• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek yang Dinilai dalam Karya Seni Lukis

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Penilaian dalam Pembelajaran Seni Lukis di Sekolah Dasar

3. Aspek yang Dinilai dalam Karya Seni Lukis

Sesuai dengan prinsip performance assessment yang telah diuraikan di atas, performance assessment mempunyai dua karakteristik dasar yaitu: (a) peserta didik diminta mendemonstrasikan kemampuannya dalam membuat kreasi suatu produk atau terlibat dalam aktivitas perbuatan, (b) hasil karya atau produknya. Dengan demikian penilaian karya seni lukis peserta didik meliputi dua aspek yaitu aspek proses pembuatan karya dan aspek hasil karya seni lukis peserta didik. Berikut ini penilaian proses dan penilaian produk karya lukis peserta didik.

a. Penilaian Proses Karya Seni Lukis

Tujuan penilaian proses karya adalah untuk mengamati kompetensi peserta didik dalam berkreasi membuat karya seni lukis. Menurut Conrad (1964: 271) the processes of evaluation help to build guides and to define and clarity the purposes and accomplishments of the educational processes.In art education, the evaluation prosesses are natural parts of art activity.Karena proses penilaian membangun bimbingan terhadap peserta didik dan memperjelas tujuan dan pemenuhan dalam proses pembelajaran, maka penilain proses sangat diperlukan apalagi proses penilaian merupakan bagian yang alami dari aktivitas seni.

Pelaksanaan penilaian dilakukan dengan mengamati peserta didik dalam melaksanakan tugas yang diberikan dalam proses pembelajaran dengan tidak mengganggu aktivitas belajar peserta didik. Agar pengamatan pendidik lebih

terarah, sistematis, dan komprehensif untuk memperoleh data yang akurat dengan tidak kehilangan aktivitas yang dilakukan peserta didik, perlu dilengkapi dilengkapi dengan instrumen non tes yaitu check list atau skala rentang.

Sesungguhnya kemampuan-kemampuan peserta didik yang dikembangkan dalam pendidikan seni rupa lebih banyak dalam bentuk penampilan yang sulit diukur dengan tes, yaitu terutama penampilan-penampilan peserta didik dalam aspek afektif dan psikomotorik. Dengan instrumen teknik non tes akan diperoleh data akurat dengan tidak kehilangan aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik. Non tes digunakan tatkala pengertian evaluasi tidak sekedar identik dengan testing tetapi mempunyai pengertian yang lebih luas yaitu suatu proses penentuan nilai-nilai fenomena-fenomena yang secara edukasional relevan (Eisner, 1997: 204).

Selama kegiatan proses belajar mengajar berlangsung dalam pembelajaran seni lukis, pendidik melakukan penilaian dengan secara langsung mengamati bagaimana peserta didik membuat karya lukis, bagaimana penanganan alat dan bahan yang digunakan, bagaimana kelancaran ekspresi mareka, bagaimana cara memecahkan masalah penciptaan yang mungkin mereka jumpai, bagaimana mereka membangun dan mengorganisasikan kesatuan-kesatuan estetis, bagaimana peserta didik memanfaatkan waktu, dan lain sebagainya.

Teknik non tes bukannya tidak mengandung kelemahan seperti halnya teknik, cara maupun metode yang lain, tetapi apabila dikembangkan secara kreatif dan diinterpretasi secara bijaksana dapat memberikan informasi evaluatif yang memiliki tingkat kesahihan (valid) tinggi.

Dalam pendidikan seni rupa, penguasaan teoritis kesenirupaan dan keterampilan-keterampilan bersifat non ekspresif, misalnya apresiasi, bagaimana menyiapkan alat-alat dan bahan untuk melukis, menyiapkan bahan dan alat untuk membuat patung, dan sebagainya. Relatif tidak sulit untuk ditetapkan kriteria keberhasilan peserta didik yang dapat dikenakan pada hasil belajar yang dapat diukur secara objektif melalui tes. Tetapi kegiatan-kegiatan seni rupa yang bersifat ekspresif-kreatif-estetis sulit untuk terlebih dahulu ditetapkan kriteria keberhasilan objektif yang dapat diberlakukan secara klasikal.

Tidak mudah orang meramalkan secara pasti yang akan terjadi sebagai hasil aktivitas tersebut, seperti kemungkinan-kemungkinan ekspresif-kreatif- estetis dari lukisan, patung, seni garfik, dan lain sebagainya. Inspirasi-inspirasi, penemuan-penemuan ide, simbol-simbol personal, kemungkinan-kemungkinan penciptaan yang tidak terduga sebelumnya yang muncul dalam proses berekspresi dan berkreasi dengan media seni rupa merupakan hasil pendidikan seni rupa yang sulit diterapkan kriteria ekstrinsik dalam tujuan pendidikan, seperti dikatakan oleh Eisner (1997: 211) sebagai berikut: “Many of the most highly prized outcomes of art education are not capable of being stated in advance in the form of instruction objectives”. Penilaian di bidang ini lebih tepat tidak dengan penggunaan kriteria yang ditentukan terlebih dahulu untuk standar pencocokkan tingkah laku atau hasil kerja peserta didik, melainkan dengan usaha menemukan kualita-kualita berharga dalam proses dan hasil kerja peserta didik. Usaha menemukan kualita- kualita berharga dari proses dan hasil kerja peserta didik dalam hal ini lebih banyak dapat ditempuh lewat non tes.

Di depan telah disebutkan bahwa instrumen non tes antara lain chek-list, rating scale, dan catatan anecdotal. Mekanisme penggunaan instrumen-instrumen tersebut pada dasarnya adalah sepenuhnya di tangan pendidik. Data yang terkumpul adalah data yang tertangkap oleh kacamata pendidik. Mengingat kepekaan kacamata pendidik yang relatif terbatas dan bahwa proses dan hasil penciptaan karya seni rupa menyangkut segi jiwani yang kompleks, dapat dipastikan bahwa selalu ada data evaluatif yang sebenarnya relevan tetapi tidak sempat tertangkap oleh kacamata tersebut. Karya seni rupa peserta didik sebagai visualisasi visi dan idea peserta didik tidak selalu dengan mudah dapat dibaca, terutama hal-hal yang sangat bersifat personal seperti: kelancaran dan kepuasan ekspresinya, tentang nilai-nilai baru yang dapat dipetik dari pengalaman mencipta, dan alasan-alasan kondisional lainnya. Hal-hal yang bersifat personal dalam aktivitas penciptaan tersebut merupakan data pelengkap yang sangat diperlukan dalam rangka usaha penilaian untuk melihat peserta didik secara objektif.

Untuk keperluan tersebut De Francisco-Italio (1958: 224-227) mengembangkan apa yang disebut: Pupil’s Self-Evalution Form, yaitu suatu format yang dapat digunakan peserta didik untuk menerangkan hasil kegiatannya dalam bidang seni rupa sesuai dengan pendapat dan perasaannya. Disini dapat dituliskan juga tentang alasan-alasan dari pendapat dan keterangan yang diberikan tentang karyanya seperti pada contoh format Tabel 3.

Melalui pengisian format seperti pada Tabel 3 oleh peserta didik, pendidik seni rupa dapat mengumpulkan data yang mungkin tidak terjaring oleh

kacamatanya, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati dan dirasakan oleh peserta didik yang bersangkutan.

Tabel 3. Pupil’s Self Evaluation Form (Sumber: Francisco, 1958: 227)

PUPIL’S SELF EVALUATION FORM Pupil ‘s Name __________________ Date ____________ Grade _________________________

Very Good

Good Fair Poor Reasons I Think So I think my picture is I think my linoleum cut is I think my illustration is I think my modeling is I think my weaving is

Sesungguhnya penilaian atas karyanya sendiri merupakan hal yang penting dalam bidang seni. Pendidik harus mempertimbangkan baik perkembangan personal maupun perkembangan akademik. Peserta didik perlu memahami proses pembelajaran, dan pendidik memahami apa yang dianggap peserta didik menarik atau penting dalam sebuah tugas yang diberikan Dalam hal ini perlu peserta didik menjadi mengetahui tentang dirinya sendiri.

Selain dengan menggunakan format seperti di atas, untuk mendapatkan masukkan data evaluatif dari pihak peserta didik De Francisco-Italio menggunakan yang disebut The Jury System yaitu, penjurian oleh sekelompok peserta didik bergantian menilai karya-karya seni rupa di kelasnya dan dapat pula dilengkapi dengan class discussion system yaitu diskusi kelas untuk membahas karya-karya tersebut. Tentunya semua ini sesuai dengan tingkat

perkembangan paserta didik tersebut. Data yang terkumpul di atas tidak saja bermanfaat untuk melengkapi pertimbangan penentuan hasil penilaian, tetapi juga diperlukan dalam rangka peningkatan bimbingan peserta didik selanjutnya.

Untuk melengkapi objektivitas penilaian Eisner (1997: 223-204) menyarankan penggunaan format penilaian oleh peserta didik sendiri yang disebut: Student Self-evaluation form yang dapat memberikan informasi dari tiap peserta didik, apakah suatu kegiatan seni rupa itu menarik atau membosankan, mudah atau sulit, bermanfaat atau tidak, hasilnya baik atau buruk, serta pengalaman-pengalaman berharga mana yang berhasil dipelajari dalam kegiatan tersebut dan seterusnya seperti dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Student Self Evaluation Form (Sumber: Eisner, 1997: 203)

Student Self-Evaluation Form

Dengan pengisian dan pengumpulan format di atas, pendidik dapat Name _________________________________

Date __________________________________

Name of Project ________________________________ Date Completed ________________________________

1. I thought this project was: Boring ___ ___ ___ ___ ___ Exciting 2. I found the work on it: Easy ___ ___ ___ ___ ___ Difficult 3. I think I learned: A lot ___ ___ ___ ___ ___ A little From this project

4. This project was my: Worst piece Best piece of work ___ ___ ___ ___ ___ of work 5. The most important things I got out of this project were: __________ __________________________________________________________ __________________________________________________________

peserta didik. Menurut Barrett: “ In art the pupils perception of the learning process is the starting point for teaching” and “we must ask not only what we need to know as teachers but what the pupils need to know about themselves”. Dengan demikian proses pembelajaran merupakan titik tolak untuk pengajaran dan sebagai pendidik harus menanyakan tidak hanya apa yang perlu diketahui oleh pendidik, melainkan juga apa yang perlu peserta didik ketahui tentang dirinya sendiri.

Berdasarkan pengisian format di atas, apa yang telah berhasil mereka pelajari dari kegiatan tersebut, kadar keterlibatan mereka dalam kegiatan, tingkat kepuasan mereka dan lain sebagainya. Kumpulan format-format yang masuk ketangan pendidik setiap kali selesai kegiatan akan merupakan rekaman data penilaian peserta didik sendiri terhadap perkembangannya secara kontinyu dalam olah seni rupa selama satu satu tahun akademik berlangsung.

Selanjutnya Eisner sebagaimana menurut De Francesco-Italio, menyarankan penggunaan teknik lain yang juga berguna untuk evaluasi dalam pendidikan seni rupa adalah apa yang disebutnya The Group Critique, yaitu peserta didik diminta menunjukkan satu atau dua karya mereka secara bergiliran, kemudian yang bersangkutan diminta menjelaskan karyanya dan selanjutnya kelompok peserta didik yang lain memberikan respons dalam bentuk bahasan kritis. Beberapa keuntungan dengan cara demikian adalah: pertama, para peserta didik mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang telah dilakukan atau dihasilkan dari suatu kegiatan berkarya, dengan demikian terkembangkan sikap oto kritis peserta didik. Kedua, prosedur demikian memungkinkan peserta

didik secara sistematis mengetahui bagaimana perkembangan peserta didik yang lain. Bagaimana mereka menangani problem-problem, kegagalan-kegagalan, dan keberhasilan-keberhasilan dalam berkarya. Dengan demikian terkembangkan sikap apresiatif peserta didik. Ketiga, prosedur demikian memberikan kesempatan dan bahan bagi pendidik untuk menggunakan komentar-komentar peserta didik sebagai masukkan diagnostik dan remedial.

b. Penilaian Produk Karya Seni Lukis

Pada prinsipnya tujuan penilaian produk seni lukis adalah untuk melihat kompetensi peserta didik dalam membuat karya cipta seni lukis. Dalam hal ini pendidik memfokuskan perhatiannya pada hasil karya lukis yang diciptakan oleh peserta didik yang tentunya tidak terlepas dari proses penciptaannya. Oleh karena itu kegiatan penilaian memerlukan kriteria. Conrad (1964: 271) menjelaskan bahwa:

Evaluation criteria are not rigid. New criteria must be formulated for each group of children because children are constantly growing and changing in their thinking, their abilities, and their knowledges. The processes of evaluation help to build guides and to define and clarity the purposes and accomplishments of educational processes.

Dengan demikian penetapan kriteria harus disesuaikan dengan perkembangan usia anak dan kriteria tidak bersifat kaku.

Kriteria untuk melakukan penilaian produk karya seni lukis cukup sulit karena adanya keragaman cara pandang terhadap karya seni. Salah satunya pendapat Aspin dalam Ross (1982: 66) yang menyatakan bahwa: Work of art is correctly described as “unique particulars”, but the description prompts the question: how can something which is unique generate criteria for evaluating

berlaku untuk karya tersebut sehingga sulit menerapkan kriteria yang sama untuk menilai karya yang lain.

Perdebatan-perdebatan yang sering terjadi karena perbedaan pemahaman, meminjam dari penilaian kritik, Pepper (1973: 451) berpendapat bahwa bisa saja perbedaan yang terjadi disebabkan oleh pandangan kontekstual yang tidak sama, karena masing-masing kepentingan tidak ada titik temu. Disini penilaian dapat dilihat sebagai suatu proses intersubjektif, dan setiap proses intersubjektif selalu mendatangkan konflik. Namun demikian, Heyfron (1986: 56) berpendapat bahwa: … that the arts are not fundamentally different from other subjects in the curriculum (e.g. science) and that a high degree of consensus about criteria appropriate for judging art work is not only conceptually consistent with the notion of art, but also practicably desirable. It contends that judgements about the merits of art work can be justified with reference to publicly agreed criteria.

Hal ini menunjukkan bahwa penilaian dari suatu pekerjaan seni tidak hanya konsisten secara konseptual tetapi diperlukan juga praktisnya. Baik buruknya pekerjaan seni dibenarkan dengan adanya referensi dari kriteria-kriteria yang disetujui oleh khalayak umum.

Lebih jauh lagi dalam dokumen APU (“Aesthetic Development”, 1983: 5) menyebutkan bahwa: What matters most in the arts as in science, is that judgements and interpretations should be informed with considerable consensus about the criteria to be applied when determining quality. Dengan demikian pada waktu menentukan kualitas karya diperlukan kriteria-kriteria yang merupakan konsensus dan sudah dipertimbangkan terlebih dahulu.

Sehubungan dengan kriteria pada penilaian karya seni tersebut di atas, Sumardjo (2000: 48) mengatakan bahwa meskipun seni itu kontekstual secara

bentuk dan isi, namun ada pula nilai-nilai yang sifatnya universal karena struktur jiwa manusia itu sepanjang sejarahnya sama, dan seni merupakan bentuk ungkapan manusia. Berdasarkan sifat universal dari seni itu sendiri, maka dapatlah dibuat suatu pendekatan untuk membuat kriteria dari suatu penilaian hasil karya seni dalam hal ini karya seni lukis anak. Menurut Waterman (1959: 382-383)

…there are a few criteria for judgment, which apply to the arts, implicitly or explicitly recognized in analytical criticism and capable of formulation. They are complete exploitation of media, the unique use of the media…., subordination of ornamention to form, relation of form to matter, etc.These criteria, however, are not “sure alls” or “cure alls” for the making of the perfect art product. They can, which is just as important, help us to understand art as a manifestation of experience.

Dengan demikian ada sejumlah kriteria untuk penilaian yang dapat diterapkan pada seni dan kriteria adalah eksplorasi total atas media dan penggunaan media yang unik. Kriteria tersebut dapat membantu untuk memahami seni sebagai perwujudan suatu pengalaman. Ditinjau dari kebermaknaan keberadaan kriteria penilaian bagi pendidik dan peserta didik salah satu pendapat sebagai berikut,

It is fundamental that teachers see assessment criteria as a means to support and sustain students' work. It is essential that students see assessment criteria as a tool to help them progress in their work. Assessment will go wrong from the outset if students or teachers see it as a way of controlling work and imposing ideas. Coney (1999: 2).

Untuk memberikan dasar pertimbangan penilaian, Mamannoor (2002: 49) mengatakan bahwa berdasarkan banyak referensi, disodorkan dasar pemahaman yang sama dalam metode pertimbangan penilaian suatu yakni formalisme, ekspresivisme, dan instrumentalisme.

Pertimbangan penilaian formalisme, pelaksanaannya menempatkan unsur- unsur estetika sebagai tinjauan utamanya bersifat representatif dari bentuk-bentuk signifikan yang dikandung dalam karya seni tersebut. Bell (1968: 26) mengatakan bahwa, bentuk-bentuk signifikan suatu karya seni rupa merupakan kualitas umum sebuah karya seni rupa. Dengan demikian pertimbangan penilaian formalisme menekankan pada tinjauan terhadap unsur-unsur visual yang terorganisasikan dalam komposisi sebuah karya seni rupa. Sudarmaji (1979: 33) menyatakan ukuran seni yang menitik beratkan pada factor wujud (form) disebut formalisme: yaitu bentuk, harmoni, komposisi, texture dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut Feldman (1967: 446) menjelaskan, bahwa pertimbangan penilaian formalisme menempatkan mutu artistik pada suatu kualitas yang terintegrasi dalam pengorganisasian secara formal dari suatu karya seni rupa. Dengan demikian penilaian formalisme lebih mengutamakan pembahasan karya tanpa harus mendalami atau menelursuri apa yang ada didalamnya, termasuk unsur- unsur yang dialami oleh pembuat karya.

Pertimbangan penilaian ekspresivisme, suatu pertimbangan penilaian yang cenderung melihat faktor pencipta karya sebagai orang yang melibatkan unsur-unsur pribadinya kedalam proses penciptaan karyanya. Ekspresivisme adalah sebutan untuk apresian yang cenderung menilai karya seni dari segi ekspresi (Sudarmaji, 1979: 33). Selanjutnya Feldman (1967: 459) memberikan contoh sederhana pada dunia ekspresi anak-anak sebagai berikut: bagi anak-anak, dorongan untuk berkomunikasi menunjukkan kebutuhan dirinya sendiri yang lebih kuat dari pada keinginan untuk menghiasi, memodivikasi, atau hasil

akhirnya sampai mencapai arti ‘keindahan’ yang dapat dimengerti oleh orang dewasa. Seni rupa buatan anak-anak sering dinikmati melalui khayalan dan dirancang dengan warna bebas yang tak bisa dirintangi. Dengan demikian pengungkapan perasaan dan gagasan-gagasan menjadi pertimbangan yang utama dalam penilaian ekspresivisme. Konsekuensinya dari hal tersebut di atas, Mamannoor (2002: 52) mengatakan bahwa gagasan-gagasan orisinal seorang seniman (pencipta karya) yang ditampilkan melalui suatu karya seni rupa sangat penting untuk dijadikan sebagai kriteria penilaian.

Pertimbangan penilaian instrumentalisme, mengandung makna kontekstual, yaitu ketika proses penggubahan seni rupa mengacu pada unsur- unsur yang melatarbelakangi pencipta seni misal budaya, sosial, politik, religi, moral, dan sebagainya. Feldman (1967: 463) mengatakan bahwa penilaian instrumentalisme tidak hanya mengutamakan penyampaian gagasan dan pengejawantahan kehendak (seperti pada penilaian ekpresivisme), melainkan suatu kajian yang berkaitan dengan hal-hal yang melatarbelakanginya. Dengan demikian penilaian secara instrumental sering digunakan dalam penilaian karya- karya seni rupa kontemporer, karena karya-karya seni rupa kontemporer biasanya dilatarbelakangi motivasi tertentu.

Berdasarkan ketiga pertimbangan penilaian di atas, dapatlah dirumuskan suatu pengertian bahwa untuk memberikan suatu penilaian pada karya seni dan sampai pada suatu keputusan diperlukan kriteria yang menjangkau tiga hal yaitu, pertama hal yang meliputi unsur-unsur visual yang terdapat pada karya tersebut antara lain: bentuk, komposisi, proporsi, perspekif, anatomi, gelap terang,

pewarnaan, dan sebagainya. Kedua, keterlibatan unsur-unsur pribadi melalui proses pengungkapan perasaan dan gagasan-gagasan dari pembuat karya. Ketiga, makna konstektual yaitu suatu kajian yang berkaitan dengan hal-hal yang melatar belakangi proses penggubahan karya.

Selanjutnya berkaitan dengan penentuan kriteria, Duane dan Prebel (1967: 127) mengemukakan bahwa: “…Criteria upon which many art professionals agree include degree of originality, sensitivity to the appropriate use materials, and consistency of concept, design, and execution”. Aspek tingkat original pada suatu hasil karya seni adalah terkait dengan sikap dari pembuat karya yang mengutamakan keaslian karya, tidak meniru karya yang sudah ada atau karya orang lain. Pada lukisan anak-anak dimana melukis merupakan suatu pengalaman berkarya, anak bekerja dengan kebebasan emosi dalam mengungkapkan isi hatinya, menggunakan konsep, ide, atau pengalamannya sendiri, sehingga karya- karya mereka benar-benar murni, tidak ada kecenderungan untuk meniru karya orang lain. Dengan demikian, secara umum pada aspek original dituntut kreativitas dalam menciptakan karya seni. Untuk menentukan tingkat originalitas suatu karya lebih dititikberatkan pada ide, kreativitas, bentuk visual, teknik, dan kepribadian.

Aspek sensitif menggunakan material berkaitan dengan penguasaan media yang digunakan untuk mewujudkan karya seni. Suatu hasil karya seni akan berhasil apabila pembuat karya sensitif terhadap media yang digunakan, memiliki pengetahuan tentang karakter masing-masing media, misal cat air mempunyai karakter lembut, cocok untuk digunakan dengan teknik transparan. Cat minyak

yang mempunyai sifat menutup, dan sebagainya. Pada anak-anak dalam berkarya, anak sering menggunakan lebih dari satu macam. Bahkan ada yang mengkombinasikan teknik goresan dengan teknik tempel dari elemen lain, sehingga akan memberikan efek pengamatan yang berbeda dari masing-masing karya. Dewobroto (2002: 9) berpendapat bahwa semakin bertambah umur si anak, semakin bertambah pula pengalaman dan tingkat penalarannya. Mereka akan semakin baik dalam penguasaan media, bahan , dan alat, dengan demikian masalah teknis pemakaian bahan dan alat serta umur anak merupakan sesuatu hal yang perlu diperhatikan dalam menilai lukisan anak.

Aspek konsistensi dengan konsep merupakan suatu karya seni yang mengandung suatu konsep dari pembuat karya yang disampaikan lewat hasil karya seninya. Konsisten tidaknya pembuat karya terhadap suatu konsep tampak pada tema dan bentuk visual pada karyanya. Dikatakan tidak konsisten dengan konsep dalam membuat karya apabila karya yang dibuat bentuknya tidak menunjang tema.

Aspek kriteria desain menitik beratkan pada unsur desain yaitu kaidah- kaidah komposisi, yaitu antara lain nilai kesatuan, kontras, keseimbangan, proporsi, irama, dan sebagainya.

Aspek pelaksanaan, dapat dilihat dari keseluruhan aktivitas peserta didik yang meliputi langkah-langkah dan prosedur dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh pendidik, misal bagaimana penggunaan bahan dan alat dimulai dari persiapan sampai dengan sentuhan akhir dalam pembuatan karya, bagaimana anak dalam mengerjakan tugas apakah merasa senang, asyik, atau bahkan merasa

tertekan sehingga tidak lancar dalam penuangan idenya. Sampai dengan penerapan kaidah etis dan etika, misal kebersihan karya tidak terkesan kotor merupakan sesuatu yang termasuk dalam aspek pelaksanaan.

Lain lagi yang dikemukakan Conrad (1964: 274) membuat kriteria dengan variasi yang meliputi: personal growth, social growth, dan growth in art skills. Ada dua variasiyang dikemukakan, pertama meliputi: personal growth, social