkan berbagai terjemahan. Setiap kali sebuah tulisan baru diserap, itu terjadi sebagai hasil suatu pengaruh budaya yang sangat besar, yang juga selalu menghasilkan penyerapan sejumlah kata asing dan penerjemahan sejumlah teks yang berkaitan dengan tulisan yang bersangkutan.

Sebagaimana akan dilihat mengenai tulisan Jawi dan Latin, pemu-ngutan sebuah sistem tulisan asing untuk menuliskan suatu bahasa, apalagi kalau mengganti sistem lain yang sudah ada, adalah tindak budaya yang bersifat ideologis, yakni ditentukan oleh dorongan agama atau politik. Setiap kali suatu bahasa Nusantara dituliskan dengan menggunakan sebuah sistem tulisan asing, maka jadilah bahasa itu menyandang sebuah identitas baru karena sedikit banyak terserap ke dalam alam budaya asing tersebut. Maka penerjemahan berbagai teks dari budaya asing itu ke dalam bahasa

(3)

yang bersangkutan tampak wajar saja. Budaya asal dan budaya penerima berkerabat karena mempunyai sistem tulisan yang sama.

Jenis tulisan yang pertama diserap adalah tulisan asal India. Tulisan itu mula-mula dipakai untuk menulis bahasa Sanskerta, lalu juga untuk menulis berbagai bahasa lokal. Sebenarnya bahasa Sanskerta pernah digu-nakan di Indonesia secara cukup luas (lih. Radicchi 2009). Tempat dan peranan bahasa Sanskerta di Indonesia telah diteliti oleh Jan Gonda dalam sebuah karya agung (1952) dan baru-baru ini pengaruh bahasa Sanskerta atas bahasa Indonesia dibahas oleh Collins (2008).

Demikian pula, sekitar seribu tahun kemudian, tulisan Arab diserap setelah bahasa Arab masuk alam Nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Bahasa Arab mempunyai pengaruh yang amat besar atas peradaban Nusantara dari masa itu sampai sekarang ini, dan kita boleh heran bahwa pengaruh tersebut belum pernah diteliti secara saksama. Sekitar enam abad kemudian, terseraplah tulisan Latin. Tetapi sekali ini, tidak terjadi penyerapan bahasa asing oleh karena orang Belanda tidak pernah berusaha menyebarkan bahasa mereka di Hindia Belanda.

Keanekaragaman jenis-jenis tulisan di atas, serta juga keanekaragaman alfabet yang dihasilkannya di Indonesia (paling sedikit untuk jenis India) bukan peristiwa unik dalam sejarah dunia. Situasi serupa pernah terjadi juga di Asia Tengah misalnya. Namun peristiwa ini merupakan ciri khas dari sejarah Nusantara karena sejarah tulisan mencerminkan sejarah politik dan agama. Sebagai contoh, penyerapan tulisan Arab pada abad ke-14 memisahkan secara tegas kelompok masyarakat yang meninggalkan tulisan mereka terdahulu (seperti orang berbahasa Melayu) dan kelompok-kelompok yang mempertahankan tulisan mereka (orang berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Makassar, Rencong, Batak). Lebih kemudian, sebagai salah satu dampak modernitas Barat, semua tulisan tersebut enyah terhalau oleh tulisan Latin.

(4)

berbeda-beda dan digunakan untuk menuliskan berbagai bahasa: bahasa Sanskerta di Sumatra (tipe Malayu), aneka bahasa rumpun Batak di Sumatra Utara, aneka dialek Melayu di Sumatra Selatan (tipe Rencong dan lain-lain) serta bahasa Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan.

Sebelum menguraikan masing-masing tipe tersebut, perlu kiranya dipertanyakan sejauh mana dan oleh kelompok sosial mana berbagai tulisan di atas pernah digunakan. Pertanyaan ini hanya dapat dijawab secara samar, atas dasar beberapa petunjuk yang kurang memadai. A. Reid (1988: 215-25) telah mengumpulkan sejumlah besar laporan (ditulis oleh penjelajah Eropa waktu itu) yang menunjukkan bahwa kemampuan menulis, berkat berbagai tipe tulisan asal India, tersiar secara luas di masyarakat sekitar tahun 1600 dan sepanjang abad ke-17 di Filipina seperti juga di Jawa dan Bali. Laporan serupa juga ada mengenai Lombok, Bali dan ranah Bugis pada abad ke-19.

(5)

untuk menulis lagu-lagu cinta yang merupakan ciri utama kebudayaan mereka, khususnya selama perayaan panludan untuk menghormati para leluhur mereka sehabis panen (Reid 1988: 218-219).

Selanjutnya akan diuraikan perkembangan tulisan Arab dan Latin saja.

Tulisan Arab

Tulisan Arab pernah memainkan peran yang amat penting di dunia Nusantara karena merupakan satu-satunya cara menuliskan bahasa Melayu selama berabad-abad. Bahasa Melayu pada masa itu telah menjadi wahana segala jenis hubungan antara berbagai suku dan komunitas. Mula-mula bahasa perdagangan, kemudian menjadi bahasa pergaulan di seluruh Asia Tenggara bahari, sehingga wajar saja menjadi pula bahasa penyebaran dan pendidikan agama Islam. Dengan demikian perannya semakin penting, maka wajar pula dipilih sebagai bahasa administrasi kolonial, sehingga akhirnya dengan sendirinya dipilih juga sebagai bahasa nasional oleh kedua negara Indonesia dan Malaysia. Sejarah perkembangan bahasa Melayu masih perlu ditulis1, tetapi perkembangan yang terus menerus itu (bahasa dagang, diplomasi, dakwah, administrasi, nasional) sangat jelas.

Tulisan Arab terpilih untuk menuliskan bahasa Melayu, jelas karena alasan agama. Di seluruh dunia Islam tulisan Arab mempunyai dimensi sakral karena merupakan tulisan al-Qur’an. Di semua negeri yang tersentuh oleh agama Islam, tulisan Arab disebarkan bersama-sama dengan Kitab Suci, bahkan diangkat untuk menuliskan berbagai bahasa: bukan saja bahasa yang paling terkenal seperti bahasa Parsi, Turki (Osmanli dan Cagatay) dan Urdu, tetapi juga bahasa Afghan, Uygur, Tajik, Kirgiz, Uzbek di Asia Tengah; juga bahasa Berber dan Spanyol di Laut Tengah; bahasa Swahili, Hausa, Peul dan Kanuri di Afrika; bahasa Malagasi; dan beberapa yang lain.

Ketika membicarakan gejala ini secara umum, ahli Islam asal Prancis, Maxime Rodinson, mengomentari, “Tulisan Arab terpilih karena peran sosialnya, sebagai lambang bahwa teks yang bersangkutan termasuk peradaban yang ideologi sentralnya adalah agama Islam, dengan Kitab dan Nabi-nya. Maka boleh dikatakan bahwa tulisan bukan saja sebuah perangkat lambang, melainkan sebuah perangkat lambang kuadrat, karena bukan saja mewujudkan sebuah perangkat lambang yang lain yakni bahasa, tetapi juga sebagai gejala sosial, bahasa menjadi lambang khusus dalam suatu sistem lain yang tidak akan saya namakan di sini. Kiasan jenis

(6)

ini terlalu sering dipakai dalam bidang sosiologi, tetapi sekali ini pada hemat saya hal itu tepat: tulisan merupakan lambang keikutsertaan dalam suatu peradaban yang terpusat pada suatu ideologi, yaitu pada masa yang bersangkutan, suatu agama.” (Rodinson 2005: 718-9).

Memilih bahasa Arab untuk menuliskan bahasa Melayu berarti menyatakan, dalam tulisan itu sendiri, dalam perwujudan teks, bahwa budaya Melayu ikut serta dalam peradaban Islam, bahkan berarti men-sakralkan bahasa Melayu dengan meminjam sebagian kesakralan bahasa Arab. Sebagai contoh saja, seorang Sultan Kerajaan Bima konon tahun 1055 H / 1645 M memerintahkan agar Kronik Istana (Bo’ Sangaji Kai) ditulis di atas kertas “dengan memakai bahasa Melayu dengan rupa tulisan yang diridlai Allah ta‘ala” (Chambert-Loir & Salahuddin 1999: xii).

Kata yang menunjukkan tulisan tersebut (dan bahasa Melayu dalam tulisan tersebut) adalah kata Jawi (Ar. Jâwî), yang berarti segala sesuatu yang dimiliki orang Jâwa, yakni orang Islam di Asia Tenggara.

Kala pertama kali memasuki dunia Nusantara, pada awal abad ke-16, orang Eropa melihat tradisi tulis Melayu/ Jawi sudah ada. Orang Belanda, yang mencapai Pulau Sumatra dan Jawa sekitar tahun 1600, segera mengumpulkan beberapa naskah, yang kini memberikan gambaran tentang keadaan tradisi Melayu pada saat itu. Naskah tersebut mengandung teks agama (mis. Kitab Aqa’id oleh Najm al­Din al­Nasai dari Asia Tengah, w. 1142, disalin dan diterjemahkan di Aceh tahun 1590; Burda oleh al-Busiri), tetapi juga teks sastra (seperti Hikayat Bayan Budiman, yang disalin dari bahasa Parsi sekitar 1600, dan Hikayat Sri Rama, disusun sebelum 1633, disalin dari satu versi lisan India2). Teks-teks tersebut membuktikan bahwa tradisi Jawi itu sudah mencapai tingkat perkembangan yang amat canggih pada masa itu. Kita bahkan mempunyai contoh yang lebih lama lagi. Sebuah surat sepanjang satu meter lebih, dihiasi dan ditulis dengan khat indah, yang dikirim oleh Sultan Aceh Iskandar Muda kepada Raja Inggris James I, patut dipandang sebagai sebuah karya seni. Dalam kronik Melaka (Sulalat al-Salatin) disebut koleksi naskah Sultan Melaka pada tahun 1511. Penyair sui dari Barus (Sumatra Utara), Hamzah Fansuri, yang melahirkan beberapa buah syair yang indah, ternyata meninggal pada tahun 1527. Tradisi Jawi tidak mungkin tidak lahir jauh sebelumnya, pada masa awal islamisasi, yaitu pada abad ke-13. Teks-teks pertama dari tradisi klasik Melayu (Hikayat Pandawa Jaya, Hikayat Sri Rama, Hikayat

(7)

Iskandar Zulkarnain dan beberapa yang lain, semuanya berupa terjemahan) diperkirakan disusun di Pasai pada abad ke-14.

Kita semestinya harus mencari akar tradisi tulis Melayu lebih jauh dalam sejarah. Ternyata, tradisi tersebut tidak berkeputusan antara abad ke-7 (masa prasasti Srivijaya dalam bahasa Melayu Kuna) dan abad ke-14 (masa muncul teks Melayu klasik dan contoh tulisan Jawi yang pertama). Dengan demikian, sudah jelas bahasa Melayu ditulis secara terus menerus mulai abad ke-7 sampai kini. Tetapi perlu diperhatikan juga bahwa bahasa Melayu Kuna yang ditulis sampai abad ke-14 misalnya dalam naskah Tanjung Tanah dari Kerinci dan prasasti Minye Tujuh dekat Lhok Seumawe, Aceh) atau bahkan abad ke-15 (prasasti Pengkalan Kempas) sangat berbeda dengan bahasa Melayu klasik yang mulai digunakan dalam naskah-naskah pada abad ke-14. Ini berarti ada dua ragam bahasa Melayu tertulis. Bagaimanapun juga, sudah pasti bahasa Melayu klasik dalam karya-karya abad ke-14 – 15 menampakkan tingkat kecanggihan yang begitu mempesonakan oleh karena para penulis Pasai yang bertugas menerjemahkan karya-karya klasik asing dalam bahasa Melayu bertulisan Jawi tidak berangkat dari bahasa kacukan yang umum dipakai di pelabuhan. Mereka sebaliknya mewarisi sebuah tradisi berabad-abad dalam tulisan lain. Dengan kata lain, terangkatnya tulisan Arab untuk menuliskan bahasa Melayu bukan berarti bahwa bahasa Melayu baru pindah status dari bahasa lisan ke bahasa tulis, melainkan bahwa terjadi pergantian jenis tulisan secara berangsur-angsur.

Teks pertama yang kita kenal dalam tulisan Jawi adalah prasasti tahun 1303 yang terkenal dengan nama Batu Terengganu. Sedangkan teks terakhir yang kita kenal dalam tulisan tipe India (disebut tipe “Malayu”) adalah prasasti lain dari tahun 1460-an yang terdapat di Pengkalan Kempas, dekat Melaka (lih. Casparis 1980). Kedua prasasti itu kebetulan berasal dari Semenanjung Melayu tetapi tradisinya pasti bersamaan juga di Pulau Sumatra. Di tengah-tengah jangka waktu kedua prasasti di atas, satu prasasti lain dari Minye Tujuh di Aceh, berangka tahun 1380, tertulis dalam bahasa Melayu bertulisan tipe India dan sekaligus bahasa Arab bertulisan Arab (lih. Molen 2007). Ketiga contoh ini memperlihatkan bahwa tulisan India dan Jawi bersanding selama satu setengah abad lebih.

(8)
(9)

perdagangannya. Gejala yang terpenting dalam hal penyebaran itu, ialah bahasa Melayu tulisan itu sama saja dari Aceh sampai Sulawesi kendatipun sejumlah teks terpengaruh oleh bahasa lokal. Sebuah survai atas koleksi-koleksi naskah terbesar yang ada sekarang ini (Chambert-Loir 2006b) menunjukkan bahwa pada abad ke-19, naskah-naskah Melayu ditulis di seantero Kepulauan Indonesia (termasuk kota-kota yang dikira asing pada dunia “Melayu” seperti Bukittinggi, Bengkulu, Cianjur, Cirebon, Semarang, Buleleng, Gorontalo dan Manado) oleh karena – ini sesuatu yang kurang diperhatikan dalam buku-buku pegangan tentang sejarah sastra Melayu – kesusasteraan Melayu tersebar, ditulis, disalin dan dibaca (atau didengarkan) di semua daerah yang mempunyai komunitas Islam. Survai di atas juga memperlihatkan bahwa pusat penulisan sastra yang paling produktif adalah Batavia, sedangkan Mekah merupakan juga pusat produksi yang penting, sedikitnya untuk teks agama Islam.

Selama berabad-abad menjadi bahasa dagang, diplomasi, agama dan budaya di daerah-daerah yang amat berjauhan (misalnya di Aceh dan di Bima, Pulau Sumbawa, pada saat yang sama, di pertengahan abad ke-17), sedangkan teks-teks bertulisan Jawi (terutama teks agama, sastra, sejarah dan undang-undang) berlalu-lalang dengan giat di antara berbagai daerah tersebut, bahasa Melayu dan tulisan Jawi memberikan sebuah identitas bersama kepada semua suku yang berlainan dan berjauhan itu. Perbandingan dengan situasi masa kini dapat bantu membayangkan peranan bahasa Melayu dan tulisan Jawi, baik atas situasi kedwibahasaan maupun atas penyebaran sebuah budaya persatuan. Kalau pada masa kini kebanyakan penduduk Indonesia mempunyai sebuah bahasa ibu yang digunakan dalam segala jenis situasi informal di samping sebuah bahasa resmi yang merupakan salah satu unsur pemersatu mereka sebagai bangsa, maka pada masa lalu pun orang-orang muslim di Nusantara mempunyai sebuah bahasa ibu untuk keperluan sehari-hari dan sebuah bahasa budaya yang merupakan salah satu unsur permersatu mereka sebagai umat.

Tambahan pula, tulisan Jawi memperbolehkan variasi dialek tertentu (tiadanya huruf vokal memudahkan pelafalan yang berlainan; misalnya sebuah vokal akhir yang tidak tertulis dapat diucapkan /o/ di Sumatra Barat, /a/ di Sumatra Selatan, /e/ di Semenanjung Melayu dan /é/ di Batavia) atau malah variasi kosakata tertentu (dalam bahasa Aceh, Minangkabau dan Banjar, sejumlah kata tertulis sesuai dengan ejaan Melayunya padahal pengucapan lokalnya berbeda jauh). Dengan demikian, tulisan Jawi menyatukan semua suku berbahasa Melayu.

(10)
(11)
(12)

Satu halaman naskah Hikayat Nakhoda Asik

(13)

bahasa Melayu disebabkan dua alasan: pertama, fonologi bahasa Arab; kedua, dasar ejaan bahasa Arab. Dari segi fonologi, tulisan Arab hanya melambangkan tiga fonem vokal (/a/, /i/, /u/), sehingga tidak dapat membedakan fonem Melayu /e/, /i/ dan /ai/ ataupun /o/, /u/ dan /au/. Tulisan Arab mempunyai beberapa huruf yang berbentuk sama, hanya dibedakan dengan jumlah titik yang ada di atas atau di bawahnya (misalnya huruf ‘b’, ‘t’ dan ‘th’ hanya beda jumlah titiknya; lih. Tabel.

ت ب ث th b t

ج ح خ kh ḥ j

د ذ dh d

ر ز z r

س ش sh s

ص ض ṣ ḍ

ط ظ ṭ ẓ

ع غ ‘ gh

Berbagai bahasa non-Arab yang mengadopsi tulisan Arab memanfaatkan ciri itu, yaitu menciptakan huruf baru hanya dengan menambah titik pada huruf yang sudah ada. Bahasa Parsi dan Turki umpamanya menciptakan lambang fonem tch /č/, dj /ž/ dan g /g/ dengan menambah tiga titik pada huruf ha, ra dan kaf. Penciptaan yang lebih rumit terdapat dalam bahasa Urdu dan Afghan. Dalam tulisan Jawi, lima huruf baru diciptakan dengan sistim titik tambahan itu, yaitu huruf c, h, g, p, ñ (lih. Tabel berikut). Prasasti Terengganu yang disebut di atas tidak memakai semua tanda diakritis tulisan Jawi, namun dapat diduga bahwa kelima huruf baru sudah berwujud pada waktu itu, yaitu pada tahun 1303.

ﭺ ڠ ﮔ ﭫ ث

c ƞ g p ñ

(14)

maka sistem Jawi juga terus saja berubah dan tidak pernah mempunyai kaidah yang dapat dipegang sebagai patokan baku. Menemukan kata yang ditulis dengan dua atau tiga cara berlainan dalam satu naskah bukan hal langka. Sebaliknya kata-kata serapan Arab dalam bahasa Melayu (sebagaimana juga dalam bahasa-bahasa Islam lainnya) umumnya tetap dituliskan sesuai dengan ejaan aslinya, meskipun ucapan lokalnya kadang-kadang jauh berbeda (mis. ḍuhur > lohor, farḍu > perlu, fatwa > petuah).

Berbagai kesulitan tersebut bukan khas Melayu saja. Penulisan beberapa bahasa lain di dunia pernah menimbulkan masalah yang serupa. Ini bahkan salah satu sebab bahasa Melayu, seperti juga bahasa Turki, akhirnya meninggalkan tulisan Arab dan mengangkat tulisan Latin pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh arus modernitas Eropa.

Tidak diketahui dalam konteks mana bahasa Melayu mulai ditulis dengan huruf Arab. Dapat diperkirakan bahwa teks-teks Jawi pertama adalah terjemahan risalah agama berbahasa Arab. Kini masih terdapat banyak naskah lama berisi sebuah teks Arab dengan terjemahan antarbaris kata demi kata. Seorang domine Inggris yang bermukim di Singapura dan aktif di bidang bahasa dan sastra Melayu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, William Shellabear, merasa yakin bahwa tulisan dan ejaan Jawi diciptakan oleh orang Arab dan bahwa mereka itu memonopoli seni tulis Melayu selama bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad (lih. Shellabear 1901: 77). Gagasan itu kini terdengar janggal dan tidak berdasar. Di pihak lain, sering dikemukakan bahwa tulisan Jawi berasal dari tulisan Parsi3. Gagasan ini lahir dari peran sangat besar yang dimainkan India Mogol dan budaya Parsi di dunia Melayu selama kedua abad pertama islamisasi dunia Nusantara. Tetapi sebenarnya sedikit kemungkinan tulisan Jawi berasal dari tulisan Parsi oleh karena berbagai alasan. Pertama, huruf ‘p’ dalam tulisan Jawi (yakni badan huruf ‘f’ dengan tiga titik di atas) lain dari ‘p’ Parsi (badan huruf ‘b’ dengan tiga titik di bawah, seperti juga dalam bahasa Turki dan Urdu). Kedua, seni khat (kaligrai) Parsi, dengan kedua gaya utamanya thuluth dan nasta‘liq, hampir tidak berpengaruh atas tulisan Jawi. Ketiga, seni buku Melayu sangat berlainan dengan seni buku Parsi. Berbagai topik ini masih perlu digarap, bahkan kodikologi (ilmu naskah) Melayu serta hakekat tulisan Jawi baru saja mulai dianalisa secara ilmiah, khususnya di London4.

3 Lih. misalnya Reid (1988: 224); Kratz (2002: 22).

(15)

Satu ciri yang ganjil dan mengecewakan dari tradisi Jawi, ialah kemiskinan akan hiasan, iluminasi dan kaligrai5. Ciri ini bertentangan sekali dengan tradisi Arab, Parsi dan Turki, bahkan dengan tradisi Jawa. Prasasti­prasasti Jawa memperlihatkan satu seni kaligrai yang semakin berkembang dan berpuncak pada abad ke-11–12, selama masa kerajaan Airlangga (1019-1042) dan periode Kediri (1100-1220), sejajar dengan perkembangan puisi dan meningkatnya seni naskah (baik tulisan maupun iluminasi), yaitu berpatutan dengan evolusi budaya keraton yang semakin canggih. Maka kemiskinan tradisi Jawi dari segi itu, yakni ketiadaan upaya estetis, mesti dikaitkan dengan tingkat budaya istana di kerajaan-kerajan Melayu.

Penggunaan tulisan Arab untuk menulis bahasa lokal Nusantara tidak terbatas pada bahasa Melayu saja. Beberapa bahasa lain juga menggunakan huruf Arab, baik untuk mengakses ke tingkat tulisan (mis. bahasa Aceh, Minangkabau, Wolio, Ternate), maupun untuk mendampingi sistem tulisan lain (tipe India) yang sudah ada (bahasa Jawa, Sunda, Makassar). Sedangkan bahasa lain lagi sama sekali tidak tersentuh oleh tulisan Arab itu (bahasa Batak, Rencong, Bugis)6. Bahasa-bahasa golongan pertama, yakni yang baru tampil dalam bentuk tulis dengan memakai tulisan Arab, telat muncul dan terbatas penggunaannya. Bahasa Aceh misalnya baru tertulis pada pertengahan abad ke-17; kebanyakan teks berbentuk puisi (sanjak), termasuk surat, risalah agama ataupun daftar kata; terjemahan dari bahasa Melayu dan Arab lebih banyak daripada karya asli. Sedangkan dalam bahasa-bahasa golongan kedua, terutama Jawa dan Sunda, tulisan Arab

iluminasi naskah Melayu di berbagai daerah di Indonesia dan Malaysia. Patut diingat bahwa artikel pertama yang berusaha menganalisa tulisan Jawi secara saksama dan nyata baru terbit tahun 2001 (lih. Tol 2001).

5 Tentu saja terdapat berbagai kekecualian. Sejumlah naskah (misalnya naskah keluarga Fadli di Batavia pada paruh kedua abad ke-19) berisi gambar. Iluminasi yang paling menarik terdapat dalam surat-surat diplomatik (lih. Gallop & Arps 1991; Gallop 1994; Mu’jizah 2008). Sejumlah ulama yang pernah belajar di Timur Tengah menguasai beberapa gaya khat; Teungku Abdul Wahab dari Tanoh Abee pada akhir abad ke-19 umpamanya sangat mahir dalam berbagai gaya. Namun betapapun gemilang contoh-contoh tersebut, tetap merupakan kekecualian saja.

(16)

terbatas penggunaannya pada bidang agama. Kebanyakan teks dibubuhi tanda baca vokal (harakat), sedangkan dalam bahasa Melayu tidak. Tanda-tanda tersebut adalah Tanda-tanda Arab (fathah, dammah, kasrah, sukun), yang dapat dikombinasi untuk membedakan vokal ‘o’ / ‘u’ dan ‘e’ / ‘i’. Dalam bahasa Sunda, vokal ‘eu’ dan pepet kedua-duanya ditandai sebuah fathah berliku. Tulisan pegon tersebut digunakan terutama di pesantren. Tetapi menariklah bahwa tulisan tradisional hanacaraka tetap dipergunakan untuk segala jenis teks lain sampai pertengahan abad ke-20.

Tulisan Latin

Waktu tiba di Nusantara, orang Eropa melihat sudah adanya tulisan Jawi dan beberapa sistem tulisan lain. Beberapa di antara mereka mempelajari tulisan Jawi (kita mempunyai naskah Melayu yang disalin oleh Pieter Floris, istri dan anak Domine F. Valentijn, H.N. van der Tuuk, E. Dulaurier dan beberapa yang lain), tetapi kebanyakan orang Eropa yang menulis dalam bahasa Melayu, terutama para misionaris, menggunakan tulisan Latin sedini abad ke-17. Ternyata beberapa terjemahan awal dari Alkitab diterbitkan dalam kedua sistem tulisan itu: Jawi dan Latin. Kaum misionaris mempunyai peranan yang amat penting dalam upaya “latinisasi” di seluruh dunia7; peran itu juga nyata di Indonesia.

Sampai akhir abad ke-19, jenis tulisan tidak begitu dipersoalkan. Orang Belanda di Indonesia jarang menggunakan komunikasi tertulis dengan raja maupun rakyat Indonesia, dan kalau perlu mereka menggunakan bahasa lokal dalam tulisan lokal (acap berdampingan versi Belanda dalam tulisan Latin). Demikianlah misalnya kita mempunyai sejumlah besar naskah perjanjian dan surat diplomatik yang ditulis oleh pimpinan VOC ataupun pemerintah Belanda dalam bahasa Melayu bertulisan Jawi. Tetapi mulai abad ke-19, urusan diplomatik semakin banyak dan sistem pendidikan lambat laun mulai didirikan. Kedua-duanya memerlukan sistem tulis dalam bahasa Melayu yang tepat, terperinci, andal dan dapat dibakukan. Di pihak lain kemunculan pers dalam bahasa Melayu juga mempersoalkan sistem tulisan yang patut digunakan. Dan dari segi lain pula, buku-buku sastra Melayu-Tionghoa yang terbit mulai perempat akhir abad ke-19 serta merta dicetak dalam tulisan Latin. Semua gejala ini, yang kurang lebih semasa, menuju pada kesimpulan yang sama: sistem tulisan Melayu perlu dibakukan.8

7 Lihat Cohen (1958 [ed. 2005: 214-215]).

(17)

Di Malaya, The Straits Branch of the Royal Asiatic Society mem-buahkan sebuah sistem tulisan “Rumi” (Latin) buat bahasa Melayu, yang disetujui oleh pemerintah tahun 1878, dan kemudian diperbaiki antara lain oleh W. Maxwell dan W. Shellabear. Selanjutnya sebuah komisi yang ditunjuk oleh pemerintah Federated Malay States menghasilkan pada tahun 1904 sistem yang dinamakan “Wilkinson spelling”. Sekitar 20 tahun kemudian, beberapa perbaikan kecil, yang barangkali dibuat oleh Winstedt tetapi terkenal sebagai hasil kerja Za‘ba (Zainal Abidin bin Ahmad), membuahkan sistem yang dinamakan “ejaan Za‘ba” atau “ejaan sekolah”. Sistem itu memang terbatas pada dunia sekolahan, sedangkan di masyarakat umum tulisan Jawi tetap saja dipakai.

Di Hindia Belanda, sebuah perdebatan juga berlanjut mulai akhir abad ke-19, a.l. dengan kontribusi A.A. Fokker, C. Spat dan H.C. Klinkert. Sebagaimana di Malaya, ejaan perlu dibakukan untuk keperluan sekolah. Sebagai penasehat sekolahan di Sumatra, Ch.A. van Ophuijsen pada tahun 1896 ditugaskan untuk menyediakan sebuah sistem “ilmiah” yang dapat dipakai dalam pendidikan. Setelah melakukan penelitian yang saksama, dia menerbitkan sistemnya tahun 1901 (Kitab Logat Melajoe), yang langsung diwajibkan pakai dalam pendidikan dan administrasi. Sistem itu disepakati semua pihak; satu-satunya detil yang dipermasalahkan adalah notasi ‘oe’ untuk fonem /u/. Maka itulah salah satu unsur pokok reformasi tahun 1947, selama periode Revolusi (sistem baru dinamakan “edjaan Republik” atau “edjaan Soewandi” menurut nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Sutan Sjahrir waktu itu): ‘oe’ menjadi ‘u’, perbedaan antara ‘e dan ‘é’ serta ‘ai’ dan ‘aï’ dihapus (huruf ‘é’ dan ï’ tidak berlaku lagi), dan kedua apostrof yang selama itu dipakai untuk menandakan hamzah dan ‘ayn juga dihapus.

(18)

Indonesia (di mana tulisan Latin sudah diterima) dan kesulitan belajar buat orang asing.

Demikianlah pemerintah kedua negara merdeka yang baru mem-benarkan dan memperkuat sistem tulisan yang awal mulanya ditetapkan oleh penjajah. Di Turki pada masa yang kurang lebih sama, keputusan sebuah pemerintah republikan (tahun 1928) untuk meninggalkan tulisan Arab dan mengadopsi tulisan Latin menimbulkan bermacam kerusuhan. Di Indonesia dan Malaysia sebaliknya, pembaharuan yang serupa dapat diprakarsai oleh pemerintah kolonial dan diterima dengan sepenuh hati oleh masyarakat karena sesuai dengan aspirasi bangsa pada waktu itu.

Setelah Kemerdekaan (1949 di Indonesia, 1957 di Malaysia), kerja sama antara kedua negara itu mulai tumbuh. Pekerjaan bersama mulai tahun 1959, antara lain dengan tokoh-tokoh Syed Nasir bin Ismail, Prijono dan Slametmuljana, dan menghasilkan sistem “Melindo” (Malaya/Indonesia), yang agak rumit karena menggunakan huruf baru untuk fonem /h/ dan /ñ/. Setelah Konfrontasi (1963-1966), pekerjaan mulai lagi dengan segera: sebuah komisi Indonesia yang diketuai oleh Anton Moeliono mengajukan sebuah rencana yang diterbitkan tahun 1967 (tidak memakai tanda diakritik atau huruf luar biasa). Rencana itu diterima dengan lebih baik di Malaysia daripada di Indonesia oleh karena lebih dekat sistem Inggris/Malaya. Meskipun demikian, sistem inilah yang disepakati oleh kedua pemerintah dengan nama Ejaan Yang Disempurnakan di Indonesia dan Ejaan Rumi Baru Bahasa Malaysia di Malaysia. Sistem ittu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1972 agar mulai berlaku hari esoknya. Kata disempurnakan tentu saja patut direnungkan.

Terpilihnya tulisan Latin bukan fenomena tersendiri, melainkan beriringan dengan awal mula percetakan dan perkembangan kebudayaan nasional dalam bahasa Melayu. Ketiga gejala itulah yang bersama-sama menentukan akhir masa naskah-naskah dan akhir pemakaian sistem-sistem tulisan lama.

(19)

dengan koran dan majalah serta juga aneka ragam buku yang diterbitkan oleh lingkungan Peranakan Tionghoa (lih. Salmon 1981).

Kemajuan percetakan dalam tulisan Latin itu erat berkaitan dengan perkembangan sebuah kebudayaan nasional. Pelebaran kekuasaan kolonial (sekitar tahun 1910, perbatasan Hindia Belanda, yaitu perbatasan negara Indonesia sekarang ini, secara garis besar sudah tetap) menciptakan kerangka geograis dan sosial bangsa baru: orang­orang pribumi yang selama itu terpecah-pecah atas beraneka ragam kerajaan dan persukuan, menjadi bagian sebuah negara kesatuan. Maka lahirlah perasaan persaudaraan atau sedikitnya perasaan senasib yang baru, yang akan menetaskan perasaan dan gerakan nasionalis. Pada awalnya, lahirnya kebudayaan nasional terkait dengan perkembangan pers. Majalah Indonesia yang pertama adalah mingguan Jawa Bramartani (dalam aksara Jawa) yang diterbitkan di Surakarta oleh C.F. Winter tahun 1855. Tujuan majalah itu ialah menyediakan informasi tentang Indonesia dan dunia untuk kalangan elite Jawa. Sedangkan majalah Melayu yang pertama, yakni mingguan berjudul Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, diterbitkan di Surabaya tahun berikutnya untuk kalangan pedagang, namun hanya hidup tiga bulan lamanya. Soerat Kabar itu ditulis dalam bahasa Melayu “rendah” dan dicetak dalam tulisan Latin, sebagaimana semua majalah dan surat kabar selanjutnya (lih. Ahmat b. Adam 1995). Beberapa majalah tersebut dimiliki orang Belanda atau Indo. Mingguan Bramartani, dan penitisannya Jurumartani, cukup panjang umurnya karena terbit sampai tahun 1932. Di Malaya, surat kabar yang pertama adalah Bintang Timor, yang mulai terbit di Singapura tahun 1884.

Muncul dan meluasnya penerbitan buku tentu saja mengisyaratkan masa naskah-naskah sudah berakhir. Selama abad ke-19 buku dan naskah berdampingan. Kita mempunyai contoh dari naskah (tulisan tangan) yang disalin atas buku cetakan. Kedua jenis bentuk teks itu hidup sendiri-sendiri selama beberapa dasawarsa. Tetapi arus sejarah tidak mungkin terbalik, naskah tidak dapat bersaing dan cepat merosot. Peralihan itu menandakan sebuah perubahan mutlak dalam cara masyarakat menghadapi sastra. Selain teks agama, yang sering dibaca dan dipelajari sendirian, segala jenis teks sastra lama bukan dibaca sendiri-sendiri melainkan dibacakan agar didengar oleh masyarakat. Buku sebaliknya dicetak dalam jumlah banyak supaya dibaca oleh masing-masing individu di dalam hati. Proses ini sudah banyak dibicarakan.

(20)

dan Arab sebelumnya, dan bahkan lebih penting lagi karena peran budaya tulis semakin besar. Pada awal kedua babak sebelumnya (India dan Islam), peminjaman tulisan teriring penerjemahan dari bahasa yang bersangkutan (Sanskerta dan Arab). Demikian juga dengan peminjaman tulisan Latin terjadi penerjemahan dari bahasa Belanda di Indonesia dan bahasa Inggris di Malaysia (di Indonesia, terjemahan pertama adalah cerita Robinson Crusoë tahun 1875; lih. Jedamski 2009). Tetapi bahasanya sendiri tidak ikut dipinjam. Pada kedua babak sebelumnya, bahasa Sanskerta dan bahasa Arab juga dipinjam, dalam arti dipakai di Indonesia dan mempunyai arti dalam kehidupan masyarakat. Pada babak ketiga, yaitu waktu tulisan Latin dipilih sebagai sistem tulisan untuk menuliskan bahasa Melayu (dan kemudian bahasa-bahasa lain), bahasa Belanda dan Inggris tidak dipinjam dan tidak mempunyai tempat dalam budaya lokal9. Sebaliknya, bahasa Belanda dan Inggris menjadi sumber kata serapan yang malah lebih penting dari bahasa Sanskerta dan Arab sebelumnya oleh karena memenuhi kebutuhan bahasa nasional akan kata-kata di bidang teknik dan ilmiah.

Perbandingan dengan negeri-negeri lain di Asia Tenggara daratan mengandung hikmah. Pertama, peran para penjajah sangat menentukan: di negeri-negeri jajahan lain seperti Burma, Kamboja dan Laos para penjajah tidak memaksakan tulisan Latin, sehingga ketiga negeri itu tidak meninggalkan tulisan tipe India-nya masing-masing. Sistem dasar tulisan India itu sebenarnya sangat sempurna dari segi fonologi dan sesuai untuk menuliskan bahasa-bahasa yang bersangkutan, sehingga dari segi teknik, orang Asia Tenggara daratan cukup beralasan untuk berpegang pada sistem tulisan mereka. Menurut Jean Filliozat, alasan teknik itu sangat menentukan: “Tulisan tipe India dipertahankan sebagai peranti pencatatan yang sudah terbukti keunggulannya”10. Sebaliknya orang Indonesia telah meninggalkan tulisan India dan menggantikannya dengan tulisan Arab yang tidak cocok dengan bahasa lokal, sehingga mudah saja pindah lagi ke tulisan Latin karena alasan teknik juga. Argumen ini kuat sekali, namun tidak boleh menutupi fakta bahwa perpindahan dari satu sistem tulisan ke sistem lain ditentukan terutama oleh alasan ideologis.

9 Itu pun tentu saja dengan beberapa kekecualian (salah satu yang terkenal adalah novel Buiten het gareel yang ditulis dalam bahasa Belanda oleh Suwarsih Djojopuspito). Peran bahasa Inggris menjadi jauh lebih penting setelah kemerdekaan.

(21)

Mengenai pembaharuan Soewandi tahun 1947, L. Vikør (1988: 16) menulis, “Di antara beberapa perubahan, transisi dari <oe> ke <u> adalah yang paling memukau, karena tampak terinspirasi oleh perasaan anti-Belanda”. Sistem yang disusun tahun 1967 – di Indonesia di bawah pimpinan Anton Moeliono – dan diresmikan tahun 1972 melahirkan berbagai pertentangan dan perdebatan. Para penentang, antara lain Ajip Rosidi, mengajukan berbagai alasan teknik, komersial, ideologis dan budaya untuk menyerang sebuah keputusan yang dirasakan sebagai kekalahan di depan Malaysia, apalagi sebagai tindakan otoriter dari pemerintah. Dari mana-mana timbul protes yang keras; organisasi KAMI dan KAPPI mengadakan demonstrasi di Jakarta. Tiga puluh tahun kemudian B. Anderson menilai, “Lebih kemudian lagi (1972) terdapat perubahan edjaan jang berinti politik jang djahat. Edjaan Baru itu ditjiptakan untuk memberi kesan kolot, kiri2an, tanpa guna, tertjemooh dan sulit dibatja kepada apa sadja jang ditulis sebelum Soeharto memperkokoh kekuasaannja” (Anderson 2009: 390). Peralihan ke tulisan Latin jelas mengelompokkan segala tulisan sebelumnya sebagai budaya “tradisional”, yaitu warisan masa lalu yang patut disanjung dan dihormati, dan sekaligus barang budaya yang usang dan kolot. Kalau kesusasteraan Melayu (Jawi) tidak dihiraukan lagi di Indonesia pada masa kini, salah satu sebabnya ialah perpindahan ke tulisan Latin.

Apakah nilai tulisan sebagai lambang identitas masih perlu ditandaskan? Waktu menerima tulisan Arab, orang Melayu sengaja memasuki sebuah komunitas yang sudah mencakup orang Arab, Parsi, Turki, Urdu dll. Waktu meninggalkan tulisan Arab itu dan menerima tulisan Latin, mereka sengaja memasuki sebuah komunitas yang sama sekali lain. Perpindahan dari tulisan Arab ke Latin mempunyai dampak budaya dan agama. Tulisan Arab tak dapat dipisahkan dari agama Islam dan secara simbolis terkait dengan Timur Tengah. Tulisan Latin sebaliknya terkait dengan Eropa Kristen. Orang Indonesia dan Malaysia tidak memilih sistem tulisan Latin, tetapi mereka meneguhkannya sesudah kemerdekaan. Pilihan itu antara lain berarti memilih simbol modernitas Barat daripada simbol keikutsertaan dalam umat Islam.

(22)

kata-kata asli Nusantara; oleh karena itu, huruf-huruf tersebut menandakan kata-kata serapan Arab dan Parsi. Sebagai contoh, dalam ungkapan “misal dan tamsil dan ibarat”11, tulisan Jawi menunjukkan dengan jelas bahwa ketiga kata itu berasal dari bahasa Arab, malah ejaan kata misal dan tamsil menyiratkan bahwa keduanya berasal dari akar kata yang sama (yakni akar Arab ‘mathala’). Contoh sejenis sangat banyak. Tulisan Jawi bahkan menandakan beberapa kata serapan dari bahasa lain. Misalnya kata asal Sanskerta saudara, bangsa dan periksa yang sering ditulis memakai huruf syin (padahal pasti memakai sin kalau katanya asli Nusantara); demikian juga kata asal Tamil kolam, yang dalam naskah Ml. 249 tersebut di atas12 secara sistematis ditulis dengan huruf qaf. Jejak-jejak etimologi itu sama sekali hilang dalam tulisan Latin.

Kesimpulan

Ketiga gerakan pengaruh budaya di Nusantara (dari India, Islam dan Eropa) langsung terekam dalam sejarah tulisan. Namun dalam bidang ini seperti dalam berbagai bidang lain (kesusasteraan misalnya), berbagai pengaruh itu banyak tumpang-tindih, sehingga melahirkan situasi dwibahasa dan dwiaksara.

Situasi dwibahasa pada masa lalu sangat lazim. Lihat misalnya peran bahasa Melayu di Aceh, Sumatra Barat, Palembang, Banjar, Jawa, Bima, Ternate, dll., atau peran bahasa Jawa di daerah Sunda, Madura, Bali dan Lombok. Bahasa Jawa adalah bahasa lingkungan keraton di Palembang dan Banten, sehingga juga digunakan sebagai bahasa resmi di Lampung. Situasi kedwibahasaan itu barangkali tampak aneh, padahal sebenarnya tidak jauh berbeda dengan situasi bahasa Indonesia pada masa kini.

Lebih aneh adalah situasi kedwiaksaraan, yang terdapat misalnya dalam bahasa Jawa dan Sunda: seperti diuraikan di atas, dalam masing-masing bahasa tersebut pada masa silam sistem tulisan tradisional (tipe India) terus digunakan, tetapi naskah-naskah agama ditulis dalam sistim Arab. Tetapi situasi ini terbatas dan cenderung hilang atau mati sendiri. Rumus umum adalah: kalau muncul suatu tulisan baru, maka tulisan lama mundur dan akhirnya hilang. Malah teks yang tertulis dalam tulisan lama itu pun cenderung hilang. Naskah-naskah Melayu dalam tulisan lama

11 Dipetik dari naskah Perpustakaan Nasional RI, Ml. 249, Hikayat Merpati Mas, hlm. 38.

(23)

Dairi, Simalungun). Mari kita sekali lagi mengutip Maxime Rodinson (2005: 713): “Kalau faktor teknik, simbolis, estetis dan psikologis (…) main peranan yang acap penting sekali di samping faktor sosial dalam perkembangan sistem-sistem tulisan, maka sebaliknya faktor sosial jauh lebih penting dan faktor teknik boleh dikatakan tidak berlaku dalam soal pergantian suatu tulisan oleh tulisan lain.” Dalam hal perpindahan bahasa Melayu ke tulisan Arab, faktor sosial itu bersifat agama, sedangkan waktu perpindahan selanjutnya ke tulisan Latin, faktor sosial itu bersifat politik.

Faktor politik telah memainkan peranan sepanjang masa. Pertama, karena sebuah administrasi kenegaraan memerlukan tulisan. Naskah-naskah yang kini tersimpan dalam berbagai perpustakaan besar (di Jakarta, Kuala Lumpur, Leiden, London dll.) mencerminkan dimensi budaya tradisi tulis (teks sastra, agama, sejarah) dalam bahasa Melayu dan berbagai bahasa Nusantara yang lain, tetapi badan-badan arsip, yang umumnya terlalu enteng dikesampingkan, mencerminkan dimensi politik tradisi-tradisi itu (perjanjian, surat, laporan). Perkembangan sastra Melayu erat kaitannya dengan kekuasaan politik. Di Aceh misalnya, produksi teks Melayu muncul dan hilang seiring kemegahan kerajaan, kemudian mundur terganti oleh sastra berbahasa Aceh. Demikian pula di Pasai, di Melaka dan di berbagai pusat kerajaan yang lain. Tetapi produksi sastra itu, betapapun bobotnya, baru berkembang dari segi estetis kalau pusat politik yang bersangkutan mempunyai satu kebijakan budaya. Di situlah terdapat perbedaan antara keraton Jawa dan istana Melayu.

(24)

Singkatan

BEFEO Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient BKI Bijdragen van het Koninklijk Instituut

EFEO École française d’Extrême-Orient ENI Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië

JMBRAS Journal of the Malayan/Malaysian Branch of the Royal

Asiatic Society

JSBRAS Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde KPG KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

MBRAS Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society OUP Oxford University Press

RIMA RIMA (Review of Indonesian and Malayan Affairs) TBG Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap

Abdul Rahman Haji Ismail

1998 (Penyuntingan teks Sulalat al-Salatin), dalam Cheah Boon Kheng (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur: MBRAS.

Abdullah, Massir Q.

1982 Bo: Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima. Mataram: Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat, stensilan.

Abdullah bin Abdulkadir

1841 (ed.) Sejarah Melayu. Singapore: Thomas MacMicking.

1884 Sadjarah Malajoe of de Maleische Kronieken naar de uitgave van Abdoellah bin Abdel-kader Moensji, H.C. Klinkert ed. Leiden: Brill.

(25)

2005 “Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan”, dalam A. Sweeney (ed.), Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, jilid 1, Jakarta: KPG – EFEO.

Abidin, Andi Zainal

1971 “Notes on the lontara’ as historical sources”, Indonesia 12: 159-172.

Ahmat b. Adam

1995 The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855–1913). Ithaca: SEAP, Cornell University. Alam, M.T.S. Lembang

1917-1920 Berbagai-bagai kepertjajan orang Meajoe ja’ni kepertjajaan kepada orang haloes (hantoe, setan, jin dan lain-lain

sebangsanya). Batavia, 2 jil. Alexandre de Paris

1994 Le Roman d’Alexandre, terjemahan L. Harf-Lancner. Paris (coll. Livre de Poche).

Alian, T. Ibrahim dkk. (eds.)

1987 Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis: Kumpulan Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ali bin Ahmad

1979 Hikayat Inderaputera diusahakan oleh Enchè Ali bin Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (cet. ke-8). Alves, Jorge M. dos Santos

1991 Três Sultanatos Malaios do Estreito de Malaca nos séculos XV e XVI (Samudera-Pasai, Aceh e Malaca/Johor). Estudo Comparativo de História Social e Política , Disertasi, tidak terbit, Lisboa.

2001 “Naniyar Kuniyappan: Un Tamoul, syahbandar de Samudera-Pasai au début du XVIe siècle”, Archipel 62: 127-142.

Amin, Ahmad

1971 Sedjarah Bima: Sedjarah Pemerintahan dan Serba-serbi Kebudayaan Bima. Bima, stensilan.

Andaya, Leonard Y.

1981 The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: Martinus Nijhoff.

Anderson, Benedict R.O’G.

2009 “Bahasa tanpa nama”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 379-393.

Anderson, John

(26)

Archives

1974 Archives des manuscrits cham-Khao-luc nguyen cao Cham. Phanrang.

Arrien

1984 Histoire d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh P. Savinel. Paris: Minuit.

al-Attas, Syed Muhammad Naguib

1966 Rânîrî and the Wujûdiyyah in 17th Century Acheh. Kuala Lumpur: MBRAS.

1988 The Oldest Known Malay Manuscript: A Sixteenth Century Malay Translation of the ‘Aqâ’id of al-Nasai. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.

Azra, Azyumardi

1997 “A Hadrami religious scholar in Indonesia: Sayid Uthman”, dalam Urika Freitag & William G. Clarence-Smith (eds.), Hadrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s, Leiden: Brill.

Battistini, Olivier & Pascal Charvet (eds.)

2004 Alexandre le Grand: Histoire et Dictionnaire. Paris: Laffont (coll. Bouquins).

Bausani, A.

1962 “Note sulla struttura della ‘Hikayat’ classica malese”, Annali dell’Instituo Universitario Orientale de Napoli, n.s. XII: 153-192. (Terjemahan Inggris oleh L. Brakel, “Notes on the structure of the classical Malay hikayat”, Clayton: Monash University, 1979). Behrend, T. E. & Titik Pujiastuti

1997 Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – EFEO, 2 jil. (Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara, jilid 3-A & 3-B).

Berg, C.C.

1961 “Javanese historiography: a synopsis of its evolution”, dalam Hall (ed.) 1961, hlm. 13-23.

1965 “The Javanese picture of the past”, dalam Soedjatmoko dkk. (eds.) 1965, hlm. 87-118.

Berg, L.C.W. van den

1886 Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien, Batavia: Imprimerie du Gouvernement. (Terjemahan Indonesia: Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989).

Boisselier

1963 La Statuaire du Campa: Recherche sur les cultes et l’iconographie. Paris: EFEO.

Bouman, M.A.

(27)

Braam Morris, D.F. van

1891 “Nota van toelichting behoorende bij het contract gesloten met het landschap Bima op den 20sten Oct. 1886”, TBG 34: 176-233. Braginsky, V. I.

2004 The Heritage of Traditional Malay Literature: A historical survey of genres, writings and literary views. Leiden: KITLV.

Akan terbit Dalam artikel “Sulalat al-Salatin sebagai Mitos Politik”, merujuk pada Braginsky 2004.

Braginsky, V.I. & M.A. Boldyreva

1977 “Opisaniye malaysky rukopisey v sobranii leningradskogo otdeleniya Instituta vostokovedeniya an SSSR”, dalam B. Parnickel (ed.), Malaisko-indoneziiskie issledovaniya: Sbornik statei pamyati akademika A.A. Gubera, Moskwa:Nauka, hlm. 131-167. (Terjemahan Prancis, “Les manuscrits malais de Leningrad”, Archipel 40, 1990: 153-178.)

Brakel, L.F.

1975 The Hikayat Muhammad Hanaiyyah: A medieval Muslim-Malay romance. The Hague: Martinus Nijhoff.

1979 “On the origins of the Malay hikayat”, RIMA 13 (2): 2-21. 1980 “Dichtung und Wahrheit: Some notes on the development of the

study of Indonesian historiography”, Archipel 20: 35-44. Broeze, F.J.A.

1979 “The merchant leet of Java (1820­1850)”, Archipel 18: 251-269. Brown, C. C.

1952 “Sejarah Melayu or Malay Annals. A translation of Rafles M. 18 (in the Library of R.A.S. London)”, JMBRAS 25 (2-3): 1-276. (Edisi baru, Sejarah Melayu or Malay Annals: An Annotated Translation, Kuala Lumpur: OUP, 1970; cetak ulang, 1976). Bukhari al-Jauhari

1999 Taju’ssalatin, Mahkota Raja-Raja (ed. Asdi S. Dipodjojo & Endang Daruni Asdi). Yogyakarta: Lukman Offset.

Casparis, J.G. de

1975 Indonesian Palaeography, a History of Writing in Indonesia from the Beginnings to c. A.D. 1500. Leiden – Köln: Brill (Handbuch der Orientalistik, jil. 3.4.1).

1980 “Amat Majnun tombstone at Pengkalan Kempas”, JMBRAS, 53 (1): 1-22.

1998 “Some notes on ancient Bima”, Archipel 56 (L’horizon nousantarien: mélanges en hommage à Denys Lombard), hlm. 465-468.

Cense, A.A.

(28)

Chambert-Loir, Henri

1977a “Notes sur une épopée malaise: le Hikayat Dewa Mandu”, BEFEO LXIV: 293-302.

1977b “A propos du Mahabharata malais”, BEFEO LXIV: 265-291. 1980a Hikayat Dewa Mandu. Epopée malaise. I. Texte et Présentation.

Paris: EFEO.

1980b “Les sources malaises de l’histoire de Bima”, Archipel 20: 269-280.

1982 Syair Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO.

1983 “Sumber Melayu tentang sejarah Bima”, dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.

1984 “Muhammad Bakir: A Batavian scribe and author in the nineteenth century”, RIMA 19: 44-72.

1985a Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa. Bandung: Angkasa – EFEO.

1985b “Dato’ ri Bandang. Légendes de l’islamisation de la région de Célèbes Sud”, Archipel 29: 137-163. (Terjemahan Indonesia: “Dato’ ri Bandang. Legenda pengislaman daerah Sulawesi Selatan”, dalam D. Perret dkk. (eds.), Hubungan Budaya dalam Sejarah Dunia Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka – EFEO, 1998, hlm. 23-61.)

1987 “Sebuah hikayat Melayu dipentaskan”, dalam 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan École française d‘Extrême-Orient (EFEO), Jakarta: Puslit Arkenas, hlm. 73-85.

1988 “Notes sur les relations historiques et littéraires entre Campa et Monde Malais”, dalam Actes du Séminaire sur le Campa organisé à l’Université de Copenhague le 23 mai 1987, Paris: Centre d’Histoire de Civilisations de la Péninsule Indochinoise, hlm. 95-106.

1989a “Etat, cité, commerce: le cas de Bima”, Archipel 37: 83-105. 1989b “Naskah-naskah Melayu dari Pulau Sumbawa”, dalam Ismail

Hussein dkk. (eds.), Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, jil. II, hlm. 606-629.

1991 “Malay literature in the 19th century: the Fadli connection”, dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A. Teeuw, Leiden: KITLV Press, hlm. 87-114.

1992 “Sair Java-Bank di rampok: littérature malaise ou sino-malaise?”, dalam Claudine Salmon (ed.), Le moment “sino-malais” de la littérature indonésienne, Paris: Association Archipel, hlm. 43-70. 1994 “Some aspects of Islamic justice in the Sultanate of Pontianak c.

1880”, Indonesia Circle 63: 129-143.

(29)

Dunia Melayu”, dalam Ismail Hussein, P.B. Lafont & Po Dharma (eds.), Dunia Melayu dan Dunia Indocina, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 217-234.

1999 “Sair Java-Bank di rampok: Sastra Melayu atau Melayu-Tionghoa?”, dalam H. Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Jakarta: EFEO – Puslit Arkenas – Yayasan Obor Indonesia, hlm. 335-364. (Edisi ke-2, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011.)

2000 “Mythes et archives: l’historiographie indonésienne vue de Bima”, BEFEO 87 (1): 215-245.

2004 Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: KPG – EFEO. 2005 “The Sulalat al-Salatin as a political myth”, Indonesia 79:

131-160.

2006a “Alexandre le Grand en Insulinde”, dalam H. Chambert-Loir & Bruno Dagens (eds.), Anamorphoses: Hommage à Jacques Dumarçay, Paris: Les Indes Savantes, hlm. 369-393.

2006b “Malay colophons”, Indonesia and the Malay World, vol. 34, No.

100, hlm. 363-381.

2007 “Hikayat Iskandar Zulkarnain di Dunia Melayu”, dalam Ahmad Kamal Abdullah dkk. (eds.), Prosiding Seminar Kesusasteraan Bandingan Antarabangsa, 7-9 Jun 2007, Kuala Lumpur, hlm. 94-108.

2009a Sapirin bin Usman, Hikayat Nakhoda Asik; Muhammad Bakir, Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak. Jakarta: Masup Jakarta – EFEO.

2009b Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG – EFEO.

2009c “Aksara, huruf, lambang: Jenis-jenis tulisan dalam sejarah”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 309-338.

2009d “Transkripsi sebagai terjemahan”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 791-807.

2010 “Kolofon Melayu”, dalam Oman Fathurahman (ed.), Filologi

dan Islam Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama RI, Puslitbang Lektur Keagamaan, hlm. 151-180.

2011a “Kolofon Melayu”, Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu, 3, 1, hlm. 99-119.

2011b “Sebuah sumber Prancis tentang masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda: Cerita perjalanan Augustin de Beaulieu”, dalam Aprinus Salam dkk. (eds.), Jejak Sastra & Budaya: Prosiding Seminar Internasional Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno, Yogyakarta: Elmatera, hlm. 175-208.

(30)

Kelisanan Nusantara: Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram, Depok: Yayasan Pernaskahan Nusantara, hlm. 1-16.

2011d “Syair Sultan Fansuri”, dalam H. Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama, Jakarta: KPG. 2011e “Tempayan Kalimantan menurut sebuah teks Melayu tahun 1839”,

dalam H. Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama, Jakarta: KPG.

2013 “Daendels dan al-Ghazali: wawasan politik Abdullah al-Misri”, dalam Jelani Harun & Ben Murtagh (eds.), Penghargaan kepada Professor Emeritus V.I. Braginsky: Mengharungi Laut Sastera Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 50-87. Chambert-Loir, Henri & Siti Maryam Salahuddin

1999 Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO – Yayasan Obor Indonesia. (Cetakan kedua, 2012).

Chambert-Loir, Henri, Suryadi, Oman Fatrurahman & H. Siti Maryam R. Salahuddin

2009 Iman dan Diplomasi: Sultan Bima Abdul Hamid Muhammad Syah, Jakarta: KPG – EFEO.

Cheah Boon Kheng

1998 “The rise and fall of the great Melakan empire: Moral judgement in Tun Bambang’s Sejarah Melayu”, JMBRAS 71 (2): 104-121. 1998a (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur: MBRAS

(Reprint No 17). Cohen, Marcel

1958 La grande invention de l’écriture et son évolution. Paris: Klincksieck. Dicetak ulang dalam Marcel Cohen & Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris: Laffont, 2005 (coll. Bouquins).

Cohen, Marcel dkk. (eds.)

1963 Ecriture et psychologie des peuples. Paris: Armand Colin. Dicetak ulang dalam Marcel Cohen et Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris: Laffont, 2005 (coll. Bouquins).

Cohen, Matthew Isaac

2004 “Traditional and Popular Painting in Modern Java”, Archipel 69: 5-38.

Collet, Octave

1910 L’île de Java sous la domination française. Bruxelles: Falk Fils. Collins, James T.

1998 Malay, World Language: A Short History (edisi kedua). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Terjemahan Indonesia, Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV-Jakarta – Yayasan Obor Indonesia, 2005).

(31)

Cowan, C.D. & O.W. Wolters (eds.)

1976 Southeast Asian History and Historiography: Essays Presented to D.G.E. Hall. Ithaca: Cornell University Press.

Crawfurd, John

1820 History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, and Commerce of its Inhabitants. Edinburgh: Constable, 3 jilid.

Dain, Alphonse

1964 Les Manuscrits. Paris: Les Belles Lettres. Dakers, C. H.

1939 “The Malay coins of Malacca”, JMBRAS 17 (1): 1-12, 2 hlm. gambar.

Damais, L.-C.

1962-1963 “Bibliographie indonésienne. Compte rendu de Bahasa dan Budaja”, BEFEO L (2), 1962, hlm. 417-518, jil. LI, no. 2, 1963, hlm. 583-594, BEFEO LII (1), 1964, hlm. 204-240.

Déroche, François dkk.

2000 Manuel de codicologie des manuscrits en caractères arabes. Paris: Bibliothèque Nationale de France.

2005 Islamic Codicology: An introduction to the study of manuscripts in Arabic script. London: Al-Furqân Islamic Heritage Foundation. Dipodjojo, Asdi

1981 Taju’ssalatin, Fasal 10-12. Yogyakarta: Lukman. Douikar­Aerts, Faustina

2003 Alexander Magnus Arabicus: Zeven eeuwen Arabische Alexandertraditie, van Pseudo-Callisthenes tot Sûrï. Disertasi, Universitas Leiden, 2003.

Drewes, G.W.J.

1954 Een Javaanse Primbon uit de zestiende eeuw. Brill: Leiden. 1969 The Admonitions of Seh Bari. The Hague: Martinus Nijhoff. 1977 Directions for Travellers on the Mystic Path: Zakariyya al-Ansari’s

Kitab Fath al-Rahman and its Indonesian adaptations; with an appendix on Palembang manuscripts and authors. The Hague: Martinus Nijhoff.

1978 An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus Nijhoff.

1995 “Short notice on the story of Haji Mangsur of Banten”, Archipel 50: 119-122.

Drewes, G.W.J. & L.F. Brakel

1986 The Poems of Hamzah Fansuri. Dordrecht: Foris. Eco, Umberto

(32)

Effendy, Tenas

1989 “Sedikit catatan tentang ‘Syair Perang Siak’”, dalam D.J. Goudie, Syair Perang Siak, Kuala Lumpur: MBRAS, hlm. 257-268. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie

1917-1939. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 8 jilid.

Endicott, K.M.

1970 An Analysis of Malay Magic. Singapore: OUP. Eringa, F.S.

1984 Soendaas-Nederlands woordenboek. Dordrecht: Foris. Eymeret, J.

1972 “Java sous Daendels, 1808-1811”, Archipel 4: 151-168. Favre, Abbé P.

1875 Dictionnaire malais-français. Wina: Imprimerie Impériale. Firdousi, Abou’lkasim

1877 Le Livre des Rois, Shah-Nameh, diterjemahkan oleh Jules Mohl. Paris, jil. V.

Fox, J.J.

1971 “A Rotinese dynastic genealogy: structure and event”, dalam T.O. Beidelman (ed.), The Translation of Culture: Essays to E.E. Evans-Pritchard, London: Tavistock Publications, hlm. 37-77.

Francis, E.

1856 Herinneringen uit den levensloop van een Indisch ambtenaar van 1815 tot 1851. Batavia: Van Dorp.

Gaillard, Marina

2005 Alexandre le Grand en Iran: Le Dârân Nameh d’Abu Tâher Tarsusi. Paris: De Boccard.

Gallop, Annabel Teh

1994 The Legacy of the Malay Letter. Warisan Warkah Melayu. London: British Library.

2002 Malay Seal Inscriptions: a study in Islamic epigraphy from Southeast Asia. PhD thesis, School of Oriental and African Studies, University of London.

2003 “Malay documents in the Melaka Records”, Paper presented at the 3rd International Convention of Asia Scholars, Singapore, 19-22 August 2003.

Gallop, Annabel Teh & Bernard Arps

1991 Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas: Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.

Gonda, J.

1952 Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian Culture.

Graaf, H.J. de

(33)

Guillot, Claude

2004 “La Perse et le Monde malais. Echanges commerciaux et intellectuels”, Archipel 68: 159-192.

Guillot, Claude & Ludvik Kalus

2000 “La stèle funéraire de Hamzah Fansuri”, Archipel 60: 3-24. (Terjemahan Indonesia, “Batu nisan Hamzah Fansuri”, dalam C. Guillot & L. Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta: KPG, 2008, hlm. 71-93.

Hadi, Amirul

2004 Islam and State in Sumatra: A study of seventeenth-century Aceh. Leiden: Brill.

Hall, D.G.E. (ed.)

1961 Historians of South East Asia. London: School of Oriental and African Studies, University of London.

Hamer, C. den

1890 “De sair Madi Kentjana”, TBG 33: 531-563. Hanitsch, R.

1903 “On a collection of coins from Malacca”, JMBRAS 39: 183-202, 2 hlm. gambar.

1905 “On a second collection of coins from Malacca”, JMBRAS 44: 213-16, 1 hlm. gambar.

Hashim Musa

2003 Epigrai Melayu: Sejarah Sistem Tulisan dalam Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (ed. pertama, 1997). Hellwig, Tineke

1986 “Njai Dasima, een vrouw uit de literatuur”, dalam C.M.S. Hellwig & S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 48-66. Hikayat Hang Tuah

1978 [Transkripsi sebuah naskah milik Perpustakaan Nasional di Jakarta, tertanda “oleh: Bot Genoot Schap”]. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, 2 jilid.

Hikayat Inderaputera

1968 Hikayat Inderaputera (ed. Enche’ Ali bin Ahmad). Kuala Lumpur: Dewa Bahasa dan Pustaka.

Hitchcock, Michael

1984 “Is this evidence for the lost kingdoms of Tambora?”, Indonesia Circle 33: 30-35.

Ho, Engseng

(34)

Hoed, Benny Hoedoro

2006 Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Hoëvell, W.R. van

1845 “Eenige mededeelingen omtrent het eiland Bali van Abdullah bin Mohamad el-Mazrie”, Tijdschrift voor Neêrlandsch-Indië, VII-2: 139-201.

Hollander, J.J. de

1873 “Berichten van eenen Malaier over Siam en de Siameezen”, BKI 20: 229-230.

Hooykaas, C.

1937 Over Maleise literatuur. Leiden: Brill. (Edisi kedua, 1947) 1951 Perintis Sastra. Groningen – Jakarta: J.B. Wolters. Ikram, Achadiati dkk.

2001 Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Nusantara – Yayasan Obor Indonesia. Iskandar, Teuku

1981 “Some manuscripts formerly belonging to Jakarta lending libraries”, dalam N. Phillips & K. Anwar (eds.), Papers on Indonesian Languages and Literatures, London: Indonesian Etymological Project – Paris: Association Archipel, hlm. 145-152. 1995 Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei: Universiti

Brunei Darussalam.

1999 Catalogue of Malay, Minangkabau and South Sumatran Manuscripts in the Netherlands. Leiden: Documentatiebureau Islam-Christendom, 2 jil.

Jamilah Haji Ahmad (ed.)

1981 Hikayat Sempurna Jaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Jedamski, Doris

2009 “Terjemahan sastra dari bahasa-bahasa Eropa ke dalam bahasa Melayu sampai tahun 1942”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 171-203.

Jelani Harun

2003 Pemikiran Adab Ketatanegaraan Kesultanan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

2004 “Bustan al-Salatin, ‘The Garden of Kings’: A universal history and adab work from seventeenth-century Aceh”, Indonesia and the Malay World, vol. 32, No. 92: 21-52.

Jones, Russell

1975 “The date of School of Oriental and African Studies naskah dari Sjair Perang Mengkasar”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies 38 (2): 418-420.

(35)

1985 Hikayat Sultan Ibrahim ibn Adham. An edition of an anonymous Malay text with translation and notes. Berkeley: University of California.

1987 Hikayat Raja Pasai. Petaling Jaya: Fajar Bakti. 2007 Loan-Words in Indonesian and Malay. Leiden: KITLV. Jong Boers, Bernice de

1995 “Mount Tambora in 1815: A volcanic eruption in Indonesia and its aftermath”, Indonesia 60: 36-60.

Jordaan, R. E. & P. E. de Josselin de Jong,

1985 “Sickness as metaphor in Indonesian political myths”, BKI 141 (2): 253-274.

Josselin de Jong, J.P.B. de

1935 De Maleische Archipel als ethnologisch studieveld. Leiden: J. Ginsberg.

1977 “The Malay Archipelago as a ield of ethnological study”, dalam P.E. de Josselin de Jong (ed.), Structural Anthropology in the Netherlands, The Hague: Martinus Nijhoff, hlm. 166-182. Josselin de Jong, P. E de

1961. “Who’s Who in the Malay Annals”, JMBRAS, 34 (2): 1-89. 1964 “The Character of the Malay Annals”, dalam Malayan and

Indonesian Studies, J. Bastin & R. Roolvink (eds.), Oxford: The Clarendon Press, hlm. 235-241.

1985 “Le roi en son royaume: mythes politiques de l’Indonésie occidentale”, ASEMI XVI (1-4): 195-210.

1986 “Textual anthropology and history: The sick king”, dalam C.D. Grijns & S.O. Robson (eds.), Cultural Contact and Textual Interpretation, Dordrecht: Foris.

Junus, Umar

1984 Sejarah Melayu: Menemukan Diri Kembali. Petaling Jaya: Fajar Bakti.

Jusuf, Jumsari (ed.)

1978 Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama. Jakarta: Departement Pendidikan dan Kebudayaan.

Juynboll, H.H.

1899 Catalogus van de Maleische en Sundaneesche handschriften der Leidsche Universiteits-bibliotheek. Leiden: Brill.

Kartodirdjo, Sartono

1973 Protest Movements in Rural Java. Singapore: OUP. Kassim Ahmad (ed.)

1964 Hikayat Hang Tuah [transkripsi sebuah naskah milik Dewan Bahasa dan Pustaka]. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Edisi ketiga, 1971).

(36)

Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat

1992 Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat, oleh Asma Ahmat. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.

Katalog Manuskrip Melayu di Perancis

1991 Katalog Manuskrip Melayu di Perancis, oleh Siti Mariani Omar. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.

Kathirithamby-Wells, J. & Muhammad Yusoff Hashim

1985 The Syair Mukomuko: some historical aspects of a nineteenth century Sumatran chronicle. Kuala Lumpur: MBRAS. Kern, H.

1948 “Uit de verslagen van Dr W. Kern, taalambtenaar op Borneo, 1938-1941”, TBG 82 (3-4): 538-47.

Kern, R.A.

1947 “Proeve van Boegineesche geschiedschrijving”, BKI 104: 1-31. Khalid Hussain

1967 Hikayat Iskandar Zulkarnain. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Koster, G. L.

1986 “The soothing works of the seducer and their dubious fruits: interpreting the Syair Buah-Buahan”, dalam C.M.S. Hellwig & S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 73-99. 1997 Roaming through Seductive Gardens: Readings in Malay

narrative. Leiden: KITLV.

Koster, G.L. & H.M.J. Maier

1982 “Variation within identity in the Syair Ken Tembuhan”, Indonesia Circle 29: 3-17.

1986 “The Kerajaan at war: on the genre heroic-historical syair”, dalam Tauik Abdullah (ed.), Papers of the Fourth Indonesian-Dutch History Conference, Yogyakarta 24-29 July 1983. Part Two: Literature and History. Yogyakarta, Gadjah Mada, hlm. 29-72. Kratz, Ulrich

1977 “Running a library in Palembang in 1886 A.D.”, Indonesia Circle 14: 3-12.

1980 “A brief description of the ‘Malay’ manuscripts of the ‘Overbeck Collection’ at the Museum Pusat, Jakarta”, JMBRAS 53 (1): 90-106.

1989 “Hikayat Raja Pasai: A second manuscript”, JMBRAS 62 (1): 1-10. 2002 “Jawi spelling and orthography: A brief review”, Indonesia and the

Malay World, vol. 30, no. 86: 21-26. Kratz, E.U. & Adrietty Amir

2002 Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Lacarrière, Jacques

(37)

Lafont, P.-B.

1977 Catalogue des manuscrits cam des bibliothèques françaises. Paris: EFEO.

Lapian, A.B.

1987 “Bencana alam dan penulisan sejarah (Krakatau 1883 dan Cilegon 1888)”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987, hlm. 211­231.

Leeuwen, Pieter Johannes van

1937 De Maleische Alexanderroman. Meppel: Ten Brink. Lemaire, Jacques

1989 Introduction à la codicologie. Louvain-la-Neuve: Université Catholique.

Leyden, John.

1821 Malay Annals: Translated from the Malay language by the late Dr John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford Rafles. London: Longman. (Cetak ulang, Kuala Lumpur: MBRAS, 2001). Liaw Yock Fang

1975 Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka Nasional. (Cetakan ke-3, 1982).

1976 Undang-Undang Melaka: The laws of Melaka. The Hague: Martinus Nijhoff.

Ligtvoet, A.

1880 “Transcriptie van het dagboek der vorsten van Gowa en Tello met vertaling en aanteekeningen”, BKI 28: 1-259.

Linden, A. van der

1937 De Europeaan in de Maleische Literatuur. Meppel. Lombard, Denys

1967 Le Sultanat d’Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636). Paris: EFEO.

1979 “Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (première moitié du XIXème siècle”, Archipel 18: 231-250.

1990 Le carrefour javanais. Essai d’histoire globale. Paris: EHESS. Lombard-Salmon, Claudine

1972 “Société peranakan et utopie: deux romans sino-malais (1934-1939)”, Archipel 3: 169-195.

Manguin, Pierre-Yves

1979 “L’Introduction de l’Islam au Campa”, BEFEO 61: 255-287. Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia

1987 Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia: Satu Katalog Ringkas. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia. Marihandono, Djoko

(38)

Marrison, G.E.

1955 “Persian inluences in Malay life”, JMBRAS 28 (1): 52-69. 1985 “The Chams and their literature”, JMBRAS 58 (2): 45-70. Marsden, William

1811 History of Sumatra. London: Cox and Baylis (3rd revised edition).

(Edisi pertama, 1783. Cetakan ulang, OUP, 1966, 1975.) Matheson Hooker, Virginia (ed.)

1991 Tuhfat al-Nais: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Matheson, Virginia & Barbara Watson Andaya

1982 The Precious Gift (Tuhfat al-Nais). Kuala Lumpur: OUP. Matthes, B.F.

1856 “Verslag van een verblijf in de binnenlanden van celebes, van 24 April tot 24 October 1856”, dalam H. van den Brink, Dr. Benjamin Frederick Matthes: zijn leven en arbeid in dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap, hlm. 178-188.

1875 Korte verslag aangaande alle mij in Eropa bekende

Makassaarsche en Boegineesche handschrijften. Amsterdam: Nederlandsche Bijbelgenootschap.

McRoberts, R. W.

1984 “An Examination of the Fall of Malacca in 1511”, JMBRAS 57 (1): 26-39.

Mohamed Salleh Perang

1980 Reputations Live On: an early Malay autobiography (A. Sweeney ed.). Berkeley, Cal.: University of California Press.

Mohd. Ghazali bin Haji Abbas & Che Selamah bt Che Musthafa

1988 Katalog Induk Koleksi Sastra Tionghoa Peranakan. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia (mimeogr.).

Molen, W. van der

2007 “The Syair of Minye Tujuh”, BKI 163 (2-3): 356-375. (Terjemahan Indonesia: “Syair Minye Tujuh”, dalam Claude Guillot & Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta: KPG – EFEO, hlm. 37-63.)

Moussay, G.

1975 Akayet Deva Mano, traduit du Cam et annoté. Paris, EHESS, disertasi, tidak terbit, 411 hlm. ketikan.

1976 “Pram Dit Pram Lak (La geste de Rama chez les Cam)”, dalam Actes du XXIXe Congrès International des Orientalistes, Asie du Sud-Est Continentale, Paris: Asiathèque, jil. II, hlm. 131-135. (Terjemahan Indonesia, “Pram Dit Pram Lak: Cerita Rama dalam Sastra Cam”, dalam Kerajaan Campa, Jakarta: Balai Pustaka, 1981, hlm. 187-195.

(39)

Indraputra”, dalam Ismail Hussein, P.B. Lafont & Po Dharma (eds.), Dunia Melayu dan Dunia Indocina, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 244-259.

Moy, Timothy J.

1975 “The ‘Sejarah Melayu’ tradition of power and political structure: An assessment of relevant sections of the ‘Tuhfat al­Nais’”, JMBRAS 48 (2).

Muhammad Haji Salleh

1997 Sulalat al-Salatin, ya’ni Perteturun Segala Raja-Raja Karangan Tun Seri Lanang. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan – Dewan Bahasa dan Pustaka.

Muhammad Yusoff Hashim

1980 Syair Sultan Maulana: suatu penelitian kritis tentang hasil pensejarahan Melayu tradisional. Kuala Lumpur: Universiti Malaya.

1990 Kesultanan Melayu Melaka: Kajian beberapa aspek tentang Melaka pada abad ke-15 dan abad ke-16 dalam sejarah Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Mu’jizah

2008 Surat Melayu Beriluminasi Raja Nusantara dan Pemerintah Hindia Belanda Abad ke-18 – 19. Jakarta: KPG – EFEO – KITLV – Pusat Bahasa.

Mulyadi, Sri Wulan Rudjiati

1980 “Rona keislaman dalam Hikayat Indraputra”, Archipel 20: 133-142.

1983 Hikayat Indraputra: A Malay romance. Dordrecht: Foris. 1994 Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok: Fakultas Sastra

Universitas Indonesia.

Mulyadi, Sri Wulan Rudjiati & H. Siti Maryam Salahuddin

1990-1992 Katalogus Naskah Melayu Bima. Bima: Yayasan Museum Kebudayaan Samparaja, 2 jilid.

Mus, Paul

1928 “Études Indiennes et Indochinoises. I. L’inscription à Valmiki de Prakaçadharma (Tra-Kiêu)”, BEFEO XXVIII: 147-152. Mutiara, Putri Minerva

1993 Sejarah Melayu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Nara Vija

1976 Akayet Inra Patra. Paris, disertasi, tidak terbit. Netscher, E.

Referensi

Dokumen terkait

telah menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul Analisis Faktor Pengusaha Kuliner Menggunakan Jasa Iklan Instagram “Jakul Semarang”.

7.Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara, yaitu peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Daerah yang mengatur

of referential addressing besides employing illocutionary acts of the matrix sentence. Second is the vocative contains a perlocutionary act of dissociation which

Berdasarkan hasil penelitian, analisis serta pembahasan yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara sense

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan PT Danliris Sukoharjo dalam melindungi tenaga kerja dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta upaya-upaya yang

Beberapa hal tersebut antara lain adalah pengertian aljabar max-plus , struktur aljabar max-plus , pengertian sistem persamaan linear dan matriks dalam aljabar konvensional,

.&#34;هعفن رثكي ] 30 ةجرد [ يناثلا لاؤسلا ) نع بجا ماث ةيآتلا ةعطقلا أرقا (أ :اهيلآت يتلا ةلئسلا عيمج ةداممم يممه ةيممضايرلا ةمميبرتلا ةدام نإ

Pada waktu arsip dikembalikan, petugas arsip harus memeriksa lebih dahulu akan keadaan arsip tersebut (masih baik atau rusak). Mengenai lama peminjaman dibatasi dalam jangka