BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Seni Rupa
3. Pendekatan dalam Proses Pendidikan dan Pembelajaran Seni Rupa
Pada hakekatnya pendidikan seni rupa bersifat unik, yaitu kegiatan yang bersifat ekspresif, kreatif, dan estetik. Karena keunikannya ini dalam pendidikannya memerlukan pendekatan-pendekatan agar tujuan pendidikan seni rupa itu sendiri dapat tercapai. Ada tiga pendekatan dalam pendidikan seni rupa yang populer saat ini, yaitu:
a. Pendekatan Berbasis Anak
Pendekatan Berbasis Anak berpijak pada filosofi bahwa dalam mendidik anak melalui seni, pendidik haruslah menjadikan anak sebagai pusat. Pada waktu memberikan kesempatan berekspresi harus bertitik tolak dari anak. Herbert Read
dalam Education through Art yang menyatakan bahwa naluri berolah seni rupa anak adalah suatu yang universal, sesuatu yang tumbuh secara alamiah pada diri anak dalam mengkomunikasikan dirinya (Read, 1970: 10). Peranan pendidik sebagai fasilitator, karena ekspresi diri anak sesungguhnyalah tidak bisa diajarkan oleh pendidik. Garha (1980: 60) mengatakan bahwa pendekatan ini sebagai ekspresi bebas yang memberikan keleluasaaan kepada anak-anak untuk dapat menyalurkan ungkapan perasaan tanpa dibatasi oleh aturan atau norma cipta konvensional dalam membuat gambar. Pada pendekatan berbasis anak ini tugas pendidik adalah memberikan pengalaman kepada anak yang dapat merangsang munculnya ekspresi pribadi anak, memberikan kemudahan kepada anak dalam mempelajari atau melakukan apa yang menjadi keinginan anak agar anak berkembang secara alamiah melalui pengalaman seni. Dengan demikian cara pembelajarannyapun pendidik memberikan kemudahan pada anak dalam melaksanakan kegiatan belajar yang diinginkannya, yaitu dengan pemberian motivasi, dengan peragaan, dan pendampingan. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan pengalaman belajar yang dapat merangsang ekspresi pribadi anak.
Tokoh yang dikenal dalam pendekatan ekspresi bebas ini adalah Frank Cizek dari Austria. Ia merupakan orang yang pertama kali mengakui secara terbuka nilai intrinsik karya seni rupa anak, karya seni rupa anak adalah karya seni yang hanya mampu dihasilkan oleh anak (Efland, 1990: 195). Dengan demikian anak diberi kebebasan dalam kegiatan penciptaan karya sehingga anak dapat mengaktualisasikan dirinya dengan bebas tanpa pengaruh orang dewasa dalam proses pembuatan karyanya.
Pendekatan ekspresi bebas ini kemudian didukung dan disebarluaskan oleh dua tokoh pendidik seni yaitu Viktor Lowenfeld dari Amerika Serikat dan Herbert Read dari Inggris. Menurut Viktor Lowenfeld, ekspresi dalam proses pembuatan karya seni rupa yang dilaksanakan secara alamiah berdampak positif bagi perkembangan intelektual, emosional, kreativitas dan perkembangan sosial anak. Dalam hal ini dihubungkan antara kegiatan seni rupa dengan kesehatan mental karena kegiatan seni rupa merupakan media untuk menyalurkan perasaan, baik merupakan perasaan sedih atau gembira. Selanjutnya Lowenfeld mengatakan bahwa “…mental growth depends upon a rich and varied relationship between a child and his environment; such a relationship is a basic ingredient of a creative art experience” (Lowenfeld, 1982: 6-7). Hal ini memperjelas bahwa pengaruh lingkungan menyebabkan adanya berbagai corak berdasarkan perkembangan dan temperamen jiwa anak. Dengan demikian pendidikan seni rupa merupakan tempat pemberian pengalaman yang menarik yang menyadarkan anak akan lingkungannya.
Read (1970: 30) memberi penegasan bahwa dalam ekspresi bebas, pendidik berperan sebagai pendamping dan memotivasi anak untuk menggali inspirasi anak. Penekanan Read adalah bahwa ekspresi diri anak tidak dapat diajarkan dan peranan pendidik adalah sebagai fasilitator.
Dalam merancang pembelajaran pendekatan ekspresi bebas secara murni, pelaksanaan kegiatan pembelajarannya menggunakan model emerging curriculum yakni kegiatan pembelajaran yang tidak dirancang sebelumnya tetapi berkembang sesuai keinginan anak (Salam, 2001: 13). Dalam hal ini pendidik memenuhi apa
yang menjadi kemauan anak dan pendidik memfasilitasinya. Sesungguhnyalah pendekatan ekspresi bebas secara murni ini sangat sulit dilaksanakan pada sekolah formal karena terikat adanya jadwal, waktu yang ditentukan sehingga menjadi terbatas pelaksanaannya. Lebih tepat bila dilaksanakan pada lembaga pendidikan yang bersifat non formal seperti sanggar, kursus-kurus, dan sebagainya.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, penerapan pendekatan ekspresi bebas di sekolah maka dikembangkan pendekatan ekspresi bebas yang bersifat “terarah”. Caranya adalah sebagai berikut: pelaksanaan pembelajaran seperti pada umunya pendidik melaksanakan pembelajaran sesuai dengan jadwal dan waktu yang ditetapkan. Untuk membangkitkan dan memotivasi ekspresi anak, pendidik pada awal pembelajaran memberikan motivasi dengan berbagai cara antara lain: (1) memberi kesempatan pada anak untuk bercerita tentang hal-hal yang menarik yang dialaminya, kemudian ada dialog dengan pendidik. Dari cerita dan dialog dengan anak akan timbul tema-tema cerita yang menyentuh kehidupan anak, yang merangsang untuk mengekspresikan nya lewat karya yang dibuatnya. Didukung oleh media yang dipersiapkan pendidik bisa berupa photo, slide, gambar-gambar, film, dan sebagainya, (2) adanya kontak langsung anak dengan keadaan sekelilingnya. Anak diberi kesempatan memperhatikan keadaan sekitar kelas atau sekolah. Ada tumbuh-tumbuhan, kendaraan, orang berlalu lalang, dan sebagainya. Pendidik kemudian memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan perhatian anak pada hal-hal yang dilihatnya tetapi diabaikan anak, misal: detail dari bentuk daun, tulang-tulang daun akan membentuk keartistikan tersendiri, bentuk bunga semakin ke ujung daun bunga semakin kecil permukaannya, dan
sebagainya, (3) pendidik mendemonstrasikan proses penciptaan karya pada anak, namun jangan sampai terjebak apa yang didemonstrasikan menjadi hal yang harus ditiru oleh anak.
Setelah pemberian motivasi, pendidik meminta anak untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dalam pembuatan karya seni rupa. Dalam hal ini pendidik berperan sebagai pendamping untuk memberikan bantuan pada anak. Penilaian yang diberikan pendidik bersifat apresiatif yaitu bersifat menerima dan menghargai apa yang diungkapkan atau diciptakan oleh anak dengan menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari karya yang diciptakannya tersebut (Salam, 2001: 14). Dengan demikian hasil penilaian tidak ada istilah salah atau benar karena ekspresi anak bersifat unik dan alamiah.
b. Pendekatan Berbasis Disiplin
Pendekatan berbasis disiplin berpijak pada filosofi bahwa dalam mendidik anak melalui seni, pendidik menjadikan disiplin ilmu seni sebagai hal yang harus dikuasai oleh anak. Pendekatan berbasis disiplin ini berdasar pada teori pedagogi tentang pelaksanaan proses belajar mengajar yang dicetuskan pada tahun 1980 di Amerika . Teori ini disebut sebagai Discipline-Based Art Education (DBAE). Karena setiap subjek seni didekati dengan suatu premis bahwa setiap subjek seni memiliki kekhasan yang berbeda dengan subjek seni yang lain sehingga diperlukan suatu pendekatan sebagai suatu “discipline” ilmu yang mandiri. Dengan demikian pendekatan dari berbagai aspek dipadukan dengan proses pengalaman belajar yang terkoordinasi secara menyeluruh menjadi sangat diperlukan. Menurut Brent Wilson “DBAE, builts on the premise that art can be
taught most effectively by integrating content from four basic disciplines-art making, art history, art criticism, and aesthetics (the philosophy of art)-into a holistic learning experience” (Wailling, 2000: 19). Hal ini menyiratkan bahwa seni dapat diajarkan secara efektif bila mengintegrasikan makna empat dasar disiplin tersebut. yaitu: penciptaan seni (artistic creation), sejarah seni (art history), kritik seni (art criticism) dan estetika/filsafat seni (aesthetics) dalam suatu pengalaman belajar yang menyeluruh. Hal ini diperkuat dengan gagasan Eisner (1997:16) bahwa, Identified the productive, critical, and cultural and/or historical realms as necessary for leading the child to aesthetic experiences. Aesthetic education therefore represented a balance among producing, appreciating, and understanding. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan seni rupa sesuai yang tersirat dalam DBAE pelaksanaannya tidak memilah keempatnya tetapi berusaha untuk mengintegrasikannya.
Pendidikan Seni Berbasis Disiplin, atau DBAE (Disciplin Based Art Education), mengarahkan untuk mencipta, memahami dan mengapresiasi seni, sejarah seni, produksi seni, kritik seni, dan estetika. Tersurat pula dalam sebuah monograf dari The Getty Center for Education in the Arts, Eisner (1997: 20) membahas komponen estetika sebagai “berguna bagi anak-anak untuk menjadi reflektif tentang basis penilaian mereka berkaitan dengan kualitas karya seni, sebagaimana tentang dunia visual di sekeliling mereka.” Karena itu, para peserta didik harus berusaha melakukan dialog berkelanjutan tentang hakikat dan makna seni dalam kehidupan mereka. Dialog ini paling baik diungkapkan dalam bidang filosofis estetika.
Pada hakekatnya seni adalah sebagai kegiatan artistik, namun demikian seni rupa sebagai disiplin ilmu dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan emosinya saja tetapi kegiatan mempelajari ilmu seni juga harus dilakukan. Dipandangnya seni rupa sebagai disipiln ilmu merupakan asumsi pokok yang mendasari pendekatan pendidikan seni rupa berbasis disiplin, karena sudah memenuhi tiga ciri disiplin ilmu yang dikemukakan oleh Dobbs (1992: 9) sebagai berikut: (1) a recognized body of knowledge or content, (2) a community of scholars who study the discipline, (3) a set of characteristic procedures and ways of working that facilitate exploration and inquiry. Dengan demikian seni rupa dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, karena memiliki isi pengetahuan (body of knowledge), adanya komunitas pakar yang mempelajari ilmu tersebut, adanya metode kerja yang memfasilitasi kegiatan eksplorasi dan penelitian.
c. Pendekatan Berbasis Konteks
Pendekatan berbasis konteks berpijak pada filosofis bahwa dalam mendidik anak melalui seni, konteks sosial masyarakat harus menjadi perhatian yang utama. Pada saat ini, pendekatan Berbasis Konteks yang menonjol adalah pendidikan seni multikultural.
Pendekatan seni rupa berbasis multikutural merupakan salah satu bagian dari pendidikan multikultural yang bertujuan mengenalkan keragaman budaya melalui kegiatan penikmatan, penciptaan dan pembahasan keindahan rupa (visual). Pengenalan keragaman budaya tersebut dengan cara membuka diri terhadap berbagai budaya lain yang lahir atas dasar ras, suku, agama, kelas sosial,
jenis kelamin, dan lain-lain. Dengan demikian menjadi fokus utama yang merupakan wacana pendidkan seni rupa multikultural adalah persoalan pluralisme sosial dan keragaman budaya, sehingga cakupan menjadi luas. Dengan cakupan yang luas itulah pendekatan ini menggunakan berbagai bentuk teori dan praktek yang sesuai dengan konteks sosial dan budayanya. Merupakan ciri yang mendasar model kurikulum pendekatan multikultural yang harus dipertimbangkan yaitu adanya pluralisme sosial, keragaman budaya/etnis dan kontekstualisme.
Sebagai konsep dasar, pendidikan seni rupa multikultural pada dasarnya merupakan sebuah filosofi, gagasan besar, atau pendekatan, dimana beragam program pembelajaran dikembangkan. Dengan demikian tidak identik dengan satu model program pembelajaran tertentu. Hal yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa semangat untuk mempromosikan keragaman budaya dilakukan melalui kegiatan seni rupa. Pendidikan berbasis multikultural dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1) Model Pengenalan
Model ini bertujuan memperkenalkan anak akan budaya lain. Anak menjadi luas wawasannya dan memahami karya seni rupa orang lain dan pencipta karya yang mungkin sangat berbeda karya tersebut dengan keyakinan dan tradisi yang ada pada anak lebih tepat diterapkan pada kelas yang tidak multikultur. Materi pembelajarannya meliputi pengetahuan sikap, dan keterampilan seni yang difokuskan pada pengenalan seni kelompok (ras, etnis, agama, dan sebagainya) lain agar memiliki sikap apresiatif terhadap kelompok yang menjadi fokus pembicaraan. Metode pembelajarannya bersifat pengenalan berbagai bentuk seni
dari kelompok lain melalui ceramah, peragaan, diskusi dan praktek pembuatan karya. Evaluasi yang dilaksanakan dalam konteks untuk mengetahui sejauh mana anak dapat memahami dan mengapresiasi budaya/seni kelompok lain.
2) Model Pengamalan
Tujuan model pengamalan adalah membangun kesadaran untuk hidup bersama dan tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan konflik. Model pengamalan ini lebih tepat diterapkan pada kelas yang bersifat multi kultur. Dengan demikian kegiatan pembelajarannya anak yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama, golongan tertentu, dan lain-lain mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar. Pelaksananan model pengamalan ini agar berhasil dengan baik, maka perlu dukungan dari berbagai pihak antara lain: kebijakan sekolah (aturan, kurikulum) tidak mencerminkan adanya diskriminasi, pendidik, karyawan menciptakan suasana yang kondusif merefleksi adanya keragaman budaya yang ada. Penerapan pembelajaran model pengamalan ini dalam praktek penciptaan karya seni rupa salah satu cara adalah dengan menggali tema dari peserta didik yang bervariasi sesuai dengan latar belakang peserta didik. Kemudian diwujudkan secara visual dengan media yang sesuai dengan kemauan peserta didik. Apabila diterapkan dalam pembelajaran yang bersifat teoritis yaitu estetika, sejarah seni rupa, apresiasi (kritik seni rupa) juga harus mengingat pada keragaman prinsip, makna, dan kriteria keindahannya masing-masing. Dalam hal ini tidak ada standar baku yang dapat diberlakukan untuk semua. Evaluasi yang dilakukan adalah untuk mengetahui sejauh mana anak dapat mengapresiasi budaya/seni kelompok lain yang ditunjukkan pada kemampuan untuk hidup bersama secara harmonis.