• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba (Studi Deskriptif di Desa Tomok Parsaoran Kecamatan Simanindo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba (Studi Deskriptif di Desa Tomok Parsaoran Kecamatan Simanindo)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.1. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan hak dan kewajiban seorang warga negara untuk memberikan kontribusinya kepada pencapaian tujuan bersama.Sehingga mereka diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pembangunan dengan menyumbangkan inisiatif dan kreatifitasnya.Sumbangan inisiatif dan kreatifitas dapat disampaikan dalam rapat kelompok masyarakat atau pertemuan-pertemuan, baik yang bersifat formal maupun informal. Dalam rapat kelompok atau pertemuan itu, akan saling memberi informasi antara pemerintah dengan masyarakat. Jadi dalam partisipasi terdapat komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dan antara sesama anggota masyarakat.

(2)

dalam program pembangunan di daerah mereka. Masyarakat diikut sertakan dalam rapat atau pengambilan keputusan terhadap program perencanaan pembangunan kawasan pariwisata Danau Toba di Desa Tomok Parsaoran, sehingga masyarakat bisa menyampaikan aspirasi dan melihat langsung program pembangunan apa yang akan di lakukan di desa mereka serta akan mengetahui program itu bisa diterapkan atau tidak dengan mereka.

Secara umum ada 2 (dua) jenis definisi partisipasi yang beredar dimasyarakat, menurut Loekman Soetrisno (1995 : 221-222),yaitu :

1. Partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam defenisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan pembangunan.

2. Partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah di capai. Ukuran tinggi dan rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan di bangun di wilayah mereka.

2.1.2. Bentuk-Bentuk Partisipatif

Menurut Davis (dalam Sastropoetro, 1988 : 16), bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat sebagai berikut, yaitu :

a. Konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa. b. Sumbangan spontan berupa uang dan barang.

(3)

d. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari, dan dibiayai seluruhnya oleh komuniti (biasanya diputuskan oleh rapat komuniti, antara lain, rapat desa yang menentukan anggarannya).

e. Sumbangan dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat.

f. Aksi massa.

g. Mengadakan pembangunan dikalangan keluarga desa sendiri. h. Membangun proyek komuniti yang bersifat otonom.

Kemudian Davis juga mengemukakan jenis-jenis partisipasi masyarakat seperti yang dikutip oleh Sastropoetro (1988 : 16), yaitu sebagai berikut :

1. Pikiran (psychological participation). 2. Tenaga (physical participation).

3. Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation). 4. Keahlian (participation with skill).

5. Barang (material participation). 6. Uang (money participation).

2.1.3. Teori Partisipasi Arnstein

(4)

Sherry R. Arnstein (dalam Rosyida, 2011) memberikan model delapan anak tangga partisipasi masyarakat (Eight Rungs on ladder of Citizen Participation). Hal ini bertujuan untuk mengukur sampai sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat.

Tabel 1.2 Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arnstein No Tangga/Tingkatan 2 Terapi (Therapy) Sekedar agar

masyarakat tidak

Tingkat kekuasaan ada di masyarakat 8 Kontrol Masyarakat

(Citizen Control)

Sepenuhnya dikuasai oleh

(5)

Partisipasi masyarakat atau keterlibatan masyarakat yang berlaku universal adalah kerjasama seseorang ataupun suatu kelompok (masyarakat) secara aktif dalam berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung pada seluruh tahapan. Adapun tahapan dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan menurut Cohen dan Uphoff (1979) dapat dijabarkan sebagai berikut yaitu :

a. Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan. b. Tahap partisipasi dalam perencanaan pembangunan. c. Tahap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan.

d. Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan. e. Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan.

(6)

2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota. Tahap pelaksanaan juga seringkali diartikan sebagai tahap implementasi, bahwa pada tahap ini partisipasi tidak hanya bernilai sebuah tindakan nyata, namun dapat pula secara tidak langsung memberikan masukan untuk perbaikan program dan membantu melalui sumber daya. Tahap pelaksanaan partisipatif sangat berbeda dengan top down dan bottom up, namun partisipasi dapat berupa gabungan dari kedua pendekatan tersebut, seperti yang bekerja bukanlah hanya pihak perusahaan, namun bersama merumuskan kebutuhan kemudian membangun hal yang diperlukan. Seperti contoh pelaksanaan top down hanya mengikuti instruksi dari pihak tertentu baik instansi atau perusahaan

tanpa secara langsung mengikuti kebutuhan dari masyarakat sehingga banyak pelaksanaan pembangunan yang menjadi sia-sia dan tidak berkelanjutan.

(7)

kegiatan tersebut. Evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam cenderung lebih sesuai konteks dengan permulaan difasilitasi oleh orang luar. Apabila evaluasi dilakukan oleh pihak lain hal ini tentunya menunjukkan belum munculnya partisipasi dari masyarakat sendiri.

4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Pada tahapan ini masyarakat sudah mampu merasakan keberhasilan dari program yang telah mereka lakukan. Mereka juga dapat mengukur hasil yang mereka peroleh dengan potensi sendiri yang mereka miliki.

(8)

pembangunan dan pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat dan sekitarnya secara langsung.

2.2 Perencanaan Pembangunan Pariwisata

Kebijakan pariwisata memberikan filsafat dasar untuk pembangunan dan menentukan arah pengembangan pariwisata di destinasi tersebut untuk masa depan. Sebuah destinasi dapat dikatakan akan melakukan pengembangan wisata jika sebelumnya sudah ada aktivitas wisata. Dalam pelaksanaan pengembangan, perencanaan merupakan faktor yang perlu dilakukan dan dipertimbangkan. Menurut Inskeep (dalam Hidayat, 2011)terdapat beberapa pendekatan yang menjadi pertimbangan dalam melakukan perencanaan pariwisata, diantaranya:

1. Continous Incremental, and Flexible Approach, dimana perencanaan dilihat

sebagai proses yang akan terus berlangsung didasarkan pada kebutuhan dengan memonitor feed back yang ada.

2. System Approach, dimana pariwisata dipandang sebagai hubungan sistem dan

perlu direncanakan seperti dengan teknik analisa sistem.

3. Comprehensive Approach, berhubungan dengan pendekatan sistem diatas,

dimana semua aspek dari pengembangan pariwisata termasuk didalamnya institusi elemen dan lingkungan serta implikasi sosial ekonomi, sebagai pendekatan holistik.

4. Integrated Approach, berhubungan dengan pendekatan sistem dan

keseluruhan dimana pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai sistem dan keseluruhan dimana pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai sistem yang terintegrasi dalam seluruh rencana dan total bentuk pengembangan pada area.

5. Environmental and sustainable development approach, pariwisata

direncanakan, dikembangkan, dan dimanajemeni dalam cara dimana sumber daya alam dan budaya tidak mengalami penurunan kualitas dan diharapkan tetap dapat lestari sehingga analisa daya dukung lingkungan perlu diterapkan pada pendekatan ini.

6. Community Approach, pendekatan menekankan pada pentingnya

(9)

dalam pengembangan dan manajemen yang dilaksanakan dalam pariwisata dan manfaatnya terhadap sosial ekonomi.

7. Implementable Approach, kebijakan pengembangan pariwisata, rencana, dan

rekomendasi diformulasikan menjadi realistis dan dapat diterapkan, dengan tehnik yang digunakan adalah teknik implementasi termasuk pengembangan, program aksi atau strategi, khususnya dalam mengidentifikasi dan mengadopsi.

8. Application of systematic planning approach, pendekatan ini diaplikasikan

dalam perencanaan pariwisata berdasarkan logika dari aktivitas.

Godfrey & Clarke (113) menyatakan bahwa terdapat dua strategi untuk perencanaan pembangunan pariwisata, yaitu :

1. Goal

Goal berarti mengembangkan potensi pariwisata di daerah tertentu.Goals biasanya termasuk aspek-aspek seperti meningkatkan kepuasan pengunjung, diversifikasi pasar pariwisata, meningkatkan kontribusi pariwisata kepada ekonomi lokal, dan mengembangkan potensi pariwisata suatu daerah.

2. Objectives

Menentukan atraksi-atraksi baru yang dapat dikembangkan. Mendorong masyarakat untuk membangun penginapan/homestay. Objectives adalah lebih spesifik (khusus) dan berhubungan dengan tindakan-tindakan yang aktual. Objectives bertujuan untuk mengarahkan tindakan yang akan membantu mencapai goal-goal pembangunan. Jadi objectives harus lebih realistis, dapat diukur dan mampu dicapai dalam jangka waktu yang ditentukan.

Menurut Godfrey & Clarke “Goals and Objectives” yang realistis adalah inti untuk pengembangan pariwisata yang sukses.Tourism Action Steps menyangkut siapa, apa, dimana dan bagaimana yang menjelaskan bagaimana caranya goals and objectives akan dilaksanakan. Tindakan pariwisata menyatakan apa yang akan

(10)

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan kerangka dasar otonomi daerah yang salah satunya mengamanatkan pelaksanaan perencanaan pembangunan dari bawah secara partisipatif. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa menjabarkan lebih lanjut mengenai posisi desa dalam konteks otonomi daerah –termasuk kewajiban desa untuk membuat perencanaan dengan mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004

tersebut.

Payung hukum untuk pelaksanaan Musrenbang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang secara teknis pelaksanaannya diatur dengan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang yang diterbitkan setiap tahun. Untuk Musrenbang desa, kemudian diterbitkan Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Desa yang memuat petunjuk teknis penyelenggaraan Musrenbang untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) 5 tahunan dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) tahunan.

(11)

Pembangunan tidak akan bergerak maju apabila salah satu saja dari tiga komponen tata pemerintahan (pemerintah, masyarakat, swasta) tidak berperan atau berfungsi. Karena itu, Musrenbang juga merupakan forum pendidikan warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan.

2.3.1. Peserta Musrenbang Desa

Pelaksanaan Musrenbang desa sebaiknya diumumkan secara terbuka minimal 7 hari sebelum Hari-H sehingga warga masyarakat siapa pun dapat saja menghadirinya sebab forum ini adalah milik warga masyarakat desa.Komposisi peserta.Musrenbang desa akan lebih ideal apabila diikuti oleh berbagai komponen masyarakat (individu atau kelompok) yang terdiri atas:

a. Keterwakilan wilayah (dusun/kampung/RW/RT);

b. Keterwakilan berbagai sektor (ekonomi/pertanian/kesehatan/pendidikan/ lingkungan);

c. Keterwakilan kelompok usia (generasi muda dan generasi tua);

d. Keterwakilan kelompok sosial dan perempuan (tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, bapak-bapak, ibu-ibu, kelompok marjinal);

e. Keterwakilan 3 unsur tata pemerintahan (pemerintah desa, kalangan swasta/bisnis, masyarakat umum);

(12)

2.3.2 Mekanisme Musrembang Desa

Panduan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa menyebutkan bagaimana mekanisme Musrembang Desa sebagai berikut :

1. Pembukaan dan perumusan tata tertib Musrenbang: 30 menit. 2. Pemaparan dan diskusi panel narasumber: 75-90 menit.

3. Pemaparan dan pembahasan draft Rancangan Awal RKP Desa: 45 menit. 4. Penyepakatan prioritas kegiatan per urusan/bidang pembangunan: diskusi kelompok 60 menit dan pleno 60 - 90 menit.

5. Pemilihan Tim Delegasi desa: 30 menit.

6. Penandatangan berita acara Musrenbang desa dan penutupan: 15 - 30 menit.

2.4 Penelitian Terdahulu

penelitian yang dilakukan Bappeda Yogjakarta pada tahun 2007 di objek wisata Tamansari dan Prawirotaman mengatakan sudah ada inisiatif dari beberapa orang dan belum menjadi kekuatan komunitas yang terorganisir dengan baik. Multyplayer effect dari keberadaan Tamansari, masyarakat dan sekitarnya terdapat

(13)

dalam pengembangan kampung internasional tersebut. Bagi para pengelola, kampung Prawirotaman adalah ladang bisnis yang independent dari keterlibatan penduduk lokal. Penduduk lokal disisi lain, adalah bagian terpisah dari industri pariwisata yang berlangsung di kampung tersebut.

Akibatnya, para pengelola tidak berupaya melibatkan penduduk lokal dalam bisnis wisata mereka. Adapun model pengembangan pariwisata yang diinginkan oleh masyarakat yaitu model kampung budaya. Sebab masyarakat di sekitar Tamansari sudah memiliki potensi dan modal budaya (cultural capital) yang beragam seperti kerajinan batik tradisional, gejog lesung, wayang kulit, pandai besi dan lain-lain, maka ada beberapa metode yang perlu dilakukan, yakni pertama, menyadarkan masyarakat bahwa seluruh kegiatan pariwisata yang ada di Tamansari adalah wisata budaya (cultural tourism) lintas sektor. Kedua, mengidentifikasi batasan-batasan kegiatan pariwisata tradisional guna menyediakan pengalaman dan interaksi budaya yang lebih beragam dan berjangkauan luas. Ketiga, melakukan desain baru untuk memperbaiki yang sudah ada guna menciptakan pengalaman-pengalaman berpariwisata. Keempat, mengaitkan pengembangan wisata dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kelima, menciptakan suatu produk sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pariwisata. Keenam, menciptakan produk-produk wisata lain berbekal modal budaya untuk memperoleh kemandirian dan kesejahteraan ekonomi sendiri.

(14)

maker) untuk mengajak dan melibatkan masyarakat setempat dalam mengelola dan

Gambar

Tabel 1.2 Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arnstein

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur dan produktivitas rerumputan pada ketinggian yang berbeda di Kawasan Danau Toba Desa Haranggaol Kecamatan Haranggaol

KARAKTERISTIK USAHA SOUVENIR DI KAWASAN OBJEK WISATA DESA TOMOK KECAMATAN SIMANINDO..

Strategi pengembangan kawasan wisata Danau Toba yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Samosir dapat disimpulkan berhasil dilihat dengan

adalah kota wisata sebagai salah satu lokasi wisata Sumatera Utara yang terbesar. Kawasan Danau Toba merupakan ikon pariwisata Sumatera

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana respon masyarakat terhadap pembangunan

Untuk mengetahui perkembangan Bandara Silangit sebagai pendukung Pembangunan Danau Toba, dilakukan analisis terhadap fasilitasnya berdasarkan seberapa penting dan

yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Struktur dan Produktivitas Rerumputan di Kawasan Danau Toba Desa Haranggaol

Maka akan memberikan solusi berupa promosi dengan media yang mendukung perkenalan kawasan pariwisata Danau Toba sehingga wisatawan dari luar Sumatera Utara dapat mengetahui,