• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kemampuan Rotasi Mental

1. Definisi Kemampuan Rotasi Mental

Gardner (1983), dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind, menjelaskan kecerdasan spasial (spatial intelligence) adalah kapasitas individu untuk menunjukkan kemampuan spasial (spatial ability): mempersepsikan dunia visual secara akurat, dan melakukan transformasi dan modifikasi terhadap persepsi visual tersebut. Sederhananya, kemampuan spasial adalah kemampuan untuk memproduksi gambar bentuk-bentuk di dalam pikiran, dan melakukan manipulasi secara mental bentuk-bentuk yang sudah disediakan.

Kemampuan rotasi mental merupakan salah satu dari lima elemen kemampuan spasial. Kemampuan ini adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melakukan rotasi secara cepat dan akurat terhadap figur dua dimensi maupun tiga dimensi di dalam pikiran (Maier, 1996). Kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saat mengemudikan mobil, menyusun benda-benda secara efektif ke dalam ruang yang terbatas, dan aktivitas olahraga (Rizzo, dkk., 1998).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Rotasi Mental

Mohler (2008) membuat sebuah review yang cukup lengkap mengenai sejumlah penelitian kemampuan spasial yang pernah dilakukan selama ini, dalam

(2)

tulisannya yang berjudul ‘A Review of Spatial Ability Research’. Beliau

merangkum setidaknya ada tiga faktor utama yang membedakan tingkat kemampuan rotasi mental setiap individu, yakni (1) usia, (2) fisiologi otak, dan (3) gender, ditambah satu lagi yang dicetuskan oleh Peters, dkk. (1995) yaitu (4) pemilihan jurusan.

a. Usia

Secara keseluruhan, kesimpulan dari penelitian kemampuan rotasi mental yang berhubungan dengan usia adalah: kemampuan rotasi mental seseorang meningkat menjadi lebih baik seiring bertambahnya usia. Temuan Newcombe (2013) mempertegas kesimpulan tersebut, bahwa orang dari segala usia dapat menunjukkan peningkatan kemampuan rotasi mental. Namun menurut Orde (dalam Mohler, 2008), peningkatan kemampuan rotasi mental seseorang seiring bertambahnya usia hanya terjadi pada masa kanak-kanak (childhood years), dan ketika seseorang tersebut telah memasuki masa-masa dewasa, kemampuan rotasi mental justru mengalami penurunan seiring bertambahnya usia (Pak; dalam Mohler, 2008).

b. Fisiologi Otak

Semua penelitian yang berusaha melihat korelasi antara fisiologi otak dan kemampuan rotasi mental telah mendapatkan sebuah kesepakatan umum: para individu yang lebih dominan menggunakan otak kanannya akan memiliki kemampuan rotasi mental yang lebih baik daripada mereka yang lebih dominan menggunakan otak kiri (McGlone; dalam Mohler, 2008).

(3)

c. Gender

Banyak penelitian menemukan bahwa pria memiliki kemampuan spasial yang lebih baik daripada wanita, khususnya dalam hal rotasi mental dan Spatial Relations (Voyer, dkk.; Linn & Petersen; dalam Mohler, 2008). Penelitian ini memperkuat penelitian pada tahun 1974 yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (dalam Mohler, 2008), yang menyebutkan bahwa anak laki-laki menunjukkan performansi spasial yang lebih baik daripada anak perempuan, khususnya ketika mereka telah melewati masa kanak-kanak.

Beberapa penelitian lain yang turut menunjukkan perbedaan gender dalam hal kemampuan spasial mereka dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 2. Penelitian Rotasi Mental

Peneliti Tahun Tugas Spasial Subjek

Levin, dkk. 2005 Rotasi Mental 66 orang

Silverman, dkk. 2007 Rotasi Mental 7 grup etnis dari 40 negara

Parson, dkk. 2004 Rotasi Mental 44 orang

Roberts, dkk. 1999 Rotasi Mental 20 orang

Roberts, dkk. 2000 Computerized

Mental Rotation 22 orang

Saucier, dkk. 2002 Rotasi Mental 42 orang

Terdapat banyak penjelasan mengenai perbedaan gender dalam hal kemampuan rotasi mental mereka, namun Yilmaz (2009) mengelompokkannya menjadi dua:

1) Faktor Biologis

Mayoritas penelitian biologis terhadap perbedaan gender berfokus pada dua hal utama: hormon dan otak. Androgen adalah hormon yang diyakini memiliki pengaruh penting dalam perkembangan kemampuan rotasi mental seseorang.

(4)

Penelitian dari Hampson, Rovelt, dan Altman (dalam Yilmaz, 2009) menunjukkan bahwa wanita yang memiliki kadar androgen yang tinggi selama masa perkembangan prenatal, akan memiliki kemampuan rotasi mental yang lebih baik daripada yang lain. Dan pria yang memiliki kadar androgen yang rendah pada usia awal memiliki kemampuan rotasi mental yang rendah daripada pria normal lainnya (Hier dan Crowley; dalam Yilmaz, 2009).

2) Faktor Sosio-Kultural

Permainan, peran gender, ekspektasi sosial dan orang tua, dan pengalaman-pengalaman lain yang mempengaruhi perkembangan kemampuan anak adalah aspek-aspek yang tercakup dalam faktor sosio-kultural. Dalam pemilihan permainan, anak laki-laki cenderung bermain dengan mainan mobil-mobilan dan balok-balok, yang membutuhkan kemampuan spasial, sedangkan anak perempuan cenderung bermain dengan boneka-boneka, yang akan berdampak pada pengembangan kemampuan sosial mereka (Etaugh dan Liss; Levine, dkk.; dalam Yilmaz, 2009). Pria juga cenderung memilih olahraga-olahraga yang membutuhkan banyak kemampuan spasial, khususnya olahraga-olahraga yang memerlukan kemampuan membidik yang baik, seperti sepak bola dan

ice-hockey (Kimura, 1999). Olahraga gimnastik (Jansen & Lehmann, 2013) dan pergulatan (Moreau, dkk., 2012) juga dapat berpengaruh pada peningkatan kemampuan rotasi mental mereka.

Pengalaman yang lebih banyak dalam kegiatan atau aktivitas yang melibatkan kemampuan spasial ini akhirnya membuat kemampuan spasial pria menjadi

(5)

lebih baik daripada wanita. Berdasarkan penjelasan faktor sosio-kultural ini, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang dalam suatu bidang tertentu, akan membuat seseorang itu semakin ahli dalam bidang tersebut. Groot, Chase dan Simon (dalam Matlin, 2008) juga berkesimpulan yang sama melalui eksperimen mereka yang melibatkan pemain catur profesional dan amatir: tingkat pemahaman atau pengetahuan individu dalam bidang tertentu akan mempengaruhi kognisi individu dalam bidang tersebut. Intinya, Practice makes perfect.

d. Pemilihan Jurusan

Peters, dkk. (1995) menemukan bahwa siswa yang berasal dari jurusan sains memiliki kemampuan rotasi mental yang lebih baik daripada siswa yang berasal dari jurusan sosial. Akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Peters tersebut tidak menjelaskan apakah memang jurusan sains dapat membuat kemampuan rotasi mental seseorang menjadi lebih baik, atau apakah pada dasarnya siswa-siswa yang memilih jurusan sains adalah siswa yang memang telah memiliki kemampuan rotasi mental yang baik.

B. Latihan

1. Definisi Latihan

Latihan, berdasarkan kamus Oxford, adalah melakukan sebuah prilaku atau aktifitas secara berulang-ulang sehingga seseorang dapat memiliki atau meningkatkan keahliannya dalam bidang tersebut. Pengertian tersebut sejalan

(6)

dengan teori yang dikemukakan oleh Thorndike mengenai hukum latihan (law of exercise). Hukum tersebut berbunyi bahwa semakin sering sebuah respon dilakukan, maka semakin kuat pula proses belajar yang tercipta, sehingga pada akhirnya seseorang akan semakin mahir dalam melakukan respon tersebut (dalam Elliot, dkk., 1999). Sternberg, dkk. (2008) juga menegaskan bahwa performansi kemampuan kognitif seseorang dapat menjadi lebih cepat dan akurat melalui latihan. Proses performansi sebuah kemampuan kognitif yang awalnya dilakukan secara sangat sadar, dengan usaha yang keras, dan terkontrol dapat menjadi dilakukan dengan usaha yang lebih kecil, secara bawah sadar, dan otomatis berkat latihan. Latihan dapat membuat seseorang menguasai atau menjadi ahli dalam bidang yang dilatih, serta dapat menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks dan baru sekalipun (Hatano & Inagaki; Holyoak; Schon; dalam Gardner, dkk., 1996).

2. Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Latihan a. Durasi Latihan

Sepuluh jam, adalah durasi latihan yang disarankan Feng, dkk. (2007) agar dapat meningkatkan performansi individu dalam tugas-tugas spasial. Cherney (2008), dalam penelitiannya yang serupa, menemukan bahwa empat jam saja sudah cukup efektif untuk meningkatkan performansi individu dalam tugas-tugas spasial.

(7)

b. Tipe Latihan

Terdapat dua tipe latihan yang dikenal selama ini, yakni Massed Practice

dan Distributed Practice. Perbedaan di antara kedua tipe latihan ini terletak pada durasi istirahatnya.

1) Massed Practice

Tidak ada masa istirahat di antara setiap sesi latihannya (Burdick; dalam Murray, dkk., 2003). Schmidt, serta Wek dan Husak (dalam Murray, dkk., 2003) mendefinisikannya secara lebih longgar dengan menyebutkan bahwa terdapat masa istirahat di antara setiap sesi latihannya, hanya saja durasi istirahatnya tersebut cukup singkat.

2) Distributed Practice

Sesi latihan diselingi masa untuk istirahat atau justru topik pembelajaran yang lain (Burdick; dalam Murray, dkk., 2003). Schmidt (dalam Murray, dkk., 2003) mendefinisikannya secara lebih jelas dengan menyebutkan bahwa durasi istirahat tersebut jauh lebih lama daripada durasi latihannya itu sendiri.

Cherney (2008) berkesimpulan bahwa tipe latihan Massed Practice akan lebih efektif daripada Distributed Practice dalam meningkatkan performansi individu dalam tugas-tugas spasial. Latihan yang dilakukan dalam beberapa hari berturut-turut akan lebih efektif daripada latihan yang dilakukan dengan ada jeda hari yang banyak.

(8)

C. Pengaruh Latihan Permainan Tetris Tiga Dimensi Dalam Meningkatkan Kemampuan Rotasi Mental Perempuan

Kecerdasan spasial (spatial intelligence) adalah kapasitas individu untuk menunjukkan kemampuan mempersepsikan dunia visual secara akurat, dan melakukan transformasi dan modifikasi terhadap persepsi visual tersebut. Secara sederhana, kemampuan spasial dapat didefinisikan sebagai sebuah kemampuan untuk memproduksi gambar bentuk-bentuk di dalam pikiran, dan melakukan manipulasi secara mental bentuk-bentuk yang telah disediakan (Gardner, 1983).

Peter Herbert Maier (1996), dalam tulisannya yang berjudul Spatial Geometry and Spatial Ability – How to Make Solid Geometry Solid, membagi kemampuan spasial seseorang ke dalam lima elemen, yaitu: (1) Spatial Perception, (2) Visualization, (3) Mental Rotation, (4) Spatial Relation, dan (5)

Spatial Orientation. Setelah dilakukan sejumlah penelitian oleh banyak peneliti, didapat satu kesimpulan yang cenderung konsisten, bahwa pria memiliki kemampuan spasial yang lebih superior daripada wanita, terutama dalam elemen rotasi mental dan spatial relation (Voyer, dkk.; Linn & Petersen; dalam Mohler, 2008).

Faktor sosio-kultural adalah salah satu penjelasan kenapa terdapat perbedaan kemampuan spasial antara kedua gender tersebut (Yilmaz, 2009). Berdasarkan penjelasan faktor sosio-kultural ini, didapat kesimpulan bahwa kemampuan spasial pria lebih superior disebabkan karena mereka memiliki lebih banyak pengalaman (aktivitas) yang dapat mengasah kemampuan spasial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, menurut peneliti, tidak tertutup

(9)

kemungkinan bahwa wanita juga dapat mengembangkan kemampuan spasialnya dengan terlibat lebih banyak dalam aktivitas-aktivitas yang dapat merangsang kemampuan spasial. Hal ini juga sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Thorndike mengenai law of exercise. Thorndike menjelaskan bahwa respon (dalam penelitian ini adalah kemampuan rotasi mental) seseorang dapat dibentuk dan ditingkatkan intensitasnya dengan mematuhi hukum tersebut. Semakin sering sebuah prilaku dilakukan, semakin kuat pula efek belajar yang akan tercipta. Sternberg, dkk. (2008) juga menegaskan bahwa performansi kemampuan kognitif seseorang dapat menjadi lebih cepat dan akurat dengna dilakukannya latihan. Oleh sebab itu, dengan semakin sering seorang wanita melakukan aktivitas-aktivitas atau latihan-latihan yang memerlukan kemampuan spasial, diharapkan kemampuan spasial mereka juga dapat semakin meningkat. Elemen kemampuan spasial yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah kemampuan rotasi mental karena elemen ini merupakan kemampuan yang cenderung berbeda secara signifikan antara pria dan wanita, yakni wanita memiliki kemampuan rotasi mental yang lebih inferior daripada pria.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Kemampuan rotasi mental perempuan yang menerima latihan permainan tetris tiga dimensi akan lebih baik daripada kemampuan rotasi mental perempuan yang tidak menerima latihan permainan tetris tiga dimensi.

Gambar

Tabel 2. Penelitian Rotasi Mental

Referensi

Dokumen terkait

Penjualan satu atau lebih bisnis yang ada sekarang atau pemisahan bagian perusahaan yang ada sekarang. Hal ini dilakukan karena kegagalan yang terjadi secara

Pada periode Klasik, istilah sonata cenderung mengacu kepada komposisi untuk satu atau dua instrumen saja, contohnya Piano Sonata, yang merupakan komposisi untuk piano

Kelancaran dalam berfikir merupakan kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari

Dari kedua pengertian bagi hasil diatas dapat disimpulkan bahwa bagi hasil adalah pembagian keuntungan atau kerugian dengan besar pembagian tertentu dari sejumlah

Metode MCDM (Multi Kriteria) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan untuk menentukan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif berdasarkan

Importir meminta kepada bank devisanya untuk membuka sebuah Letter of Credit (L/C) sebagai dana yang dipersiapkan untuk melunasi hutangnya kepada eksportir, sejumlah yang

Model proses air terjun atau waterfall merupakan salah satu model pengembangan perangkat lunak yang dalam prosesnya lebih menerapkan tahapan yang konsisten dan bentuk

decision making (MCDM). Metode MCDA, yang diberikan adalah satu set terbatas dari alternatif keputusan yang dijelaskan dalam hal sejumlah kriteria keputusan. Setiap