• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PERKULIAHAN

Psikologi

Konseling

Psikologi Konseling

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Psikologi Psikologi

15

61033 Agustini, M.Psi., Psikolog

Abstract

Kompetensi

Dalam perkuliahan ini akan

didiskusikan mengenai Teknik- Teknik

Psychoanalysis Therapy dan Person Center Therapy.

Mampu memahami Teknik Konseling

Psychoanalysis Therapy and Person Center Therapy.

(2)

Latar Belakang

Pendahuluan Psychoanalysis Therapy

Pendekatan Psikoanalisis dalam konseling mempresentasikan tradisi utama dalam konseling dan psikoterapi kontemporer. Konseling Psikoanalisis memberikan perhatian terhadap kemampuan konselor untuk menggunakan apa yang terjadi dalam hubungan antara klien dan konselor yang bersifat segera dan terbuka dalam rangka mengeksplorasi tipe perasaan dan dilema hubungan yang mengakibatkan kesulitan bagi klien dalam kehidupannya sehari-hari (Mc Leod, 2006).

Teori Psikoanalisis juga merupakan teori kepribadian yang paling komprehensif yang mengemukakan tentang tiga pokok pembahasan yaitu struktur kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian (Alwisol, 2004). Psikoanalisis sering juga disebut dengan Psikologi Dalam, karena pendekatan ini berpendapat bahwa segala tingkah laku manusia bersumber pada dorongan yang terletak jauh di dalam alam ketidaksadaran. Selain itu, Psikoanalisais banyak digunakan secara bergantian dengan istilah Psikodinamik, karena menekankan pada dinamika atau gerak dorong mendorong antara alam ketidaksadaran dan alam kesadaran, dimana alam ketidaksadaran mendorong untuk muncul ke dalam alam kesadaran (Alwisol, 2004).

Pandangan Tentang Manusia

Aliran Freudian memandang manusia sebagai mahkluk deterministik. Menurut Freud, tingkah laku manusia ditentukan oleh kekuatan irasional, motivasi bawah sadar (unconsiousness motivation), dorongan (drive) biologis dan insting, serta kejadian psikoseksual selama enam tahun pertama kehidupan (Thompson, et al., 2004). Insting merupakan pusat dari pendekatan yang dikembangkan oleh Freud. Walaupun Freud pada dasarnya menggunakan istilah libido yang mengacu pada energi seksual, ia mengembangkan istilah ini menjadi energi seluruh insting kehidupan. Insting-insting ini brtjuan ebagai pertahanan hidup dari individu dan manusia, berorientasi pada pertumbuhan, perkembangan, dan kreativitas. Libido dipahami sebagai sumber motivasi yang lebih luas dari sekedar energi seksual. Freud memasukkan tingkah laku yang bertujuan mendapatkan kesenangan dan menghindari kesakitan meruapakan libido (Corey, 1986).

Konsep Dasar

Pendekatan Psikoanalisis memiliki ciri-ciri, antara lain: menekankan pada pentingnya riwayat hidup klien (perkembangan psikoseksual), pengaruh dari impuls-impuls genetik

(3)

(instink), pengaruh energi hidup (libido), pengaruh pengalaman dini individu dan pengaruh irasionalitas dan sumber-sumber ketidaksadaran tingkah laku. Konstribusi Freud yang terbesar dalam dunia psikologi dan psikiatri adalah konsep unconsiousness dan level of

consiousness yang merupakan kunci dalam memahami tingkah laku dan masalah

kepribadian. Menurut Freud, manusia memiliki gabaran jiwa yang dianalogikan seperti gunung es (Corey, 1986).

Struktur atau Organisasi Kepribadian

Menurut pandangan Psikoanalisis, struktur atau organisasi kepribadian individu terdiri dari tiga sistem Id, Ego, dan Superego. Pada orang yang dianggap sehat mental, ketiga sistem ini merupakan satu kesatuan organisasi yang harmonis. Sehingga memungkinkan individu berhubungan dengan lingkungan secara efisien dan memuaskan. Bila ketiga sistem bertentangan satu sama lain, individu mengalami kesulitan diri. Tingkah laku manusia hampir selalu merupakan produk interaksi ketiga sistem tersebut (Corey, 1986).

1. Id

Id merupakan sistem utama kepribadian. Ketika lahir manusia seluruhnya terdiri dari id. Id berisi segala sesuatu yang secara psikologis diturunkan, telah ada sejak lahir termasuk insting yaitu insting mempertahankan hidup (life instinct) merupakan dorongan seksual atau libido dan dorongan untuk mati (death isnstinct) merupakan dorongan agresi (marah, menyerang orang lain, berkelahi). Id merupakan rahim tempat ego berkembang. Id adalah sumber utama dan reservoir atau cadangan dari energi-energi psikis dan merupakan penggerak ego dan super ego yang berhubungan erat dengan proses-proses jasmani, darimana energi berasal (Thompson, et al., 2004).

2. Ego

Ego merupakan bagian yang memiliki kontak dengan realitas dunia luar. Ia bertindak sebagai eksekutif yang mengatur, mengontrol, meregulasi kepribadian. Ego dapat dianalogikan sebagai polisi lalu lintas (traffic cop) untuk Id, Superego, dan dunia. Tugas utama Ego adalah memediasi antara insting dan lingkungan sekitar. Ego mengontrol kesadaran dan bertindak sebagai sensor (Corey, 1986). Ego berfungsi untuk mewujudkan kebutuhan pada dunia nyata dan mampu membedakan apa yang ada dalam diri dan luar diri yang disebut juga dengan proses sekunder. Ego mempunyai tiga fungsi, yaitu:

(4)

a. Prinsip kenyataan (reality principles)

Prinsip ini bertujuan untuk mencegah terjadi ketegangan sampai ditemukan objek yang sesuai.

b. Pengujian terhadap kenyataan (reality testing)

Ego mengontrol semua fungsi kognitif dan intelektual, menyusun rencana pemenuhan kebutuhan, dan menguji rencana tersebut.

c. Mekanisme pertahanan diri

Yaitu mengendalikan Id dan menghalau impuls dan perasaan cemas yang tidak menyenangan melalui strategi tingkah laku yang dipilih oleh individu yang termasuk dalam mekanisme pertahanan diri (Alwsol, 2004).

3. Superego

Superego merupakan perwujudan internal dari nilai-nilai dan prinsip moral, serta cita-cita tradisional masyarakat. Superego merupakan wewenang moral dari keprbadian dan merepresentasikan hal-hal yang ideal, bukan yang real, memperjuangkan kesempurnaan, bukan kenikmatan, memutuskan benar salah, bertindak sesuai norma moral masyarakat.

Tujuan Konseling

Tujuan utama konseling dalam pola pikir Psikoanalisis adalah membuat kesadaran (consious) hal-hal yang tidak disadari (unconscious) klien. Hal-hal yang terdapat dilevel ketidaksadaran (unconscious) dibawa ke level kesadaran (conscious). Ketika hal-hal yang telah ditekan di alam ketidaksadaran dimunculkan kembali, maka masalah tersebut dapat diatasi secara lebih rasional dengan menggunakan berbagai metode (Thompson, et al., 2004).

Peran dan Fungsi Konselor

Fungsi konselor dalam konseling Psikoanalisis sangat dominan. Konselor menentukan proses dan arah konseling. Peran dan fungsi konselor pada pendekatan Psikoanalisis adalah:

(5)

2. Percaya bahwa apapun perasaan klien terhadap konselor merupakan produk dari perasaannya yag diasosiasikan dengan orang yang penting (significant person) dimasa lalunya.

3. Melakukan analaisis terhadap perasaan-perasaan klien adalah esensi terapi.

4. Meciptakan suasana agar klien merasa bebas mengekspresikan pikiran-pikiran yang sulit, setelah beberapa kali pertemuan tatap muka. Dengan cara meminta klien berbaring di sofa dan terapis duduk di arah belakang kepala klien, sehingga tidak terlihat.

5. Berupaya agar klien mendapat wawasan terhadap permasalahan dengan mengalami kembali dan kemudian menyelesaikan pengalaman masa lalunya.

6. Membantu klien menemukan kebebasan bercinta, bekerja, dan bermain.

7. Membantu klien menemukan kesadaran diri, kejujuran, dan hubungan pribadi yang efektif, dapat mengatasi kecemasan dengan cara realistis dan dapat mengendalikan tingkah laku impulsif dan irasioal.

Teknik-Teknik Konseling

Beberapa teknik konseling dalam pendekatan Psikoanalisis adalah untuk membuka alam ketidaksadaran (unconsciousness) diantaranya adalah:

1. Teknik Analisis Kepribadian (Case Histories)

Pendekatan Dinamika penyembuhan gangguan kepribadian dilakukan dengan melihat dinamika dari dorongan primitif (libido) terhadap Ego dan bagaimana Superego menahan dorongan tersebut. Apakah Ego bisa mempertahankan keseimbangan antara dorongan Id dan Superego. Kemudian dicari penyebab mengapa Ego tidak dapat mempertahankan keseimbangan itu.

2. Hipnotis (Hipnosis)

Hipnosis bertujuan mengekplorasi dan memahami faktor ketidaksadaran (unconsciousness) yang menjadi penyebab masalah. Klien diajak melakukan katarsis dengan memverbalisasikan konflik-konflik yang telah ditekan ke alam ketidaksadaran. Akan tetapi hipnotis telah banyak ditinggalkan karena tidak semua orang dapat diajak ke alam ketidaksadaran dan dapat menemukan konflik-konflik dilevel ketidaksadaran (unconsciousness).

(6)

3. Asosiasi Bebas (Free Association)

Asosiasi bebas bertujuan untuk meninggalkan cara berpikir yang biasa menyensor pikiran. Hal ini dilakukan dengan meminta klien berbaring rileks, kemudian diminta untuk mengasosiasikan kata-kata yang diucapkan sendiri atau oleh konselor, dengan kata yang pertama kali muncul dalam ingatannya tanpa memperhitungkan baik buruk, benar salah atau meskipun keliahatan aneh, irasional, menggelikan, atau menyakitkan (Thompson, et al., 2004).

4. Analisis Resistansi (Analysis of Resistance)

Analisis resistansi adalah melakukan analisisi terhadap sikap resisten klien. Resistansi dapat berbentuk tingkah laku yang tidak memiliki komitmen pada pertemuan konseling, tidak menepati janji, menolak mengingat mimpi, menghalangi pikiran saat asosiasi bebas, dan bentuk-bentuk lainnya. Analisis tentang kondisi ini akan membantu klien berhasil dalam terapi (Thompson, 2004).

5. Analisis Trasferensi (Analysis of Transference)

Transference terjadi ketika klien memandang konselor seperti orang lain. Pada proses konseling, terkadang klien menstarnsfer perasaan tentang orang yang penting baginya pada masa lalu kepada konselor. Dalam analisis transferensi, konselor mendorong transferensi ini dan menginterpretasikan perasaan-perasaan positif dan negatif yang diekspresikan. Pelepasan ini bersifat terapeutik, katarsis emosional. Tetapi nilai sesungguhnya dari analisis konselor tentang transferensi yang terjadi (Thompson, 2004).

Person Centered Therapy (Pendekatan Berpusat pada Manusia)

Pandangan Tentang Manusia

Pendekatan person centered memiliki keyakinan bahwa indvidu pada dasarnya baik. Hal ini dideskripsikan bahwa manusia memiliki tedensi untuk berkembang secara positif dan kontruktif, ralitas, dan dapat dipercaya. Selanjutnya setiap manusia memiliki dorongan dari dalam (inner directed) untuk mengembangkan strategi yang membuat dirinya berfungsi penuh (Corey, 1986). Menurut pendekatan person centerd, manusia dipandang sebagai insan rasional, mahkluk sosial, realitas, dan berkembang. Manusia yang memiliki perasaan negatif dan emosi anti sosial merupakan hasil dari kefrustrasian atas tidak terpenuhinya impuls-impuls dasar, ide yang berhubungan dengan hirarki kebutuhan Maslow.

(7)

Secara ringkas, konselor dengan pendekatan person centered percaya bahwa manusia adalah:

1. Memiliki kapasitas dan hal untuk mengatur dirinya sendiri dan mendapat kesempatan dan membuat penilaian bijaksana.

2. Dapat memilih nilainya sendiri.

3. Dapat belajar untuk bertanggung jawab secara konstruktif.

4. Memiliki kapasitas untuk mengatasi perasaan, pikiran, dan tingkah lakunya.

5. Memiliki potensi untuk berubah secara konstruktif dan dapat berkembang ke arah hidup yang penuh dan memuaskan dengan kata lain aktualisasi diri (Thompson, 2004).

Konsep Dasar

Pendekatan person centered dibangun atas dua hipotesis dasar, yaitu:

1. Setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami keadaan yang menyebabkan ketidakbahagiaan dan mengatur kembali kehidupannya menjadi lebih baik.

2. Kemampuan seseorang untuk menghadapi keadaan ini dapat terjadi dan ditingkatkan jika konselor menciptakan kehangatan, penerimaan, dan dapat memahami relasi (proses konseling) yang akan dibangun (Corey, 1986).

Proses Konseling

Komponen atau perangkat (tools) yang digunakan dalam konseling ini menurut Rogers antara lain kemampuan untuk mendengar aktif (active listening), genuineness, dan

paraphrasing. Poin penting dalam pendekatan ini adalah klien telah memiliki jawaban atas

permasalahan yang dihadapinya, sementara konselor berperan dalam mendengarkan tanpa memberi penilaian, tanpa mengarahkan, dan membantu klien untuk merasa diterima dan dapat memahami realitas perasaannya sendiri. Dalam konteks ini, konselor melihat konseling sebagai proses membantu seseorang untuk mengaktualisasikan kekuatan positif yang sudah dimilikinya. Hal ini merupakan upaya untuk membuat seseorang lebih memiliki dorongan dari dalam diri sendiri (self diective). Konseling bukan sebuah proses bantuan yang melihat kejadian-kejadian dimasa lampau tetapi lebih pada upaya membangun keberlangsungan masa depan baik secara spritual, intelektual, maupun emosional.

(8)

Rogers mengidentfikasi enam kondisi konseling yang dibutuhkan untuk mencapai perubahan psikologis, antara lain:

1. Dua orang yang berada dalam kontak psikologis.

2. Klien yang memiliki kondisi tidak kongruen (incongruence)

3. Konselor yang kongruen (congruence) dan terlibat dalam hubungan konseling. 4. Konselor yang memiliki unconditional positive regard untuk klien.

5. Konselor yang memiliki pemahaman empatik tentang pola berpikir klien (frame of

refence).

6. Komunikasi yang empatik dan positive regard (Thompson, et., al. 2004).

Tujuan Konseling

Konseling person centered bertujuan membantu klien menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling. Dimana konselor mendudukkan klien sebagai orang yang berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard), yaitu menerima klien apa adanya. Tujuan utama pendekatan person centered adalah pencapaian kemandirian dan integrasi diri. Dalam Rogers (1977) tujuan konseling bukan semata-mata menyelesaikan masalah tetapi membantu klien dalam proses petumbuhannya sehingga klien dapat mengatasi masalah yang dialaminya sekarang dengan lebih baik dapat mengatasi masalahnya sendiri dimasa yang akan datang (Corey, 1986).

Peran dan Fungsi Konselor

Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpesonal dalam proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan konseling. Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga kondisi inti (core condition) yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan klien. Dalam peran tersebut konselor menunjukkan sikap yang selaras dan keaslian, penerimaan tanpa syarat, dan pemahaman empati yang tepat.

1. Kongruen (congruence) atau Keaslian (Genuineness)

Congruence berarti bahwa konselor menampilkan diri yang sebenarnya, asli, terintegrasi,

(9)

dan pikiran yang ada didalam dirinya (inner) dengan perasaan, pandangan, dan tingkah yang diekspresikan. Konselor yang otentik menampilkan diri yang spontan dan terbuka baik perasaan dan sikap yang ada dalam dirinya serta dapat berkomunikasi secara jujur dengan klien.

2. Penerimaan tanpa Syarat (Unconditional Positive Regard and Acceptance)

Unconditional positive regard berarti bahwa konselor dapat berkomunikai dengan klien secara mendalam dan jujur sebagai pribadi. Hal ini berarti bahwa konselor tidak melakukan penilaian dan penghakiman terhadap perasaan, pikiran, dan tingkah laku klien berdasarkan standar norma tertentu (Corey, 1986).

3. Pemahaman yang Empatik dan Akurat (Accurate Empathic Undertanding)

Empathy atau deep understanding adalah kemampuan konselor untuk memahami

permasalahan klien, melihat melalui sudut pandang klien, peka terhadap perasaan-perasaan klien, sehingga konselor mengetahui bagiamana klien merasakan perasaannya. Dalam hal ini konselor diharapkan dapat memahami permasalahan klien tidak hanya pada permukaaan, tetapi lebih dalam pada kondisi psikologis klien (Corey, 1986).

Teknik-Teknik Konseling

Corey (1995) mengatakan bahwa konselor harus memperlihatkan berbagai ketrampilan interpersonal yang dibutuhkan dalam proses konseling. Ketrampilan-ketrampilan tersebut adalah:

1. Mendengarkan aktif (active listening).

Memperhatikan perkataan klien, sensitif terhadap kata atau kalimat yang diucapkan, intonasi, dan bahasa tubuh klien.

2. Mengulang kembali (restating atau paraphrasing). Mengulang perkataan klien dengan kalimat yang berbeda. 3. Memperjelas (clarifying).

Merespon pernyataan atau pesan klien yang membingungkan dan tidak jelas dengan memfokuskan pada isu-isu utama dan membantu individu tersebut untuk menemukan dan memperjelas perasaan-perasaannya yang bertolak belakang.

4. Menyimpulkan (summarizing).

Merupakan ketrampilan konselor untuk menganalisa seluruh elemen-elemen penting yang muncul dalam seluruh atau bagian sesi konseling.

(10)

6. Menginterpretasi (interpreting).

Kemampuan konselor dalam menginterpretasi pikiran, perasaan, atau tingkah laku klieni yang bertujuan untuk memberikan perspektif alternatif dan baru.

7. Mengkonfrontasi (confronting).

Merupakan cara yang kuat untuk menantang klien untuk melihat dirinya secara jujur. 8. Merefleksikan perasaan (reflecting feelings).

Kemampuan untuk merespon terhadap esensi perkataan klien. Merefleksikan perasaan bukan sekedar memantulkan perasaan klien tetapi termasuk pula ekspresinya.

9. Memberikan dukungan (supporting).

Upaya memberikan penguatan kepada klien, terutama ketika mereka berhasil membuka informasi-informasi personal.

10. Berempati (empathizing).

Inti dari ketrampilan empati adalah kemampuan pemimpin untuk sensitif terhadap hal-hal subyektif klien.

11. Memfasilitasi (facilitating).

Bertujuan memberdayakan klien untuk mencapai tujuan-tujuannya. 12. Memulai (initiating).

Ketrampilan untuk memulai kegiatan dalam proses konseling, seperti: diskusi, menentukan tujuan, mencari alternatif solusi.

13. Menentukan tujuan (setting goals).

Ketrampilan untuk menentukan tujuan konseling. Disini konselor harus dapat menstimulasi kliennya menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam konseling. 14. Mengevaluasi (evaluating).

Ketrampilan untuk mengevaluasi keseluruhan proses konseling, karena evaluasi merupakan kegiatan yang berkelanjutan.

15. Memberikan umpan balik (giving feedback).

merupakan ketrampilan konselor untuk memberikan umpan balik yang spesifik, deskriptif, dan jujur atas dasar observasi dan reaksi terhadap tingkah laku klien.

16. Menjaga (protecting).

Upaya konselor untuk menjaga klennya dari kemungkinan risiko-risiko psikologis dan fisik yang tidak perlu.

17. Mendekatkan diri (disclosing self).

Kemampuan membuka informasi-informasi personal dengan tujuan membuat klien menjadi lebih terbuka.

18. Mencontoh model (modeling).

Klien belajar dari mengobservasi tingkah laku konselor. Konselor harus dapat menampilkan nilai-nilai kejujuran, penghargaan, keterbukaan, mau mengambil risiko, dan arsetif.

(11)

Daftar Pustaka

Palmer, Stephen (Ed)., (2010). Konseling dan Psikoterapi. Introduction to Counselling and Psichoterapy.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ada satu pendekatan terhadap suatu konstruk yang berlaku secara universal Karena pengukuran terhadap konstruk psikologi tidak dapat dilakukan secara langsung,

Sebagai contoh saat anda mempunyai skema bahwa diri anda penting dan berharga dalam mata kuliah psikologi sosial, anda mempunyai konsep diri sebagai mahasiswa yang

Ini disebabkan bahwa proses interaksi sosial sebagai unit analisa psikologi sosial dipengaruhi oleh proses proses psikologis di dalam diri manusia termasuk memahami motif

 Individu yang bersangkutan tidak dapat menarik hubungan antara situasi yang satu dengan yang lain, antara satu data dengan data lainnya, dan tidak dapat menghubungkan

Untuk setiap anggota himpunan A dikaitkan dengan satu dan hanya satu anggota himpunan B disebut suatu fungsi dari A ke B!. Himpunan A disebut domain atau ramah dan himpunan B

• Cara komputer bisa diajarkan untuk mengenali bentuk geometris adalah melalui analisis fitur lokal sebuah objek yang menggunakan fakta bahwa bentuk geometris rumit

Penalaran analogi telah memainkan suatu peran kunci didalam teori psikologi seperti juga di dalam praktik kehidupan sehari-hari, (Sternberg, 1977). Para ahli psikologi

Modul ini berisi tentang memori, tugas-tugas yang digunakan untuk mengukur memori, model-model tradisional memori, tingkat-tingkat pemrosesan memori, sistem-sistem,