• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A.Tinjauan Pustaka

1. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional Hukum internasional pada mulanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar Negara, namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Tidak dapat dielakkan bahwa hukum internasional mempengaruhi hukum nasional. Hal ini dikarenakan tak terlepas dari suatu Negara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat internasional. Negara-negara yang ada pasti akan memiliki hubungan satu sama lain, baik itu hubungan antara dua Negara saja maupun beberapa Negara. Hubungan ini akan melahirkan peraturan yang dipatuhi oleh masing-masing Negara tersebut kemudian berkembang menjadi peraturan yang akan dipatuhi bersama. peraturan bersama akan menjadi hukum yang tidak saja dipatuhi bersama sacara berkelompok tetapi akan berlaku secara universal bagi setiap Negara tanpa terkecuali. Hukum internasional juga dapat tercipta dengan adanya perjanjian atau kesepakatan dari kebiasaan nasional suatu Negara yang dianut oleh banyak Negara, kebiasaan ini disepakati sebagai hukum internasional. Hukum nasional dan hukum internasional sangat saling berhubungan. Misalnya, dalam pembentukan suatu hukum internasional pasti dipengaruhi oleh hukum nasional, dan

(2)

10

tingkat kekuatan Negara tersebut juga akan mempengaruhi bagaimana arah kebijakan hukum internasional yang akan dibentuk. Hal ini menunjukan pentingnya hukum nasional masing-masing Negara dalam menentukan arah kebijakan hukum nasional. Dengan begitu hukum internasional terpengaruh dengan hukum nasional. Dan yang menjadi permasalahan yang penting untuk dibahas yaitu mengenai bagaimana hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional.

2. Pengertian Hukum Internasional

Hukum internasional merupakan hukum yang mengatur hubungan lintas Negara. Dalam pembahasan ini mengkaji mengenai pengertian hukum internasional publik. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan batas Negara

(hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata1 bukan bersifat perdata artinya mengatur hubungan antar Negara bukan mengatur hubungan antar orang-perorangan. Lebih jelas mengatur hubungan yang lintas Negara dalam hukum publik internasional terdapat 2 macam jenis subjek hukumnya, yaitu:

a. Negara dengan Negara

(3)

11

b. Negara dengan subjek hukum lainnya yang bukan Negara atau subjek hukum bukan Negara satu sama lain.2

Hukum internasional juga dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturanperaturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup:

a) organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negaranegara dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu. b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional”.3

Lebih jelas mochtar kusumaatmdja mengatakan mengenai istilah hukum internasional. Hukum internasional juga dapat dikatakan sebagi hukum bangsa-bangsa akan dipergunakan untuk menunjukan pada kebiasaan atau aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antar raja-raja terdahulu.

2 Ibid Hal 3.

(4)

12

Dalam perkembangan sampai masa sekarang hukum internasional juga dikatakan sebagai hukum antarbangsa atau hukum antar negara akan dipergunakan untuk menunjukan pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negaranegara yang kita kenal sejak muncul negara dalam bentuk yang modern sebagai negara nasional.4 berdasarkan defenisi hukum internasional yang telah dikemukan di atas dapat dapat disimpulkan hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan lintas Negara, tidak saja hubungan antara Negara dengan Negara juga mengatur hubungan Negara dengan subjek hukum bukan Negara atau subjek hukum bukan Negara satu sama lainnya yang mencakup peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsifungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara dan peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities). Untuk memberlakukan hukum internasional harus ada dasar atau landasan untuk pemberlakuan hukum internasional ini. Berlakunya hukum internasional ini didasarkan atas teori. Suatu teori yang telah memiliki pengakuan yang luas adalah bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya.melainkan suatu himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata.5 teori ini sebagai pendukung utama teori ini. Menurut Austin hukum dihasilkan dari keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislatif yang benar-benar berdaulat.

4 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Edisi Kedua,

Bandung:Putra Abardin, 2003, Hal 4.

(5)

13

Apabila kaidah hukum ini bukan bearasal dari legislatif yang berdaulat maka belum bisa dikatakan kaidah hukum. Hukum internasional karena tidak ada otoritas yang berdaulat atas masyarakat internasional dan hingga saat ini hukum internasional merupakan hukum yang bersifat kebiasaan maka hukum internasional bukanlah hukum melainkan moralitas internasional positif. Jika dipandanng hukum hanya berasal dari otoritas yang berdaulat maka hukum internasional bukan lah hukum, Akan tetapi hukum tidak dapat dikatakan hanya berasal dari otoritas yang berdaulat saja, hukum juga berasal dari kebiasaan yang yang disepakati bersama sebagai hukum dan diberlakukan untuk bersama. 2. Pengertian Hukum Nasional Dalam suatu Negara terdapat peraturan yang ditaati oleh masyarakat dalam suatu Negara dan ditegakkan oleh Negara (pemerintah) tersebut. Hukum ini diakui bersama oleh mereka dan dipatuhi sebagai suatu perangkat yang akan menjadi dasar dalam mewujudkan keterauran dan ketentraman dalam kehidupan bersama. Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsipprinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya.6 Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama,

6 Burhan Tsani, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional

(6)

14

karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at

Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budayabudaya yang ada di wilayah Nusantara.

Hukum internasional dengan hukum nasional sebenarnya saling berkaitan satu sama lainnya, ada yang berpandangan hubungan antara kedua system hukum sangat berkaitan dan ada yang berpandangan bahwa kedua system hukum ini berbeda secara keseluruhan. J.G Starke berpandangan terdapat dua teori dalam mengenai hubungan hukum nasional dengan hukum internasional, yaitu teori dualisme dan teori monisme. Teori dualisme didukung oleh Triepel dan Anzilotti menyebutkan dualisme ini sebagai teori kehendak, merupakan hal yang wajar bila menganggap hukum internasional merupakan system hukum yang terpisah dengan system hukum nasional.

B. Perjanjian Internasional

1. Pengertian Perjanjian Internasional

Kehidupan dalam masyarakat internasional senantiasa bertumpu pada suatu tatanan norma. Pada kodratnya masyarakat internasional itu saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan hubungan ini satu sama lain diperlukan suatu kondisi, yaitu keadaan yang tertib dan aman, untuk berlangsungnya keadaan yang tertib dan aman ini

(7)

15

diperlukan suatu tatanan norma. Dalam sejarah tatanan norma tersebut telah berproses dan berkembang menjadi apa yang dikenal dengan Hukum Internasional Publik atau disingkat dengan Hukum Internasional. Oleh karena itu untuk menjaga tatanan norma dalam kehidupan masyarakat internasional terdapat perjanjian internasional yang mengatur perjanjian antar negara-negara.

Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dadakan antara-anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 7 Sedangkan menurut Undang-Undang No 24 Tahun 2000 Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik8. Dari batasan diatas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Perjanjian antara negara dengan organisasi internasional (misalnya antara Amerika Serikat dengan PBB mengenai status hukum tempat kedudukan tetap PBB di New York) dan perjanjian antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya, Juga dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan antara Taktha Suci dengan negara-negara, walaupun yang diatur dalam perjanjian itu semata-mata urusan gereja dan bukan urusan kenegaraaan, karena Taktha Suci merupakan subjek hukum yang diakui dalam hukum internasional

7 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, 2003, Hal

117.

(8)

16

Salah satu yang kesulitan dalam mempelajari masalah perjanjian ini ialah banyaknya istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional ini. Perjanjian internasional ada kalanya dinamakan traktat (treaty) pakta (pact) konvensi (convention) piagam (statue), charter, deklarasi, protocol, arrangement, accord modus, vivendi, covenant dan sebagainya. Dilihat secara yuridis semua istilah ini tidak mempunyai arti tertentu dengan perkataan lain semuanya merupakan perjanjian internasional.

Di dalam Perjanjian Internasional terdapat beberapa prinsip, yaitu :

1. Pacta Sun Servanda, yaitu para pihak yang terkait pada suatu perjanjian, harus mentaati perjanjian yang telah dibuatnya (perjanjian internasional mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak).

2. Good Fith (itikat baik), yaitu semua pihak yang terikat pada suatu perjanjian internasional harus beritikad baik untuk melaksanakan isi perjanjian.

3. Rebus Sic Stantibus, yaitu suatu perjanjian internasional boleh dilanggar dengan syarat adanya perubahan yang fundamental, artinya

(9)

17

jika perjanjian internasional tersebut dilaksanakan maka akan bertentangan dengan kepentingan umum pada negara bersangkutan. 9

John O’Brian merangkum beberapa prinsip yang menjadi dasar dari traktat atau perjanjian internasional:

1. Muncul diakibatkan persetujuan.

2. Negara yang memberikan persetujuan untuk memberlakukannya

sebagaimana yang diinginkan oleh traktat terhadap pihak lain.

3. Dalam hal traktat tersebut mengkodifikasi kebiasaan, maka negara-negara peserta terikat oleh traktat yang menurut prinsip-prinsip umum.

4. Dalam hal bukan Negara peserta, maka traktat tetap mengikat berdasar pada alasan kewajiban muncul sebagai akibat dari kebiasaan.

5. Traktat multilateral pada umumnya dibentuk di bawah International Law Commision, yang bertujuan untuk terciptanya pembentukan

9 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, 2003, Hal

(10)

18

hukum internasional yang progresif, yang tentunya melibatkan kodifikasi atas hukum kebiasaan10

Konvensi Wina mengkodifikasi beberapa ganjalan dalam hukum internasional kontemporer, mendefinisikan sebuah perjanjian sebagai “suatu persetujuan internasional yang disimpulkan antara negara – negara dalam bentuk tulisan dan diatur dalam hukum internasional” dan juga mengafirmasi bahwa “setiap negara memiliki kapasitas untuk menyimpulkan perjanjian”. Artikel pertama membatasi penerapan dari konvensi kepada perjanjian tertulis antara negara – negara, tidak termasuk perjanjian yang diadakan antara negara dan organisasi internasional atau antar organisasi internasional itu sendiri.

Konvensi tersebut disebut sebagai “perjanjian diatas perjanjian” dan dikenal secara luas sebagai petunjuk yang berwenang sehubungan dengan pembentukan dan efek perjanjian. Bahkan negara – negara yang belum meratifikasinya mengetahui tingkat signifikansinya. Contohnya, Amerika Serikat mengakui bagian dari konvensi yaitu merupakan hukum yang mengikat semua negara. Di India, Pengadilan Tertinggi juga mengakui status dari konvensi tersebut.

Cakupan dari konvensi Wina terbatas, hanya diaplikasikan kepada perjanjian yang disimpulkan antara negara – negara sehingga tidak mencakup persetujuan antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi itu

10 Jawahir Thantowi Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, 2006, Hal 56–

(11)

19

sendiri, sebagaimana telah disebut di atas. Walaupun demikian, jika ada peraturan yang mengikat secara independen organisasi – organisasi tersebut, peraturan tersebut tetap ada. Juga berlaku pada perjanjian antara organisasi antar pemerintah. Walaupun demikian, persetujuan antara negara dan organisasi internasional atau antar organisasi tersebut akan diatur oleh jika Vienna Convention on The Law of Treaties between States and International Organizations 1986 memasuki tahap terpaksa.

Dalam sejarah perjanjian internasional mengandung peraturan mengenai entitas apa yang dapat menandatangani, meratifikasi atau menyetujui. Beberapa perjanjian terbatas kepada negara yang menjadi anggota PBB atau peserta dari Mahkamah Internasional. Dalam kasus langka ada daftar eksplisit dari entitas yang dibatasi tersebut. Lebih umum lagi bahwa tujuan dari penandatanganan adalah bahwa perjanjian tersebut tidak dibatasi kepada negara tertentu saja terlihat dari istilah yang menyatakan bahwa perjanjian dibuka untuk penandatanganan kepada negara – negara yang bersedia menerima ketentuannya. Ketika sebuah perjanjian dibuka untuk “negara”, akan sulit bagi otoritas penyimpan untuk menentukan entitas mana yang merupakan suatu negara. Jika perjanjian dibatasi untuk para anggota PBB atau pihak – pihak pada Statuta Mahkamah Internasional, maka tidak ada ambiguitas.

Akan tetapi terjadi suatu kesulitan sehubungan dengan adanya kemungkinan partisipasi dalam sejarah perjanjian internasional ketika suatu entitas yang tampaknya bukan negara tidak dapat diterima di PBB atau pada Statuta Mahkamah Internasional karena alasan oposisi, politik, alasan dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB atau belum mengajukan keanggotaan. Kesulitan

(12)

20

tidak terjadi ketika menyangkut keanggotaan dalam badan – badan khusus dan tidak ada prosedur veto, maka sejumlah negara tersebut menjadi anggota badan – badan khusus dan pada dasarnya menjadi diakui sebagai negara – negara oleh komunitas internasional. Karena itulah untuk memungkinkan perluasan partisipasi, sejumlah konvensi juga menetapkan keterbukaan mereka bagi anggota negara yang berasal dari badan – badan khusus. Jenis klausul pemberlakuan tentang Hukum Perjanjian dalam Konvensi Wina kemudian dikenal dengan nama “Formula Wina”, digunakan oleh berbagai perjanjian, konvensi dan organisasi.

Konvensi Wina 1969 membagi peran negara dalam perjanjian internasional kedalam 2 (dua) kelompok:

1. Negara Pihak. Pengertian negara pihak (party) dapat dilihat dalam Pasal 2 (g) Konvensi Wina 1969:

“Party means a Statewhich has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is in force”

Sedangkan pengertian pihak (party) juga ditemukan dalam pasal 2 (g) Konvensi Wina 1986:

“party” means a State or an international organization which has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is in force.

Melihat dari pengertian tersebut, maka Negara pihak adalah Negara yang menyatakan terikat pada ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional.

2. Negara Bukan Pihak. Pengertian negara bukan pihak (third state) dapat dilihat dalam Pasal 2 (h) Konvensi Wina 1969:

(13)

21

“third state” means a State not a party to the treaty. Sedangkan pengertian Negara bukan pihak (third state) dalam pasal 2 (h) Konvensi Wina 1986: “third state” and “third organization” mean respectively: a State, or an international organization, not a party to the treaty;

Negara bukan peserta merupakan negara yang tidak terlibat dalam perjanjian internasional, maka dari itu sebuah perjanjian tidak menciptakan baik kewajiban atau hak untuk negara ketiga tanpa persetujuan. Peran sebagai negara pihak maupun sebagai bukan negara pihak akan melahirkan hak dan kewajiban bagi negara. Misalnya negara yang terlibat dalam perjanjian internasional biasanya akan menyusun perjanjian yang akan dibuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969 Perjanjian dapat disusun antara Negara atau pemerintahan atau kepala Negara atau instansi pemerintah yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh negara yang mengutusnya.11

Perjanjian internasional dapat berakhir apabila :

a. terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;

b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;

c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;

d. salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;

11 Daniel Aditya Situngkir, Terikatnya Perjanjian Internasional Dalam Negara, Jurnal Ilmu

(14)

22

e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;

f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;

g. objek perjanjian hilang;

h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.12

4. Pengertian Perdagangan Orang

Perdagangan orang (human trafficking) merupakan masalah yang selalu terjadi sepanjang masa. Pandangan masyarakat (communis opinio) bahwa perdagangan orang merupakan bentuk perbudakan modern tidak dapat kita bantah. Perdagangan orang merupakan kejahatan yang sangat jahat dan merupakan salah satu kejahatan yang mengalami pertumbuhan paling cepat di dunia. Dewasa ini perdagangan orang juga menjadi salah satu dari lima kejahatan terbesar di dunia yang harus ditanggulangi karena akibat yang di timbuklkan tidak saja pada aspek ekonomi, tetapi juga aspek politik, budaya dan kemanusiaan.13

Berdasarkan sejarah, perdagangan atau perbudakan telah ada dan berkembang sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu yang dimulai dengan adanya penaklukan atas suatu kelompok oleh kelompok lainnya, kelompok yang paling kuat dan memiliki kekuasaan akan menguasai kelompok yang lemah. Kepemilikan kekuasaan ekonomi dan politik menjadikan sumber dan

12 Pasal 18 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional 13 Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, 2011, Perdagangan Orang: Dimensi, Instrumen

(15)

23

peluang untuk dapat berkembangnya perbudakan, sebagai akibat dari penaklukan yang dibayar dengan suatu pengabdian yang mutlak.

Di benua Eropa khususnya Inggris, perbudakan diawali dengan adanya penaklukan negara Inggris ke beberapa negara di luar benua Eropa. Kasus perbudakan pertama–tama diketahui terjadi di masyarakat Sumeria, yang sekarang adalah Irak, lebih dari lima ribu tahun yang lalu. Perbudakan terjadi di masyarakat Cina, India, Afrika, Timur Tengah dan Amerika. Perbudakan berkembang seiring dengan perkembangan perdagangan dengan meningkatnya permintaan akan tenaga kerja untuk menghasilkan barang – barang keperluan ekspor. Pada masa itu perbudakan merupakan keadaan umum yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Tidak banyak yang memandang perbudakan sebagai praktik jahat atau tidak adil.14

Pada tahun 1300–an orang kulit hitam Afrika dibeli atau ditangkap dari negara–negara Afrika Utara, yang digunakan sebagai budak selama bertahun– tahun. Menjelang tahun 1500–an, Spanyol dan Portugal memiliki koloni di Amerika. Orang – orang Eropa memperkerjakan orang Indian pribumi Amerika di perkebunan luas dan di daerah pertambangan di koloni–koloni Amerika. Kebanyakan orang Indian meninggal dunia karena terserang penyakit di Eropa dan karena perawatan yang tidak memadai. Karena itu orang Spanyol dan Portugal mulai mendatangkan orang–orang dari Afrika Barat sebagai budak. Prancis, Inggris, Belanda berbuat serupa di koloni – koloni mereka di Amerika. Koloni–koloni Inggris di Amerika Utara menciptakan sistem ekonomi pertanian yang tidak dapat bertahan hidup tanpa

(16)

24

meggunakan budak sebagai tenaga kerja. Banyak budak hidup diladan pertanian yang luas / perkebunan, yang menghasilkan produk pertanian penting untukdiperdagangkan oleh koloni. Setiap perkebunan, merupakan desa kecil yang dimiliki oleh satu keluarga. Pemilik perkebunan besar dapat memiliki sampai 200 budak. Budak-budak itu bekerja di ladang pertanian, mereka bekerja berat dan dalam waktu yang sangat lama. Undang – undang yang disahkan di koloni – koloni Amerika Selatan menyatakan ilegal bagi budak untuk menikah, memiliki harta kekayaan, atau memperoleh kebebasan. Peraturan itu juga tidak mengijinkan budak memperoleh pendidikan, bahkan untuk belajar membaca. Namun ada pemilik budak yang membolehkan budak mereka memperoleh kebebasan. Sekarang, kebanyakan orang di dunia mengutuk perbudakan. Demikian halnya pada awal berdirinya negara Amerika. Banyak orang Amerika berpendapat bahwa perbudakan itu jahat, namun diperlukan. Pada awal tahun 1700–an memiliki budak merupakan hal yang biasa dikalangan orang kaya, dan bukan suatu kejahatan.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, perdagangan orang pernah ada melalui perbudakan dan penghambaan. Masa kerajaan – kerajaan di Jawa, perdagangan orang, yaitu perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia. Kekuasaan raja tindak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lainnya adalah persembahan dari kerajaan lain dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan

(17)

25

maksud agar keluarga itu mempunyai ketertarikan dengan keluarga istana, sehingga dapat meningkatkan statusnya. Perempuan yang dijadikan selir berasal dari daerah tertentu. Sampai sekarang daerah – daerah tersebut masih merupakan legenda.15

Koentjoro mengidentifikasi ada 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai pemasok perempuan untuk diperdagangkan, daerah tersebut adalah Jawa Barat ( Indramayu, Karawang, Kuningan ), Jawa

Tengah ( Pati, Jepara, Wonogiri ), Jawa Timur ( Blitar, Banyuwangi, Lamongan

).16

Dalam Prositution In Colonial Java dalam DP Chandler and M.C Ricklefs bahwa prostitusi di Indonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembangunan jalan dri Anyer – Panarukan dan dilanjutka pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh Daendles. Sekarang juga masih terjadi dimana lokalisasi prostitusi dekat stasiun kereta api. Perkembangan prostitusi kedua adalah tahun 1870 ketika pemerintah Belanda melakukan privatisasi perkebunan dan kulturstelsel.17

15

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, Hal 1.

16 Hull, Endang, Gavin Jones, Pelacuran di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta : Pustaka Sinar

Harapan, 1997, Hal. 1 – 2.

17 Kuntjoro, Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Cetakan Pertama, Jakarta :

(18)

26

Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan perdagangan orang seperti yang dikenal dalam masyarakat modern ini, tetapi apa yang dilakukan pada masa itu telah membentuk landasan bagi perkembangan perdagangan orang yang ada pada saat ini. Bentuk perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan menjual anak perempuan untuk mendapat imbalan materi dan kawin kontrak. 18

Kini, perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian luas di Asia bahkan di seluruh dunia. Perdagangan orang terjadi tidak hanya menyangkut di dalam negara Indonesia saja yaitu perdagangan orang antarpulau, tetapi juga perdagangan orang di luar negara Indonesia dimana terjadi perdagangan orang ke negara – negara lain. Maraknya issue perdagangan orang ini diawali dengan semakin meningkatnya pencari kerja baik laki – laki maupun perempuan bahkan anak – anak untuk bermigrasi ke luar daerah sampai keluar negeri guna mencari pekerjaan. Kurangnya pendidikan dan keterbatasan informasi yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Berbagai penyebab yang mendorong terjadi hal tersebut diatas, diantaranya yang paling dominan adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan pekerjaan, perubahan orientasi

18 Farhana. Op Cit., Hal 2.

(19)

27

pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan.19

Masalah kejahatan perdagangan orang merupakan kejahatan terbesar terhadap kemanusiaan abad ini. Dengan perkataan lain, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Manusia yang harkat dan martabatnya sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, maka sesama manusia siapa pun dia tidak diperkenankan memperlakukan sesama manusianya seperti beda atau barang dengan memperjualbelikannya untuk tujuan apapun.

Baik secara eksplisit maupun implisit peraturan yang mengelompokan perdagangan orang sebagai bentuk pelanggaran HAM sudah cukup memadai

antara lain :

a. Secara universal dan dalam pandangan global, perdagangan orang juga di kategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yaitu merendahkan harkat dan martabat manusia. Dalam pasal 1 The Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) disebutkan, "semua umat manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat dan hak haknya, mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persudaraan20".

Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia sedunia ini disetujui oleh Resolusi Majelis

19 Ibid., Hal 4.

(20)

28

Umum PBB No 217 A (III) pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris Perancis. Pada Pasal 4 UDHR dengan tegas dikatakan "tak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; segala bentuk perbudakan dan perdagangan budak harus dilarang".

b. Impilikasi pelanggaran HAM ini juga sudah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama pada pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asai manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".

Memang dalam Pasal tersebut tidak disebutkan kata perdagangan orang, namun sesungguhnya terselubung kata budak, hak untuk tidak diperbudak berimplikasi pada hak untuk tidak diperdagangkan yang lazimnya terhadap anakanak dan perempuan. Jadi substansinya tetap pada perdagangan orang. mengingat umumnya yang menjadi korban perdagangan orang rata rata berusia kategori anak, maka selain termasuk pelanggaran HAM juga secara khusus termasuk pelanggaran hak asasi anak sebagaimana terdapat pada pasal 28B Ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(21)

29

Begitu tinggi dan istimewanya martabat mausia sehingga manusia itu disebut sebagai "imago dei", citra, rupa dan wujud Allah. Oleh karena itu perdagangan orang yang semakin fenomenal di Indonesia sesungguhnya melecehkan dan merendahkan harkat dan martabat manusia.

Dewasa ini sering terdapat kesalahpahaman mengenai perdagangan orang dan penyeludupan manusia/human smuggling dua tindakan ini jelas berbeda karena memiliki ciri masing-masing yaitu :

People smuggling umumnya dapat terjadi dengan persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan ingin diselundupkan, dan alasan paling umum dari mereka adalah peluang untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan pergi untuk menghindari konflik yang terjadi di negara asal. People smuggling sesungghuhnya berangkat dari adanya dorongan untuk menjadi imigran ilegal.

Penyeludupan manusia/ People smuggling akibat pengaruh dari hilangnya rasa aman, tidak adanya hak untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak di rumah sendiri atau negara sendiri, sangat mendorong terjadinya migrasi dari suatu negara ke negara lainnya. Migrasi menggunakan jalur yang legal maupun jalur ilegal merupakan pilihan bagi para penyeludup ataupun orang yang akan diselundupkannya.

Sedangkan yang dimaksud perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan

(22)

30

seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi21.

Yang menjadi faktor penyebab utama maraknya perdagangan orang, menurut kasus-kasus yang pernah terungkap, terdapat tiga hal yang dapat diketahui adalah Pertama; kemiskinan (Poverty), kedua; banyaknya penduduk dan ketiga; Budaya patriaki. Kemiskinan merupakan faktor yang paling dominan terhadap terjadinya perdagangan manusia.

Perdagangan orang sering terjadi dalam konteks rekrutmen tenaga kerja migran. Seorang remaja ditawari dan diiming-imingi peluang kerja di sebuah restauran di negara A, namun di akhir cerita dia dijerumuskan sebagai pekerja seks komersial di negara B. Remaja tersebut ditipu dan melakukannya tidak atas dasar suka rela.

Perdagangan manusia (human trafikking) merupakan bentuk perbudakan modern, terjadi baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Dengan

21 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

(23)

31

perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan tranformasi maka modus perdangan manusia semakin canggih. 22

Dari segi kekerasan dan intimidasi, dimana perdagangan orang selalu menggunakan kekerasan dan intimidasi, guna mempertahankan korban tetap berada dalam situasi tereksploitasi, sedangkan untuk penyelundupan manusia tidak selalu menggunakan kekerasan dan intimidasi. Dari segi Otonomi dan Kebebasan, untuk perdagangan orang dimana korban selalu dalam posisi lemah sedangkan untuk penyelundupan manusia korban biasanya tidak terlalu lemah kecuali jika dibutuhkan agar pemindahan berhasil.

Dari Aspek Geografis, perdagangan orang terjadi secara internal dan lintas batas Negara, sedangkan penyelundupan manusia terjadi secara lintas batas Negara. Dari segi dokumen, perdagangan orang bias legal maupun illegal, sedangkan penyelundpan manusia biasanya selalu illegal. Yang terakhir dari segi kejahatan, dimana untuk perdagangan orang selalu terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan sifat dari kejahatannya dilakukan terhadap individu. Sedangkan untuk penyelundupan manusia bersifat kejahatan terhadap Negara.

The International Organization for Migration (IOM) mengidentifikasi empat elemen yang harus ada dalam perdagangan orang yaitu:

a. an International border is crossed:

22

B. Rahmanto, 2005, Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Hal 12.

(24)

32

Sebuah perbatasan internasional dilintasi, yang berarti terdapat perpindahan/perjalanan antar negara.

b. an facilitator-the trafficker-is involved :

Seorang fasilitator perdagangan manusia terlibat.

c. money or another form of payment changes hands, and :

Terdapat uang atau metode pembayaran berpindah tangan, yang berarti terjadi transaksi.

d. entry and/or stay in the country of destination is illegal Memasuki atau tinggal di negara tujuan secara illegal.23

Definisi ini menegaskan bahwa perdagangan orang tersebut pada kenyataannya bisa terjadi di suatu negara dan bisa juga dalam konteks lintas negara.

Protokol PBB Tahun 2000 untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in

(25)

33

Persons, Especially Women and Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime) disebut Protokol Perdagangan Orang (Protocol Trafficking In Persons) atau Protokol Palermo,

yaitu:

“The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.”

(Terjemahan: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lain dari paksaan, penculikan, penipuan, penyesatan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mencapai persetujuan dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi, sekurang-kurangnya eksploitasi dalam pelacuran seseorang atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ).

(26)

34

2) The consent of the victim of trafficking to the intended exploitation set forth in subparagraph (a) shall be irrelevant where any of the means set forth in subparagraph (a) have been used.

(Terjemahan: Persetujuan dari seorang korban perdagangan orang atas eksploitasi sebagaimana yang diuraikan dalam huruf (a) pasal ini tidak akan relevan jika salah satu cara yang dijelaskan dalam huruf (a) telah digunakan).

Menurut Harkristuti Harkrisnowo bentuk dan modus operandi perdagangan orang yang terjadi di Indonesia dapat ditemukan sebagai berikut:

a. Pengiriman TKI keluar negeri tanpa adanya dokumen resmi atau dengan dokumen resmi yang dipalsukandan dengan berkedok berbagai kegiatan legal, misalnya, “misi kebudayaan”

b. Penempatan tenaga kerja di dalam negeri untuk dieksploitasi secara seksual;

c. Penyelenggaraan perkawinan berbatas waktu hanya untuk melegalisasi hubungan seksual yang dimaksud untuk jangka waktu tertentu dengan mendapat kompensasi finansial (kawin kontrak) yang biasanya dilakukan oleh laki-laki pekerja asing dengan perempuan Indonesia

d. Penyelenggaraan perkawinan antar negara melalui pesanan (mail- order bride) dan si pengantin perempuan sama sekali tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari calon suami;

(27)

35

e. Perekrutan anak-anak untuk menjadi pekerja di jermal dengan upah yang sangat minim, kondisi kerja yang mengancam kesehatan tubuh, mental serta moral mereka; dan

f. Pengangkatan anak bayi tanpa proses yang benar (due proces of Law)24

Penelitian lain yang dilakukan oleh Harkristuti Harkrisnowo juga diperoleh bentuk perdagangan orang di Indonesia, antara lain:

a. Dijadikan sebagai pekerja rumah tangga.

b. Dipekerjakan di klub-klub malam atau tempat-tempat lain yang serupa (di antaranya sebagai pemandu karaoke).

c. Dijadikan sebagai pelacur.

d. Dipekerjakan sebagai model, artis atau penyanyi pada industri pornografi. e. Dipekerjakan secara paksa sebagai penjual obat-obatan terlarang.

f. Bekerja di luar negeri.

g. Kawin kontrak.

h. Eksploitasi anak untuk dijadikan sebagai pengemis.

i. Perdagangan bayi yang meliputi penculikan bayi, penculikan wanita hamil, peminjaman uang kepada orang tua bayi yang tidak mungkin bisa dikembalikan, sehingga konsekuensinya mereka harus mengganti dengan bayi mereka.

j. Praktik penyamaran sebagai dokter di rumah sakit.

24 Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Pidana Perdagangan Orang: Beberapa Catatan, Law Review,

(28)

36

k. Penipuan dengan kedok penawaran kerja yang tidak berat dengan iming-iming gaji yang tinggi.

l. Penipuan dengan kedok penawaran kerja pada perempuan yang ternyata dipaksa untuk menjadi pelacur.

m. Penculikan bayi atau ibu hamil yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk bersalin, caranya dengan menawarkan bantuan biaya persalinan. Pada saat melahirkan, bayi ibu itu diambil paksa oleh pelaku untuk diperdagangkan.

n. Anak dipaksa bekerja selayaknya orang dewasa dengan waktu yang melebihi batas kemampuan, tanpa diperhatikan keselamatan dan kesehatannya serta tidak mendapatkan gaji.25

5. Pengaturan Perdagangan Orang dalam UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan Orang menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2007 adalah tindakan perekutan, pengangkutan, penampuangan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari

25 Harkristuti Harkrisnowo, Indonesia Court Report: Human Trafficking, Universitas Indonesia

(29)

37

orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara.

Pasal 2 Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menjelaskan bahwa “setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)

Di dalam UU No. 21 Tahun 2007 juga terdapat hak – hak perlindungan kepada korban kejahatan perdagangan orang yang berupa :

1. Hak kerahasiaan identitas korban perdagangan orang dan keluarganya sampai derajat kedua (pasal 44)

2. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47)

(30)

38

4. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah. (Pasal 51)

5. Korban yang berada di luar negeri berhak dilindungi dan dipulangkan ke Indonesia atas biaya negara (Pasal 54).

Beberapa Pasal diatas merupakan beberapa pasal yang diadopsi dari pasal perlindungan korban yang terdapat di Protokol Palermo.

B. Hasil Penelitian

1. Ratifikasi Indonesia Terhadap Protokol Palermo

Indonesia meratifikasi Protokol Palermo melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Person, Especially Women And Children Supplementing The

United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah, Menindak Dan Menghukum Perdagang Orang Terutama Perempuan Dan AnakAnak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi) .

Dimana dalam Pasal 1 Mengesahkan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 5 ayat (2) huruf c dan Reservation (Pensyaratan)

(31)

39

terhadap Pasal 15 ayat (2). (2) Salinan naskah asli Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) dengan Declaration (Pernyataan) dan Reservation (Pensyaratan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

2. Pengaturan Perdagangan Orang Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009

Di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tidak terdapat pengaturan mengenai Perdagangan Orang, hal tersebut dikarenakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 memang dibuat sebagai intstrumen untuk meratifikasi Protokol Palermo, namun didalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 2009 dicantumkan isi dari Protkol Palermo yang mencakup definisi perdagangan orang, ruang lingkup keberlakuan, kriminilisasi, perlindungan bagi korban-korban

(32)

40

perdagangan orang, pencegahan kerjasama dan tindakan-tindakan lainnnya dan penyelesaian sengketa.

C. Analisis

1. Alasan Indonesia meratifikasi Protokol Palermo Tahun 2000

Setiap orang sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hakhak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh Undang-Undang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Protokol Palermo yang dibuat untuk Mencegah,Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari konvensi Perserikaan Bangsa-Bangsa menentang tindak Pidana Transnasional yang terorganisasi, sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang serta perlindungan dan rehabilitasi korban perlu dilakukan pada tingkat nasional, regional maupun internasional. Penandatangan Protokol ini memiliki tujuan untuk mencegah, menindak dan menghukum Perdagangan Orang dan juga membuktikan Indonesia merupakan cerminan keikutsertaan bangsa Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia.

Ketika berbicara mengenai ratifikasi Perjanjian Internasional tentu tidak dapat lepas dari hubungan hukum internasional dan hukum nasional, menurut penulis Hukum internasional dan hukum nasional

(33)

41

sebenarnya saling berkaitan satu sama lainnya, Menurut Tripel terdapat dua perbedaan diantara kedua sistem hukum ini, yaitu:

a. subjek hukum nasional adalah individu, sedangakan subjek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusifnya adalah negaranegara.

b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendaka negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari Negara-negara.26 Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda. Ia membedakan hukum nasional dengan hukum internasional menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing sistem itu ditentukan. hukum nasional ditentukan oleh prinsip fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati. Sedangkan system hukum internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt servanda, yaitu perjanjian antara negara harus dijunjung tinggi.27 Berdasarkan teori Anzelotti ini berarti pacta sunt servanda tidak dapat dikatakan sebagai norma yang melandasi hukum internasional. Pendapat J.G Starke ini juga didukung oleh Burhan Tsani. Menurut burhan tsani ada dua paham mengenai hubungan antara hukum internasional dengan hukum hukum nasional, yaitu paham dualisme dan paham monisme. Menurut paham dualisme hukum nasional dengan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhannya berbeda secara keseluruhannya. Hakekat hukum nasional berbeda dengan hukum

26 Opcit J.G Starkee, Hal 96. 27 Ibid Hal 97.

(34)

42

nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah,tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan mengabaikan Hukum Internasional, sedangkan paham monisme berpendapat hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.28 Mochtar Kusumaatmadja berpendapat terdapat dua teori mengenai hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional. Pertama, teori voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional bukan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada kemauan Negara, dan yang kedua teori objektivis yang menyatakan bahwa hukum internasional itu ada dan berlaku terlepas dari kemauan Negara.29 Teori voluntaris dan objektivis pada dasarnya sama dengan paham dualisme dan monime. Alasan yang diajukan oleh paham dualisme didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang didasarkan kenyataan. Diantara alasan-alasan yang terpenting dikemukankan sebagai berikut:

28

Muhammad Burhantsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1990.

Hal 26.

(35)

43

i. kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan Negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat Negara.

ii. Kedua perangkat hukum memiliki subjek hukum yang berbeda. Subjek hukum nasional adalah orang-perorangan baik dalam apa yang dikatakan hukum perdata maupun hukum pidana, sedangkan subjek hukum nasional adalah Negara.

iii. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataan seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempuran dalam lingkungan nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan kaidah hukum internasional.30 Padangan dualisme ini memiliki beberapa akibat penting. Salah satu akibat terpenting bahwa kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber kepada perangkat hukum lain. Dengan kata lain tidak ada tempat bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dengan hukum

(36)

44

nasional. Akibat kedua ketentuan hukum internasional merupakan transrormasi dari hukum nasional. Paham monisme diadasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.

Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini adalah bahwa antar kedua perangkat hukum ini mungkin ada hirarki. Berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada Hukum

Internasional, Hukum Nasional secara hirarkis lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan Hukum

Internasional. Dimungkinkan ada monisme yang menganggap bahwa Hukum Nasional sejajar dengan Hukum Internasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tercermin dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang Terorisme Bonn. Hukum Internasional tidak mewajibkan bahwa suatu Negara harus menganut paham dualisme atau monisme. Dalam praktek pilihan pengutamaan pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional, ditentukan oleh preferensi etnis atau preferensi politis. Bagi pandangan yang mempunyai sikap politis nasionalis, akan mengutamakan Hukum Nasional. Sebaliknya

(37)

45

bagi pandangan yang simpatik pada Internasionalisme, akan mengutamakan Hukum

Internasional.31

Berdasarkan pentingnya hubungan lintas Negara, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menyelesaikan segala masalah yang timbul dari hubungan antar Negara tersebut. Hukum internasional mempunyai beberapa segi penting seperti prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent), prinsip timbal balik (priniple of reciprocity), prinsip komunikasi bebas (principle of free communication), princip tidak diganggu gugat (principle of inciolability), prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal), prinsip eksteritorial (principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi hubungan diplomatik antarnegara. Maka hukum internasional memberikan implikasi hukum bagi para pelangarnya. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur terpenting dari hukum internasional;

1) Objek dari hukum internasional ialah badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional,

2) Hubungan yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional dalam artian bukan dalam scope

(38)

46

wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum negara yang hanya mengatur hubungan dalam negeri

3) Kaedah hukum internasional ialah kaedah wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan antara hukum internasional dengan kaedah internasional yang berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan internasional. Jika hukum nasional ialah hukum yang terapkan dalam teritorial sesuatu negara dalam mengatur segala urusan dalam negeri dan juga dalam menghadapi penduduk yang berdomisili didalamnya, maka hukum internasional ialah hukum yang mengatur aspek negara dalam hubungannya dengan negara lain. Hukum Internasional ada untuk mengatur segala hubungan internasional demi berlangsungnya kehidupan internasional yang terlepas dari segala bentuk tindakan yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang melakukan tindakan yang dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar kesepakatan bersama akan dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya. Pengertian tanggung jawab internasional itu sendiri itu adalah peraturan hukum dimana

(39)

47

hukum internasional mewajibkan kepada person hukum internasional pelaku tindakan yang melanggar kewajiban-kewajiban internasional yang menyebabkan kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan kompensasi. Mengenai hubungan hukum internasional dengan hukum nasional terdapat hubungan pemberlakuan hukum internasioanal terhadap hukum nasional. Ada dua teori yang melandasi hubungan pemberlakuan ini, yaitu teori transformasi dan teori adopsi khusus. Teori transformasi menyatakan bahwa pemberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional dengan transformasi traktat atau perjanjian internasional kedalam hukum nasional, yang bukan hanya menjadi syarat formal melainakan merupakan syarat substansial denngan sendirinya mensahkan perluasan berlakunya kaidah-kaidah yang dimuat dalam trakktat terhadap individu. Teori ini bersandarkan pada sifatt konsensula hukum internasional yang berbeda dengan sifat non-nonsensual dari hukum nasional.32 Menurut teori adopsi khusus berpandangan yang hamper sama dengan teoritransformasi yaitu kaidah-kaidah hukum internasional tidak dapat secara langsung diberlakukan dilingkungan nasional oleh pengadilan-pengadilan nasional atau oleh siapapun. Untuk memberlukakan kaidah tersebut hukum nasional harus bersumber kepada hukum internasional.33 Perlu dikemukan kesimpulan sebagai berikut, terdapat dua paham tentang

32 Ibid Hal 101.

(40)

48

hubungan hukum nasional dengan hukum internasional. Pertama, paham dualisme yang menyatakan bahwa hukum internasional dengan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara keseluruhannya. Hakekat hukum nasional berbeda dengan hukum nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah,tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Kedua, Paham monisme berpendapat hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.

Menurut Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik34.

Dalam hal membuat perjanjian internasional dapat dibagi lagi dalam 3 tahap yaitu :

34

(41)

49

1. Perundingan (negotiation) adalah tahap pertama yang dilakukan sebelum diadakannya perjanjian. Perundingan bisa dilakukan oleh perwakilan diplomat yang memiliki surat kuasa penuh dari pemerintah, bisa juga kepala pemerintah langsung.

2. Penandatanganan (signature) adalah tahap penandatanganan yang mana yang akan dijadikan perjanjian. Penandatanganan bisa dilakukan oleh duta besar, anggota legislatif maupun eksekutif.

3. Pengesahan (ratification) pengesahan yang akan dilakukan oleh kepala pemerintahan dan anggota DPR dengan diadakannya rapat terlebih dahaulu. biasanya hal ini dilakukan untuk masalah yang sangat penting dan mencakup masalah orang banyak.35

Dalam hal kekuatan mengikatnya Perjanjian Internasional terdapat dua buah teori, yaitu teori monisme dan dualism, perbedaan diantara keduanya adalah :

1. Aliran Dualisme

Aliran ini menganggap bahwa hukum nasional dan hukum internasional adalah dua sistem hukum yang berbeda. Triepel salah seorang pemuka aliran ini, mengemukakan dua perbedaan mendasar dari kedua sistem hukum tersebut , yaitu :

35 Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, 2003,

(42)

50

a. subyek hukum nasional adalah individu, sedangkan subyek hukum internasional adalah negara

b. sumber dari hukum nasional adalah kehendak negara masing - masing, sedangkan hukum internasional adalah kehendak bersama negaranegara

c. prinsip dasar yang melandasi hukum nasional adalah prinsip dasar/norma dasar dari konstitusi negara, sedangkan hukum

internasional dilandasi oleh prinsip (pacta sunt servnda)

Aliran dualisme didukung oleh kebanyakan para hakim dari pengadilan nasional. Sumber formal dari hukum internasional mayoritas adalah perjanjian dan kebiasaan internasional. sedangkan hukum nasional pada umumnya adalah hukum yang dibuat di pengadilan dan peraturan yang dibuat oleh badan legislatif nasional.

Dalam kenyataannya hukum internasional tidak hanya mengikat negara negara tetapi juga dapat mengikat individu dan subyek lain selain negara. Dalil adanya sumber yang berbeda pun tidaklah begitu kuat, karena jelas bahwa berlakunya hukum internasional tidak hanya atas kehendak bersama masyarakat negara, tetapi lebih jauh dari itu karena adanya kehendak masyarakat negara untuk menjalain hubungan dan bekerjsama. sedangkan dalil mengenai prinsip dari Hukum internasional adalah pacta sunt servanda tidak dapat dibernakan karna itu hanyalah

(43)

51

sebagian kecil dari prinsip prinsip dasar hukum internasional yang begitu luas36

Akibat yang penting dari teori ini adalah bahwa kaedah kaedah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdsarkan perangkat hukum yang lain, dengan kata lain tidak akan ada persoalan hierarki antara kedua perangkat hukum itu. dengan demikian ketentuan hkum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional. Hal ini tidak dapat diterima secara memuasakn, karna dalam praktiknya seringkali hukum nasional harus memperhatikan hukum internasional atau sebaliknya.

2. Aliran Monisme

Aliran ini berpendapat bahwa hukum nasional dan hukum internasional adalah merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum. semua hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari aturan aturan yang mengikat, apakah itu terhadap negara, indvidu ataupun subyek lain selain negara. Oleh karena itu baik hukum nasional maupun hukum internasional adalah bagian dari satu ilmu hukum yang mengatur kehidupan manusia.

Akibat dari pandangan ini adalah dimungkinnya suatu hubungan hierarki antara kedua sistem hukum tersebut. Hal ini menyebabkan

(44)

52

timbulnya dua pendapat yang berbeda mengenai manakah sistem hukum yang utama di antara keduanya jika terjadi suatu pertentangan/konflik, fahan-faham tersebut adalah :

a. Faham monisme dengan primat Hukum nasional

Faham ini menganggap bahwa hukum nasional lebih utama kedudukannya daripada hukum nasional dan pada hakekatnya hukum nasional adalah sumber dari hukum internasional. Alasan yang dikemukakan adalah :

1) Tidak ada satu organisasi dunia yang berada di atas negara negara dan mengatur kehidupan negara negara tersebut

2) Dasar dari hukum internasional terletak pada wewenan konsitusionil negara negara (kewenangan negara untuk membuat

perjanjian).

Teori ini mempunyai banyak kelemahan hukum internasional seolah-olah hanya berupa hukum tertulis, sehingga didasari oleh wewenang konstitusionil negara, padahal hukum internasional juga terdiri dari hukum kebiasaan yang tidak tertulis.

Pada dasarnya faham ini sejalan dengan aliran dualisme yaitu merupakan penyangkalan dari adanya hukum internasional, mengingat berlaku/tidaknya hukum internasional tergantung pada hukum nasional.

(45)

53

Apabila hukum nasional tidak menginginkan keberlakuan internasional maka huklum tersebut tidak dapat berlaku

Faham monisme dengan primat Hukum Internasional

Faham ini beranggapan bahwa hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional yang pada dasarnya mempunyai hirarkis yang lebih tinggi, maka supremasi hukum harus dibagikan kepada lebih dari seratus negara-negara di dunia dengan sistem yang masing-masing berbeda.

Hukum Internasional pada dasarnya lebih unggul daripada hukum nasional. Hal ini didasarkan pada dua fakta strategis yaitu :

a. Jika hukum internasional tergantung kepada konsistusi Negara maka apabila konstitusi itu diganti maka hukum internasional tersebut tidak dapat berlaku lagi. Sejak Konferensi London tahun 1831 telah diakui bahwa keberadaan hukum internasional tidak tergantung kepada perubahan atau penghapusan konstitusi ataupun revolusi pada suatu negara. Konfrensi tersebut secara tegas menetapkan ketentuan dasar bahwa:

“perjanjian tidak akan kehilangan kekuatannya meskipun ada perubahan konstitusi dalam negeri”

Telah diakui bahwa suatu negara baru yang memenuhi masyarakat internasional akan terikat oleh hukum internasional yang

(46)

54

berlakum tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu. Apabila persetujuan itu dinyatakan maka hanya merupakan pernyataan dari kedudukan hukum yang sudah ada. Di samping itu terdapat kewajiban setiap negara untuk menserasikan hukum nasionalnya, termasuk konstitusinya dengan hukum internasional

Hukum nasional memang mempunyai kedaulatan penuh, akan tetapi hal ini semata-mata mencerminkan bahwa suatu negara akan mempunyai kewengangan dengan hukum internasional sebagai pembatasnya.

Hak dan Kewajiban Negara Pihak Perjanjian Internasional

Mengacu dalam Konvensi Wina 1969 keberadaan konvensi ini membuat perjanjian antar negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan yang berlaku secara internasional, tetapi diatur oleh suatu perjanjian yang mengikat, menuntut nilai kepatuhan tinggi dari negara – negara anggotanya dan hanya bisa diubah jika ada persetujuan dari seluruh negara anggota konvensi Wina tersebut. Hal ini membuat sejarah perjanjian internasional tidak lagi sama seperti aturan pada kebiasaan internasional sebelumnya yang dapat berubah apabila ada tren internasional yang baru. Hal – hal yang dapat membatalkan perjanjian bisa terjadi apabila terjadi kecurangan, pelanggaran, pihak yang dirugikan dan ancaman dari satu pihak. Sementara penyebab berakhirnya perjanjian adalah jika salah satu pihak punah, masa perjanjian habis, salah satu atau kedua pihak ingin mengakhiri dan

(47)

55

ada pihak yang dirugikan oleh pihak lainnya. Terdapat beberapa perbedaan didalam isi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 yang memuat isi dari Protokol Palermo, perbedaanya yaitu :

Status korban

Status korban perdagangan orang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000 hanya mengintrupsikan kepada Negara pihak untuk mempertimbangkan langkah yang layak bagi korban perdagangan orang untuk tetap tinggal di wilayahnya, hal ini dapat diartikan sebagai Negara harus melindungi para korban perdagangan orang dalam kebijakan-kebijakan negara yang baik dalam mewujudkan kenyamanan bagi korban berdasarkan factor kemanusiaan. Asas Kemanusiaan menjadi dasar dalam melaksanakan perlindungan kepada korban, dimana dalam pasal 6 Undang-Undang No 12 Tahun 2011, Asas Kemanusian mengartikan bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormantan Hak Asasi Mansuai serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proposional.

Di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 setiap korban Human Trafficking atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. Restitusi yang dimaksud adalah ganti rugi yang diderita oleh korban perdagangan orang. Dalam perbedaan antara Undang-Undang No 14 Tahun 2009 dengan Undang-

(48)

56

Undang No 21 Tahun 2007 negara memiliki fungsi yang berbeda. UndangUndang No 14 Tahun 2009 menginstruksikan bagi Negara melindungi korban dalam lingkungan sosialnya.

Akan tetapi dalam Undang-undang No 21 Tahun 2007 menginstruksikan untuk negara melakukan ganti rugi bagi korban perdagangan orang dengan maksud untuk mengembalikan segala bentuk yang korban alami. Persamaan antara Protokol Palermo dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 adalah Negara memiliki fungsi yang sentral dalam melindungi korban perdagangan orang.

Tempat Rehabilitasi

Perbedaaan dalam hal pengaturan tempat rehabilitasi korban perdagangan orang antara Undang-Undang No 14 Tahun 2009 dan Undang- Undang No 21 Tahun 2007 adalah dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2009 tidak mengatur secara terperinci apa itu tempat rehabilitasi, melainkan hanyaah pemulangan korban ke Negara asal. Akan tetapi dalam UndangUndang No 21 Tahun 2007 sudah sangat jelas mengatur tentang tempat rehabilitasi korban perdagangan orang. Rehabilitasi yang dimaksudkan adalah pemulihan dari ganggguan terhadap fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun masyarakat. Korban perdagangan orang berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalamai penderitaan fisik maupun priskis akibat tindak pidana perdagangan orang dan juga berhak menerima restitusi. Restitusi yang diberikan dengan

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kondisi optimum parameter-parameter yang mempengaruhi proses ekstraksi oleoresin jahe

Guna mendukung hak konstitusional pelajar bermasalah baik yang bermasalah secara hukum dan moral, maka perlu diadakan sekolah darurat agar pelajar bermasalah dapat

Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS Materi Lingkungan Alam dan Buatan Melalui Penggunaan Media Miniatur Lingkungan Alam dan Buatan Pada Siswa Kelas III Semester I SD Negeri

Dua lapisan batubara ditemukan sebagai sisipan di Satuan Batupasir Konglomeratan, yaitu Jambu Seam (JBU) di bagian bawah dan Keruh Seam (KRH) di bagian atas satuan

amp% senter ang kita g%nakan dapat mena&a karena ada energi &istrik ang menga&ir pada &amp%. Energi &istrik terjadi karena adana

Penyusunan laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh UMKM untuk memberikan informasi usahanya sebagai salah satu pertimbangan

Peningkatan tersebut dapat dilihat dari kondisi awal kreativitas anak kelompok B2 berada pada kriteria belum berkembang pada siklus I meningkat menjadi berkembang

Oleh karena itu, persaingan yang kompetitif harus memperlihatkan adanya tautan elektoral, yaitu ideologi dan program partai di dalam kampanye harus mewarnai perilaku koalisi