ii SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Helen Tanujaya NIM: 068114133
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iii SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Helen Tanujaya NIM: 068114133
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
vi
yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya’’
Yohanes 15 :7
Kupersembahkan karya ini untuk
Jesus Christ ,atas kasih karunia,berkat dan tuntunanNYA di
sepanjang hidupku
Orang tuaku atas doa, biaya, kasih sayang dan
pengorbanannya
Kakak dan Adik tersayang
Seseorang yang telah dan akan selalu mengisi hatiku
Sahabat, teman sepelayan dan teman komsel di GKA
Para dosen dan teman-teman seperjuangan di angkatan 2006
viii
anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Adapun skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana strata 1 (S1) Program Studi Ilmu Farmasi (S.Farm)
Dalam proses penyusunan skripsi ini tentunya sangat tidak mudah. Penulis mendapat banyak bantuan pikiran, tenaga, semangat, doa dan dana agar akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis ingin berterima kasih kepada berbagai pihak yang banyak membantu penulis antara lain :
1. Rita Suhadi, M.Si, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ipang Djunarko, S.Si.,Apt. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.
3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Drs. Mulyono, Apt. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.
5. Orang tuaku untuk segala doa, bimbingan, dana, nasehat, tuntunan dan semangatnya .
ix
Fidela Antonisca Nitasari atas kebersamaan dan kekompakkan dalam menyelesaikan rangkaian penelitian ini. Semoga semua suka duka ini dapat terkenang selamanya.
9. Sahabat terbaikku; Donny, Audy, Tina atas doa, dukungan, semangat dan hiburannya selama penyusunan naskah skripsi ini.
10. Teman-teman sepelayanan; cie Chen, ko Bany, ko Hengky, Jesica, Adil, Rio, dan teman lain atas doa dan semangatnya.
11. PKS tercinta mami Lily dan teman-teman komsel GKA lain; Dewi, Nia, mba Weli, mba Monic, cie Vina, cie Ester, cie Evelyn, cie Vita, cie Liana, Ayu, atas doa, semangat, hiburan dan dukungannya selama ini.
12. Teman-teman PosKes KotaBaru; ko Feri, mas Ronny, mas Donald, mas Rizky, cie Ratna, Kevin, Ayu, Aming, Maria, Dita, Nila, Diana, drg. Anton, dr. Ady, dr. Ita, dr. Tita, dr. Erik, dr. Verdy, atas kerjasama, pengalaman, pembelajaran berbagai ilmu dan nilai-nilai kehidupan selama ini yang sangat berguna bagi penulis. Suka duka yang telah kita jalani ini akan menjadi suatu goresan cerita yang indah.
x
15. Teman-teman wakil PCE 2009 USD: mas Ronny, mas Donald, mba Vita, mba Christina, ko Feri, Cita, Ayu juga Diana, atas pengalaman berharga berjuang bersama kalian untuk mengharumkan nama Sanata Dharma di ITB Bandung.
16. Para laboran; mas Parjiman, mas Heru, mas Kayat, mas Yuwono, mas Wagiran, mas Sigit, mas Andre serta laboran-laboran yang lain atas bantuannya selama penulis menyelesaikan penelitian di laboratorium dan selama penyusunan laporan akhir.
17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan karena ketidaksempurnaan pengetahuan penulis. Oleh karena itu penulis dengan kerendahan hati mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun yang berguna bagi penelitian selanjutnya. Demikian, semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca sekalian. Tuhan memberkati.
xii
tersebut komposisi 20% : 10%, didapat dosis efektif 2730 mg/Kg BB dan % penghambatan geliat 71,90%, kemudian dilakukan optimasi komposisi kunyit asam dan didapat komposisi optimum 20,7% : 9,3% (Fadeli, 2008).
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap, pola satu arah. Metode yang digunakan adalah metode rangsang kimia. Sebanyak 30 ekor mencit betina, dibagi 5 kelompok: kontrol negatif (aquadest), kontrol positif (Asetosal 91 mg/Kg BB), dan 3 kelompok peringkat dosis campuran ekstrak rimpang kunyit kering dan ekstrak asam Jawa kental yaitu 1365, 2730, dan 5460 mg/Kg BB. Tiga puluh menit kemudian mencit diinduksi asam asetat 1% (25 mg/Kg BB). Geliat diamati selama 60 menit. Jumlah kumulatif geliat diubah menjadi bentuk persentase penghambatan geliat. Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan One-way ANOVA dilanjutkan uji
Scheffe taraf kepercayaan 95%.
Persentase penghambatan geliat campuran ekstrak kunyit asam komposisi 20,7%: 9,3% pada ketiga peringkat dosis 1365, 2730, dan 5460 mg/Kg BB berturut-turut 6,80 %, 22,00%, dan -22,80%. Dari ketiga peringkat dosis tersebut tidak ada yang memiliki efek analgesik (Anonim, 1991).
xiii
the composition of 20% turmeric rhizome extract and 10% tamarind extract was reported as having percentase protection of writhing about 71,90% at the effective dosage 2730 mg/Kg BB, whereas calculation of optimum formula compotition was reported 20,7% : 9,3% (Fadeli, 2008).
This is a pure experimental research with one-way pattern, random, complete research design. The method used is chemistry stimulant method. Approximately 30 female mice were divided randomly into 5 groups. They were; negative control given aquadest, positive control given Asetosal 91 mg/Kg BB, and three group of combination extract of dry turmeric rhizome and the stickiness extract of tamarind dosages, there were 1365, 2730 and 5460 mg/Kg BB. Thirty minutes later the mice were inducted acetate acid 1% dosage 25 mg/Kg BB. The behavior emerged then were being observed for 60 minutes. After that, the total of behavior cumulative was changed into the form of barrier percentage toward the behavior. Then the data achieved was analyzed statistically with One-way
ANOVA and continued with Scheffe test which might be trusted up to 95%. Percentase protection of writhing of the combination between the extract of turmeric rhizome and tamarind with the composition of 20,7% turmeric rhizome extract and 9,3% tamarind extract in three group dosages; 1365, 2730, and 5460 mg/Kg BB consecutively 6,80 %, 22,00%, and -22,80%. There are no analgesic effect found three group dosages above (Anonim, 1991).
xiv
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv
HALAMAN PENGESAHAN... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vii
PRAKATA... viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... xi
INTISARI... xii
ABSTRACT... xiii
DAFTAR ISI... xiv
DAFTAR TABEL... xix
DAFTAR GAMBAR... xx
DAFTAR LAMPIRAN... xxii
BAB I. PENGANTAR... 1
A. Latar Belakang... 1
1. Permasalahan... 4
2. Keaslian penelitian... 4
3. Manfaat yang diharapkan... 6
a. Manfaat teoritis... 6
xv
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 7
A. Obat Tradisional... 7
B. Kunyit... 8
1. Keterangan botani... 8
2. Kandungan kimia... 8
3. Kegunaan... 8
4. Kurkumin... 9
C. Asam Jawa... 11
1. Keterangan botani... 11
2. Kandungan kimia... 11
3. Kegunaan... 12
D. Ekstrak... 12
E. Komposisi Campuran Ekstrak Rimpang Kunyit dan Daging Buah Asam Jawa... 13
F. Nyeri... 15
1. Definisi nyeri... 15
2. Klasifikasi nyeri... 15
3. Reseptor nyeri... 16
4. Teori pengontrolan nyeri... 17
xvi
2. Analgetika narkotik... 26
H. Asetosal... 27
I. Metode Pengujian Efek Analgesik... 29
J. Kromatografi Lapis Tipis……….... K. Landasan Teori... 34 35 L. Hipotesis... 37
BAB III. METODE PENELITIAN... 38
A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 38
B. Variabel dan Definisi Operasional... 38
1. Variabel utama... 38
2. Variabel pengacau... 38
3. Definisi operasional... 39
C. Bahan Penelitian... 41
1. Bahan... 41
2. Bahan kimia... 41
D. Alat atau Instrumen Penelitian... 42
1. Alat uji geliat... 42
2. Lain-lain... 42
xvii
3. Pembuatan suspensi asetosal... 43
4. Pembuatan asam asetat 1%... 44
5. Pembuatan campuran ekstrak rimpang kunyit dan daging buah asam Jawa komposisi 20,7% : 9,3%... 44
6. Penetapan kriteria geliat... 45
7. Penetapan kadar dan dosis asam asetat... 46
8. Penetapan selang waktu pemberian rangsang... 47
9. Penetapan dosis dan kadar asetosal... 48
10. Penetapan dosis ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa komposisi 20,7% : 9,3%... 50
11. Seleksi hewan uji... 51
12. Perlakuan hewan uji... 51
13. Identifikasi senyawa kurkumin dalam ekstrak rimpang kunyit dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 52
F. Tata Cara Analisis Hasil... 52
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 54
A. Efek Analgesik Campuran Ekstrak Rimpang Kunyit dan Daging Buah Asam Jawa dengan Komposisi 20,7% : 9,3% ... 54
xviii
A. Kesimpulan... 67
B. Saran... 68
DAFTAR PUSTAKA... 69
LAMPIRAN... 72
xix
kelompok perlakuan terhadap kontrol negatif dan kontrol posistif... 54 Tabel II. Ringkasan analisis variansi satu arah % penghambatan
geliat terhadap kontrol negatif pada kelompok perlakuan... 57 Tabel III. Hasil analisis uji Scheffe % penghambatan geliat terhadap
xx
Gambar 2. Struktur senyawa kurkumin (Majeed, 1995)... Gambar 3. Struktur kimia demetoksikurkumin, dan
bisdemetoksikurkumin (Cashman, 2008)……… 9
10 Gambar 4. Buah asam Jawa (Tamarindus indica, Linn)
(Maguire, 2008)... 11 Gambar 5. Diagram metabolime arachidonat (Rang et al., 2003)……... 20 Gambar 6. Transmisi nyeri dan transformasi sinyal nyeri
(Mutschler dan Derrendorf, 1995)... 22 Gambar 7. Terjadinya nyeri, penghantaran impuls, lokalisasi dan rasa
nyeri serta inhibisi nyeri endogen (Mutschler, 1986)... 24 Gambar 8. Penghambatan sintesis eicosanoid oleh
Analgetika (Rang et al., 2003)………... Gambar 9. Struktur molekul asetosal………...
26 27 Gambar 10. Diagram batang rata-rata % penghambatan geliat terhadap kontrol negatif pada kelompok perlakuan... 56 Gambar. 11. Bagan kriteria efek nyeri (Anonim, 1991)
dan (Vogel, 2002)……… 59
Gambar 12. Diagram batang rata-rata % penghambatan geliat terhadap
xxi
xxii
Lampiran II. Dokumentasi... 74 Lampiran III. Jumlah geliat hewan uji setelah pemberian asam asetat
pada kelompok perlakuan campuran ekstrak kunyit dan daging buah
asam Jawa komposisi 20,7% : 9,3 % dan hasil analisisnya... 78 Lampiran IV. Data % penghambatan terhadap kontrol negatif dan hasil analisis statistiknya pada perlakuan campuran ekstrak kunyit dan daging buah asam Jawa komposisi 20,7% : 9,3 % ………... 84 Lampiran V. Data % penghambatan terhadap kontrol positif dan hasil
analisis statistiknya pada perlakuan campuran ekstrak kunyit dan daging buah asam Jawa komposisi 20,7% : 9,3 % ………... Lampiran VI. Perhitungan persamaan Simplex Lattice Design………..… Lampiran VII. Data respon persentase penghambatan geliat untuk mencari komposisi optimum ekstrak kunyit : asam………
89 94
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian/peristiwa yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti luka,
inflamasi, atau kanker (Rang et al., 2003). Timbulnya rasa nyeri ini menyebabkan seseorang berusaha menyembuhkan rasa nyeri yang menggangu aktivitas.
Pengobatan tradisional lebih dipilih oleh masyarakat sebagai pertolongan pertama
untuk pengobatan. Pengobatan ini dipilih karena khasiatnya telah terbukti secara
turun-menurun oleh masyarakat dan efek sampingnya lebih kecil dibanding obat
sintetis. Menurut Keputusan Menkes RI No. 0584/MENKES/SK/VI/1995, obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galanik) atau campuran dari bahan tersebut, yang
secara turun-temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat (Anonim, 1995b).
Salah satu produk obat tradisional atau jamu yang sering digunakan
masyarakat adalah jamu kunyit asam, yaitu perpaduan antara perasan rimpang
kunyit dan buah asam Jawa. Jamu kunyit asam ini sangat terkenal di kalangan
masyarakat sehingga beberapa industri obat tradisional mencoba membuat jamu
kunyit asam ini menjadi jamu instan yang dapat langsung dapat dikonsumsi tanpa
harus meracik. Biasanya masyarakat menggunakan jamu kunyit asam untuk
kurkuminoid sebanyak 5% (meliputi kurkumin 50-60%, monodemetoksikurkumin
dan bisdemetoksikurkumin). Dari ketiga senyawa kurkuminoid tersebut,
kurkumin merupakan komponen terbesar (Anonim, 2008). Kurkumin memiliki
kemampuan untuk menghambat aktivasi mediator nyeri yaitu melalui ikatan
dengan enzim siklooksigenase-2 dan lipooksigenase (Bengmark, 2006).
Penggunaan obat tradisional di kalangan masyarakat secara umum dapat
dipercaya menyembuhkan, tetapi dalam kenyataannya masyarakat belum
mengetahui seberapa besar efek yang ditimbulkan dari penggunaan obat-obat
tradisional tersebut. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan menguji daya
anlagesik campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa
yang merupakan bahan baku dalam pembuatan jamu kunyit asam instan “SM”.
Sebelumnya telah dilakukan penelitian terdahulu yaitu penelitian daya analgesik
dari campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa dengan
komposisi 20% : 10% dan optimasi komposisi menggunakan metode simplex lattice design (Fadeli, 2008). Pada penelitian ini dilakukan uji daya analgesik dari campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa dengan
komposisi 20% : 10% pada tiga peringkat dosis yaitu 1365 mg/Kg BB, 2730
mg/Kg BB dan 5460 mg/Kg BB dan dari ketiga peringkat dosis tersebut diperoleh
dosis efektif 2730 mg/Kg BB yaitu dosis yang setara dengan 2x dosis terapi
manusia atau dosis dua bungkus jamu kunyit asam instan “SM” dan diperoleh
persentase penghambatan nyeri sebesar 71,90%. Pada pengujian daya analgesik
menggunakan rangsang kimia adanya efek analgesik dinyatakan dengan persen
kelompok perlakuan dosis 2730 mg/Kg BB memiliki efek analgesik. Tetapi dosis
2730 mg/Kg BB merupakan 2x dosis terapi pada manusia, artinya agar dapat
memberikan efek analgesik, maka jamu diminum 2 bungkus. Namun jika
diminum pada dosis 1365 mg/Kg BB (dosis yang setara dengan dosis 1 bungkus
jamu kunyit asam instan “SM”) dan komposisi 20% : 10% belum dapat
memberikan daya analgesik yang optimum. Oleh karena itu penelitian ini
berlanjut pada pencarian komposisi optimum dari ekstrak rimpang kunyit : ekstrak
daging buah asam Jawa, karena itu dilakukan uji daya analgesik pada dosis 2730
mg/Kg BB dengan 4 komposisi lain yaitu (25% : 5%), (15% : 15%), (10% : 20%),
dan (5% : 25%). Dari data persentase penghambatan geliat keempat komposisi
tersebut diperoleh persamaan SLD : Y = 59,69 (A) + 34,73 (B) + 65,28 (A) (B),
yang dapat digunakan untuk memprediksi komposisi optimum dari campuran
kedua ekstrak tersebut. Dari persamaan inilah didapat komposisi optimum
campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa adalah
20,7% : 9,3%, yang kemudian oleh peneliti dilanjutkan pengujian daya
analgesiknya secara in vivo.
Dalam penelitian ini digunakan metode rangsang kimia karena metode ini
direkomendasikan sebagai metode awal untuk skrining mengenai efek analgesik
suatu senyawa uji (Vogel, 2002). Dalam penelitian ini senyawa uji yang dimaksud
adalah campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,
maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut ini:
a. Apakah campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam
Jawa dengan komposisi 20,7% : 9,3% memiliki efek analgesik pada dosis
terapi 1365 mg/Kg BB dan berapa besarnya?
b. Apakah campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam
Jawa dengan komposisi 20,7% : 9,3% memiliki daya analgesik pada dosis
terapi 1365 mg/Kg BB dan berapa besarnya?
2. Keaslian penelitian
Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai uji daya analgesik dari
rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa, juga mengenai kunyit dan
asam itu sendiri, yang telah dilakukan sebelumnya adalah:
a. Daya Analgesik dari Campuran Ekstrak Rimpang Kunyit dan Ekstrak
Daging Buah Asam Jawa dengan Komposisi 20% : 10% dan Optimasi
Komposisi Menggunakan Metode Simplex Lattice Design (Fadeli, 2008), dan disimpulkan bahwa dosis efektif dari campuran ekstrak rimpang
kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa adalah 2730 mg/Kg BB yang
menghasilkan daya analgesik sebesar 71,90%. Dari hasil prediksi
berdasarkan Simplex Lattice Design, komposisi campuran 20,7% : 9,3% adalah campuran yang optimum karena dapat menghasilkan %
b. Uji Daya Analgesik Jamu Kunyit Asam Instan dan Jamu Kunyit Asam
Ramuan Segar pada Mencit Putih Betina (Rahmawati, 2009), dan
disimpulkan bahwa jamu kunyit asam instan memiliki daya analgesik
yaitu pada dosis 4.550 mg/Kg BB sebesar 46,25%; 9.100 mg/Kg BB
sebesar 45,90%; dan 18.200 mg/Kg BB sebesar 70,68%. Pada jamu
ramuan segar, daya analgesik yang dimiliki yaitu pada dosis 1.365 mg/Kg
BB sebesar 37,00%; 2.730 mg/Kg BB sebesar 46,43%; dan 5.460 mg/Kg
BB sebesar 49,57%. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa jamu
kunyit asam instan dan ramuan segar tidak memiliki perbedaan daya
analgesik.
c. Keamanan dan Aktivitas Antiinflamasi dari Kurkumin : Komponen dari
Tumeric (Curcuma longa) (Chainani-wu, 2003), yang disimpulkan bahwa kurkumin terbukti aman dan terbukti menunjukkan aktivitas antiinflamasi
pada 6 subjek uji. Kurkumin menunjukkan aktivitas antiinflamasi dengan
menghambat molekul-molekul yang berperan dalam reaksi inflamasi.
d. Optimasi Penetapan Kadar Parasetamol Tercampur Kunyit Asam dalam
Plasma Darah secara Spektrofotometri Ultraviolet dengan Aplikasi
Metode Panjang Gelombang Berganda (Erlinda, 2005) dan disimpulkan
bahwa spektrofotometri ultraviolet dengan aplikasi metode panjang
gelombang berganda dapat digunakan untuk optimasi kadar parasetamol
tercampur kunyit asam dalam plasma darah dengan presisi, akurasi, LOD,
3. Manfaat yang diharapkan
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kefarmasian yaitu
mengenai penggunaan obat tradisional yang berkhasiat sebagai analgesik,
salah satunya yaitu campuran ekstrak kunyit dan asam.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat luas mengenai dosis efektif penggunaan campuran ekstrak
kunyit asam yang dapat menunjukkan efek dan daya analgesik.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menambah informasi
mengenai khasiat campuran ekstrak kunyit dan asam yang dapat digunakan
sebagai analgesik atau penghilang rasa sakit.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui ada tidaknya efek analgesik pada campuran ekstrak rimpang
kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa dengan komposisi 20,7% : 9,3%
dosis terapi 1365 mg/Kg BB dan seberapa besar efek yang dimiliki.
b. Mengetahui ada tidaknya daya analgesik pada campuran ekstrak rimpang
kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa dengan komposisi 20,7% : 9,3%
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Obat Tradisional
Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang
jenis dan sifat kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamin mutu
obat tradisional diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih
memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku (Anonim, 2007a).
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galanik) atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun-temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat (Anonim, 1995b).
Dengan adanya perkembangan jenis produk obat bahan alam tidak hanya
dalam bentuk Obat Tradisional (Jamu), tetapi juga dalam bentuk Obat Herbal
Terstandar dan Fitofarmaka (Anonim, 2007a). Obat Herbal Terstandar (OHT)
yaitu sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi.
Fitofarmaka yaitu sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan
B. Kunyit
Gambar 1. Kunyit (Curcuma longa L.) (Annies, 2000)
1. Keterangan Botani
Kunyit (Curcuma longa Linn.) atau C domestica Val. Termasuk ke dalam famili Zingiberaceae. Tanaman ini dikenal dengan nama daerah kunyir,
koneng temen, kunir, cahang, hunik, kunyik, atau kurlai. Nama asingnya
tumeric. Nama simplisia Curcumae longae Rhizoma (Anonim, 2008). 2. Kandungan Kimia
Rimpang kunyit mengandung pati atau amilum, gom dan getah. Minyak
atsiri juga memberi aroma harum dan rasa khas pada umbinya. Kunyit
mengandung kurkumin (Zat berwarna kuning dan turunannya yang berwarna
kuning yang meliputi demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin),
turmeron, zingiberen, turmerol (minyak turmerin, yang menyebabkan rasa
aromatis dan wangi kunyit), fellandren, kamfer, curcumon, lemak, pati,
damar-damaran (Anonim, 2000a).
3. Kegunaan
Kunyit dapat digunakan untuk mengatasi penyakit antara lain
perut mulas saat haid, memperlancar ASI, amandel, berak lendir, morbili,
cangkrang (Waterproken) (Anonim, 2005b).
Berdasarkan Farmakope Cina, umbi akar kunyit dipakai sebagai obat
sakit dada dan perut, lengan sakit, sakit pada saat haid, luka-luka dan borok.
Kunyit dianggap sangat mujarab untuk menyembuhkan haid yang tidak teratur,
melancarkan aliran darah, melarutkan gumpalan darah dan dijadikan resep
untuk mengobati sakit perut, dada dan punggung (Anonim, 2000a).
4. Kurkumin
Kurkumin merupakan senyawa kandungan utama tanaman kunyit.
Kurkumin murni sangat sulit diperoleh langsung dari kunyit karena sering kali
tercampur dengan dua turunannya yaitu demetoksikurkumin dan
bisdemetoksikurkumin (Bone dan Mills, 2000).
Gambar 2. Struktur senyawa kurkumin (Majeed, 1995) Keterangan gambar:
1. Parahydroxyl groups 2. Keto groups
3. Double bonds
Tiga kurkuminoid utama yang telah diisolasi dari kunyit adalah
memberikan warna kuning pada Curcuma domestica, terutama pada rhizomanya.
Gambar 3. Struktur kimia demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Cashman, 2008)
Kurkuminoid merupakan bahan aktif penting yang bertanggung jawab
atas aktifitas biologis dari kunyit. Aktifitas utama kurkuminoid adalah sebagai
antiinflamasi. Gugus-gugus hidroksi pada kurkumin sangat penting peranannya
dalam aktivitas antiinflamasi (Majeed, 1995).
Kurkumin memiliki kemampuan untuk menghambat aktivasi mediator
nyeri yaitu melalui ikatan dengan enzim siklooksigenase-2 dan lipooksigenase
(Bengmark, 2006).
Senyawa kurkumin adalah pigment yang yang dapat terlarut dalam
minyak, tidak larut dalam air, dalam pH yang asam atau netral, tetapi larut
dalam pH basa. Kurkumin stabil dalam suhu tinggi dan dalam suasana asam,
tetapi tidak stabil dalam suasana basa atau di daerah dengan intensitas cahaya
pelarut yang cocok untuk mengekstraksi kurkumin adalah; acetone, karbon dioksida, etil asetat, diklorometan, n-butanol, metanol, etanol, and hexane
(Stankovic, 2004).
C. Asam Jawa
Gambar 4. Buah asam Jawa (Tamarindus indica, Linn) (Maguire, 2008)
1. Keterangan Botani
Asam Jawa (Tamarindus indica, Linn.) dari familia Leguminosae merupakan sebuah kultivar daerah tropis dan termasuk tumbuhan berbuah
polong(Anonim, 2005a).
2. Kandungan Kimia
Daging buahnya mengandung bermacam-macam asam (seperti: asam
tartrat, asam malat, asam sitrat, asam suksinat, asam asetat, pektin, dan gula
invert) (Soedibyo, 1998).
Pada daun mengandung flavonoid, yang juga bersifat anti radang.
3. Kegunaan
Asam Jawa dapat digunakan untuk mengobati antara lain asma, batuk,
demam, sakit panas, reumatik, sakit perut, morbili, alergi, sariawan, luka baru,
eksim, bengkak akibat disengat lipan/lebah (Anonim, 2005a).
Daging buah asam Jawa berkhasiat sebagai laksan. Adapun kegunaannya
adalah untuk mencegah dan mengatasi nyeri haid (jika dicampur bersama
kunyit),demam, eksem, kegemukan, pencahar (berkurang khasiatnya bila
dimasak), sakit perut, sariawan, wasir dam rematik (obat luar) (Soedibyo,
1998).
D. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Anonim, 2000b).
Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang
sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan
awal dianalogkan dengan komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi
fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti
masih menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat
sebagai produk jadi berarti ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap
digunakan oleh penderita (Anonim, 2000b).
E. Komposisi Campuran Ekstrak Rimpang Kunyit dan Daging Buah Asam Jawa
Pada penelitian Daya Analgesik dari Campuran Ekstrak Rimpang Kunyit
dan Ekstrak Daging Buah Asam Jawa dengan Komposisi 20% : 10% dan
Optimasi Komposisi Menggunakan Metode Simplex Lattice Design (Fadeli, 2008), dilakukan uji daya analgesik dari campuran ekstrak rimpang kunyit dan
ekstrak daging buah asam Jawa komposisi 20% : 10% pada tiga peringkat dosis
yaitu 1365, 2730, dan 5460 mg/Kg BB dan dari ketiga peringkat dosis tersebut
diperoleh dosis efektif 2730 mg/Kg BB dengan % penghambatan geliat sebesar
71,90%. Penelitian kemudian berlanjut pada pencarian komposisi optimum dari
ekstrak rimpang kunyit : ekstrak daging buah asam Jawa, karena itu dilakukan uji
daya analgesik pada dosis 2730 mg/Kg BB dengan 4 komposisi lain yaitu (25% :
5%), (15% : 15%), (10% : 20%), dan (5% : 25%). Dari data persentase
penghambatan geliat keempat komposisi tersebut diperoleh persamaan melalui
perhitungan metode SLD sebagai berikut;
Y = 59,69 (A) + 34,73 (B) + 65,28 (A) (B) Keterangan :
Y : % penghambatan geliat
A : komposisi ekstrak rimpang kunyit
Berdasarkan perhitungan dengan metode Fhitung didapatkan hasil bahwa
persamaan SLD untuk % penghambatan geliat dari campuran ekstrak rimpang
kunyit dan ekstrak daging buah asam jawa regresi. Fhitung yang diperoleh adalah
sebesar 3,9549, sedangkan F tabel yang diperoleh adalah 3,222, sehingga Fhitung
lebih besar daripada F tabel yang berarti ada regresi. Hal ini berarti persamaan
yang diperoleh dengan metode SLD dapat digunakan untuk menghitung
komposisi campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam jawa
yang mempunyai daya analgesik (Fadeli, 2008).
Melalui persamaan di atas dapat juga diketahui data hasil respon
penelitian, dimana hasil ini dapat digunakan untuk mengetahui campuran
optimum ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa yang
menghasilkan efek analgesik optimum. Berdasarkan data yang diperoleh,
komposisi optimum ekstrak rimpang kunyit : ekstrak daging buah asam Jawa
adalah 69% : 31% dari 100% campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak
daging buah asam Jawa. Komposisi yang digunakan merupakan campuran dari
ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa sebanyak 30%,
sehingga komposisi ekstrak rimpang kunyit : ekstrak daging buah asam Jawa yang
memberikan efek analgesik optimum adalah 20,7% : 9,3%. Komposisi ini
memberikan daya analgesik sebesar 65,91579% jika diminum pada dosis 2730
F. Nyeri 1. Definisi nyeri
Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian/peristiwa yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti
luka, inflamasi, atau kanker (Rang et al., 2003). 2. Klasifikasi nyeri
Nyeri menurut tempat terjadinya dibagi atas nyeri somatik dan nyeri
dalaman (viseral) (Mutschler, 1986).
Nyeri somatik dibagi lagi atas 2 kualitas yaitu nyeri permukaan dan
nyeri dalam, nyeri dapat berasal dari kulit, otot persendian, tulang atau dari
jaringan ikat. Apabila rangsang bertempat dalam kulit maka rasa yang terjadi
disebut nyeri permukaan, sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian
tulang dan jaringan ikat disebut nyeri dalam (Mutschler, 1986).
Nyeri dalaman (viseral) atau nyeri perut mirip dengan nyeri dalam sifat
menekannya dan reaksi vegetatif yang menyertainya. Nyeri ini terjadi antara
lain pada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan
penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1986).
Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik
melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu
menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa
nyeri. Seperti telah disebutkan, rangsang yang cukup untuk menimbulkan rasa
nyeri ialah kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme jaringan. Di sini
nyeri (mediator nyeri), yang menyebabkan perangsangan reseptor nyeri
(Mutschler, 1986).
3. Reseptor nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nociceptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer (Tamsuri, 2007).
Berdasarkan letaknya, nociceptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Cutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda (Tamsuri, 2007).
Nociceptor cutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (Cutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu : a. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul
dan sulit dilokalisasi (Tamsuri, 2007).
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi (Tamsuri, 2007).
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal, dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi
(Tamsuri, 2007).
4. Teori pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di
sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar
teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C
melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron
beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter
penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,
maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan
ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan
lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan
membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri.
Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat korteks yang
lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan
opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Tehnik distraksi, konseling dan
pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter,
2005).
5. Prostaglandin
Prostaglandin bertanggung jawab terhadap jalannya berbagai respon
fisiologi beberapa diantaranya adalah inflamasi, tekanan darah, demam dan
nyeri. Semua PG mempunyai kerangka karbon dengan 20 C, 5 cincin dengan
C7 memiliki substituen asam karboksilat dan C8 memiliki substituen
hidrokarbon. Prostaglandin disintesis dari asam arakidonat, 20 C asam lemak
linoleat (asam linoleat tidak dapat disintesis oleh mamalia, karena itu penting
dimasukkan ke dalam diet) (Bruice, 1998).
PGE2 sangat menonjol pada respon inflamasi dan dia adalah mediator
timbulnya demam. Efek dari PGE2 tergantung pada tiga reseptor mana yang
diduduki oleh prostanoid. Efek utama dari 3 reseptor PGE2 :
a. Reseptor EP1 : kontraksi otot polos pada bronchial dan GIT
b. Reseptor EP2 : relaksasi pada otot polos bronchial, vascular dan GIT
c. Reseptor EP3 : menghambat sekresi asam lambung, meningkatkan sekresi
mucus lambung, kontraksi otot polos GIT dan uterus, menghambat lipolisis dan pelepasan neurotransmitter autonomic (Rang et al., 2003).
Istilah “Prostanoid” meliputi prostaglandins (PGs) dan thromboxanes
(TXs) (Rang et al., 2003).
PGF2α beraksi di reseptor FP yang ditemukan pada otot polos dan
corpus luteum. Efek utama pada manusia adalah kontraksi uterus. PGD2
diturunkan dari sel mast dan beraksi pada reseptor DP. Efek utamanya adalah
Gambar 5. Diagram Metabolisme Arachidonat (Rang et al., 2003) Keterangan: PGI2= prostacyclin; TX= thromboxane; LT= leukotriene;
HETE = hidroxyeicosatetraenoid acid; HPETE = hidroperoxyeicosatetraenoid acid; PAF= platelet-activating factor
Pada mamalia, prekusor utama eicosanoid adalah asam arakidonat (asam 5,8,11,14-eicosatetraenoic), suatu asam lemak tak jenuh dengan 20 gugus karbon yang mengandung 4 ikatan rangkap. Pada kebanyakan tipe sel,
asam arakidonat diesterifikasi dalam cadangan fosfolipid dan konsentrasi
asam bebas rendah (Rang et al., 2003).
Tromboksan A2 (trombotik,
vasokonstriktor) PGI2 (vasodilator, hiperalgesik,
menghambat agregasi platelet
PGE2 (vasodilator,
Tidak seperti histamin, mereka tidak ditemukan di jaringan,
eicosanoids diturunkan melalui jalur lain dari fosfolipid. Eicosanoid terlibat dalam mengatur proses fisiologi dan beberapa diantaranya merupakan
mediator dan modulator yang sangat penting dalam reaksi inflamasi.
Eicosanoid utama adalah prostaglandin, thromboxan, dan leukotrien, meskipun derivat arakidonat yang lain seperti lipoxin juga dihasilkan (Rang et al., 2003).
Pada kebanyakan zat, initial dan rate-limiting step dalam sintesis eicosanoid adalah pembebasan arakidonat, bisa dengan one-step atau proses
two-step, dari fosfolipid dengan enzim fosfolipase A2 (PLA2). Enzim ini
menghasilkan tidak hanya asam arakidonat tapi juga lysogliseril-phosporilcholine (lyso-PAF), prekusor dari platelet activating factor, mediator inflamasi lainnya (Rang et al., 2003).
Cytosolic PLA2 diaktifkan (sejak asam arakidonat dibebaskan) dari
fosforilasi. Kejadian ini merupakan respon yang menandakan transduksi dari
beberapa stimulus, seperti aksi trombin pada platelet, C5a pada neutrofil,
bradikinin pada fibroblast dan reaksi antigen-antibodi pada sel mast.
Asam arakidonat bebas dimetabolisme melalui beberapa jalur:
a. Melalui fatty acid cyclo-oxygenase (COX) terdiri dari 2 bentuk : COX-1 dan COX-2, enzim inilah yang memulai biosintesis asam arakidonat
menjadi prostaglandin dan thromboxan.
b. Melalui berbagai macam lypoxygenase yang memulai sintesis dari leukotrien, lipoxi dan senyawa lain.
6. Proses penghantaran nyeri
Impuls nyeri yang diterima dari permukaan reseptor nyeri (nociceptor) ditransmisikan oleh serabut saraf A delta yang bermielin dan serabut saraf C
yang tidak bermielin menuju spinal cord (Mutschler dan Derrendorf, 1995).
Gambar 6. Transmisi nyeri dan transformasi sinyal nyeri (Mutschler dan Derrendorf, 1995)
Proses penghantaran nyeri adalah sebagai berikut: potensial aksi
(impuls nosiseptif) yang terbentuk pada reseptor nyeri diteruskan melalui
serabut saraf aferen ke dalam akar dorsal sumsum tulang belakang. Di tempat
ini juga terjadi refleks somatik dan vegetatif awal melalui interneuron serta
penghambatan nyeri menurun pada serabut aferen. Serabut-serabut yang
berakhir dalam daerah formatio reticularis menimbulkan reaksi vegetatif. Tempat kontak yang lain adalah thalamus opticus. Di sini impuls diteruskan ke gyrus postcontralis (celah sentral belakang), tempat lokalisasi nyeri, juga ke sistem limbik yang terlibat dalam penilaian nyeri. Kemudian otak kecil dan
otak besar sama-sama melakukan reaksi perlindungan dan reaksi menghindar
Proses terjadinya nyeri adalah sebagai berikut;
Keterangan
: impuls penghantaran nyeri yang meningkat : reaksi nyeri
: inhibisi nyeri endogen
Gambar 7. Terjadinya nyeri, penghantaran impuls, lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri endogen (Mutschler, 1986)
Rangsang nyeri
Lokalisasi nyeri
Korteks
Reseptor
Pembebasan mediator Talamus optik
Formasio retikularis
Sumsum tulang Refleks
Reaksi vegetatif Otak kecil
Reaksi pertahanan
Sistem limbik Penilaian nyeri
G. Analgetik
Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau
menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi
kerja, mekanisme kerja, dan efek samping analgetika dibedakan dalam dua
kelompok:
1. Analgetika non narkotik
Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang) atau non narkotik,
bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga
mempunyai sifat antiinflamasi dan antireumatik (Mutschler, 1986).
Obat-obat ini meringankan rasa nyeri tanpa menurunkan kesadaran
dan tidak menyebabkan ketergantungan seperti penggunaan analgetika
narkotik. Analgetika narkotik terdiri dari senyawa golongan salisilat,
non-salisilat (seperti asetaminophen), dan nonsteroidal anti-inflamatory drugs
(NSAIDs). Obat ini digunakan untuk mengatasi nyeri ringan hingga sedang
Gambar 8. Penghambatan sintesis eicosanoid oleh analgetika (Rang et al., 2003)
2. Analgesik narkotik
Golongan ini disebut juga golongan analgesik opiat. Meskipun
memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, obat golongan ini
Fosfolipid
Tromboksan A2 (trombotik,
vasokonstriktor) PGI2 (vasodilator, hiperalgesik,
menghambat agregasi platelet
PGE2 (vasodilator,
hanya digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri
(Anonim, 1995a). Obat ini bekerja di pusat dengan cara menempati
reseptor-reseptor nyeri pada susunan saraf pusat. Obat golongan ini diindikasikan
untuk kondisi nyeri yang sangat hebat misalnya akibat kecelakaan dan nyeri
setelah operasi (Mutschler, 1986).
H. Asetosal
Gambar 9. Struktur molekul asetosal
Asetosal memiliki pemerian hablur putih, umumnya seperti jarum atau
lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau berbau lemah.
Asetosal stabil di udara kering, di dalam udara lembab secara bertahap terhidrolisa
menjadi asam salisilat dan asam asetat. Asetosal sukar larut dalam air, mudah
larut dalam etanol, larut dalam kloroform dan eter, agak sukar larut dalam eter
mutlak (Anonim, 1995a).
Indikasi dari asetosal salah satunya untuk mengobati nyeri ringan sampai
sedang, inflamasi, demam, rheumatoid arthritis, demam reumatik, osteoatrhritis,
dan gout (dosis tinggi) (Lacy, et al., 2006).
Dosis pemberian asetosal pada anak dan dewasa diuraikan sebagai berikut;
anak: analgesik dan antipiretik: oral, rektal: 10-15 mg/Kg/dosis setiap 4-6 jam,
mg/Kg/hari dalam dosis terbagi; dosis pemeliharaan: 80-100 mg/Kg/hari dalam
dosis terbagi setiap 6-8 jam. Dewasa: analgesik dan antipiretik : oral, rektal:
325-650 mg setiap 4-6 jam, dosis maksimal sehari 4 gram; antiinflamasi: oral: dosis
permulaan: 2,4-3,6 gram/hari dalam dosis terbagi; dosis pemeliharaan: 3,6-5,4
gram/hari (Lacy, et al., 2006).
Asetosal bekerja dengan menghambat aktivitas prostaglandin G/H
sintetase atau yang dikenal lazim sebagai enzim siklooksigenase. Enzim
siklooksigenase merupakan katalisator pada tahap pertama pembentukan
prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Enzim siklooksigenase
terdiri dari dua isoenzim yaitu siklooksigenase I dan siklooksigenase II. Asetosal
relatif lebih selektif terhadap enzim siklooksigenase tipe I. Pada enzim
siklooksigenase tipe I, asetosal bekerja dengan mengasetilasi gugus hidroksil serin
pada posisi 529 dari rantai polipeptida sehingga dapat menghambat masuknya
substrat dari sisi enzim akibat rintangan sterik sehingga menyebabkan hilangnya
aktivitas enzim secara irreversibel. Dengan hilangnya aktivitas enzim
sklooksigenase maka pembentukan mediator nyeri dapat dihambat sehingga nyeri
yang dirasakan dapat berkurang. Asetosal juga dapat menghambat aktivitas enzim
siklooksigenase tipe II dengan cara berbeda yaitu dengan cara mengubah produk
asam arakidonat yang seharusnya Prostaglandin G1 menjadi asam 15
I. Metode Pengujian Efek Analgesik
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang
diinduksikan pada hewan percobaan, yang meliputi induksi secara mekanik,
termik, elektrik, dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara
mekanik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgesik kuat. Pada
umumnya daya kerja analgesik dinilai pada hewan dengan mengukur besarnya
peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau
jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri atau juga frekuensi respon
nyeri (Anonim,1991).
Berdasarkan jenis analgetika, metode pengujian efek analgesik dibagi
menjadi dua, yaitu ;
1. Golongan analgetika non narkotika
a. Metode induksi kimia
Pada metode ini digunakan rangsang kimia berupa zat kimia yang
secara intraperitoneal pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara oral
pada selang waktu tertentu. Zat kimia yang biasa digunakan untuk
memberikan respon berupa nyeri yaitu fenilkuinon. Respon nyeri pada
mencit adalah geliat berupa kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki
belakang dan perut menempel pada lantai. Geliat diamati setiap 5 menit
selama 1 jam. Pemberian analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga
jumlah geliat yang terjadi berkurang. Metode rangsang kimia ini merupakan
senyawa-senyawa yang memiliki daya analgesik lemah. Adanya
kemampuan menghambat geliat tidak hanya terjadi karena senyawa uji
memiliki efek analgesik tetapi juga bisa terjadi karena senyawa uji memiliki
efek antihistamin, parasimpatomimetik, atau simpatomimetik. Oleh karena
itu untuk membuktikan adanya efek analgesik dari senyawa uji, perlu
dilakukan uji analgesik dengan metode lain yang lebih spesifik sperti
rektodolorimetri dan podolorimetri (Turner, 1965).
Daya analgesik dapat dievaluasi menggunakan persamaan Handersot
dan Forsaith, yaitu :
% penghambatan terhadap geliat = 100 - [(P/K)x 100]
Keterangan :
P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang telah ditetapkan
K = jumlah rata-rata geliat hewan uji kelompok kontrol
(Turner, 1965).
Metode rangsang kimia dapat digunakan untuk uji analgesik baik
pusat ataupun tepi. Metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan
dapat direkomendasikan sebagai metode awal untuk skrining.
Bagaimanapun metode ini dapat mengatakan bahwa obat-obat seperti
clonidine dan haloperidol juga menunjukkan aktivitas analgesik pada
metode ini. Karena kurangnya spesifisitas metode ini, perlu diperhatikan
adanya interpretasi hasil metode ini dengan hasil metode-metode lain.
Meskipun demikian telah ada hubungan yang baik antara potensi analgesik
b. Metode pedolorimeter
Metode ini dilakukan dengan cara menempatkan mencit yang sudah
diberi senyawa uji pada tempat yang sudah berarus listrik dengan tegangan
20 volt. Respon mencit yang ditimbulkan berupa suara mencicit.
Pengukuran dialkukan setiap 10 menit selama 1 jam. Senyawa uji yang
mempunyai daya analgesik dapat menaikkan tegangan untuk dapat
menimbulkan teriakan mencit (Turner, 1965).
c. Metode rektodolometer
Pada metode ini hewan uji tikus diletakkan dalam sebuah kandang
yang dibuat khusus dengan menggunakan alas tembaga yang kemudian
dihubungkan dengan sebuah gulungan yang berfungsi sebagai penginduksi.
Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda
tembaga. Pada gulungan bagian atas terdapat suatu konduktor yang
dihubungkan dengan suatu voltmeter yang sensitif untuk dapat mengubah
0,1 volt. Respon berupa suara teriakan tikus dapat ditimbulkan dengan
pemberian tegangan sebesar 1 sampai 2 volt (Turner, 1965).
2. Golongan analgetika narkotika
a. Metode jepitan ekor
Metode ini dilakukan dengan cara meletakkan mencit yang sudah
diberi senyawa uji dengan dosis tertentu secara subkutan atau intravena 30
detik. Mencit yang tidak diberi analgetika akan berusaha terus untuk
melepaskan diri dari kekangan tersebut, sedangkan mencit yang diberi
analgetika akan mengabaikan kekangan tersebut (Turner, 1965).
b. Metode rangsang panas
Metode ini dilakukan dengan cara menempatkan mencit yang sudah
diberi senyawa uji di atas pelat panas (hot plate) yang bersuhu 50º-55º C. Mencit memberikan respon berupa mengangkat, menjilat telapak kakinya,
melompat. Hewan uji yang dibutuhkan tiap kelompok yaitu 5 ekor. Metode
ini paling sederhana dan efisien. Evaluasi: efek analgesik dinyatakan positif
jika waktu reaksi setelah pemberian obat lebih besar dari 30 detik yang
tejadi paling sedikitnya satu kali, atau apabila paling sedikitnya tiga kali
pembacaan memperlihatkan waktu reaksi yang sama dengan atau lebih besar
dari 3 kali rata-rata waktu reaksi kelompok kontrol negatif (Anonim, 1991).
c. Metode pengukuran tekanan
Alat yang digunakan pada metode ini menggunakan dua buah syringe
yang dihubungkan pada kedua ujungnya, bersifat elastis, fleksibel, serta
terdapat pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisi dari pipa dihubungkan
dengan manometer. Syringe yang pertama diletakkan dengan posisi vertikal dengan ujungnya menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah
pada ekor tikus. Tekanan sama pada syringe kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus, sehingga akan menimbulkan respon dan akan
terbaca pada manometer. Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta
kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) sebagai tanda kesakitan
(Turner, 1965).
d. Metode potensi petidin
Metode ini dilakukan dengan cara menyuntikkan petidin dengan dosis
2,4 mg/Kg BB dan 8 mg/Kg BB secara berturut-turut pada suatu kelompok
hewan uji dan petidin dosis tunggal, senyawa lain dan substansi lain yang
akan diteliti dengan dosis 25% dari LD50 pada kelompok hewan uji yang
lain. Persen daya analgesik dihitung dengan metode rangsang panas. Metode
ini memerlukan hewan uji yang cukup banyak (Turner, 1965).
e. Metode antagonis nalorfin
Metode ini dilakukan dengan cara memberikan senyawa uji dengan
dosis toksik dan diikuti pemberian nalorpin dengan dosis 0,5-10,0 mg/Kg
BB secara intravena pada hewan uji berupa mencit, tikus, atau anjing.
Segera setelah itu efek puncak dapat diamati. Nalorpin dapat menggantikan
ikatan morfin dengan reseptornya sehingga meniadakan efek analgesik
morfin dan obat analgesik lain yang mempunyai mekanisme kerja yang
f. Metode kejang oksitosin
Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitori
posterior, yang dapat menyebabkan kontraksi uterin sehingga menimbulkan
kejang pada tikus. Hewan uji yang digunakan yaitu tikus betina dengan berat
badan 120-140 mg diberi estrogen dengan penanaman 15 mg dietilstilbestrol
secara subkutan pada paha hewan uji. Setelah 10 minggu, hewan uji siap
untuk tes daya analgesik.
Senyawa yang akan diuji diberikan secara subkutan 15 menit sebelum
pemberian secara intraperitoneal 2 unit oksitosin (dosis ED50). Persen
penurunan kejang dideterminasi dan ED50 dapat diperkirakan (Turner,
1965).
g. Metode pencelupan pada air panas
Metode ini dilakukan dengan cara mencelupkan ekor mencit pada air
bertemperatur 58oC, dimulai 15 menit setelah diinjeksikan substansi yang
diuji secara intraperitoneal. Pencelupan diulang setiap 30 menit. Respon
mencit terlihat pada sentakan ekornya untuk menghindari air panas (Turner,
1965).
J. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) digunakan pada pemisahan zat secara
cepat, dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan
”kolom kromatografi terbuka” dan pemisahan didasarkan pada penyerapan,
pembagian atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara
pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. Kromatografi lapis tipis dengan
peneyerap penukar ion dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar
(Anonim, 1989).
Perbandingan jarak perambatan suatu zat terhadap jarak perambatan fase
bergerak dihitung dari titik penetesan larutan zat, dinyatakan sebagai Rf zat
tersebut. Harga Rf mutlak sukar ditetapkan, karena harga Rf yang diperoleh
tergantung dari kondisi percobaan. Harga Rf tersebut sangat berguna untuk
identifikasi pendahuluan zat kimia. Identifikasi pemastian dilakukan dengan
menggunakan zat pembanding kimia. Jika zat yang diperiksa sama dengan zat
pembanding kimia, maka hasil kromatogram zat yang diperiksa akan memberikan
warna dan mempunyai harga Rf yang sama dengan zat pembanding kimia
(Anonim, 1989).
K. Landasan Teori
Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian/peristiwa yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti, luka,
inflamasi, atau kanker (Rang et al., 2003). Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui suatu nilai ambang batas tertentu (nilai
ambang nyeri) dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan
Salah satu metode pengujian efek analgesik golongan non narkotika
adalah metode induksi kimia. Pada metode ini menggunakan rangsang kimia yaitu
asam asetat yang diberikan secara intraperitoneal pada mencit yang telah diberi
senyawa uji dengann rentang waktu yang telah ditentukan. Metode ini sering
digunakan karena sederhana, mudah dilakukan, dan cukup peka untuk menguji
senyawa-senyawa uji yang tergolong analgesik lemah. Daya analgesik dari
senyawa uji dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat.
Jamu kunyit asam merupakan kombinasi antara ekstrak rimpang kunyit
dan ekstrak buah asam Jawa. Campuran digunakan untuk mengatasi rasa nyeri,
khususnya nyeri haid pada wanita. Rimpang kunyit mengandung senyawa aktif
yang memiliki aktifitas farmakologis yaitu kurkuminoid. Kurkuminoid terdiri dari
kurkumin, demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin. Kurkuminoid merupakan
bahan aktif penting yang bertanggung jawab atas aktifitas biologis dari efek
antiinflamasi. Berdasarkan penelitian Bengmark, (2006) diperoleh bahwa
kurkumin memiliki kemampuan untuk menghambat aktivasi mediator nyeri yaitu
melalui ikatan dengan enzim siklooksigenase-2 dan lipooksigenase, sehingga
perubahan asam arakidonat menjadi eicosanoid sebagai mediator kimiawi tidak terjadi. Oleh karena itu, rangsang nyeri dapat dihambat dan rasa nyeri dapat
ditekan. Senyawa kurkumin stabil dalam suasana asam. Buah asam Jawa
mengandung senyawa-senyawa asam seperti asam tartrat, asam malat dan asam
sitrat yang dapat menstabilkan kurkumin dalam kunyit. Oleh karena itu kunyit dan
L. Hipotesis
Campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak buah asam Jawa dengan
komposisi 20,7% : 9,3% dan dosis terapi 1365 mg/Kg BB memiliki efek dan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan
menggunakan rancangan acak lengkap pola satu arah.
B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama
Variable penelitian ini meliputi :
a. Variabel bebas : dosis campuran estrak rimpang kunyit dan ekstrak daging
buah asam Jawa.
b. Variabel tergantung : jumlah geliat mencit betina selama 60 menit yang
menggambarkan besarnya daya penghambatan senyawa uji terhadap induksi
asam asetat.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali :
1) subyek uji : mencit betina galur Swiss
2) umur subyek : 2-3 bulan
3) berat badan : 20-30 gram
5) jalur pemberian :
a) campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak buah asam Jawa, asetosal
dan aquadest : per oral
b) asam asetat : intraperitoneal
6) asal ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak buah asam Jawa: PT. Sidomuncul,
Semarang
b. Variabel pengacau tak terkendali :
1) Keadaan patologis mencit.
2) Kemampuan absorbsi mencit terhadap ekstrak kunyit dan asam
3) Kemampuan mencit dalam menahan rasa sakit
3. Definisi operasional
a. Dosis: sejumlah milligram ekstrak rimpang kunyit kering dan ekstrak buah
asam Jawa kental per kilogram berat badan dari campuran ekstrak rimpang
kunyit dan buah asam Jawa dengan komposisi campuran ekstrak 20,7% :
9,3% yang dilarutkan dalam aquadest dan diberikan secara oral.
b. Campuran ekstrak kunyit asam : campuran ekstrak kering rimpang kunyit
dan ekstrak kental daging buah asam Jawa yang dilarutkan dalam aquadest.
c. Pelarut : air yang digunakan untuk melarutkan ekstrak kering rimpang kunyit
dan ekstrak kering daging buah asam Jawa.
d. Penyari : penyari yang digunakan oleh Industri Obat Tradisional Sido
e. Uji analgesik : proses menilai kemampuan campuran ekstrak rimpang kunyit
dan ekstrak daging buah asam Jawa dalam menekan atau menghilangkan
rasa nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan.
f. Populasi : mencit betina galur Swiss, umur 2-3 bulan, berat badan 20-30
gram.
g. Keadaan patologis mencit : keaadaan fisik mencit yang bebas dari penyakit
tumor.
h. Geliat : respon gerakan mencit setelah induksi asam asetat dimana mencit
menarik kedua kaki belakangnya ke belakang, mengempiskan perutnya
sehingga permukaan perut menempel pada alas tempat berpijak mencit
tersebut.
i. Peringkat Dosis: yang dimaksud sebagai berikut;
Peringkat Dosis I : 1365 mg/Kg BB
Peringkat Dosis II : 2730 mg/Kg BB
Peringkat Dosis III : 5460 mg/Kg BB
j. Komposisi campuran ekstrak : komposisi campuran ekstrak dengan
perbandingan ekstrak rimpang kunyit dan daging buah asam Jawa (20,7% :
9,3%).
k. Efek analgesik : kemampuan senyawa uji untuk menghambat geliat
dibandingkan dengan kontrol negatif.
l. Daya analgesik : kemampuan senyawa uji untuk menghambat geliat
C. Bahan Penelitian 1. Bahan
a. Hewan uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini berupa mencit betina,
galur Swiss, berat 20-30 gram, umur 2-3 bulan, yang diperoleh dari Pusat
Perkembangan Hewan Percobaan Universitas Gajah Mada Yogyakarta
b. Ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam Jawa.
Bahan uji yang digunakan berupa ekstrak cair rimpang kunyit dan
ekstrak cair daging buah asam Jawa yang diperoleh dari PT. Sidomuncul,
Semarang.
2. Bahan kimia
A. Uji geliat
1) 0,4 gram asetosal (kualitas farmasetis).
2) 2 gram CMC Na (kualitas farmasetis).
3) 1 mL asam asetat (kualitas pro analisis).
B. Identifikasi senyawa kurkumin dengan Kromatografi Lapis Tipis
1) Plat silica gel GF 254.
2) Kertas saring untuk menjenuhkan bejana pengembang.
3) 1 mL metanol (kualitas pro analisis).
4) 0,6 mL etanol (kualitas pro analisis).
5) 14,25 mL klorofom (kualitas pro analisis).
D. Alat atau Instrumen Penelitian Peralatan yang digunakan :
1. Alat uji geliat
a. Kotak kaca tempat pengamatan geliat
b. Stopwatch (Olympic).
c. Jarum yang digunakan untuk pemberian per oral, berupa jarum yang
ujungnya berbentuk bulat dan berlubang di bagian tengah.
d. Spuit injeksi yang memiliki ujung runcing dan digunakan untuk pemberian
secara intraperitoneal dengan merek Terumo.
2. Lain-lain
a. Neraca analitik merek Mettler Toledo.
b. Neraca merek Mettler Toledo
c. Alat-alat gelas merek Pyrex.
3. Alat identifikasi senyawa kurkumin dengan Kromatografi Lapis Tipis
a. Bejana pengembang dengan penutup.
b. Mikropipet.
E. Tata Cara Penelitian 1. Pengumpulan bahan
a. Bahan uji yang digunakan yaitu ekstrak kunyit dan daging buah asam Jawa
yang diperoleh dari PT Sidomuncul, Semarang pada bulan November 2009.
b. Bahan kimia yang digunakan yaitu: etanol, asetosal, CMC Na, aquadest dan
sedangkan kloroform, etanol dan methanol pro analisis diperoleh dari
Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Pembuatan larutan CMC Na 1%
Larutan CMC Na 1% dibuat dengan cara menimbang dengan seksama 1,0
g serbuk CMC Na kemudian ditaburkan di atas air panas sedikit demi sedikit
hingga mengembang sambil diaduk. Setelah terbentuk larutan kemudian
dimasukkan dalam labu ukur 100,0 mL dan ditambah aquadest hingga 100,0 mL
lalu digojog.
3. Pembuatan suspensi asetosal
Asetosal yang digunakan sebagai kontrol positif ditimbang seksama
sebanyak 364 mg dan disuspensikan ke dalam suspensi CMC Na 1% volume
100,0 mL.
Perhitungan konsentrasi:
V x C = D x BB
0,5 mL x C = 91 mg/Kg BB x 20 g
4. Pembuatan asam asetat 1% b/v
Larutan asam asetat ini dibuat dari larutan asam asetat glasial 100% v/v
dengan pengenceran yang dibuat dengan cara mengambil sebanyak 1,0 mL asam
asetat 100% kemudian diencerkan dengan aquadest hingga volume 100,0 mL
menggunakan labu ukur 100,0 mL.
Perhitungan konsentrasi:
V x C = D x BB
0,5 mL x C = 25 mg/Kg BB x 20 g
C = 1 mg/mL
C = 1 % b/v
5. Pembuatan campuran ekstrak rimpang kunyit dan daging buah asam Jawa
komposisi 20,7% : 9,3%
Ekstrak cair rimpang kunyit dan daging buah asam Jawa dari PT SM
dikentalkan dengan cara diuapkan di atas waterbath hingga suhu kurang lebih
65oC dilakukan di Laboratorium Farmakognosi, Fakultas Farmasi, Universitas
Gajah Mada. Setelah semua pelarut menguap, ekstrak kering kunyit dan ekstrak
kental asam Jawa disimpan dalam lemari es di bagian bawah. Ekstrak kering
rimpang kunyit dan ekstrak kental daging buah asam Jawa ditimbang dengan
Konsentrasi campuran ekstrak rimpang kunyit dan daging buah asam Jawa
komposisi 20,7% : 9,3% yang akan dibuat :
V x C = D x BB
0,5 mL x C = 5.460 mg/Kg BB x 20 g
C = 218,4 mg/mL
Jadi untuk membuat 25 mL campuran ekstrak rimpang kunyit dan asam
Jawa 20,7% : 9,3%, ditimbang ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah
asam Jawa dengan komposisi berikut:
Kunyit : 3,7675 gram
Asam Jawa : 1,6855 gram
kemudian dilarutkan dalam 25 mL aquadest panas, aduk homogen sampai semua
serbuk kunyit dan ekstrak kental daging buah asam Jawa terlarut.
6. Penetapan kriteria geliat
Respon yang diamati pada uji daya analgesik ini berupa geliat. Kriteria
geliat perlu ditetapkan untuk mendapatkan geliat yang hampir sama. Pedoman
gerakan mencit yang dianggap sebagai geliat adalah apabila mencit menarik
kedua kaki belakang ke belakang, dengan mengempiskan perutnya sehingga
permukaan perut menempel pada alas tempat berpijak mencit itu, yaitu alas pada
kotak kaca tempat pengamatan. Respon geliat yang timbul merupakan akibat dari
intraperitoneal. Adanya jaringan yang rusak mengakibatkan timbulnya rasa sakit
dan mencit memberikan respon geliat.
7. Penetapan kadar dan dosis asam asetat
Menurut Williamson (1996) asam asetat kadar 1-3 % digunakan sebagai
irritant yang menyebabkan nyeri pada pengujian daya analgesik dengan metode geliat. Sumber lain menyebutkan bahwa asam asetat 1% sudah dapat
menimbulkan geliat yang cukup banyak selama pengamatan (Putra, 2004).
Penetapan dosis asam asetat menggunakan tiga peringkat dosis, yaitiu 25 mg/Kg
BB, 50 mg/Kg BB, dan 100 mg/Kg BB. Sebanyak sembilan ekor hewan uji,
mencit betina, galur Swiss, berat 20-30 gram, umur 2-3 bulan yang telah
dipuasakan ± 18-22 jam dibagi ke dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok
terdiri dari 3 ekor mencitdiinjeksi secara intraperitoneal dengan asam asetat 1%
berturut-turut dengan dosis 25 mg/Kg BB, 50 mg/Kg BB, dan 100 mg/Kg BB
untuk tiap kelompoknya. Setelahitu diamati geliatnya selama 60 menit dan dicatat
jumlah geliat tiap 5 menit. Kelompok dosis yang menunjukkan jumlah geliat
paling banyak digunakansebagai kontrol negatif, yaitu yang memberikan jumlah
geliat yang tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak akan menyulitkan
pengamatan (Fadeli, 2008).
Hasil dari penetapan dosis asam asetat yang menggunakan 3 peringkat
dosis, yaitu 25, 50 dan 100 mg/Kg BB, masing-masing menunjukkan hasil
berturut-turut 141, 85, dan 64, kemudian dari hasil analisis variansi satu arah pada
dari 0,05 (p ≥ 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara
ketiga kelompok tersebut. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa asam asetat
dosis 25 mg/Kg BB sudah dapat memberikan rangsang nyeri yang cukup baik,
terlihat dari respon geliat yang dihasilkan, sehingga dosis ini dipilih sebagai
penginduksi nyeri untuk percobaan selanjutnya (Fadeli, 2008).
8. Penetapan selang waktu pemberian rangsang
Penetapan selang waktu pemberian rangsang bertujuan untuk mengetahui
waktu zat uji memberikan efek analgesik secara optimal. Rentang waktu yang
diujikan adalah 5, 10, 15 dan 30 menit. Sebanyak sembilan ekor hewan uji, mencit
betina, galur Swiss, berat 20-30 gram, umur 2-3 bulan yang telah dipuasakan ±
18-22 jam dibagi ke dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 3
ekor mencit diinjeksi secara intraperitoneal dengan asam asetat 1% menggunakan
dosis efektif asam asetat yang diperoleh dari penetapan dosis asam asetat dengan
selang waktu 5, 10, 15 dan 30 menit (Fadeli, 2008).
Data yang diperoleh berupa % penghambatan terhadap geliat berturut-turut
dari selang waktu 5, 10, 15 dan 30 menit yaitu 84,29%, 41,37%, 74,87% dan
63,35%. Dari hasil uji statistik ketiga % penghambatan diperoleh probabilitasnya
0,269 lebih besar dari 0,05 (p ≥ 0,05) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan antara keempat kelompok tersebut. Jadi dapat disimpulkan selang
waktu yang dipilih adalah 30 menit karena pada selang waktu ini respon geliat
diperoleh juga dengan ketelitian (nilai SE) yang lebih baik dari 5, 10, dan 15
menit yaitu 2,92 Selain itu, 30 menit adalah waktu onset asetosal (Fadeli, 2008).
9. Penetapan dosis dan kadar asetosal
Dosis asetosal yang digunakan dalam penelitian ini adalah dosis lazim 500
mg. Jika dikonversikan pada mencit maka dosisnya dihitung sebagai berikut:
Berat badan manusia Indonesia = 50 Kg
Faktor konversi pedoman manusia Eropa 70 Kg = 70/50 x 500 mg = 700 mg
Sehingga perhitungan konversi ke dosis mencit adalah sebagai berikut;
Dosis pada manusia 70 Kg = 700 mg
Konversi dari manusia ke mencit 20 g = 0,0026 x 700 mg
= 1,82 mg/20 gram BB
Dosis pada mencit = x 1,82 mg/Kg BB
= 91 mg/Kg BB
Untuk menetapkan dosis asetosal digunakan tiga peringkat dosis yaitu 45,5
mg/Kg BB, 91 mg/Kg BB, dan 182 mg/Kg BB. Dalam penetapan dosis asetosal
digunakan 9 ekor mencit yang dibagi dalam tiga kelompok. Masing-masing
kelompok terdiri dari 3 ekor mencit, galur Swiss, berat 20-30 gram, umur 2-3
bulan yang telah dipuasakan ± 18-22 jam sebelumnya. Tiap-tiap kelompok diberi
suspensi asetosal dengan tiga peringkat dosis. Kemudian mencit diinjeksi dengan
asam asetat secara intraperitoneal dengan selang waktu yang paling efektif dari
penetapan waktu waktu pemberian asam asetat yaitu 10 menit dan menggunakan