• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORELASI KADAR HOMOSISTEIN SERUM DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KORELASI KADAR HOMOSISTEIN SERUM DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

MDVI Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 2s – 8s

KORELASI KADAR HOMOSISTEIN SERUM DENGAN DERAJAT

KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS

Dewi Hasanah, Herman Cipto, Farida Zubier, Tjut Nurul Alam Jacoeb Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Indonesia / RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta ABSTRAK

Hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV). Psoriasis vulgaris adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang berhubungan dengan aterosklerosis dan PKV. Defisiensi folat dapat terjadi pada pasien psoriasis, akibat penggunaan folat yang meningkat di kulit dan atau penyerapan usus yang berkurang. Defisiensi folat mengakibatkan peningkatan kadar homosistein. Penelitian ini bertujuan mencari korelasi kadar homosistein serum dengan derajat keparahan psoriasis, yang diukur berdasarkan skor metode psoriasis area severity index (PASI) dan luas body surface area (BSA). Rancangan penelitian ini adalah potong lintang pada 36 subyek psoriasis vulgaris, yang terdiri atas 16 perempuan dan 20 laki-laki. Kadar homosistein serum diukur dengan metode competitive immunoassay. Pada subyek laki-laki, kadar homosistein serum berkorelasi positif dengan derajat keparahan yang diukur dengan PASI (korelasi Pearson, r = 0.615, p < 0,05) dan BSA yang terlibat (korelasi Spearman, r = 0,476, p < 0,05). Tidak ada korelasi antara kadar homosistein serum dengan PASI ( korelasi Pearson, p > 0,05 ) dan BSA (korelasi Spearma , p > 0,05) pada subyek perempuan. Terdapat korelasi positif yang bermakna secara statistik antara kadar homosistein serum dengan derajat keparahan psoriasis (PASI dan BSA) pada subyek laki-laki. (MDVI 2013; 40/s:2s - 8s) Kata kunci : homosistein, psoriasis vulgaris, penyakit kardiovaskular

ABSTRACT

Hyperhomocysteinemia is an independent risk factor for cardiovascular disease (CVD). Psoriasis vulgaris is a chronic inflammatory skin disease associated with atherosclerosis and CVD. Psoriatic patients often presents low levels of folic acid as a result of an increasing vitamin utilization in the skin and/or reduced gut absorption. This may result in raised levels of homocysteine. The authors investigated the correlation between serum homocysteine levels and the severity of psoriasis vulgaris measured by psoriasis area and severity index (PASI) and body surface area (BSA). We performed a cross-sectional study in 36 patients with psoriasis vulgaris, comprised 16 women and 20 men. The serum levels of homocysteine were measured by competitive immunoassay method. In male psoriasis subjects, serum homocysteine levels positively correlated with disease severity as measured by PASI (Pearson's correlation; r = 0.615, p < 0.05) and BSA (Spearman's correlation; r = 0.476, p < 0.05). There was no correlation between serum homocysteine levels with PASI (Pearson's correlation, p > 0.05) and BSA (Spearman's correlation, p > 0.05) in female psoriasis subjects. A significant correlation between serum homocysteine levels with disease severity(PASI and BSA) in male psoriasis subjects was evidenced. (MDVI 2013; 40/s:2s - 8s)

Key words : homocysteine, psoriasis vulgaris, cardiovascular disease

PENDAHULUAN

Artikel Asli

Korespondensi:

Jl. Diponegoro No. 71, Jakarta Pusat Telp. 021 – 31935383

(2)

D Hasanah dkk. Korelasi kadar homosistein dengan keparahan psoriasis

PENDAHULUAN

Psoriasis merupakan kelainan kulit eritroskuamosa dengan gambaran morfologis, distribusi, derajat keparahan, serta perjalanan penyakit yang bervariasi.1-3 Metode baku emas untuk menilai derajat keparahan psoriasis adalah penentuan psoriasis area and severity index (PASI),4 namun metode ini cukup rumit, sehingga lebih banyak digunakan untuk penelitian.5 Dalam praktek sehari-hari, metode penentuan derajat keparahan berdasarkan luas permukaan tubuh atau body surface area (BSA) yang terkena lebih mudah dan cepat untuk diterapkan.6

Psoriasis merupakan penyakit peradangan kulit kronis yang dapat menyebabkan komorbiditas yang serius, misalnya penyakit kardiovaskular (PKV). Penyakit ini dapat berdampak serius terhadap kualitas hidup pasien.7 Dengan demikian tatalaksana psoriasis sebaiknya tidak terbatas pada kelainan kulit saja, namun mencakup pendekatan holistik.8 Dokter spesialis kulit dan kelamin diharapkan berperan penting dalam mengidentifikasi dan mencegah PKV pada pasien psoriasis.

Prodanovich dkk. (2009) menyatakan bahwa psoriasis berhubungan dengan kejadian aterosklerosis,9 yang meru-pakan penyebab utama PKV.10 Mekanisme oleh kejadian aterosklerosis psoriasis masih belum jelas, namun diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya kondisi hiperhomosisteinemia.11 Peningkatan risiko PKV pada hiperhomosisteinemia dihubungkan dengan disfungsi sel endotel pembuluh darah yang diinduksi oleh homosistein.12

Hiperhomosisteinemia dapat terjadi karena berbagai hal. Salah satu sebab adalah defisiensi folat yang merupakan kofaktor penting dalam metabolism homosistein .13-15 Penurunan kadar folat diduga berhubungan dengan derajat keparahan psoriasis. Mekanisme defisiensi folat pada psoriasis belum sepenuhnya diketahui, namun diduga absorpsi folat melalui usus berkurang akibat peradangan mikroskopis mukosa usus dan atau penggunaan folat yang meningkat pada kulit yang mengalami hiperproliferasi.1,16

Kadar homosistein meningkat sesuai bertambahnya usia. Kadar homosistein pada laki-laki lebih tinggi diban-dingkan perempuan. Diduga kadar homosistein dipengaruhi oleh faktor genetik dan nutrisi.17 Kadar homosistein berbeda antar kelompok etnis, namun perbedaannya kecil antar etnis yang hidup di area yang sama dan memakan jenis makanan yang serupa.18 Pemberian suplemen asam folat dapat menjadi pertimbangan terapi pada pasien psoriasis dengan kondisi hiperhomosistemia dan kadar folat yang rendah.16 Brönstrup dkk. (1998) membuktikan pemberian suplemen atau makanan yang diperkaya asam folat dan vitamin B12 dapat menurunkan homosistein dan diharapkan dapat mencegah penyakit vaskular.19

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rerata kadar homosistein serum pada pasien psoriasis vulgaris dan mengetahui korelasi antara kadar homosistein serum dengan derajat keparahan psoriasis. Berbeda dengan

penelitian sebelumnya yang melakukan pemeriksaan homosistein pada plasma, maka pemeriksaan homosistein yang tersedia di Indonesia adalah menggunakan spesimen serum. Penggunaan serum biasanya akan memberikan hasil kadar homosistein yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan plasma, namun hal ini dapat dicegah dengan proses sentrifugasi dan memisahkan sel darah sesegera mungkin, mendinginkan sampel darah sampai dilakukan sentrifugasi, dan atau menggunakan tabung yang mengandung jeli pemisah.18 Pada penelitian ini, untuk menentukan derajat keparahan psoriasis selain menggunakan skor PASI juga akan digunakan metode BSA yang lebih mudah dan cepat untuk diterapkan pada praktek sehari-hari.6 Pemeriksaan homosistein secara rutin sampai saat ini masih diper-debatkan karena biaya yang cukup mahal, namun kadar homosistein dapat menjadi faktor prognostik kejadian PKV serta peningkatan mortalitas khususnya pada psoriasis derajat berat, sehingga dapat dipertimbangkan peme-riksaannya secara rutin khususnya pada psoriasis derajat berat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan potong lintang yang dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2013 di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPNCM, Jakarta.

Subyek penelitian (SP) terdiri atas 36 pasien psoriasis vulgaris laki-laki dan perempuan berusia 18-50 tahun yang dikumpulkan secara consecutive sampling. Subyek yang diikutsertakan pada penelitian dipilih berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan.

Pasien disertakan dalam penelitian apa bila secara klinis didiagnosis sebagai pasien psoriasis vulgaris, ber-usia antara 18-50 tahun, bersedia menjadi subyek penelitian (bersedia diwawancara, dilakukan pemeriksaan fisis, dan diambil darah) dengan menandatangani surat persetujuan penelitian setelah diberi penjelasan (informed

consent).

Pasien tidak disertakan dalam penelitian bila mengkonsumsi suplemen asam folat, vitamin B6, dan B12 dalam 1 bulan terakhir; mengkonsumsi obat-obat yang dapat mempengaruhi kadar homosistein serum, yaitu: fenitoin, karbamazepin, teofilin, kontrasepsi hormonal/terapi hormon, nitrat oksida, metformin, diuretik tiazid, obat-obat anti-psoriasis sistemik (metotreksat, siklosporin, dan asitretin); pasien dengan penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi kadar homosistein serum, yaitu: penyakit hati, penyakit ginjal kronis, dan diabetes melitus. (berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratoris); serta sistemik lupus eritematosus, hipotiroidisme, dan keganasan (berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis), menopause, sedang hamil, perokok, mengkonsumsi kopi dan atau alkohol dalam 1 minggu terakhir.

(3)

MDVI Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 2s – 8s

CARA PENELITIAN

Pada seluruh subyek penelitian (SP) dilakukan anam-nesis, pemeriksaan fisis, penilaian derajat keparahan psoriasis (PASI dan BSA). Setelah SP berpuasa selama 12 jam, dilakukan pengambilan darah vena, untuk pemeriksaan kadar homosistein serum di laboratorium Prodia Jl. Kramat Raya No. 150, Jakarta Pusat. Pemeriksaan kadar homosistein dilakukan dengan metode competitive immunoassay dengan teknologi chemiluminescent menggunakan alat Advia Centaur XP.

ANALISIS STATISTIK

Data numerik dinilai sebarannya dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan batasan p > 0,05 untuk sebaran normal. Analisis korelasi antara kadar homosistein serum dengan skor PASI dan BSA menggunakan koefisien korelasi Pearson (jika sebaran data normal) atau Spearman (jika sebaran data tidak normal). Korelasi dinyatakan dengan nilai r. Korelasi kuat apabila nilai r = 0,7-1,0, korelasi sedang r = 0,3-0,69, dan korelasi lemah r =0-0,29. Nilai p < 0,05 dianggap bermakna.

HASIL

Karakteristik demografik

Pada penelitian ini, didapatkan subyek laki-laki sebanyak 20 orang (55,6%) dan perempuan 16 orang (44,4%). Rerata usia SP adalah 35,75 tahun (simpang baku 9,03 tahun). Usia SP paling muda adalah 19 tahun dan paling tua 50 tahun, dengan jumlah terbanyak didapatkan pada rentang usia antara 35-50 tahun (55,6%). Suku terbanyak berasal dari Jawa (38,9%) dan mayoritas SP berasal dari etnis Melayu (88,9%). Pendidikan SP paling banyak tamat Sekolah Menengah Atas (47,2%) (tabel 1).

Tabel 1. Distribusi karakteristik demografik pasien psoriasis di RSUPNCM, Jakarta tahun 2013 (N = 36)

Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%)

Jenis kelamin Laki-laki 20 55.6 Perempuan 16 44.4 Usia (tahun) 18-34 16 44,4 35-50 20 55,6 Suku Bangka 1 2,8 Batak 4 11,1 Betawi 6 16,7 Jawa 14 38,9 Madura 1 2,8 Manado 1 2,8 Minang 1 2,8 Sunda 7 19,4 Timor 1 2,8 Etnis Arab 2 5,6 Cina 2 5,6 Melayu 32 88,9 Pendidikan Tidak tamat SekolahDasar 2 5,6 Tamat Sekolah Menengah Pertama 4 11,1 Tamat Sekolah Menengah Umum 17 47,2 Akademi / Diploma 2 5,6 Sarjana 11 30,6 Karakteristik klinis

Nilai median skor PASI adalah 7,5 dan berkisar antara 0,5-19,6. Nilai median skor BSA adalah 17,0% dan berkisar antara 1-67%. Derajat keparahan pasien yang diukur dengan metode PASI paling banyak adalah derajat ringan (50%) dan yang diukur dengan metode BSA paling banyak adalah derajat berat (47,2%) (tabel 2).

Tabel 2. Distribusi karakteristik klinis pasien psoriasis di RSUPNCM, Jakarta tahun 2013 (N = 36)

Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%)

Derajat keparahan berdasarkan skor PASI

Ringan (<7) 18 50 Sedang (7-12) 10 27,8 Berat (>12) 8 22,2

Derajat keparahan berdasarkan BSA (%)

Ringan (<3) 6 16,7 Sedang (3-10) 13 36,1 Berat (>10) 17 47,2

Lama sakit (tahun)

<9 25 69,4

≥9 11 30,6

Tekanan darah

Normal (sistolik <120 dan diastolik <80) 15 41,7 Prehipertensi (sistolik 120-139 atau diastolik 80-89) 9 25 Hipertensi derajat 1 (sistolik 140-159 atau diastolik 90-99) 9 25

Hipertensi derajat 2 (sistolik ≥160 atau diastolik ≥100) 3 8,3

IMT

Underweight (<18.5) 2 5,6 Normal (18.5-24.9) 14 38,9

(4)

D Hasanah dkk. Korelasi kadar homosistein dengan keparahan psoriasis

Kadar homosistein serum

Kadar homosistein serum pada SP berkisar antara 6,62-21,71 mg/dL, dengan nilai rerata 12,88 μmol/L (simpang baku 3.55 μmol/L). Pada penelitian ini terdapat 11 SP (30,6%) dengan kadar homosistein serum yang meningkat (tabel 3).

Tabel 3. Distribusi karakteristik kategori kadar homosistein serum pasien psoriasis di RSUPNCM, Jakarta tahun 2013 (N = 36)

Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%)

Kadar homosistein serum

Normal (5-15 μmol/L) 25 69,4 Tidak normal (>15 μmol/L) 11 30,6

Korelasi kadar homosistein serum dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris

Berdasarkan skor PASI. Pada SP laki-laki didapatkan korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar homo-sistein serum dengan skor PASI (korelasi Pearson; r = 0,615; p = 0,04). Pada SP perempuan didapatkan korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara kadar homosistein serum dengan skor PASI (korelasi Pearson; r = -0,216; p = 0,422). Pada keseluruhan SP terdapat korelasi positif sedang yang tidak bermakna antara kadar homosistein serum dengan skor PASI (korelasi Pearson; r = 0,314; p = 0,071) (gambar 1)

Gambar 1. Korelasi kadar homosistein serum dengan skor PASI pada (a) subyek laki-laki (n = 20), (b) subyek perempuan (n = 16), dan (c) seluruh subyek penelitian psoriasis di RSUPNCM, Jakarta tahun 2013 (N = 36)

(5)

MDVI Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 2s – 8s

Berdasarkan BSA. Pada SP laki-laki didapatkan korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar homosistein serum dengan persentase BSA (korelasi Spearman; r = 0,476; p = 0,034). Pada SP perempuan didapatkan korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara kadar homosistein

serum dengan persentase BSA (Korelasi Spearman; r = -0,107; p = 0,692). Pada keseluruhan SP didapatkan korelasi positif lemah yang tidak bermakna antara kadar homo-sistein serum dengan persentase BSA (korelasi Spearman; r = 0,314; p = 0,071) (gambar 2).

Gambar 2. Korelasi kadar homosistein serum dengan BSA pada (a) subyek laki-laki (n = 20), (b) subyek perempuan (n = 16), dan (c) seluruh subyek penelitian psoriasis di RSUPNCM, Jakarta tahun 2013 (N = 36)

PEMBAHASAN

Angka kejadian psoriasis vulgaris pada laki-laki hampir sama dengan perempuan.1,2 Data pada penelitian ini menunjukkan jumlah SP laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan SP perempuan, hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa kriteria eksklusi, misalnya kehamilan, menopause, dan konsumsi kontrasepsi oral, yang dapat membatasi pemilihan SP berjenis kelamin perempuan.

Rerata usia SP pada penelitian ini adalah 35,75 tahun (simpang baku 9,03 tahun). Data dari literatur menyebutkan bahwa psoriasis dapat terjadi pada berbagai usia,3 namun umumnya terjadi antara usia 15 dan 30 tahun.20 Pada penelitian ini usia SP paling muda adalah 19 tahun dan paling tua 50 tahun, dengan jumlah terbanyak didapatkan pada rentang usia antara 35-50 tahun (55,6%). Pada penelitian di Taiwan Utara, Lin dkk. (2011) mendapatkan rentang usia pasien psoriasis antara 20-88 tahun, dengan rerata usia 42,8 tahun (simpang baku 14,8

(6)

D Hasanah dkk. Korelasi kadar homosistein dengan keparahan psoriasis

tahun).21 Sebuah studi di Malaysia (2010) melaporkan puncak kejadian psoriasis pada kelompok usia 40-60 tahun.22 Pemilihan rentang usia 18-50 tahun pada penelitian ini ditentukan karena kadar homosistein meningkat seiring bertambahnya usia,18 sehingga pasien anak dan geriatri tidak dimasukkan ke dalam rentang usia pemilihan SP. Kriteria eksklusi berupa menopause membuat batas maksimal usia ditetapkan 50 tahun.

Pada penelitian ini jumlah SP dengan lama sakit ≥ 9 tahun adalah 11 SP (30,6%). Li dkk. (2012) di Amerika Serikat melaporkan bahwa pasien psoriasis dengan durasi sakit ≥ 9 tahun, berisiko terkena PKV hampir 2 kali lipat dibanding durasi sakit kurang dari 9 tahun.23 Lama sakit terpanjang adalah 35 tahun dan lama sakit tersingkat 2 minggu, dengan nilai median 5 tahun.

Kadar homosistein serum pada 36 SP berkisar antara 6,62-21,71 μmol/L, dengan nilai rerata 12,88 μmol/L (simpang baku 3.55 μmol/L). Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Malerba dkk. di Italia (2006) yang mendapatkan nilai rerata homosistein plasma pada subyek psoriasis sebesar 16,0 μmol/L (simpang baku 5,6 μmol/L).24 Perbedaan ini mungkin diakibatkan adanya perbedaan lokasi penelitian, kelompok etnis, serta kebiasaan hidup subyek di antara kedua penelitian ini. Kadar homosistein dapat berbeda antar kelompok etnis, namun perbedaannya kecil pada antar etnis yang hidup dpi area yang sama dan memakan jenis makanan yang serupa.18 Pada penelitian ini mayoritas SP berasal dari etnis Melayu yang bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya.

Pada penelitian ini terdapat 11 SP (30,6%) dengan kadar homosistein serum yang meningkat. Penelitian oleh Malerba melaporkan angka kejadian hiperhomosisteinemia pada subyek psoriasis sebesar 62,5%.24 Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut, maka proporsi hiperhomosis-teinemia pada penelitian ini lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan hiperhomosisteinemia merupakan kondisi multifaktorial.25 Peningkatan kadar homosistein dikaitkan dengan faktor genetik dan nutrisi,26 yang kemungkinan besar menjadi penyebab berbedanya hasil pada kedua penelitian ini. Seluruh SP yang mengalami peningkatan kadar homo-sistein serum pada penelitian ini memiliki kadar homohomo-sistein < 30 μmol/L, sehingga dikategorikan sebagai hiper-homosisteinemia derajat ringan. Kondisi ini memerlukan perhatian khusus, karena peningkatan kadar homosistein merupakan faktor risiko PKV yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien psoriasis.

Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar homosistein serum dengan skor PASI dan BSA pada SP berjenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan skor PASI dan BSA diikuti dengan peningkatan kadar homosistein serum pada pasien psoriasis berjenis kelamin laki-laki. Malerba dkk. (2006) melaporkan korelasi lemah yang bermakna antara kadar homosistein plasma dengan derajat keparahan

psoriasis yang diukur dengan PASI (r = 0,3; p < 0,01).22 Pada penelitian tersebut analisis korelasi antara kadar homosistein dan PASI tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Sepengetahuan peneliti belum ada penelitian yang mencari korelasi kadar homosistein dengan derajat keparahan psoriasis pada kelompok pasien psoriasis berdasarkan jenis kelamin.

Pada penelitian ini terdapat korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara kadar homosistein serum dengan PASI pada kelompok psoriasis perempuan, hal ini mungkin disebabkan karena efek protektif estrogen terhadap peningkatan kadar homosistein. Telah dibuktikan pada beberapa penelitian bahwa estrogen dapat mencegah PKV, namun sampai sekarang dasar molekular mekanisme protektif estrogen tersebut masih belum jelas.27 Pada penelitian ini sudah dilakukan eksklusi pada kondisi yang dapat mempengaruhi kadar homosistein pada perempuan, yaitu kehamilan, penggunaan kontrasepsi hormonal, dan terapi sulih hormon, dan menopause. Namun kondisi fluktuatif kadar estrogen fisiologis pada perempuan pra-menopause mungkin pengaruh terhadap kadar homosistein serum perempuan dengan psoriasis.

Sepengetahuan peneliti belum ada penelitian mengenai korelasi kadar homosistein serum dengan derajat keparahan psoriasis yang dinilai dengan BSA. Pada penelitian ini koefisien korelasi kadar homosistein serum dengan skor PASI lebih tinggi dibandingkan dengan BSA, baik pada kelompok psoriasis laki-laki, maupun keseluruhan subyek. Hal ini mungkin karena pada penghitungan skor PASI, derajat keparahan psoriasis dinilai berdasarkan pengga-bungan penilaian terhadap luas permukaan tubuh (BSA), derajat eritema, deskuamasi, serta ketebalan/indurasi lesi.4,5 Sehingga penilaian tersebut lebih menggambarkan kondisi derajat keparahan psoriasis dengan lebih tepat. Peningkatan kadar homosistein serum pada pasien psoriasis diduga akibat kehilangan folat dari kulit yang mengelupas secara cepat.1,16 Selain luas permukaan tubuh, tentunya parameter lain, terutama ketebalan lesi dan deskuamasi diduga berperan terhadap peningkatan kadar homosistein serum, namun hal ini perlu dikonfirmasi oleh penelitian selanjutnya.

KESIMPULAN

Rerata kadar homosistein serum pada pasien psoriasis vulgaris adalah 12,9 μmol/L (simpang baku 3,6 μmol/L). Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna secara statistik antara kadar homosistein serum dengan derajat keparahan psoriasis yang dinilai dengan PASI dan BSA pada subyek psoriasis laki-laki. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor PASI dan BSA, maka kadar homosistein serum juga akan cenderung lebih tinggi, namun hal ini hanya terlihat pada pasien psoriasis berjenis kelamin laki-laki.

(7)

MDVI Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 2s – 8s

DAFTAR PUSTAKA

1. McDonald I, Connolly M, Tobin A. A review of psoriasis, a known risk factor for cardiovascular disease and its impact on folate and homocysteine metabolism. J Nutr Metab. 2012; 2012: 1-4. 2. Griffiths C, Barker J. Psoriasis. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox

N, Griffiths C, penyunting. Rook's textbook of dermatology. Edisi ke-8. Oxford: Blackwell; 2010.h.20.1-60.

3. Langley R, Krueger G, Griffiths C. Psoriasis: epidemiology, clinical features, and quality of life. Ann Rheum Dis. 2005; 64: ii18-23. 4. Fadzil M, Ihtatho D, Affandi A, Hussein S. Area assessment of

psoriasis lesions for PASI scoring. J Med Eng Technol. 2009;33:426–36.

5. Wu J, Weinstein G. General guidelines for administration of topical agents in the treatment of mild-to-moderate psoriasis. Dalam: Koo J, Lee C, Lebwohl M, penyunting. Mild-to-moderate psoriasis. Edisi ke-2. New York: Informa; 2009.h.11-21.

6. Puzenat E, Bronsard V, Prey S, Gourraud P, Aractingi S, Bagot M, dkk. What are the best outcome measures for assessing plaque psoriasis severity? A systematic review of the literature. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2010; 24: 10-6.

7. Gottlieb A, Chao C, Dann F. Psoriasis comorbidities. J Dermatol Treat. 2008; 19: 5-21.

8. Gisondi P, Ferrazzi A, Girolomoni G. Metabolic comorbidities and psoriasis. Acta Dermatovenerol Croat. 2010; 18: 297-304.

9. Prodanovich S, Kirsner R, Kravetz J, Ma F, Martinez L, Federman D. Association of psoriasis with coronary artery, cerebrovascular, and peripheral vascular diseases and mortality. Arch Dermatol. 2009; 145: 700-3.

10. Koning A, Werstuck G, Zhou J, Austin R. Hyperhomocysteinemia and its role in the development of atherosclerosis. Clin Biochem. 2003; 36: 431-41.

11. Kremers H, McEvoy M, Dann F, Gabriel S. Heart disease in psoriasis. J Am Acad Dermatol. 2007; 57: 347-54.

12. Huang T, Yuan G, Zhang Z, Zou Z, Li D. Cardiovascular pathogenesis in hyperhomocysteinemia. Asia Pac J Clin Nutr. 2008; 17: 8-16. 13. Çakmak S, Gül Ü, Kılıç C, Gönül M, Soylu S, Kılıç A.

Homocysteine, vitamin B12 and folic acid levels in psoriasis patients. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2009; 23: 300-3.

14. Brazzelli V, Grasso V, Fornara L, Moggio E, Gamba G, Villani S, dkk. Homocysteine, vitamin B12, and folic acid levels in psoriatic patients and correlation with disease severity. Int J Immunopathol Pharmacol. 2010; 23: 911-6.

15. Kural B, rem AO, Çimßit G, Uydu H, Yand Y, Alver A. Plasma homocysteine and its relationships with atherothrombotic markers in psoriatic patients. Clin Chim Acta. 2003; 332: 23-30.

16. Gisondi P, Fantuzzi F, Malerba M, Girolomoni G. Folic acid in general medicine and dermatology. J Dermatol Treat. 2007; 18: 138-46.

17. Altinova A, Yetkin I. Homocysteine and atherosclerosis. Turk J Endocrinol Metab. 2002; 4: 137-40.

18. Refsum H, Smith D, Ueland P, Nexo E, Clarke R, McPartlin J, dkk. Facts and recommendations about total homocysteine determinations: an expert opinion. Clin Chem. 2004; 50: 3-32. 19. Brönstrup A, Hages M, Prinz-Langenohl R, Pietrzik K. Effects of

folic acid and combinations of folic acid and vitamin B-12 on plasma homocysteine concentrations in healthy, young women. Am J Clin Nutr. 1998; 68: 1104-10.

20. Gudjosson J, Elder J. Psoriasis. Dalam: Freedberg I, Eisen A, Wolff K, Austen K, penyunting. Fitzpatrick's in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2008.h.169-93.

21. Lin T, See L, Shen Y, Liang C, Chang J, Lin Y. Quality of life in patients with psoriasis in northern taiwan. Chang Gung Med J. 2011; 34: 186-96.

22. Sinniah B, Dev P, Prashant D. Epidemiology of psoriasis in Malaysia: a hospital based study. Med J Malaysia. 2010; 65: 112-4. 23. Li W, Han J, Manson J, Rimm E, Rexrode K, Curhan G, dkk.

Psoriasis and risk of nonfatal cardiovascular disease in U.S. women: a cohort study. Br J Dermatol. 2012; 166: 811–8.

24. Malerba M, Gisondi P, Radaeli A, Sala R, Pinton PC, Girolomoni G. Plasma homocysteine and folate levels in patients with chronic plaque psoriasis. Br J Dermatol. 2006; 155: 1165-9.

25. Trabetti E. Homocysteine, MTHFR gene polymorphisms, and cardio-cerebrovascular risk. J Appl Genet. 2008; 49: 267-82. 26. Windrum K. Homocysteine and CVD risk: is it relevant or

redundant? Br J Card Nurs. 2009; 4: 208-16.

27. Dimitrova K, DeGroot K, Myer A, Kim Y. Estrogen and homocysteine. Cardiovasc Res. 2002; 53: 577-88.

Gambar

Tabel 1. Distribusi karakteristik demografik pasien psoriasis di  RSUPNCM,  Jakarta tahun 2013 (N = 36)
Gambar 1.   Korelasi kadar homosistein serum dengan skor PASI pada (a) subyek laki-laki (n = 20), (b) subyek perempuan   (n = 16), dan (c) seluruh subyek penelitian psoriasis di RSUPNCM, Jakarta tahun 2013 (N = 36)
Gambar 2.   Korelasi kadar homosistein serum dengan BSA pada (a) subyek laki-laki (n = 20), (b) subyek perempuan (n = 16), dan (c) seluruh  subyek penelitian psoriasis di RSUPNCM, Jakarta tahun 2013  (N = 36)

Referensi

Dokumen terkait

Kadar serum TNF-α tidak berhubungan dengan derajat keparahan dispepsia, namun TNF-α mempunyai korelasi positif dengan derajat keparahan gastritis berdasarkan

Nilai rerata SOD plasma tertinggi pada derajat keparahan AV ringan, diikuti dengan AV berat dan AV sedang namun tidak ada perbedaan yang bermakna kadar SOD plasma

Ada perbedaan yang bermakna kadar SOD plasma pada berbagai derajat keparahan

Simpulan pada penelitian ini adalah kadar nitric oxide plasma pada subyek psoriasis vulgaris lebih tinggi dibandingkan bukan psoriasis serta terdapat korelasi positif yang kuat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar prolaktin plasma pada subyek psoriasis vulgaris lebih tinggi dari subyek bukan psoriasis vulgaris ( p &lt; 0,001) serta

Untuk membuktikan adanya korelasi positif antara kadar CRP dengan derajat keparahan akne pada penderita akne vulgaris di RSUP Sanglah Denpasar. Untuk membuktikan adanya

- Mengetahui distribusi frekuensi derajat keparahan pada pasien psoriasis vulgaris di RSMH Palembang.. 1.4

Simpulan pada penelitian ini adalah kadar leptin pada subyek psoriasis vulgaris lebih tinggi dibandingkan bukan psoriasis serta terdapat korelasi positif yang kuat antara