• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pengarang. Wujud formal karya sastra itu berupa kata-kata. Karya sastra, dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pengarang. Wujud formal karya sastra itu berupa kata-kata. Karya sastra, dengan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Karya sastra merupakan sebuah bangunan cerita yang menampilkan kreasi pengarang. Wujud formal karya sastra itu berupa kata-kata. Karya sastra, dengan demikian, menampilkan dunia dalam kata, juga menampilkan dunia dalam kemungkinan. Kata merupakan sarana terwujudnya bangunan cerita (Nurgiyantoro, 2013:22). Menurut Pujiharto (2012:23--24) karya fiksi merupakan manifestasi pengalaman estetis yang sekaligus pengalaman kemanusiaan pengarang. Pengalaman itu oleh pengarang dituliskan dalam wujud fakta-fakta cerita.

Karya sastra diciptakan oleh pengarang sebagai media yang dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat dan pengarang. Komponen-komponen dalam sebuah karya sastra tidaklah sedikit. Beberapa Komponen-komponen diwajibkan hadir agar dapat membangun sebuah bangunan yang nantinya dapat menghasilkan karya yang baik. Komponen-komponen tersebut beberapa di antaranya adalah fakta-fakta cerita, yang meliputi tokoh, latar, dan alur. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita. Selain fakta-fakta cerita, komponen yang penting kehadirannya di dalam sebuah karya sastra adalah sarana-sarana sastra yang meliputi konflik, sudut pandang, simbolisme, ironi, dan sebagainya (Stanton, 1965:11--13).

(2)

Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu (Aminuddin, 2002:66). Noor (2005:26--27) mengatakan bahwa novel adalah cerita rekaan yang panjang, yang menonjolkan tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa secara berstruktur. Wiyatmi (2009:29) mengatakan bahwa novel adalah naratif dalam bentuknya sebagai novel (roman) dan cerita pendek (cerpen). Panuti-Sudjiman (1984:55) mengatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Di dalam penelitian ini, objek material yang digunakan adalah novel yang memiliki pengertian sebagai totalitas yang bersifat artistik. Novel sebagai totalitas mempunyai bagian unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain dan saling menguntungkan. Bagian dari totalitas itu adalah unsur kata, bahasa, dan unsur pembangun yang merupakan subsistem organisme itu. Hal inilah yang menyebabkan novel menjadi berwujud (Nurgiyantoro, 2013:23).

Novel Titik Nol bercerita tentang pengalaman petualangan tokoh Agustinus Wibowo yang sekaligus juga berperan sebagai pengarang. Novel ini berisi catatan harian perjalanan Agustinus Wibowo ketika melakukan perjalanan di negara-negara Asia Selatan, yaitu di Tibet, Nepal, India, Pakistan, dan Afghanistan. Karya ini lebih dominan diisi dengan perjalanan yang berunsur petualangan dan melihat langsung kehidupan masyarakat di suatu negara dengan cara tinggal bersama dengan penduduk setempat. Agustinus Wibowo adalah salah seorang penulis novel perjalanan yang terkenal di Indonesia. Tiga buku yang sudah ditulis Agustinus Wibowo dan kemudian diterbitkan oleh penerbit

(3)

Gramedia Pustaka Utama adalah Selimut Debu (2010) yang menceritakan perjalanannya di Afghanistan, Garis Batas (2011) tentang kunjungannya ke negara-negara Asia Tengah, dan Titik Nol (2013). Di dalam karya-karyanya, Agustinus Wibowo tidak hanya menulis tempat-tempat wisata eksotis dunia, tetapi juga menyusuri kehidupan masyarakat di negara yang disinggahinya.

Setiap pengarang pada dasarnya memiliki gaya menulis yang berlainan, Agustinus Wibowo pun memiliki ciri khas dalam novel Titik Nol. Karyanya menekankan pada kedalaman cerita, bergaya jurnalisme sastrawi. Ia mendapatkan kedalaman cerita dengan cara berkomunikasi dan menyelami kehidupan masyarakat yang ia temui. Karya-karya novelnya yang berjenis travel writing pun selalu sukses di pasaran. Publik kemudian mengenalnya sebagai penulis yang menuangkan ide-idenya langsung dari pengalamannya bertahun-tahun ketika berpetualang ke berbagai negara. Komentar-komentar positif kemudian berdatangan dari berbagai kalangan pembaca setelah membaca novel Titik Nol. Qaris Tajudin sebagai salah seorang editor dari Tempo sekaligus merangkap sebagai penulis novel yang telah membaca novel Titik Nol berkomentar pada novel tersebut yang tertera pada sampul belakang buku. Tajudin (2013:xii) berkata bahwa novel Agustinus Wibowo telah menarik cakrawala yang jauh pada penulisan perjalanan di Indonesia. Penulisan yang dalam, pengalaman yang luar biasa membuat tulisan ini seperti buku kehidupan. Titik Nol merupakan cara bertutur yang benar-benar baru dalam travel writing di negeri ini (Wibowo, 2013:xii).

Bagi peneliti, novel Titik Nol karya Agustinus Wibowo menarik untuk diteliti karena beberapa alasan. Pertama, novel ini termasuk salah satu karya

(4)

Agustinus Wibowo yang paling populer dibandingkan dengan dua novel sebelumnya yang setipe, yaitu bergenre novel perjalanan. Di Indonesia, novel Titik Nol mendapat beberapa penghargaan seperti Anugerah Pembaca Indonesia Nominee for Penulis dan Buku Nonfiksi Terfavorit dan Shortlist & Sampul Buku Nonfiksi Terfavorit pada tahun 2013. Selain itu karya-karya Agustinus Wibowo juga telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan sasaran pembaca kalangan internasional.

Kedua, novel Titik Nol menarik apabila dilihat dari segi latar karena memiliki latar yang beragam. Salah satu latar yang paling dominan adalah latar tempat dan latar sosial-budayanya. Novel Titik Nol memiliki latar yang beragam karena sejatinya novel ini bergenre perjalanan sehingga memiliki kelebihan pada deskripsi latar tempat.

Ketiga, selain memiliki latar yang kuat, novel Titik Nol memiliki unsur tokoh dan penokahan yang baik. Tokoh Agustinus adalah tokoh utama sekaligus tokoh yang paling dominan. Dominasi tokoh Agustinus terlihat dari pemikiran-pemikirannya yang kuat ketika dihadapkan pada konflik. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya, tokoh Agustinus berperan sangat penting terhadap jalan cerita karena pemikiran dan sikapnya yang mendominasi novel. Tokoh-tokoh lain yang dimunculkan juga jumlahnya tidak sedikit karena tokoh-tokoh bawahan akan terus dimunculkan seiring dengan perpindahan tempat yang dilakukan oleh tokoh Agustinus. Fungsi tokoh bawahan ini juga sangat penting karena pemikiran dan tindakan tokoh “aku” dipengaruhi oleh tokoh bawahan yang ditemuinya.

(5)

Keempat, novel Titik Nol menyajikan alur yang berbeda apabila dibandingkan dengan novel-novel Agustinus Wibowo sebelumnya. Alur yang disajikan dalam novel Titik Nol mengalami penundaan dari suatu peristiwa menuju ke peristiwa lainnya. Adanya penundaan alur terhadap suatu peristiwa yang diceritakan pengarang dalam novel ini menjadi daya tarik yang dapat ditemukan dalam novel Titik Nol.

Kelima, tema bawahan yang dapat ditemukan dalam novel ini beragam. Tema bawahan tersebut, antara lain, masalah gender, kesenjangan sosial, kemiskinan, globalisasi, dan lain-lain. Tema bawahan dalam novel Titik Nol sangat beragam karena pengarang mengangkat isu-isu yang sedang terjadi pada setiap negara yang ia kunjungi ketika melakukan perjalanan.

Keenam, novel Titik Nol merupakan struktur karya sastra yang otonom. Sebagai struktur yang otonom, unsur tersebut dibangun dari fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra. Di antara ketiga unsur tersebut, fakta-fakta cerita dan tema merupakan unsur yang terlihat dominan pada novel Titik Nol ini. Dengan ditelitinya tokoh, latar, alur, dan tema pembaca dapat mengetahui hubungan antarunsur sebagai pembangun kesatuan unsur novel. Kemudian, hubungan antarunsur yang berkaitan tersebut akan memudahkan pembaca dalam mengetahui makna cerita secara menyeluruh.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan, novel Titik Nol akan diteliti dengan menerapkan teori struktur novel Robert Stanton, tepatnya mengerucut pada teori yang berhubungan dengan fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur karena teori tersebut dapat menjawab berbagai permasalahan

(6)

dari alasan-alasan yang telah dikemukakan. Tidak dianalisisnya sarana-sarana sastra karena dibatasinya topik penelitian ini. Di samping itu, fakta-fakta cerita dan tema merupakan unsur novel yang terlihat dominan. Hal ini tidak berarti bahwa sarana-sarana sastra dapat dikesampingkan begitu saja. Dengan belum dianalisisnya sarana-sarana sastra secara menyeluruh, masih dimungkinkan peneliti lain untuk menelitinya.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Fakta-fakta cerita dalam novel Titik Nol yang meliputi tokoh, latar, dan alur novel Titik Nol karya Agustinus Wibowo.

b. Tema yang diangkat oleh pengarang dalam novel Titik Nol.

c. Hubungan antarunsur (fakta-fakta cerita dan tema) dalam novel Titik Nol karya Agustinus Wibowo.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini ada dua, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis dalam penelitian ini ada dua. Pertama, untuk menerapkan teori struktur novel Robert Stanton dalam memaknai fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur novel Titik Nol. Unsur-unsur dalam fakta-fakta cerita tersebut adalah tokoh, latar, dan alur yang terdapat di dalam

(7)

novel Titik Nol karya Agustinus Wibowo. Kedua, tujuan analisis struktural adalah membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan beberapa unsur dan aspek karya sastra yang menghasilkan makna menyeluruh.

Tujuan praktis dalam penelitian ini terdiri dari enam hal. Pertama, untuk memahami unsur-unsur fakta-fakta cerita (tokoh, latar, dan alur), tema, dan hubungan antarunsur yang terkandung dalam novel Titik Nol dengan teori struktur novel Robert Stanton. Kedua, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi pembaca dalam memahami karya sastra, khususnya novel Titik Nol. Ketiga, menambah referensi hasil penelitian terhadap novel Titik Nol dengan menggunakan teori struktur novel Robert Stanton. Keempat, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang penelitian sastra dengan menggunakan teori struktur novel Robert Stanton kepada masyarakat. Kelima, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat awam dalam memahami unsur-unsur yang terdapat dalam fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur novel Titik Nol dengan teori struktur novel Robert Stanton. Keenam, untuk memperkenalkan struktur salah satu novel karya Agustinus Wibowo kepada masyarakat.

1.4 Tinjauan Pustaka

Novel Titik Nol pertama kali diterbitkan pada tahun 2013 oleh Gramedia Pustaka Utama. Penulisnya adalah Agustinus Wibowo, seorang sarjana dari Universitas Tsing-Hua, yang memiliki ketertarikan besar terhadap negara-negara terjajah dan negara-negara rawan perang.

(8)

Tinjauan pustaka dalam penelitian berisi paparan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Tinjauan pustaka berfungsi untuk memberikan pengetahuan tambahan terhadap penelitian terdahulu. Penelitian novel Titik Nol karya Agustinus Wibowo menggunakan teori struktur novel Robert Stanton akan memfokuskan analisis pada fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur. Sejauh ini belum ada peneliti yang mengkaji novel Titik Nol dengan menggunakan teori struktur novel Robert Stanton. Namun demikian, beberapa kajian pustaka yang berhubungan dengan fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur dengan teori struktur novel Robert Stanton sebelumnya telah dilakukan, yaitu sebagai berikut.

Pada tahun 2004, Anas Abdul Ghofur, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menulis skripsi dengan judul “Novelet Bawuk Karya Umar Kayam: Analisis Stantonian”. Penelitian ini menerapkan teori struktur novel Robert Stanton untuk mengetahui dan memahami unsur-unsur yang membangun cerita. Skripsi ini menganalisis unsur-unsur episode yang terdiri dari fakta-fakta cerita, sarana-sarana sastra, dan analisis tema, kemudian dilanjutkan dengan analisis hubungan antarepisode, dan tema.

Pada tahun 2004, Erna Tri Widarti, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menulis skripsi dengan judul “Tema dan Fakta-Fakta Cerita Novel Sukreni Gadis Bali Karya A.A Panji Tisna”. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dan mendeskripsikan tema dan fakta-fakta cerita dalam novel Sukreni Gadis Bali dengan menerapkan teori struktur

(9)

Robert Stanton dengan fokus penelitian tema, fakta-fakta cerita, hubungan antarunsur, dan kesimpulan.

Pada tahun 2006, Intan Permatasari, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menulis skripsi dengan judul “Novel Toenggeol Karya Eer Asura: Analisis Tema dan Fakta-Fakta Cerita”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur pembangun cerita dan berfokus pada fakta-fakta cerita dan tema dengan menggunakan teori struktur novel Robert Stanton.

Pada tahun 2007, Nurina Yudistianti, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menulis skripsi dengan judul “Cermin Merah Karya N. Riantiarno: Analisis Struktur Novel Model Stanton” yang menekankan analisis fiksi berdasarkan tiga bagian utama dari karya tersebut, yaitu fakta-fakta cerita, tema dan sarana-sarana sastra.

Pada tahun 2012, Yogi Sutopo, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menulis skripsi dengan judul “Dunia-Dunia dalam Novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi: Analisis Struktur Robert Stanton”. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dan mendeskripsikan fakta-fakta cerita, sarana-sarana sastra, tema, dan hubungan antarunsur dalam novel Ranah 3 Warna dengan menerapkan teori struktur Robert Stanton yang berfokus pada tema, fakta-fakta cerita, sarana-sarana sastra, dan hubungan antarunsur.

Pada tahun 2014, Indah Fadhilla, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menulis skripsi dengan judul

(10)

“Novel Persiden Karya Wisran Hadi: Analisis Latar Robert Stanton”. Penelitian ini memiliki fokus terhadap unsur dan fungsi latar. Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah unsur latar dan fungsi latar dalam novel Persiden karya Wisran Hadi. Penelitian ini menggunakan teori struktur novel Robert Stanton yang membagi latar menjadi beberapa bagian dan fungsi.

Pada tahun 2015, Disma Ajeng Rastiti, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, menulis skripsi dengan judul “Fakta-Fakta Cerita dan Tema Novel Nagabonar Jadi 2 Karya Akmal Nasery Basral: Analisis Struktur novel Robert Stanton”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur pembangun cerita dan berfokus pada fakta-fakta cerita dan tema.

Pada tahun 2015, Dyasti Wulandari Putri, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, menulis skripsi dengan judul “Fakta-Fakta Cerita dan Tema dalam Novel Asrama Putri Karya Dewi Linggarsari: Analisis Struktural Robert Stanton”. Penelitian Penelitian ini menjawab dua rumusan masalah, pertama menjawab kualitas fakta-fakta cerita yang ada dalam novel Asrama Putri dan kedua menjawab tema mayor yang mendasari cerita dalam novel Asrama Putri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang terdapat dalam novel Asrama Putri dengan pendekatan teori struktural Robert Stanton Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, telah ditemukan bahwa banyaknya tokoh yang tidak saling berkausalitas mengakibatkan alur bersifat renggang. Telah ditemukan pula bahwa tema mayor yang mendasari cerita

(11)

dalam novel Asrama Putri adalah persahabatan sepanjang masa diwarnai perasaan kecewa dan pencarian jati diri.

Pada tahun 2016, Hikmah Aprilia Rahmawati, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, menulis skripsi yang berjudul “Fakta-Fakta Cerita dan Tema dalam Novel Kapak karya Dewi Linggasari: Analisis Struktur Novel Model Stanton”. Skripsi mengkaji struktur novel Kapak menggunakan teori Robert Stanton. Beberapa hal yang dianalisis di antaranya adalah fakta-fakta cerita, tema, hubungan antarunsur, dan diakhiri dengan kesimpulan.

Adapun penelitian lain yang juga menjadikan novel Titik Nol karya Agustinus Wibowo sebagai objek material dengan teori yang berbeda. Berikut adalah tinjauan pustaka terkait objek material novel Titik Nol karya Agustinus Wibowo.

Pada tahun 2016, Yulianingsih Riswan, mahasiswi Filsafat, Universitas Gadjah Mada, menulis skripsi yang berjudul “Makna Perjalanan Pada Buku Titik Nol karya Agustinus Wibowo dalam Perspektif Filsafat Kehendak Paul Ricoeur”. Penelitian ini berusaha menjawab makna hidup sebagai manusia dengan menarik hubungan resiprositas dari yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki dalam suatu tindakan manusia. Tujuan lainnya dari penelitian ini adalah menemukan makna perjalanan pada novel Titik Nol dengan tinjauan Filsafat Kehendak Paul Ricoeur.

Beberapa tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa belum ada analisis tentang novel Titik Nol dengan menggunakan teori struktur novel Robert Stanton yang berfokus pada fakta-fakta cerita, tema, dan

(12)

hubungan antarunsur. Dengan demikian, diduga tidak terjadi pengulangan penelitian sehingga perlu diadakan penelitian dengan objek material dan formal tersebut.

1.5 Landasan Teori

Teori yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini adalah teori struktur novel Robert Stanton. Teori struktur novel Robert Stanton digunakan karena memiliki konsep-konsep yang dapat digunakan untuk menjawab masalah-masalah yang tertera dalam rumusan masalah. Akan tetapi, ada beberapa teori yang tidak termuat dalam buku Stanton. Untuk melengkapi kekurangan itu, diacu juga teori-teori struktur novel yang dikemukakan oleh ahli lain, antara lain, adalah Nurgiyantoro, Pujiharto, dan Sugihastuti.

Menurut Stanton (1965:11--12) karya sastra terdiri atas unsur tema, sarana-sarana sastra, dan fakta-fakta cerita. Fakta-fakta cerita terdiri atas alur, latar, dan tokoh. Ketiganya merupakan unsur fiksi yang nyata dan tergambarkan dengan baik di dalam sebuah novel. Ketiga unsur tersebut akhirnya menjadi unsur-unsur yang paling menonjol dalam sebuah novel. Oleh karena itu, gabungan dari ketiga unsur cerita dikatakan sebagai struktur faktual atau tingkatan faktual dari sebuah cerita. Adanya fakta-fakta cerita atau struktur faktual dalam novel membuat novel tersebut menjadi logis atau masuk akal dan mudah dibayangkan. Cerita yang masuk akal bukanlah selalu cerita yang meniru kehidupan sesungguhnya secara sempurna. Namun demikian, masuk akal ini didefinisikan

(13)

sebagai cerita yang memiliki koherensi atau keterkaitan antara unsur satu dengan unsur yang lain seperti antara tokoh dan latar.

Novel merupakan gambaran dunia menurut pengarang. Di dalam novel tersebut terdapat dunia yang diciptakan oleh pengarang melalui beberapa tokoh, beberapa konflik, hingga sampai pada tahap penyelesaian. Pengarang secara bebas membuat dunia baru di dalam novel. Beberapa di antaranya bahkan seringkali memasukkan pengalaman-pengalaman pribadi yang pernah dilalui selama hidupnya ke dalam novel ciptaannya.

1.5.1 Fakta-Fakta Cerita

Fakta-fakta cerita terdiri atas unsur-unsur tokoh, latar, dan alur yang berfungsi sebagai catatan imajinatif dari sebuah cerita. Apabila dirangkum menjadi satu, semua unsur tersebut disebut struktur faktual atau tingkatan faktual (Stanton, 1965:12).

1.5.1.1Tokoh dan Penokohan

Definisi penokohan menurut Stanton (1965:17--18) adalah gambaran watak atau perilaku tokoh-tokoh cerita. Dalam sebuah cerita penokohan dapat digambarkan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan setiap ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh dan dapat dijadikan sebagai cerminan watak tokoh. Definisi lain menyebutkan bahwa karakter memiliki dua pengertian yakni tokoh ciptaan penulis yang ada dalam cerita dan watak atau perwatakan dari tokoh ciptaan dalam cerita tersebut (Susanto, 2015:393). Dalam karya fiksi, penggunaan istilah karakter biasa dikaitkan dalam dua hal, yaitu tokoh dan penokohan atau perwatakan. Istilah karakter menunjuk pada dua pengertian. Pertama, karakter

(14)

menunjuk pada individu-individu yang ada di dalam cerita. Kedua, karakter menunjuk pada bagaimana lukisan-lukisan watak dari para tokoh, seperti campuran antara kepentingan-kepentingan, keinginan, perasaan, dan prinsip moral yang membuat individu-individu itu berbeda.

Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Karakter dapat berarti pelaku cerita dan dapat pula berarti perwatakan. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya merupakan suatu kepaduan yang utuh. Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2013:247)

Walau tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, tokoh haruslah merupakan seorang yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri atas darah dan daging, yang memiliki pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya. Jika terjadi seorang tokoh bersikap dan bertindak secara lain dari citranya yang telah digambarkan sebelumnya, dan karenanya merupakan suatu kejutan, hal itu haruslah tidak terjadi begitu saja, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi plot sehingga cerita tetap memiliki plausibilitas.

(15)

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2013:249).

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan pada peran dan pentingnya seorang tokoh dalam cerita fiksi secara keseluruhan, yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan (tokoh tambahan). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan alur cerita secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang memengaruhi perkembangan alur (Nurgiyantoro, 2013:259).

Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan biasanya diabaikan, atau paling tidak, kurang mendapat perhatian. Tokoh utama adalah yang dibuat sinopsisnya, yaitu dalam kegiatan pembuatan sinopsis, sedang tokoh tambahan biasanya diabaikan karena sinopsis hanya berisi intisari cerita (Nurgiyantoro, 2013:259).

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis dan

(16)

tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tidak terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan sifat atau sikap dalam cerita. Tokoh berkembang secara aktif berinteraksi dengan lingkungan sosial yang akan memengaruhi sikap, watak, dan tingkah laku (Nurgiyantoro, 2013:272).

1.5.1.2Latar

Latar diartikan sebagai tempat kejadian dari suatu peristiwa. Latar dapat merujuk pada lokasi seperti gunung, pemandangan satu kota atau desa, ruangan, dan segala yang merujuk pada tempat peristiwa tersebut. Selain itu, latar juga dapat berupa waktu terjadi peristiwa, seperti tahun, hari, tanggal, bulan, musim, dan peristiwa sejarah yang menyertai terjadinya peristiwa tersebut. Sementara, suasana sosial dan situasi masyarakat dapat menjadi latar peristiwa tersebut dan sering disebut dengan latar sosial (Susanto, 2015:457—458). Menurut Stanton (1965:16) latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa sedang berlangsung. Latar biasanya dihadirkan dalam bentuk deskripsi. Latar dapat disebut sebagai tempat dengan lingkungan tertentu dan waktu tertentu terjadinya sebuah cerita rekaan. Oleh karena itu, kedudukan latar dalam sebuah cerita atau karya fiksi sangat penting karena dengan adanya latar sebuah cerita akan dengan mudah dipahami.

(17)

Menurut Sayuti (2007:80) deskripsi latar fiksi dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yaitu, latar tempat yang berhubungan dengan deskripsi tempat suatu cerita terjadi, latar waktu yang mengacu kepada saat terjadinya peristiwa secara historis dalam alur, dan latar sosial-budaya yang merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seorang atau beberapa tokoh di dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya.

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Deskripsi tempat yang secara teliti dan realistis ini penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh ada dan terjadi, yaitu tempat (dan waktu) seperti yang diceritakan. Latar waktu berhubungan dengan masalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi dan berkaitan dengan gambaran masa lalu atau masa depan tokoh pada suatu cerita. Masalah waktu terjadinya peristiwa tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya status sosial rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro,

(18)

2013:315--322). Kondisi jiwa seorang tokoh dipengaruhi oleh keadaan atau suasana lingkungan sekitar (Stanton, 1965:19).

1.5.1.3Alur

Alur adalah unsur struktur yang berwujud jalinan peristiwa di dalam karya sastra, yang memperlihatkan kepaduan (koherensi) tertentu yang diwujudkan antara lain oleh hubungan sebab-akibat, tokoh, tema, atau ketiganya (Zaidan dkk, 2004:26), sedangkan pengertian lain menyebutkan bahwa alur dicirikan dengan hubungan kausalitas antara peristiwa satu dengan yang lain (Susanto, 2015:21). Alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Istilah alur biasanya terbatas pada kejadian-kejadian yang terhubung secara kausal saja. Kejadian kausal merupakan kejadian yang menyebabkan atau menjadi dampak dari kejadian-kejadian lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Kejadian kausal tidak terbatas pada hal-hal fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap tokoh, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi pengubah dalam dirinya (Yudistianti dan Sugihastuti, 2010:6--7). Alur merupakan tulang punggung cerita. Alur dapat membuktikan dirinya sendiri. Sebuah cerita tidak akan seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak bersifat sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat. Alur memiliki hukum-hukum sendiri, yakni memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata,

(19)

meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam-macam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan. Pada bagian awal masalah sudah mulai ditampilkan. Bagian tengah menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada bagian awal dan konflik tersebut semakin meningkat hingga klimaks. Bagian akhir merupakan penyelesaian yang merupakan akibat dari klimaks dan menjadi bagian akhir dari cerita (Stanton, 1965:14--15).

Episode

Sebuah karya fiksi terdiri dari episode-episode yang dihubungkan secara longgar yang melibatkan banyak tokoh dan beberapa hanya muncul sekali (Stanton, 1965:14). Episode dalam sebuah novel mirip dengan babakan dalam drama. Perpindahan dari episode yang satu ke episode yang lain biasanya ditandai dengan perpindahan waktu, tempat atau tokoh. Istilah episode digunakan untuk menunjuk pada suatu kumpulan peristiwa. Kumpulan beberapa peristiwa tersebut selanjutnya akan membentuk bab-bab dan kumpulan bab-bab selanjutnya membentuk satu kesatuan karya fiksi (Pujiharto, 2012:38).

Peristiwa

Dalam episode terdapat beberapa peristiwa. Peristiwa adalah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Peristiwa bisa dibedakan berdasarkan sifat dan tingkat keberpengaruhannya. Berdasarkan sifat, peristiwa dibedakan menjadi peristiwa fisis yang berupa tindakan atau ujaran tokoh dan peristiwa nonfisis yang berupa perubahan sikap tokoh, kilasan-kilasan pandangan, keputusan-keputusan, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam diri

(20)

tokoh (Pujiharto, 2012:32). Berdasarkan tingkat keberpengaruhannya, peristiwa dibedakan menjadi peristiwa fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan. Peristiwa fungsional adalah peristiwa yang secara menentukan memengaruhi perkembangan alur. Peristiwa kaitan adalah peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang mengacu kepada unsur-unsur lain seperti bagaimana watak seseorang, bagaimana suasana yang meliputi para pelaku, dan sebagainya (Pujiharto, 2012:36).

Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita, sebuah teks naratif tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, alur terdiri dari tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.

Nurgiyantoro (2013:201--206) mengatakan bahwa tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Biasanya berupa pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadiannya, dan lain-lain. Fungsi pokok tahap awal sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya, khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan. Tahap awal yang berupa pengenalan tokoh akan membawa pembaca untuk segera berkenalan dengan tokoh yang akan dikisahkan. Pada tahap awal cerita, di samping untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita, konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan. Masalah-masalah

(21)

yang dihadapi tokoh akan memuncak di bagian tengah cerita, klimaks, mulai dihadirkan dan diurai.

Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan. Konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya menjadi semakin meningkat dan semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan seperti yang telah dikemukakan dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal atau pertentangan yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal atau pertentangan yang terjadi antartokoh cerita, antara tokoh-tokoh protagonis, atau keduanya sekaligus. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari sebuah cerita fiksi yang bersangkutan. Pada bagian inilah inti cerita disajikan: tokoh-tokoh memainkan peran, peristiwa-peristiwa penting fungsional dikisahkan, konflik berkembang meruncing, menegangkan dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema pokok, makna pokok cerita diungkapkan. Bagian tengah cerita digunakan untuk mengidentifikasi konflik utama, peristiwa-fungsionalis-klimaks, dan tema atau makna utama cerita.

Tahap akhir sebuah cerita dapat disebut juga sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks, berisi gambaran tentang kesudahan cerita, atau menyarankan akhir sebuah cerita.

Teknik Pengaluran

Setiap fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita tersebut terdiri atas peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata diajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan

(22)

kausalitas antara satu dengan lainnya. Hal inilah yang biasa disebut alur (Pujiharto, 2012:32).

Berdasarkan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita, alur dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu kronologis dan sorot balik. Dalam alur kronologis, peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, berurutan dari awal hingga akhir sesuai dengan urutan waktu. Penyajian alur dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik pengaluran berikut ini.

1. Backtracking (Sorot Balik)

Backtracking sering pula disebut sorot balik. Backtracking merupakan pengaluran cerita dengan mengenang apa yang telah terjadi sebelum peristiwa itu memuncak kejadiannya atau menoleh kembali pada peristiwa-peristwa yang telah terjadi melalui mimpi atau lamunan. Backtracking berfungsi untuk memperdalam pemahaman terhadap cerita dengan menoleh kembali pada peristiwa-peristiwa sebelumnya. Backtracking sering lebih menarik karena sejak awal membaca buku, pembaca langsung ditegangkan langsung “terjerat”, dengan tidak terlebih dahulu melewati tahap perkenalan seperti pada novel berplot progresif yang adakalanya berkepanjangan dan bertele-tele (Nurgiyantoro, 2013:215). Pendapat lain mengemukakan bahwa backtracking merupakan pengaluran cerita dengan mengenangkan apa yang telah terjadi sebelum peristiwa-peristiwa itu memuncak kejadiannya atau menoleh kembali pada peristiwa-peristiwa yang telah terjadi melalui mimpi atau lamunan (Sugihastuti dan Suharto, 2005:107).

(23)

2. Suspense (Ketegangan)

Cerita yang menarik biasanya mampu mengikat pembaca untuk selalu ingin mengetahui kelanjutan kejadiannya, mampu membangkitkan rasa ingin tahu, mampu membangkitkan suspense untuk tiap cerita tentu saja tidak sama. Namun demikian, sebuah cerita yang tidak mampu memberikan dan sekaligus mempertahankan rasa ingin tahu pembaca, boleh dikatakan gagal dengan misinya yang memang ingin menyampaikan cerita yang dimaksudkan (Nurgiyantoro, 2013:143).

3. Plausibilitas (Masuk Akal)

Plausibilitas dikaitkan dengan realitas kehidupan, sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata. Jadi, sebuah cerita yang mencerminan realitas kehidupan sesuai atau tidak bertentangan dengan sifat-sifat dalam kehidupan faktual atau dapat diterima secara akal dan tentu saja dengan menggunakan kriteria realitas (Nurgiyantoro, 2013:189).

4. Unity (Kepaduan)

Alur sebuah karya fiksi, di samping tuntutan memenuhi kaidah-kaidah di atas, terlebih lagi dituntut memiliki sifat unity. Kesatupaduan menunjuk pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa dan konflik, serta seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Ada benang meah yang menghubungkan berbagai aspek cerita tersebut sehingga seluruhnya dapat terasakan sebagai kesatuan yang utuh dan padu (Nurgiyantoro, 2013:197). Teknik pengaluran ini berfungsi untuk mendukung kekuatan alur dalam menjelaskan

(24)

peristiwa-peristiwa yang terjadi. Teknik ini dipakai agar alur berjalan secara logis dan kronologis, untuk mendukung kekuatan alur dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Stanton (1965:16) mengungkapkan bahwa ada dua unsur penting dalam alur, yaitu konflik dan klimaks. Dalam karya fiksi, konflik terdiri dari konflik internal, konflik eksternal, dan konflik sentral. Konflik internal ialah konflik yang muncul dari dalam diri tokoh dan biasanya muncul karena ada keinginan si tokoh. Konflik eksternal adalah konflik antara tokoh dengan lingkungannya. Konflik sentral merupakan inti struktur cerita dan dari konflik tersebut alur dapat berkembang. Konflik sentral juga merupakan puncak dari konflik-konflik yang mengantar jalan cerita menuju klimaks. Klimaks merupakan puncak dari suatu hal, kejadian, dan keadaan yang berkembang secara berangsur-angsur.

1.5.2 Tema

Tema adalah makna yang dikandung atau ditawarkan oleh suatu karya dan makna itu jumlahnya banyak, tergantung dari kemampuan pembaca dalam menghubungkan berbagai elemen cerita (Susanto, 2015:827). Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Oleh karena itu, diperlukan pembacaan yang cermat dengan memperhatikan dan memahami fakta-fakta ceritanya terlebih dahulu.

(25)

Sebuah tema dapat ditafsirkan berdasarkan pada fakta-fakta yang terdapat dalam sebuah cerita (Stanton, 1965:19--21).

Penentuan tema tergantung dari kemampuan pembaca dalam menghubungkan berbagai unsur pembangun (struktur) dalam satu karya. Biasanya, tema bersifat universal dan tidak disampaikan secara langsung. Tema juga dibagi menjadi beberapa bagian (Susanto, 2015:827—828). Untuk mengenali tema sebuah karya dapat dilakukan dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Kedua hal ini berhubungan sangat erat dan konflik utama biasanya mengandung sesuatu yang sangat berguna jika benar-benar dirunut. Setiap aspek cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal, seperti peristiwa-peristiwa, karakter-karakter, atau bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama. Jika relevansi hal-hal tersebut dapat dikenali, keseluruhan cerita akan terbentang gamblang. Tema dapat ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut. Pertama, memperhatikan dan mempertimbangkan uraian yang paling menonjol dalam cerita. Kedua, penafsiran tema hendaknya tidak bertentangan dengan detail cerita. Ketiga, tidak tergantung pada sebuah bukti yang hanya tersirat dalam cerita. Tema tidak hanya dapat ditafsirkan melalui perkiraan pemikiran. Keempat, penafsiran terhadap tema harus berdasar pada bukti-bukti yang secara langsung terdapat dalam cerita. Tema sebuah cerita harus dapat dibuktikan dengan adanya data-data atau detail-detail cerita yang terdapat dalam novel (Stanton, 1965:22--23).

Nurgiyantoro (2013:133) mengatakan bahwa tema terbagi menjadi dua, yaitu tema utama (mayor) dan tema tambahan (minor). Tema utama (mayor) adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum karya itu.

(26)

Tema tambahan (minor) adalah makna tambahan yang banyak atau sedikitnya tergantung pada banyak atau sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel. Penafsiran makna itu pun haruslah dibatasi pada makna-makna yang terlihat menonjol, di samping mempunyai bukti-bukti konkret yang terdapat pada karya itu. Tema tambahan dan tema utama tidak dapat berdiri sendiri karena keduanya saling berhubungan dan mendukung atau mencerminkan kesatuan dalam cerita.

1.6 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 2014:901). Menurut Ratna (2013:34) metode adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas, atau langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga mudah untuk dipecahkan dan dipahami.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Metode deskriptif adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2013:53). Melalui metode ini dihasilkan data-data deskriptif yang tidak semata-mata menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Tujuan dari tahap metode analisis data ini adalah untuk memudahkan penulis menguak fakta-fakta yang terdapat dalam karya sastra agar memberikan pemahaman yang mendalam terhada karya sastra yang diteliti. Data yang dideskripsikan berupa data

(27)

verbal yang mengungkapkan tokoh, latar, alur, dan tema. Data verbal tersebut berupa kalimat-kalimat dialog maupun monolog dalam novel Titik Nol.

Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut.

1. Menentukan objek material penelitian, yaitu novel Titik Nol karya Agustinus Wibowo.

2. Menentukan objek formal penelitian, yaitu teori struktur novel Robert Stanton.

3. Menentukan masalah penelitian, yaitu tentang fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur di dalam novel Titik Nol.

4. Menganalisis fakta-fakta cerita, tema, dan hubungan antarunsur di dalam novel Titik Nol.

5. Membuat kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan dalam bentuk skripsi.

1.7Sistematika Laporan Penelitian

Laporan penelitian ini disusun dalam beberapa bab. Bab I Pendahuluan. Bab ini berisi uraian tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II Fakta-Fakta Cerita. Bab ini berisi uraian analisis tentang fakta-fakta cerita yang terdapat dalam novel Titik Nol. Bab III Tema. Bab ini berisi uraian analisis tentang tema yang terdapat dalam novel Titik Nol. Bab IV Hubungan Antarunsur (fakta-fakta cerita dan tema). Bab ini berisi uraian tentang

(28)

hubungan antara tema dan alur, hubungan antara tema dan tokoh, hubungan antara tema dan latar, hubungan antara alur dan tokoh, dan hubungan antara tokoh dan latar. Bab V Kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Merah yang didasarkan pada teori fiksi Robert Stanton mengusung tema perjuangan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan genderdengan laki-laki. Adapun fakta cerita

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana struktur pembangun novel berdasarkan teori fiksi Robert Stanton, bagaimana kepribadian dan faktor yang mempengaruhi

Tujuan teoretis penelitian ini adalah menganalisis alur dengan teori fiksi Robert Stanton dalam menjawab alur episodis, tahapan alur, konflik, suspense, ending, dan

Alasan yang mendasari fokus penelitian pada konflik budaya karena terjadinya perbedaan kepercayaan atau cara pandang yang hadir di tengah-tengah masyarakat Madura

Karena keanekaragaman budaya inilah penulis tertarik menganalisis novel ini, dan Bali juga merupakan provinsi yang terkenal dengan pemandangan alam yang menarik perhatian orang

Bab II berisi analisis bentuk -bentuk narsisisme yang terdapat dalam lirik -lirik karya G-Dragon dari tahun 2012 sampai 2013, sesuai dengan teori yang digunakan, yaitu teori

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana struktur pembangun novel berdasarkan teori fiksi Robert Stanton, bagaimana kepribadian dan faktor yang mempengaruhi

berdasarkan tahap reduksi data, kemudian disajikan dalam analisis struktural yang membangun novel Alun Samudra Rasa berdasarkan teori Robert Stanton, meliputi