KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN
DALAM NOVEL
BIBIR MERAH
KARYA ACHMAD MUNIF
SUATU TINJAUAN SASTRA FEMINIS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenui Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Disusun oleh : B. Yogi Dwi Hartanto
024114040
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HALAMAN PERSEMBAHAN
Motto
Dedal an e gun a l awan sekt i Kudu an dap asor Wan i n gal ah l uhur wekasan e Tumun gkul a y en di pun dukan i
Bapak den si mpan gi An a cat ur mun gkur
Un t uk men capai kemul i aan Har us r en dah hat i M en gal ah un t uk men an g
M au men er i ma n asehat M en ghi n dar i per sel i si han
Ti dak men y ebar fi t n ah
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa sekripsi yang telah saya tulis ini adalah hasil inspirasi dan imajinasi saya sendiri. Saya tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan, daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta
Penulis
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama :B. Yogi Dwi Hartanto
Nomor Mahasiswa : 024114040
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN
DALAM NOVEL BIBIR MERAH
KARYA ACHMAD MUNIF SUATU TINJAUAN SASTRA FEMINIS
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Yogyakarta, 05 Mei 2009
Yang menyatakan
ABSTRAK
Dwi Hartanto, Yogi. 2009. Ketidakadilan Gender dan Sikap Perempuan dalam Novel Bibir Merah Karya Achmad Munif. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma
Studi ini menganalisis bentuk ketidakadilan gender dan sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif. Tujuan dari penelitian ini 1), mendiskripsikan relasi gender 2), mendiskripsikan ketidakadilan gender dan 3) mendiskripsikan sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sastra feminis, pendekatan ini digunakan untuk menganalisis karya sastra yang berkaitan dengan perempuan. Berdasarkan teori sastra feminis, relasi gender, ketidakadilan gender, dan sikap perempuan dapat dianalisis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Melalui metode analisis deskriptif penulis mendiskripsikan fakta- fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang terjadi, mengumpulkan dan memilih data yang berkaitan dengan masalah, lalu menganalisis dan menjelaskan ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Langkah pertama menganalisis relasi gender langkah kedua menjelaskan ketidakadilan gender dan sikap perempuan.
Hasil analisis relasi gender dalam novel Bibir Merah berupa relasi tokoh perempuan dengan laki- laki yang meliputi, Lurah Koco dengan Rusminah, Lurah Koco dengan Rusmini, Lurah Koco dengan perempuan-perempuan Desa Kapur, dan Saburosan dengan Rusminah.
ABSTRACT
Dwi Hartanto, Yogi. 2009. The Gender Discrmination and Women Behavior in a Novel titled Bibir Merah by Achmad Munif. A Thesis. Yogyakarta: Indonesia n Literature. Literature Faculty. Sanata Dharma University. This study, analyzed the form of gender discrimination and woman behavior in a novel titled Bibir Merah by Achmad Munif. The purposes of this research were: (1) describe the relation of the gender, (2) explain the gender discrimination and woman behavior in Bibir Merah novel.
This research used the feminist literature approach. This approach was used to analyze the literature work that has relation with women. Based on the feminist literature theory, gender relation, gender discrimination and woman behavior could be analyzed.
This research used descriptive analyze method as the method. Through this method, the writer described the facts related to the problem, collected and chose the data, then analyzed and explained the gender discrimination and wome n behavior. First step, analyzed the gender relation. Next step, explained the gender discrimination and women behavior.
The result of the analysis on gender relation in Bibir Merah novel was in a form of relation between men and women, which were Lurah Koco with Rusminah, Lurah Koco with Rusmini, Lurah Koco with women in Kapur village and Saburosan with Rusminah)
Kata Pengantar
Puji Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan kehendak-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Ketidakadilan Gender dan Sikap Perempuan” dalam Novel Bibir Merah karya Achad Munif sebuah
pendekatan Sastra Feminis. Skripsi ini tidak akan pernah terwujud tanpa bimbingan dan semangat dari semua pihak untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan kehendak-Nya
2. Ibu Susilawati Endah Peni Adji, S.S, M.Hum, selaku Dosen pembimbing satu yang telah membagikan ilmunya kepada saya.
3. Ibu Dra. Fr Tjandrasih Adji, M. Hum selaku pembimbing dua yang telah banyak memberikan banyak masukan kepada saya.
4. Seluruh Dosen Prodi Sastra Indonesia, Bapak Drs. B.Rahmanto, M.Hum., Bapak Drs. Hery Antono, M. Hum., Bapak Drs. Ari Subagyo, M. Hum., Bapak FX Santoso, MS., Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum.
5. Bapak Paulus Samidi dan Ibu Cicilia Supatmiyati terimakasih atas segala pengorbanan, doa, nasihat, kebaikan, kesabaran, dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
6. Teman-teman seperjuangan, Fani, Eli, Ira, Agus (Bonet), Robet (Jeblox), Dian (Catax), Ardi (Keos), Bangun dan semua teman-teman angkatan 2002 kalian semua sangat sepesial.
8. Keluarga FX Suhartono, Bulik Sup, dik Ema dan dik Barli yang telah memberikan dukungan kepada penulis
9. Teman-teman Bengkel Sastra, Aji (O mpong), Jaya (Sapi), Marta (Simbek), Dominikus (Domex), terimakasih atas persahabatan dan inspirasinya.
10. Dik Ike yang telah memberikan motivasi, cinta dan perhatian. Kamu sangat sepesial buat aku.
11. Teman-teman Mudika Serayon Kulon Progo. Persaudaraan kita tidak akan pernah aku lupakan.
12. Keluarga Pak Eko, Bu Endar dan Candra.
13. Seluruh pihak administrasi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. 14. Seluruh staf dan karyawan UPT perpustakan Universitas Sanata Dharma.
15. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terimakasih dukungannya.
Saya telah berusaha sebaik mungkin sebagaimana pengalaman hidup yang saya jalani, namun saya menyadari masih ada kekurangan dan keterbatasan kemampuan. Apabila terdapat saran untuk menunjang kesempurnaan skripsi ini saya sangat berterimakasih .
Akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan ilmu kepada pengetahuan khususnya di bidang Sastra Indonesia di masa yang akan datang.
Terimakasih
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian... 7
1.4 Manfaat Penelitian... 8
1.5 Tinjauan Pustaka ... 8
1.6 Kerangka Pemikiran ... 9
1.6.1 Kritik Sastra Feminis... 9
1.6.2 Gender ... 11
1.6.2.1 Relasi Gender ... 14
1.6.2.2 Ketidakadilan Gender... 16
1.7 Metodologi Penelitian.... ... 20
1.7.1 Pendekatan ... 20
1.7.2 Metode Penelitian... 21
1.7.3 Teknik Analisis Data ... 21
1.7.4 Sumber Data ... 22
1.7.5 Sistematika Penyajian ... 22
Bab II RELASI GENDER DALAM NOVEL BIBIR MERAH 2.1 Pengantar ... 23
2.2 Lurah Koco dengan Rusminah ... 24
2.3 Lurah Koco dengan Rusmini... 32
2.4 Lurah Koco dengan Perempuan-Perempuan Desa Kapur. 35 2.5 Saburosan dengan Rusminah ... 40
2.6 Rangkuman... 48
Bab III KETIDAKADILAN GENDER DAN SIKAP PEREMPUAN 3.1 Pengantar ... 50
3.2 Ketidakadilan Gender... 50
3.2.1 Subordinasi Terhadap Perempuan... 51
3.2.2 Steriotipe Terhadap Perempuan ... 54
3.2.3 Kekerasan Terhadap Perempuan ... 55
3.3 Sikap Perempuan akibat ketidakadilan gender... 61
3.3.1 Sikap Rusminah... 62
3.3.2 Sikap Rusmini ... 65
3.3.3 Sikap Perempuan-Perempuan Desa Kapur ... 66
BAB 1V PENUTUP ... 73
4.1 Kesimpulan... 73
4.2 Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 78
Bab 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya karya sastra merupakan media yang digunakan pengarang
dalam menyampaikan gagasan. Karya sastra sebagai media merefleksikan pandangan
pengarang terhadap berbagai masalah yang diamati di lingkungan, realitas sosial yang
terjadi dimodifikasi sedemikian rupa menjadi sebuah teks literer yang dimungkinkan
menghadirkan pencitraan yang berbeda dibandingkan dengan realitas empiris
(Sugihastuti 2007:81)
Rampan via Sugiastuti (2007:82) mengatakan bahwa penciptaan sebuah karya
sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Adapun dalam sebuah karya sastra hal-hal yang digambarkan dalam masyarakat
berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran anggota masyarakat, maupun
interaksi yang terjalin antar semua anggotanya. Secara sederhana karya sastra
mengambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Dalam sistem yang lebih besar dan kompleks, relasi laki-laki dan perempuan
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang mencerminkan
penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap kedudukan tiap-tiap jenis
kelamin. Ada pun dalam proses ini dikuatkan oleh realitas dalam banyak kebudayaan
bahwa posisi laki-laki berada lebih tinggi secara struktural dibandingkan dengan
jenis kelamin yang lebih unggul dibandingkan yang lain. Pihak laki-laki merupakan
pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar dan peran yang lebih menentukan
dalam berbagai proses sosial dibandingkan dengan perempuan bahkan pada
masyarakat (Sugihastuti, 2007: 82).
Sementara itu, kaum perempuan secara umum dirugikan dengan pembakuan
peran gender. Secara hukum pembakuan peran gender telah dilegitimasi oleh negara,
dimana suami wajib melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan kewajiban istri adalah
mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dengan demikian peran perempuan
secara resmi diakui sebagai peran domestik yaitu mengatur urusan rumah tangga,
merawat anak dan melayani suami ( Soelaeman, 1995: 32-33).
Akan tetapi, peran pembakuan gender lebih lanjut sangatlah merugikan kaum
perempuan kelas bawah (miskin). Hal ini dikarenakan bahwa pembakuan peran
gender menyebabkan perempuan miskin menerima ketidakadilan ganda, yaitu bahwa
kaum perempuan tidak hanya mengalami ketidakadilan gender atau kekerasan
melainkan perempuan juga mengalami ketidakadilan karena posisi sosial mereka
yang berada pada lapisan bawah masyarakat (Soelaeman, 1995 : 31 ).
Anggapan bahwa perempuan sebagai manusia kelas dua menjadi alasan yang
mendasar bagi laki-laki lebih leluasa untuk mengeksploitasi sesuai dengan
keinginannya. Ada pun bagi masyarakat tradisional perempuan merupakan salah satu
kebutuhan hidup, sama seperti halnya sebuah rumah dan propertinya (Husain, 2005:
bergantung pada pemiliknya yang mengambil keuntungan dari pekerjaannya (Husain,
2005: 56-57).
Menurut Bhasin via Sugiastuti (2007: 93) patriarkhi merupakan sebuah
sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan. Dalam
patriarkhi melekat idiologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi dari pada
perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan
adalah bagian milik laki-laki.
Dalam budaya patriarkhi, perempuan mempunyai kedudukan serta peran yang
tidak terkemuka (kurang) sedangkan kaum laki-laki mempunyai peran dominan
dalam berbagai hal baik itu formal maupun informal. Ada pun pada dasarnya
dominasi laki-laki tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan yang antara lain
bidang sosial, politik, sosiokultural, dan religi.
Sementara itu budaya patriarkhi sangatlah berhubungan dengan peran antara
kaum perempuan dan laki-laki. Hal ini nampak dalam berbagai bidang yang
mayoritas dikuasai oleh kaum laki-laki. Dalam usaha persamaan hak perempuan
mencoba membuktikan ia bisa melakukan yang menjadi porsinya.
Adapun Andre Harjana (1981:71) menyatakan bahwa karya sastra
menyuguhkan potret kehidupan dengan mengangkat persoalan sosial dalam
masyarakat. Karya sastra tidak lepas dari keadaan sosial budaya yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat. Karya sastra dapat dipengarui oleh latar belakang sosial
budaya, agama, dan pandangan hidup pengarangnya. Oleh karena itu, karya sastra
Salah satu contoh dari masalah kehidupan yang diangkat seorang
pengarang dalam karyanya adalah permasalahan gender. Gender sesungguhnya
berkaitan dengan budaya (Abdullah, 1997:186). Gender muncul karena
perkembangan pola pikir manusia mengenai kedudukan wanita bersama laki-laki
dalam kehidupanya. Dalam gender dikenal sistem hierarki yang menciptakan
kelompok-kelompok itu saling tergantung bahkan bersaing untuk mempertahankan
kekuasaan masing-masing.
Gender hadir di tengah-tengah masyarakat seperti halnya kehadiran karya
sastra. Dengan demikian, ada hubungan antara karya sastra dengan gender. Dalam
penelitian ini akan dikaji novel sastra yang mengandung masalah gender. Selanjutnya
membahas wanita dalam karya sastra akan lebih mengena apabila dijembatani oleh
apa yang disebut feminisme.
Feminisme dan gender kerap menjadi topik sebuah cerita dalam sebuah
karya sastra. Begitu pula dalam novel Bibir Merah karya Ahmad Munif, pengarang
mencoba menceritakan sisi kehidupan kaum perempuan miskin yang tertindas karena
dominasi laki-laki. Selain itu melalui tokoh utama Rusminah, konflik gender dan
feminisme sangat kental. Peristiwa pemerkosaan dan fitnah sebagai dukun santet,
membawa ia bangkit menjadi seorang penyanyi siter. Karena peristiwa tersebut ia
harus terjun dalam dunia prostistusi. Rusminah sosok gadis desa itu seolah ingin
membuktikan kepada masyarakat bahwa ia mampu mengembalikan harga dirinya
Pengarang novel ini adalah alumni Fakultas Sastra Universitas Gajah
Mada. Dalam dunia sastra Achmad Munif termasuk pengarang yang produktif, selain
itu ia juga aktif menulis beberapa artikel di media masa. Karya-karya sastranya antara
lain; ”Tembang-tembang” (Femina), ”Padang Perburuan” (Minggu Pagi), ”Pasir
Pantai” (Kedaulatan Rakyat), ”Birunya Langit Jogya” (Anita), ”Bayang-bayang
hitam ” (Kartini), ”Tandak dan Pria Idaman lain, Serta Primadona” (Surabaya Pos ),
” Tikungan” (Republika), ”Angin pantai Selatan dan Jalan Kehidupan” (Republika),
Perempuan-Perempuan.
Sedangkan karya novelnya yang telah diterbitkan antara lain Merpati Biru,
Perempuan Jogya sang Penindas, Primadona, Kasidah Lereng Bukit, Kembang
Kampus dan terbanglah Merpati yang diterbitkan oleh Navila dan Gitanagari. Selain
itu ia juga penulis skenario yang produktif, karya-karyanya antara lain Opera Sabun
Colek, Bayangan Ratu Pantai Selatan, Badai pasti Berlalu dan Sirkuit Kemelut.
Sedangkan dua kumpulan cerpennya masing-masing berjudul Tanda-tanda
Kebesaran Allah dan Kehormatan Ibu
Penelitian ini mengunakan pendekatan sastra feminis. Sastra feminis
merupakan cara-cara pemahaman karya sastra yang dikaitkan dengan proses produksi
maupun resepsi (Ratna, 2004:184). Secara umum Feminis merupakan gerakan kaum
perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan,
dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi
maupun dalam kehidupan sosial pada umumnya (Ratna, 2004:184-185). Selain itu
masyarakat yang dibuat oleh manusia dan dapat berubah sesuai tempat, waktu, dan
budaya. Wanita dikategorikan memiliki sifat-sifat seperti emosional, pasif, inferior
(bergantung) lembut dengan peran yang terbatas pada bidang keluarga. Semua sifat
tersebut diwariskan karena sifat-sifat feminis berbeda dengan laki-laki yang memiliki
sifat rasional, aktif, superior, berkuasa, keras serta mendominasi (menguasai) dalam
masyarakat. Sifat-sifat tersebut dinilai sebagai wawasan dan sifat-sifat maskulin
Dari penjelasan di atas diperoleh suatu pemahaman tentang masalah
gender, seperti istilah feminisme dan maskulin. Berdasarkan sudut pandang
linguistik, kedua istilah tersebut tergolong dalam kelas kata yang berlawanan arti satu
sama lain. Secara epistimologi istilah feminisme berakar dari istilah female yang
merunjuk pada jenis kelamin perempuan.Pelabelan negatif atau pensteriotipan wanita
ke dalam gender itulah yang memicu munculnya feminisme termasuk dalam
perkembangan dunia sastra yang ditandai dengan bermunculnya karya-karya sastra
yang bertema wanita. Karya-karya sastra semacam itu dikenal dengan karya sastra
feminis.
Sementara alasan peneliti menganalisis novel Bibir Merah karya Achmad
Munif sebagai bahan penelitian, dikarenakan bahwa novel tersebut cenderung
menganggkat persoalan sosial terutama ketertindasan perempuan akibat sistem
patriarkhi yang membuat ketidakadilan dan diskriminasi gender.
Penelitian ini menganalisis masalah gender yang ada dalam novel Bibir
perempuan dalam novel Bibir Merah. Masalah-masalah inilah yang ingin dibahas
oleh peneliti sebagai bagian dari analisis sastra feminis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, masalah-masalah
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana relasi gender dalam novel Bibir Merah karya Achmad
Munif?
1.2.2 Bagaimana ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Bibir
Merah karya Achmad Munif ?
1.2.3 Bagaimana sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah
karya Achmad Munif ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mendiskripsikan relasi gender yang terdapat dalam novel Bibir Merah
karya Achmad Munif.
1.3.2 Mendiskripsikan ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Bibir
Merah karya Achmad Munif.
1.3.2 Mendiskripsikan sikap perempuan yang terdapat dalam novel Bibir
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengembangan kritik sastra di Indonesia dengan pendekatan sastra
feminis.
1.4.2 Manfaat praktis: menambah wawasan tentang feminisme yang
tergambar dalam karya sastra khususnya novel Bibir Merah karya
Achmad Munif.
1.5 Tinjauan Pustaka
Agustina. S (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Citra Wanita” dalam
Novel Bibir Merah karya Acmad Munif suatu Tinjauan Sastra Feminis,
menyimpulkan bahwa citra wanita dapat dilihat dari aspek fisik yaitu wanita
diceritakan sebagai mahkluk yang lemah dan tidak berdaya. Selain itu wanita juga
tergambar sebagai wanita yang feminim yang dapat dilihat dari caranya berhias,
berpakaian, dan bertingkah laku.
Selain itu Agustina. S (2006) juga menjelaskan citra wanita yang tergambar
dalam tokoh utama Rusminah yang tidak pernah menyerah melawan kejamnya dunia,
citra dalam keluarga tercitrakan sebagai insan yang banyak memikul tanggung jawab.
Sedangkan citra wanita dalam masyarakat yaitu wanita yang diperlakukan
sewenang-wenang dan sesuka hati oleh kaum laki-laki, martabat wanita pada novel tersebut
dicitrakan sangat rendah, kurang memiliki kemampuan, bodoh, acuh tak acuh pada
lingkungan, namun anggapan tersebut dapat diubah menjadi wanita yang maju sesuai
Berdasarkan skripsi Agustina. S (2006) peneliti tertarik menganalisis lebih
jauh bagaimana persoalan ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Dengan
mengetahui persoalan ketidakadilan gender akan terlihat bagaimana relasi dan sikap
perempuan dalam sistem sosial masyarakat tersebut.
1.6 Kerangka Pemikiran
1.6.1 Kritik Sastra Feminis
Feminisme menurut Goefe via Sugihastuti (2007:93) merupakan teori tentang
persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau
kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.
Bhasin via Sugihastuti (2007:93) menjelaskan bahwa patriarkhi berarti kekuasaan
bapak atau patriach. Secara umum istilah ini digunakan untuk menyebut kekuasaan
laki-laki (patriarkhi), yang antara lain kekuasaan laki-laki untuk menguasai
perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai
melalui berbagai macam cara. Patriarkhi membentuk laki-laki sebagai superordinat
dalam kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai
superordinatnya.
Istilah pendekatan sastra feminis merupakan cara-cara pemahaman karya
sastra baik dalam kaitannya dengan cara-cara memahami karya sastra dengan proses
produksi maupun resepsi (Ratna, 2004:184). Adapun dalam pengertian yang lebih
luas feminisme merupakan gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial pada
umumnya (Ratna, 2004:185).
Pada dasarnya teori feminisme merupakan alat kaum wanita untuk
memperjuangkan hak-haknya, erat kaitannya dengan konflik kelas dan ras, khususnya
konflik gender. Teori ini juga memaparkan konflik kelas dengan feminisme yang
memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan
hegemoni, pertentangan antar kelompok yang lemah dengan kelompok yang
dianggap lebih kuat. Teori ini juga menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat
patriarkhi (Ratna, 2006:186).
Dalam perkembangannya, teori sastra feminis tidak hanya melakukan gerakan
pada satu negara saja akan tetapi gerakan perempuan ini terjadi hampir di seluruh
dunia. Feminis menganggap bahwa gerakan ini merupakan kesadaran perempuan
terhadap hak-hak kaum perempuan yang sama dengan kaum laki-laki (Ratna, 2006:
186-187).
Selain itu Nancy Fcott (via Murniati, 1998:XXVII) mengatakan bahwa tujuan
dari feminis adalah 1) menentang adanya posisi hierarkis di antara jenis kelamin,
persamaan bukan hanya kuantitas tetapi mencakup juga kualitas, 2) feminisme
menggugat adanya perbedaan yang mencampuradukkan seks dan gender, sehingga
perempuan dijadikan sebagai kelompok tersendiri dalam masyarakat.
Dalam usaha persamaan hak, kaum feminis menilai adanya ketidakadilan
gender hal itu antara lain; marginalisasi, stereotip, subordinasi, beban ganda dan
adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar
dengan kedudukan derajat laki-laki.
1.6.2 Gender
Roeman via Sugiarti (2003) menyatakan bahwa gender adalah konsep
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang merupakan konstruksi sosial.
Hubungan sosial membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
Perubahan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan
karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau
dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan yang dapat dipertukarkan.
Sementara seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki pensifatan
seperti: memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma.
Sedangkan perempuan memiliki alat produksi seperti rahim dan saluran untuk
melahirkan memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk
menyusui. Organ-organ tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki
(male) dan perempuan (female) yang secara permanen tidak berubah dan merupakan
ketentuan biologis sejak lahir atau sering disebut sebagai ketentuan Tuhan atau
kodrat. Dengan kata lain, seks dipahami sebagai pemaknaan terhadap jenis kelamin
dan tradisi apa pun. Artinya pemahaman seks tidak mengenal batas ruang dan waktu
(Fakih, 1998 & 2001).
Stereotipe tersebut, tanpa disadari telah mengantar keduanya dalam posisi
yang tidak setara atau timpang. Perempuan secara sosial ditekankan perannya di
sektor domestik, karena fungsi reproduksinya memungkinkan perempuan untuk
mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Dengan fungsi reproduksi
yang demikian itu, perempuan dikonstruksikan untuk berperan sebagai pengasuh
anak dan pengelola rumah tangga. Sedangkan laki-laki, karena reproduksinya berbeda
dengan perempuan, diharapkan dan dikonstruksikan secara sosial untuk menjadi
pencari nafkah keluarga, bekerja di luar rumah, dan menjadi pelindung keluarga
(Hayati, 2002).
Adapun menurut Oakly via Fakih (1997:71) gender berarti perbedaan yang
bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yaitu perbedaan jenis
kelamin (seks) yang merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen
berbeda, sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara
laki-laki dan perempuan yang dikontradiksikan secara sosial, yaitu perbedaan yang
bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia
melalui proses yang panjang. Caplan (Fakih, 1997:72) menyatakan bahwa perbedaan
laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan
kultural. Oleh karena itu, gender bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke
tempat dan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap tidak
Gender menentukan berbagai pengalaman hidup yang bisa kita singkap.
Gender dapat menentukan akses kita terhadap pendidikan, kerja alat-alat dan sumber
daya yang diperlukan untuk industri dan keterampilan. Gender bisa menentukan
kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Gender akan menentukan
seksualitas, hubungan, dan kemampuan untuk membuat keputusan dan bertindak
secara otonom. Gender bisa menjadi satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk
kepribadian seseorang dalam hidupnya (Sugiarti: 2003)
Istilah gender berguna karena istilah itu mencakup peran sosial kaum
perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali
amat penting dalam menentukan posisinya keduanya. Demikian pula, jenis-jenis
hubungan yang bisa berlangsung antara perempuan dan laki-laki merupakan
konsekuensi dari pendifinisian perilaku gender yang semestinya oleh masyarakat.
Berbicara mengenai gender, secara tidak langsung memerlukan keterlibatan laki-laki
untuk memahami dan mendukung perubahan dalam hubungan gender yang akan
diperlukan jika keseimbangan yang lebih adil dan setara antara jenis kelamin dalam
masyarakat tercapai.
Konsep gender pada dasarnya merupakan sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih,
1996:8). Adapun Murniati (2002:15) mengatakan bahwa pada dasarnya gender
merupakan perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat,
serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Gender bukanlah kodrat ataupun
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan
tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada.
1.6.2.1 Relasi Gender
Pada dasarnya posisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender
berdampak pada pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi
superordinat dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, relasi dengan
perempuan dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan
inferioritas perempuan. Sebagai jenis kelamin yang memposisikan diri lebih unggul,
laki-laki menciptakan legitimasi yang terbentuk melalui lembaga-lembaga patriakal
guna memperkuat hegemoni terhadap kedudukan perempuan (Sugihastuti, 2007:122).
Ada pun Fakih (1996: 84) menyatakan bahwa pada dasarnya setiap kelompok
masyarakat memiliki kepentingan (interse) dan kekuasaan (power), ada pun dalam
setiap hubungan sosial selalu terdapat hubungan kaum laki-laki dan perempuan.
meskipun demikian, bahwa gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai
senjata untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan
antara laki-laki dan perempuan.
Sugihastuti (2007:4-5) mengatakan bahwa, seks dan gender menyatu melalui
pandangan masyarakat yang mencoba untuk memadu-padankan cara bertindak
dengan kodrat biologis. Berdasarkan pandangan di atas terlihat adanya relasi laki-laki
dan perempuan yang melahirkan idiologi gender yang membuahkan budaya
patriarkhi. Budaya ini tidak mengakomodasi kesetaraan, keseimbangan, sehingga
gender ini telah melahirkan ketidakadilan gender yang berimbas pada posisi yang
disandang oleh kaum perempuan (Sugihastuti, 2007: 278). Menurut Fakih via
Sugihastuti (2007:278-279) perbedaan gender didasarkan pada anggapan dan
penilaian oleh konstruksi sosial yang menimbulkan sifat atau stereotip yang
terkukuhkan sebagai kodrat kultural yang membutuhkan proses panjang yang telah
mengakibatkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sedangkan menurut Nunuk
(1996:XIX) perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan berproses melalui budaya
dan menciptakan perbedaan gender yang kemudian melahirkan idiologi gender. Lebih
lanjut, pandangan itu kemudian dikukuhkan lagi melalui agama dan tradisi. Dengan
demikian, laki-laki diakui dan dikukuhkan untuk menguasai perempuan, kemudian
hubungan laki-laki dan perempuan yang hierarkis dianggap sudah benar.
Adapun menurut Wahjana (2000) dominasi yang dimiliki laki-laki terhadap
perempuan menjadi suatu hal yang sudah semestinya karena itu merupakan bagian
dari kejantanan dan kekuasaan laki-laki. Dengan melakukan tindak kekerasan maka
laki-laki dapat mengurangi emosi dan tekanan yang dialaminya. Sedangkan rasa
rendah diri dan keingginan perempuan untuk didominasi adalah suatu hal yang tidak
terelakan dalam hubungan perempuan dan laki-laki.
Relasi heirarkis antara laki-laki dan perempuan tersebut berdampak pada
ketidakadilan perempuan yang terdiri dari beberapa hal antara lain; pertama
perbedaan dan pembagian gender, termanifestasikan dalam bentuk subordinasi kaum
perempuan di hadapan laki-laki terutama menyangkut soal pengendalian kekuasaan.
perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Ketiga, perbedaan
gender mengakibatkan timbulnya kekerasan dan penyiksaan terhadap perempuan,
baik secara fisik maupun secara mental. Keempat, sosialisasi citra posisi, kodrat dan
penerimaan nasib perempuan tersebut menimbulkan anggapan pada kaum perempuan
sendiri, bahwa kondisi dan posisi yang telah ada bagi diri mereka merupakan sesuatu
yang normal dan kodrati (Sugihastuti, 2007: 279)
1.6.2.2 Ketidakadilan Gender
Ketidakadilan gender pada dasarnya merupakan bentuk perbedaan perlakuan
berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih
yang mengkibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya. Persamaan
antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik,
ekonomi, budaya dan lain-lain. Ketidakadilan gender terbentuk karena adanya
oposisi jenis kelamin yang melahirkan prasangka gender yang berdampak pola
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut membawa hubungan yang
dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas
perempuan (Sugihastuti, 2001:122).
Selain itu hubungan laki-laki dan perempuan yang dibentuk berdasarkan
pemahaman mengenai superioritas, pada akhirnya perempuan tidak hanya
memunculkan perilaku inferior dalam hubungannya dengan laki-laki akan tetapi,
perempuan juga membentuk citra inferior dan mendorong diri sendiri kepada posisi
ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki
maupun perempuan sebagai korban dari sistem.
Berdasarkan relasi gender yang ada, ketidakadilan gender dapat bersifat a)
langsung, yaitu bahwa perlakuan terbuka dan berlangsung baik disebabkan perilaku,
sikap, nilai, norma ataupun aturan yang berlaku; b) tidak langsung, bahwa seperti
peraturan sama tetapi pelaksanaanya menguntungkan jenis kelamin tertentu; c)
sistemik, yaitu bahwa ketidakadilan gender berakar dalam sejarah, norma atau
struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan
(Fausi,2008).
Dari relasi gender di atas Fakih (2006) membagi manifestasi ketidakadilan
gender menjadi berikut:
1. Subordinasi perempuan (penomorduaan), pandangan yang memposisikan
perempuan dan karya-karya lebih rendah daripada laki-laki. Pandangan ini
bagi perempuan menyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai
pembantu dan tidak berani memperlihatkan kemampuanya. Sedangkan
bagi laki-laki menyebabkan mereka sah untuk tidak memberi kesempatan
perempuan muncul sebagai pribadi yang utuh.
2. Marginalisasi perempuan, merupakan penempatan perempuan ke
pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang
atau tidak berani sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin.
Akibatnya perempuan selalu dinomerduakan apabila ada kesempatan
3. Stereotipe terhadap perempuan, merupakan citra baku tentang individu
atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada.
Pelabelan negatif perempuan selalu berdampak negatif bagi perempuan
hal itu bahkan menimbulkan diskriminasi dan pada akhirnya dibatasi,
dipersulit, dan dimiskinkan oleh stereotipe. Pandangan stereotipe
masyarakat terhadap perempuan tersebut yakni pembakuan diskriminatif
antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah dibakukan
sifat yang sepantasnya sehingga tidak bisa keluar dari kotak definisi yang
membakukan tersebut.
4. Kekerasan terhadap perempuan; Kekerasan terhadap perempuan
merupakan tindakan seseorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan
mengarahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau
penderitaan baik secara fisik, seksual, atau psikologis pada perempuan
atau sekelompok perempuan. Termasuk tindakan yang bersifat memaksa,
mengancam, dan berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi di ruang
domestik dan publik.
Menurut Sugihastuti (2007: 203) menyebutkan kekerasan terhadap perempuan
dibedakan menjadi dua yaitu kekerasan publik dan kekerasan domestik. Kekerasan
publik merupakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan atau relasi berdasarkan perkawinan dengan perempuan yang
kekerasan sedangkan kekerasan domestik merupakan tindak kekerasan terhadap
perempuan dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarnakan manifestasi ketidakadilan gender menurut Fakih (2006) di atas,
peneliti hanya menganalisis persoalan ketidakadilan gender yang berhubungan
dengan isi cerita, yang terdiri dari subordinasi, dan kekerasan terhadap perempuan.
1.6.3 Sikap Perempuan
Pada dasarnya sikap merupakan suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan
antisipatif, presdisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana, sikap merupakan respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan
(Anwar, 1995:5). Sikap sosial pada dasarnya terbentuk dari adanya interaksi sosial
yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih pada sekedar
adanya kontak sosial dan hubungan antara individu sebagai anggota kelompok sosial.
Menurut Sarwono (1976) sikap merupakan kesiapan seseorang untuk
bertindak pada situasi tertentu. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah
mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap
negatif terdapat kecenderungan untuk menjauh, menghindar, membenci, tidak
menyukai objek tertentu. Lebih lanjut sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan
dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman-pengalaman, sehingga dapat
berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan di sekitar individu yang bersangkutan pada
saat yang berbeda-beda.
Dalam kaitanya dengan sikap perempuan, Sugihastuti (2007:94) berpendapat
feminisme merupakan satu-satunya jalan mengakiri penindasan dan eksploitasi.
Sementara Jayanegara (2001:52) mengatakan bahwa sikap perempuan yang
bercita-cita untuk berbagai cara mengembangkan diri menjadi manusia yang mandiri lahir
dan batin akan didukung oleh gerakan feminisme, perempuan demikian akan
mengangkat kedudukan dan harkatnya hingga menjadi setingkat dengan kedudukan
dan harkat laki-laki, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat.
Sedangkan sikap perempuan yang merasa puas bahagia dengan hanya
semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh para feminis.
Sikap perempuan demikian membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan
kemudian pada anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan
dirinya menjadi orang yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual
(Jayanegara 2001: 51-52).
Dalam penelitian, kerangka pemikiran mengenai relasi gender, dipakai untuk
menganalisis relasi gender Lurah Koco dengan Rusminah, Lurah Koco dengan
Rusmini, Lurah Koco dengan perempuan-perempuan Desa Kapur dan juga dipakai
untuk menganalisis relasi gender Saburosan dengan Rusminah. Sementara itu,
kerangka pemikiran mengenai sikap perempuan dipakai untuk menganalisis sikap
Rusminah, Rusmini, dan perempuan desa terhadap relasi laki-laki terhadap gender
serta sistem patriarkhi yang tergambar dalam novel.
1.7 Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sastra feminis.
Pendekatan sastra feminis digunakan untuk menganalisis keberadaan perempuan dan
permasalahan-permasalahan yang ada pada karya sastra, khususnya yang berkaitan
dengan masalah gender dan feminisme (Djajanegara, 2001: 51)
1.7.2 Metode Penelitian
Metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas
langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat berikutnya
(Ratna, 2003:34). Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis diskriptif, yaitu
mendiskripsikan fakta-fakta yang kemudian dilanjutkan dengan analisis. Secara
etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan (Ratna, 2003:53). Lebih lanjut
peneliti juga menganalisis relasi laki-laki perempuan, ketidakadilan gender dan sikap
perempuan yang ada di dalam novel Bibir Merah.
1.7.3 Teknik Analisis Data
Selanjutnya, penelitian ini dilakukan dengan tahap pengumpulan data dan
penganalisisan data, peneliti menggunakan teknik simak dan catat, penyimakan
terhadap isi dan novel tersebut kemudian dilanjutkan dengan teknik catat pada kartu
data. Teknik catat maksudnya pencatatan data yang digunakan dengan alat tulis,
sedangkan kartu data berupa kertas dengan ukuran dan kualitas apapun dapat
digunakan asal mampu memuat, memudahkan pembacaan dan menjamin data
1.7.4 Sumber Data
Judul Buku : Bibir Merah
Pengarang : Achmad Munif
Penerbit : Navila, Yogyakarta
Tebal Buku : 232 hlm : 20 cm
Tahun Terbit : 2007
1.7.4 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian penelitian ini sebagai berikut. Bab I Pendahuluan berisi
latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, dan metodologi penelitian. Bab II Relasi gender. Bab III Berisi
ketidakadilan gender dan sikap perempuan. Bab IV Penutup, berisi kesimpulan dan
Bab II
RELASI GENDER
DALAM NOVEL BIBIR MERAH KARYA ACHMAD MUNIF
2.1 Pengantar
Pada bab II ini penulis menganalisis relasi gender antara laki-laki dan
perempuan yang ada dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif. Analisis
tentang relasi antara laki-laki dan perempuan tersebut, membahas masalah hubungan
laki-laki dan perempuan dalam lingkup gender yang memuat konflik. Dari analisis
tersebut akan ditemukan akibat dari konflik pada relasi laki-laki dan perempuan
dalam novel.
Dalam bab ini juga akan dikemukakan relasi gender antara laki-laki dan
perempuan yang dibangun berdasarkan tingkatan sosial dan peran yang ada di dalam
masyarakat. Ada pun peran laki-laki dominan yang terdapat dalam cerita terdapat
dalam sosok Lurah Koco. Dalam cerita, pengarang menghadirkan sosok Lurah Koco
sebagai simbol kekuasaan patriarkhi yang ada dalam masyarakat Desa Kapur.
Sementara dalam cerita terdapat ideologi, bahwa laki-laki (Lurah Koco) lebih tinggi
dari pada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan
perempuan adalah bagian dari milik laki-laki. Dalam sistem patriarkhi masyarakat
Desa Kapur, tercipta konstruksi sosial yang tersusun sebagai kontrol atas perempuan,
Selain Lurah Koco sebagai simbol kekuasaan patriarkhi, ia juga sebagai alat
kontrol terhadap para perempuan. Dengan demikian, simbol kekuasaan patriarkhi
Lurah Koco di atas membentuk sikap laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka
hubungan dengan perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya.
Sementara dalam pembahasan bab dua ini, peneliti juga membahas
perempuan-perempuan yang berkaitan dengan sikap patriarkhi Lurah Koco dalam
wilayah masyarakat Desa Kapur. Ada pun perempuan yang dimaksud di atas antara
lain; Rusminah, Rusmini, Yu Ginah, Mbok Karto, Yu Sumi, dan Munah. Dari semua
sosok perempuan di atas, Rusminah dan Rusmini merupakan dua perempuan yang
berperan aktif dalam kemunculan konflik yang membangun klimak dan akhir cerita.
Ada pun hubungan relasi gender dalam cerita dijelaskan sebagai berikut.
2.2 Lurah Koco dengan Rusminah
Pada dasarnya hubungan pengembangan cerita dalam sebuah novel, tidak lain
dipengarui oleh adanya keterkaitan dan konflik tokoh yang bersangkutan. Hubungan
tokoh tersebut tidak lain merupakan sebuah upaya pengarang dalam menghadirkan
konflik dan permasalahan yang muncul melalui karakter dan dialog tokoh yang ada.
Begitu juga halnya dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif,
pengarang mencoba menghadirkan relasi gender dalam cerita sesuai dengan konflik
dan persoalan yang ada. Persoalam gender yang muncul dalam cerita, pada dasarnya
dipengarui adanya pola dominasi laki-laki terhadap kedudukan dan peran perempuan
dalam relasi gender dalam novel Bibir Merah, dipengaruhi juga adanya pola
kekuasaan sepihak yang merugikan perempuan.
Hal ini terlihat dalam relasi gender antara Lurah Koco dengan Rusminah.
Dua perbedaan karakter dalam cerita, dihadirkan pengarang sebagai subjek yang
berbeda. Pengarang menghadirkan Lurah Koco sebagai laki-laki yang mempunyai
kekuasaan, otoritas tinggi dalam masyarakat Desa Kapur. Kedudukan dan kekuasaan
Lurah Koco sebagai seorang kepala desa, membuat ia selalu bersikap otoriter dan
memaksa warganya terutama kaum perempuan dalam melayani kebutuhan seksnya.
Selain Lurah Koco sebagai laki-laki yang berkuasa dalam masyarakat, ia juga
mempunyai ambisi sebagai seorang pemimpin yang otoriter. Hal itu merupakan
sebuah konsekuensi bahwa kedudukan dan jabatan merupakan alat untuk
mengeksploitasi warganya. Dalam masyarakat Desa Kapur, Kedudukan dan status
sebagai seorang kepala desa, merupakan kedudukan paling tinggi dalam struktur
masyarakat, karena kedudukan itulah, Lurah Koco akan menaruh dendam terhadap
warganya jika mereka tidak menghormati dan mematuhi perintahnya. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut.
(1)“ Lurah Koco duduk di sadel sepeda motornya dengan sikap
yang pongah sekali. Matanya melirik kesana kemari. Orang yang berpapasan dengannya mengangguk takzim. Sebab Pak Lurah akan menaruh dendam amat dalam kepada penduduk desa yang tidak menganggukkan kepala jika berpapasan dengannya. Itu artinya warga desa akan mendapat kesulitan (hlm. 32)”.
Bagi masyaraka, Lurah Koco tidak lain adalah seorang penjahat. Kedudukan
memaksa para perempuan untuk melayani kebutuhan seksnya. Semua itu didasari atas
paksaan dan tekanan dari Lurah Koco dalam mendapatkan perempuan untuk
dijadikan gendaan. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(2)” Begini Yu” aku pesen wanti-wanti utuk menjaga si Surti. Jangan sampai ada orang lain yang lebih dulu meminum air degan itu dan aku menerima sisanya. Aku tidak mau itu.
”Mosokto Pak Lurah meminum air degan” (hlm. 36)”.
Tinggal dalam masyarakat tradisional dan marginal, membuat Lurah Koco
merasa mendapatkan keuntungan dari masyarakat setempat. Hal itu dipengaruhi
adanya pola sistem patriarkhi yang menempatkan kedudukan dan kekuasaan laki-laki
lebih tinggi dalam masyarakat Desa Kapur. Kondisi demikian, memunculkan
ideologi Lurah Koco untuk melakukan pemaksaan baik itu berupa pajak yang tinggi
maupun pemaksaan terhadap perempuan.
Bagi masyarakat Desa Kapur, kedudukan dan kekuasaan Lurah Koco
dianggap sangat merugikan, tidak terkecuali bagi Rusminah. Ia adalah salah satu
perempuan Desa Kapur yang menjadi korban nafsu Lurah Koco. Kekerasan seksual
yang dialami oleh Rusminah merupakan kekerasan publik. Hal itu menandakan
bahwa keduanya terjalin tanpa adanya hubungan kekerabatan atau relasi berdasarkan
ikatan perkawinan. Sementara kekerasan Lurah Koco terhadap Rusminah, tidak
berupa pelecehan seksual saja, akan tetapi juga berupa kekerasan fisik dan
emosional. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
lelaki itu. Rusminah terkejut, lelaki itu adalah Lurah Koco. Karena topengnya terbuka, Lurah Koco semakin kalap, Rusminah dipukul sampai tidak sadarkan diri ( hlm. 173-174)”.
Berdasarkan kutipan (3) di atas terlihat adanya sikap upaya berontak
Rusminah terhadap sikap represif Lurah Koco. Kondisi demikian membuat ia
melakukan perlawanan meskipun tidak sebanding dengan kekuatan fisik yang Lurah
Koco miliki. Pelecahan seksual baginya merupakan sebuah perampasan harga diri,
karena sikap itulah ia mau mempertahankan dengan perlawanan sesuai dengan
kemampuan yang ia miliki.
Sementara keadaan Rusminah yang tidak sadarkan diri, memaksa Lurah koco
melakukan pemerkosaan tanpa ada pemberontakan darinya. Selain karena kondisi
Rusminah yang lemah, perlawanan terhadap Lurah Koco seolah tidak sebanding
dengan kekuatan fisik yang ia miliki. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(4)” Tetapi ketika sadar seluruh tubuhnya terasa sakit dan linu-linu. Dari selengkanganya keluar darah. Seluruh pakaianya terbuka (hlm. 174)”.
Berdasarkan kutipan (4) di atas, keadaan yang tidak seimbang dan posisi
Lurah Koco yang kuat, membuat Rusminah tidak mampu melawan paksaan Lurah
Koco sebagai pelaku pelecehan seksual dalam bentuk pemerkosaan. Dalam kutipan di
atas juga terlihat adanya dampak pemerkosaan yang dilakukan Lurah Koco yaitu
hilangnya dan rusaknya keperawanan Rusminah. Mengetahui bahwa dirinya telah
diperkosa oleh Lurah Koco, ia pun berinisiatif mencari adiknya yaitu Rusmini.
menimpanya. Rusmini juga diperkosa sama seperti halnya Lurah koco memperkosa
Rusminah. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(5)” Gadis itu terkejut, seluruh pakaian adiknya terkoyak-koyak dan dari selelengkangnya juga keluar darah (hlm.174)”.
Keberadaan Rusminah sebagai anak buruh tani, membawa ia harus
diperlakukan semena-mena oleh Lurah Koco. Berawal dari keingginan lurah Koco
untuk menikahi Rusminah itulah awal peristiwa permasalahan dimulai. Mengetahui
bahwa Lurah Koco sudah memiliki istri dan anak, ditambah ia mempunyai beberapa
gendaan, menjadikan satu alasan mengapa Rusminah menolak keinginannya. Hal itu
terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(6)” Saya tidak mau, pak. Istri Pak Lurah sudah dua dan memiliki gendaan di mana-mana. Saya tidak mau menjadi istri ketiga Pak Lurah (hlm. 172)”.
Selain itu, kekuasaan dan otoritas Lurah Koco sebagai seorang kepala desa, ia
gunakan juga untuk memprovokasi masyarakat, bahwa orang tua Rusminah adalah
seorang dukun santet. Karena peristiwa itu pula masyarakat marah, dan membunuh
kedua orang tua Rusminah. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(7)” Mereka membawa obor dari daun kelapa kering yang dibakar. Rusminah dan adiknya Rusmini gemetar dan menangis. Ayah dan Ibunya menenangkan. Di luar orang-orang berteriak sambil mengacungkan tinju.
Berdasarkan kutipan (7), kedudukan kekuasaan dan otoritas Lurah Koco
sebagai kepala desa, dijadikan alat untuk balas dendam terhadap keluarga Rusminah
dengan cara memfitnah. Karena kekecewaan dan sakit hati, ia pun membunuh orang
tua Rusminah.
Meski telah mendapat pelecehan seksual dalam hal ini pemerkosaan,
Rusminah tidak putus asa terhadap nasib yang menimpanya. Semangat dan sikap
balas dendam itulah yang memotivasi Rusminah untuk bangkit dari penderitaanya.
Hal itu ditunjukan Rusminah dengan bekerja sebagai seorang pengamen siter bersama
adiknya. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(8)” Di Yogya, Rusminah dan Rusmini tidak hanya menjadi pengamen jalanan, tetapi juga melayani tanggapan orang punya hajat (hlm. 179).
Posisi yang termarginalkan itulah yang membawa ia harus berusaha sendiri
dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sebagai perempuan miskin. Dalam
hubungannya dengan Lurah Koco, peristiwa pemerkosaan yang dialami Rusminah
terdapat bentuk ketidakadilan gender yang berupa marginanlisasi. Hal itu terbukti,
bahwa peristiwa pemerkosaan tersebut telah membawa ia menjadi perempuan miskin
dan tersingkir dari masyarakatnya.
Dampak peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan Lurah Koco terhadap
Rusminah, tidak hanya berakibat pada masalah ekonomi, akan tetapi juga beban
psikologis bagi mereka. Adanya beban ekonomi dan ambisi untuk balas dendam
ia lakukan dengan kesadaran tanpa paksaan dari orang lain. Hal itu terlihat dalam
kutipan sebagai berikut.
(9)” Dada Rusminah berdebar-debar. Baru kali ini ia akan melayani seorang lelaki dengan kesadaran penuh (hlm. 183)”.
Karena keadaan itu, Rusminah harus mengalami konflik batin. Satu sisi ia
ingin hidup normal akan tetapi sisi lain ia ingin mendapatkan uang yang banyak
untuk membeli tanah di Desa Kapur. Hal itulah yang memaksa dan memotivasi
Rusminah untuk menjadi orang kaya dan bisa menyingkirkan kekuasaan Lurah
Koco. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(10)” Bukankah sudah menjadi tekad ku untuk mencari uang sebanyak-banyaknya? Bukankah aku harus menjadi orang kaya? Bukankah aku ingin memiliki tanah luas di desa? Akan saya beli semua tanah di Desa Kapur. Akan saya depak Lurah Koco dan orang-orang yang pernah membunuh bapak dan ibuku (hlm. 180)”.
Berdasarkan kutipan (10) di atas, terlihat bahwa keinginan dan motivasi besar
Rusminah untuk balas dendam terhadap Lurah Koco tampak dalam semangatnya.
Sikap diri Rusminah dalam mengambil jalan pintas sebagai seorang pekerja seks
komersial (PSK), semata-mata didasari adanya keinginan ia menguras semua harta
yang dimiliki laki-laki. Karena ambisi dan kemauan menjadi orang kaya, ia pun rela
menjual dirinya demi tercapai keinginanya. Hal itulah yang membuat Rusminah
harus menerima konsekuensi perlakuan laki-laki. Hal itu terlihat dalam kutipan
sebagai berikut.
menangis. Hanya matanya saja yang berkaca-kaca. Lelaki itu sudah tidak ada, hanya di meja kamar ada amplop tebal (hlm. 182)”.
Kekecewaan dan dendam Rusminah terhadap laki-laki semakin bertambah.
Hal itu tidak hanya akibat dendam terhadap Lurah Koco, akan tetapi juga kekecewaan
terhadap para preman yang telah memperkosa adiknya hingga berakibat sakit jiwa.
Karena keadaan itu pulalah ia terus menjaga tubuhnya agar tetap laku dan banyak
laki-laki yang bisa dikuras uangnya. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(12)” Dendam terhadap Rusminah kepada laki-laki semakin menjadi-jadi. Ia berusaha lebih mempercantik diri dan merawat tubuh. Tujuannya hanya satu untuk memikat lelaki dan menguras uangnya (hlm. 191)”.
Hidup bagi Rusminah adalah sebuah pilihan, masih ada hari esok yang lebih
baik. Kekecewaan dan dendam itu ia jadikan motivasi untuk mencapai cita-cita
menghancurkan kekuasaan Lurah Koco. Harga diri bagi Rusminah merupakan suatu
yang berharga, hal Itulah yang mendasari ia ingin balas dendam terhadap Lurah
Koco. Bagi Rusminah balas dendam tidak harus ia buktikan dengan perlawanan fisik
saja, akan tetapi juga perlawanan bahwa ia mampu mengembalikan harga diri
menjadi perempuan sukses.
Kesempatan untuk menjadi perempuan baik-baik itu pun seolah menjadi
kenyataan. Sampai suatu ketika ia berkenalan dengan laki-laki Jepang yang bernama
Saburosan. Ia adalah laki-laki Jepang, ayahnya seorang tentara Jepang bernama
Tetsuso San sedangkan ibunya adalah seorang jughun ianfu asal Semarang yang
Saburosan pun sangat tertarik dengan Rusminah. Karena Saburosan itu pulalah awal
kehidupan baru Rusminah dimulai.
Perjuangan Rusminah terjun dalam dunia prostitusi tidak lain didasari adanya
luka batin terhadap Lurah Koco. Semua itu ia lakukan semata-mata demi
mengembalikan harga dirinya yang pernah dirampas oleh Lurah Koco dan
masyarakat Desa Kapur pada umumnya.
2.3 Lurah Koco dengan Rusmini
Pada dasarnya ketidakadilan gender dipandang sebagai sebuah bukti dampak
dari sistem patriarkhi. Bukti adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan kerap
menimbulkkan konflik, baik baik itu secara individu maupun secara kolektif sosial.
Adanya persepsi bahwa kedudukan dan kekuasaan laki-laki menindas perempuan
merupakaan hal yang sah, dipandang sebagai bukti kelemahan sistem patriarkhi yang
selalu merugikan satu pihak dalam hal ini perempuan.
Upaya perlawanan terhadap ketidakadilan gender, pada dasarnya juga sangat
dipengarui oleh keadaan sistem sosial masyarakat setempat. Sementara itu
perlawanan akan dominasi laki-laki terhadap perempuan, cenderung dilakukan secara
rasionalitas dan kesadaran dan sikap kritis. Begitu juga halnya yang dialami oleh
Rusmini.
Sosok perempuan yang kedua ini adalah Rusmini, ia adalah saudara kandung
Rusminah. Seperti halnya Rusminah, Rusmini dilahirkan dan dibesarkan dalam
keluarga yang sama, tidaklah membuat persamaan karakter dan sifat antara keduanya
berbeda.
Sosok Rusmini adalah pribadi yang rapuh. Meskipun demikian ia juga
mengalami peristiwa yang sama seperti halnya Rusminah. Seperti yang dialami
Rusminah, Rusmini adalah korban kebejatan dan kekuasaan Lurah Koco. Hal itu
terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(13)” Gadis itu terkejut, seluruh pakaian adiknya terkoyak-koyak dan dari selengkanganya juga keluar darah. Rupanya setelah memperkosa dirinya, Lurah Koco memperkosa adiknya (hlm. 174)”.
Kutipan (13) di atas menunjukan bahwa Rusmini adalah sosok perempuan
yang masih perawan (virgin). Karena pemerkosaan itu ia harus kehilangan satu
barang yang paling berharga yaitu keperawanan. Peristiwa pemerkosaan yang
dilakukan Lurah Koco terhadap Rusmini, merupakan bukti bahwa sistem relasi dalam
masyarakat Desa Kapur masih timpang yaitu adanya sistem kekuasaan sepihak dan
dominasi patriarkhi yang membawa dampak pada perspektif laki-laki memandang
perempuan sebagai objek seksualnya.
Secara umum, pribadi Rusmini, adalah sosok perempuan lemah. Tidak seperti
halnya Rusminah yang berontak dan tidak bisa menerima semua peristiwa
pemerkosaan. Keadaan Rusmini yang rapuh dan lemah, memaksa ia harus menjalani
hidupnya dengan beban psikologis. Sikap pasrah Rusmini terhadap nasib yang
menimpanya tersebut menjadikan ia bisa menerima keadaan, dan tidak menaruh
(14)” Biarlah semuanya berlalu, Mbak. Barangkali semua itu sudah menjadi suratan nasip kita. Kita perlu mensyukuri apa yang kita terima sekarang (hlm. 95)”.
Kekerasan dan dominasi laki-laki dalam sistem sosial masih saja dialami
Rusmini. Hal itu terbukti ketika ia mengalami pelecehan seksul yang kedua kali.
Peristiwa itu terjadi ketika beberapa preman melakukan pelecehan seksual yang
berupa pemerkosaan. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(15)” Rusminah terkejut ketika malam itu ia pulang dari hotel. didapatinya orang-orang berkumpul di rumahnya. Terdengar suara tanggis histeris Rumini adiknya. Rusminah menerobos masuk dan menyibak kerumunan orang-orang itu. Beberapa orang memeluk Rusmini yang terus menangis histeris.
”Ada apa. Ada apa ini’?
Ia lihat kain dan pakaian Rusmini koyak-koyak, Rusminah paham apa yang terjadi (hlm. 190)”.
Dampak langsung yang di hadapi Rusmini setelah peristiwa pemerkosaan
tersebut adalah hilangnya kepercayaan dan harga diri sebagai seorang perempuan.
Beban mental dan tekanan batin Rusmini sebagai korban pelecehan seksual sangat
terlihat ketika ia mengalami ganguan sakit jiwa. Hal itu tampak dalam kutipan
sebagai berikut.
(16)” setelah perkosaan itu Rusmini shock berat dan akhirnya di bawa kerumah sakit jiwa (hlm. 191)”.
Berdasarkan kitipan (16) di atas, merupakan bukti akibat dari adanya
pelecehan seksual dilakukan laki-laki terhadap Rusmini. Beban psikologis dan beban
mental merupakan dampak nyata dari peristiwa pelecehan seksual yang membuat
dan pemerkosaan merupakan dampak dari ketidakadilan gender yang
termanifestasikan melalui sistem patriarkhi .
Lebih jauh dapat dilihat bahwa relasi gender antara Lurah Koco dengan
Rumani, muncul dari adanya persepsi Lurah Koco dalam memandang Rumani
sebagai objek seksualnya, hal itu juga didukung oleh kekuasaan ia sebagai seorang
kepala desa yang mempunyai otoritas dan kekuasaan penuh dalam masyarakat Desa
Kapur.
2.4 Lurah Koco dengan Perempuan-Perempuan Desa Kapur
Pada dasarnya hubungan sosial dalam masyarakat Desa Kapur dibentuk
dalam beberapa dusun. Tiap dusun dalam pemerintahan Desa Kapur terdapat kepala
dusun dan dipimpin oleh kepala desa sebagai tingkat paling atas dalam sistem
pemerintahan. Lurah Koco sebagai satu-satunya orang berkuasa dalam masyarakat
Desa Kapur, memiliki kekuasaan dan kedudukan paling tinggi dalam sistem sosial
tersebut.
Keadaan masyarakat desa yang miskin dan termarginal, membentuk
masyarakat sangat patuh dan tunduk terhadap keputusan Lurah Koco. Karena
kekuasaan dan kedudukan Lurah Koco itu pula, ia selalu memaksa para perempuan
desa untuk melayani kebutuhan seksnya. Begitu juga halnya yang dialami Yu Sumi.
Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(17)” wes to nduk, turuti saja keinginan Pak Lurah. Kita ini kawulonya
Pak Lurah. sebagai kawula kita memang tidak punya hak untuk
” Aku emoh, Mbok. Enak saja semua perempuan harus menuruti nafsu bejatnya (hlm. 37)”.
Berdasarkan kutipan (17) di atas terlihat adanya sikap Yu Sumi yang
memandang bahwa kehormatan dan harga diri merupakan suatu yang berharga.
Meski pun demikian, tidak semua para perempuan menganggap bahwa kehormatan
dan harga diri itu sangat penting. Karena kebodohan dan kemiskinan itu pulalah
banyak para perempuan mau dijadikan gendaan Lurah Koco, hal itu semata-mata
mereka lakukan karena faktor ekonomi. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai
berikut.
(18)” Atase meng tukang siter saja berani menolak Pak Lurah. Apa tidak kebangeten itu (hlm. 36)”.
Sementara bagi Yu Sumi, harga diri dan kehormatan merupakan suatu yang
sangat berarti. Kedudukan dan setatus sosial yang rendah, bukanlah dijadikan alasan
bahwa kehormatan bisa ditukar dengan materi. Karena sikap itu, ia mau
mengorbankan dirinya untuk melindungi harga diri dan kehormatan yang ia miliki.
Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(19)” ...Tapi berbeda dengan perempuan lainya, ia berani menolak Lurah Koco, bahkan ia pernah memukul lelaki itu dengan tangkai cangkul ketika Lurah Koco mau memperkosanya. Sejak peristiwa itu Yu Sumi selalu menyelipkan pisau di pinggangnya. itulah yang membuat Lurah Koco tidak berkutik. Setiap kali ia berusaha mendekati Sumi, gadis itu mengacungkan belati (hlm. 37)”.
Konsep harga diri dan kehormatan bagi Yu Sumi sangatlah berbeda dengan
yang menjual kehormatanya, sama saja memandang dirinya sendiri sebagai barang.
Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(20)” ...Kehormatan kok dijual. meskipun saya hanya tukang siter, saya tidak lenjeh, geleman. perempuan kalo sudah mau menjual kehormatanya, memandang dirinya sendiri seperti barang. Namanya barang, kalau pemakainya sudah bosan ya dibuang. Diri sendiri kok dihargai murah. Kalo perempuan sudah menganggap dirinya murah, perempuan melayani laki-laki dasarnya harus suka sama suka (hlm. 147)”.
Sikap sakit hati para perempuan desa terhadap sosok Lurah Koco sangatlah
dirasakan. Begitu juga halnya yang dirasakan oleh Mbok Karto, orang tua Yu Sumi.
Kekecewaan tersebut berawal ketika Lurah Koco mengusir Yu Sumi dari Desa
Kapur, sebagai alasan bahwa Yu Sumi tidak mau melayani nafsu seks Lurah Koco.
Di mata Mbok Karto ia beranggapan bahwa kekuasaan dan kedudukan Lurah Koco
tidaklah bisa menyamai kekuasaan Tuhan. Falsafah Jawa yang ia miliki tersebut
sangat jelas. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(21)” ...Kalo Lorah Koco mau mengusir saya , usir! Lurah Koco, Carik Dargo dan sampeyan dan lain-lain itu tinggal thek prel,
seperti dahan kering yang jatuh ditiup angin. orang kok mau menyamai Gusti Allah, sing gawe urip. Pak bayan sampeyan itu
menungsa seperti saya ini. Sampeyan tidak wenang menentukan
nasib orang lain. Nanti gusti Allah marah kepada sampeyan. Bisa saja saya menerima perlakuan sampeyan. Tapi Gusti Allah tidak terima. Karena Gusti Allah yang menciptakan saya. Gusti Allah
tidak terima kalo ciptaanya teraniaya oleh orang lain (hlm. 156)”.
Berbeda dengan halnya yang dilakukan oleh Yu Ginah. Karena kemiskinan
dan beban ekonomi, ia mau menyerahkan tubuhnya kepada Lurah Koco. Himpitan
ekonomi dan setatus sosial yang miskin telah memaksa ia menyerahkan tubuhnya
(22)” Yu Ginah tertawa genit. Di cubitnya lengan Pak Lurah, kemudian dijatuhkan Tubuhnya dalam pelukan lelaki itu (hlm. 35)”.
Bagi Yu Ginah, sikapnya terhadap Lurah Koco semata-mata bukanlah sebuah
penghargaan terhadap dirinya, melainkan hanyalah sebuah cara agar ia bisa
memerasnya. Meskipun demikian, karena keadaan ekonomi pulalah ia mau
menyerahkan dirinya untuk ditukar dengan materi. Tidak Hanya itu saja, karena
beban ekonomi pula Yu Ginah menjual Surti anak perawan satu-satunya kepada
Lurah Koco. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(23)” Yu Ginah tersenyum manja ketika Lurah Koco memasuki warung. ....”mana Surti Yu?”
” Oh, sekarang maunya Surti, to? sudah bosan dengan yang tua? ” Ya tidak begitu Yu. apa tidak boleh saya tanya anakmu?” ” Boleh Pak Lurah. lebih dari tanya pun boleh.”
” Jadi yang tua tidak marah, to. kalo saya mencari yang muda?” ” Yang muda masih segar. yaaaaaaa asalkan...”
” Asalkan apa?”
” Kelapa muda lebih mahal dari kelapa tua, Pak Lurah
” Edan kamu Yu. Saya tahu maksud kamu. Tapi jangan khawatir Yu saya suka kedua-duanya ( hlm. 34)”.
Kebejatan dan rusaknya moral Lurah Koco terhadap para perempuan desa
seolah di tiru oleh aparat desa lainya. Seperti halnya Bayan Sardi. Karena kekuasaan
sebagai seorang bayan, ia juga kerap memaksa para perempuan desa untuk melayani
kebutuhan seksnya. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(24)”Ndak usah takut Munah. mula-mula memang begitu. Takut, khawatir, tidak sampe hati. Itu karena kamu belum mencobanya. sekali kamu mencoba akan ketagihan, dan setiap malam kamu akan menunggu aku mengetuk pintu (hlm. 75)”.
tetapi Bayan Sardi tahu pembrontakan itu lemah sekali, lelaki itu terlau berpengalaman menghadapi penolakan yang hanya setengah hati seperti itu. Penolakan basa-basi biar tidak dikatakan perempuan gatal. Namun justru penolakan setengah-setengah itu membangkitkan kelelakian Bayan Sardi. Maka dipeluknya dengan erat perempuan itu, dan seperti dugaannya Munah tidak berontak lagi. Ia justru mengglendotkan tubuhnya pada lelaki yang sebenarnya yang pantas menjadi ayahnya itu...dan kejadianya begitu cepat. dan ketika sadar ia terbaring di sisi Bayan Sardi dengan pakaian tidak semestinya dan rambut awut-awutan. Tubuhnya penat setelah merasakan kepuasan yang luar biasa (hlm. 76-77)”.
Keadaan ekonomi yang miskin ditambah dengan kepergian suaminya ke
Jakarta itulah satu alasan menggapa Munah mau menyerahkan tubuhnya kepada
Bayan Sardi. Hal itu terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
(26)”kasihan kang marto, Pak ”
” Apa kamu kira Marto juga tidak melakukan hal seperti ini? lelaki Munah, lelaki. Mungkin Si Marto malahan sudah punya perempuan lain, punya gendaan atau istri lagi...
Munah berhenti menangis. Memang untuk apa menangis? toh ia sudah melayani Bayan Sardi dengan perasaan tidak terlalu terpaksa. dan ketika Bayan Sardi pamitan, Munah mengantarkan sampai di pintu belakang (hlm.77)”.
Kondisi dan keadaan masyarakat yang marginal dan di tambah dengan sistem
patriarkhi menjadi faktor mempengaruhinya keadaan Desa Kapur sangat terbelakang.
Hal itu pula yang mendorong adanya dominasi, pelecehan dan kekarasan terhadap
perempuan Desa Kapur. Meskipun demikian, adanya perlawanan dan pemberontakan
terhadap sistem patriarkhi sangat terlihat dalam sikap para perempuan yang menolak