• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Genus: Anas, Spesies: Anas Plathyrynchos. Lebih banyak spesies itik liar yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Genus: Anas, Spesies: Anas Plathyrynchos. Lebih banyak spesies itik liar yang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Asal Usul Ternak Itik

Itik merupakan bangsa ternak unggas air dengan klasifikasi sebagai berikut: Kelas: aves, Ordo: Anseriformes, Famili: Anatidae, Sub Famili: Anatinae, Genus: Anas, Spesies: Anas Plathyrynchos. Lebih banyak spesies itik liar yang hidup di alam liar diseluruh dunia, antara lain adalah Mallard, Pintial dan Wood duck. Para ahli berpendapat bahwa ternak itik domestikasi yang kita kenal saat ini merupakan keturunan dari itik liar yang bernama ‘Mallard’ (Anas plathyrynchos) yang banyak tersebar diseluruh belahan dunia. Dalam kehidupan dialam liar, itik pejantan dan itik betina hanya berkumpul di musim kawin saja. Setelah musim kawin selesai, itik betina siap bertelur didalam sarang yang telah dipersiapkan dari daun-daun. Itik jantan lalu meninggalkan itik betina dan bergabung dengan itik jantan lainnya, induk yang ditinggalkan akan mengerami telurnya sampai menetas dan merawat anak-anaknya (Srigandono, 1997).

Itik Peking

Itik peking didatangkan dari Cina ke Amerika Serikat pada tahun 1870, merupakan bangsa itik pedaging yang paling disukai di Amerika Serikat dan Australia (Blade dan Blackely, 1991).

Itik peking bukanlah suatu bangsa itik yang cocok untuk petelur melainkan lebih cocok jika bangsa itik ini diternakkan dan diambil dagingnya. Sebagai bangsa unggas air, itik peking memiliki kelebihan sebagai ternak pedaging sehingga banyak peternak yang memelihara itik jenis ini. Kelebihan dari itik

(2)

peking adalah: pertumbuhan yang cepat, mudah untuk dipelihara, biaya produksi yang hemat dan tahan terhadap penyakit (Marhijanto, 1993).

Sifat khusus dari itik peking adalah memiliki bulu yang agak melengkung ke atas dibagian belakang leher. Itik peking betina lebih kecil badannya dan bulu yang melengkung dibagian leher lebih pendek dibandingkan dengan jenis jantan, itik ini mampu hidup dengan baik ditempat yang kurang airnya (Djanah, 1983).

Sistem Pencernaan Itik

Kemampuan adaptasi saluran pencernaan berdasarkan atas fungsi fisiologis tergantung pada pasokan nutrisi yang diberikan pada periode perkembangan awal setelah menetas. Status nutrisi dan pola pemberian ransum dapat memodifikasi fungsi saluran pencernaan (Zhou et al., 1990).

Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat-zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh (Anggorodi, 1985). Itik merupakan ternak non ruminansia yang artinya ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian-bagian penting dari alat pencernaan adalah mulut, fariks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman et al., 1991).

Seperti kita ketahui bahwa itik tidak mempunyai gigi untuk mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya ternak itik terhadap ransumnya lebih rendah 10 % dari pada ternak lain (Kartadisasta, 1994).

(3)

Pencernaan secara mekanik tidak terjadi didalam mulut melainkan di gizzard (empedal) dengan menggunakan batu-batu kecil yang sengaja dimakan, lalu dimasukkan kedalam usus halus. Disini terjadi proses penyerapan pencernaan dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan yang disekresikan oleh usus halus seperti cairan duodenum, empedu, pankreas dan usus. Didalam usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus (proelitik) (Tillman et al., 1991).

Di dalam empedal bahan-bahan makanan mendapat proses pencernaan secara mekanik. Partikel-partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis didalam saluran pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan ransum banyak dilakukan dengan menggiling bahan-bahan ransum tersebut (Parakkasi, 1990).

Itik tidak mengeluarkan urin cair, urin pada unggas mengalir kedalam kloaka dan dikeluarkan bersama-sama feses. Warna putih yang terdapat dalam ekskreta itik yaitu nitrogen urine mamalia kebanyakan adalah urea. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada unggas digambarkan pada proses pencernaan cepat (lebih kurang empat jam) (Anggorodi, 1985).

Kebutuhan Nutrisi Itik Peking

Kebutuhan nutrisi itik peking akan terpenuhi bila itik tersebut mendapat nutrisi yang seimbang dari bahan pakan ransum yang diberikan. Untuk mendapatkan laju pertumbuhan itik yang lebih cepat dibutuhkan tingkat protein yang lebih tinggi, tingkatan pemberian pakan yang banyak mengandung protein

(4)

tidak hanya berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan akan tetapi lebih berpengaruh terhadap pertambahan lemak pada itik peking. Daya cerna makanan berhubungan erat dengan komposisi kimianya dan serat kasar mempunyai pengaruh yang besar terhadap daya cerna itik baik susunan kimianya maupun proporsi serat kasar dalam bahan pakan, seperti jagung menunjukkan variasi daya cerna yang kecil disebabkan karena kadar serat kasarnya yang rendah. Setiap pemeliharaan ternak unggas seperti itik pedaging harus diberi pakan yang bergizi dan mengandung protein yang baik bagi ternak, untuk mendukung pertumbuhan ternak yang cukup cepat. Kebutuhan utama dari zat gizi berupa protein dengan kandungan asam amino esensial yang seimbang dan kandungan energi yang cukup, disamping itu kadar vitamin dan mineral juga harus diperhatikan (Srigandono, 1991).

Tabel 1. Persyaratan mutu untuk itik ras pedaging masa akhir (itik finisher)

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2006)

Kebutuhan nutrisi pakan untuk periode starter pada itik yaitu kandungan protein 20-22%, energi metabolisme 2800-3100 kkal, serat kasar 7%, lemak

4-No Parameter Satuan Persyaratan 1. Kadar air % Maks. 14.00 2. Protein kasar % Min. 18.00 3. Lemak kasar % Maks. 8.00 4. Serat kasar % Maks. 6.00

5. Abu % Maks. 8.00

6. Kalsium (Ca) % 0.90 - 1.20 7. Fosfor (P) total % 0.60 - 1.00 8. Fosfor (P) tersedia % Min. 0.40 9. Total alfatoxin μg/kg Maks. 50.00 10. Energi termetabolis (EM) kkal/kg Min. 2900 11 Asam amino:

Lisin % Min. 0.90

Metionin % Min. 0.30 Metionin + sistin % Min. 0.50

(5)

7% dan untuk itik periode finisher kandungan protein 16-17%, energi metabolis 2800 kkal, serat kasar 6-9 dan lemak 3-6% (Srigandono, 1991).

Dengan mengetahui nilai gizi dari beberapa bahan pakan dan nilai gizi yang baik bagi itik, penyusunan ransum itik dapat dilakukan dengan sempurna. penyusunan ransum yang sesuai dengan kebutuhan itik dari setiap periode umur dan produksi itik dipengaruhi oleh nilai gizi yang digunakan dalama ransum. Untuk mengetahui bahan pakan apa saja yang akan digunakan dalam ransum harus diketahui terlebih dahulu zat yang terkandung didalam bahan pakan ransum. (Murtidjo, 1996).

Sebagian besar dari ransum itik terdapat kandungan energi dan setiap aktifitas hidup dari itik tersebut membutuhkan energi. Energi mempunyai hubungan yang erat terhadap konsumsi itik yang akhirnya akan mempengaruhi unsur gizi lainnya. Bahan pakan yang mengandung sumber energi umumnya berasal dari jagung, bekatul, bungkil kelapa, minyak, biji-bijian, limbah industri pertanian dan olahan ubi kayu (Rasyaf, 1992).

Ransum Itik

Pemberian ransum pada itik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan berproduksi itik tersebut. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam jumlah cukup, baik kualitas maupun kuantitas. Kebutuhan utama zat gizi berupa protein dengan kandungan asam amino esensial yang berimbang serta kandungan energi yang memadai. Disamping itu kebutuhan vitamin dan mineral juga harus diperhatikan. Itik selama masa pemeliharaanya mempunyai dua macam ransum yaitu itik starter dan itik finisher (Kartadisastra, 1994).

(6)

Persyaratan mutu ransum untuk anak itik (itik starter) berbeda dengan mutu ransum broiler pada masa akhir (itik finisher). Perbedaan ini sesuai dengan kebutuhan nutrisi itik sesuai dengan fase pertumbuhannya. Secara garis besar itik periode starter membutuhkan ransum dengan kadar protein antara 20-22% yang berarti 200-220 g protein/kg ransum dan energi metebolisme antara 2800-3000 kkal/kg ransum sedangkan pada tahap periode finisher kadar protein diturunkan menjadi antara 16-17% sehinggan rasio EM/p-nya sebesar 3000/170 = 18. Untuk mencapai berat badan sekitar 3.5 kg pada umur 8 minggu seekor itik peking akan menghabiskan pakan sebanyak 9,5 kg dengan rata-rata konsumsi pakan 170g/hari selama 8 minggu (Srigandono, 1998).

Konsumsi Ransum

Ransum adalah bahan pakan yang mengandung zat-zat gizi dalam keadaan cukup dan seimbang yang diberikan kepada ternak dalam waktu 24 jam. Jumlah ransum yang dikonsumsi harus seimbang dengan kebutuhan pokok, produksi sesuai dengan umur dan aktifitas serta untuk mengetahui standar konsumsi ransum dalam pertambahan bobot badan yang diukur selama seminggu (Rasyaf, 1989).

Konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan sejumlah ransum yang diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan jumlah ransum yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara pemberian (Anggorodi, 1995).

Makin banyak jumlah ransum yang dikonsumsi makin aktif kegiatan saluran pencernaan untuk mencerna sehingga dapat merangsang pertumbuhan

(7)

organ pencernaan. Jenis ransum seperti misalnya perbedaan kandungan serat, juga dapat menentukan perkembangan organ pencernaan (Siri et al., 1992).

Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis)

Menurut binomial, ikan gabus pasir diklasifikasikan sebagai berikut; Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis, Spsies: Butis amboinensis. Karakteristik dari ikan gabus pasir yaitu kepala pipih datar, lebar badan 5-5,5 kali lebih pendek dari panjang standart, 6-7 kali lebih pendek dari panjang total, tidak mempunyai sisik tambahan, interorbital, pipi dan kepala bersisik, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan tidak membesar, tipe ekor membulat (Gultom, 2010).

Teknik Pengolahan Bahan Pakan

Secara garis besar ada dua metode pengolahan tepung ikan skala kecil yaitu pengolahan dengan cara mekanis dan non mekanis. Pengolahan dengan cara non mekanis ini sangat sederhana, baik cara maupun peralatan yang digunakan. Tahap pengolahannya adalah perebusan, pengepresan penghancuran dan pengeringan, penggilingan. Pengolahan secara mekanis yaitu sebagian peralatan digerakan secara mekanis, namun tetap tidak menggunakan steam boiler dan sentrifuge. Ada dua tipe instalasi yang dapat digunakan dan pilihannya dapat disesuaikan dengan kadar lemak ikan yang akan diolah yaitu pengeringan langsung dan pengeringan tidak langsung (Ilyas et all, 1985).

Prinsip dasar pengolahan tepung ikan yaitu pemasakan, pemisahan air dan minyak, pengeringan dan penggilingan. Pemasakan merupakan tahap menentukan dalam pengolahan tepung ikan. Tingkat pemasakan harus tepat, sehingga seluruh

(8)

bahan mentah akan menggumpal (terkoagulasi). Jika tidak terjadi penggumpalan total maka akan dihasilkan press cake dengan kadar air dan lemak yang masih tinggi. Akibatnya pemisahan minyak dari cairan juga sukar (Moeljanto, 1992). Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu tepung ikan

Komposisi Mutu I Mutu II Mutu III

Kimia :

a. air (%) maks 10 12 12

b. Prot. kasar (%) min 65 55 45

c. Serat Kasar (%) maks 1,5 2,5 3

d. Abu (%) maks 20 25 30 e. Lemak (%) maks 8 10 12 f. Ca (%) 2,5 - 5,0 2,5 – 6,0 2,5 - 7,0 g. P (%) 1,6 – 3,2 1,6 – 4,0 1,6 – 4,7 h. NaCl (%) maks 2 3 4 Mikrobiologi : Salmonella (pada 25 gr ampel)

Negatif Negatif Negatif

Organoleptik:

Nilai minimum 7 6 6

Sumber : Dewan Standarisasi Nasional, 1996

Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam jumlah yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Pengeringan dapat diartikan sebagai usaha memindahkan atau mengurangi air dari suatu bahan pangan. Kebanyakan pengeringan dilakukan dengan proses penguapan air yang terkandung dalam makanan, dan untuk melakukannya maka panas latent penguapan harus tersedia. Terdapat dua faktor pengendali proses yang penting ikut serta dalam unit operasi pengeringan, yaitu: 1. Transfer panas untuk menyediakan kebutuhan panas latent penguapan. 2. Aliran air atau gerakan air dan uap air melalui bahan pangan yang kemudian mengalir melalui bahan pangan yang kemudian keluar mengakibatkan pemisahan air dari bahan pangan (Earle,1983).

(9)

Metode Pengeringan Matahari

Pengeringan dengan cara menjemur dibawah sinar matahari mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pengeringan buatan karena penjemuran mudah dilakukan dan murah serta sinar matahari mampu menembus kedalam sel secara merata. Penjemuran adalah penurunan kadar air suatu bahan untuk memperoleh

tingkat kadar air yang seimbang dengan kelembaban nisbi atmosfer (Taib et al., 1988).

Pada kondisi optimum energi surya atau matahari yang mencapai permukaan bumi besarnya 6-8 KW-jam/m2/hari untuk daerah sekitar khatulistiwa. Sekitar 30% radiasi yang mencapai atmosfir dipantulkan kembali keangkasa, 47% diserap menjadi panas oleh atmosfir, tanah dan air tetapi sebagian besar energi yang diserap ini dipantulkan lagi ke atmosfir (Kamaruddin, 1991).

Proses pengeringan pada prinsipnya adalah proses mengurangi kadar air dalam ikan untuk mencegah bakteri dan enzim bekerja dalam ikan, selain mengurangi kadar air dalam ikan, diperlukan juga pengendalian temperatur dan RH udara tempat penyimpanan ikan. Beberapa variabel yang penting dalam proses pengeringan ikan adalah: temperatur, RH dan laju aliran udara serta waktu pengeringan. Kadar air ikan bervariasi antara 50% - 80%, untuk mengurangi aktivitas bakteri dan enzim, kadar air ikan sebaiknya dijaga dibawah 25% (Abdullah ,2003).

Metode Pengukusan

Pengukusan yaitu memasak bahan makanan di dalam uap air. Suhu atau panas yang didapat dari steam (uap) biasanya lebih panas, oleh karena itu biasanya memasak dengan metode steaming akan lebih cepat daripada dengan

(10)

metode boiling. Proses pengukusan dapat menurunkan kadar zat gizi makanan yang besarnya tergantung pada cara mengukus dan jenis makanan yang dikukus. Keragaman susut zat gizi diantara cara pengukusan terutama terjadi akibat degradasi oksidatif. Proses pengolahan dengan pengukusan memiliki susut zat gizi yang lebih kecil dibandingkan dengan perebusan (Indriyati et al, 1990).

Panas digunakan untuk memasak makanan dengan tujuan membuat makanan tersebut mudah dicerna, menghasilkan aroma yang diinginkan, dan lebih bernutrisi. Perebusan adalah cara memasak makanan dalam cairan yang sedang mendidih (100 °C). Perebusan dipakai dalam pengolahan makanan, sayuran, atau bahan bertepung. Temperatur yang tinggi akan mengeraskan (membuat liat) protein daging, ikan, dan telur. Air yang mendidih akan membuat makanan lebih halus dan mudah dicerna (Causin,1980).

Metode Silase

Prinsip pembuatan silase adalah menurunkan pH ikan agar pertumbuhan maupun perkembangan bakteri pembusuk terhenti. Dengan terhentinya aktivitas bakteri, aktivitas enzim baik yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri dari asam yang sengaja ditambahkan meningkat (Afianto dan liviawaty, 1989).

Pembuatan silase ikan dengan cara kimiawi adalah dengan cara menambahkan bahan kimia ke dalam ikan atau sisa-sisa ikan yang telah digiling seperti HCI, H2SO4, Asam Propionat, Asam Formiat atau campuran keduanya Sedangkan, silase ikan secara biologis dibuat dengan cara memanfaatkan mikroba yang ada yaitu mengaktifkan mikroba tersebut melalui penambahan bahan yang mengandung karbohidrat yang tinggi, seperti dedak padi, jagung dan molases.

(11)

Silase dapat digunakan sebagai penambah atau sumber protein yang utama dalam pembuatan pakan unggas (Suharto, 1997).

Kecernaan Bahan Pakan

Faktor yang mempengaruhi nilai kecernaan pada ternak antara lain adalah pakan, ternak dan lingkungan. Dilihat dari segi pakan kecernaan dipengaruhi oleh faktor perlakuan terhadap pakan yang mencangkup pengolahan, penyimpanan, cara pemberian, jenis, jumlah dan komposisi pakan yang diberikan pada ternak tersebut (Anggorodi, 1994).

Penentuan kecernaan/daya cerna dari suatu ransum dapat diketahui dimana harus dipahami terlebih dahulu dua hal yang penting yaitu: jumlah nutrien yang terdapat dalam ransum dan jumlah nutrien yang dapat dicerna dan dapat diketahui bila ransum telah mengalami proses pencernaan (Tillman et al., 1991)

Kecernaan bahan pakan adalah bagian pakan yang tidak disekresikan dalam feses dan selanjutnya dapat diasumsikan sebagai bagian yang diserap oleh ternak. Selisih antara nutrien yang dikandung dalam bahan makanan dengan nurient yang ada dalam feses merupakan bagian nutrient yang dicerna (McDonald et al., 2002).

Kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali. Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran pencernaan. Daya cerna dipengaruhi juga oleh suhu, laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan,

(12)

bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya, jenis kelamin, umur dan strain, meskipun tidak konsisten (Tillman et al., 2005)

Metode yang digunakan untuk menilai kecernaan yaitu metode konvensional atau total collecting methods, yang terdiri dari periode pendahuluan dengan tujuan membiasakan ternak pada ransum dan keadaan lingkungan sekitarnya dan menghilangkan sisa-sisa makanan sebelum perlakuan (Church dan Pond, 1988). Sedangkan periode koleksi feses dilakukan selama 5-15 hari, dengan waktu koleksi 24 jam (Tillman et al., 1998). Metode lainnya yaitu metode kuantitatif (metode indikator) yaitu menambahkan indikator dalam ransum yang tidak dicerna (Cheeke, 2005). Untuk mengukur kecernaan pada unggas dibutuhkan teknik khusus karena feses dan urin dikeluarkan secara

bersamaan sehingga menyebabkan bercampurnya N urin dan feses (Maynard dan Loosli, 1979).

Hal tersebut menurut Soares dan Kifer (1971) dapat diusahakan dengan jalan pemisahan N-urin dalam feses secara kimia atau dilakukan pembedahan untuk koleksi sampel dari usus besar. Metode pengambilan sampel dari usus besar dilakukan dengan asumsi bahwa pencernaan dan penyerapan telah terjadi pada usus halus dan tidak terjadi lagi pada usus besar. Sejalan dengan pendapat Bielorai et all. (1973), penyerapan zat-zat makanan terjadi di dalam usus halus.

Metode pengambilan sampel dari usus besar lebih akurat (Doeschate et all , 1993). Metode kuantitatif ini terdiri dari dua periode yaitu

(13)

Bahan kering adalah suatu bahan pakan yang dipanaskan dalam oven pada temperatur 1050C dengan pemanasan yang terus menerus sampai berat bahan pakan tersebut konstan (Tillman et all., 1998). Kualitas dan kuantitas bahan kering tersebut harus diketahui untuk meningkatkan kecernaan bahan pakan tersebut. Pada kondisi normal, konsumsi bahan kering dijadikan ukuran konsumsi ternak, konsumsi bahan kering bergantung pada banyaknya faktor, diantaranya adalah kecernaan bahan kering pakan, kandungan energi metabolisme pakan dan kandungan serat kasar pakan. Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang diserap tubuh yang dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan kering, baik dalam ransum maupun dalam feses. Selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan jumlah yang diekskresikan adalah kecernaan bahan kering (Ranjhan, 1980).

Kecernaan bahan organik merupakan persentase dari selisih komsumsi bahan organik ransum dan bahan organik feses per komsumsi bahan organik ransum. Semakin tinggi komsumsi bahan kering akan diikuti peningkatan bahan organiknya, begitu pula sebaliknya (Chotimah, 2002).

Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein didalam ransum. Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1991).

Referensi

Dokumen terkait

Anggorodi (1994) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan makanan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan ransum adalah suhu, gerak laju makanan melalui

Konsumsi bahan makanan hewani sangat dibutuhkan tubuh karena mengandung sumber zat besi dan protein yang tinggi dibandingkan dengan nabati karena bahan makanan

Mikroba rumen merubah zat-zat hara yang terdapat dalam makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga dapat diserap tubuh dan dapat digunakan sebagai energi membentuk

Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap sehingga apabila dikonsumsi sangat baik untuk mempertahankan kesehatan tubuh selain untuk kesehatan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering, yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang

11 Mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet makanan berpengaruh terhadap zat besi yang diserap oleh tubuh, sehingga mengkonsumsi bahan pengawet makanan dapat

Peradangan terjadi bila tubuh sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, atau merupakan reaksi vaskular yang menimbulkan pengiriman cairan, zat-zat

Makanan bagi bayi harus mengandung cukup bahan bakar (energi) dan semua zat gizi esensial ( 9 komponen bahan makanan yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sendiri akan