• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN HARGA DIRI DAN NIAT MEMBELI BARANG PALSU PRODUK BERMEREK PADA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN HARGA DIRI DAN NIAT MEMBELI BARANG PALSU PRODUK BERMEREK PADA REMAJA"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN HARGA DIRI DAN NIAT MEMBELI BARANG

PALSU PRODUK BERMEREK PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Made Manik Wikansari

099114027

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Jadilah cantik jika kita bisa, Jadilah bijaksana jika kita ingin, Tetapi hargai diri kita sendiri, itulah yang penting. -Anna Gould-

Hidup itu bukan tentang menunggu badai berlalu, Tapi tentang belajar menari di tengah hujan.

-anonym-

Jika impian kita jatuh dan pecah berkeping – keping, Jangan pernah takut untuk memungut kepingan –

kepingan tersebut dan memulainya. -anonym-

(5)

v

Hasil Dari Perjalanan Panjang Ini Saya Persembahkan Kepada

Tuhan Yang Selalu Mendampingi Dan Menyertai Saya Dalam Setiap Prosesnya, Bapak Dan Mama Serta Kakak Saya Tercinta Yang Selalu Menjadi Sahabat

Terbaik,

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN HARGA DIRI DAN NIAT MEMBELI BARANG PALSU PRODUK BERMEREK PADA REMAJA

Made Manik Wikansari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara harga diri dengan niat membeli barang palsu produk bermerek pada remaja. Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara harga diri dengan niat membeli barang palsu produk bermerek. Subjek pada penelitian ini adalah 203 remaja ( 101 laki – laki, 102 perempuan) dengan rentang usia 11 tahun hingga 22 tahun. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan skala harga diri yang terdiri dari 32 item dengan (r) = 0,891 dan skala niat membeli barang palsu produk bermerek yang terdiri dari 35 item dengan (r) = 0,907. Penelitian ini menggunakan teknik analisis korelasi Product Moment. Hasil analisis menunjukkan bahwa harga diri berkorelasi negatif dan signifikan dengan niat beli barang palsu produk bermerek (N=203, r = -0,280, p = 0,000 < 0,01). Penelitian menunjukkan bahwa subjek memiliki harga diri yang tinggi (98,29 > 80) dan niat membeli barang palsu produk bermerek yang rendah ( 75,43 < 87,5).

(8)

viii

RELATION BETWEEN SELF-ESTEEM AND INTENTION TO PURCHASE COUNTERFEIT LUXURY BRANDS IN ADOLESCENCE

Made Manik Wikansari

ABSTRACT

The research aimed to examine relationship between self-esteem and intention to purchase counterfeits luxury brands in adolescence. Hypothesis in this research was negative relations between self-esteem and intention to purchase counterfeits luxury brands in adolescence. Subjects were 102 adolescence girls and 101 adolescence boys. Scale measuring self-esteem was constructed by using Likert Scale Model, consisting 32 items with reability (r) = 0,891. Iintention to purchase counterfeits luxury brands was measured by a scale using Likert model, consisting 35 items with reability (r) = 0,907. The research used Product Moment correlation technique. The result showed that self-esteem correlated negatively and significant with intention to purchase counterfeits luxury brands (N=203, r = -0,280, p = 0,000 < 0,01). It also showed that subject has high self esteem (98,29 > 80) and low intention to purchase counterfeits luxury brands ( 75,43 < 87,5).

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Terimakasih yang tak terhingga peneliti haturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala penyertaan-Nya, bimbingan, dan tuntunan dalam proses pengerjaan skripsi ini hingga dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah tulus membantu, mendukung, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr.T. Priyo Widiyanto, M.Si.selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Dosen pembimbing saya, Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi., Terima kasih untuk waktu dan kesabaran ibu dalam membimbing saya dan memberi banyak masukan pada saya. Terima kasih juga selalu memberikan semangat dan rasa optimis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Ibu. Dr. Tjipto Susana, M.Si.,selaku dosen pendamping akademik yang mendampingi dan membantu saya selama proses perkuliahan di kelas A. Terima kasih untuk banyak hal yang ibu ajarkan pada saya.

(11)

xi

6. Kepala sekolah SMP Kanisius Pakem, Bapak Andrias Indra Purnama, ST., S.Pd. yang telah memberikan ijin kepada saya untuk melakukan penelitian serta segala bantuannya dalam pengambilan data untuk skripsi saya ini.

7. Mas Jatmiko dan Mbak Tiwi selaku pemilik Legend Cafe yang telah membantu saya dalam proses pengambilan data.

8. Kepada siswa – siswi SMP Kanisius Pakem dan seluruh subjek saya yang telah membantu saya dan mendoakan saya dalam proses pengambilan data. Tanpa kalian, skripsi saya tidak akan dapat terselesaikan.

9. Terima kasih yang tak terhingga untuk Mama, yang selalu mendoakan, mendukung, dan memberikan semangat kepada saya dalam proses pengerjaan skripsi ini. Terima kasih untuk kesabarannya menghadapi saya dan telah menunggu dengan sabar hingga skripsi ini selesai. Skripsi ini salah satu hadiah kecil untuk mama. Love you so much my supermom..

(12)

xii

11.Terima kasih untuk kakak paling hebat dan sahabat terbaik, Shavicka Astarini. Terima kasih untuk doa, dukungan, semangat dan bantuannya selama ini. I love you so much

12.Adik – adik sepupu yang luar biasa, Oka Surya, Milla Saraswati dan Bella Frederick. Terima kasih untuk semangat, dukungan dan doa-doa kalian.

13.Sahabat – sahabat terbaik, Brigitha, Okvi, Jeanet, Fheny, dan Vivin. Terima kasih untuk segala semangat dan bantuannya dalam perkuliahan. Terima kasih untuk tawa dan pelukan hangat selama di Yogyakarta. Akan ada masanya kita berkumpul kembali seperti dulu lagi.

14.Sahabat – sahabat di Radio Masdha, Adita, Bertha, Nino, Ayu, Chisty, Etus, Uki, Gatyo, dan semua anak Crew Masdha ’09. Terima kasih untuk canda, semangat, dukungan, pelukan dan semua pelajaran yang tak terhingga. Senang dan bangga pernah menjadi bagian dari keluarga Masdha dan berproses bersama kalian.

15.Teman – teman seperjuangan dalam mengejar S.Psi. dan juga sahabat perpus, Clara Risti, Albertus Pandu, Tiffany, Rhea, Vero, Naomi, Ayu, Hani. Terima kasih untuk dukungan dan bantuannya selama mengerjakan skripsi ini.

(13)

xiii

17.Tim pencari data penelitian : Jeanet, Vita, Tata, Riris, Panjul, Ayu Wonosari, Ovi, Bincik. Terima kasih sudah mau direpotkan. Skripsi ini ada berkat kalian.

18.Seluruh penghuni kos Puntadewa 25, Kak Citra, Cik Ika, Vita, Syane, Lia, Caecil, Jeanet. Terima kasih untuk keceriaan dan tempat berkeluh kesah, terima kasih telah menjadi keluarga dan rumah kedua yang hangat selama di Yogyakarta. Saya akan merindukan saat – saat bersama kalian.

19.Dandy Surya Pratama. Terima kasih untuk kasih, tawa, dukungan, dan kesabaran menghadapi segala keluh kesah saya dan juga untuk segala dukungannya dalam proses perjalanan skripsi ini. Mari kita lanjutkan cerita kita masing – masing.

Yogyakarta, 1 Juli 2014

(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR BAGAN...xviii

DAFTAR GRAFIK ... xix

DAFTAR TABEL ...xx

DAFTAR LAMPIRAN ...xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

(15)

xv

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Harga Diri ... 12

1. Pengertian Harga Diri ... 12

2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Harga Diri ... 13

3. Aspek – aspek dalam Harga Diri ... 15

4. Harga Diri pada Remaja... 18

5. Dampak Harga Diri ... 18

B. Niat Beli Barang Palsu Produk Bermerek ... 20

1. Definisi Niat ... 20

2. Penjelasan Teori Perilaku Terencana ... 21

3. Definisi Niat Membeli ... 24

4. Faktor–faktor yang mempengaruhi niat membeli konsumen... ... 26

5. Aspek –aspek Niat Membeli………...31

C. Barang Palsu .. ... 32

1. Definisi Barang Palsu ... ... 32

2. Penggolongan Barang Palsu ... ... 34

3. Penggolongan Pemalsuan Produk………..34

4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pembelian Barang Palsu………..36

D. Remaja ... 38

1. Definisi Remaja……….38

(16)

xvi

3. Aspek – aspek Perkembangan Remaja………..41

E. Dinamika Hubungan Harga Diri dan Niat Beli Barang Palsu Produk Palsu pada Remaja ... .44

F. Skema Hubungan ... .49

G. Hipotesis………...50

BAB III METODE PENELITIAN ... .51

A. Jenis Penelitian ... .51

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... .51

1. Variabel Bebas ... .51

2. Variabel Tergantung ... .51

C. Definisi Operasional ... .51

1. Harga Diri ... 51

2. Niat Beli Barang Palsu Produk Bermerek ... .52

D. Subjek Penelitian dan Metode Sampling ... .52

E. Metode Penelitian ... .53

1. Skala Harga Diri ... .53

2. Skala Niat Beli Barang Palsu Produk Bermerek ... .55

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... .57

1. Validitas Skala ... .57

2. Seleksi Aitem ... .57

3. Reliabilitas ... .60

G. Metode Analisis Data ... .61

(17)

xvii

A. Pelaksanaan Penelitian... .63

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 63

1. Jenis Kelamin………... 63

2. Usia … ... 64

3. Pembelian Barang Palsu… ... 64

C. Hasil Penelitian ... 65

1. Statistik Data ... 65

2. Uji Normalitas ... 68

3. Uji Linearitas ... 71

4. Uji Hipotesis ... 72

D. Pembahasan ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 78

1. Saran Bagi Subjek ... 78

2. Saran Bagi Orang Tua ... 79

3. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(18)

xviii

DAFTAR BAGAN

(19)

xix

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Kurva Normal Harga Diri... …………...69 Grafik 2. Kurva Niat Membeli Barang Palsu Produk Bermerek...70

(20)

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint Skala Harga Diri...55

Tabel 2. Blueprint Skala Niat Beli Barang Palsu Produk Bermerek……….56

Tabel 3. Distribusi Item Skala Harga Diri……….58

Tabel 4. Distribusi Item Skala Niat Beli Barang Palsu Produk Bermerek……....59

Tabel 5. Interpretasi Koefisien Korelasi………62

Tabel 6. Deskripsi Jenis Kelamin………..64

Tabel 7. Deskripsi Usia……….64

Tabel 8. Pembelian Barang Palsu Produk Bermerek……….65

Tabel 9. Statistik Data Penelitian………..66

Tabel 10. Data Teoretis dan Data Empiris……….67

Tabel 11. Hasil One Sample T-test………67

Tabel 12. Uji Normalitas………...68

Tabel 13. Uji Linearitas……….71

(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.SkalaTryout ... 87

Lampiran2.Reliabilitas Skala. ... 100

Lampiran 3.Skala Penelitian ... 108

Lampiran 4. Uji Asumsi ... 120

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dipandang sebagai konsumen adalah ketika mereka melakukan kegiatan yang bertujuan menghabiskan guna suatu barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Alam, 2013). Tidak dapat dipungkiri bahwa konsumen memiliki kebutuhan yang tidak akan pernah habis dalam rangka kelangsungan hidupnya. Hal ini dikarenakan sifat alami manusia sebagai konsumen yang selalu merasa kekurangan. Ketika satu kebutuhan telah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan lainnya (Sukwiaty, Jamal, & Sukamto, 2009).

(23)

Menurut Syafrizal (2001) produk tiruan atau palsu merupakan produk yang diciptakan dengan mengacu atau meniru pada produk aslinya. Pemalsuan dapat dilakukan dengan meniru disain, membuat produk baru yang sama persis dengan aslinya dengan harga yang lebih murah, dan melakukan beberapa penyempurnaan dari produk terdahulu. Hal serupa juga diungkapkan oleh Eisend dan Schuchert-Guler (2006) yang menyatakan bahwa pemalsuan suatu produk adalah penyalinan karakteristik suatu produk asli ke dalam produk lain, yang bisa dibedakan dari aslinya, dan dijual dengan harga yang lebih rendah seolah-olah asli. Pemalsuan suatu produk ini bisa dilakukan dalam hal kemasan (packaging) ataupun pemalsuan merek (trademark) (Phau dan Teah, 2009).

(24)

Barang palsu juga merugikan konsumen, karena konsumen mendapatkan barang dengan kualitas yang buruk. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Cita Cinta (2012), sebanyak 55% konsumen mengaku mendapatkan barang dengan kualitas yang buruk (Cita Cinta no.13/XII, 2012). Akan tetapi beberapa konsumen yang tidak mempermasalahkan kualitas yang buruk pada barang yang mereka beli. Hal ini dikarenakan keinginan mereka yang tinggi terhadap barang bermerek. Hal serupa diungkapkan oleh Eisend dan Schuchert-Guler (2006) serta Wee, Tan, & Cheok (1995), yang menyatakan bahwa konsumen dengan pendapatan rendah menerima produk palsu barang bermerek dengan positif.

Konsumen yang mendapat persetujuan dari teman – teman dan keluarga juga memiliki sikap yang positif terhadap barang palsu (Matos, Ituassu, & Rossi, 2007). Pembelian barang palsu juga didorong oleh pengalaman masa lalu. Konsumen yang pernah membeli dan menggunakan barang palsu sebelumnya akan memiliki sikap yang positif terhadap barang palsu (Matos, Ituassu, & Rossi, 2007; Yoo & Lee, 2009; Kim & Karpova, 2010). Hal serupa diungkapkan oleh Nia dan Zaichkowsky (2000) bahwa konsumen yang memiliki dan pernah menggunakan barang palsu memiliki citra dan sikap positif terhadap barang palsu.

(25)

(Fishbein & Ajzen, 1975). Dalam penelitian ini dikhususkan pada sikap dan hubungannya dengan niat membeli.

Salah satu pendukung keinginan konsumen untuk membeli atau mengonsumsi suatu barang, khususnya barang palsu, adalah niat atau intensi. Theory of Planned Behavior mengemukakan bahwa niat atau intensi berperilaku merupakan suatu tahap sebelum akhirnya seseorang memunculkan suatu perilaku secara nyata (Fishbein & Ajzen, 1975). Niat membeli adalah penentu dari konsumen dalam melakukan suatu tindakan, seperti membeli suatu produk (Mowen, dalam Majesty, 2011). Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (dalam Majesty, 2011) niat membeli adalah suatu pendorong atau motif bersifat intrinsik yang mampu mendorong seseorang untuk menaruh perhatian pada suatu produk dan kemudian mengambil keputusan membeli. Niat membeli dapat dikatakan sebagai kecenderungan konsumen untuk melakukan pembelian suatu produk.

(26)

Konsumen yang melihat merek dan karakteristik desain, seperti logo dan warna sebagai hal penting akan memiliki niat membeli barang palsu produk bermerek. Pada kondisi ini konsumen tidak akan perduli terhadap kualitas buruk barang palsu (Yoo & Lee, 2009). Hal ini dikarenakan konsumen menggunakan produk palsu dari produk bermerek dengan tujuan untuk menunjukkan citra diri mereka dan ingin membuat orang lain terkesan kepada mereka (Ang.et.al dalam Hana, 2012). Selain itu, konsumen menggunakan barang palsu karena berharap dianggap sadar pada fashion (Eisend dan Schuchert-Guler, 2006). Pada kondisi ini, konsumen menggunakan barang palsu bukan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan memenuhi tuntutan prestise (Suwardhani, dalam Krisnamurti, 2012).

Tuntutan prestise yang ingin dipenuhi oleh konsumen guna memperoleh penghargaan dari orang lain. Konsumen membutuhkan penghargaan, perhatian, maupun dukungan dari orang lain untuk meningkatkan harga diri mereka (Maslow dalam Alwilsol, 2009). Sebaliknya, konsumen yang sedikit memperoleh penghargaan dan perhatian dari orang di sekitarnya akan merasa memiliki harga diri yang rendah dan membuat tidak percaya diri (Santrock, 2007). Selain itu, konsumen juga akan memiliki perasaan dan sikap inferior (Maslow, dalam Alwisol 2009; Yusuf & Nurihsan, 2007).

(27)

Harga diri seseorang sangat mempengaruhi perilaku individu (Marshall,

Marshall, Serran, & O’Brien, 2009). Ketika seseorang memiliki harga diri yang

tinggi, maka menimbulkan perasaan dan sikap percaya diri, diri berharga, dan perasaan berguna dan serta penting di dunia (Maslow, dalam Alwilsol, 2009). Selain itu, individu yang memiliki harga diri yang tinggi memiliki penilaian yang baik mengenai diri mereka sendiri (Wood, Heimpel & Michela, dalam Taylor,

Peplau, & O’Sears, 2009). Individu yang memiliki harga diri tinggi dapat

menerima dan mengenal segala keterbatasan dalam dirinya serta tidak merasa malu akan keterbatasan tersebut (Berne & Savary, 1988)

Harga diri mengalami perubahan sepanjang kehidupan manusia. Beberapa penelitian mengatakan bahwa harga diri cenderung turun drastis pada masa remaja (Santrock, 2002; Robins & Trzesniewski, 2005). Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak – kanak dengan masa dewasa yang dimulai dari usia 11 hingga 20 tahun (Santrock, 2002, 2007, 2011; Papalia, Old, & Feldmen, 2008; Sarwono, 2007). Harga diri menurun di masa remaja dikarenakan remaja memiliki pencitraan tubuh yang negatif dan kurang puas dengan tubuhnya (Santrock, 2002; Hurlock, 1991). Perubahan fisik yang dialami oleh remaja membuat remaja merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya. Perubahan fisik merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada masa transisi antara masa kanak – kanak dengan masa dewasa (Santrock, 2007).

(28)

membesarnya pinggul dan payudara. Perubahan kognitif yang terjadi pada masa remaja adalah berkembangnya pemikiran yang lebih abstrak, logis, dan lebih idealistis serta lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri (Santrock, 2002). Perubahan sosio-emosional pada remaja membuat emosi remaja tidak terkendali. Remaja juga merasa iri hati terhadap orang yang memiliki benda lebih dari miliknya. Pengaruh lingkungan sosial juga memberikan dampak yang lebih besar pada remaja, terutama pengaruh kelompok sosial (Hurlock, 1991).

Perubahan – perubahan tersebut membuat remaja selalu membandingkan diri mereka dengan teman sebayanya dan akan merasa tertekan jika mereka menilai diri mereka lebih rendah (Hurlock, 1973). Hal ini membuat remaja berusaha untuk selalu tampil sama dengan teman sebayanya dan tampil dengan penampilan yang baik. Tampilan fisik yang baik merupakan sesuatu yang dapat meningkatkan kepercayaan diri remaja dan membuat mereka dapat diterima oleh lingkungan sosial. Penjelasan ini menunjukkan bahwa penerimaan lingkungan sosial memiliki peran penting pada masa remaja (Hurlock, 1973).

(29)

teman – temannya. Hal ini sesuai dengan keadaan saat ini, menurut beberapa pemilik butik tas bermerek di Jakarta, saat ini konsumen mereka tidak hanya dari kalangan perempuan berusia 30-an tahun ke atas melainkan sudah merambah ke usia remaja. Saat ini remaja mulai berburu tas – tas dengan merek terkenal (Kompas, 2011). Hal serupa diungkapkan pula dalam Kedaulatan Rakyat (2013) bahwa remaja saat ini gemar membeli barang – barang bermerek, seperti tas, sepatu, dan dompet. Hal ini menunjukkan bahwa keinginan remaja menggunakan barang bermerek tinggi.

Bagi remaja dengan keadaan ekonomi yang baik, akan memiliki kemampuan untuk menunjang penampilan dengan barang bermerek . Akan tetapi, bagi remaja dengan keadaan ekonomi rendah akan memutuskan untuk membeli barang palsu produk bermerek. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh majalah Cita Cinta (2012), sebanyak 51% responden yang merupakan wanita usia 20 tahun melakukan pembelian barang palsu. Pembelian barang palsu produk bermerek ini dilakukan oleh remaja agar dapat tampil gaya dan sama dengan lingkungan sosialnya.

(30)

2006), dan perilaku membeli kompulsif (Wulandari, 2012). Selain itu, harga diri juga memiliki hubungan dengan dukungan sosial dari orang – orang di sekitarnya (Nurmalasari, 2007) dan interaksi sosial (Widodo & Pratitis, 2013). Penelitian sebelumnya yang terkait dengan niat membeli barang palsu produk bermerek dijelaskan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi niat beli konsumen. Hal tersebut meliputi sikap konsumen terhadap barang palsu, karakteristik pribadi konsumen, pembelian masa lalu, dan persepsi konsumen mengenai status sosialnya di masa yang akan datang (Wee, Tan, & Cheok, 1995; Matos, Ituassu, & Rossi, 2007; Yoo & Lee, 2009; Kim & Karpova, 2010).

Pada penelitian ini, peneliti secara khusus ingin melihat hubungan antara harga diri pada konsumen remaja dan niat membeli barang palsu produk bermerek. Hal ini dikarenakan niat membeli merupakan salah satu bagian dari perilaku konsumen dan dikatakan sebagai penentu konsumen dalam memunculkan suatu perilaku. Penelitian – penelitian sebelumnya yang terkait dengan perilaku konsumen terkait barang palsu produk bermerek menyatakan bahwa niat membeli barang palsu dapat memprediksi perilaku pembelian konsumen (Moores & Chang; Penz & Stottinger, dalam Eisend & Schuchert-Guler, 2006).

Rumusan Masalah

(31)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan niat membeli terhadap barang palsu produk bermerek pada remaja.

C. Manfaat Penelitian

1. Teoretis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang ilmu psikologi, yaitu khususnya bidang psikologi konsumen dan psikologi perkembangan, dalam hal hubungan antara harga diri pada remaja dan niat beli terhadap suatu produk.

2. Praktis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi : a. Bagi subjek

Diharapkan remaja sebagai subjek dalam penelitian ini memperoleh informasi mengenai tingkat harga diri pada diri mereka. Hal ini dikarenakan harga diri memiliki pengaruh pada sikap dan perilaku mereka. Pada penelitian ini dikhususkan pada perilaku remaja sebagai konsumen dalam mengonsumsi barang, terutama barang palsu produk bermerek.

b. Bagi Orang tua

(32)

mendidik dan mengawasi perilaku remaja sebagai konsumen dalam mengonsumsi barang dan jasa.

c. Bagi peneliti selanjutnya

(33)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. HARGA DIRI

1. Pengertian Harga Diri

Harga diri adalah penilaian yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya yang tumbuh dan berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya. Penilaian tersebut terdiri dari sikap penerimaan atau penolakan terhadap dirinya sendiri, kepercayaan pada kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan dirinya (Coopersmith, 1967). Menurut Maslow (dalam Alwilsol, 2009), harga diri adalah perasaan seseorang terhadap keberhargaan dan keyakinan dirinya. Harga diri didasarkan pada kompetensi nyata dan bukan sekadar opini orang lain. Santrock (2002) mengatakan bahwa harga diri adalah dimensi penilaian global dari diri, harga diri juga diacu sebagai nilai diri atau citra diri.

Harga diri juga didefinisikan sebagai sikap, perasaan dan hasil penilaian tentang dirinya sendiri, dimana individu tidak hanya menilai seperti apa diri kita, tetapi juga menilai kualitas – kualitas diri kita (Taylor,

Peplau, & O’Sears, 2009; Sancheti, 2009). Harga diri juga terkait erat

(34)

Friestad, 1998; Marshall, Marshall, Serran, & O’Brien, 2009). Harga diri juga dapat mempengaruhi proses berpikir, perasaan dan tingkat emosi, serta keinginan dan tujuan individu (Branden, 1981).

Berdasarkan paparan definisi mengenai harga diri, maka dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan penilaian individu, baik penilaian individu yang positif maupun negatif, mengenai kualitas, kemampuan, keberhargaan dan keberhasilan dirinya.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harga diri yang dimiliki oleh seseorang. Coopersmith (dalam Burn, 1998) menyebutkan bahwa pengalaman, polah asuh, dan lingkungan dapat mempengaruhi harga diri.

a. Pengalaman

Pengalaman merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup individu. Harga diri yang dimiliki oleh individu merupakan hasil dari pengalaman yang diperolehnya dan proses belajar yang terjadi secara terus-menerus (Rice, 1996)

b. Pola asuh

(35)

anak-anak dalam batas-batas yang telah ditentukan serta hubungan komunikasi yang baik juga memiliki dampak penting yang menentukan harga diri anak (Coopersmith, dalam Santrock 2002; Rice, 1996). Remaja yang memiliki kedekatan dengan ibu mereka memiliki kepercayaan diri dan mampu mengendalikan diri. Hubungan yang baik dan dekat dengan ayah membuat remaja memiliki harga diri tinggi (Rice, 1996).

c. Lingkungan

Lingkungan memberikan dampak besar kepada individu melalui hubungan baik antara orang tua, teman sebaya dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan harga dirinya. Hal ini dikarenakan penilaian orang – orang di lingkungan sekitar juga memberikan dampak pada harga diri seseorang (Rose, Boush, & Friestad, 1998). Pada remaja, teman sebaya memberikan dampak paling besar terhadap harga diri individu (Rice, 1996).

d. Penampilan fisik

(36)

ini membuat remaja mengembangkan gambaran diri yang negatif dan harga diri yang negatif pula.

e. Kelas sosial

Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan, dan tempat tinggal yang dimiliki oleh individu. Individu yang memiliki pekerjaan dan pendapatan yang lebih tinggi dipandang lebih sukses di mata masyarakat dan mendapat keuntungan material dan budaya. Hal ini membuat individu yang memiliki kelas sosial tinggi akan memandang dirinya lebih berharga.

Berdasarkan uraian di atas, maka faktor – faktor yang berpengaruh terhadap harga diri seseorang adalah pengalaman yang dimiliki oleh individu, pola asuh, lingkungan di sekitar individu, penampilan fisik, dan kelas sosial.

3. Aspek – aspek dalam Harga Diri

Menurut beberapa ahli terdapat aspek – aspek yang membentuk harga diri seseorang, yaitu :

a. Kekuatan (power)

(37)

kemampuan diri. Individu dengan harga diri tinggi dapat membina hubungan yang sehat dengan orang lain serta memperlakukan orang lain tanpa kekerasan (Berne & Savary, 1988). Di sisi lain, individu dengan harga diri yang rendah memiliki reaksi emosional dan perilaku yang buruk dalam merespon tanggapan negatif dari orang lain (Taylor, Peplau, & O’Sears, 2009).

b. Keberartian

Keberartian dimaksudkan seberapa besar seseorang percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, dan berharga menurut standar nilai pribadinya. Keberartian tersebut diperoleh dari penerimaan, penghargaan, perhatian dan kasih sayang dari orang lain yang ada di sekitarnya (Coopersmith, 1967). Individu juga mendapat dukungan emosional dan persetujuan sosial (Santrock, 2007). Semakin banyak individu memperoleh ekspresi kasih sayang, individu akan semakin merasa berarti. Sebaliknya, individu yang jarang memperoleh stimulus positif atau mendapatkan penolakan akan merasa memiliki harga diri yang rendah (Santrock, 2007).

c. Kebaikan

(38)

lingkungannya (Santrock, 2007; Coopersmith, 1967). Semakin taat seseorang mengikuti aturan yang telah ditetapkan masyarakat, maka semakin besar penerimaan dari masyarakat.

d. Kemampuan

Kemampuan ini ditunjukkan dengan keberhasilan individu untuk memenuhi segala tuntutan prestasi (Coopersmith, 1967). Individu yang memiliki harga diri yang tinggi apabila mereka dapat tampil secara kompenten dalam bidang yang penting untuk dirinya (Santrock, 2007). Individu juga mampu mengatasi situasi yang sulit dan suka jika mendapatkan tugas yang menantang bagi dirinya (Taylor, Peplau, & O’Sears, 2009). Individu dengan harga diri tinggi juga lebih memiliki

inisiatif dalam menyelesaikan tugas – tugasnya (Baumeister, dalam Santrock, 2007). Sebaliknya individu dengan harga diri yang rendah cenderung pesimis dalam menghadapi masa depan dan menghindari tugas – tugas yang menantang (Taylor, Peplau, & O’Sears, 2009). Individu dengan harga diri rendah juga kurang dapat mengekspresikan diri dan tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak memiliki keyakinan untuk menyelesaikan tugas – tugasnya (Coopersmith, 1967).

(39)

4. Harga Diri pada Remaja

Selama rentang kehidupan manusia, harga diri pada masing – masing individu mengalami perubahan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa harga diri meningkat pada masa kanak – kanak dan juga masa dewasa. Sebaliknya mengalami penurunan pada masa remaja (Trzesniewski & Robins, 2005; Santrock, 2007). Penurunan harga diri pada masa remaja ini seringkali dikaitkan dengan citra tubuh dan masalah lainnya yang terkait dengan pubertas. Pada masa remaja awal, harga diri pada individu menurun dikarenakan remaja memiliki citra tubuh yang lebih negatif, terutama pada remaja putri. Penampilan fisik secara khusus memberikan kontribusi terhadap harga diri remaja (Trzesniewski & Robins, 2005; Harter, dalam Santrock, 2007).

Harga diri yang rendah pada masa remaja juga dikarenakan meningkatnya relasi sosial mereka dan kegagalan masyarakat untuk menghargai minat mereka. Konteks sosial seperti keluarga, teman – teman sebaya, dan sekolah memiliki pengaruh terhadap perkembangan harga diri remaja (Santrock, 2007). Penilaian dari teman – teman sebaya memiliki arti yang sangat penting pada masa perkembangan remaja.

5. Dampak Harga Diri

(40)

harga diri rendah cenderung memiliki kepercayaan diri rendah. Menurut Lauster (1990) rasa percaya diri merupakan sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh orang di sekitarnya. Brennecke dan Amich (dalam Kusumastuti, 2005) mengatakan bahwa rasa percaya diri merupakan suatu perasaan aman dan mengetahui apa yang dibutuhkan dalam kehidupannya. Hal ini membuat individu tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dalam menentukan suatu standar.

Menurut Lauster (1990), rasa percaya diri bukan hal yang bersifat diturunkan (bawaan), melainkan terbentuk dan berkembang dari proses belajar dan interaksi individu dengan lingkungan sekitar. Individu yang memiliki rasa percaya diri tidak mementingkan diri sendiri, cukup toleran, dan memiliki rasa optimisme (Lauster, 1990). Sedangkan Taylor (dalam Sudarjo & Purnamaningsih, 2003) mengatakan bahwa individu yang memiliki rasa percaya diri adalah individu yang memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri.

(41)

B. NIAT BELI BARANG PALSU PRODUK BERMEREK

1. Definisi Niat

Niat atau intensi merupakan (1) maksud atau tujuan suatu perbuatan, (2) kehendak atau keinginan untuk melakukan sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia.org). Sementara Sumarwan (2011) mengungkapkan niat adalah kecenderungan atau keinginan kuat dari individu untuk melakukan perilaku tertentu.

Niat berperilaku merupakan suatu tahap yang terjadi pada individu sebelum memunculkan suatu perilaku secara nyata (Fishbein & Ajzen, 1975). Sebelum bertindak, individu seringkali mengembangkan keinginan atau niat untuk berperilaku berdasarkan kemungkinan tindakan yang akan dilakukan (Mowen & Minor, 2002). Perilaku yang dimunculkan oleh individu tergantung oleh niat yang dimilikinya (Ajzen, 2005). Menurut Peter & Olson (2013), niat adalah sebagai rencana untuk melakukan perilaku spesifik dalam rangka mencapai suatu tujuan.

(42)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa niat adalah kecenderungan atau keinginan individu untuk memunculkan suatu perilaku dalam mencapai suatu tujuan.

2. Penjelasan Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)

Teori perilaku terencana (Theory of Planned Behavior) merupakan pengembangan dari teori perilaku berasalan (Theory of Reasoned Action) (Ajzen, 2005). Pada teori perilaku beralasan dinyatakan bahwa niat untuk memunculkan suatu perilaku atau tidak dimunculkan perilaku tersebut dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yaitu sikap terhadap perilaku (attitude towards behavior) dan berhubungan dengan pengaruh sosial, yaitu norma subjektif (subjective norm). Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai pengaruh sikap terhadap perilaku dan norma subjektif, Fishbein and Ajzen (1975) melengkapi teori ini dengan keyakinan (beliefs). Keyakinan perilaku (behavioral beliefs) dijelaskan sebagai hal yang mendasari sikap individu terhadap perilaku, sedangkan keyakinan normatif (normative beliefs) mendasari norma subjektif individu.

(43)

diperolehnya dari keyakinan terhadap kontrol tersebut (control belief). Teori perilaku terencana dapat dijelaskan melalui bagan di bawah ini :

Bagan 1. Theory of Planned Behavior (Ajzen, 2005)

(44)

Keyakinan normatif (normative beliefs) adalah persepsi individu tentang tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Keyakinan normatif berhubungan dengan harapan-harapan yang berasal dari referent atau orang dan kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua, pasangan, teman dekat, rekan kerja, dan lainnya. Keyakinan normatif akan menentukan norma subjektif pada individu. Norma subjektif merupakan faktor sosial yang menunjukkan tekanan sosial yang dirasakan oleh individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Norma subjektif juga dipengaruhi oleh keinginan untuk mengikuti (motivation to comply) (Ajzen, 2005). Keinginan untuk mengikuti (motivation to comply) adalah motivasi seseorang untuk mematuhi berbagai kelompok referensi yang sesuai dengan karakteristik pribadinya dan harga dirinya (Fishbein & Ajzen, 1975).

(45)

pengalaman masa lalu dan hambatan yang dialaminya. Kontrol perilaku yang diterima dikatakan memiliki dampak langsung terhadap perilaku dan dampak tidak langsung pada perilaku yang dihubungkan melalui niat. Dampak tidak langsung didasarkan pada asumsi bahwa kontrol perilaku yang diterima memiliki implikasi pada niat individu untuk melakukan suatu perilaku. Individu yang percaya bahwa mereka tidak memiliki sumber daya atau peluang untuk melakukan perilaku tertentu tidak mungkin untuk membentuk niat, walaupun mereka memiliki sikap positif pada perilaku tersebut dan percaya bahwa orang di sekitarnya mendukungnya. Hal ini membuat kontrol perilaku yang diterima dapat mempengaruhi perilaku secara tidak langsung, melalui niat. Kontrol perilaku yang diterima juga dapat mempengaruhi perilaku secara langsung jika perilaku tersebut memiliki beberapa aspek yang tidak berada di bawah kontrol kehendak dan juga akuratnya persepsi kontrol atas perilaku tersebut (Ajzen, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa individu berniat untuk melakukan perilaku ketika mereka mengevaluasi secara positif, ketika individu mengalami tekanan sosial untuk melakukan perilaku tersebut, dan ketika individu percaya memiliki sarana dan kesempatan untuk melakukannya.

3. Definisi Niat Membeli

(46)

dalam mengonsumsi barang dan jasa, yaitu mengenali kebutuhan, mencari solusi dan informasi, mengevaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku setelah membeli (Engel, Blackwell, & Miniard, 1995; Kotler, 2005; Mowen & Minor, 2002; Sumarwan, 2011). Namun, sebelum konsumen sampai pada tahap mengambil keputusan untuk membeli, konsumen membentuk niat membeli (Mowen & Minor, 2002; Peter & Olson, 2013).

Niat membeli muncul dari proses mengidentifikasi, mengevaluasi, pemilihan atau pengambilan keputusan di antara semua alternatif yang dimiliki (Peter & Olson, 2013). Menurut Mowen dan Minor (2002), niat membeli adalah keinginan konsumen untuk berperilaku menurut cara tertentu dalam rangka memiliki, menggunakan ataupun membuang produk atau jasa. Keinginan atau niat konsumen untuk berperilaku biasanya menghasilkan perilaku pembelian. Assael (1992) menyatakan bahwa niat membeli merupakan kecenderungan konsumen untuk membeli suatu merek atau produk. Niat membeli tersebut diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian.

(47)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Niat Membeli Konsumen

Niat membeli merupakan bagian dari perilaku konsumen. Perilaku konsumen dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor budaya, sosial, pribadi, dan faktor psikologis (Kotler & Amstrong, 2004).

a. Faktor Budaya

Faktor budaya ini terdiri dari : budaya, budaya, subbudaya, dan kelas sosial.

1. Budaya

Budaya adalah serangkaian nilai, persepsi, keinginan dan perilaku dasar yang dipelajari oleh anggota masyarakat dari keluarga dan instansi penting. Perlu diingat, setiap kelompok atau masyarakat memiliki budaya dan pengaruh budaya pada perilaku konsumen beragam dari satu negara ke negara yang lain.

2. Subbudaya

Subbudaya meliputi kewarganegaraan, agama, kelompok ras, dan daerah geografis. Subbudaya ini terbentuk dari sistem nilai yang sama berdasarkan pengalaman dan situasi kehidupan yang serupa. 3. Kelas sosial

(48)

b. Faktor Sosial

Faktor-faktor sosial yang disebutkan oleh Kotler memberikan pengaruh terhadap perilaku membeli konsumen, yaitu kelompok, keluarga, serta peran dan status.

1. Kelompok

Perilaku konsumen banyak dipengaruhi oleh kelompok kecil ataupun kelompok acuan. Kelompok acuan memberikan ilham pada seseorang mengenai perilaku dan gaya hidup baru, mempengaruhi sikap dan konsep diri konsumen dan menciptakan tekanan yang harus ditaati yang mungkin mempengaruhi orang lain. Arti penting kelompok itu berbeda-beda di antara produk dan merek.

2. Keluarga

Anggota keluarga memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku konsumen dalam mengonsumsi barang dan jasa.

3. Peran dan status

Posisi tiap orang dalam sebuah kelompok dapat didefinisikan berdasarkan peran dan statusnya.

c. Faktor Pribadi

(49)

1. Umur dan tahap siklus hidup

Umur dan tahap siklus hidup merupakan salah satu dari karakteristik seseorang. Sepanjang hidupnya orang akan mengubah barang dan jasa yang dibelinya, selera orang terhadap suatu hal sangat terkait dengan umurnya.

2. Pekerjaan dan situasi ekonomi

Pekerjaan dan situasi ekonomi individu pun akan mempengaruhi barang dan jasa yang akan dibeli oleh konsumen. Konsumen yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang akan membeli barang yang berbeda dengan seseorang yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai bank.

3. Gaya hidup

Gaya hidup konsumen pun ikut mempengaruhi perilaku membelinya. Konsep gaya hidup dapat memahami perubahan nilai konsumen dan bagaimana perubahan itu mempengaruhi perilaku pembelian.

4. Kepribadian dan konsep diri

(50)

tentang diri sendiri, harapan tentang diri sendiri, dan evaluasi diri atau harga diri (Caulhoun dan Acocella, 1995; Coopersmith, 1967). d. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang terdapat di dalam diri konsumen memberikan pengaruh terhadap perilaku pembelian, yang meliputi motivasi, persepsi, proses belajar, dan keyakinan serta sikap (Kotler, 2005). 1. Motivasi

Setiap waktu individu memiliki banyak kebutuhan, baik itu kebutuhan biologis, seperti rasa lapar, haus. Maupun kebutuhan psikologis, seperti rasa ingin dikenal, penghargaan, atau kepemilikan. Kebutuhan akan menjadi motif bila dirangsang hingga ke tingkatan intensitas tertentu. Motif (dorongan) adalah kebutuhan yang mendorong individu secara kuat mencari kepuasan atas kebutuhan tersebut

2. Persepsi

(51)

3. Proses belajar

Proses belajar dan hasil belajar seseorang juga memiliki pengaruh terhadap perilaku konsumen. Proses belajar menunjukkan perubahan perilaku seseorang karena pengalaman. Konsumen menentukan apakah melakukan kegiatan pembelian suatu produk atau tidak ditentukan oleh pengalaman yang dimiliki sebelumnya. 4. Memori

Memori merupakan penyimpanan informasi dan pengalaman yang diperoleh konsumen sepanjang masa hidupnya. Pengalaman dan informasi inilah yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam mengonsumsi barang dan jasa.

(52)

5. Aspek – aspek Niat Membeli

Menurut Ajzen (2005), intensi atau niat dapat memprediksi individu untuk menunjukkan suatu perilaku tertentu ataupun tidak memunculkan perilaku. Begitu juga dengan perilaku membeli, niat membeli dapat memprediksi perilaku konsumen dalam membeli suatu barang dan jasa (Mowen & Minor, 2002). Terdapat tiga aspek niat membeli yang berasal dari aspek – aspek niat, yaitu :

a. Sikap konsumen terhadap perilaku membeli

Ketika individu memiliki keyakinan bahwa perilaku yang dimunculkan dapat menghasilkan hasil yang positif maka individu memiliki sikap positif terhadap perilaku tersebut, begitu pula sebaliknya. Sehingga individu yang memiliki keyakinan bahwa perilaku membeli yang akan dilakukan memiliki dampak yang positif maka memunculkan sikap yang positif terhadap perilaku membeli tersebut. Begitu pula sebaliknya, ketika individu memiliki keyakinan yang negatif maka akan terbentuk sikap yang negatif.

b. Norma subjektif terhadap perilaku membeli

(53)

individu tersebut akan memunculkan perilaku membeli terhadap produk.

c. Kontrol perilaku yang diterima

Kontrol perilaku merupakan keyakinan individu mengenai ada atau tidaknya faktor – faktor yang mendukung atau menghalangi untuk melakukan perilaku tertentu. Faktor – faktor yang dikatakan dapat mendukung individu, misalnya tersedianya dana dan waktu untuk membeli suatu produk. Faktor – faktor yang menghalangi individu untuk memunculkan suatu perilaku, misalnya tidak tersedianya dana, waktu serta tidak tersedianya produk yang ingin dibeli.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat tiga aspek niat membeli yang berasal dari aspek – aspek niat, yaitu sikap terhadap perilaku membeli, norma subjektif terhadap perilaku membeli, dan kontrol perilaku terhadap perilaku membeli.

C. BARANG PALSU

1. Definisi Barang Palsu

(54)

barang yang melanggar merek dagang dan hak cipta dikarenakan adanya peniruan kemasan, label, dan merek dengan barang asli (Eisend dan Schuchert-Guler, 2006).

Produk merupakan segala sesuatu yang dihasilkan dan ditawarkan produsen kepada konsumen, meliputi barang dan jasa (Aaker & Joachimstahler, dalam Ferrinadewi 2008). Sedangkan merek adalah nama, istilah, simbol, desain, dan kombinasi keseluruhannnya, yang ditujukan untuk mengindetifikasi barang atau jasa dan membedakannya dari produk pesaing (Kotler & Amstrong, dalam Ferrinadewi 2008). Jadi, dapat disimpulkan bahwa produk bermerek adalah barang dan jasa yang dihasilkan produsen yang memiliki nama, symbol, desain, serta kombinasi keseluruhannya untuk mengindentifikasi serta sebagai diferensiasi dengan produk pesaing.

(55)

2. Penggolongan Barang Palsu

Menurut Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (2009) barang palsu dapat digolongkan menjadi empat jenis yang didasarkan pada tingkat pelanggarannya, yaitu:

a. Produk palsu sejati, ini merupakan pemalsuan yang dilakukan dengan meniru benar – benar sama dengan produk aslinya.

b. Produk palsu yang tampak serupa, pemalsuan ini memiliki sedikit perbedaan dengan produk aslinya. Perbedaan tersebut bisa dalam hal label ataupun pengemasan produk.

c. Reproduksi, ini merupakan pemalsuan yang dilakukan dalam bidang seni, misalnya lukisan atau foto. Dalam hal ini, konsumen telah mengetahui dan diberitahu bahwa produk tersebut adalah reproduksi. d. Imitasi tak meyakinkan, adalah pemalsuan yang dilakukan dengan

sangat buruk dan memiliki kualitas yang buruk. Produk yang dihasilkan sangat terlihat jelas perbedaannya dengan produk aslinya.

Berdasarkan paparan di atas, terdapat empat golongan barang palsu, yaitu produk palsu sejati, produk palsu yang tampak serupa, reproduksi, dan imitasi tak meyakinkan. Pada kesempatan ini, golongan produk palsu sejati yang akan digunakan dalam penelitian ini.

3. Penggolongan Pemalsuan Produk

(56)

segera menyadarinya. Terdapat dua jenis pemalsuan suatu produk, yaitu Deceptive Counterfeiting (Pemalsuan yang bersifat memperdayai) dan

Non-DeceptiveCounterfeiting (Pemalsuan yang tidak bersifat

memperdayai).

a. Deceptive Counterfeiting adalah pemalsuan yang dilakukan tanpa sepengetahuan konsumen. Konsumen tidak bisa dengan mudah mengamati kualitas produk yang mereka beli. Konsumen juga tidak mudah menyadari perbedaan antara barang palsu dengan barang aslinya. Pemalsuan ini dilakukan untuk memperdayai, menipu, bahkan berbohong dengan mengatakan bahwa produk yang mereka jual adalah produk asli (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan, 2009; Grossman & Shapiro, 1988).

b. Non-Deceptive Counterfeiting atau pemalsuan yang tidak bersifat memperdayai adalah pemalsuan yang dilakukan dengan sepengetahuan konsumen. Barang yang dijual oleh penjual memang diakui sebagai barang palsu. Konsumen telah mengetahui dan diberitahu mengenai produk tersebut (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan, 2009; Grossman & Shapiro, 1988).

(57)

Counterfeiting dengan konsumen yang menyadari melakukan pembelian barang palsu.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Barang Palsu

Menurut Eisend dan Schuchert-Guler (2006) faktor utama seseorang melakukan pembelian barang imitasi adalah dikarenakan harga barang imitasi yang jauh lebih murah. Hal ini sangat diterima positif terutama oleh konsumen yang memiliki tingkat pendapatan yang rendah. Beberapa hasil penelitian lainnya menyebutkan terdapat faktor lainnya, selain harga murah, yang menyebabkan konsumen berniat untuk membeli barang palsu.

Sikap konsumen terhadap produk palsu mempengaruhi niat konsumen dalam melakukan pembelian produk palsu. Konsumen yang memiliki sikap positif terhadap produk palsu akan melakukan pembelian produk palsu. Sebaliknya, konsumen yang memiliki sikap negatif terhadap barang palsu akan memutuskan untuk membeli produk asli (Matos, Ituassu, & Rossi, 2007; Yoo & Lee, 2009). Konsumen yang menghindari risiko akan menghindari melakukan pembelian barang palsu (Matos, Ituassu, & Rossi, 2007).

(58)

tinggi, konsumen akan lebih sensitif terhadap harga dan memilih produk asli (Yoo & Lee, 2009). Selain itu, peran keluarga dan teman – teman sebaya juga memberikan pengaruh. Ketika keluarga dan teman – teman sebaya menyetujui atau menerima produk palsu, maka konsumen akan lebih mudah untuk memutuskan membeli produk palsu (Matos, Ituassu, & Rossi, 2007).

Faktor personal yang dikatakan berhubungan dengan pembelian produk palsu adalah umur dan siklus hidup, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri konsumen (Trisdianto, 2012; Ang, Cheng, Lim, & Tambayah, dalam Hana, 2012). Konsumen akan membeli produk yang sesuai dengan konsep dirinya untuk mengesankan orang lain. Konsumen yang memiliki konsep diri yang positif akan memutuskan untuk membeli produk asli. Hal ini dikarenakan produk asli dianggap dapat menyampaikan citra kemakmuran dan kelas sosial yang tinggi (Yoo & Lee, 2009).

Konsumen yang mengejar manfaat hedonis dari pembelian suatu produk akan berniat untuk membeli produk palsu. Dimana konsumen melihat merek, brand, dan logo produk sebagai suatu yang utama. Konsumen tidak memperdulikan kualitas dari produk tersebut (Yoo & Lee, 2009).

(59)

adalah 1). harga, 2). faktor sosial (meliputi kelompok kecil, keluarga serta peranan dan status sosial), 3). faktor personal (meliputi umur dan siklus hidup, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri), 4). sikap konsumen terhadap barang palsu, dan 5). manfaat hedonis dari barang palsu.

D. REMAJA

1. Definisi Remaja

Masa remaja merupakan salah satu masa dalam rentang kehidupan manusia, peralihan antara masa anak – anak dengan masa dewasa. Remaja mengalami perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan sosio-emosi (Santrock, 2002, 2007, 2011; Papalia, Old, & Feldmen, 2008). Masa remaja juga dikatakan sebagai masa pertumbuhan ke arah kematangan, baik kematangan fisik, sosial-psikologis, dan kematangan sosial-ekonomi yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2007; WHO dalam Sarwono 2007).

(60)

Rentang usia remaja menurut WHO dimulai sekitar usia 10 hingga 20 tahun (Sarwono, 2007). Tidak jauh berbeda, Santrock mengatakan usia remaja dimulai sekitar usia 11 tahun hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun (2007). Monks dan Knoer (2006) menambahkan usia remaja berlangsung dari usia 12 tahun hingga 21 tahun.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak – anak menuju masa dewasa yang diikuti dengan perubahan fisik, kognitif, dan sosio-emosi. Usia remaja dimulai sekitar usia 11 tahun dan berakhir pada usia 22 tahun.

2. Tahap Perkembangan Remaja

(61)

a. Masa Remaja Awal

Masa remaja awal dimulai dari usia 11 hingga 16 tahun yang berlangsung di masa sekolah menengah pertama (Santrock, 2007; Papalia, Old, & Fieldman, 2008; Sullivan dalam Alwilsol, 2009). Masa remaja awal merupakan masa transisi keluar dari masa anak – anak dimana terjadi perubahan fisik yang sangat cepat. Hal ini yang membuat remaja merasa heran akan perubahan – perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri (Sarwono, 2007; Hurlock, 1991). Perubahan fisik yang cepat ini juga berhubungan dengan meningginya emosi (Hurlock, 1991). Remaja pada masa ini juga mengalami perkembangan kognitif, sosial, otonomi, harga diri dan intimasi (Papalia, Old, & Fieldman, 2008).

Rasa percaya terhadap diri sendiri juga berganti dengan rasa meragukan diri sendiri pada masa remaja awal (Soesilowindradini, ---; Mappiare,1982). Hal ini membuat remaja selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kelompoknya (Hurlock, 1991).

(62)

dukungan dari orang tua ini dapat membuat remaja merasa aman serta masa transisi ini berhasil terlewati dengan baik (Papalia, Old, & Fieldman, 2008; Santrock, 2007).

b. Masa Remaja Akhir

Masa remaja akhir dimulai ketika remaja memasuki usia 17 tahun atau 18 tahun dan berakhir pada usia 22 tahun (Sullivan dalam Alwilsol, 2009; Hurlock, 1991). Pada masa ini, remaja tidak lagi merasa di bawah tingkat orang dewasa melainkan berada dalam tingkatan yang sama. Hal ini membuat remaja mulai memusatkan diri untuk berperilaku seperti orang dewasa, misalnya dengan berpakaian layaknya orang dewasa dan merokok (Hurlcok, 1991). Selain itu, minat remaja pada masa ini pun mulai mengarah kepada masalah pekerjaan dan hubungan yang serius terhadap lawan jenis.

Remaja pada masa ini juga tidak lagi hanya memusatkan perhatian pada dirinya sendiri, namun mulai memperhatikan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain (Sarwono, 2007). Berbeda dengan masa remaja awal, remaja pada masa ini mulai mendambakan identitas diri dan tidak ingin selalu memiliki kesamaan dengan teman- temannya (Hurlock, 1991).

3. Aspek – aspek Perkembangan Remaja

a. Perkembangan Fisik

(63)

perubahan yang dialami oleh remaja, yaitu perubahan dalam proposisi dan bentuk tubuh, serta pencapaian kematangan seksual. Remaja akan mengalami peningkatan yang drastis dalam hal tinggi dan berat tubuh serta mulai membesarnya payudara, mulai tumbuh rambut halus di bagian tubuh, suara yang lebih dalam (Santrock, 2011; Papalia, Old, & Fieldman, 2008; Hurlock, 1991).

Perkembangan dan perubahan fisik yang terjadi pada remaja ini menyebabkan remaja lebih memperhatikan penampilan fisiknya. Perubahan fisik ini menyebabkan remaja merasa tidak puas dengan keadaan tubuhnya dan memiliki citra tubuh yang negatif (Hurlock, 1991; Santrock, 2007, 2011). Beberapa peneliti mengatakan bahwa terdapat perbedaan gender sehubungan dengan persepsi remaja mengenai tubuhnya. Remaja putri merasa kurang puas dengan tubuhnya dan memiliki citra tubuh yang lebih negatif jika dibandingkan dengan remaja putra (Santrock, 2007, 2011).

b. Perkembangan Kognitif

(64)

tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka untuk membuat keputusan (Santrock, 2007).

Remaja juga berpikir lebih egosentris, dimana remaja sering kali memandang dirinya sebagai sosok yang unik dan tak terkalahkan (Santrock, 2007). Kosakata dan aspek perkembangan bahasa, terutama yang berkaitan dengan pemikiran abstrak, juga meningkat pada masa remaja. Remaja menikmati permainan kata dan menciptakan “dialek”

mereka sendiri (Papalia, Old, & Fieldman, 2008). c. Perkembangan Sosio-emosi

Dalam perkembangan sosial remaja, remaja lebih banyak meluangkan waktunya di luar rumah dan mendekatkan diri dengan teman – teman sebayanya. Remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan berusaha mencapai kemandirian serta menemukan identitas dirinya (Erikson, dalam Monks & Knoers, 2006; Hurlock, 1991; Santrock, 2007; Sarwono, 2007). Hal ini membuat pengaruh dari teman – teman sebayanya daripada pengaruh orang tua lebih besar, terutama pada sikap, minat, pembicaraan, dan penampilan (Hurlock, 1991). Terlihat dari keinginan untuk memiliki penampilan yang sama dengan teman – teman sebayanya.

(65)

Gejolak emosi juga dikarenakan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Emosi remaja sangat kuat, tidak terkendali, dan irasional, terutama di awal masa remaja. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan meledak – ledak seperti masa kanak – kanak. Remaja mengungkapkan amarahnya dengan menggerutu atau tidak mau berbicara (Hurlock, 1991).

E. Dinamika Hubungan Antara Harga Diri dan Niat Membeli Barang Palsu

Produk Bermerek

Masa remaja merupakan salah satu masa dalam rentang kehidupan manusia, peralihan antara masa anak – anak dengan masa dewasa. Usia remaja dimulai sekitar usia 11 tahun dan berakhir pada usia 22 tahun. Pada masa peralihan ini, remaja mengalami perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan sosio-emosi (Santrock, 2002,; 2007, 2011; Papalia, Old, & Feldmen, 2008). Perubahan yang paling terlihat pada masa remaja adalah perubahan fisik. Perubahan fisik pada remaja laki – laki, meliputi perubahan pada suara, membesarnya jakun, dan mulai tumbuh kumis. Perubahan fisik pada remaja perempuan, yaitu mulai mengalami menstruasi serta mulai membesarnya pinggul dan payudara.

(66)

perbandingan sosial membuat remaja menilai dirinya lebih buruk daripada teman sebayanya. Hal ini membuat remaja merasa tidak puas akan bentuk dan keadaan fisiknya (Hurlock, 1991; Santrock, 2007, 2011). Ketidakpuasan remaja pada kondisi tubuhnya membuat penurunan harga diri pada masa remaja (Hurlock, 1991; Santrock, 2007,2011; Trzesniewski & Robins, 2005). Hal serupa diungkapkan pula oleh Harter (dalam Santrock, 2007) penampilan fisik secara khusus juga berkontribusi terhadap harga diri remaja.

Harga diri adalah penilaian yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya. Penilaian tersebut terdiri dari sikap penerimaan atau penolakan terhadap dirinya sendiri, kepercayaan pada kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan dirinya (Coopersmith, 1967). Selain itu, harga diri juga dinyatakan sebagai sikap, perasaan, dan hasil penilaian tentang dirinya sendiri dan juga kualitas – kualitas dalam dirinya

(Taylor, Peplau, & O’Sears, 2009; Sancheti, 2009). Harga diri juga terkait

erat dengan penilaian yang diberikan oleh orang lain mengenai dirinya (Rose, Boush, & Friestad, 1998; Marshall, Marshall, Serran, & O’Brien, 2009).

(67)

Sebaliknya remaja yang mampu menerima perubahan – perubahan fisik yang terjadi secara positif akan memiliki harga diri yang tinggi. Remaja dengan harga diri yang tinggi akan memiliki kepercayaan diri pada kemampuan yang dimilikinya. Selain itu, remaja yang memiliki harga diri yang tinggi akan menunjukkan perilaku menerima dirinya apa adanya dengan segala keterbatasannya. Remaja dengan harga diri tinggi juga tidak merasa malu dengan keterbatasan yang dimilikinya dan merasa puas dengan karakter dan kemampuan diri (Berne & Savary, 1988; Rose, Boush, & Friestad, 1998).

(68)

Bagi remaja dengan keadaan ekonomi yang baik, akan memiliki kemampuan untuk menunjang penampilan dengan barang bermerek. Akan tetapi, bagi remaja dengan keadaan ekonomi rendah akan muncul niat membeli barang palsu produk bermerek. Pada kondisi ini, remaja sebagai konsumen tidak memperhatikan kualitas dari barang palsu tersebut. Remaja sebagai konsumen mengejar merek dan logo dari produk tersebut (Yoo & Lee, 2009).

Sebaliknya, remaja yang memiliki harga diri yang tinggi akan dapat menerima dirinya sendiri dengan segala keterbatasannya (Berne & Savary, 1988). Remaja dengan harga diri tinggi akan memiliki rasa percaya diri yang membuatnya tidak mudah terpengaruh dengan orang – orang di sekitarnya (Lautser, 1990). Hal ini membuat remaja dengan harga diri tinggi memiliki niat untuk melakukan pembelian berdasarkan aspek kegunaan dari produk, bukan hanya melihat aspek tampilannya saja (Rose, Boush, dan Friestad, 1998). Hal ini dikarenakan remaja yang memiliki harga diri tinggi akan merasa puas dengan kemampuannya dan apa yang dimilikinya tanpa harus mengikuti pengaruh orang – orang di sekitarnya untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.

(69)
(70)

Remaja

F. Skema Hubungan Antara Harga Diri dan Niat Membeli Barang Palsu

(71)

G. Hipotesis

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

(72)

51

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional. Penelitian korelasional merupakan penelitian yang menghubungkan antara variabel independen dengan variabel dependen (Suryabrata, 2008). Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan antara dua variabel, yaitu variabel harga diri dan niat membeli barang palsu produk bermerek.

B. Identifikasi Variabel

Variabel independent : harga diri

Variabel dependent : niat membeli barang palsu produk bermerek

C. Definisi Operasional

1. Harga Diri

(73)

2. Niat Membeli Barang Palsu Produk Bermerek

Niat membeli barang palsu produk bermerek adalah kecenderungan atau niat konsumen untuk membeli dan menggunakan barang yang diproduksi sama atau meniru barang aslinya ketika konsumen memiliki evaluasi positif terhadap perilaku membeli, mengalami tekanan sosial untuk melakukan perilaku membeli dan ketika konsumen percaya memiliki sarana dan kesempatan untuk melakukan perilaku membeli. Pada penelitian ini, jenis barang palsu yang digunakan adalah barang – barang fashion, seperti tas, pakaian, jam tangan, dan sepatu palsu. Niat membeli memiliki tiga aspek, yaitu aspek sikap terhadap perilaku membeli, norma subjektif terhadap perilaku membeli, dan kontrol perilaku yang diterima terhadap perilaku membeli. Niat membeli konsumen diukur menggunakan skala niat membeli barang palsu produk bermerek yang dibuat berdasarkan aspek – aspek niat membeli tersebut. Semakin tinggi skor total pada skala niat membeli barang palsu produk bermerek, maka semakin besar pula niat membeli individu terhadap barang palsu produk bermerek. Sebaliknya, semakin rendah skor total pada skala niat membeli barang palsu produk bermerek, maka semakin kecil pula niat membeli individu terhadap barang palsu produk bermerek.

D. Subjek Penelitian

(74)

penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel dan dipandang memenuhi kriteria (Taniredja & Mustafidah, 2011). Pemilihan metode sampling ini disebabkan untuk kemudahan akses dan kepraktisan peneliti dalam mencari subjek.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala yang terdiri dari dua skala. Skala tersebut adalah skala harga diri dan skala niat membeli barang palsu yang disusun oleh peneliti. Skala yang dipilih oleh peneliti adalah skala Likert yang merupakan alat untuk mengukur sikap pada suatu penelitian. Pada kedua skala yang digunakan terdiri dari empat alternatif jawaban. Alternatif jawaban Netral tidak diberikan, hal ini dikarenakan peneliti ingin meminimalisir adanya jawaban netral yang diberikan oleh subjek. Terdapatnya alternatif jawaban netral dapat membuat subjek kurang memaknai pernyataan yang ada sebagai bagian dari perilaku subjek. Selain itu jawaban netral dapat menutupi karakter personal yang sesungguhnya dalam diri individu. (Friedenberg,1995).

Kedua skala yang akan digunakan pada penelitian ini akan dibuat menjadi satu kesatuan booklet skala. Perincian skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Skala Harga Diri

(75)

unfavorable. Pernyataan favorable merupakan pernyataan positif yang mendukung aspek – aspek yang dijelaskan. Pernyataan unfavorable merupakan pernyataan negatif yang tidak mendukung aspek – aspek yang dijelaskan. Dalam penelitian ini subjek diminta untuk memilih empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS) (Azwar, 2009). Subjek diminta untuk memilih salah satu dari keempat alternatif jawaban yang menggambarkan keadaan diri subjek berdasarkan pernyataan yang diberikan.

(76)

Tabel 1.

Blue Print Skala Harga Diri Sebelum Seleksi Item

Aspek Item Total %

b. Skala Niat Membeli Barang Palsu

(77)

diminta untuk memilih salah satu dari keempat alternatif jawaban yang menggambarkan keadaan diri subjek berdasarkan pernyataan yang diberikan.

Penilaian pada jawaban favorable Sangat Sesuai (SS) adalah 4, Sesuai (S) adalah 3, Tidak Sesuai (TS) adalah 2, dan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) adalah 1. Sedangkan untuk penilaian pada jawaban unfavorable, yaitu Sangat Sesuai (SS) adalah 1, Sesuai (S) adalah 2, Tidak Sesuai (TS) adalah 3, dan Sangat Tidak Sesuai (STS) adalah 4.

Tabel 2.

Blue Print Skala Niat Membeli Sebelum Seleksi Item

(78)

F. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Validitas Skala

Validitas skala adalah kesesuaian skala untuk mengukur atribut yang hendak diukur (Sarwono, 2006). Skala dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila disusun berdasarkan batasan yang jelas dan terindentifikasi dengan baik (Azwar, 2009).

Pada penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi dilakukan dengan melihat relevansi item – item yang digunakan dapat mengukur variabel yang sedang diteliti (Sarwono, 2006). Validitas isi dilakukan dengan metode expert judgement dalam hal ini dosen pembimbing skripsi. Dosen pembimbing skripsi menguji kesesuaian item yang dibuat dengan aspek-aspek yang digunakan dalam variabel penelitian. (Azwar, 2007).

2. Seleksi Item

(79)

memiliki kualitas yang tidak baik, tidak dapat digunakan dalam skala dan akan digugurkan. (Azwar, 2009). Seleksi item menggunakan korelasi item total yang diolah dengan SPSS 16.0 for Windows. Item yang nantinya awal. Item yang lolos seleksi memiliki korelasi item total (rix) ≥ 0,30. Distribusi item pada skala harga diri dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3

Distribusi item Skala Harga Diri Setelah Seleksi Item

Aspek

(80)

Pada skala harga diri dari 40 item yang diujikan terdapat 8 item yang tidak sahih. Item-item tersebut adalah item dengan nomor 11, 12, 16, 26, 29, 32, 35, dan 38. Item-item tersebut memiliki

koefisien korelasi ≤0,30 yang berarti pernyataan pada item-item

tersebut memiliki daya beda yang rendah. (Azwar, 2009). Dengan demikian item-item tersebut merupakan item yang kurang baik untuk digunakan dalam pengambilan data. Item-item tersebut dinyatakan gugur dan tidak diikutsertakan dalam skala untuk pengambilan data.

b. Skala Niat Membeli Barang Palsu Produk Bermerek

Berdasarkan hasil uji coba item skala harga diri yang dilakukan terhadap 104 subjek terdapat 35 item yang sahih dari 42 item total awal. Item yang lolos seleksi memiliki korelasi item total (rix) ≥ 0,30. Distribusi item pada skala harga diri dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4

Gambar

Tabel 2. Kerangka Berpikir Penelitian..................................................................50
Grafik 2. Kurva Niat Membeli Barang Palsu Produk Bermerek...........................70
Tabel 1.
Tabel 2. Blue Print Skala Niat Membeli Sebelum Seleksi Item
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah ada hubungan kepuasan body image dengan harga diri pada remaja putri, sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindak

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN HARGA DIRI PADA REMAJAi.

Secara umum, tujuan dari penelitian ini untuk menguji model kausal yang diharapkan mampu menjelaskan hubungan kewajaran harga, persepsi atas kualitas produk,

Berdaarkan latas belakang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada perbeda an tingkat harga diri antara pelaku

Sebaliknya, remaja yang memiliki kepercayaan diri yang rendah terhadap dirinya sendiri maka akan muncul kemungkinan bahwa remaja tersebut akan mencoba untuk memperbaiki penampilan

Berdasarkan masalah-masalah yang telah peneliti rumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan hubungan antara harga diri ( self

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri dan citra tubuh pada remaja putri yang mengalami obesitas dari

Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku konsumtif pada remaja putri dalam berbelanja online produk fashion (r