• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN SENI LUKIS ANAK DI SEKOLAH DASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN SENI LUKIS ANAK DI SEKOLAH DASAR"

Copied!
379
0
0

Teks penuh

(1)

Gambar 1.

Hasil Karya Lukis Anak Kelas 1

Gambar 2.

(2)

Gambar 3.

Hasil Karya Lukis Anak Kelas 2

Gambar 4.

(3)

Gambar 5.

Hasil Karya Lukis Anak Kelas 3

Gambar 6.

(4)

Yogyakarta State University, 2009.

This study aim at developing an assessment specification for children’s painting in elementary schools by developing a valid and reliable assessment instrument to measure the performance of children’s painting. The development of this assessment instrument was intended to guide the painting teachers in elementary schools in carrying out assessment objectively.

This study is a development research which uses quantitative and qualitative approaches. The development process was carried out in five phases, covering initial study, defining, designing, developing, and dissemination phases. The subjects of this study were elementary schools’ teachers and pupils in the first grade to third grades and painting teachers in Muhammadiyah Sapen Yogyakarta elementary school, MIN (Islamic State Elementary School) Tempel, and Langen Sari Yogyakarta elementary school. The construct of the instrument consisting of instrument for process, product, self, and group assessment was developed based on the suggestion of art education, children’s art painting, evaluation, and painting experts. The reliability coefficient of the assessment instrument was computed based on generalizeability theory developed by Crick and Brennan consisting of G (generalized study) and D (decision study) theories with the variance of person, rater, item, person rater interaction, and error components using Genova computer package program, and interrater Cohen’s Kappa fomula.

(5)

pengembangan, dan tahap diseminasi. Penetapan konstruk instrumen yang terdiri atas instrumen penilaian proses, penilaian produk, penilaian diri, dan penilaian kelompok dilakukan melalui pendapat pakar pendidikan seni, pakar seni lukis anak, pakar pengukuran, dan praktisi lapangan. Subjek penelitian ini terdiri atas dua elemen yaitu pendidik dan peserta didik sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga dan pendidik seni lukis anak di SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta, MIN Tempel, dan SDN Langen Sari Yogyakarta. Penentuan koefisien reliabilitas instrumen penilaian dilakukan dengan menggunakan paket program genova berdasarkan teori Generalizability yang dikembangkan oleh Cric dan Brennan yang terdiri atas teori G (Generalized study) dan D (Decision study) yang komponen variansinya adalah person, rater, item, interaksi person dan rater, dan kesalahan, serta dengan koefisien interrater Cohen’s Kappa.

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

Pada dasarnya manusia memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai estetika agar dapat hidup dengan baik di masyarakat dan memiliki rasa keindahan. Pengetahuan berkaitan dengan penalaran yang diperlukan dalam memecahkan masalah. Keterampilan berhubungan dengan gerak anggota badan dalam mengerjakan pekerjaan. Rasa keindahan atau kepekaan estetik berkaitan dengan seni, sehingga orang yang memiliki apresiasi terhadap seni merasakan indah dalam hidupnya. Oleh karena itu setiap orang harus memiliki kepekaan estetik agar dapat merasakan keindahan dalam hidupnya.

Dalam perspektif pendidikan, seni dipandang sebagai salah satu alat atau media untuk memberikan keseimbangan antara intelektualitas dengan sensibilitas, rasionalitas dengan irrasionalitas, dan akal pikiran dengan kepekaan emosi. Bahkan dalam batas-batas tertentu, seni menjadi sarana untuk mempertajam moral dan watak seseorang (Rohidi, 2000: 55). Pendidikan seni bertujuan mengembangkan kedewasaan diri anak didik yang utuh dan seimbang dengan cara memberikan perlakuan yang dapat merangsang kepekaan estetik dan kreativitas peserta didik. Dengan demikian untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengembangan estetik melalui pendidikan seni.

(7)

keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis (BSNP, 2006: 78-79).

(8)

Pada seni melekat kesediaan untuk mengimajinasikan segala kemungkinan, mengeksplorasi ambiguitas, dan menerima keragaman pandangan. Karena itulah, pendidikan seni amat menghargai pengalaman pribadi yang menantang anak untuk bertindak kreatif melalui pemecahan masalah artistik. Hal ini sesuai dengan pendapat Anugrah (2006) sebagai berikut.

Pendidikan Seni Budaya di sekolah memiliki dua fungsi yaitu: (1) untuk menumbuhkan kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiatif, dan kreatif pada diri peserta didik secara komprehensif; (2) untuk membentuk pribadi yang harmonis dalam berlogika dan beretika bagi elaborasi peserta didik untuk mencapai kecerdasan emosional, intelektual, spiritual, serta mentalitasnya.

Kelompok mata pelajaran estetika dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas atau yang sederajat dengan standar kompetensinya disebutkan dalam PP 19 tahun 2005 yaitu: ”membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.”. Standar kompetensi kelompok mata pelajaran estetika pada jenjang sekolah dasar adalah: ”menunjukkan kemampuan untuk melakukan kegiatan seni dan budaya lokal.” (BSNP, 2006: 140). Salah satu kegiatan seni yang dilaksanakan di sekolah dasar adalah seni lukis yang merupakan bagian dari seni rupa.

(9)

asyik melakukan coret-mencoret, mengekspresikan perasaannya melalui garis, bidang, warna dan sebagainya sesuai dengan suara batin dan lingkungan anak.

Sebagaimana kehidupan dan keadaan jiwa anak-anak yang pada umumnya bersifat bermain-main, spontan, bebas, gembira, dan eksperimental, maka sifat-sifat yang demikian juga hadir dalam karya lukis anak. Didukung oleh penalaran anak yang wajar, maka hasil karya anak tampak sungguh naif. Ungkapan pribadinya muncul melalui bentuk-bentuk dengan makna simbolik tertentu, intuitif dan lebih dekat dengan sifat bermain pada anak. Penggunaan unsur-unsur pada lukisannya tergantung pada keasyikan pemikiran dan fantasinya, Lebih banyak yang akan mereka ceritakan maka lebih banyak pula bentuk yang dimunculkan (Soesatyo, 1994b: 32).

(10)

Penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa pemahaman guru-guru terhadap hakekat pendidikan seni terutama pelaksanaan pembelajaran seni lukis sekolah dasar belum seperti yang diharapkan sehingga mereka cenderung membimbing secara kurang tepat antara lain menilai secara subjektif. Sebagian besar guru sekolah dasar merupakan guru kelas, sehingga kemampuan dalam menilai karya anak belum seperti yang diharapkan. Dengan demikian masalah subjektivitas menjadi masalah yang tidak dapat dihindari dalam penilaian karya lukis anak.

(11)

hasil karya siswa setelah mengalami serangkaian proses pembuatan karya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan penilaian proses dan produk dilakukan guru sebatas pengetahuan yang dimiliki guru tentang seni lukis, karena latar belakang pendidikan bukan dari bidang seni rupa. Sebagai guru kelas dan tidak pernah mendapat pelatihan tentang penilaian seni lukis sehingga guru mengalami kesulitan dalam menilai proses dan produk karya seni lukis. Hal ini lebih disebabkan karena tidak ada kriteria yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menilai proses dan produk karya seni lukis anak tersebut.

Berdasarkan studi awal yang dilakukan, dari jawaban dan pendapat yang dikemukakan para guru, dapat dirinci permasalahan di lapangan dalam penilaian karya seni lukis anak sebagai berikut: (1) adanya faktor subjektivitas dalam menilai karya seni lukis anak; (2) guru merasa kesulitan untuk menentukan kriteria dalam penilaian karya seni lukis anak, baik penilaian proses maupun produk karya seni lukis anak; (3) belum adanya pedoman yang dapat dijadikan pegangan guru untuk melakukan penilaian seni lukis anak yang sesuai dengan perkembangan anak.

(12)

menjadi kendala dalam proses pembelajaran seni lukis anak. Merupakan dampak selanjutnya adalah tidak berfungsinya tujuan pendidikan seni budaya dan keterampilan dalam mengembangkan sensitivitas, kreativitas, ekspresi estetis, dan kreativitas peserta didik.

Studi awal tersebut menggambarkan keadaan sesungguhnya di lapangan bagaimana guru-guru, khususnya pengajar seni lukis kesulitan menentukan kriteria penilaian seni lukis anak. Hal inilah yang melandasi penelitian ini untuk mengembangkan instrumen penilaian karya seni lukis anak, dengan harapan agar penilaian mendekati objektivitas. Hingga saat ini instrumen penilaian karya seni lukis anak yang telah teruji secara ilmiah yang dapat digunakan oleh guru sekolah dasar, khususnya di Indonesia, belum tersedia. Selama ini, guru seni lukis menggunakan instrumen penilaian yang disusun secara mandiri. Akibatnya, timbul perbedaan persepsi tentang instrumen penilaian seni lukis anak sekolah dasar antara guru yang satu dengan lainnya.

B. Rasional yang Mendasari Pentingnya Masalah

(13)

mempunyai pengetahuan dan kemampuan apresiasi yang tinggi terhadap karya tersebut sehingga dapat mengerti, menerima, dan menghargai yang didasari pengertian yang terkandung dalam karya. Di samping hal tersebut, seorang guru harus pula mempunyai wawasan yang luas dan dapat mengerti kelemahan dan kekurangan hasil karya lukis anak, sehingga hasil penilaiannya dapat dipertanggungjawabkan.

Penilaian merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran. Penilaian bertujuan untuk mengetahui proses dan hasil belajar mengajar seni luksi anak. Untuk melakukan penilaian yang objektif diperlukan instrumen penilaian. Agar penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah memperoleh hasil yang optimal hendaknya guru memiliki pengetahuan dalam menilai karya lukis anak, baik proses maupun hasilnya. Instrumen penilaian ini akan membantu guru dalam menilai karya lukis anak secara objektif, sehingga dapat memacu anak belajar seni lukis.

(14)

pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi pedagogik mencakup kemampuan melaksanakan pembelajaran dan menilai proses dan hasil belajar peserta didik. Kegiatan penilaian memerlukan instrumen penilaian.

Keberhasilan pendidikan seni tidak lepas dari peranan guru dalam menilai karya lukis anak. Penilaian yang dilakukan guru di sekolah saat ini belum menggunakan instrumen yang dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari kriteria yang digunakan. Akibatnya, sering terjadi penilaian karya seni khususnya karya seni lukis anak tidak berpijak pada argumen yang tepat. Dalam berbagai kasus, guru tidak mampu menjelaskan kriteria yang digunakannya dalam memberikan nilai enam, atau tujuh atau delapan dalam menilai hasil belajar praktek seni lukis anak.

Dengan demikian diperlukan suatu instrumen yang dapat diacu untuk menilai karya seni lukis anak, agar hasil penilaian lebih akuntabel. Dalam penilaian karya seni lukis anak perlu ditegaskan tidak adanya hal yang salah, keliru atau betul, sebab yang ada hanyalah tingkat kemampuan anak. Oleh karenanya faktor psikologis seperti dunia anak, kehidupan anak, dan kejiwaan anak perlu dipertimbangkan dalam menilai karya seni lukis anak.

(15)

and dislike karena menggunakan ukuran yang jelas. Hal inilah yang perlu

diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan seni (Yahya, 2001: 15).

(16)

C. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana komponen instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak di sekolah dasar?

2. Bagaimana karakteristik instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak yang mencakup validitas, reliabilitas, dan keterpakaian di sekolah dasar?

3. Bagaimana bentuk dan isi pedoman penggunaan instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak?

4. Untuk menggunakan instrumen penilaian hasil belajar seni lukis anak sekolah dasar secara optimal, kompetensi apa yang perlu dikuasai guru?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengembangkan komponen instrumen penilaian hasil belajar karya seni lukis anak di sekolah dasar.

2. Menentukan kriteria penilaian hasil belajar karya seni lukis anak di sekolah dasar.

3. Mengembangkan instrumen penilaian yang valid, reliabel, dan praktis untuk mengukur hasil belajar seni lukis anak.

(17)

F. Spesifikasi Produk

Hasil penelitian dan pengembangan, diharapkan mendapatkan produk berupa instrumen penilaian seni lukis anak sekolah dasar yang valid dan reliabel. Instumen penilaian tersebut diperlukan untuk membantu guru dalam memberikan penilaian yang objektif terhadap kemampuan seni lukis anak. Penilaian yang objektif akan membantu seorang guru mengidentifikasi kemampuan siswa dalam melukis. Spesifikasi produk yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1. Penilaian proses

(18)

2. Penilaian produk

Penilaian produk mengungkap adanya unsur kreativitas, ekspresi, serta teknik melukis, sebagaimana tercantum dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk bidang seni yang terdiri dari gambar ekspresif dan imajinatif.

3. Penilaian diri

Penilaian diri mengungkap informasi dari tiap peserta didik, apakah suatu kegiatan melukis bagi dirinya menarik atau membosankan, apakah mengerjakannya mudah atau sulit, bermanfaat atau tidak, dan hasilnya memuaskan atau tidak, serta pengalaman-pengalaman berharga mana yang berhasil dipelajari dalam kegiatan tersebut.

4. Penilaian kelompok

(19)

pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian pengembangan digunakan untuk

menghasilkan instrumen yang baku dalam menilai karya lukis anak. Pendekatan

ini digunakan, karena pengembangan instrumen penilaian seni lukis anak harus

dimulai dengan membangun konstruk yang diukur. Konstruk instrumen penilaian

ini merupakan “tingkat ukuran” (yard stick) karya seni lukis anak. Instrumen yang

dikembangkan disertai dengan pedoman penggunaan instrumen.

Instrumen penilaian seni lukis anak, sesuai dengan Standard for

educational and psychological testing (1999) harus memiliki bukti validitas interpretasi hasil pengukuran. Konsep validitas bersifat “unity concept” yang

dibangun dari teori yang melandasi konsep pengembangan, instrumen, dan bukti

empirik. Bukti validitas suatu instrumen harus memiliki validitas interpretasi

hasil pengukurannya. Bukti validitas interpretasi hasil pengukuran instrumen

penilaian karya seni lukis anak memerlukan data kualitatif dan kuantitatif. Data

kualitatif yang diperlukan merupakan landasan teoritis bangunan konstruk

instrumen, yang pengumpulannya dimulai sejak awal pengembangan konstruk,

melalui berbagai penelusuran dan diskusi pakar seni lukis dan pendidikan seni lukis, termasuk praktisi seni lukis dan guru seni lukis di sekolah dasar. Data

(20)

diperlukan untuk memperoleh informasi tentang besarnya koefisien keandalan

hasil ukur instrumen.

Kriteria pengembangan konstruk instrumen mencakup aspek proses dan hasil karya lukis anak. Setiap aspek diurai menjadi sejumlah indikator. Setelah indikator disusun menjadi item yang dirakit menjadi instrumen utuh. Instrumen diujicobakan kepada sejumlah pendidik agar dapat diketahui keterpakaiannya dan diestimasi koefisien reliabilitas hasil ukurnya.

Pengembangan instrumen ini dilakukan dengan mengadopsi model penelitian dan pengembangan pendidikan secara umum. Beberapa model penelitian dan pengembangan yang dipakai dalam penelitian dan pengembangan (R & D) antara lain: model Semmel & Semmel, Thiagarajan, Plomp, dan model Borg & Gall. Model Thiagarajan, Semmel & Semmel dikenal dengan Four-D Model, yaitu Define, Design, Develop and Disseminate. Menurut Plomp (1997: 78) langkah-langkah R & D adalah sebagai berikut: (1) preliminary investigation, (2) design, (3) realization construction, (4) test, (5) evaluation and revision, and

(6) implemention. Menurut Borg & Gall ( 1983, 275-276) ada sepuluh langkah dalam melakukan R & D, seperti berikut ini.

1) Research and information collecting 2) Planning; 3) Develop preliminary form of product. 3) Preliminary field testing; 5) Main product revision; 6) Main field testing; 7) Operational product revision;8) Operstionsl field testing; 9) Final product revision; 10) Dissemination and implementation.

Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini menggunakan modifikasi

model Semmel & Semmel dengan model Plomp, yaitu dimulainya dengan tahap

preliminary investigation yang dikemukakan oleh Plomp dan research &

(21)

yang dilakukan adalah mengembangkan indikator, deskripsi, kriteria, dan

penyusunan item instrumen. Terakhir, tahap dissemination, kegiatan yang

dilakukan adalah uji coba instrumen terhadap guru sekolah dasar. Secara rinci

(22)

B. Prosedur Pengembangan

Berdasarkan model pengembangan pada Gambar 40, tahapan atau prosedur pengembangan lebih lanjut dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. Tahap Studi Awal

Pada tahap awal (preliminary investigation) ini, dilakukan pengkajian

pustaka yang berkaitan dengan identifikasi jenis, sasaran penilaian karya seni

lukis. Substansi yang ditelaah pada tahap ini adalah mengkaji analisis

kurikulum yang berlaku untuk matapelajaran seni budaya dan keterampilan.

Selain itu, penjelajahan juga dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang

relevan untuk mendukung gagasan instrumen penilaian seni lukis yang sesuai

dengan kebutuhan guru di lapangan. Penelitian yang relevan tersebut, antara

lain penelitian Ismiyanto tahun 2002 yaitu penelitian tentang visualisasi

lukisan karya anak-anak usia sekolah dasar ditinjau dari tema dan subjek

mencerminkan kehidupannya dan menunjukkan adanya upaya anak

mengidentifikasi diri dalam karyanya.

Penelitian Syahrul yang dilakukan tahun 2001, tentang pentingnya

profesionalisme guru pendidikan seni dan komitmen terhadap tugas

merupakan faktor penting untuk kelangsungan pembelajaran dan pencapaian

kualitas hasil belajar anak didik. Demikian juga hasil penelitian Coney tahun

1999, yang dilatarbelakangi bagaimana membuat suatu penilaian menjadi sebuah elemen pembelajaran yang aktif dan positif dari pengajaran. Hasil

(23)

Dengan demikian hasil karya seni lukis pada dasarnya dapat dinilai dari

sudut kreativitas, ekspresi dan teknik. Kemudian untuk mendapatkan

kebutuhan realita di lapangan, maka dilakukan wawancara terhadap

guru-guru yang mengajar seni lukis di SD. Setelah dilakukan identifikasi pada

ke-tiga hal tersebut, yaitu kajian pustaka, analisis kurikulum, dan studi lapangan,

selanjutnya dilakukan elaborasi terhadap ketiga unsur tersebut, yaitu mengolah

ketiga unsur tersebut, sehingga diperoleh indikator dan deskripsi, level, dan

kriteria penilaian yang disajikan pada Gambar 41.

Gambar 41.

Tahapan Studi Awal Pengembangan Instrumen Seni Lukis Anak

2. Tahap Pendefinisian

Tahap pendefinisian (define) adalah tindakan untuk menyusun definisi

tentang unsur, sasaran penilaian seni lukis diikuti penjabaran indikator,

deskripsi, dan kriteria penilaiannya. Tahap pendefinisian merupakan tahap

Kajian Pustaka

Masalah Riil Analisis

Kurikulum Elaborasi

(24)

lanjutan dari tahap awal, yaitu pendefinisian tentang indikator, deskripsi,

kriteria, dan rubrik penskoran. Indikator menjadi acuan dalam mengembangkan item. Dalam kaitan dengan ini, indikator yang terjaring ada

10 macam, yaitu: tanggapan anak tentang tema lukisan yang dibuat, kesiapan

alat dan bahan untuk melukis, kelancaran penuangan ide, keberanian

menggunakan media, keberanian menggunakan unsur-unsur bentuk,

ketekunan, pemanfaatan waktu, kreativitas, ekspresi, dan teknik. Selanjutnya

masing-masing indikator dijabarkan menjadi deskripsi. Setelah deskripsi

dikembangkan secara operasional, kemudian ditetapkan kriteria disertai rubrik

penskoran.

Bagan 42.

Tahapan Pendefinisian Instrumen Seni Lukis Anak

3. Tahap Perancangan

Tahap perancangan (design) adalah tindakan merancang kisi-kisi

instrumen alat pengukur karya seni lukis sehingga bisa diketahui dimensi yang

diukur atau konten dan jabaran dari tiap-tiap unsur sasaran penilaian seni

lukis. Kisi-kisi yang dimaksudkan sebagai upaya memaparkan pola hubungan

antara konstruk (dimensi yang diukur) dengan indikator, deskripsi, kriteria,

dan item. Dengan demikian kisi-kisi dapat dipakai sebagai bukti pada proses Indikator Deskripsi Kriteria

(25)

Gambar 43.

Tahapan Perancanganan Instrumen Seni Lukis Anak

4. Tahap Pengembangan

Pada tahap pengembangan (development) dilakukan penyusunan

kisi-kisi penelaahan, perbaikan, dan perakitan kisi-kisi-kisi-kisi. Pentelaahan kisi-kisi-kisi-kisi

dilakukan oleh pakar seni lukis anak, pakar pendidikan seni, dan guru seni

lukis dalam forum Focus Group Discussion (FGD). Menurut Krueger, R. A. & Casey, M. A. (2000), FGD adalah suatu metode diskusi secara mendalam yang melibatkan kelompok kecil yang homogen (6-12 orang) untuk

mendiskusikan topik tertentu. Tujuan diskusi adalah untuk menggunakan

dinamika kelompok, dengan bantuan seorang moderator/fasilitator untuk

mendorong peserta mengungkapkan pendapat, sikap, dan pertimbangan

tentang topik yang didiskusikan.

.Berdasarkan hasil FGD, selanjutnya kisi-kisi diperbaiki dan dirakit

sehingga menjadi acuan dalam penyusunan item. Item yang disusun

berdasarkan kisi-kisi menjadi perangkat instrumen penilaian seni lukis.

Perangkat instrumen ini disebut prototipe awal instrumen penilaian seni lukis.

Setelah prototipe awal diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan validasi ahli

(26)

pada tanggal 26 Februari tahun 2008 di Pascasarjana UNY yang dihadiri oleh

7 (tujuh) peserta FGD terdiri dari: 1 (satu) orang pakar pendidikan seni, 2 (dua) orang pakar seni lukis anak, dan 4 (empat) orang pendidik seni lukis

sekolah dasar. Kesimpulan hasil FGD adalah bahwa penilaian dilakukan pada

komponen proses dan komponen produk pembelajaran. Komponen proses

terdiri 2 (dua) tahap, yaitu tahap awal dan tahap inti, dan kemudian diperoleh

bobot prosentase penilaian proses 60% dan produk 40%.

Setelah memperhatikan saran dan temuan hasil FGD putaran pertama,

selanjutnya dilakukan revisi sehingga diperoleh prototipe 1. Setelah prototipe

1 direvisi selanjutnya dilakukan FGD putaran 2, yang dilaksanakan pada

tanggal 13 Maret 2008 dihadiri 7 (tujuh) orang terdiri dari: 2 (dua) orang pakar

pendidikan seni, 1(satu) orang pakar seni lukis anak, dan 4 (empat) orang

pendidik seni lukis sekolah dasar.

Pada tahap 2 (dua) berdasarkan kriteria hasil FGD putaran kedua,

kemudian diperoleh saran dan temuan berupa diskripsi dari masing-masing

indikator, sehingga diperoleh prototipe 2 (dua). Berdasarkan saran dan temuan

pada FGD putaran 2 (dua), dilakukan revisi. Setelah direvisi kemudian

digunakan untuk menyempurnakan prototipe 2 (dua) menjadi prototipe 3 (tiga)

yaitu, berupa kriteria seni lukis anak, penilaian diri, penilaian kelompok

merupakan hasil dari FGD putaran 3 (tiga) yang diselenggarakan pada tanggal 10 April 2008, dihadiri oleh 8 (delapan) orang terdiri dari 3 (tiga) orang pakar

(27)

proses (tahap awal, tahap inti), penilaian produk. Hasil dari seminar yang

berupa instrumen penilaian seni lukis anak kemudian dipakai untuk

pengambilan data uji coba penelitian. Untuk kejelasan tahap-tahap

pengembangan instrumen dapat dilihat pada Gambar 44.

Gambar 44.

Skema Tahap Pengembangan Instrumen Penilaian Seni Lukis Anak Prototipe 1

Indikator Deskripsi Level Kriteria

FGD-1 Analisis

FGD-2

Prototipe Tentatif

Indikator Revisi

Prototipe 2

Analisis Item

Revisi Deskripsi

FGD-3 Prototipe 3

(28)

5. Tahap Diseminasi (Disseminate)

Setelah uji coba sampai dengan analisis data uji coba instrumen dan menghasilkan instrumen prototipe tentatif, maka tahap selanjutnya adalah

membuat pedoman instrumen penilaian seni lukis anak. Pedoman penilaian

seni lukis anak divalidasi oleh pendidik seni lukis melalui FGD yang meliputi

petunjuk penggunaan, kriteria penilaian, dan kelayakan penyajian yang

meliputi sistematika, keterbacaan, dan penampilan fisik. Kemudian diadakan

sosialisasi pada pendidik dan praktisi. Tahapan diseminasi tersebut disajikan

pada Gambar 45.

Gambar 45.

Skema Tahap Diseminasi Instrumen Penilaian Seni Lukis Anak

C. Uji coba Produk 1. Desain Uji coba

Uji coba ini dilakukan di Kota Yogyakarta. Tempat ini dipilih karena

berbagai pertimbangan Yogyakarta: (1) memiliki cukup banyak sekolah dasar yang melaksanakan program pembelajaran seni lukis anak, (2) ketersediaan

pendidik dalam bidang seni lukis, (3) daerah ini dipilih juga karena banyak Draf

Pedoman

FGD Analisis

(29)

Gambar 46.

Desain Uji coba Intrumen Seni Lukis

Desain uji coba seperti tampak pada Bagan 8 dilakukan di kelas 1, 2,

dan 3 di tiga sekolah dengan melibatkan tiga orang guru seni lukis. Guru seni

lukis yang terlibat diberi pelatihan sebelum melaksanakan uji coba. Uji coba

ini bertujuan untuk memperoleh informasi dari lapangan tentang konstruk

instrumen, keterpakaian pedoman penggunaan instrumen, dan proses

pengembangan instrumen. Konstruk instrumen penilaian karya lukis anak

merupakan kriteria penilaian karya lukis anak. Hasil uji coba yang berupa

prototipe instrumen penilaian karya lukis anak dan kemudian diseminarkan

pada tanggal 16 April 2008 yang dihadiri 12 (dua belas) orang terdiri dari

promotor, pakar pengukuran dan pakar pendidikan seni. Hasilnya kemudian

dianalisis dan direvisi sehingga menjadi instrumen baku. Selanjutnya Instrumen

Baku

Draf Panduan

FGD Revisi Panduan

Baku Revisi

(30)

disusun draft pedoman penggunaan instrumen seni lukis anak dan kemudian

divalidasi oleh pendidik seni lukis anak melalui FGD yang meliputi petunjuk penggunaan, kriteria penilaian, dan kelayakan penyajian yang meliputi

sistematika, keterbacaan, dan penampilan fisik. Hasil FGD ini digunakan

untuk memperbaiki pedoman penilaian sehingga menjadi pedoman guru

dalam menilai seni lukis anak.

2. Subjek Coba

Subjek uji coba adalah pendidik yang mengajar seni lukis anak yang

ada di tiga sekolah di Kota Yogyakarta. Pendidik diperlukan sebagai subjek

uji coba untuk memperoleh koefisien keandalan instrumen dan keterpakaian

instrumen penilaian karya lukis anak.

Subjek penelitian peserta didik dipilih melalui dua tahap, yaitu tahap

G- study dan tahap D-study. Pada tahap G-study dipilih tiga sekolah,

masing-masing sekolah dipilih satu guru seni lukis. Sedangkan masing-masing-masing-masing

sekolah terdiri dari siswa kelas satu, dua, dan tiga, jumlahnya sebanyak 20

orang di ambil secara random. Pada tahap D-study, pemilihan subjek

penelitian ditentukan berdasarkan koefisien G-study dalam wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Subjek penelitian adalah peserta didik yang terdiri dari tiga sekolah,

Sekolah Dasar Muhammadiyah Sapen, Sekolah Dasar Negeri Langensari , dan

(31)

yang melaksanakan pembelajaran seni sesuai dengan KTSP dengan didukung

tenaga pendidik yang memiliki latar belakang pendidikan seni rupa.

3. Jenis Instrumen Pengumpul Data

Data penelitian ini terdiri atas data kuantitatif dan kualitatif. Data

kuantitatif diperoleh melalui intrumen untuk menilai proses, produk, penilaian diri, dan penilaian kelompok. Data kualitatif diperoleh melalui instrumen

penilaian diri dan penilaian kelompok dalam bentuk jawaban terbuka dari

subjek penelitian.

Data kualitatif digunakan untuk mengembangkan konstruk instrumen.

Data ini diperoleh melalui diskusi para pakar seni lukis, pakar pendidikan seni

lukis, dan praktisi lapangan. Data kuantiatif digunakan untuk memperoleh

koefisien keandalan instrumen. Data ini berupa hasil penilaian karya lukis

anak yang dilakukan oleh pendidik. Selain itu data kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk menentukan keterpakaian instrumen. Instrumen ini

dilengkapi dengan pedoman penilaiannya. Pedoman penilaian seni lukis anak

(32)

Pedoman ini berisi cara menggunakan instrumen, menskor, dan menafsirkan

hasilnya.

4. Teknik Analisis Data

Pengujian konstruk instrumen dilakukan melalui pendapat para pakar

bidang seni lukis, pakar bidang penilaian pendidikan, dan para praktisi

lapangan. Pertemuan dengan kelompok yang berbeda dilakukan tiga kali

untuk memperoleh masukan yang lebih banyak sehingga diperoleh hasil yang

dapat diandalkan.

Penentuan koefisien keandalan instrumen penilaian dilakukan dengan

menggunakan paket program komputer Genova berdasarkan teori

generalizability yang dikembangkan oleh Crick dan Brennan pada tahun 1983 yang disebut dengan A Generalized Analysis of Variance System. Pada teori

ini ada G (generalized study) dan D (decision study). Pada G-study dilakukan

estimasi sejumlah varians komponen. Banyaknya komponen ditentukan oleh

model yang digunakan. Hasil dari G-study digunakan pada D-study. Menurut

Brennan (1983: 3), D-study menekankan estimasi, penggunaan, dan

interpretasi dari varians komponen untuk membuat keputusan, dengan

prosedur pengukuran yang baik. Hal yang penting pada D-study adalah

spesifikasi dari generalisasi universe, yaitu universe berlakunya generalisasi

D-study dengan suatu prosedur pengukuran tertentu.

Menurut Thomson (2003: 43), teori generalizability adalah teori

(33)

2 , : 2

2 , :

,rie p ri e

p

σ

σ

σ

=

+

Penelitian ini menggunakan GENOVA yang komponen variansnya

adalah person, rater, item, interaksi person dan rater, dan kesalahan. G study

-nya menggunakan rancangan bersarang (nested design) dan D-study-nya juga

menggunakan rancangan bersarang (nested design). Penelitian ini

menggunakan satu facet p x(i: r) G-study yang bersarang untuk mengestimasi

varians komponen, varians kesalahan, generalizeability dan koefiesien phi

untuk one-facet, nested, i: r D-study. Varians komponen yang berbaur pada

rancangan bersarang (p, r:i,e) adalah jumlah varians komponen dalam

G-study bersarang yang dapat ditulis sebagai berikut.

Keterangan: p = person

r = guru/rater i = item

r:i = rater bersarang pada item e = kesalahan

Setelah varians komponen diperoleh, termasuk varians kesalahan, maka dapat

diestimasi varians sebenarnya (true variance). Selanjutnya dapat diestimasi

besarnya indek keandalan hasil pengukuran, yaitu rasio varians sebenarnya

(34)

dan besarnya indeks keandalan hasil pengukuran dengan instrumen yang

dikembangkan peneliti menggunakan paket program GENOVA.

Rancangan yang digunakan untuk G-study adalah px(i:r), yaitu item

bersarang pada rater, penilai dalam menilai hasil karya lukis anak berinteraksi

dengan anak yang bersarang pada item. Cara penilai (rater) dalam menilai

karya lukis anak (p) tergantung pada pendapat penilai terhadap item yang

dinilai, sehingga dikatakan rater bersarang pada item. Rancangan px(r:i) ini

berdasarkan analisis varians efek random memiliki efek utama: p, r, r:i dan

efek interaksinya adalah pi, pr bersarang pada i. Jadi ada varians person,

varians rater, dan varians penilai bersarang pada i untuk efek utama, sedang

untuk efek interaksinya adalah varians person item, varians rater yang bersarang pada item.

Besarnya varians r bersarang pada i dapat ditulis sebagai berikut.

σ

²(r : i) =

σ

²(r, ri)=

σ

²(r) +

σ

²(ri).

Besarnya koefisien keandalan instrumen penilaian adalah:

σ

²(p)

E

ρ

² = ——————

σ

²(p) +

σ

²(

δ

)

E

ρ

²

adalah nilai harapan koefisien keandalan instrumen,

σ

²(p)

adalah varians person (peserta didik),

(35)

adalah salah satu sarana untuk melihat tingkat konsistensi atau keajegan antar

rater dalam memberikan rating terhadap unjuk kerja karya seni lukis siswa.

Untuk keperluan ini, digunakan koefisien Cohen’s Kappa.

Ada 3 (tiga) orang rater yang memberikan rating pada penilaian

instrumen seni lukis anak untuk kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Pada penilaian

proses, ada 7 (tujuh) item yang menjadi objek penilaian, pada penilaian produk ada 3 (tiga) item, sedangkan penilaian diri dan penilaian kelompok masing-masing

ada 5 (lima) item. Selanjutnya nilai koefisien

κ

yang dihasilkan dibandingkan

(36)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pendidikan Seni Rupa

1. Pengertian Pendidikan Seni Rupa

Pada hakekatnya pendidikan merupakan suatu proses untuk mempersiapkan peserta didik menuju ke kedewasaan, dengan segala watak, pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk dapat hidup di tengah-tengah masyarakat dan kemudian dapat memberikan manfaat bagi lingkungan. Ditinjau dari tujuannya, pendidikan adalah membentuk manusia yang memiliki kepribadian yang kuat dan beradab sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan zaman.

(37)

pembuatan karya dengan hasil karya yang bersifat fungsional dan non fungsional, serta menggunakan media tertentu, misalnya kayu, logam, tekstil, tanah liat, dan lain-lain. Dalam hal ini penciptaan benda hias yang mengutamakan nilai artistik dikenal dengan sebutan craft (seni kria). Desain merujuk pada proses pembuatan karya yang maksud dan tujuannya telah ditentukan lebih dahulu, dalam hal ini menyatukan proses penciptaan karya yaitu antara sistematis, kreatif, dan inovatif. Karya desain berupa rancangan gambar, benda, atau lingkungan yang didasarkan pada persyaratan-persyaratan tertentu.

Istilah seni rupa secara etimologi merupakan padanan kata dari visual art (seni rupa yang dapat dilihat/diraba), fine art (seni indah), ada pula yang menyebut sebagai pure art (seni murni). Namun istilah pure art di masa sekarang dipadankan dengan karya seni murni yang tidak memiliki kegunaan praktis, seperti lukisan atau patung. Sedangkan pengertian seni rupa sendiri adalah suatu hasil interpretasi dan tanggapan pengalaman manusia dalam bentuk visual dan rabaan, yang mempunyai peranan memenuhi tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupan manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan estetik semata.

(38)

rupa. Keindahan juga dipahami sebagai pengalaman estetik yang diperoleh ketika seseorang mencerap objek seni atau dapat dipahami sebagai sebuah objek yang memiliki unsur keindahan. Sesungguhnyalah pengalaman estetik dapat menyebabkan timbulnya reaksi emosional atau respons estetik seseorang. Menurut Pappas (2006: 3), pengalaman estetik adalah perasaan (positif atau negatif) yang merupakan reaksi seseorang, baik secara mental dan/atau pun fisik, ketika mengamati karya seni rupa. Reaksi ini mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan pendapat orang tersebut, yang menyebabkan reaksi emosional atau respons estetik.

Dalam dunia kesenirupaan, untuk menentukan kualitas karya harus mempertimbangkan nilai-nilai keindahan yang disebut dengan prinsip-prinsip keindahan. Prinsip-prinsip keindahan tersebut adalah unsur kesatuan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan kontras (contrast) sehingga menimbulkan perasaan nikmat, nyaman, bahagia, haru, dan rasa senang. Disamping itu, karya seni rupa dapat menimbulkan berbagai kesan misalnya indah, unik, menarik, dan sebagainya bagi apresian. Hal ini tentunya didukung oleh kemampuan pengungkapan ekspresi intuitif dan perasaan estetis seseorang melalui teknik, bahan, dan konsep dalam penciptaan karya seni rupa.

(39)

Pengalaman estetik dalam pendidikan seni rupa di sekolah, diimplementasikan dalam dua kegiatan yaitu apresiasi (appreciation) dan kreasi (creation). Kegiatan apresiasi bertujuan mengembangkan kesadaran, pemahaman, dan penghargaan terhadap karya seni, yang dilakukan melalui pengamatan dan pembahasan karya seni rupa. Kegiatan pengamatan dimaksudkan untuk memperoleh pengalaman estetik, melalui pencerapan nilai intrinsik dari karya seni rupa tersebut. Kegiatan pembahasan untuk memperoleh kesadaran dan pemahaman tentang penciptaan karya seni rupa berdasarkan telaah tentang seniman dan zamannya, tujuan penciptaan, pengaruh seniman besar terhadap karya tersebut, sehingga dapat memberikan penghargaan. Sedangkan pada kegiatan kreasi (creation), peserta didik diberi peluang untuk mengekspresikan pengalaman estetiknya dalam wujud karya seni rupa. Aktivitas yang dilakukan melalui kegitan eksplorasi dan eksperimen dalam mengolah gagasan (konsep), bentuk, media (teknik), dengan mengambil unsur-unsur titik, garis, warna, bidang, tekstur, volume, dan ruang untuk mewujudkan karya seni rupa, baik tradisi maupun modern, secara individual maupun kelompok.

(40)

adalah Seni Budaya dan Ketrampilan. Mata pelajaran Seni Budaya tersebut mencakup seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni drama. Pembelajaran seni rupa di sekolah memiliki sasaran sebagai berikut.

a. Mengembangkan Ekspresi

Ekspresi pada dasarnya merupakan kebutuhan dalam hidup manusia untuk mencari kepuasan. Ekspresi dalam pendidikan seni adalah curahan jiwa/isi hati yang menekankan pada proses pengungkapkan pengalaman estetik peserta didik yang berkaitan dengan emosi, daya pikir, imajinasi dan keinginan peserta didik. Menurut Soehardjo (2005: 120) ekspresi merupakan ungkapan penyampaian sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Sesuatu yang disampaikan berupa buah pemikiran dan perasaan yang diwujud inderakan dengan menggunakan sarana yang dapat diamati lewat panca indera. Mengungkapkan sesuatu dengan kata, tindakan atau lukisan adalah hal yang menyenangkan dan meringankan, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan berekspresi dapat meringankan ketegangan seseorang. Sejalan dengan hal tersebut, Lim Chin Choy (2005: 293) mengatakan bahwa ekspresi bertujuan untuk mempertunjukkan kepada orang lain (to exhibit). Namun demikian, dapat juga sebagai ekspresi diri yaitu ekspresi keindividuan seseorang. Berekspresi dapat pula berfungsi sebagai katarsis, dan menjadi terapeutik atau menumbuhkan kreativitas.

(41)

analisis yang tepat. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Soedarso (1973: 5) bahwa pendidikan seni rupa adalah pendidikan ekspresi. Ia memberi kesempatan kepada anak untuk melahirkan pengalaman batinnya dengan leluasa, tanpa paksaan. Dengan demikian pengalaman berekspresi menunjang dasar-dasar kebebasan, melatih anak berpikir merdeka, membiasakan anak untuk mengeluarkan isi hatinya dengan bebas. Walaupun demikian, kualifikasi perlu di buat hubungan antara pengalaman estetik dengan pengalaman merasakan. Jika semua pengalaman dirasakan sebagai pengalaman estetik, maka pengalaman estetik kehilangan sifatnya yang khas. Padahal, sesungguhnya pengalaman estetik merupakan suatu pengalaman yang khas dan unik yang ditandai dengan terpuaskannya “hasrat akan sesuatu yang harmoni dan lengkap.” Kepuasan ini lahir dari proses keterlibatan batin, baik dalam proses kreasi maupun dalam kegiatan persepsi (Salam, 2001: 1).

(42)

dihasilkan menunjukkan kemurnian pengungkapan perasaan mereka. Garis, warna, dan tekstur bukan lagi sebagai elemen fisik, tetapi mencerminkan ekspresi kejiwaan yang kuat.

b. Mengembangkan Sensitivitas

Sensitif artinya peka/perasa terhadap rangsangan, mudah menerima, mudah mencerap suatu rangsangan, dan cepat dapat menghayati sesuatu. Peran pendidik diharapkan dapat mengembangkan kepekaan atau sensitivitas yang dimiliki peserta didik. Terutama peka terhadap lingkungan yang banyak mengandung permasalahan.

Peserta didik diberi kesempatan untuk menggunakan panca indera seperti mata, telinga, hidung, dan indera peraba menjadi dasar cerapan dalam berkarya. Dengan demikian sebelum berkarya peserta didik dimotivasi mengamati objek dengan berbagai masalahnya sebelum dituangkan dalam karyanya. Melalui aktivitas seni rupa, kemampuan anak dalam mengolah kesadarannya terhadap orang lain di lingkungan sekitar dalam berkomunikasi, bekerjasama, menghargai dan dihargai dapat dipupuk. Demikian juga kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar serta kemampuan bekerjasama dalam membuat karya kelompok dapat mengolah sikap dan perasaan sosial anak. Peserta didik menjadi peka terhadap lingkungan, kepekaan menjadi terlatih sehingga apabila ada permasalahan peserta didik bisa merasakan dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan tersebut.

(43)

berarti memasuki wilayah proses kreatif yang menurut Susanto (2003: 8) yaitu wilayah proses perubahan, pertumbuhan, proses evolusi, proses perenungan, maupun proses mencipta dalam organisasi dari kehidupan subjektif pikiran dan praktis manusia.

Ada tiga tahap proses kreatif yang dikemukakan Chapman (1978: 45), yaitu: (1) Inception of an idea, merupakan tahap awal yaitu usaha menemukan gagasan, mencari sumber gagasan, inspirasi, (2) Elaboration and refinement, yaitu proses penyempurnaan, pengembangan dan pemantapan gagasan menjadi suatu gambaran pravisual untuk diwujudkan menjadi ujud yang konkrit, (3) Execution

in a medium, merupakan tahap terakhir yaitu proses visualisasi dengan medium

yang merupakan sarana untuk memvisualisaikan gagasan menjadi suatu karya seni.

(44)

tersebut saling berpadu dan saling mempengaruhi dan saling bergantung untuk menjalankan tahapan-tahapan dalam membentuk karya seni. Hal ini didukung oleh Munandar (1999: 50) yang mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas) dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan. Tampilan karya yang kreatif selalu tampil tunggal (unicness), karena tidak terdapat kembarannya; asli (original), karena dihasilkan oleh diri sendiri pelaku seni, dan ber-kebaruan (novelty), karena belum pernah ada sebelumnya.

Dengan demikian melalui seni rupa kreativitas anak dapat berkembang, karena dengan membuat karya seni rupa membentuk anak untuk berani mengambil resiko, sikap yang untuk tidak selalu puas dengan apa yang sudah ada dan sudah didapat, sikap untuk selalu mencari sesuatu yang orang lain belum mengetahuinya. Hal ini sangat berguna dalam pembentukan pribadi anak. 2. Manfaat Pendidikan Seni Rupa

Kegiatan seni mempunyai manfaat langsung maupun tidak langsung yang dapat dirasakan oleh peserta didik. Manfaat langsung yang dapat dirasakan adalah sebagai media untuk berekspresi, media untuk berkomunikasi, media bereksplorasi, media pengembangan bakat seni yang dimilikinya.

(45)

serta dapat memprediksi akibat yang diambil dari tindakan tersebut, dan mampu bertingkah laku dengan penuh tanggung jawab serta mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya dalam berkomunikasi. Dengan demikian apabila kematangan emosi anak terlatih, maka anak akan positif tindakannya sesuai dengan perkembangan usianya.

Sebagai media komunikasi, dalam aktivitas komunikasi terdapat unsur: pengirim pesan, isi pesan, dan penerima pesan. Pesan yang disampaikan dalam seni rupa adalah gagasan yang berupa simbol yang dituangkan dalam karya seni rupa. Dengan demikian seni rupa dapat dikatakan sebagai media komunikasi karena pengirim pesan dapat mengungkap isi pesan ke dalam simbol bermakna yang dapat diterima oleh orang lain sebagai penerima pesan.

Sebagai media bereksplorasi, kegiatan seni rupa memerlukan alat-alat atau bahan yang secara langsung maupun tidak langsung mengembangkan kemampuan bernalar bagi anak. Anak memiliki kebebasan dalam bereksperimen, melalui eksplorasi dengan bahan-bahan yang ada untuk membuat karya seni rupa.

(46)

dipandang sebagai gejala kemampuan individu untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan atau serangkaian respon melalui latihan-latihan (Bennet, 1952: 12). Adapun dimensi bakat meliputi persepsi, psikomotorik dan intelektual. Dengan demikian, kegiatan seni rupa melalui latihan-latihan membuat karya seni rupa memupuk bakat anak. Hal ini dapat dilihat pada dimensi bakat yang terkait dalam pembuatan karya seni rupa yaitu, persepsi terkait dengan kepekaan dari masing-masing pancaindera yang berhubungan dengan perhatian, yaitu penglihatan, pendengaran, dan kinestesi. Dimensi psikomotorik mencakup koordinasi dan fleksibilitas gerakan. Sedangkan dimensi intelektual meliputi ingatan dan berpikir. Dengan demikian bakat anak yang terpupuk sejak awal akan lebih baik perkembangannya, dari pada seseorang yang mempunyai bakat kreatif namun tidak dipupuk, maka bakat tersebut tidak akan berkembang bahkan menjadi bakat terpendam dan tidak dapat diwujudkan.

3. Pendekatan dalam Proses Pendidikan dan Pembelajaran Seni Rupa Pada hakekatnya pendidikan seni rupa bersifat unik, yaitu kegiatan yang bersifat ekspresif, kreatif, dan estetik. Karena keunikannya ini dalam pendidikannya memerlukan pendekatan-pendekatan agar tujuan pendidikan seni rupa itu sendiri dapat tercapai. Ada tiga pendekatan dalam pendidikan seni rupa yang populer saat ini, yaitu:

a. Pendekatan Berbasis Anak

(47)

ekspresi bebas yang memberikan keleluasaaan kepada anak-anak untuk dapat menyalurkan ungkapan perasaan tanpa dibatasi oleh aturan atau norma cipta konvensional dalam membuat gambar. Pada pendekatan berbasis anak ini tugas pendidik adalah memberikan pengalaman kepada anak yang dapat merangsang munculnya ekspresi pribadi anak, memberikan kemudahan kepada anak dalam mempelajari atau melakukan apa yang menjadi keinginan anak agar anak berkembang secara alamiah melalui pengalaman seni. Dengan demikian cara pembelajarannyapun pendidik memberikan kemudahan pada anak dalam melaksanakan kegiatan belajar yang diinginkannya, yaitu dengan pemberian motivasi, dengan peragaan, dan pendampingan. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan pengalaman belajar yang dapat merangsang ekspresi pribadi anak.

(48)

Pendekatan ekspresi bebas ini kemudian didukung dan disebarluaskan oleh dua tokoh pendidik seni yaitu Viktor Lowenfeld dari Amerika Serikat dan Herbert Read dari Inggris. Menurut Viktor Lowenfeld, ekspresi dalam proses pembuatan karya seni rupa yang dilaksanakan secara alamiah berdampak positif bagi perkembangan intelektual, emosional, kreativitas dan perkembangan sosial anak. Dalam hal ini dihubungkan antara kegiatan seni rupa dengan kesehatan mental karena kegiatan seni rupa merupakan media untuk menyalurkan perasaan, baik merupakan perasaan sedih atau gembira. Selanjutnya Lowenfeld mengatakan bahwa “…mental growth depends upon a rich and varied relationship between a

child and his environment; such a relationship is a basic ingredient of a creative

art experience” (Lowenfeld, 1982: 6-7). Hal ini memperjelas bahwa pengaruh

lingkungan menyebabkan adanya berbagai corak berdasarkan perkembangan dan temperamen jiwa anak. Dengan demikian pendidikan seni rupa merupakan tempat pemberian pengalaman yang menarik yang menyadarkan anak akan lingkungannya.

Read (1970: 30) memberi penegasan bahwa dalam ekspresi bebas, pendidik berperan sebagai pendamping dan memotivasi anak untuk menggali inspirasi anak. Penekanan Read adalah bahwa ekspresi diri anak tidak dapat diajarkan dan peranan pendidik adalah sebagai fasilitator.

(49)
(50)

sebagainya, (3) pendidik mendemonstrasikan proses penciptaan karya pada anak, namun jangan sampai terjebak apa yang didemonstrasikan menjadi hal yang harus ditiru oleh anak.

Setelah pemberian motivasi, pendidik meminta anak untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dalam pembuatan karya seni rupa. Dalam hal ini pendidik berperan sebagai pendamping untuk memberikan bantuan pada anak. Penilaian yang diberikan pendidik bersifat apresiatif yaitu bersifat menerima dan menghargai apa yang diungkapkan atau diciptakan oleh anak dengan menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari karya yang diciptakannya tersebut (Salam, 2001: 14). Dengan demikian hasil penilaian tidak ada istilah salah atau benar karena ekspresi anak bersifat unik dan alamiah.

b. Pendekatan Berbasis Disiplin

(51)

history), kritik seni (art criticism) dan estetika/filsafat seni (aesthetics) dalam

suatu pengalaman belajar yang menyeluruh. Hal ini diperkuat dengan gagasan Eisner (1997:16) bahwa, Identified the productive, critical, and cultural and/or

historical realms as necessary for leading the child to aesthetic experiences.

Aesthetic education therefore represented a balance among producing,

appreciating, and understanding. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan seni

rupa sesuai yang tersirat dalam DBAE pelaksanaannya tidak memilah keempatnya tetapi berusaha untuk mengintegrasikannya.

(52)

Pada hakekatnya seni adalah sebagai kegiatan artistik, namun demikian seni rupa sebagai disiplin ilmu dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan emosinya saja tetapi kegiatan mempelajari ilmu seni juga harus dilakukan. Dipandangnya seni rupa sebagai disipiln ilmu merupakan asumsi pokok yang mendasari pendekatan pendidikan seni rupa berbasis disiplin, karena sudah memenuhi tiga ciri disiplin ilmu yang dikemukakan oleh Dobbs (1992: 9) sebagai berikut: (1) a recognized body of

knowledge or content, (2) a community of scholars who study the discipline, (3) a

set of characteristic procedures and ways of working that facilitate exploration

and inquiry. Dengan demikian seni rupa dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin

ilmu, karena memiliki isi pengetahuan (body of knowledge), adanya komunitas pakar yang mempelajari ilmu tersebut, adanya metode kerja yang memfasilitasi kegiatan eksplorasi dan penelitian.

c. Pendekatan Berbasis Konteks

Pendekatan berbasis konteks berpijak pada filosofis bahwa dalam mendidik anak melalui seni, konteks sosial masyarakat harus menjadi perhatian yang utama. Pada saat ini, pendekatan Berbasis Konteks yang menonjol adalah pendidikan seni multikultural.

(53)

model kurikulum pendekatan multikultural yang harus dipertimbangkan yaitu adanya pluralisme sosial, keragaman budaya/etnis dan kontekstualisme.

Sebagai konsep dasar, pendidikan seni rupa multikultural pada dasarnya merupakan sebuah filosofi, gagasan besar, atau pendekatan, dimana beragam program pembelajaran dikembangkan. Dengan demikian tidak identik dengan satu model program pembelajaran tertentu. Hal yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa semangat untuk mempromosikan keragaman budaya dilakukan melalui kegiatan seni rupa. Pendidikan berbasis multikultural dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1) Model Pengenalan

(54)

dari kelompok lain melalui ceramah, peragaan, diskusi dan praktek pembuatan karya. Evaluasi yang dilaksanakan dalam konteks untuk mengetahui sejauh mana anak dapat memahami dan mengapresiasi budaya/seni kelompok lain.

2) Model Pengamalan

(55)

multikultural model perombakan ini tampaknya tergolong sebagai pengembang kurikulum yang dikelompokkan sebagai kaum rekonstruksionis sosial yang memandang pendidik sebagai politikus yang harus memilih dua pilihan: sebagai kelompok konservatif yang akan melayani sang penguasa atau sebagai kelompok perombak yang mencoba untuk mencari alternatif-alternatif. Pendukung kelompok model perombakan mengatakan bahwa budaya bukanlah suatu yang harus diterima dan tanpa perubahan, oleh karena itu perlu ada peninjauan.

Wasson dkk. dalam Salam (2001: 29) menyatakan bahwa yang menjadi pendukung pendidikan seni rupa multikultural model perombakan ini menegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, mereka memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang dinamik dan kompleks yang mempengaruhi interaksi manusia yakni kemampuan fisik dan mental, kelas sosial, jender, usia, politik, agama, dan kesukuan. Mereka mencari pendekatan yang lebih demokratik yang memberikan peluang bagi kelompok yang terpinggirkan untuk menyuarakan dirinnya dalam proses pendidikan seni rupa, dan menumbuhkan kepekaan semua pihak pada asumsi yang dianggap benar yang ada pada ideologi yang dominan.

(56)

menganalisis dan memperbaiki sikap negatif yang mungkin mereka miliki terhadap pluralisme social dan keragaman suku. Langkah kedua, pendidik dan peserta didik melakukan analisis situasi supaya akrab dengan masyarakat. Langkah ketiga, pendidik dan peserta didik memilih bahan kurikulum relevan dan menarik. Langkah keempat, pendidik dan peserta didik berkolaborasi mengadakan penyelidikan masalah-masalah yang ada kaitannya dengan bahan kurikulum yang dipilih. Tindakan yang ditempuh dengan mengidentifikasi masalah sosial yang berkaitan dengan agama, suku, jenis kelamin, tingkat kehidupan munusia, dan lain-lain. Kemudian mengumpulkan data, mengklarifikasi, menanang nilai yang dianut peserta didik, membuat keputusan reflektif kemudian mengambil langkah nyata sesuai keputusan. Merupakan langkah terakhir yaitu langkah kelima pendidik melaksanakan program evaluasi baik formatif maupun sumatif. Lima langkah yang dikemukakan oleh Wasson tersebut di atas merupakan salah satu cara penyusunan kurikulum pendidikan berbasis multikultural.

Ketiga pendekatan pendidikan seni rupa yang telah diuraikan di atas merupakan tiga pendekatan utama yang mempengaruhi pemikiran dan praktek pendidikan seni rupa dewasa ini.

4. Pendidikan Seni Rupa di Sekolah Dasar di Indonesia a. Tinjauan Historis

(57)

kemampuan seseorang menggambar bangun dan pengamatan yang tajam.

Perkembangan selanjutnya pada akhir abad ke 19, sebagai hasil dari studi lahirlah pandangan baru tentang dunia anak yang amat besar pengaruhnya terhadap pendidikan seni rupa. Riset pertama yang membahas seni anak tepatnya dilaksanakan pada musim dingin pada tahun 1882 oleh Corrado Ricci seorang penyair Italia yang hasilnya merupakan dukungan studi tentang ekspresi seni sebagai suatu alat untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam pada pengalaman total anak-anak. Kemudian era studi anak pada akhir abad ini merupakan sebuah gerakan yang meluas dan berpusat pada pola-pola prilaku anak pada setiap perkembangannya.

Pada tahun-tahun tersebut, lahir teori-teori yang berpusat pada pola-pola perilaku anak pada setiap tahap perkembangannya. Hal ini diperkuat pernyataan Uhlin (1975:18) yang menyatakan bahwa International congresses were formed

in those years to pool data and structure theories which would communicate just

what it as that the child was resolving at a particular chronological age. Sebuah

(58)

Pandangan baru ini melihat anak sebagai pribadi yang unik yang berbeda dengan orang dewasa. Selanjutnya studi awal tentang anak dilakukan para ahli, salah satu hasilnya adalah ditemukannya pola perkembangan menggambar anak berdasarkan usia anak Sejalan dengan penemuan adanya pola kemampuan menggambar anak, maka muncullah pandangan baru tentang pembelajaran seni rupa anak yang berfokus pada perkembangan alamiah anak dan pengalaman belajar anak.

Memasuki abad ke 20 perkembangan seni rupa memasuki babak baru, dengan terbitnya banyak jurnal pendidikan seni rupa sebagai hasil penelitian. Pendidikan seni rupa yang sebelumnya hanya terbatas pada kegiatan menggambar menjadi lebih luas mencakup pembelajaran apresiasi seni rupa, disain, dan kerajinan. Mulailah adanya pengakuan karya seni rupa anak sebagai karya seni rupa yang sesungguhnya. Pada masa sebelumnya, menurut Read hanya orang dewasalah yang memilki kematangan perasaan dan intelektual yang dipandang layak untuk menghasilkan karya seni (Read, 1970: 1). Frank Cizek, seorang pendidik dan perupa dari Wina, adalah orang pertama yang memberikan pengakuan adanya nilai yang terkandung pada karya seni rupa anak. Ia menegaskan bahwa seni rupa anak hanya mampu dihasilkan oleh anak dan anak menggambar harus diberi kesempatan untuk tumbuh bagaikan bunga yang berkembang dengan sendirinya secara alami, bebas dari pengaruh orang dewasa.

(59)

tulipnya. Hal ini mencerminkan sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia cenderung tidak menggambarkan keadaan atau suasana Indonesia, tetapi menanamkan tradisi Barat sebagai suatu kemajuan. Akibat yang diinginkan anak-anak Indonesia tidak dapat mengenal, menghargai budaya dan tradisinya sendiri.

Namun yang terjadi selanjutnya timbul ketidakpuasan dari kaum pribumi terpelajar yang menginginkan perlunya anak-anak Indonesia mengenal, menghargai budaya dan tradisi bangsa sendiri. Kemudian oleh R.M Soewadi Soerjaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro mendirikan sekolah swasta untuk kepentingan anak-anak pribumi dan menurut pandangannya pendidikan seni rupa merupakan alat untuk menanamkan kepribadian Indonesia. Ekspresi diri, keaslian, dan sadar budaya adalah dasar dari metode pendidikan seni rupa yang diterapkan di Taman Peserta didik (Holt, 1967: 195).

(60)

dianggap penting. Pada mata pelajaran menggambar meliputi menggambar alam benda, perspektif, ilustrasi, dan menggambar ekspresi, yang kesemuanya bertujuan melatih pengamatan anak. Pada menggambar ekspresi, anak-anak diberi kebebasan untuk menyatakan ide dan perasaannya. Pendidik sebagai fasilitator memberikan kemudahan-kemudahan pada anak. Pada kelas-kelas akhir, anak-anak diajarkan keterampilan agar memiliki kemampuan untuk membuat barang yang bersifat fungsional, dan dijual untuk menambah beaya kegiatan sekolah.

Pada masa awal kemerdekaan, pelaksanaan pendidikan seni rupa tidak mengalami perubahan yang berarti. Pembelajaran masih mengembangkan kemampuan anak melalui latihan koordinasi mata dan tangan, hanya objek gambar bukan lagi pemandangan di Belanda tetapi pemandangan alam Indonesia. Baru pada tahun 1964 istilah “menggambar” diganti dengan “seni rupa”.

(61)

dan (2) penerapan “pendekatan sistem” dalam rancangan kegiatan pembelajaran seni rupa.

1) Penerapan pendekatan disiplin

Seperti telah dikemukakan dimuka bahwa pendekatan disiplin mempunyai ciri adanya program pembelajaran yang sistematik dan berkelanjutan dalam empat bidang yaitu: bidang penciptaan, penikmatan, pemahaman, dan penilaian. Keempat bidang tersebut dijabarkan dalam mata ajaran dan tercermin dalam kurikulum meliputi, art production, art criticism, art history, and aesthetics (Dobbs, 1992: 9). Keempat bidang tersebut tidak harus diajarkan secara terpisah tetapi diajarkan secara terpadu. Pada art production adalah suatu disiplin dalam hal penciptaan seni rupa, merupakan proses kreatif melalui pengolahan bermacam-macam materi untuk menciptakan efek visual yang diinginkan. Dalam hal ini banyak yang dapat dipelajari, dialami, dieksplorasi oleh anak, sedangkan

art criticism adalah disiplin yang memfokuskan perhatian pada persepsi dan

(62)

yang memfokuskan perhatian pada peran seni rupa dan seniman dalam konteks social, politik dan budaya. Aesthetics adalah disiplin yang memfokuskan pada diskusi hakekat dan makna seni rupa, pengalaman keindahan dan sumbangannya terhadap kehidupan dan kebudayaan manusia.

Dengan demikian pendekatan disiplin memandang kegiatan pembelajaran di sekolah seyogyanya tidak hanya menyangkut kegiatan berkarya seni rupa seperti melukis, mematung, mencetak, dsb., tetapi juga mencakup sejarah senirupa, kritik seni rupa, dan estetika. Dalam kurikulum tahun 1975, pandangan ini diakomodasi yang ditandai dengan meluasnya cakupan mata pelajaran seni rupa. Kurikulum selanjutnyapun yang muncul melanjutkan apa yang dimulai pada kurikulum tahun 1975 . Demikian pula dengan KTSP yang berlaku saat ini mengacu pada Standar Isi yang kandungannya mencerminkan kekomprehensifan isi sebagaimana yang diamanatkan oleh pendekatan disiplin.

2) Penerapan pendekatan sistem

(63)

Indonesia, sangat mempertimbangkan aspek psikologis anak sejalan dengan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya menjadikan anak sebagai pusat perhatian guru dalam kegiatan pembelajaran. Sesuai tujuan pendekatan berbasis disiplin, agar anak memiliki pengetahuan, sikap, ketrampilan bidang seni rupa.

(64)

Dengan demikian pada hakekatnya pendekatan berbasis disiplin pada pendidikan seni rupa membawa anak tidak hanya diberi kesempatan untuk berekspresi seni rupa, tetapi juga memberikan pembelajaran cara mempelajari bagaimana menikmati suatu karya seni rupa, bahkan mereka diberikan pula cara memahami konteks dari sebuah karya seni rupa dari berbagai masa. Hal ini diharapkan akan berdampak pada tumbuhnya rasa penghargaan terhadap keragaman karya-budaya yang dimulai dari lingkungannnya, sesuai dengan yang ada dalam Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) Sekolah Dasar antara lain: Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya.

B. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar

Anak usia sekolah dasar pada umumnya ada pada usia 6 sampai dengan 12 tahun. Pada rentang usia tersebut anak mengalami fase tertentu, yaitu masa usia sekolah dasar sering disebut juga sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Ditinjau dari sudut pandang psikologis masuk dalam kategori

childhood, dimana anak mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak

(65)

namun demikian perlu diketahui adanya perbedaan tingkat kecepatan kematangan anak sangat dipengaruhi oleh kehidupan lingkungan sosial budaya masyarakatnya.

(66)

dewasa; (l) menunjukkan perilaku yang egosentris bahkan sering menuntut apa yang menjadi keinginannya.

Selanjutnya dikemukakan lagi oleh Brady (1991: 35-7) bahwa anak usia 8 dan 9 tahun: (a) pemfungsian tahap berpikir operasional konkret menurut Piaget, bahwa anak sudah mulai berpikir lebih fleksibel dan hati-hati; (b) Erickson berpendapat bahwa anak mempunyai pengalaman pada tahap kepandaian dan perasaan rendah diri; (c) mulai menerima konsep yang benar berdasarkan aturan; (d) memiliki perhatian dan penghormatan dari kelompok kini lebih penting; (e) mulai melihat sesuatu dengan sudut pandang orang lain bahkan sifat egosentris sudah semakin berkurang; (f) mulai mengembangkan konsep dan hubungan spasial; (g) menghargai petualangan imaginatif; (h) mulai menunjukkan minat dan keterampilan yang berbeda dengan kelompoknya; (i) mempunyai ketertarikan pada hobi bahkan koleksi yang lebih bervariasi; (j) adanya peningkatan kemampuan mengutarakan sebuah ide ke dalam kata-kata; dan (k) sudah mulai membentuk persahabatan yang khusus dengan temannya.

(67)

Anak dalam usia 6 sampai 12 tahun memiliki karya seni rupa yang bersifat khas sebagai cerminan dari tingkat kemampuan dan kesenangannya. Pertumbuhan dan perkembangan realitasnya tidak dapat dipisahkan. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yaitu peningkatan ukuran struktur yang mempengaruhi perkembangan intelektual dan mental anak.

Perkembangan anak meliputi perkembangan fisik intelektual, emosional, kreativitas, dan sosial. Berikut ini dibahas secara umum sisi perkembangan anak sekolah dasar secara singkat.

a. Perkembangan fisik dan motorik

(68)

kegelisahan, dan keputusasaan, kemudian mereka mengendurkan diri, baik secara fisik maupun secara psikologis.

b. Perkembangan intelektual

Perkembangan intelektual dikenal dengan perkembangan intelegensi, kognisi, atau kecerdasan. Piaget merinci intelegensi dalam komponen isi (apa yang dipikirkan), struktur (konsep atau pola pikir) dan fungsi (organisasi dan adaptasi). Anak usia 7-11 tahun sudah lebih mampu berpikir, belajar, mengingat, dan berkomunikasi, karena proses kognitif mereka tidak terlalu egosentris lagi dan sudah lebih logis lagi. Piaget menamakan usia ini sebagai periode operasional konkret, dimana anak-anak telah mampu menggunakan simbol-simbol untuk melakukan suatu operasi atau aktivitas mental, berlawanan dari aktivitas fisik yang selama ini diterapkan untuk memecahkan masalah atau untuk berpikir. Anak-anak sudah belajar mengembangkan konsep berpikir sederhana, seperti pemisahan, konversi, reversibility (bolak-balik), identitas, kompensasi, klasifikasi, angka, dan lain-lain.

c. Perkembangan emosional

(69)

d. Perkembangan kreativitas

Anak usia sekolah dasar dinamai dengan “usia kreatif” (Hurlock, 1991: 147) atau masa “keemasan berekspresi kreatif” (Herawati, 1999: 9), masa berimajinasi tinggi dan masa bermain. Penelitian mengenai kreativitas menunjukkan bahwa bila anak-anak tidak dihalangi oleh rintangan-rintangan lingkungannya, kritik, atau cemoohan orang dewasa atau orang lain mereka akan mengarahkan tenaganya ke dalam kegiatan-kegiatan kreatif. Suatu rentang kehidupan dimana akan ditentukan apakah anak-anak menjadi konfomis atau mencipta karya yang baru dan orisinal. Perkembangan kreativitas peserta didik dapat distimulasi dengan banyak cara, tetapi lingkungan yang tidak mendukung dapat menghambat bahkan merusak potensi kreatif peserta didik tersebut. Perkembangan kreativitas peserta didik dapat diamati pada proses dan karya kreatif peserta didik.

Menurut Abdussalam (2005: 50-51) ada beberapa pilar kreativitas dan faktor yang mempengaruhi munculnya kepribadian seorang anak, lingkungannya, kehidupan, dan cara pertumbuhannya yaitu:

(70)

beberapa perantara atau gambaran-gambaran akal, atau melalui aktivitas seni, baik yang berupa aktivitas melukis, mewarnai, membentuk, musik, permainan, dan gerakan.

2) Menikmati pengalaman-pengalaman, dan aktivitas yang berbeda-beda itu merupakan sesuatu yang penting dan pilar yang besar dalam membentuk kreativitas pada diri anak

3) Permulaan kreativitas itu ditandai dengan perolehan beberapa hal, dan produksi bentuk-bentuk yang baru, serta kemampuan untuk menyelesaikan sebagian permasalahan atau perlawanan ditengah-tengah beraktivitas.

4) Permainan anak-anak merupakan pilar pemikiran kreatif yang paling penting. Pada masa anak-anak ini, kita mendapati seorang anak itu dapat berbicara, bermain, bertanya, mencontoh, menirukan, mengikuti, berbohong, bercanda, bersukaria, bernyanyi, menemukan dan menghasikan sesuatu, berkhayal, melukis, dan membaca.

(71)

untuk memformulasikan hipotesa. Misalnya dalam melihat sebuah gambar, dicari sesuatu yang tidak terdapat dalam gambar.

b. Product Improvement Activity; kegiatan yang memberi kesempatan untuk

mengembangkan ide-ide dari sesuatu yang telah ada, misalnya sebuah mainan anak-anak, kegiatan yang dilakukan adalah apa yang bisa dibuat atau dikembangkan berdasarkan rangsangan visual dari mainan tersebut. c. Usulan Uses Activity; kegiatan yang bertujuan untuk membeberkan pikiran

dari sesuatu yang telah mapan, misalnya berpikir tentang apa yang dapat digunakan terhadap sebuah kaleng susu selain untuk tempat susu.

d. Usulan Quesstion Activity; kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan berbagai macam rspon dari suatu pertanyaan yang tidak biasa, misalnya kenapa Tuhan memilih buah apel untuk menggoda Siti Hawa.

e. Just Suppose Activity; kegiatan ini bertujuan mengembangkan fantasi yang

tinggi dengan memberikan suatu gambaran atau ilustrasi yang mustahil dapat terjadi.

(72)

a. Picture Construction Activity, kegiatan ini dimaksudkan mengembangkan

kemampuan dalam menemukan sesuatu yang belum memiliki maksud yang jelas dalam suatu rangsang visual. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah elaborasi sehingga diketemukan cara pemecahan masalahnya. Misalnya diberikan rangsangan visual berbentuk buah, kemudian bentuk tersebut dikembangkan menjadi bentuk yang lengkap dan menceritakan sesuatu secara visual.

b. Incomplete Figure Activity; kegaitan ini bertujuan untuk mengembangkan

kemampuan untuk membuat struktur dan kesatuan, menciptakan ketegangan mental untuk keluar dari permasalahan dengan melengkapi gambar melalui cara yang sederhana dan semudah mungkin. Untuk mendapatkan respon yang orisinal ketegangan emosi harus terkontrol. Biasanya ada sepuluh bentuk yang tak lengkap untuk disempurnakan dalam waktu yang terbatas.

c. Repeated Figure Activity; kegiatan ini mirip dengan Incomplete Figure Activity, hanya saja kegiatan ini dikembangkan dari satu jenis unsur

sebagai rangsang pengembang ide. Dalam hal ini yang dikembangkan adalah kemampuan membuat variasi dari sebuah jenis rangsang visual, misalnya bentuk lingkaran, garis sejajar dalam jumlah tertentu dan juga dalam gerakan terbatas.

e. Perkembangan sosial

Gambar

Gambar 16. Hasil Gambar Anak Umur Lima Tahun, Yang Menunjukkan Masa Peralihan dari Subtahap Figuratif Awal ke Subtahap Figuratif Tengah (Sumber:  Lansing, 1976, Art, Artist, and Art Education)
Gambar 18. Harimau  dalam Kandang  (Sumber:  Lansing, 1976, Art, Artist, and Art Education
Gambar 19. Gambar Kereta oleh Anak Umur Lima Tahun  (Sumber:  Lansing, 1976, Art, Artist, and Art Education)
Gambar 28. Gambar Yang Menunjukkan Perbedaan Anak Laki-laki dan Perempuan Dengan Ciri-Ciri Pakaian yang Rinci  (Sumber:  Lansing, 1976, Art, Artist, and Art Education)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang akan diselesaikan pada rancangan Galeri Seni Lukis Modern di Yogyakarta adalah rancangan bangunan yang dapat memudahkan pengunjung untuk melihat hasil karya

Tugas Akhir ini mengungkapkan gagasan imajinasi penulis dalam bentuk karya seni lukis, yang terimajinasi oleh kerinduan terhadap pohon. Permasalahan yang dibahas dalam Tugas

Jika dilihat dari karakteristik faset uji coba untuk semua komponen, maka terapan model penilaian pada faset di kelas 1 sudah memberikan bukti bahwa model

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tugas Akhir berjudul Kehidupan Anak-Anak Marginal Di Perkotaan Sebagai Sumber Ide Dalam Penciptaan Karya Seni Lukis adalah betul-betul

Perkembangan seni lukis modern bernafaskan Islam di kota Bandung ditandai dengan hadirnya unsur kaligrafi dalam karya seni lukis Ahmad Sadali dan A.D. Pirous, yang keduanya

Judul Skripsi : PENGEMBANGAN VIDEO TUTORIAL SENI LUKIS DENGAN MEDIA ASAP PADA MATA PELAJARAN LUKIS MODERN DI KELAS XI PROGRAM KEAHLIAN SENI LUKIS SMK NEGERI 9 SURAKARTA

Imam Bukhori. ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS SEBAGAI SUMBER IDE PENCIPTAAN KARYA SENI LUKIS. Program Studi Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain,

Penulisan tugas akhir karya seni ini bertujuan untuk mendeskripsikan cirikhas masing – masing tokoh Pandawa serta mendeskripsikan proses pembuatan karya seni lukis dengan