• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seni Lukis sebagai indikator gambar ekspresi dalam KTSP

BAB II KAJIAN PUSTAKA

C. Pembelajaran Seni Lukis di Sekolah Dasar

4. Seni Lukis sebagai indikator gambar ekspresi dalam KTSP

Dalam kurikulum KTSP, mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan adalah nama dari kelompok mata pelajaran estetika yang dilaksanakan pada tingkat sekolah dasar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 (Peraturan Pemerintah, 2005) disebutkan tujuan mata pelajaran Seni Budaya dan Ketrampilan adalah untuk meningkatkan sensitifitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Dalam mata pelajaran tersebut, dua kegiatan yang saling terkait satu sama lain yaitu apresiasi dan kreasi, termasuk di dalamnya yang bersifat rekreatif (performance).

Kegiatan apresiasi, dimaksudkan melatih perkembangan kepekaan rasa estetik peserta didik. Peserta didik berperan sebagai pengamat yang menghayati gejala keindahan yang ada dalam karya seni kemudian menanggapinya. Dalam hal ini tentunya keterlibatan intelektual dan pengalaman estetik peserta didik sangat berperan.

Kegiatan kreasi mempunyai makna menciptakan karya seni yang baru, sedangkan rekreasi menampilkan/menggelar karya seni. Pada kegiatan ini peserta

Motivasi

Peragaan yaitu mengamati dan menghayati objek disertai dengan pengenalan bahan, alat, dan penjelasan teknik secukupnya, disertai

dengan tanya jawab.

Pelatihan yaitu kebebasan berekspresi dengan media

yang ada

Pemantauan dan pembimbingan Pemaparan karya,

evaluasi dan pemberian pujian bagi

didik secara aktif menghasilkan suatu karya seni (lukisan, ilustrasi, relief, dan sebagainya) (BSNP, 2006: 4). Dalam hal ini keterlibatan intelektual peserta didik sangat dominan. Misalnya dalam pembuatan karya seni lukis dikenal adanya aspek bentuk yang diubah menjadi struktur. Hal ini memerlukan kerja intelektual. Jacques Maritain dalam Sumardjo (2000: 51) menyebutkan adanya ekspresi intelektual yang diperlukan untuk mengubah bentuk menjadi struktur.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran Seni Budaya dan Kerajinan Sekolah Dasar berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 yang meliputi kegiatan apresiasi dan kreasi secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 270. Secara rinci khusus pelaksanaan seni lukis di sekolah dasar ada dalam penjabaran kompetensi Kreasi Seni Budaya dan Keterampilan dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 275.

Pada kompetensi dasar di atas, disebutkan bahwa mengekspresikan diri melalui karya gambar ekspresif dan mengekspresikan diri melalui gambar imajinatif, dilaksanakan pada kelas satu semester dua, kelas dua semester satu dan semester dua, juga kelas tiga semester dua.

Merupakan titik tolak dari menggambar ekspresi adalah kondisi kejiwaan anak. Dengan sifat anak-anak yang subjektif, menjadikan semua tanggapan yang diterima oleh anak akan menimbulkan reaksi pada diri anak. Reaksi yang bersifat subjektif dapat dilihat dari perbuatan anak yang serba spontan, terlihat dalam kata- kata yang diucapkan dan ungkapan jiwa melalui gambar. Menggambar ekspresi menurut tujuannya, Kamaril (2005: 7) mengungkapkan bahwa menggambar ekspresi adalah: usaha mengungkapkan dan mengkomunikasikan pikiran, ide

gagasan, gejolak perasaan/emosi serta imajinasi dalam wujud dwimatra yang bernilai artistik dengan menggunakan garis dan warna. Dengan demikian gambar/lukisan yang dihasilkan peserta didik bersifat sangat pribadi. Dalam hal ini guru seyogyanya tidak ikut campur dalam menentukan apa yang harus diungkapkan oleh peserta didik. Salam (2001: 50) mengatakan bahwa kegiatan menggambar/melukis ekspresi di sekolah dipengaruhi oleh paham ekspresionisme yakni suatu paham yang meyakini bahwa dalam menggambar/melukis seseorang seyogyanya menggores secara berani dan spontan agar perasaannya dapat tersalur secara apa adanya tanpa dipengaruhi oleh kemampuan intelektualnya. Selanjutnya sesuai dengan tujuan dan kompetensi dasar yang ada dalam kurikulum, produk dari menggambar ekspresi disebut dengan karya seni lukis.

Menggambar imajinatif adalah salah satu kegiatan menggambar/melukis yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menyatakan daya khayalnya. Hal-hal yang tidak ditemukan secara nyata di dunia ini ditampilkan oleh peserta didik melalui gambar imajinasi. Sebagai contoh, peserta didik menggambar laba-laba raksasa yang besarnya melebihi ukuran pesawat terbang, piring yang bisa terbang, manusia berkepala kuda , dan sebagainya.

Merupakan hal yang terpenting dalam melukis untuk anak sekolah dasar adalah keberanian, kemauan, dan ketrampilan peserta didik dalam menggunakan bahan dan alat. Bahan dan alat yang dimaksud disini adalah bahan dan alat yang digunakan untuk mencetuskan ide, gagasan gejolak perasaan/emosi, dan imajinasi yang diperoleh dari apa yang dilihat, didengar, diraba secara langsung maupun tidak langsung. Bahan dan alat tersebut adalah kertas, kanvas, kuas, tinta, cat air,

cat akrilik, cat minyak, pewarna alami misal daun, buah, dan sebagainya. Hasil gambar peserta didik merupakan wujud dari kreativitas dan ketrampilannya.

Pada kelas satu sampai dengan kelas tiga sekolah dasar menurut periodisasi mengggambar anak, kedudukan anak ada pada periode bagan (schematic period) yaitu pada anak usia 7 sampai 9 tahun. Menurut Susanto (2003: 294): pada masa ini merupakan konsep tentang bentuk dasar dari pengalaman kreatif anak. Mereka telah memiliki konsep cerita yang sudah banyak, pengamatan semakin teliti dan semakin tahu siapa dirinya dalam hubungan dengan lingkungannya. Dengan demikian anak mulai menggambar obyek dalam suatu hubungan yang logis dengan obyek lain. Konsep ruang mulai nampak dengan adanya pengaturan atau hubungan antara obyek dengan ruang walaupun masih sederhana dengan meletakkan dalam satu garis vertical sebagai garis dasar. Muncul gejala yang disebut “sinar X” (X-ray) atau tembus pandang, yaitu: gambar yang menyertakan pula benda atau obyek di dalam ruang yang sebenarnya tidak kelihatan. Dalam hal penggunaan warna disikapi sebagai bentuk yang mendekati pada warna yang sebenarnya. Sedangkan menurut Piaget, anak pada masa ini menyebutnya sebagai tahap operasi konkret yang bercirikan bahwa perkembangan system pemikirannya didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Anak sudah dapat berpikir lebih menyeluruh dengan melihat banyak unsur dalam waktu yang sama (decentering). Mencermati ciri-ciri perkembangan anak pada usia masa ini, secara umum hasil karya lukis anak merupakan cerita yang luas dengan penampilan gambar yang lengkap dan dibuat dengan teknik yang mantap.

Dimulai pada usia enam tahun anak mulai mapan di dalam dunia nyata dan menjadi bagian sosial dari interrelationship (hubungan di dalam struktur). Sebelumnya ia telah mengumpulkan detil-detil dalam gambranya ketika ia tumbuh, dan detil-detil tersebut mencerminkan pertumbuhan inteletualnya, tetapi ia sampai pada referensi rasional yang utuh dari bentuk dan ruang skematik pada usia tujuh tahun. Kualitas estetik yang tinggi dari referensi fisik-emosionalnya pada tahun-tahun awal sekarang disubordinasikan pada pengisahan yang ideologis. Tipe-tipe perseptual menjadi nyata dalam seni pada anak usia sembilan tahun ketika ia matang secara sosial.

Seiring dengan berjalannya waktu, pada tahapan simbolik anak pada usia 7-9 tahun membutuhkan koordinasi fisik yang cukup untuk memberikan pembelajaran cara pemakaian peralatan seni dan materi yang digunakan dalam membuat karya seninya. Anak juga mempunyai tujuan memperoleh pengalaman dan pengetahuan memperbesar tendensi alaminya guna diwujudkan dalam ekspresi gambarnya. Dia mempunyai sebuah konsep jelas dari bentuk orang dan mulai lebih spesifik menggunakan simbol misal, dia menggunakan garis kecenderungan untuk menunjukkan pergerakan dari tubuh dan bibir dari gambarnya. Dia masih menggunakan bentuk geometrik untuk menggambarkan idenya, tapi menambahnya, menguranginya, atau memvariasi elemen-elemen tertentu menurut pada subjek yang sedang digambarkan. Anak bekerja dengan tujuan sesuai apa yang ada dalam pikirannya bahwa apa yang dihasilkan sangat berarti bagi dia.

Pada tahap ini juga anak menunjukkan sebuah rasa dari hubungan spatial, dimana keduanya sesuatu yang abstrak dari ruangan dan sebuah rasa dari posisi dan direksi dari sesuatu dalam ruangan. Dia biasanya menggunakan sebuah garis dasar dalam gambarnya. Pada waktu dia menimbun garis dasar untuk memberitahukan keseluruhan cerita atau menggambar garis dasar sekeliling tepi dari kertasnya untuk menunjukkan seluruh pemandangan. Pada visualisasi kedalaman ekspresi, anak mengatur objek-objek dikedua tepi dari gambar dan langit dipandang sebagai pusat. Pada tipe sinar X dari ekspresi, objek terlihat secara fisik, secara sebenarnya menurut pandangan visual mereka, anak belum menyadari bahwa ketika beberapa objek dipandang dari satu sudut, satu objek mungkin sebagian tidak akan terlihat. Pada karya anak terlihat bahwa semuanya penting dan harus terlihat serentak. Anak pada tahapan ini juga kekurangan sebuah realisasi dari hubungan ruang dan waktu dan biasanya menggambar beberapa kejadian dalam satu gambar.

Pada penggunaan warna, anak menggunakan secara emosional, kemudian secara bertahap merasakan pentingnya hubungannya dengan objek. Selanjutnya anak merasakan bahwa macam-macam objek dalam lingkungannya mempunyai warna berbeda-beda.

Selanjutnya menurut Kellogg ( 1967: 181-215) secara lebih jelas lagi menyatakan bahwa pada usia 7-9 tahun anak tersebut mengalami tahapan sebagai berikut:

1) Periodisasi pada periode bagan ( Schematic period). 2) Mempunyai konsep cerita yang banyak.

3) Pengamatan semakin teliti.

4) Semakin tahu siapa dirinya dalam hubungan dengan lingkungannya.

5) Konsep ruang mulai nampak adanya pengaturan walaupun masih sederhana. 6) Adanya garis vertikal sebagai garis dasar tempat objek.

7) Adanya gejala tembus pandang (X-ray).

8) Penggunaan warna mendekati warna yang sebenarnya.

9) Secara umum hasil karya merupakan cerita yang luas dengan penampilan gambar yang lengkap dan teknik yang mantap.

Perkembangan selanjutnya anak akan menjadi ekstrovert perseptual-sosial apabila tergantung pada aspek visual daslam bidang seninya, atau ia akan menjadi introvert perseptual-sosial dan haptik dan tidak tergantung pada bidang dalam seninya. Ia akan masuk dalam kedua tipe tersebut, dan pada kadar tertentu, akan menjadi berorientasi pada gang karena adanya kebutuhan untuk mengidentifikasi dengan lebih mendalam peran seksual-diri. Identifikasi semacam itu akan mengarahkan anak laki-laki untuk melebih-lebihkan proyeksi diri menjadi berupa citra-citra yang mengerikan, sementara anak gadis akan cenderung mengidealisasi dirinya sendiri dalam citra wanita yang glamor dan matang.

Dengan demikian perlakuan, pembelajaran dan penilaian hasil karya seni lukis anak pada periode tersebut hendaknya mengacu pada perkembangan periode yang sedang dialami oleh anak.