• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DAN MAHKAMAH (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DAN MAHKAMAH (1)"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

2013

DI SUSUN OLEH: NUR MOKLIS,S.H.I.,S.Pd.

PRAKTIK HUKUM ACARA

PERADILAN AGAMA & MAHKAMAH

SYAR’IYAH

KHAS INDONESIA

(2)

PRAKTIK HUKUM ACARA

PERADILAN AGAMA & MAHKAMAH

SYAR’IYAH

KHAS INDONESIA

(3)

PRAKTIK HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA & MAHKAMAH SYAR’IYAH KHAS INDONESIA

Copyright@Nur Moklis

Penyusun: Nur Moklis,S.H.I.,S.Pd.

Desain Cover: Ahmad Abdul Halim,S.H.I

Tata Letak: Sriyanto,S.H.I

Edisi I Februari 2013

Dipublikasikan secara Online Email:

nurmoklis@yahoo.com

Dipersilahkan Mengutip Sebagian Atau Seluruh Isi Buku Ini, Guna Kepentingan Akademik, Karya Ilmiyah Atau Sejeninya. Dilarang Mengutipnya Baik Sebagian Atau

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Puji Syukur kami haturkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan taufiq hidayah dan inayahnya pada penyusun sehingga bisa menyelesaikan E-BOOK PRAKTIK

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA & MAHKAMAH SYAR’IYAH KHAS INDONESIA, di

sela-sela kesibukan Penyusun dalam melaksanakan Diklat II PPC Terpadu 2013 ini. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurah pada beliau Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia guna menuju jalan tauhid.

E-BOOK PRAKTIK HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA & MAHKAMAH

SYAR’IYAH KHAS INDONESIA disusun dari berbagai makalah dan bahan ajar kuliah yang

penyusun kumpulkan saat mengikuti diklat II PPC Terpadu di Mega Mendung Bogor Jawa Barat periode akhir 2012 selama hampir 2,5 bulan.

Pasca Diklat II PPC Terpadu banyak masalah teknis yang dihadapi para Mentee khususnya di Satuan Kerja Pengadilan Agama Kudus yang harus didiskusikan lebih spesifik dalam mengaplikasikan berbagai teori ilmu yang diperoleh dari diklat terkait teknis persidangan dan lain-lainya. Oleh karena itu penyusun mengumpulkan berbagai bahan ajar kuliah saat diklat untuk dikodifikasikan menjadi sebuah E-BOOK yang diber judul PRAKTIK HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA & MAHKAMAH SYAR’IYAH KHAS

INDONESIA guna sebagai salah satu bahan diskusi.

Bila dilihat muatan E-BOOK ini sangat penting sebagai acuan teknis bagi praktisi hukum islam, praktisi hukum pada umunya, pemerhati hukum di Indonesia, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya untuk memahami lebih lanjut tentang praktik persidangan baik di Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah khas Indonesia.

(5)

Bapak H. Moch. Amirullah Sholeh,SH.,MH. Dan seluruh Panitia yang tidak dapat kami sebutkan satupersatu.

Terimakasih yang sangat dalam kami sampaikan kepada Bapak-Bapak Dosen yang telah memberikan pencerahan luar biasa, antara lain Bapak Prof. Dr. H. Abdul Manan,SH.,S.IP.,M.Hum, Bapak Dr. H. Habiburrahman.S.H.,MH, Bapak Prof. Dr. H. Abdul Ghani Abdullah,S.H.,MH., Bapak Drs. H. Armia Ibramim,S.H.,MH., Bapak Dr. H. Mukti Arto.S.H. MH., Bapak Drs. Rum Nessa,SH.,MH. Bapak Dr. H. Qomari,MH., Bapak Dr. H. Ahmad Mujahidin MH., Bapak Drs. H. Mawardy Amien,MH., Bapak Prof. Dr.H.Hasbi Hasan,SH.,MH dan lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Semoga amal beliau menjadi amal jariyah, amien.

Terimaksih yang sangat tulus juga penyusun sampaikan kepada Beliau Bapak Drs. H. Wahid abidin,M.H (Ketua Pengadilan Agama Kelas 1B Kudus) Bapak Drs. Muslim,SH.,MH. (Wakil Ketua Pengadilan Agama Kelas 1B Kudus) Yang Telah mengijinkan kami menimba ilmu dan bekerja disini. Bapak Drs.H. Noor Shoofa,MH., Bapak Drs. H. Muflikh Noor,SH., MH. dan Bapak Drs.H. Jumadi,S.H. Beliau adalah para mentor yang telah membimbing kami saat melaksanakan diklat PPC Terpadu ini. Serta kepada semua pejabat dan pegawai di Pengadilan Kelas 1B kudus.

Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada sahabat tercinta kami, dari Pengadilan Agama Kelas 1B Kudus; Mas Iyan, mas Burhan, Mas Lesta, Mas Halim, Mas Mamat, Mas Kusnoto, Mb. Rica, Mas Dani, dan Mas Sholichin yang selalu meluangkan waktu untuk bekerja dan belajar bersama-sama.

Bahwa E-BOOK PRAKTIK HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA & MAHKAMAH

SYAR’IYAH KHAS INDONESIA ini terdiri dari lima bab yang menjelaskan tentang sejarah

Peradilan Agama, alur penerimaan perkara Perdata di Pengadilan agama dan Mahkamah Syar’iyah khas Indonesia, Asas-Asas hukum acara perdata Peradilan Agama, Tanya jawab hukum acara perdata, dan praktik persidangan.

Kami sangat berharap masukan-masukan dari pembaca, apabila dalam penyusunan dan pengumpulan bahan tentang E-BOOK PRAKTIK HUKUM ACARA

(6)

hal-hal yang perlu diperbaiki. Demikian, semoga E-BOOK ini semoga menjadi amal sholih

bagi penyusun. Amin.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Kudus, 14 Februari 2013 M 03 Robiul Akhir 1434 H

Penyusun

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR--4 DAFTAR ISI--7

BAB I SEJARAH PERADILAN AGAMA--32 A. Pendahuluan--32

B. Pengadilan Agama Sebelum Pemerintahan Hindia Belanda--34 C. Peradilan Agama Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda--38 D. Sejarah Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan--48

E. Peradilan Agama Dalam Sistem Undang-Undang Peradilan Agama--57

BAB II ALUR PENERIMAAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA--62 A. Pendahuluan--62

B. Alur Perkara Perdata Di Pengadilan Agama--62

BAB III ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENERAPANYA DI PENGADILAN AGAMA--77

A. Pendahuluan--77

B. Terminologi Hukum--78

C. Latar Belakang Lahirnya Asas Hukum--81

D. Asas-Asas Hukum Acara Perdata Dan Penerapannya Di Pengadilan Agama--83

1. Asas Ketuhanan--84

2. Asas Personalitas Islam dan Penundukan Diri--84 3. Asas Kebiasaan--86

4. Asas Menunggu--88 5. Asas Pasif--88

6. Asas Sidang Tebuka Untuk Umum--89

(8)

8. Asas Ratio Decidendi/ Basic Reas (Putusan Harus Disertai

Alasan)..91

9. Asas Biaya Perkara, Prodeo dan Posbakum--92

10.Asas Fleksibelitas (Peradilan Sederhana, cepat dan biaya ringan)..93

11.Asas Legalitas--94 12.Asas Perdamaian--94

13.Asas Aktif Memberikan Bantuan--95

14.Asas “Inter Partes” dan/atau “Erga Omnes”--97

15.Asas Nemo Judex Indoneus in Propria Causa--98 16.Asas Audi Et Alteram Partem--99

17.Asas Unus Testis Nullus Testes--101

18.Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori--101 19.Asas Ius Curia Novit--102

20.Asas Ultra Pertium Partem--103

21.Asas Legitima Persona Standi in Yudicio--103 22.Asas Nemo yudex Sine Actor--104

23.Speedy Admninistration of Justice--104 24.Asas Actor Squitur Farum Rei--104 25.Asas Actor Squitur Farum Rei Sita—104 E. ASAS HUKUM SPESIFIK--105

1. Asas The Binding Force of Presedent--105 2. Asas Cogatitionis Poenam Nemo Patitur--105 3. Asas Restitutio in Integrum--106

4. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali--106 F. ASAS HUKUM DALAM SEBUAH SISTEM PERADILAN--106

1. Sistem Peradilan Juri--108

(9)

BAB IV TANYA JAWAB HUKUM ACARA PERDATA--113

A. TENTANG PERMASALAHAN SURAT KUASA--113 1. Apa yang dimaksud dengan kuasa khusus ? 2. Kuasa insideltil termasuk kuasa apa ?

3. Sebutkan siapa saja yang dapat menjadi / penerima kuasa insidentil ?

4. Dalam kuasa khusus juga dikenal istilah kuasa istimewa, dalam hal apa kuasa istimewa ini diperlukan ?

5. Kuasa istimewa diatur dalam pasal 1796 BW j ops 184 RBG / 157 HIR, sebutkan persyaratan yang harus ada dalam kuasa istimewa tersebut ?

6. Orang tua bagi anak yang belum dewasa, wali atau curator, pengampu atau Direktur / pimpinan dari Badah Hukum sipil ( PT, CV Yayasan, Koperasi) dalam bertindak sebagai kuasa apa diperlukan penegasan pemberian kuasa ?

7. Apa sebab bagi mereka tersebut tidak diperlukan penegasan pemberian kuasa?

8. Apakah kuasa khusus itu dapat diberikan secara lisan ? jelaskan. 9. Apakah kuasa yang ditunjuk dalam surat gugat masih memerlukan

surat kuasa (dalam bentuk tertulis) ?

10. Surat kuasa khusus diatur dalam pasal 147 RBG / 123 HIR kemudian formulasinya dipertegas dalam SEMA tanggal 23 Januari 1971, sebutkan syarat-syarat sahnya Surat Kuasa khusus tersebut . 11. Apa akibat hukumnya jika suatu Surat Kuasa Khusus tidak

memenuhi syarat formil yang bersifat komulatip tersebut ?

12. Apakah surat khuasa kusus yang tidak menyebutkan identitas Tergugat secara formil dapat dianggap sah ?

(10)

15. Pemberi kuasa berdomisili diluar negeri sementara penerima kuasa berada di Indonesia, apa saja persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan suarat kuasa yang dibuat diluar negeri tersebut ?

B. TENTANG PERMASALAHAN FORMIL GUGATAN--117

1. Jika dalam suatu gugatan terabaikan salah satu syarat formal gugatan, mengakibatkan gugat tidak sah. Gugatan seperti itu harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet-onvanklijk) atau Pengadilan menyatakan tidak berwenang mengadili, kapan hakim harus memutus dengan menyatakan tidak berwenang mengadili ?

2. Dalam istilah hukum acara perdata dikenal istilah absolute competenscy dan relative competency, apa yang dimaksud dengan istilah absolute competency ?

3. Apa pula yang dimaksud dengan relative competency ?

4. Dalam relative competency dikenal istilah ACTOR SEQUATUR FORUM REI = FORUM DOMICILI yaitu kewenangan Pengadilan untuk mengadili berdasarkan domisili / wilayah hukum, dalam hal ini domisili siapa yang dimaksud ?

5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan tempat tinggal Tergugat ? 6. Dalam gugat waris yang pewarisnya beragama Islam, sementara

Tergugatnya lebih dari satu orang yang tempat tinggalnya berbeda, PA mana yang berwenang mengadilinya ?

7. Dalam perkara cerai gugat yang para pihaknya berbeda domisili, PA mana yang berwenang mengadilinya ?

8. Bagaimana jika permohonan ikrar thalak diajukan oleh Pemohon ke PA ditempat kediamannya / bukan ditempat kediaman Termohon ?

(11)

thalak di PA ditempat kediaman Pemohon, Termohon tidak mengajukan eksepsi untuk itu, bagaimana sikap saudara atas hal tersebut ?

10. Jika dalam hal gugatan yang diajukan di PA yang tidak berwenang untuk mengadilinya (Absulute / relative competency) maka putusannya harus menyatakan tidak berwenang mengadili, bagaimana jika terjadi salah gugat, (error in persona) apa putusan yang harus dijatuhkan oleh seorang hakim ?

11. Dalam hal apa saja suatu gugat dapat dinyatakan Error in persona ? 12. Apa yang dimaksud dengan obscur libel ?

13. Dalam hal apa saja gugatan dinyatakan obcur libel ?

14. Selain Error in persona dan obcur libel, kapan hakim harus memutus suatu perkara itu dengan menyatakan tidak dapat diterima (NO) ?

15. Apa yang dimaksud dengan nebis in idem ?

16. Kapan suatu gugatan dinyatakan sebagai gugat prematur ? 17. Apa yang dimaksud dengan Rei judicata deduktae ?

C. TENTANG PERMASALAHAN UPAYA HUKUM--122

1. Sebutkan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas putusan contradiktoir yang telah dijatuhkan?

2. Selain upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas suatu putusan contradiktoir tersebut, upaya hukum apa lagi yang dapat dilakukan seseorang untuk membela kepentingannya, termasuk upaya hukum selama proses pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama ?

(12)

4. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan atas putusan verstek tersebut ?

5. Jika Tergugat mengajukan perlawanan (verzet), kedudukan Tergugat asal tersebut disebut apa, dan apa pula sebutan untuk kedudukan Penggugat asal ?

6. Dalam pemeriksaan verzet apakah diberikan nomor tersendiri? 7. Dalam pemeriksaan verzet tersebut apa yang harus diperiksa oleh

Majelis Hakim

8. Jika perlawanan (verzet) ditolak bagaimana bentuk amar / dictum putusannya ?

9. Bagaimana pula amar putusannya jika perlawanan (verzet) tersebut diterima ?

10. Berapa lama tenggang waktu untuk mengajukan verzet ?

11. Jika Penggugat mengajukan banding atas putusan verstek, upaya apa yang dapat dilakukan oleh Tergugat untuk melakukan perlawanannya ?

12. Bagaimana jika Tergugat telah mangajukan perlawanan / verzet, kemudian Penggugat mengajukan banding tindakan apa yanga harus dilakukan oleh Pengadilan ?

13. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh Tergugat atas putusan diluar hadirnya yang kedua kali tersebut ?

14. Apa yanag dimaksud dengan Derden Verzet ? 15. Derden Verzet termasuk upaya hukum apa ? 16. Kapan Derden verzet dapat diajukan ?

17. Berapa lama tenggang waktu / sampai kapan waktunya bagi pihak ketiga untuk mengajukan Derden Verzet tersebut ?

(13)

19. Siapa saja yang berhak untuk mengajukan Derden Verzet tersebut ? 20. Apakah Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa /

mengadili perkara Derden Verzet ?

21. Apakah Derden Verzet tersebut diberi nomor perkara baru atau menggunakan nomor perkara lama (semula) ?

22. Jika Gugatan diajukan di PA Padang, sementara salah satu objek yang akan dieksekusi terletak di PA Bukittinggi, di PA manakah Derden Verzet itu harus diajukan ?

23. Jika Derden verzet diajukan pihak ketiga ke PA yang akan melaksanakan eksekusi, tindakan apa saja yang harus dilakukan oleh PA yang menerima pendelegasian eksekusi tersebut ?

24. Apa yang dimaksud dengan intervensi ? 25. Kapan intervensi itu dapat diajukan ? 26. Apa yang dimaksud dengan Voeging ? 27. Apa yang dimaksud dengan Tussenkomst ? 28. Apa yang dimaksud dengan Vrijwaring ?

29. Jika ada intervensi, apa sebutan dari kedudukan pihak ketiga tersebut, dan apa pula kedudukan Penggugat asal dan Tergugat asal?

30. Apakah dalam hal adanya intervensi tersebut perlu diberikan nomor perkara baru ?

31. Bagaimana proses gugat intervensi itu diajukan ?

32. Bagaimana pula proses pemeriksaan dalam persidangan ? 33. Apakah gugat intervensi dapat diajukan ditingkat banding ?

34. Apakah semua putusan akhir (eind vonnis) PA dapat diajukan upaya Banding

(14)

36. Apakah orang tua (wali) dalam permohonan Wali Adlol termasuk para pihak ?

37. Apakah seorang wali (ayah) Pemohon dalam permohonan wali Adlol, dapat mengajukan upaya hukum ?

38. Apakah putusan sela dapat diajukan upaya hukum Banding ?

39. Sebutkan tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum Banding.

40. Siapa saja yang berhak untuk mengajukan upaya hukum Banding ? 41. Apa yang dimaksud dengan Inzage ?

42. Kapan pemberitahuan untuk melakukan inzage itu dilakukan oleh jurusita Pengganti kepada para pihak ?

43. Berapa lama kesempatan untuk melakukan inzage tersebut dapat dilakukan oleh para pihak ?

44. Apa tujuan dari pemberian kesempatan untuk melakukan inzage tersebut ?

45. Berapa lama tenggang waktu bagi Pembanding untuk menyampaikan memori banding ?

46. Jika Pembanding tidak mengajukan memori banding, apa yang akan diperiksa oleh PTA ?

47. Jika Pembanding mengajukan memori banding, apakah PTA wajib merinci alasan yang diajukan dalam memori banding tersebut secara rinci ?

48. Jika PTA memerlukan pemeriksaan tambahan, apa yang dapat dilakukan oleh PTA ?

49. Putusan manakah yang dapat diajukan upaya hukum Kasasi ?

50. Apakah memori kasasi itu suatu keharusan atau hak bagi Pemohon kasasi ?

(15)

52. Berapa lama tenggang waktu untuk mengajukan memori kasasi ? 53. Apakah Termohon kasasi wajib menyampaikan kontra memori

kasasi ?

54. Berapa lama tenggang waktu untuk mengajukan kontra memori kasasi ?

55. Bagaimana jika Termohon kasasi dalam menyerahkan kontra memori kasasi telah melewati tenggang waktunya ?

56. Apakah permohonan kasasi dapat dicabut ?

57. Kapan batas waktu untuk pencabutan kasasi tersebut ?

58. Jika sebelum berkas dikirim ke MA, pemohon mencabut permohonan kasasinya, dan masih dalam tenggang waktu kasasi Pemohon kembali mengajukan kasasi, apakah permohonan tersebut dapat dilakukan ?

59. Jika suatu putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jika ada pihak yang tidak puas terhadap putusan tersebut apakah masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan ?

60. Apakah semua pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum, dapat mengajukan PK ?

61. Apa saja alasan untuk mengajukan PK ?

62. Berapa lama tenggang waktu untuk mengajukan PK ?

D. TENTANG MASALAH GUGATAN--134

1. Jika seorang ingin mengajukan suatu gugatan, ke PA manakah gugatan tersebut akan diajukannya jika gugatan tersebut menyangkut masalah :

Cerai Gugat ?

Cerai Thalak ?

(16)

2. Seorang yang tidak bisa baca tulis, bagaimanakah jika ia akan mengajukan gugatan di Pengadilan Agama ? (ps 144 R.BG)

3. Setelah gugatan diterima oleh petugas meja I, berapa lama proses yang diperlukan hingga berkas perkara tersebut disampaikan kepada KPA ?

4. Berapa lama bagi KPA untuk mempelajari berkas perkara kemudian menunjuk Majelis hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut ?

5. Apa yang harus segera dilakukan oleh majelis hakim setelah menerima berkas perkara (PMH) dari KPA ?

6. Berapa lama setelah menerima berkas perkara, hakim / majelis hakim harus menentukan waktu sidang ?

7. Setelah dibuat PHS oleh oleh ketua majelis tindakan apa lagi yang harus dilakukan oleh majelis hakim ?

8. Dalam memanggil pihak tergugat untuk persidangan yang pertama, apa saja yang harus diserahkan dan dijelaskan oleh JSP kepada Tergugat ?

9. Dalam persidangan pertama, apa yang harus dilakukan oleh hakim / majelis hakim jika :

a. Para pihak semuanya hadir dipersidangan.

b. Penggugat tidak hadir sementara Tergugat hadir, walaupun

telah dipanggil secara patut, dan ketidak hadirannya tersebut tanpa alasan.

c. Tergugat tidak hadir, Penggugat hadir.

d. Persidangan kedua Penggugat tetap tidak hadir, dan Tergugat

hadir.

e. Persidangan kedua Tergugat tidak hadir, dan Penggugat hadir.

(17)

11. Apakah dalam perkara pembatalan nikah usaha perdamaian juga wajib dilakukan ?

12. Apabila majelis hakim telah berusaha untuk mendamaikan para pihak, apakah masih diperlukan bagi majelis hakim untuk memerintahkan kepada para pihak agar melakukan mediasi ? 13. Apa akibat hukumnya jika upaya perdamaian oleh hakim dan

proses mediasi tersebut tidak dilaksanakan ?

14. Jika gugatan digugurkan oleh majelis hakim, apakah Penggugat dapat melakukan upaya hukum banding ?

15. Jika Penggugat pada sidang pertama tidak datang, meski ia telah dipanggil secara patut, tetapi pada hari persidangan kedua ia hadir / datang , dan pada hari persidangan ketiga Penggugat kembali tidak datang, apakah perkaranya bisa digugurkan ?

16. Jika pada hari persidangan pertama dan pada hari persidangan kedua tergugat atau semua Tergugat tidak datang menghadap padahal telah dipanggil secara patut sementara Penggugat selalu hadir, tindakan apa yang harus dilakukan oleh majelis Hakim ? 17. Jika seorang hakim ditunjuk oleh KPA untuk memeriksa suatu

perkara, ternyata salah satu dari pihak yang berperkara tersebut adalah saudara kandungnya, apa yang harus dilakukan oleh hakim tersebut ?

18. Dalam hal untuk menjamin peradilan yang objektif dan tidak memihak kapan seorang hakim baik diminta atau tanpa diminta harus mengundurkan diri dari tugas memeriksa suatu perkara ? 19. Apakah gugatan dapat dicabut oleh Penggugat ?

(18)

21. Jika dalam usaha damai yang dilakukan oleh hakim berhasil dilakukan, sehingga para pihak sepakat untuk damai, apa yang harus dilakukan jika :

22. Perkaranya adalah masalah perceraian ? 23. Perkaranya menyangkut masalah benda ?

24. Jika perdamaian diperoleh setelah proses mediasi, apa yang harus dilakukan oleh mediator terkait dengan proses persidangan / hakim ?

25. Setelah mediator menyampaikan hasil kesepakatan para pihak untuk berdamai (secara tertulis) kepada majelis hakim, apa produk putusan hakim selanjutnya ?

26. Jika Akta perdamaian tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, apakah akta perdamaian dapat dieksekusi ?

27. Apakah Akta Perdamaian dapat dimintakan upaya banding ?

28. Jika usaha perdamaian oleh hakim maupun mediasi tidak berhasil, disebabkan Penggugat yang tidak mau hadir saat dilakukan mediasi, apakah tindakan hakim selanjutnya dalam pemeriksaan perkara tersebut ?

29. Jika saat usaha perdamaian telah diupayakan dengan proses mediasi, namn selama proses Tergugat tidak pernah hadir. Apa tindakan mediator dan bagaimana proses persidangan selanjutnya? 30. Jika usaha damai tidak berhasil, apa tindakan hakim / majelis

selanjutnya ?

31. Apa yang dimaksud dengan kumulasi gugatan ?

32. Kumulasi dapat dibedakan yaitu kumulasi subjektif dan kumu lasi objektif, apa yang di maksud dengan kumulasi subjektif ? berikan contohnya.

(19)

E. TENTANG HUKUM ACARA PERDATA I--141 1. Apa yang dimaksud dengan eksepsi ?

2. Kapankah eksepsi tersebut harus diajukan oleh Tergugat ?

3. Apakah eksepsi dapat diajukan dan dipertimbangkan secara tersendiri / terpisah dari pokok perkara ?

4. Jika Tergugat tidak hadir dalam persidangan pertama dan tidak pula mengutus kuasanya yang sah, padahal ia telah dipanggil dengan patut, namun ia mengajukan jawaban tertulis berupa eksepsi tentang tidak berwenag mengadili, apa tindakan yang harus dilakukan oleh majelis hakim ?

5. Bagaimana jika jawaban tertulis tersebut bukan eksepsi tentang tidak berwenang mengadili melainkan menyangkut pokok perkara? 6. Jika Tergugat akan mengajukan eksepsi, kapan eksepsi tersebut

harus diajukan

7. Apa yang dimaksud dengan rekonvensi ?

8. Sebutkan persyaratan untuk pengajuan gugat rekonversi tersebut. 9. Apakah dalam semua perkara dapat diajukan gugat rekonvensi oleh

Tergugat ?

10. Bila Tergugat ada mengajukan gugat rekonvensi, bagaimana tindakan saudara sebagai hakim ?

11. Jika kedua pemeriksaan dipisahkan dan diputuskan satu persatu, apakah terhadap setiap putusan dapat diajukan banding ?

12. Apa yang harus saudara lakukan terhadap gugat rekonvensi jika gugat konvensi dinyatakan tidak dapat diterima ?

13. Apa yang harus saudara lakukan terhadap gugat rekonvensi jika gugat konvensi ditolak ?

14. Jika persidangan akan dimulai ternyata majelis hakim tidak lengkap, apa yang harus dilakukan ?

(20)

16. Bagaimana proses pemeriksaan perkara yang telah berlangsung sementara majelis hakimnya diganti dengan PMH yang baru ? 17. Apa yang dimaksud dengan dictum putusan ?

18. Sebelum membacakan / menentukan putusan tindakan apa yang harus dilakukan oleh majelis hakim ?

19. Apakah ikhtisar / hasil permusyawaratan majelis hakim tersebut harus dimuat dalam berita acar persidangan ?

20. Apa yang disebut perkara perdata bagi badan Peradilan Agama? 21. Apa yang dimaksud azas "Tidak ada Sengketa tidak ada perkara? 22. Dalam hal bagaimana azas tersebut dapat disimpangi? 23. Peradilan yang demikian disebut apa?

24. Sebutkan contoh-contoh yang diijinkan oleh ketentuan perundang-undangan?

25. Dapatkah penetapan voluntair dari Pengadilan dimintakan pembatalan oleh mereka Yang berkepentingan?

26. Bagaimana caranya?

27. Bagaimana petunjuk Mahkamah Agung tentang hal ini?

28. Apa yang menjadi dasar atas surat dari Mahkamah Agung tersebut? 29. Apakah ketentuan yang tersebut dalam pasal 236a HIR dapat

disebut sebagai perkara voluntair?

30. Ketentuan mana yang memberlakukan pasal 236a HIR tersebut bagi Pengadilan Agama diseluruh Indonesia?

31. Bagaimana caranya membuat penetapan ahli waris dan pembagian waris yang dimaksudkan pasal 236a HIR itu?

32. Bagaimana apabila ternyata kemudian yang telah. menghadap tidak

menyetujui bantuan yang diberikan oleh Pengadilan?

(21)

untuk melaksanakan pembagian/eksekusi?

34. Dapatkah seorang ahli waris tunggal meminta bantuan pengadilan untuk menetapkan tentang penetapan dan pembagian waris dan penetapan ahli waris?

35. Jelaskan tata cara pengajuan gugatan pada Pengadilan Agama ? 36. Sebutkan. dasar hukumnya?

37. Dapatkah gugatan diajukan secara lisan? 38. Dimana hal itu diatur?

39. Jelaskan prosedurnya secara lengkap?

40. Dapatkah gugat yang diajukan secara lisan, dalam persidangan kemudian penggugat menguasakan pada kuasa hukum yang ditunjuknya?

41. Dapatkah pengajuan surat gugat secara lisan itu sekaligus dengan menunjuk kuasanya?

42. Apa yang dimaksud gugat cuma-cuma? 43. Bagaimana prosedur gugatan cuma-cuma?

44. Bagaimana pelaksanaan pemanggilan pihak berpekara baik penggugat maupun tergugat, dalam gugat cuma-cuma?

45. Bagaimana pula cara pemanggilannya, bila diperlukan pemanggilan dengan perantara pengadilan lain?

46. Bagaimana prosedur pemeriksaan persidangan dalam perkara cuma-cuma?

47. Bagaimana bila pengadilan tidak dapat mengabulkan permohonan untuk berperkara secara cuma-cuma?

48. Bagaimana pula apabila tergugat yang berkehendak berperkara secara cuma-cuma?

49. Apakah putusan dalam perkara tersebut perlu dibubuhi materai? 50. Siapa yang menanggung biaya materai tersebut?

(22)

banding, kasasi dan PK?

52. Syarat apa yang harus dipenuhi sehingga suatu gugatan dianggap memenuhi syarat? sesuai pasal 118 HIR/pasal 142 RBg).

53. Apa yang dimaksud dengan identitas dan apa saja yang dimuat dalam surat gugatan?

54. Apa yang dimaksud dengan posita, dan apa yang harus dimuat ? 55. Apa yang dimaksud dengan petitum?

56. Bagaimanakah apabila posita yang diajukan, yang merupakan hal-hal relevan bagi hukum, sama sekali tidak membenarkan atau mendukung petitum yang diminta?

57. Berikan contoh?

58. Bagaimana pula apabila tidak diajukan posita yang menyokong atau membenarkan petitum?

59. Berikan contoh?

60. Sejauh mana kewenangan hakim dalam memberikan nasehat dan petunjuk hukum kepada pihak-pihak berperkara berdasarkan pasal 119 HIR/143 RBg dan pasal 132 HIR/156 RBg?

61. Apa perbedaan pokok pemberian nasehat dan petunjuk hukum sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 119 HIR/143 RBg dan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 132 HIR/156 RBg? 62. Apa pengertian saudara mengenai masalah-masalah pemanggil

pihak-pihak berperkara?

63. Apakah Relaas panggilan itu merupakan Akta autentik? 64. Apa tujuan dari pada tugas pemanggilan?

65. Jelaskan mengenai tata cara pemanggilan?

66. Bagaimana bila pihak-pihak yang dipanggil bertempat tinggal diluar negeri? (sesuai PP No.9/1975/pasal 140 KHI).

(23)

68. Apa yang dimaksud dengan panggilan resmi dan patut?

69. Bagaimana tatacara pemanggilan tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya?

70. Bagaimana jika perkaranya berkaitan dengan bidang perkawinan. 71. Bagaimana tatacara pemanggilan melalui media masa?

72. Berapa tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua? 73. Apa saja yang harus dimuat pada pengumuman pertama?

74. Berapakah tenggang waktu hari sidang yang harus dimuat dalam pengumuman yang kedua?

75. Dalam hal termohon/tergugat ternyata datang ke pengadilan sebelum waktu sidang yang telah ditentukan dengan memberitahukan tempat tingggal yang sebenarnya, tindakan apa yang harus dilakukan oleh Pengadilan?

76. Apabila kemudian ternyata dengan pemberitahuan tersebut, tempat tinggal tergugat menjadi jelas, apakah masih diperlukan pemanggilan melalui media masa, atau pemanggilan tersebut harus diulangi pada tempat tinggal yang diberitahukan?

77. Bagaimana apabila ternyata termohon atau tergugat memberitahukan tempat tinggalnya diluar daerah hukum pengadilan tersebut?

78. Bagaimana tatacara penyampaian pemberitahuan bunyi putusan terhadap pihak yang tidak diketahui tempat tinggalnya?

79. Apa ada perbedaan mengenai tata cara penyampaian/ pemberitahuan putusan pengadilan dalam perkara yang berkenaan dengan perkawinan dengan perkara lainnya?

80. Kepada siapa pemanggilan tersebut harus disampaikan, apabila temyata pihak yang dipanggil meninggal dunia?

(24)

82. Dalam hal pihak berperkara telah menunjuk kuasa hukumnya kepada siapa pemanggilan tersebut harus disampaikan?

83. Bagaimana sifat acara perdata dimuka pengadilan menurut HIR/RBg?

84. Apa yang dimaksud acara dimuka persidangan dilakukan secara lisan?

85. Apa pula yang dimaksud dengan acara dimuka persidangan dilaksanakan secara langsung?

86. Bagaimana sifat pemeriksaan dimuka persidangan?

87. Dalam hal apa sifat umum pemeriksaan dimuka persidangan harus disimpangi?

88. Sebutkan dasar hukumnya?

89. Kepada pengadilan mana gugatan harus diajukan, apabila obyek sengketa berupa benda tetap?

90. Dalam hal suami-istri berdiam diluar negeri, gugatan perceraian harus diajukan dimana?

91. Dalam hal penggugat/pemohon berdiam diluar negeri gugatan harus diajukan dimana?

92. Apa yang saudara ketahui tentang kompetensi? 93. Apa yang dimaksud dengan kompetensi absolut? 94. Apa yang dimaksud dengan kompetensi relatif?

95. Dimana letak perbedaan hakiki tentang kedua kompetensi itu? 96. Dimana diatur ketentuan mengenai masalah kompetensi itu? 97. Apakah yang dimaksud dengan eksepsi?

98. Sebutkan macam-macam eksepsi?

99. Kapan eksepsi terhadap kompetensi absolut harus diajukan?

(25)

101. Kapan eksepsi terhadap kompetensi relatif harus diajukan?

102. Apabila hal tersebut diajukan oleh tergugat, apakah hakim secara jabatan dapat menyatakan diri tidak berwenang atau tidak dapat menerima gugatan itu?

103. Berkenaan dengan kompetensi relatif, bilamana hakim menyatakan diri tidak berwenang, dan bilamana hakim menyatakan gugatan itu tidak dapat diterima?

F. TENTANG HUKUM ACARA PERDATA II--156

1. Apa yang dimaksud dengan eksepsi prosesual? 2. Apa yang dimaksud dengan eksepsi materiil?

3. Bagaimana bentuk putusan apabila Hakim menyetujui eksepsi absolut yang diajukan tergugat?

4. Bagaimana bentuk putusan apabila Hakim menyetujui eksepsi relatif yang diajukan tergugat?

5. Apakah Hakim boleh memanggil pihak Materiel sementara ia telah diwakili oleh pihak formil ?

6. Bagaimana prosedur pendaftaran perkara verzet?

7. Bagaimana apabila dalam persidangan pertama dalam perkara verzet baik penggugat maupun tergugat semuanya tidak hadir meskipun mereka telah dipanggil dengan resmi dan patut?

8. Apabila dengan menunjuk mediator kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk berdamai / mengakhiri sengketanya, apa yang harus dilakukan oleh Hakim?

9. Putusan Hakim tersebut dalam bentuk apa ?

10. Apabila salah satu pihak kemudian mengingkari, tindakan apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang lain?

(26)

12. Apa yang dimaksud dengan pembuktian?

13. Pada saat tahapan pembuktian, pihak mana yang harus membuktikan ?

14. Ada berapa macam alat bukti menurut hukum acara perdata 15. Sebutkan macam-macam alat bukti dalam perkara perdata ? 16. Ada berapa macam bukti surat ?

17. Apa yang dimaksud dengan akta otentik ?

18. Apa yang dimaksud dengan bukti surat dibawah tangan ? 19. Apa yang dimaksud dengan pembuktian?

20. Apa yang dimaksud dengan pembuktian yang berimbang? 21. Apa yang utama sekali harus dibukgtikan ?

22. Kapan sebuah surat dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah? 23. Berapa macam alat bukti surat?

24. Apakah yang dimaksud dengan akta otentik?

25. Sebutkan syarat formal dan materiil suatu akta otentik?

26. Dalam hal bagaimana kekuatan pembuktian akta otentik tersebut dapat dipatahkan?

27. Jelaskan syarat formal dan material alat bukti surat lainnya? 28. Jelaskan kekuatan pembuktian.dari bukti surat tersebut?

29. Jelaskan kekuatan pembuktian dari akta autentik. 30. Apa yang dimaksud dengan sempurna tersebut ? 31. Apa pula yang dimaksud dengan mengikat tersebut ?

32. Siapa yang terikat untuk mempercayai bukti akta autentik tersebut ? 33. Apakah yang dimaksud unus testis nulus testis?

34. Apa makna testimonium de auditu?

35. Dalam hal bagaimana, saksi terhalang untuk diangkat sebagai saksi dimuka persidangan?

(27)

37. Dalam hal bagaimana saksi berhak mengundurkan diri? 38. Apa yang disebut dengan bukti persangkaan?

39. Bagaimana kekuatan bukti persangkaan?

40. Jelaskan kekuatan bukti pengakuan dalam hukum acara?

41. Jelaskan makna pengakuan tidak dapat dipisah-pisahkan atau onsplitbare aveu?

42. Apa yang dimaksud dengan Pengakuan murni? Pengakuan dengan kwalifikasi? Pengakuan dengan clausula?

43. Bagaimana nilai kekuatan pembuktiannya dengan pengakuan itu? 44. Bagaimana apabila pengakuan itu dilakukan oleh kuasa hukumnya? 45. Sebutkan macam-macam bukti sumpah?

46. Berilah penjelasan-masing-masing terhadap alat bukti sumpah itu? 47. Apabila penyelesaian suatu perkara akan dilakukan dengan alat

bukti sumpah, bagaimana tindakan yang harus diambil oleh hakim? 48. Dapatkah sumpah pemutus ini dikembalikan pada pihak lawan? 49. Bagaimana bila sumpah tersebut dilakukan oleh pihak lawan?

50. Apabila pihak lawan tidak bersedia melaksanakan sumpah, apakah dia mempunyai hak untuk mengembalikan kembali sumpah itu? 51. Dapatkah sumpah pemutus tersebut dilumpuhkan. dengan putusan

pidana yang berkekuatan hukum tetap bahwa sumpah itu palsu? 52. Bagaimana susunan dan isi putusan Hakim?

53. Apa saja yang harus ditulis dalam identitas para pihak dalam surat gugat yang diajukan?

54. Bagaimana apabila terjadi perubahan mengenai kedudukan para pihak yang terjadi dalam persidangan?

55. Apa saja yang harus dimuat dalam tentang duduknya perkara? 56. Diambil dari manakah tentang hal-hal yang akan dijadikan bahan

pertimbangan itu?

(28)

hukumnya?

58. Apa yang harus dicantumkan dalam amar putusan?

59. Bagaimana tehnis pencantuman amar putusan, baik yang tercantum pada amar putusan itu sendiri, maupun dalam, berita acara?

60. Apabila terjadi kesalahan pengetikan dalam amar putusan, dapatkah diadakan ralat atau di type ex?

61. Apakah semua kalimat / kata-kata yang terjadi kesalahan dalam pengetikan dapat dilakukan rinvooi ?

62. Apa yang dimaksud dengan ultra petitum ?

63. Pada dasarnya dapatkah Hakim mengabulkan sesuatu yang tidak diminta sebagaimana tertera dalam petitum gugatan?

64. Bagaimana halnya dengan hal-hal yang sudah melekat sebagai kewajiban suami, seperti nafkah, mut'ah dalam perkara perceraian? 65. Bagaimana tentang pengaturan tentang pembebanan biaya perkara? 66. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Putusan akhir dan putusan sela

serta putusan provisi maupun insidentil ?

67. Sebutkan macam-macam sifat dari suatu amar putusan ?

68. Apa pula yang disebut: Putusan preparatoir dan Putusan interlocutoir?

69. Bagaimana praktek pengadilan terhadap ke 2 hal yang tersebut terakhir?

70. Dapatkah permohonan banding itu dicatat apabila tidak / belum membayar biaya banding?

71. Bagaimana apabila hanya sebagian saja dari keseluruhan biaya banding yang dapat dibayar oleh pemohon banding sisanya akan dibayar kemudian?

(29)

G. TENTANG PERMASALAHAN SITA DAN EKSEKUSI--183 1. Apa yang dimaksud dengan sita?

2. Apa tujuan dari peletakan sita ?

3. Apa akibat hukum jika barang yang telah diletakkan sita dipindah tangankan ( disewakan / dijual / dihibahkan / diwakafkan dll ) oleh sitersita ?

4. Kapan permohonan peletakan sita itu dapat diajukan oleh Pemohon sita ?

5. Jika ada permohonan sita yang diajukan oleh Penggugat bersama-sama dengan Gugatan, apa yang harus dilakukan oleh Majelis Hakim? 6. Bagaimana bunyi penetapan hakim jika mengabukan permohonan

sita tersebut sekaligus menetapkan hari sidang ?

7. Bagaimana bunyi penetapan hakim jika mengabukan permohonan sita tersebut dan menangguhkan penetapan hari sidang ?

8. Bagaimana bunyi penetapan hakim jika menolak permohonan sita tersebut sekaligus menetapkan hari sidang ?

9. Bagaimana pula bunyi penetapan hakim jika hakim menangguhkan permohonan sita tersebut sekaligus menetapkan hari sidang ?

10. Apa yang dimaksud dengan Sita konservatoir, Sita revindikatoir dan Sita eksekusi.

11. Dalam hal bagaimana dilakukan sita revindikatoir?

12. Apakah terhadap semua barang milik penggugat yang ada ditangan tergugat dapat dimintakan sita revindikatoir?

13. Sebutkan batasan yang ditetapkan oleh UU, sehubungan dengan sita revindikatoir?

14. Jelaskan prosedur permohonan sita tersebut secara lengkap? 15. Dalam hal bagaimana perlu dilakukan sita eksekusi?

(30)

17. Apakah sita persamaan / penyesuaian dapat berubah menjadi sita jaminan ?

18. Dalam hal sesuatu barang telah diletakan sebagai jaminan pada bank tertentu, dapatkah diletakan kembali dalam sita?

19. Apakah terhadap semua putusan kondemnatoir yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak tergugat setelah tenggang peneguran selesai, harus dilakukan sita eksekusi?

20. Siapa yang bertanggung jawab terhadap barang yang telah diletakkan sita ?

21. Jelaskan batasan-batasan yang ditentukan dalam hukum acara, sehubungan dengan pelaksanaan sita eksekusi?

22. Apakah dalam pelaksanaan eksekusi riil (pengosongan) juga diperlukan tindakan sita eksekusi?

23. Jelaskan perbedaan antara sita jaminan, sita revindikasi dan sita eksekusi.

a. Sita jaminan / conservatoir beslag: b. Sita Revindikasi / Revindicatoir beslag : c. Sita eksekusi / eksecutorial beslag :

24. Apakah semua putusan Pengadilan dapat dieksekusi ? 25. Jelaskan syarat suatu putusan itu dapat dieksekusi. 26. Jelaskan tatacara pelaksanaan eksekusi riil?

27. Jelaskan pelaksanaan eksekusi dalam hal untuk melakukan suatu perbuatan tertentu?

28. Apakah pelaksanaan putusan dapat ditunda dengan alasan tereksekusi tidak hadir?

(31)

gugatan Penggugat, bagaimana bunyi amar putusan tersebut ? 31. Apa yang dimaksud dengan Niet Bevinding ?

32. Dalam keadaan seperti apa harus dinyatakan Niet Bevinding ?

33. Bila barang yang akan diletakan sita atau akan dilaksanakan untuk eksekusi terletak didaerah pengadilan lain bagaimana caranya? 34. Apa kewajiban yang harus dilakukan oleh pengadilan tersebut? 35. Dapatkah pengadilan tersebut menilai isi penetapan yang meminta

bantuan pelaksanaan sita atau eksekusi tersebut?

36. Tindakan apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang melawan pelaksana sita atau eksekusi?

37. Bagaimana prosedur penerimaan perlawanan atas suatu pelaksanaan atau eksekusi yang diajukan oleh pihak tereksekusi atau oleh pihak ketiga di pengadilan?

38. Pada pengadilan mana diajukannya perlawanan tersebut? 39. Apa ada tenggang waktu yang membatasi perlawanan tersebut? 40. Hal-hal apa yang dapat menangguhkan eksekusi?

41. Apa yang saudara ketahui tentang putusan serta merta?

42. Apakah setiap putusan yang mengabulkan permohonan serta merta, dengan sendirinya dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Agama?

BAB V PRAKTIK PERSIDANGAN PENGADILAN AGAMA DAN MAHKAMAH SYAR’IYAH KHAS INDONESIA--196

A. Pendahuluan--196

B. Contoh Praktik Persidangan Di Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Khas Indonesia--197

(32)

BAB I

SEJARAH PERADILAN AGAMA1

A. PENDAHULUAN

Berbicara sejarah Peradilan Agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan dan perkembangan hukum Islam, berbagai perubahan peristiwa yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya, sejak Islam masuk ke Indonesia, karena peradilan agama adalah salah satu bentuk alat perlengkapan pelaksanaan hukum Islam dalam sistem negara atau pemerintahan. Fakta dan peristwa-peristiwa dihimpun terus mengalir dan berjalan sampai sekarang tiada hentinya.

Sejarah bukan sejedar pergantian dari masa ke masa yang lain dan pelanjutannya, tetapi juga gerakan kemajuan dari generasi ke generasi, demikian juga gerakan kemajuan peradilan agama dari masa ke masa . pada awalnya timbulnya peradilan agama mulai dari tahkim lalu al hilal wal aqdi kemudian delegation af outority dari sultan atau raja.

Dalam sistem kerajaan Islam di Indonesia peradilan agama, sebagai bentuk atau alat pelaksanaaan hukum Islam berdiri sejak bersamaan berdirinya kerajaan Islam di seluruh Indonesia, namun nama pertadilan agama satu sama lain dalam sistem kerajaan Islam di Indonesia berdeda, seperti Jawa disebut Pengadilan Agama dan Mahkmah Islam Tinggi, di Kalimantan Selatan Kerapatan kadi dan Kerapatan kadi Besar dan di Sumatera, Sumbawa Ternate dan lain-lain umumnya disebut Mahkmah Syari’ah. dengan kewenaangan selain hukum perdata termasuk hukum pidana ataau jinayah.

(33)

Akan tetapi dalam perkembangannya setelah Belanda menjajah Indonesia, meskipun pemerintah kolonial Belanda tidak bisa menghapus peradilan agama, yang disebabkan kuatnya umat Islam di Indonesia terhadap keimanannya atas hukum-hukum Islam (syari’ah) tetapi dapat mengibiri kewenangan peradilan agama dengan pendekatan teori receeptie, sebagaimana peradilan agama di Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan hanya berwenang mengadili perkara-perkara semata-mata nikah, talak, cerai dan rujuk )NTCR) dan pengebirian itu sampai Indonesia merdeka, bahkan sampai tahun 1989 dengan keluarnya Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7/1989. Bahkan peradilan agama sebagai lembaga pradilan tidak berfungsi sebagai peradilan, karena tidak bisa melaksanakan putusan-putusannya.

Kemudian dalam perkembangannya setelah keluarnya undang-undang peardilan agama dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 11989 dan kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Udang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Peradilan Agama telah berfungsi sebagai layaknya lembagai peradilan pada uumnya, bahkaan selain itu kewenangannya selain perkara-perkara perkawinam, kewarisan, hibah, wasiat, wakap dans adaqah jugab termasuk ekonomi syariah, meskipun dalam perkembangan terakhir perkara-perkara bank syari’ah selain dapat diadili di pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum.disamping itu tentunya lembaga arbitrase Islam.

(34)

Berdasarkan pengetahuan sejarah peradilan agama khususnya, dan sejarah sistem peradilan di negara Indonesia pada umumnya para aparat peradilan di Indonesia, khususnya aparat Peradilan Agama dapat mmelaksanakan dan mengembangakan sistem peradilan di Indonesia dengan baik, sehingga menjadi peradilan yang agung, sebagaaimna yang menjadi harapan para seluruh aparat peradilan, baik peradilan tingkat pertama di Kabupaten/Kotak, dan tingkat banding di daerah Propinsi maupun Mahkamah Agung. di ibukota Negara Republik Indonesia.

B. PERADILAN AGAMA SEBELUM PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

Peradilan atau Qadha’ dalam ajaran Islam hukumnya fardlu kifayah, sehingga timbulnya peradilan bersamaan berlukunya hukum Islam kepada umat Islam, Dan fungsi peradiln dalam arti qodhi atau hakim merupakan alat perlengkapan dari pelaksanaan hukum Islam. Kemudian peradilan memperoleh bentuk yang kongkrit sebagaimana yang kita kenal seperti sekarang ini atau dalam sistem ketatanegaraan dengan berdirinya negara-negara Islam seperti dalam negara kerajaan-kerajaan Islam. Seperti kerajaan di Aceh, di Demah, di Mataram dan lain sebagaianya.

(35)

Peradilan Agama di Indonesia hanya terbatas kepada Peradilan Agama Islam, meskipun di Indonesia selain agama Islam ada agama lain, seperti agama Hindhu, Budha dan Kresten, hal ini berdasarkan realita bahwa selain agama Islam tidak mengenal hukum, tetapi hanya menganal ajaran2 Dengan demikian

eksistensi Peradilan Agama di Indonesia merupakan perkembangan hukum Islam di Indonesia dan merupakan bentuk sistem masyarakat Indonesia yang menyatu dengan agama,khususnya agama Islam.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem ketatanegaraan di Indonesia telah terjadi alkuturasi dengan sistem hukum Islam, hal ini dapat dilihat dalam bentuk struktur kelembagaan maupun dalam jabatan di dalam sistem ketatanegaraan, Umpamanya bentuk bangunan kerajaan di Jawa, baik dalam bentuk sistem bangunan kerajaan dan dibawahnya seperti Kadipaten, Ketemenggungan dan lain-lain, bangunan tersebut Bangunan gedung kerajaan Masjid dan alun-alun atau lapangan menyatu dalam satu sistem. Dan diantara Masjid dan rumah raja terdapat daerah Suranatan yang merupakan rrumah Penghulu atau Ketua Pengadilan Agama.. Demikian jabatan mulai dari bawa seperti jabatan di tingkat Desa/Kelurahan dosebut Modin, atau lebay, ditingkat Kecamatan disebut Penghulu, ditingkat Kadipaten Penghulu Ageng dan di tingkat Kerajaan Penghulu Agung. Jabatan tersebut mempunyai fungsi kewenangan menyelesaikan urusan keagamaan Islam termasuk masalah-masalah perkawinan, perceraian, kewarisan, hibah, wakaf dan lain-lain. Bahkan pada masa kerajaan Islam perkara hukum pidana, atau jinayah menjadi kewenangan Peradilan Agama.

(36)

Hal ini dapat dilihat bahwa seperti kabupaten-kabupaten Priangan Timur di bawah kekuasaan Susuhunan di Mataram, dan ketika itu persatuan kehakiman dan diatasnya langsung di bawah kekuasaan Susuhunan Mataram.3 Semua

perkara yang oleh pegawai (yang dahulu disebut jaksa sekarang hakim) kebupaten yang mengadili harus disampaikan kepada Susuhunan Mataram. Bentuk perkara-perkara tersebut ada dua macam yaitu:

1. Perkara yang kepadanya dapat dijatuhi hukuman mati atau siksaan badan lainya;

2. Perkara-perkara lainnya yang atasnya dapat dijatuhi hukuman denda

Kedua kedua jenis perkara tersebut perkara jenis pertama harus diteruskan ke Susuhunan Mataram untuk diadili langsung Susuhunan Mataram, sedangkan jenis perkara yang kedua diputus oleh jaksa sekarang hakim di Kebupaten.

Perkara-perkara yang dikirim ke Mataram telah terpengaruhn hukum Islam, dan karena pegawai-pegawai yang disebut jaksa waktu itu sekarang hakim adalah pegawai-pegawai agama Islam (godsdienst-ambtenaren).4 Serta

pertimbangan putusan-putusan pegawai-pegawai agama Islam yang waktu itu disebut “Penghulu5 yang ada masing-masing tiap Kabupaten.

Sehinga dengan demikian dalam hukum ketatanegaraan dalam pemerintahan Islam di Indonesia sudah ada lembaga peradilan, meskipun nananya berbeda satu sama lain, seperti di Jawa yaitu:

3 . Soepomo dan Djoko Soetono, Sejarah Politik Hukum Adat (dari Zaaman Kompeni sehingga Tahun 1848). Jakarta : Pradnya Paramita, 1951. hlm 24-25.

4 . Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru, Jakarta : Binacipta , 1984, hlm. 11

(37)

1. Paradilan Agama 2. Peradilan Pradata, dan 3. Peradilan padu.

Ketiga peradilan tersebut, kewenangannya adalah untuk Peradilan Pradata mengurusi perkara-perkara yang menjadi urusan raja. Hukum materiilnya umumnya bersumber pada hukum Hindu dalam bentuk “papekem” atau “kitab hukum”, sehingga hukum ini berbentuk hukum tertulis. Kemudian Peradilan

padu menyelesaikan urusan-urusan yang bukan menjadi urusan raja, hukum materiilnya bersumber kepada hukum=hukum kebiasaan dalam praktik sehari-hari dalam masyarakat, sehingga hukum materiil peradilan ini, hukum tidak tertulis. Sedangkan Peradilan Agama menyelesaikan perselisihan anggota masyarakat berdasarkan hukum Islam, kewenangannya selain hukum perdata termasuk hukum jinayah atau hukum pidana.6

Selain kerajaan Islam di Jawa juga di kabupaten-kabupaten di daerah di Priangan dibawah kekuasaan Susuhunan Mataram terdapat pula isntitusi peradilan yaitu:

1. Peradilan Agama, 2. Peradilan Drigama, dan 3. Peradilan Cilaga.

Disamping di pulau Jawa bentuk peradilan sebagaimana disebutkan seperti di atas, hampir semua kerajaan Islam di Indonesia, baik di pulau Jawa, pulau Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya terdapar peradilan agama, meskipun istilah nama peradilan berbeda satu lainnya. Seperti di daerah Sumatera, Kalimanatn selain Banjarmasi dan pulau lainnya seperti Sulawesi,

(38)

maluku dan lain-lain dengan istilah Mahkamah Syari’ah. Sedangkan di Banjarmasin dengan istilah Kerapatan Kadi.

Keberadaan peradilan agama di Indonesia ini merupakan pelaksanaan syari’at ajaran agama Islam, hal ini juga dikarenakan Islam masuk ke Indonesia secara damai dan hukum Islam telah diterima msyarakat Indonesia bersamaan dengan masuknya masyarakat Indonesia ke dalam agama Islam. Selain itu juga peradilan agama Islam merupakan sarana pelaksanaan hukum Islam, dengan sendirinya institusi peradilan agama Islam di Indonesia dalam sistem pemerintahan kerajaan Islam merupakan bagian dari sistem pemerintahan, karena hukum keberadaan peradilan dalam hukum Islam adalah fardu kifayah.

C. PERADILAN AGAMA PADA MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA

Pelaksanaan hukum Islam melalui sarana peradilan adalah merupakan keyakinan umat Islam termasuk umat Islam di Indonesia, apalagi hukum adanya peradilan dalam hukum Islam fardu kifayah, sehingga negara-negara Islam di seluruh Indonesia yang berbentuk kerajaan pada waktu itu, juga mengadakan sistem peradilan yang bercorak peradilan Islam, dengan istilah yang berbeda satu sama lainnya, meskipun masih terdapat peradilan adat sebagaimana yang telah dijelaskna dalam sub bab tersebut di atas.

(39)

perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang bumi putra maka harus diusuhakan sedapat mungkin tetap dalam ligkungan agama dan adat istiadat mereka”.

Para ahli Belanda banyak yang mendukung pendapat Mr.Scholten itu diantaranya Carel Prederik Winter, (1799-1859).Solomon Keyzer (1823-1868), yang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Belanda. Kemudian muncul Prof. Mr. Lodewyk Willem Chjritian van den Berg (1945-1927) yang memperkuat pemikiran yang berlaku hukum di Indonesia adalah hukum Islam dalam ajaran Imam Syafi’i dan Imam Hanafi, dengan tulisannya hukum family dan hukum waris di Jawa dan Madura meskipun terdapat beberapa penyimpangan.

Pandangan van den Berg tersebut sependapat dengan “teori receptio in complexio”, bahwa pandangan beliau tesebut adalah “hukum mengikuti agama

yang dianut seseorang, kalau orang itu agama Islam yan g berlaku baginya

Bahkan menurut dia bahwa “orang Indonesia telah melakukan receptie hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan. Pandangan ini sesuai dengan perintah dalam Al-Qur’an bahwa orang masuk Islam itu harus keseluruhan, tidak sebagian-sebagian .

Disamping itu juga banyak peninjau dan ahli-ahli orang-orang Eropa dan Belanda sependapat dengan pendapat tersebut, diantaranya Raffles, Marsden, dan Crawfurd yaitu pendapat tentang adanya percampuran antara norma-norma dan nilai-nilai agama Islam dengan kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda di seluruh nusantara.7 Bahkan ahli hukum dan budaya Belanda sendiri mengakui

bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam. Oleh karena itu penerapan hukum

(40)

dalam peradilanpun diberlakukan undang-undang agama Islam untuk orang Islam.

Dengan demikian pada mulanya pemerintah Belanda dengan tegas telah mengakui bahwa undang-undang Islam atau hukum Islam berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam. Bahkan Peradilan yang diperlukan untuk mereka juga peradilan dengan hukum Islam. Keadaan seperti ini sudah berjalan sebelum orang-orang Belanda datang di Indonesia, Bahkan waktu itu pemerintah Hindia Belanda memperkuat dan memperkokoh keberadaan peradilaan dan hukum Islam dengan memngeluarkan peraturan perundang-undangan dengan Regeering Reglement (RR) 1955.

Akan tetapi apabila diperhatikan secara mendalam, meskipun Belanda telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang memperlakukan peradilan dan hukum Islam, tetapi ada sebagian orang-orang Belanda sejak permulaan adanya kekuasaan Belanda di Indonesia, meskipun masih dalam bentuk pedagang-pedagang pemerintah V.O.C ada golongan-golongan atau orang-orang Belanda tidak menyukai berlakunya peradilan dan hukum Islam, setidak-tidaknya pengaruh hukum Islam. Orang-orang ini perlu disebut seperti seorang Residen Belanda di Cirebon atau katakanlah gezant pemerintah VOC di kerajaan Cirebon. Namanya “Gobius” Dia menjadi residen (Gezant) di Cirebon

pada tahun 1714-1717.

(41)

1. Agar VOC langsung mengadili perkara-perkara yang diadili langsung oleh Susushunan Mataram

2. Membiarkan perkara-perkara yang ditangan jaksa (Hakim) dan dilarang penghulu-penghulu campur tangan dan putusan tersebut tidak boleh dilaksanakan sebelum diperkenankan oleh pemerintah VOC.

Menurut analisa Prof. Dr. Mr.Soepomo dam Prof.Dr.Mr. Djoko Soetono kedua kemungkinan tersebut diambil alih oleh pemerintah VOC, dan akan menghapnskan pengaruh hukum Islam dan pejabat-pejabat agama atau penghulu-penghulu yang selama ini diikuti pendapatnya. Selanjutnya atas surat residen Cirebon Gabius tersebut mengaambil alternatif kedua dengan penetapan tanggal 9 Mei 1715 dengan resolusi 1715, VOC mendapat beberpa keuntungan:

1. Peradilan asli di Prianga Timur jatuh di bawah pengawasan preventif VOC.

2. VOC tidak terlibat langsung mengadili suatu perkara, meskipun dia yang mengendalikan

3. Pengawasan itu dilakukan oleh residen Cirebon, sedangkan pengadilan Aria Cirebon tidak ditunjuk lagi mengawasi pengadilan seperti sebelumnya

4. Pelaksanaan pengawasan itu dalam praktik (Soepomo) oleh Residen Cirebon dan pegawai VOC , bahkan pengawasan banyak campur tangan dengan peradilan Priangan Timur.

5. Pengaruh hukum Islam pegawai-pegawai agama dan penghulu telah disingkirkan.

(42)

mereka menempuh jalan dengan memanipulasi kesetiaan rakyat kepada hukum adat dan hukum Islam. Hukum adat digunakan untuk menggeser dan mengesampingkan hukum Islam. dengan istilah hukum Islam telah masuk ke dalam hukum adat. Oleh karena itu pemerintah konlonial Belanda berusaha bahwa hukum adat harus diperkokoh dan hukum Islam harus di buang dari sistem pemerintahan dan dalam pelaksanaan hukum Islam dalam masyarakat.

Kemudian dalam perkembangannya dalam sistem peraturan perundang-undangan pemerintah VOC. dan kolonial Belanda meskipun tidak respon dan tidak senang terhadap peradilan agama Islam, tetapi belum mampu menghilangkan keberadaan peradilan agama Islam, Sehingga pada waktu itu memberikan peraturan secara formil dalam bentuk paraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut ialah pasal 34 ayat (1) Indonehce Staatsregering (IS) sebagai landasan pembentukan Raad Agama (Peradilan Agama) Bunyi pasal tersebu ialah “ Akan tetapi sekedar tidak diatur secara lain lagi dengan ordonantie, maka perkara hukum sipil antara orang Islam, harus diperiksa oleh

Hakim Agama, kalau dikehendaki oleh hukum adatnya”.

(43)

harus di bawa ke Pengadilan biasa. Pengadilan itulah yang menyelesaikan perkara

itu dengan mengungat keputusaan ahli agama dan supaya keputusan dijalankan”.

Selanjutnya baru tahun 1882 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan tentang eksistensi Peradilan Agama melalui Staatsblad 1882 No 152, dan pada masa itu dikalangan orang-orang Belanda berendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka (goosdientige wetten) yakni hukum Islam. Mereka mengikuti teori yang dikenal teori receptie in Conplexu” dengan dukungan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda via pasal 75, 78 dan 109 RR (Stb 1855 No 2). Sedangkan dalam Staatsblad tersebut tidak mengatur kewenangan Peradilan Agama, dan Peradilan Agama sendiri yang menetapkan perkara-perkara yang dipandangnya masuk dalam lingkungan kekuasaannya, masih seperti Staatsblad 1835 No.58.

Dalam perkembangan selanjutnya police hukum pemerintah Hindia Belanda terhadap negara jajahannya tentang hukum kekuarga berubah, hal ini dikarenakan kritik Snouch Hurgronye dan C van Vollenhoven yang menyerang pasal 75 dan 109 RR Staatsblad 1855 : 2, dan menentang teori receptio in comlekxu dari pemikiran para ahli –ahli budaya dan hukum Belanda seperti Paul Scholten, Carel Frederik Winter, Solomon Keyzer, L.W.C. van den Berg dan para ahli pemikir Belanda sebelumnya. Kemudian Snouch Hurgronye menciptakan teori recptie untuk melawan teori receptie in comlpexu tersebut.

(44)

juga. Kemudian penganut aliran teori receptie tersebut mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Ke dalam hukum adat asli itu memang ada pengaruh sidikit-sedikit hukum Islam. Pengaruh Hukum Islam itu, baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima oleh hukum adat dan lahirlah dia keluar sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam. Pahan ini seperti itu, faham yang salah karena tidak mengerti kaidah ushul fiqih yang berbunyi “ al-adat al- mukhakamah “, bahkan nampaknya

kesalahan itu kelihatannya memang disengaja oleh penicptanya yaitu Snouch Hurgronye yang juga mengerti hukum Islam maupun ushul fiqh, karena dia lama belajar Islam/hukum Islam di Arab Saudi. Disitulah “kebohongan” atau

kecurangan” Snouch Hurgronye dan teman-temannya seperti C.van

Vollenhoven, Ter Haar dan lain-lain, sampai-sampai dia berani kebohongan dalam akademis.

Gagasan teori receptie oleh perumus orang-orang Belanda seperti Snouch Hurgronye. C van Vollenhoven dan kawan-kawannya itu dalam rangka menlaksanakan politik hukum adat yang tujuannya untuk mendesak hukum Islam sekaligus melaksanakan politik devide et empera, (politik adu domba) dengan berdalih mempertahankan kemurnian hukum adat, yang sebelumnya pemerintah Hindia Belanda melancarkan politik hukum yang anti hukum adat, kemudian menggunakan hukum adat, hal ini mereka pandang sebagai sarana pengaman kepentingan pemerintahan Kolonial.

(45)

memperlakukan godsdienstigewetten – Undang-Undang agama “ sengaja dihilangkan diganti dengan kata-kata bersayap “ diperlakukan untuk orang Indonesia dan Timur Asing itu godsdiestige en gewoonten samenhargende rechtstregelen, atau yang berkenaan dengan agama dan kebiasaan” dan ditambahkan peraturan untuk orang Eropa diperlakukan kepada orang Indonesia dan Timur Asing kalau kebutuhan masyarakat memerlukan. Perubahan Staatsblad 1906 : 364 tersebut hanya satu pasal saja pasal lain masih berlaku.

Usaha-usaha peruahan itu terus dilakukan dengan setapak demi setapak , kemudian pada tanggal 6 Juni 1919 RR tersebut dirubah lagi , perubahan tetap pada pasal 75, yaitu ayat (2), huruf b-nya yang memperlunak ungkapan memperlakukan peraturan yang berkenaan dengan agama itu”, menjadi

memperhatikan peraturan yang berkenaan agama dan kebiasaan itu “

Perubahan itu dimuat dalam Staatsblad 1919 : 286. Selanjutnya huruf b ditambah lagi suatu ketentuan baru berupa “ dimana diperlukan perlakuan atas mereka itu dapat pula menyimpang dari peraturan agama dan kebiasaannya itu apabila penyimpangan itu menguntungkan kepentingan umum dan masyarakat ”.

Jadi berdasarkan teori receptie terlihat sudah dua kali dan dua perubahan bentuk menurunan dan pelemahan atas berlakunya hukum agama Islam di Indonesia. Pertama merobah kata-kata “memperlakukan undang-undang agama” menjadi “ memperlakukan ketentuan yang berhubungan dengan agama”. Kedua mulanya “memperlakukan”, menjadi “memperhatikan” . Begitu pula dalam pasal

(46)

Sejalan dengan pemelemahkan dan penghentian hukum agama dan kebiasaan serta undang-undang yang memperlakukan hukum agama (Islam) dan peradilan agama pemerintah kolonial Belanda berdasarkan ajaran (teori) receptie Snouch Hurgronye dilancarkan pengejaran dan pembunuhan terhadap ruang kehidupan Ulama’-Ulama’ besar, baik terhadap person maupun penyempitan ruang kehidupan pesantren-pesantren. Pengejaran dan pembunuhan tokoh-tokoh/ dan Ulama Islam tentera Belanda di bawah pimpinan Jenderal van Heutsz dan snouch Hurgronye sebagai penasihatnya Tengku Umar mati syahid serta istrinya Cut Nya’din dapat dikalahlan. Demikian juga didaerah Banten tahun 1888 timbul pemberontakan dan dapat ditumpas, dan para pemimpinnya dibunah di buang ke tempat lain. Di daerah masyarakat Batak tokoh Islam Sisingamangaraja juga dihancurkan.

Selanjutnya pada tahun 1925 dirubah lagi pertama nama Regeeringsreglment (RR), menjadi Indiscvhe Staatsregeling yang disingkat I.S, degan lengkapnya “Wet op de Staats Inricting van Nederlands Indie” yang

tercantum dalam pasal 1, dengan Stsstsblad 1925 Nomor 415. Pasal-pasal dalam RR yang berjumlah 132 dirobah dan ditambah dengan pasal-pasal baru, sehingga menjadi 146 pasal.

Dalam pasal 146 merupakan pasal baru yang isinya masih sama pada perubahan yang terakhir (1919), Namun dalam kata-kata dalam pasal itu ada yang dirubah, seperti kata-kata “algemeene verordening” diganti “ordonantie” .dan lain sebagaainya. Dan kalau diartikan istilah Indonesche Sttatsrgeling (IS), adalah Undang-Undang Dasar Negara Jajahan Hindia Belanda.

(47)

undang-undang tetapi mencabut hukum Islam dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.

Dalam IS dengan pasal 134 ayat 2 IS dengan Staatsblad 1925 dari asalnya pasal 78 ayat 2 Staatsblag 1855 :2 dirubah dengan Staatsblag 1929 : 221 seagai dasar teori receptie, dengan perubahan tersebut berbunyi “ Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonantie”. Atau hukum Islam berlaku

apabila telah menjadi hukum adat.

Sejak saat itu mulai suatu pendapat dimana masyarakat Indonesia seakan-akan masyarakat Indonesia telah merasakan sebagai suatu hal yang benar bahwa hukum Islam itu bukan hukum Indonesia, dan telah terjadi dalam pikiran orang bahwa yang berlaku adalah hukum adat, dan hanyalah kalau hukum Islam telah menjadi hukum adat barulah menjadi hukum.

(48)

Staatsblad 1931 Nomor 53 belum dapat dilaksanakan, kemudian pada tahun 1937 secara tegas kewenangam Pengadilan Agama dihapus hanya memeriksa nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR) yaitu dengan merubah Staatsblad tahun 1882, dengan mengeluarkan Staatsblad 1937, dengan merubah dasar hukum keberadaan peradilan agama dalam sistem perundangan pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan dari Staatsbald 1882 : 152 menjadi Staatsblad 1937 No 610 dan 611, untuk Jawa dan Madura dan Staatsblad 1937 : 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. Dalam Staatsblad tersebut kewenangan Peradilan Agama hanya semata-mata Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR) .Sedangkan untuk di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan belum dikutik-kutik oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

D. SEJARAH PERADILAN AGAMA PADA MASA KEMERDEKAAN

Setelah Indonesia terlepas dari penjajahan kolonial Belanda, penataan kekuasaan kehakiman termasuk Pengadilan Agama, baru tahun 1951 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesaatuan Susunan, kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, meskipun Indonesia telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945.

Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tersebut mulai berlakau tanggal 14 Januari 1951 dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Semua bentuk Pengadilan pada zaman pra Federal serta penuntut umum padanya dihapuskan dan digantikan dengan Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri;

(49)

3. Pengadilan Agama yang merupakan bagia tersendiri dari Peradialn Swapraja daan Peradilan Adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang darurat tersebut untuk penataan Pengadilan Agama mengalami hambatan-hambatan, sebab penataan itu diperlukan adanya Peraturan Pemerintah, lain halnya dengan penataan Pengadilan Negeri. Akan tetapi pada saat bersamaan berlakunya UU Darurat No. 1/1951 tersebut Kementerian Agama telah meperluas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah Talah, Cerai dan Rujuk (NTCR).Dimana berlaku untuk seluruh luar jawa dan Madura, dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Ditingkat Propinsi, Kabupaten.Kotamadya dan Kecamatan dibentuk Kantor Urusan Agama, sehingga dengan adanya pengembangan organisasi ini, Ulama dan Pejabat lingkungan pemerintahan Swapraja dan Adat termasuk jabatan Pengadilan Agama sebagai pejabat bidang pencatatan NTCR, (Huwelijks Ordonantie Buitengewesten). Dengan diangkatnya mereka sebagai pegawai Kantor Urusan Agama, maka beberapa pemerintahan Swapraja di Kalimantan seperti di sambas, Pontianak, Bulongaan dan lain-lain menyerahkaan instansi-instansi Pengadilan Agama kepada Departemen Agama. Kemudian diikuti pemerintahan Swapraja di daerah Sulawesi dan Nusa Tenggaran Barat. Akan tetapi penyelesaian perselisihan-perselisihan di Pengadilan Agama untuk di luar Jawa masih berdasarkan Staatsblad 1938 Nomor 80.

(50)

Nomor 638 dikembangan/dibentuk Kantor Pengadilan Agama, seperti Pengadilan Agama Marabahan, Martapura, Plehari daan lain-lain.

Kemudian struktur Pengadilan Agama baru mulai ditata kembali, namun penataan baru mulai berdasarkan undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951. Kelihatannya sejak tahun 1945 sampai dengan 1950 meskipun Indonesia telah merdeka belum ada kesempataan untuk menata secara penuh mengenai kehakiman.

Kemudian untuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dalam sejarah perkembangannya sejalan dengan tata pemerintahan pribumi yang berlaku setempat, dan dapat dibedakan dala corak ialah:

1. Peradilan Agama yang berada dalam lingkungan Swapraja 2. Peradilan Agama yang beradan dalam lingkungan Adat.

Bentuk dan susunannya beraneka ragam ada yang berdiri sendiri dan ada pula yang bercampur dengan Peradilan Swapraja dan Adat setempat. Sedangkan istilah yang digunakan pada umumnya ialah Mahkmah Syari’ah.

Pada masa pemerinntahan Jepang eksistensi peradilan agama tidak berubah sebagaimana dalam Stasblad 1882 :152 jo Staatsblad 1937 No 610, 638 dan 639, meskipun pemerintah Jepang membentuk yang disebut Shumubu kantor Agama Pusat yang fngsinya mirip dengan kantor Voor Islamietische Zaken dan kewenanag Peradilan Agama tidak berubah.

(51)

tetap diakui sah untuk sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan Pemerintahan Militer.

Kemudian setelah kemerdekaan bentuk dan susunan serta kewenangan Peradilan Agama di Indonesia beragam, terlepas dari pengaruh penjajah, maka struktur Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951.dan mulai berlaku pada tanggal 14 Januari 1951. Dimana Undang-Undang Darurat tersebut terhadap peradilan agama menentukan bahwa “ Peradilan Agama yang merupkan bagian tersendiri dari Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya di atur dengan Peraturan Pemerintah”.

Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tersebut baru pada tahun 1957 baru dikeluarkan Peraturan pemerintah, yaitu Paraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957. Dimana dalam Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa “ Ditempat-tempat yang ada Pengadilan Negeriada sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah dan daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri “.

Kemudian tindak lanjut dari Peraturan pemerintah No.45 tahun 1957 tersebut Menteri Agama mendirikan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah dengan beberapa Penetapan Menteri Agama. Selain itu Menteri Agama dengan penetapannya juga mendirikan Pengadilan tingkat banding di Surabaya dan Bandung dengan bentuk Cabang Mahkmah Islam Tinggi dan di luar Jawadi luar Jawa dengan istilah Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Propinsi.

Referensi

Dokumen terkait

Az elkészített térképeket (cönológiai térkép, a növényzet megoszlásának terü- leti elhelyezkedése 2005 évben, az erdő kiirtásának időbeni megjelenítését ábrá-

Pada saat pengguna beraktifitas atau mengunggah foto di Instagram, yang pasti akan dilakukan adalah menampilkan sosok atau sesuatu yang dianggap baik agar pandangan

Yang berperan sebagai guru adalah praktikan sendiri dan yang berperan sebagai peserta didik adalah teman satu kelompok yang berjumlah 10 (sepuluh) dengan satu orang

DALAM JABATAN KUOTA 2013 LPTK IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA.. TANDA TANGAN

PLUT-KUMKM adalah Program Kementerian Koperasi dan UKM yang menyediakan jasa-jasa non-finansial secara menyeluruh dan terintegrasi bagi koperasi dan usaha mikro, kecil,

Primary key adalah salah satu candidate key yang kita nobatkan sebagai kolom unik untuk identifikasi baris dalam tabel.. Kolom ini tidak boleh berulang, dan tidak boleh

Jika Anda ingin agar panggilan tidak dibuat tanpa disengaja saat telepon disimpan di dalam saku atau tas, Anda dapat mengunci tombol dan layar.. Untuk mengunci tombol dan layar,

Penelitian dan Pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan produk berupa modul menulis cerpen bertolak dari peristiwa yang dialami peserta didik kelas IX Semester