• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI ASPEK TEKNIS PER SEKTOR - DOCRPIJM 1480655316Bab VI Aspek Teknis per Sektor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB VI ASPEK TEKNIS PER SEKTOR - DOCRPIJM 1480655316Bab VI Aspek Teknis per Sektor"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

VI- 1

BAB VI

ASPEK TEKNIS PER SEKTOR

Rencana pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya mencakup empat sektor yaitu pengembangan permukiman, penataan bangunan dan lingkungan, pengembangan air minum, serta pengembangan penyehatan lingkungan permukiman yang terdiri dari air limbah, persampahan, dan drainase. Penjabaran perencanaan teknis untuk tiap-tiap sektor dimulai dari pemetaan isu-isu strategis yang mempengaruhi, penjabaran kondisi eksisting sebagai baseline awal perencanaan, serta permasalahan dan tantangan yang harus diantisipasi. Tahapan berikutnya adalah analisis kebutuhan dan pengkajian terhadap program-program sektoral, dengan mempertimbangkan kriteria kesiapan pelaksanaan kegiatan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan usulan program dan kegiatan yang dibutuhkan.

6.1 Rencana Program Investasi Sektor Pengembangan Permukiman

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan.

Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri dari pengembangan kawasan permukiman baru dan peningkatan kualitas permukiman kumuh, sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari pengembangan kawasan permukiman perdesaan, kawasan pusat pertumbuhan, serta desa tertinggal.

Arahan kebijakan pengembangan permukiman mengacu pada amanat peraturan perundangan, antara lain:

1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Arahan RPJMN Tahap 3 (2015-2019) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat terus meningkat, sehingga kondisi tersebut mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh pada awal tahapan RPJMN berikutnya.

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Pasal 4 mengamanatkan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman juga mencakup penyelenggaraan perumahan (butir c), penyelenggaraan kawasan permukiman (butir d), pemeliharaan dan perbaikan (butir e), serta pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh (butir f).

3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Pasal 15 mengamanatkan bahwa pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, dan rumah susun negara merupakan tanggung jawab pemerintah.

4. Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

Peraturan ini menetapkan salah satunya terkait dengan penanggulangan kemiskinan yang diimplementasikan dengan penanggulangan kawasan kumuh.

5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.

Peraturan ini menetapkan target berkurangnya luas permukiman kumuh di kawasan perkotaan sebesar 10% pada tahun 2014.

6.1.1 Isu strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan dan Tantangan a. Isu Srategis Pengembangan Permukiman

Isu strategis nasional yang berpengaruh terhadap pengembangan permukiman saat ini adalah:

 Mengimplementasikan konsepsi pembangunan berkelanjutan serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

 Percepatan pencapaian target MDGs 2020 yaitu penurunan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan.

 Perlunya dukungan terhadap pelaksanaan Program-Program Direktif Presiden yang tertuang dalam MP3EI dan MP3KI.

 Percepatan pembangunan di wilayah timur Indonesia (Provinsi NTT, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat) untuk mengatasi kesenjangan.

 Meminimalisir penyebab dan dampak bencana sekecil mungkin.

 Meningkatnya urbanisasi yang berimplikasi terhadap proporsi penduduk perkotaan yang bertambah, tingginya kemiskinan penduduk perkotaan, dan bertambahnya kawasan kumuh.

 Belum optimalnya pemanfaatan Infrastruktur Permukiman yang sudah dibangun.  Perlunya kerjasama lintas sektor untuk mendukung sinergitas dalam

(2)

VI- 2

 Belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam mendukung pembangunan

permukiman. Ditopang oleh belum optimalnya kapasitas kelembagaan dan kualitas sumber daya manusia serta perangkat organisasi penyelenggara dalam memenuhi standar pelayanan minimal di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.

Dalam lingkup pengembangan permukiman Kabupaten Luwu, isu-isu strategis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.1

Isu-Isu Strategis Sektor Pengembangan Permukiman Skala Kabupaten Luwu

No Isu Srategis Keterangan

1 Fisik Degradasi fisik lingkungan di sepanjang DAS, kawasan pesisir, banjir perkotaan dan keberadaan kawasan permukiman kumuh

2 Ekonomi Didominasi masyarakat miskin perkotaan di sepanjang kawasan pesisir, daerah manfaat sungai dan dominan menempati hunian yang tidak layak huni

3 Sosial Rawan konflik sosial akibat penguasaan lahan yang timpang khususnya pada kawasan pesisir dan daerah manfaat sungai 4 Lingkungan Penurunan kualitas lingkungan hidup akibat aktivitas

pembangunan yang melampaui daya tampung ruang dan daya dukung lingkungan kawasan pesisir dan daerah manfaat sungai

5 Prasarana Permukiman Keterbatasan infrastruktur permukiman mengondisikan daya hubung antar lingkungan permukiman relatif sangat rendah 6 Sarana Permukiman Ketersediaan sarana permukiman yang sangat terbatas dalam

kerangka mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat 7 Kelembagaan Fungsi dan peran kelembagaan masyarakat dalam

pelaksanaan pembangunan relatif masih rendah

8 Transportasi Sistem transportasi perkotaan belum berkembang dengan baik untuk mendukung mobilitas dan aksesibiltas penduduk 9 Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat relatif masih rendah dalam

penyelenggaraan pembangunan perkotaan

10 Regulasi Sinkronisasi perangkat kebijakan pembangunan belum berjalan efektif sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan

11 Pembiayaan Ketersediaan anggaran pembangunan pada sektor permukiman masih terbatas dan dominan pembangunan perumahan secara swadaya

12 Investasi Investasi pembangunan pada sektor permukiman sangat terbatas

13 Budaya Akulturasi budaya antara penduduk pendatang dan komunitas lokal

14 Legalitas Lahan Konflik lahan perkotaan cukup tinggi akibat instrumen pengendalian pembangunan belum berjalan efektif

15 Kependudukan Tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi khususnya kawasan pesisir dan daerah manfaat sungai

16 Spesifikasi Wilayah Keberadaan kawasan permukiman kumuh cenderung sporadis pada muara sungai, sepanjang DAS dan kawasan pesisir.

Sumber: Buku SPPIP Kab. Luwu Tahun 2013

b. Kondisi Eksisiting Pengembangan Permukiman

Secara umum, peraturan pengembangan permukiman di Kabupaten Luwu masih sagat lemah. Sampai Tahun 2014, peraturan yang terkait dengan pengembangan permukiman hanya diatur oleh Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Luwu serta Surat Keputusan Bupati tentang Penetapan Lokasi Kawasan Kumuh.

Tabel 6.2

Peraturan Daerah/Peraturan Bupati/peraturan lainnya terkait Pengembangan Permukiman

Kawasan peruntukan pemukiman terdiri atas : a. Kawasan permukiman perkotaan, terdiri

dari atas kurang lebih 4.464 (empat ribu empat ratus enam puluh empat) hektar tersebar di Kecamatan Belopa, Belopa Utara, Larompong Selatan, Larompong, Suli, Kamanre, Bajo, Ponrang, Ponrang Selatan, Bua, Walenrang dan Lamasi; b. Kawasan permukiman perdesaan, terdiri

dari atas kurang lebih 2.773 (dua ribu tujuh ratus tujuh puluh tiga) hektar tersebar di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Luwu kecuali Kecamatan Belopa dan Belopa Utara.

Perkotaan

Tabel 6.3

Data Kawasan Kumuh di Kabupaten Luwu Tahun 2013

(3)

VI- 3

9. Kawasan Ta' Date 02 10.4310

10 Kawasan Lonnyi 19.9159

Sumber : Surat Keputusan Bupati Luwu tentang penetapan Kawasan Kumuh, Tahun 2014

c. Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Permukiman

Permasalahan dan tantangan pengembangan permukiman pada tingkat nasional antara lain:

Permasalahan pengembangan permukiman diantaranya:

1) Masih luasnya kawasan kumuh sebagai permukiman tidak layak huni sehingga dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, dan pelayanan infrastruktur yang masih terbatas.

2) Masih terbatasnya prasarana sarana dasar pada daerah tertinggal, pulau kecil, daerah terpencil, dan kawasan perbatasan.

3) Belum berkembangnya Kawasan Perdesaan Potensial.

Tantangan pengembangan permukiman diantaranya:

1) Percepatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat

2) Pencapaian target/sasaran pembangunan dalam Rencana Strategis Ditjen Cipta Karya sektor Pengembangan Permukiman.

3) Pencapaian target MDG’s 2015, termasuk didalamnya pencapaian Program -Program Pro Rakyat (Direktif Presiden)

4) Perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan bidang Cipta Karya khususnya kegiatan Pengembangan Permukiman yang masih rendah.

5) Memberikan pemahaman kepada pemerintah daerah bahwa pembangunan infrastruktur permukiman yang saat ini sudah menjadi tugas pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

6) Penguatan Sinergi RP2KP/RTBL KSK dalam Penyusunan RPI2JM bidang Cipta Karya pada Kabupaten/Kota.

Sebagaimana isu strategis, di Kabupaten Luwu terdapat permasalahan dan tantangan pengembangan yang bersifat lokal dan spesifik. Penjabaran permasalahan dan tantangan pengembangan permukiman yang bersifat lokal dijabarkan sebagai informasi awal dalam perencanaan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi permasalahan dan tantangan pengembangan permukiman di Kabupaten Luwu serta merumuskan alternatif pemecahan dan rekomendasi dari permasalahan dan tantangan pengembangan permukiman yang ada di wilayah Kabupaten Luwu.

Tabel 6.5

Identifikasi Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Permukiman Kabupaten Luwu

No

Permasalahan Pengembangan

Permukiman

Tantangan Pengembangan Alternatif Solusi

1 2 3 4

1 Aspek Teknis a. Fisik :

Kerusakan lingkungan pada daerah bantaran sungai dan kawasan pesisir pantai serta perkembangan kawasan permukiman sepanjang jalur Trans Sulawesi cenderung linier

Perkembangan kawasan perkotaan cenderung linier dan pembentukan cluster-cluster permukiman baru akan bardampak pada alih fungsi guna lahan dari lahan produktif menjadi lahan terbangun

Pengendalian Pemanfaatan ruang pada jalan arteri serta pengurangan alih fungsi lahan produktif

b. Ekonomi :

Tingkat pendapatan masyarakat masih dibawah standar rata-rata

Keberadaan fungsi-fungsi komersil dan kawasan fungsional strategis dominan berlokasi pada kawasan perkotaan di motori oleh kehadiran pemilik modal sehingga berimbas pada lemahnya akses masyarakat terhadap sumberdaya reproduksi ruang perkotaan kabupaten Luwu

Konflik sosial dalam penguasaan lahan dan keberadaan kawasan permukiman kumuh pada daerah muara sungai, sepanjang pesisir yang memerlukan instrumen pengendalian dan relokasi kawasan permukiman kumuh

Pengendalian pemanfaatan lahan pada si sepanjang aliran sungai dan muara sungai

d. Lingkungan :

Pencemaran sungai dan air laut akibat perilaku dan aktivitas masyarakat

Degradasi lingkungan akibat pencemaran aktivitas kegiatan masyarakat sepanjang DAS dan kawasan pesisir perkotaan Kabupaten Luwu

Perubahan perilaku masyarakat di daerah pesisir dan DAS

e. Prasarana Permukiman : Sistem jaringan jalan, sistem drainase dan sistem persampahan belum tertangani secara optimal

Ketersediaan infrastruktur perkotaan yang belum memadai akan membutuhkan biaya pembangunan yang cukup tinggi belum terpenuhi secara merata pada kawasan permukiman perkotaan

Efektivitas pengembangan sarana permukiman yang belum optimal berpengaruh signifikan terhadap perkembangan perkotaan Kabupaten Luwu

Pemerataan pembangunan fasos dan fasum pada lingkungan

Ego sektoral yang cukup tinggi berimbas pada lemahnya koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan perkotaan Kabupaten Luwu

(4)

VI- 4

pembangunan

3 Transportasi :

Ketersedian sarana dan prasarana transportasi belum memadai

Perkembangan kota yang cenderung linier sepanjang jalan Trans Sulawesi akan berdampak pada alih fungsi lahan, fungsi jalan dan beban lalu lintas yang cukup tinggi, dan berpengaruh signifikan pada pola pengembangan aktivitas ekonomi perkotaan

Pembangunan sarana dan prasarana transportasi pembangunan relatif rendah, sehingga berimplikasi pada lemahnya partisipasi masyarakat.

Peningkatan peran kelembagaan masyarakat dalam pembangunan sepenuhnya didasarkan pada efektifitas instrumen pengendalian pembangunan secara berkelanjutan

Penyusunan regulasi dan efektifitas pelaksanaan kebijakan pembangunan pendanaan untuk pembiayaan pembangunan permukiman dan infastruktur perkotaan

Peningkatan alokasi pembiayaan pembangunan

Dukungan kebijakan investasi yang belum maksimal berdampak pada minat investor untuk berinvestasi di Kabupaten Luwu masih cukup rendah

Penyusunan program investasi pembangunan yang baik

8 Budaya :

Modernisasi kota akan berimbas pada kultur budaya masyarakat Kabupaten Luwu

Modernisasi kota yang berlangsung dalam konteks pengembangan fungsi-fungsi kegiatan ekonomi akan berdampak segregasi sosial budaya masyarakat

Perlu akulturasi perkembangan budaya antara budaya modern dan budaya lokal

9 Legalitas Lahan : Mekanisme pelaksanaan pembangunan tidak sesuai peruntukan dan belum didasarkan pada peraturan yang berlaku

Pengguasaan lahan dalam jumlah besar oleh kelompok-kelompok tertentu mengondisikan alih fungsi guna lahan produktif cukup tinggi

Optimalisasi fungsi dan mekanisme sesuai peraturan yang berlaku

10 Kependudukan : Tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi pada kawasan pesisir dan DAS

Tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi pada kawasan pesisir dan

sepanjang DAS

mengondisikan degradasi kualitas lingkungan perkotaan

Relokasi dan penataan permukiman pada kawasan pesisir dan DAS

11 Spesifikasi Wilayah : Abrasi, sedimentasi dan degradasi kualitas lingkungan DAS dan kawasan pesisir

Pemulihan kualitas lingkungan, khususnya pada daerah aliran sungai dan kawasan pesisir serta keberadaan kawasan permukiman kumuh akan membutuhkan biaya rehabilitasi lingkungan yang cukup tinggi

Pengendalian pembangunan pada kawasan pesisir dan DAS

Sumber : Buku SPPIP Kabupaten Luwu Tahun 2013

6.1.2 Analisis Kebutuhan Pengembangan Permukiman

Tabel 6.6

Perkiraan Kebutuhan Program Pengembangan Permukiman di Perkotaan Untuk 5 Tahun

No URAIAN Unit Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V

Ket

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Jumlah Penduduk Kepadatan

Perkiraan Kebutuhan Program Pengembangan Permukiman di Perdesaan yang Membutuhkan Penanganan Untuk 5 Tahun

No URAIAN Unit Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun

(5)

VI- 5

Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman kawasan

perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan perkotaan

terdiri dari:

1) Pengembangan kawasan permukiman baru dalam bentuk pembangunan Rusunawa serta

2) peningkatan kualitas permukiman kumuh dan RSH.

Sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari:

1) Pengembangan kawasan permukiman perdesaan untuk kawasan potensial (Agropolitan dan Minapolitan), rawan bencana, serta perbatasan dan pulau kecil.

2) Pengembangan kawasan pusat pertumbuhan dengan program PISEW (RISE),

3) Desa tertinggal dengan program PPIP dan RIS PNPM.

Selain kegiatan fisik di atas program/kegiatan pengembangan permukiman dapat berupa kegiatan non-fisik seperti penyusunan RP2KP dan RTBL KSK ataupun review bilamana diperlukan.

Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan

 Infrastruktur kawasan permukiman kumuh  Infrastruktur permukiman RSH

 Rusunawa beserta infrastruktur pendukungnya

Pengembangan Kawasan Permukiman Perdesaan

 Infrastruktur kawasan permukiman perdesaan potensial (Agropolitan/Minapolitan)  Infrastruktur kawasan permukiman rawan bencana

 Infrastruktur kawasan permukiman perbatasan dan pulau kecil  Infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi dan sosial (PISEW)  Infrastruktur perdesaan PPIP

 Infrastruktur perdesaan RIS PNPM

Adapun alur fungsi dan program pengembangan permukiman tergambar dalam gambar berikut.

Kriteria Kesiapan (Readiness Criteria)

Dalam pengembangan permukiman terdapat kriteria yang menentukan, yang terdiri dari kriteria umum dan khusus, sebagai berikut.

1. Umum

 Ada rencana kegiatan rinci yang diuraikan secara jelas.

 Indikator kinerja sesuai dengan yang ditetapkan dalam Renstra.  Kesiapan lahan (sudah tersedia).

 Sudah tersedia DED.

 Tersedia Dokumen Perencanaan Berbasis Kawasan (RP2KP, RTBL KSK, Masterplan. Agropolitan & Minapolitan, dan KSK)

 Tersedia Dana Daerah untuk Urusan Bersama (DDUB) dan dana daerah untuk pembiayaan komponen kegiatan sehingga sistem bisa berfungsi.

 Ada unit pelaksana kegiatan.

 Ada lembaga pengelola pasca konstruksi.

2. Khusus

Rusunawa

(6)

VI- 6

 Kesanggupan Pemda menyediakan Sambungan Listrik, Air Minum, dan PSD

lainnya

 Ada calon penghuni RIS PNPM

 Sudah ada kesepakatan dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.  Desa di kecamatan yang tidak ditangani PNPM Inti lainnya.

 Tingkat kemiskinan desa >25%.

 Bupati menyanggupi mengikuti pedoman dan  menyediakan BOP minimal 5% dari BLM. PPIP

 Hasil pembahasan dengan Komisi V - DPR RI

 Usulan bupati, terutama kabupaten tertinggal yang belum ditangani program Cipta Karya lainnya

 Kabupaten reguler/sebelumnya dengan kinerja baik  Tingkat kemiskinan desa >25%

PISEW

 Berbasis pengembangan wilayah

 Pembangunan infrastruktur dasar perdesaan yang mendukung (i) transportasi, (ii) produksi pertanian, (iii) pemasaran pertanian, (iv) air bersih dan sanitasi, (v) pendidikan, serta (vi) kesehatan

 Mendukung komoditas unggulan kawasan.

Selain kriteria kesiapan seperti di atas terdapat beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam pengusulan kegiatan pengembangan permukiman seperti untuk penanganan kawasan kumuh di perkotaan. Mengacu pada UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh memiliki ciri (1) ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi, (2) ketidaklengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum, (3) penurunan kualitas rumah, perumahan, dan permukiman, serta prasarana, sarana dan utilitas umum, serta (4) pembangunan rumah, perumahan, dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Lebih lanjut kriteria tersebut diturunkan ke dalam kriteria yang selama ini diacu oleh Ditjen. Cipta Karya meliputi sebagai berikut:

1. Vitalitas Non Ekonomi

a. Kesesuaian pemanfaatan ruang kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota atau RDTK, dipandang perlu sebagai legalitas kawasan dalam ruang kota.

b. Fisik bangunan perumahan permukiman dalam kawasan kumuh memiliki indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh dalam hal kelayakan suatu hunian berdasarkan intensitas bangunan yang terdapat didalamnya.

c. Kondisi Kependudukan dalam kawasan permukiman kumuh yang dinilai, mempunyai indikasi terhadap penanganan kawasan permukiman kumuh berdasarkan kerapatan dan kepadatan penduduk.

2. Vitalitas Ekonomi Kawasan

a. Tingkat kepentingan kawasan dalam letak kedudukannya pada wilayah kota, apakah apakah kawasan itu strategis atau kurang strategis.

b. Fungsi kawasan dalam peruntukan ruang kota, dimana keterkaitan dengan faktor ekonomi memberikan ketertarikan pada investor untuk dapat menangani kawasan kumuh yang ada. Kawasan yang termasuk dalam kelompok ini adalah pusat-pusat aktivitas bisnis dan perdagangan seperti pasar, terminal/stasiun, pertokoan, atau fungsi lainnya.

c. Jarak jangkau kawasan terhadap tempat mata pencaharian penduduk kawasan permukiman kumuh.

3. Status Kepemilikan Tanah

a. Status pemilikan lahan kawasan perumahan permukiman. b. Status sertifikat tanah yang ada.

4. Keadaan Prasarana dan Sarana: Kondisi Jalan, Drainase, Air bersih, dan Air limbah.

5. Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota

a. Keinginan pemerintah untuk penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh dengan indikasi penyediaan dana dan mekanisme kelembagaan penanganannya.

(7)

VI- 7

6.1.4 Usulan Kebutuhan Program Kegiatan

a. Usulan Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman

Tabel 6.8

Prioritas Program Infrastruktur Permukiman Kabupaten Luwu

No Program/Kegiatan Volume/

Satuan Biaya (Rp) Lokasi Kesiapan 1 Penyusunan RPKPP Kawasan

Prioritas Laporan 1.100.000.000

Belopa, Padang Sappa

Dokumen SPPIP

2 Peningkatan Kualitas

Infrastruktur Kawasan Belopa Paket 2.500.000.000

Kawasan

5 Penangan Kawasan Kumuh di

Kota Belopa Paket 1.000.000.000

Kawasan 6 Penyediaan Sarana &

Prasarana Agropolitan Paket 1.000.000.000

Kecamatan

Bajo RTRW

7 Penyediaan Sarana &

Prasarana Minapolitan Paket 1.000.000.000 Kec. Belopa & Belopa Utara

RTRW

8 Infrastruktur Pendukung

Kegiatan Ekonomi & Sosial Paket 1.000.000.000 Kab. Luwu RTRW

9 Penangan Kawasan Potensial Paket 1.000.000.000

Ulo-Ulo, Padang Sappa, Balambang

RTRW

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

b. Usulan Pembiayaan Pengembangan Permukiman

Tabel 6.9

Usulan Pembiayaan Proyek

No Program/Kegiatan APBN APBD Prov

6 Penyediaan Sarana & Prasarana Agropolitan

x

7 Penyediaan Sarana & Prasarana Minapolitan

9 Penangan Kawasan Potensial

x x

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

6.2 Rencana Program Investasi Sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan 6.2.1 Arahan Kebijakan dan Lingkup Kegiatan PBL

Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan sebagai bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, terutama untuk mewujudkan lingkungan binaan, baik di perkotaan maupun di perdesaan, khususnya wujud fisik bangunan gedung dan lingkungannya.

Kebijakan penataan bangunan dan lingkungan mengacu pada Undang-Undang dan peraturan antara lain:

a. UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman memberikan amanat bahwa penyelenggaraan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.

Pada UU No. 1 tahun 2011 juga diamanatkan pembangunan kaveling tanah yang telah dipersiapkan harus sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan yang tercantum pada rencana rinci tata ruang dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

b. UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

UU No. 28 tahun 2002 memberikan amanat bangunan gedung harus diselenggarakan secara tertib hukum dan diwujudkan sesuai dengan fungsinya, serta dipenuhinya persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung.

Persyaratan administratif yang harus dipenuhi adalah:

a. Status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

(8)

VI- 8

Persyaratan teknis bangunan gedung melingkupi persyaratan tata bangunan dan

persyaratan keandalan bangunan. Persyaratan tata bangunan ditentukan pada RTBL yang ditetapkan oleh Pemda, mencakup peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan pengendalian dampak lingkungan. Sedangkan, persyaratan keandalan bangunan gedung mencakup keselamatan, kesehatan, keamanan, dan kemudahan. UU No. 28 tahun 2002 juga mengamatkan bahwa dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang meliputi kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran, juga diperlukan peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah.

c. PP 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Secara lebih rinci UU No. 28 tahun 2002 dijelaskan dalam PP No. 36 Tahun 2005 tentang peraturan pelaksana dari UU No. 28/2002. PP ini membahas ketentuan fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, peran masyarakat, dan pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Dalam peraturan ini ditekankan pentingnya bagi pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) sebagai acuan rancang bangun serta alat pengendalian pengembangan bangunan gedung dan lingkungan.

d. Permen PU No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

Sebagai panduan bagi semua pihak dalam penyusunan dan pelaksanaan dokumen RTBL, maka telah ditetapkan Permen PU No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa RTBL disusun pada skala kawasan baik di perkotaan maupun perdesaan yang meliputi kawasan baru berkembang cepat, kawasan terbangun, kawasan dilestarikan, kawasan rawan bencana, serta kawasan gabungan dari jenis-jenis kawasan tersebut. Dokumen RTBL yang disusun kemudian ditetapkan melalui peraturan walikota/bupati.

e. Permen PU No.14 /PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

Permen PU No: 14 /PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang mengamanatkan jenis dan mutu pelayanan dasar Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Pada Permen tersebut

dilampirkan indikator pencapaian SPM pada setiap Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian PU beserta sektor-sektornya.

Lingkup kegiatan untuk dapat mewujudkan lingkungan binaan yang baik sehingga terjadi peningkatan kualitas permukiman dan lingkungan meliputi:

a. Kegiatan penataan lingkungan permukiman

 Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL);  Bantuan Teknis pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH);

 Pembangunan Prasarana dan Sarana peningkatan lingkungan pemukiman kumuh dan nelayan;

 Pembangunan prasarana dan sarana penataan lingkungan pemukiman tradisional.

b. Kegiatan pembinaan teknis bangunan dan gedung

 Diseminasi peraturan dan perundangan tentang penataan bangunan dan lingkungan;

 Peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan dan gedung;  Pengembangan sistem informasi bangunan gedung dan arsitektur;  Pelatihan teknis.

c. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di perkotaan

 Bantuan teknis penanggulangan kemiskinan di perkotaan;  Paket dan Replikasi.

6.2.2 Isu strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan dan Tantangan a. Isu Strategis Sektor PBL

Untuk dapat merumuskan isu strategis Bidang PBL, maka dapat dilihat dari Agenda Nasional dan Agenda Internasional yang mempengaruhi sektor PBL. Untuk Agenda Nasional, salah satunya adalah Program PNPM Mandiri, yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, sebagai wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Agenda nasional lainnya adalah pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, khususnya untuk sektor PBL yang mengamanatkan terlayaninya masyarakat dalam pengurusan IMB di kabupaten/kota dan tersedianya pedoman Harga Standar Bangunan Gedung Negara (HSBGN) di kabupaten/kota.

(9)

VI- 9

separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum layak dan sanitasi

layak pada 2015, serta target 7D, yaitu mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020.

Agenda internasional lainnya adalah isu Pemanasan Global (Global Warming). Pemanasan global yang disebabkan bertambahnya karbondioksida (CO2) sebagai akibat konsumsi energi yang berlebihan mengakibatkan naiknya suhu permukaan global hingga 6.4 °C antara tahun 1990 dan 2100, serta meningkatnnya tinggi muka laut di seluruh dunia hingga mencapai 10-25 cm selama abad ke-20. Kondisi ini memberikan dampak bagi kawasan-kawasan yang berada di pesisir pantai, yaitu munculnya bencana alam seperti banjir, kebakaran serta dampak sosial lainnya. Agenda Habitat juga merupakan salah satu Agenda Internasional yang juga mempengaruhi isu strategis sektor PBL. Konferensi Habitat I yang telah diselenggarakan di Vancouver, Canada, pada 31 Mei-11 Juni 1976, sebagai dasar terbentuknya UN Habitat pada tahun 1978, yaitu sebagai lembaga PBB yang mengurusi permasalahan perumahan dan permukiman serta pembangunan perkotaan. Konferensi Habitat II yang dilaksanakan di lstanbul, Turki, pada 3 - 14 Juni 1996 dengan dua tema pokok, yaitu "Adequate Shelter for All" dan "Sustainable Human Settlements Development in an Urbanizing World", sebagai kerangka dalam penyediaan perumahan dan permukiman yang layak bagi masyarakat.

Dari agenda-agenda tersebut maka isu strategis Kabupaten Luwu untuk bidang PBL dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1) Penataan Lingkungan Permukiman

a) Pengendalian pemanfaatan ruang melalui RTBL;

b) PBL mengatasi tingginya frekuensi kejadian kebakaran di perkotaan;

c) Pemenuhan kebutuhan ruang terbuka publik dan ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan;

d) Revitalisasi dan pelestarian lingkungan permukiman tradisional dan bangunan bersejarah berpotensi wisata untuk menunjang tumbuh kembangnya ekonomi lokal;

e) Peningkatan kualitas lingkungan dalam rangka pemenuhan Standar Pelayanan Minimal;

f) Pelibatan pemerintah daerah dan swasta serta masyarakat dalam penataan bangunan dan lingkungan.

2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara

a) Tertib pembangunan dan keandalan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan);

b) Pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung dengan perda bangunan gedung di kab/kota;

c) Tantangan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, tertib, andal dan mengacu pada isu lingkungan/berkelanjutan;

d) Tertib dalam penyelenggaraan dan pengelolaan aset gedung dan rumah negara;

e) Peningkatan kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan gedung dan rumah Negara.

3) Pemberdayaan Komunitas dalam Penanggulangan Kemiskinan

a) Jumlah masyarakat miskin pada tahun 2012 sebesar 29,13 juta orang atau sekitar 11,96% dari total penduduk Indonesia;

b) Realisasi DDUB tidak sesuai dengan komitmen awal termasuk sharing in-cash sesuai MoU PAKET;

c) Keberlanjutan dan sinergi program bersama pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan.

Isu strategis PBL ini terkait dengan dokumen-dokumen seperti RTR, skenario pembangunan daerah, RTBL yang disusun berdasar skala prioritas dan manfaat dari rencana tindak yang meliputi:

a) Revitalisasi

b) Ruang Terbuka Hijau

c) Bangunan Tradisional/bersejarah dan

d) Penanggulangan kebakaran, bagi pencapaian terwujudnya pembangunan lingkungan permukiman yang layak huni, berjati diri, produktif dan berkelanjutan.

Tabel 6.10

Isu Strategis sektor PBL di Kabupaten Luwu

No Kegiatan Sektor PBL Isu Strategis PBL Kab. Luwu

1 2 3

1 Penataan Lingkungan Permukiman a. Belum tersusun RTBL KSK Kabupaten b. Belum tersusunnya NSPK sector PBL 2 Penyelenggaraan Bangunan Gedung

& Rumah Negara

a. Belum ada TABG

3 Pemberdayaan Komunitas Dalam Penanggulangan Kemiskinan

a. Rendahnya DDUB yang disiapkan oleh Pemerintah Daerah

b. Kurag sinerginya program Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat

(10)

VI- 10

b. Kondisi Eksisting Sektor PBL

Secara umum, peraturan sector PBL di Kabupaten Luwu masih sangat lemah. Sampai Tahun 2014, peraturan yang terkait dengan pengembangan permukiman hanya diatur oleh Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Luwu serta Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Bangunan Gedung.

Tabel 6.11

Peraturan Daerah/Peraturan Bupati/peraturan lainnya terkait Penataan Bangunan Lingkungan

No

Perda/Perbup/Peraturan Lainnya

Amanat Kebijakan Daerah Jenis Produk

Pengaturan

Nomor/

Tahun Perihal

1 2 3 4 5

1 Peraturan Daerah

06/2011 RTRW Kab. Luwu

Pasal 32

Kawasan peruntukan pemukiman terdiri atas :

d. Kawasan permukiman perkotaan, terdiri dari atas kurang lebih 4.464 (empat ribu empat ratus enam puluh empat) hektar tersebar di Kecamatan Belopa, Belopa Utara, Larompong Selatan, Larompong, Suli, Kamanre, Bajo, Ponrang, Ponrang Selatan, Bua, Walenrang dan Lamasi;

e. Kawasan permukiman perdesaan, terdiri dari atas kurang lebih 2.773 (dua ribu tujuh ratus tujuh puluh tiga) hektar tersebar di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Luwu kecuali Kecamatan Belopa dan Belopa Utara.

2. Peraturan Daerah

8/2013 Bangunan

Gedung

Terkait dengan PBL

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

c. Permasalahan dan Tantangan Sektor PBL

Dalam kegiatan penataan bangunan dan lingkungan terdapat beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi, antara lain:

Penataan Lingkungan Permukiman:

1) Masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana sistem proteksi kebakaran; 2) Belum siapnya landasan hukum dan landasan operasional berupa RTBL untuk

lebih melibatkan pemerintah daerah dan swasta dalam penyiapan infrastruktur guna pengembangan lingkungan permukiman;

3) Menurunnya fungsi kawasan dan terjadi degradasi kawasan kegiatan ekonomi utama kota, kawasan tradisional bersejarah serta heritage;

4) Masih rendahnya dukungan pemda dalam pembangunan lingkungan permukiman yang diindikasikan dengan masih kecilnya alokasi anggaran daerah untuk peningkatan kualitas lingkungan dalam rangka pemenuhan SPM.

Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara:

1) Masih adanya kelembagaan bangunan gedung yang belum berfungsi efektif dan efisien dalam pengelolaan Bangunan Gedung dan Rumah Negara;

2) Masih kurangnya perda bangunan gedung untuk kota metropolitan, besar, sedang, kecil di seluruh Indonesia;

3) Meningkatnya kebutuhan NSPM terutama yang berkaitan dengan pengelolaan dan penyelenggaraan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan);

4) Kurang ditegakkannya aturan keselamatan, keamanan dan kenyamanan Bangunan Gedung termasuk pada daerah-daerah rawan bencana;

5) Prasarana dan sarana hidran kebakaran banyak yang tidak berfungsi dan kurang mendapat perhatian;

6) Lemahnya pengaturan penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah serta rendahnya kualitas pelayanan publik dan perijinan;

7) Banyaknya Bangunan Gedung Negara yang belum memenuhi persyaratan keselamatan, keamanan dan kenyamanan;

8) Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara kurang tertib dan efisien;

9) Masih banyaknya aset negara yang tidak teradministrasikan dengan baik.

Penyelenggaraan Sistem Terpadu Ruang Terbuka Hijau:

1) Masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana lingkungan hijau/terbuka, sarana olah raga.

Kapasitas Kelembagaan Daerah:

1) Masih terbatasnya kesadaran aparatur dan SDM pelaksana dalam pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung termasuk pengawasan;

2) Masih adanya tuntutan reformasi peraturan perundang-undangan dan peningkatan pelaksanaan otonomi dan desentralisasi;

(11)

VI- 11

6.2.3 Analisis Kebutuhan PBL

a. Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman

Dengan kegiatan yang terkait adalah penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK), pembangunan prasarana dan sarana lingkungan permukimantradisional dan bersejarah, pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan.

1. Rencana Tata Bangun Lingkungan (RTBL)

RTBL berdasarkan Permen PU No. 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan didefinisikan sebagai panduan rancang bangun suatu lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan/kawasan. Materi pokok dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan meliputi:

 Program Bangunan dan Lingkungan;  Rencana Umum dan Panduan Rancangan;  Rencana Investasi;

 Ketentuan Pengendalian Rencana;  Pedoman Pengendalian Pelaksanaan.

2. RISPK atau Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran

RISPK atau Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran seperti yang dinyatakan dalam Permen PU No. 26 tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, bahwa Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan adalah sistem yang terdiri atas peralatan, kelengkapan dan sarana, baik yang terpasang maupun terbangun pada bangunan yang digunakan baik untuk tujuan sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif maupun cara-cara pengelolaan dalam rangka melindungi bangunan dan lingkungannya terhadap bahaya kebakaran.

Penyelenggaraan sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi,

serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungannya.

RISPK terdiri dari Rencana Sistem Pencegahan Kebakaran dan Rencana Sistem Penanggulangan Kebakaran di Kabupaten/Kota untuk kurun waktu 10 tahun. RISPK memuat rencana kegiatan pencegahan

kebakaran yang terdiri dari kegiatan inspeksi terhadap ancaman bahaya kebakaran pada kota, lingkungan bangunan dan bangunan gedung, serta kegiatan edukasi pencegahan kebakaran kepada masyarakat dan

kegiatan penegakan Norma, Standar, Pedoman dan Manual (NSPM). RISPK juga memuat rencana tentang penanggulangan kebakaran yang terdiri dari rencana kegiatan pemadaman kebakaran serta penyelamatan jiwa dan harta benda.

3. Penataan Lingkungan Permukiman Tradisional/Bersejarah

Pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan Penataan Lingkungan Permukiman Tradisional adalah:

a) Koordinasi dan sinkronisasi dengan Pemerintah Daerah;

b) Pendekatan Tridaya sebagai upaya pemberdayaan terhadap aspek manusia, lingkungan dan kegiatan ekonomi masyarakat setempat;

c) Azas "berkelanjutan" sebagai salah satu pertimbangan penting untuk menjamin kelangsungan kegiatan;

d) Rembug warga dalam upaya menggali sebanyak mungkin aspirasi masyarakat, selain itu juga melakukan pelatihan keterampilan teknis dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

4. Standar Pelayanan Minimal (SPM)

(12)

VI- 12

Tabel 6.12

SPM Sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan

No Jenis Pelayanan Dasar Standar Pelayanan Minimal

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

b. Kegiatan Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan RumahNegara

Kegiatan penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara meliputi:

1) Menguraikan kondisi bangunan gedung negara yang belum memenuhi persyaratan keandalan yang mencakup (keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kemudahan);

2) Menguraikan kondisi Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara; 3) Menguraikan aset negara dari segi administrasi pemeliharaan.

Untuk dapat melakukan pendataan terhadap kondisi bangunan gedung dan rumah negara perlu dilakukan pelatihan teknis terhadap tenaga pendata HSBGN, sehingga perlu dilakukan pendataan kegiatan pembinaan teknis penataan bangunan gedung.

c. Kegiatan Pemberdayaan Komunitas dalam PenanggulanganKemiskinan

Program yang mencakup pemberdayaan komunitas dalam penanggulangan kemiskinan adalah PNPM Mandiri, yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). P2KP merupakan program pemerintah yang secara substansi berupaya menanggulangi kemiskinan melalui pemberdayaaan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk Pemerintah Daerah dan kelompok peduli setempat.

6.2.4 Kesiapan Daerah Terhadap Kriteria Kesiapan (Readiness Criteria) Sektor PBL

Untuk penyelenggaraan program-program pada sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) maka dibutuhkan Kriteria Kesiapan (Readiness Criteria) yang mencakup antara lain rencana kegiatan rinci, indikator kinerja, komitmen Pemda dalam mendukung pelaksanaan kegiatan melalui penyiapan dana pendamping, pengadaan lahan jika diperlukan, serta pembentukan kelembagaan yang akan menangani pelaksanaan proyek serta mengelola aset proyek setelah infrastruktur dibangun.

Kriteria Kesiapan untuk sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan adalah:

a. Penyusunan Rencana Penataan Lingkungan PermukimanBerbasis Komunitas Kriteria Khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas:

 Kawasan di perkotaan yang memiliki lokasi PNPM-Mandiri Perkotaan;

 Pembulatan penanganan infrastruktur di lokasi-lokasi yang sudah ada PJM Pronangkis-nya;

 Bagian dari rencana pembangunan wilayah/kota;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

b. Penyusunan Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan (RTBL) Kriteria Lokasi :

 Sesuai dengan kriteria dalam Permen PU No.6 Tahun 2006;  Kawasan terbangun yang memerlukan penataan;

 Kawasan yang dilestarikan/heritage;  Kawasan rawan bencana;

 Kawasan gabungan atau campuran (fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi sosial/ budaya dan/atau keagamaan serta fungsi khusus, kawasan sentra niaga (central business district);

 Kawasan strategis menurut RTRW Kab/Kota;

 Komitmen Pemda dalam rencana pengembangan dan investasi Pemerintah daerah, swasta, masyarakat yang terintegrasi dengan rencana tata ruang dan/atau pengembangan wilayahnya;

(13)

VI- 13

c. Penyusunan Rencana Tindak Revitalisasi Kawasan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Permukiman Tradisional/Bersejarah

Rencana Tindak berisikan program bangunan dan lingkungan termasuk elemen kawasan, program/rencana investasi, arahan pengendalian rencana dan pelaksanaan serta DAED/DED.

Kriteria Umum:

 Sudah memiliki RTBL atau merupakan turunan dari lokasi perencanaan RTBL (jika luas kws perencanaan > 5 Ha) atau;

 Turunan dari Tata Ruang atau masuk dlm scenario pengembangan wilayah (jika luas perencanaan < 5 Ha);

 Komitmen pemda dalam rencana pengembangan dan investasi Pemerintah daerah, swasta, masyarakat yang terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang dan/atau pengembangan wilayahnya;

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

Kriteria Khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Tindak Penataan dan Revitalisasi Kawasan:

 Kawasan diperkotaan yang memiliki potensi dan nilai strategis;  Terjadi penurunan fungsi, ekonomi dan/atau penurunan kualitas;  Bagian dari rencana pengembangan wilayah/kota;

 Ada rencana pengembangan dan investasi pemda, swasta, dan masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

d. Kriteria Khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Tindak Ruang Terbuka Hijau:

 Ruang publik tempat terjadi interaksi langsung antara manusia dengan taman (RTH Publik);

 Area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik alamiah maupun ditanam (UU No. 26/2007 tentang Tata ruang);

 Dalam rangka membantu Pemda mewujudkan RTH public minimal 20% dari luas wilayah kota;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

e. Kriteria Khusus Fasilitasi Penyusunan Rencana Tindak Permukiman Tradisional Bersejarah:

 Lokasi terjangkau dan dikenal oleh masyarakat setempat (kota/kabupaten);

 Memiliki nilai ketradisionalan dengan ciri arsitektur bangunan yang khas dan estetis;

 Kondisi sarana dan prasarana dasar yang tidak memadai;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

f. Kriteria Fasilitasi Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK):

 Ada Perda Bangunan Gedung;

 Kota/Kabupaten dengan jumlah penduduk > 500.000 orang;

 Tingginya intensitas kebakaran per tahun dengan potensi resiko tinggi

 Kawasan perkotaan nasional PKN, PKW, PKSN, sesuai PP No.26/2008 ttg Tata Ruang;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

g. Kriteria dukungan PSD Untuk Revitalisasi Kawasan, RTH Dan Permukiman Tradisional/Ged Bersejarah:

 Mempunyai dokumen Rencana Tindak PRK/RTH/Permukiman Tradisional-Bersejarah;

 Prioritas pembangunan berdasarkan program investasinya;  Ada DDUB;

 Dukungan Pemerintah Pusat maksimum selama 3 tahun anggaran;

 Khusus dukungan Sarana dan Prasarana untuk permukiman tradisional, diutamakan pada fasilitas umum/sosial, ruang-ruang publik yang menjadi prioritas masyarakat yang menyentuh unsur tradisionalnya;

 Ada rencana pengembangan dan investasi Pemda, swasta, dan masyarakat;  Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

h. Kriteria dukungan Prasarana dan Sarana Sistem Proteksi Kebakaran:

 Memiliki dokumen RISPK yang telah disahkan oleh Kepala Daerah (minimal SK/peraturan bupati/walikota);

 Memiliki Perda BG (minimal Raperda BG dalam tahap pembahasan dengan DPRD);

 Memiliki DED untuk komponen fisik yang akan dibangun;  Ada lahan yg disediakan Pemda;

(14)

VI- 14

i. Kriteria Dukungan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan:

 Bangunan gedung negara/kantor pemerintahan;

 Bangunan gedung pelayanan umum (puskesmas, hotel, tempat peribadatan, terminal, stasiun, bandara);

 Ruang publik atau ruang terbuka tempat bertemunya aktifitas sosial masyarakat (taman, alun-alun);

 Kesiapan pengelolaan oleh stakeholder setempat.

6.3 Rencana Program Investasi Sektor PLP

Mengacu pada Permen PU Nomor. 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum maka Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok Direktorat Jenderal Cipta Karya di bidang kebijakan, pengaturan, perencanaan, pembinaan, pengawasan, pengembangan dan standardisasi teknis di bidang air limbah, drainase dan persampahan permukiman.

6.3.1 Sektor Air Limbah

A. Isu Strategis Pengembangan Air Limbah Permukiman

Isu-isu strategis dalam pengelolaan air limbah permukimandi Indonesia antara lain:

1. Akses masyarakat terhadap pelayanan pengelolaan air limbah permukiman

Sampai saat ini walaupun akses masyarakat terhadap prasarana sanitasi dasar mencapai 90,5% di perkotaan dan di pedesaan mencapai 67% (Susenas 2007) tetapi sebagian besar fasilitas pengolahan air limbah setempat tersebut belum memenuhi standar teknis yang ditetapkan. Sedangkan akses layanan air limbah dengan sistem terpusat baru mencapai 2,33% di 11 kota (Susenas 2007 dalam KSNP Air Limbah).

2. Peran Masyarakat

Peran masyarakat berupa rendahnya kesadaran masyakat dan belum diberdayakannya potensi masyarakat dan dunia usaha dalam pengelolaan air limbah serta terbatasnya penyelenggaraan pengembangan sistem pengelolaan air limbah permukiman berbasis masyarakat.

3. Peraturan perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan meliputi lemahnya penegakan hukum dan belum memadainya perangkat peraturan perundangan yang dibutuhkan dalam sistem pengelolaan air limbah permukiman serta belum lengkapnya NSPM dan SPM pelayanan air limbah.

4. Kelembagaan

Kelembagaan meliputi kapasitas SDM yang masih rendah, kurang koordinasi antar instansi dalam penetapan kebijakan di bidang air limbah, belum terpisahnya fungsi regulator dan operator, serta lemahnya fungsi lembaga bidang air limbah.

5. Pendanaan

Pendanaan terutama berkaitan dengan terbatasnya sumber pendanaan pemerintah dan rendahnya alokasi pendanaan dari pemerintah yang merupakan akibat dari rendahnya skala prioritas penanganan pengelolaan air limbah. Selain itu adalah rendahnya tarif pelayanan air limbah sehingga berakibat pihak swasta kurang tertarik untuk melakukan investasi di bidang air limbah.

Tabel 6.13

Isu Strategis sektor Air Limbah di Kabupaten Luwu

No Kegiatan Sektor Air Limbah

Isu Strategis Air Limbah Kab. Luwu

1 2 3

1 Akses masyarakat terhadap pelayanan pengelolaan air limbah permukiman

a. Akses masyarakat terhadap sarana dan prasarana sanitasi sangat rendah

b. Tingkat pelayanan pengelolaan air limbah di perkotaan dan perdesaan melalui on site system 2 Peran Masyarakat a. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam

pengelolaan air limbah domestic

b. Terbatasnya penyelenggaraan pengembangan sistem pengelolaan air limbah domestic yang berbasis masyarakat.

3 Peraturan Perundang-undangan

a. Ketersedian perangkat peraturan perundang-undangan belum memadai untuk mendukung pengelolaan air limbah domestic

b. Lemahnya penegakan hukum terkait pelanggaran air limbah

c. Belum lengkapnya norma, standar, pedoman dan manual (NSPM), dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) pelayanan minimal

4 Kelembagaan a. Lemahnya fungsi lembaga di daerah yang menangani air limbah

b. Belum terpisahnya fungsi regulator dan operator pengelolaan air limbah

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

B. Kondisi Eksisting Pengembangan Air Limbah Permukiman 1. Aspek teknis

(15)

VI- 15

umum septic tank di Kabupaten Luwu masih mempergunakan cubluk atau tangki

septik yang secara konstruksi tidak memenuhi persyaratan baik secara desain maupun dari segi kesehatan menurut standar yang ditentukan. Dari data yang ada tempat pembuangan/penyakuran akhir tinja rumah tangga di Kabupaten Luwu, meliputi : 44 % rumah tangga menggunakan septic tank, 29 % membuang tinja di sungai/laut, 14 % menggunakan lobang tanah, 9 % di tegal/kebun. Dari data tersebut, didapatkan gambaran bahwa kesadaran masyarakat dalam pengelolaan limbah air tinja masih rendah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat akan pentingnya sarana dan pengelolaan pembuangan akhir tinja rumah tangga.

Selain kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan akhir tinja, Kabupaten Luwu juga belum memiliki sarana pendukung lainnya seperti IPLT, IPAL dan jasa penyedotan lumpur tinja.

Sistem pengelolaan sanitasi limbah domestik masih sangat terbatas pada penampungan limbah tinja melalui septic tank sedangkan untuk air buangan yang dipergunakan untuk mencuci langsung disalurkan ke saluran terbuka berupa drainase, sungai atau laut. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut

Tabel 6.14

Diagram Sistem Sanitasi Pengelolaan Air Limbah Domestik Kab. Luwu

Input User Interface Penampungan

Awal Pengaliran

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

Tabel 6.15

Sistem Pengelolaan Air Limbah yang Ada Di Kabupaten Luwu

Kelompok Fungsi Teknologi yang digunakan

memiliki jamban 34.343 KK

Penampungan

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

2. Pendanaan

Pendanaan dan pembiayaan terkait dengan pengelolaan air limbah domestic di Kabupaten Luwu dilakukan melalui beberapa SKPD terkait. Khusus untuk pembangunan sarana air limbah domestic seperti MCK dan saluran air limbah dilakukan oleh Dinas Perumahan, Cipta Karya dan Tata Ruang, pemeliharaan dan perbaikan saluran air limbah dilakukan oleh Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Luwu. Untuk pembangunan IPAL Rumah Sakit dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan melalui RSUD Batara Guru.

Secara umum pendanaan dan pembiayaan air limbah domestic di Kabupaten Luwu Berasal dari dan APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten. Berdasarkan data yang ada, belanja sanitasi rata-rata dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir sebesar Rp. 1,136,034,600,00 atau terjadi pertumbuhan 67 % dari Tahun 2008 – Tahun 2012. Dari keseluruhan dana yang dianggarkan untuk sanitasi air limbah, anggaran terbesar terdapat di Dinas Perumahan, Cipta Karya dan Tata Ruang yang digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana air limbah domestic seperti MCK, saluran air limbah dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan untuk kegiatan operatiaon dan maintenance (O&M) belum dianggarkan sehingga berdampak pada banyaknya sarana dan prasarana MCK yang sudah tidak dapat difungsikan lagi sebagaimana mestinya.

3. Kelembagaan

(16)

VI- 16

Tata Ruang (DPCTR). Mekanisme pengelolaan limbah domestik di Kabupaten

Luwu meliputi: kegiatan Pembangunan, Pengelolaan, Pengawasan dan Bimbingan Teknis, sesuai dengan Tupoksi masing-masing.

Kegiatan Pembangunan pengelolaan air limbah domestik merupakan tupoksi Dinas Perumahan, Cipta Karya & Tata Ruang (DPCTR) pada Seksi Pengelolaan Air Limbah & Persampahan Bidang Penyehatan Lingkungan Permukiman.

4. Peraturan Perundangan

Secara umum, Kabupaten Luwu belum memiliki Peraturan daerah tentang pengelolaan air limbah domestic, maka aspek pengaturan dan penertiban terhadap penangangan limbah domestic belum dapat dilaksanakan secara maksimal..

5. Peran Serta Swasta dan Masyarakat

Secara umum, kesadaran masyarakat dalam penanganan air limbah di Kabupaten Luwu sangat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi sarana dan prasarana pengelolan air limbah domestic di kabupaten Luwu, maka tingkat kesadaran masyarakat dalam pengelolaan air limbah domestic dapat kategorikan, menjadi : a. Kategori rendah, yaitu kelompok masyarakat yang belum memiliki kesadaran atau kepedulian dalam pengelolaan air limbah, terdiri atas : masyarakat miskin, masyarakat berpendidikan rendah.

b. Kategori sedang, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kesadaran terhadap pengelolaan limbah, tetapi memiliki tingkat kepedulian terhadap pengelolaan air limbah masih rendah, terdiri atas: masyarakat kelas menengah, berpendidikan, namun belum memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pengelolaan air limbah atau PHBS pada umumnya.

c. Kategori tinggi, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kesadaran serta kepedulian terhadap pengelolaan air limbah. Mayoritas kelompok ini ada pada tatanan masyarakat kelas menengah ke atas.

Tingkat kesadaran masyarakat dapat dilihat dari bentuk dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan air limbah domestic. Adapun bentuk dan peran serta masyarakat Kabupaten Luwu dalam pengelolaan air limbah domestic adalah :

a. Pembuatan jamban pribadi oleh masing-masing rumah tangga (KK).

b. Pembuatan MCK umum melalui dana APBD dan/atau APBN tapi tidak memiliki kelembagaan yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dimana masyarakat hanya sebagai pengguna.

c. Pembuatan MCK umum yang pembangunannya melalui dana masyarakat dan/atau APBD dan/atau APBN dan pengelolaannya oleh masyarakat (Pamsimas, Sanimas dll.)

d. Penyebaran informasi melalui media mesjid, kelompok pengajian, pengurus RT dan RW, rembug desa , PKK ataupun dalam bentuk pertemuan informal lainnya untuk tidak BABS dan menggalakkan hidup sehat di masyarakat.

C. Permasalahan Dan Tantangan Pengembangan Air Limbah Permukiman 1. Identifikasi Permasalahan Air Limbah

Berdasarkan hasil Kajian BPS, SSK dan MPS Kabupaten Luwu, permaslahan dan tantangan pengembangan air limbah permukiman dapat dilihat pada tabel berikut,

Tabel 6.16

Permasalahan Pengelolaan Air Limbah Yang Dihadapi

No. Aspek Pengelolaan Air

Limbah Permasalahan

- Bentuk Organisasi Belum ada UPTD Teknis pengelola air limbah

- Pembentukan

UPTD teknis air limbah - Tata Laksana (Tupoksi,

SOP,dll)

Tidak jelasnya SOP

- Penyusunan

SOP - Kualitas dan Kuantitas SDM Rendahnya

kualitas & B. Perundangan terkait sektor

air limbah (Perda, Pergub, Perwali,)

Belum ada NSPK - Penyusunan NSPK

C. Pembiayaan:

- Sumber-sumber pembia yaan (APBD D. Peran serta Masyarakat dan

(17)

VI- 17

- Jamban keluarga/

cubluk/septik tank

Sistem cubluk - sosialisasi

- Septik tank komunal Rendahnya pendanaan - Sistem jaringan pengumpul Belum ada Pembangunan - Sistem sanitasi berbasis

masyarakat

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

2. Tantangan dan Peluang Pengembangan Sektor Air Limbah

Tabel 6.17

Standar Pelayanan Minimal Bidang Cipta Karya berdasarkan Permen PU No.14/PRT/M/2010

D. Analisis Kebutuhan Pengembangan Air Limbah Permukiman

Tabel 6.18

Analisis Kebutuhan dan Target Pencapaian Daerah

(18)

VI- 18

pengolahan

air limbah skala kecil / kawasan / komunitas F. Sistem

Terpusat (off site)

- Ketersediaan dan kondisi IPAL

Tidak ada ada ada ada ada

- Kapasitas IPAL

-

- Tingkat cakupan Pelayanan IPAL

-

- Biaya O&P -

Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014

E. Program dan Kriteria Kesiapan Pengembangan Air Limbah

1. Program Pembangunan Prasarana Air Limbah Sistem Setempat (on-site) dan Komunal

Kriteria kegiatan infrastruktur air limbah sistem setempat dan komunal

a. Kriteria Lokasi

 Kawasan rawan sanitasi (padat, kumuh, dan miskin) di perkotaan yang memungkinkan penerapan kegiatan Sanitasi berbasis masyarakat (Sanimas);

 kawasan rumah sederhana sehat (RSH) yang berminat.

b. Lingkup Kegiatan:

 Rekruitmen dan pembiayaan Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) untuk kegiatan Sanitasi Berbasis Masyarakat;

 pelatihan TFL secara regional termasuk refreshing/coaching;

 pengadaan material dan upah kerja untuk pembangunan prasarana air limbah (septic tank komunal, MCK++, IPAL komunal);

 TOT kepada Tim Pelatih Kabupaten/Kota untuk dapat melaksanakan pelatihan KSM/mandor/tukang dan pemberdayaan masyarakat;

 pembangunan jaringan pipa air limbah dan IPAL untuk kawasan RSH;

 membangun/rehabilitasi unit IPLT dan peralatannya dalam rangka membantu pemulihan atau meningkatkan kinerja pelayanan;

 sosialisasi/diseminasi NSPM pengelolaan Sanitasi Berbasis Masyarakat dan pengelolaan Septic Tank;

 produk materi penyuluhan/promosi kepada masyarakat;

 penyediaan media komunikasi (brosur, pamflet, baliho, iklan layanan masyarakat, pedoman dan lain sebagainya).

c. Kriteria Kesiapan:

 Sudah memiliki RPI2JM CK dan SSK/Memorandum Program atau sudah mengirim surat minat untuk mengikuti PPSP;

 tidak terdapat permasalahan dalam penyediaan lahan (lahan sudah dibebaskan);

 sudah terdapat dokumen perencanaan yang lengkap, termasuk dokumen lelang (non Sanitasi Berbasis Masyarakat), termasuk draft dokumen RKM untuk kegiatan Sanitasi Berbasis Masyarakat ;

 sudah ada MoU antara Pengembang dan pemerintah kab./kota (IPAL RSH);  sudah terdapat institusi yang nantinya menerima dan mengelola prasarana

yang dibangun;

 pemerintah kota bersedia menyediakan alokasi dana untuk biaya operasi dan pemeliharaan.

2. Pembangunan Prasarana Air Limbah Terpusat (off-site)

Kriteria kegiatan infrastruktur air limbah sistem terpusat (off-site) skala kota adalah: a. Kriteria Lokasi:

 Kota yang telah mempunyai infrastruktur air limbah system terpusat (sewerage system).

 kota yang telah menyusun Master Plan Air Limbah serta DED

 sasaran kota (pusat kota) besar/metropolitan dengan penduduk > 1 juta jiwa. b. Lingkup Kegiatan:

 Rehabilitasi unit IPAL dan peralatannya dalam rangka membantu pemulihan atau meningkatkan kinerja pelayanan;

 pengadaan/pemasangan pipa utama (main trunk sewer) dan pipa utama sekunder (secondary main trunk sewer) yaitu pengembangan jaringan perpipaan untuk mendukung perluasan kemampuan pelayanannya dalam rangka pemanfaatan kapasitas idle;

 TOT kepada Tim Pelatih Kabupaten/Kota untuk dapat melaksanakan pelatihan operator IPAL;

 sosialisasi/diseminasi NSPM pengelolaan IPAL;

 produk materi penyuluhan/promosi kepada masyarakat;

(19)

VI- 19

c. Kriteria Kesiapan:

 Sudah memiliki RPI2JM CKdan SSK/Memorandum Program atau sudah mengirim surat minat untuk mengikuti PPSP;

 tidak terdapat permasalahan dalam penyediaan lahan (lahan sudah dibebaskan), dan disediakan oleh Pemda (±6000 m²);

 terdapat dokumen perencanaan yang lengkap, termasuk dokumen lelang;  sudah ada institusi yang menerima dan mengelola prasarana yang dibangun;  pemerintah kota bersedia menyediakan alokasi dana untuk pembangunan

pipa lateral & sambungan rumah dan biaya operasi dan pemeliharaan.

6.3.2 Sektor Persampahan

A. Arahan Kebijakan dan Lingkup Kegiatan Pengelolaan Persampahan 1. Arahan Kebijakan Pengelolaan Persampahan

Beberapa peraturan perundangan yang mengamanatkan tentang system pengelolaan persampahan, antara lain:

a. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Berdasarkan undang-undang No. 17 tahun 2007, aksesibilitas, kualitas, maupun cakupan pelayanan sarana dan prasarana masih rendah, yaitu baru mencapai 18,41 persen atau mencapai 40 juta jiwa.

b. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Pasal 21 ayat (2) butir d mengamanatkan akan pentingnya pengaturan prasarana dan sarana sanitasi (air limbah dan persampahan) dalam upaya perlindungan dan pelestarian sumberair.

c. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Peraturan ini mengatur penyelenggaraan pengelolaan sampah yang mencakup pembagian kewenangan pengelolaan sampah, pengurangan dan penanganan sampah, maupun sanksi terhadap pelanggaran pengelolaan sampah. Pasal 20 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan penyelenggaraan pengelolaan sampah sebagai berikut:

 Menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu;

 Memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan.  Memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan;  Memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang; dan

 Memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang.

Pasal 44 disebutkan bahwa pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) yang dioperasikan dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping) paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak diberlakukannya Undang-Undang 18 tahun 2008 ini

d. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Peraturan ini menyebutkan bahwa PS Persampahan meliputi proses pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir, yang dilakukan secara terpadu.

e. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

Peraturan Pemerintah ini merupakan pengaturan tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang meliputi:

1) kebijakan dan strategi pengelolaan sampah; 2) penyelenggaraan pengelolaan sampah; 3) kompensasi;

4) pengembangan dan penerapan teknologi; 5) sistem informasi;

6) peran masyarakat; dan 7) pembinaan.

f. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.

Peraturan ini mensyaratkan tersedianya fasilitas pengurangan sampah di perkotaan dan sistem penanganan sampah di perkotaan sebagai persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh Pemerintah/Pemda.

g. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

(20)

VI- 20

2. Ruang Lingkup Pengelolaan Persampahan

Sampah dapat didefinisikan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah yang dikelola dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan UU 18 tahun 2008 yaitu:

a) Sampah rumah tangga yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga (tidak termasuk tinja);

b) Sampah sejenis sampah rumah tangga berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dll;

c) Sampah spesifik meliputi sampah beracun, sampah akibat bencana, bongkaran bangunan, sampah yang tidak dapat diolah secara teknologi, dan sampah yang timbul secara periodik. Sampah spesifik harus dipisahkan dan diolah secara khusus. Apabila belum ada penanganan sampah B3 maka perlu ada tempat penampungan khusus di TPA secara aman sesuai peraturan perundangan.

Pengelolaan sampah dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berkaitan dengan pengendalian timbulan sampah, pengumpulan, transfer dan transportasi, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah dengan mempertimbangkan faktor kesehatan lingkungan, ekonomi, teknologi, konservasi, estetika, dan faktor lingkungan lainnya.

B. Isu Strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan, dan Tantangan Persampahan 1. Isu Strategis Pengembangan Persampahan

Isu-isu strategis dan permasalahan dalam pengelolaan persampahan di Indonesia antara lain:

a. Kapasitas Pengelolaan Sampah

Kapasitas pengelolaan sampah erat kaitannya dengan:

1) Makin besarnya timbulan sampah berupa peningkatan laju timbulan sampah perkotaan antara 2-4% per tahun. Dengan bertambahnya penduduk, pertumbuhan industri dan peningkatan konsumsi masyarakat dibarengi peningkatan laju timbulan sampah.

2) Rendahnya kualitas dan tingkat pengelolaan persampahan. Rendahnya kualitas pengelolaan persampahan terutama pengelolaan TPA memicu berbagai protes masyarakat. Di sisi lain rendahnya tingkat pengelolaan sampah mengakibatkan masyarakat yang tidak mendapat layanan

membuang sampah sembarangan atau membakar sampah di tempat terbuka.

3) Keterbatasan Lahan TPA. Keterbatasan lahan TPA merupakan masalah terutama di kota-kota besar dan kota metropolitan. Fenomena keterbatasan lahan TPA memunculkan kebutuhan pengelolaan TPA Regional namun banyak terkendala dengan banyak faktor kepentingan dan rigiditas otonomi daerah.

b. Kemampuan Kelembagaan

Masih terjadinya fungsi ganda lembaga pengelola sampah sebagai regulator sekaligus operator pengelolaan serta belum memadainya SDM (secara kualitas dan kuantitas) menjadi masalah dalam pelayanan persampahan.

c. Kemampuan Pembiayaan

Kemampuan pendanaan terutama berkaitan dengan rendahnya alokasi pendanaan dari pemerintah daerah yang merupakan akibat dari rendahnya skala prioritas penanganan pengelolaan sampah. Selain itu adalah rendahnya dana penarikan retribusi pelayanan sampah sehingga biaya pengelolaan sampah menjadi beban APBD. Permasalahan pendanaan secara keseluruhan berdampak pada buruknya kualitas penanganan sampah.

d. Peran Serta Masyarakat dan Dunia Usaha/Swasta

Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sampah dan belum dikembangkan secara sistematis potensi masyarakat dalam melakukan sebagian system pengelolaan sampah, serta rendahnya minat pihak swasta berinvestasi di bidang persampahan karena belum adanya iklim kondusif membuat pengelolaan sampah sulit untuk ditingkatkan.

e. Peraturan perundangan dan Lemahnya Penegakan Hukum

Lemahnya penegakan hukum terkait pelanggaran dalam pengelolaan sampah dan kurangnya pendidikan masyarakat dengan PHBS sejak dini juga menjadi kendala dalam penanganan sampah.

2. Kondisi Eksisting Pengembangan Persampahan

Gambar

Tabel 6.2
Tabel 6.6 Perkiraan Kebutuhan Program Pengembangan Permukiman di Perkotaan Untuk 5
Tabel 6.9 Usulan Pembiayaan Proyek
Tabel 6.11
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini memfokuskan Pada tahap ketika peneliti terjun langsung ke SMP IT Assa’idiyyah Kirig Mejobo Kudus sebagai tempat penelitian, maka peneliti akan

Sikap positif itu adalah pengendalian diri agar senantiasa berfikir dengan melihat sisi positif disetiap obyek yang terlihat, terdengar, atau bahkan dalam bentuk afirmasi

Seperti pada UU Nomer 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen mengatakan bahwa “Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan

Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk membuat aplikasi pengolahan data keberatan pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Selatan dan

Sistem yang dibuat penulis adalah Self Service peminjaman dan Pengembalian buku.Alat ini bekerja dengan membaca label barcode jenis 128 oleh barcode reader

A simple RC filter with low corner frequency is needed during testing in order to filter the noise present on the voltage source driving the tuning line.

Metode dalam penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (R&amp;D) dengan model pengembangan Brog and Gall yang telah di modifikasi oleh Sugiyono. Ada 7

Gliserol merupakan senyawa yang banyak ditemukan pada lemak hewani maupun lemak nabati sebagai ester gliseril pada asam palmitat dan oleat. Gliserol adalah senyawa yang