• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERTUMBUH DALAM JERUJI: STRESS-RELATED GROWTH NARAPIDANA YANG MENJADI TAHANAN PENDAMPING DI LAPAS KLAS IIB SLEMAN. Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BERTUMBUH DALAM JERUJI: STRESS-RELATED GROWTH NARAPIDANA YANG MENJADI TAHANAN PENDAMPING DI LAPAS KLAS IIB SLEMAN. Skripsi"

Copied!
435
0
0

Teks penuh

(1)

BERTUMBUH DALAM JERUJI: STRESS-RELATED GROWTH NARAPIDANA YANG MENJADI TAHANAN PENDAMPING DI LAPAS

KLAS IIB SLEMAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Yovita Giri Sekarsari

139114161

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2019

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

untuk Bapa yang senantiasa mengasihi anakNya,

untuk semua yang berjuang di balik tembok penjara,

untuk sosok yang membimbing dengan penuh cinta,

untuk orang-orang istimewa yang setia menunggu di rumah,

dan, untuk sepasang telinga yang selalu mendengar setiap cerita.

kasih tanpa syarat, kasih tanpa batas.. apa yang dari hati, akan sampai ke hati..

(5)

v

HALAMAN MOTTO

“Doesn’t matter how long it takes, How painful the changes,

How confused you are and how lonely it will be, This is the path of growing which you need to take.. Until one day..

You’ll look back and thank yourself for not giving up.” -Raranoormega

“When life gets you down,

do you wanna know what you’ve gotta do? Just keep swimming..”

-Dory, ‘Finding Nemo’

“Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang”

(6)
(7)

vii

BERTUMBUH DALAM JERUJI: STRESS-RELATED GROWTH NARAPIDANA YANG MENJADI TAHANAN PENDAMPING DI LAPAS

KLAS IIB SLEMAN Yovita Giri Sekarsari

ABSTRAK

Narapidana menjalani hukuman penjara agar dapat memperbaiki diri dan hidup wajar sebagai manusia seutuhnya. Banyak kajian menemukan mayoritas narapidana mengalami stres selama pemenjaraan. Stres dapat berdampak negatif dan positif. Penanganan stres yang tepat dapat berdampak positif menjadi pertumbuhan diri yang disebut stress-related growth (SRG). Penelitian tentang stres di penjara sering berfokus pada efek negatif sehingga potensi hasil positif dari stres terabaikan. Maka dari itu, penelitian ini ingin melihat stres dari sudut pandang positif. Penelitian ini bertujuan menggambarkan proses pembentukan stress-related growth tahanan pendamping di Lapas Klas IIB Sleman. Tahanan pendamping (tamping) adalah narapidana berkelakuan baik dan aktif yang dipilih petugas untuk membantu pembinaan. Jumlah informan sebanyak tiga orang tamping. Penelitian bertempat di Lapas Klas IIB Sleman, lapas dengan kepadatan berlebih di Yogyakarta. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner pendahulu dan dilanjutkan dengan wawancara semi-terstruktur. Metode penelitian menggunakan pendekatan fenomenologis deskriptif dan teknik analisis tematik. Hasil penelitian menemukan faktor yang berpengaruh memunculkan pertumbuhan adalah melihat hukuman sebagai teguran dan tantangan, sikap diri yang menerima; menyesal dan jera; bersyukur; melihat adanya kesempatan dan pilihan berubah; serta motivasi positif. Disertai dengan perilaku adaptif, usaha penyelesaian masalah, dan dukungan sosial. Informan mengalami pertumbuhan diri berupa: meningkatnya pengenalan dan penguasaan diri, ketahanan, kemandirian, kepedulian, cara pandang baru terhadap diri dan sesama, lebih menghargai keluarga, meningkatnya kedekatan relasi dengan Tuhan, perubahan makna dan orientasi hidup. Ditemukan pula temuan baru terkait pertumbuhan diri napi tamping yaitu meningkatnya kecakapan kerja.

Kata kunci : Stress-related growth (SRG), penjara, narapidana, tahanan pendamping

(8)

viii

GROWING IN THE BARS: STRESS-RELATED GROWTH AMONG INMATES WHO BECAME PRISONER ESCORT IN LAPAS KLAS IIB

SLEMAN Yovita Giri Sekarsari

ABSTRACT

Inmates undergo imprisonment to improve themselves and reasonable life as a whole person. Many studies found that most inmates experienced stress during imprisonment. Stress can have a positive and negative impact. If appropriately handled, distress can have a positive impact on self-growth called stress-related growth (SRG). Research on stress in prison often focuses on negative effects, so that the potential for positive results from distress neglected. Thus, this study would like to see the stress from a positive point of view. This study aims to describe the formation process of stress-related growth in prisoner escort in Lapas Klas IIB Sleman. Prisoner escort (tamping) is inmates who are well-behaved so the officers selected him to coach other inmates. Informants of this study are three people of tamping. The study took place at Lapas Klas IIB Sleman, the prison that always overcapacity in Yogyakarta. Data were obtained with the preliminary questionnaire and continued with the semi-structured interview. Research methods used the descriptive phenomenological approach and thematic analysis techniques. The emergence of positive growth affected by several factors such as see punishment as reprimand and challenges, acceptance, regret and deterrent, gratitude, see opportunities and choises to change, and positive motivation. Accompanied by adaptive behavior, positive coping, and social support. The form of self-growth such as: increased recognition and self-mastery, resilience, independence, caring, new perspectives on self and others, more respectful of the family, increased closeness relationship with God, change in meaning and orientation of life. This study also found new findings related to self-growth of prisoner escort is increasing working proficiency.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Dimana aku bisa menemukanMu? JawabNya: “Saat Aku di dalam penjara, engkau mengunjungi Aku” (Mat. 25:36). Masih teringat jelas memori pertama kali menginjakkan kaki di tempat yang ditakuti, dicibir, dan dipandang sebelah mata, ya.. penjara. Masuk ke dalam dunia kecil, yang sesekali riuh, sesekali sepi. Bertemu beragam karakter manusia –yang sudah lebih dulu ditakuti- dengan beragam tatapan mata pula. Membalas sapaan dengan menyunggingkan senyum kecil, yang kemudian segera tertunduk wajahnya. Perjumpaan ini tak disangka oleh penulis akan menghantarkan pada sebuah petualangan besar penuh makna, untuk lebih memahami diri dan sesama.

Pengalaman mendampingi dan memberi pelayanan rohani kepada warga binaan, memperlihatkan secara nyata suka duka menapaki hidup dalam usaha bangkit dari kejatuhan. Berdinamika bersama teman-teman warga binaan, membuat penulis menemukan fenomena dan merenungkan tentang stigma, arti kebaikan, juga perjuangan hingga akhirnya berani mengangkat topik ini untuk diteliti lebih dalam. Beragam cerita mewarnai jalannya penelitian ini, seperti banyaknya orang –termasuk yang belajar ilmu jiwa- heran dan bertanya “kamu penelitian di lapas, nggak ngeri? Eh disana isinya orang jahat, nggak takut mau ngobrol?” yang memperkuat bagaimana stigma penjara beserta isinya sudah melekat di masyarakat. Hal ini membuat penulis terusik dan berefleksi, mengapa sejak kecil hati selalu terpanggil untuk mendekati yang dihindari? Setidaknya, kesadaran akan panggilan ini berubah menjadi motivasi untuk tetap menulis dan menyelesaikan karya ini sebagai bentuk dukungan dan empati bagi mereka yang dijauhi.

Selama berproses dalam penelitian, penulis teramat bersyukur ditemani dan dilindungi dalam setiap musim kehidupan oleh Tuhan Yesus Kristus. Berkat kasih dan kuat kuasaNya, peneliti dimampukan untuk berjuang menyelesaikan karya tulis ini. Tak lupa pada Bunda Maria dan Santo Santa pelindung, yang senantiasa menyertai. Sebuah perjalanan panjang nan terjal, terkadang harus melawan diri sendiri, banyak kejutan di luar rencana sejak memilih topik

(11)

xi

penelitian hingga menuntaskan, yang menyadarkan betapa uniknya cara Tuhan untuk memproses hidup seseorang. Berkat karya tulis ini pula, penulis diingatkan untuk tetap mengandalkan Tuhan dalam setiap perjuangan kehidupan, untuk tidak menyerah dan terus berpengharapan padaNya.

Seperti dikutip dalam Filipi 1:6, “Ia yang memulai pekerjaan baik dan akan meneruskannya hingga akhir”, begitu pula tulisan ini dapat mencapai akhir berkat orang-orang yang dihadirkan Tuhan untuk mendukung dan membantu penulis. Dengan segenap kerendahan hati, penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya bagi dosen pembimbing terkasih, Ibu Dr. Maria Laksmi Anantasari, M.Si. Sosok istimewa yang dihadirkan Tuhan untuk menemani dan membimbing agar penulis semakin bertumbuh. Tidak hanya mengajarkan untuk mencari kebenaran dalam menulis, tetapi juga kebenaran dalam hidup. Sosok idola yang akan dirindukan, penuh kehangatan dan keceriaan, yang seringkali mengingatkan untuk senantiasa rendah hati, bersyukur, dan semeleh pada kehendak Tuhan. Terima kasih untuk segala cerita, cinta kasih, waktu dan tenaga, serta kesabaran untuk terus mendampingi dalam setiap keadaan. Terima kasih Ibu untuk segala kesempatan, kepercayaan, dan semangat yang diberikan. Selalu membesarkan hati dan menguatkan ketika penulis ingin menyerah. Penulis memohon maaf dengan sangat, untuk segala kesalahan maupun kekecewaan hati yang penulis perbuat. Matur nuwun sanget, Bu Ari.. hanya Tuhan yang mampu membalas. Kiranya Tuhan yang Maha Kasih senantiasa menyertai perjalanan hidup Ibu, Mbak Yati yang banyak berjasa pula, serta seluruh keluarga.

Teruntuk, Leonardus Edwin Gandawijaya. Bukti nyata dari kalimat “Tuhan memberi apa yang kita butuhkan, lebih dari yang dibayangkan”. Terima kasih sudah mau menerima seada-adanya, tetap setia hadir menemani dalam segala suasana. Untuk menjadi rumah kedua, yang memberi kehangatan dan ketenangan saat hidup berjalan tak sesuai harapan. Seolah dihadirkan Tuhan untuk menjadi penyeimbang. Selalu percaya dan mengajak penulis untuk menyelami dan melampaui diri, ya.. bertumbuh itu sendiri. Terima kasih atas kesabaran, semangat, dan contoh kegigihan, yang mendorong penulis untuk berjuang. Tak ada yang bisa menggambarkan, selain terima kasih dan rasa syukur tak terkira..

(12)

xii

Ucapan terima kasih berikutnya penulis haturkan pada kedua orang tua, yang menurunkan nilai berbagi dan cinta kasih pada sesama. Untuk Mama Ael, sosok yang senantiasa mengajarkan untuk mensyukuri setiap berkat kecil yang didapat. Mama sekaligus sahabat, yang selalu terbuka menerima dengan hangat. Dengan sabarnya menanti penulis untuk pulang, dan memberi pelukan dalam setiap jatuh bangun kehidupan. Terima kasih untuk segala dukungan, kepercayaan, dan lantunan doa yang menemani penulis dalam menapaki hidup. Terima kasih pula untuk Bapak Giri, donatur utama sepanjang studi. Terima kasih sudah mau berusaha merelakan dan menerima penulis, untuk lebih mendalami ilmu jiwa manusia. Tenang ya Pak, kita masih ada di track yang sama, berjuang dan melayani untuk kemanusiaan.

Penelitian ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan, bimbingan, dan dukungan dari banyak pihak. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk membantu penulis :

1. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M.Psi selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih untuk segala kesempatan, keterbukaan, dan keramahan yang sangat berarti bagi penulis.

2. Dosen Pembimbing Akademik.. Bapak Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si dengan gurauan khas beliau dan Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum, M. Psych, Ph.D dengan segala pengertian dan kepercayaan. Terima kasih selalu memotivasi penulis untuk semangat menyelesaikan studi.

3. Ibu Dr. Tjipto Susana, M. Si dan Ibu Dr. M. M. Nimas Eki Suprawati, M.Si., Psi selaku dosen penguji yang kritik sarannya sangat berguna bagi penelitian ini serta memberi banyak pandangan baru bagi penulis. Terima kasih banyak.. Tuhan Memberkati Bu Susan dan Bu Nimas..

4. Suster Lidwina Tri Ariastuti, FCJ dan Mbak Patricia Meta Puspitasari., M.Psi., Psikolog. Dua sosok inspiratif yang selalu mengingatkan untuk menemukan Tuhan dalam setiap perjumpaan dan mencintai apa yang dikerjakan. Terima kasih untuk pelajaran di dalam dan luar kelas, untuk semua diskusi menyenangkan, keterbukaan, dan sharing pengalaman.

(13)

xiii

5. Pak Gi dan Mas Muji, dua sosok penuh senyum yang mengajarkan ketulusan, kerendahan hati dan semangat sukacita bekerja melayani sesama. Bersyukur boleh mendapat senyum Pak Gi setiap pagi dan boleh menjadi anak buah Mas Muji di Laboratorium Psikologi.

6. Seluruh jajaran Dosen dan Karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma. Penulis sangat berterima kasih atas segala pelajaran, pengetahuan, bantuan dan banyak hal yang diberikan selama perkuliahan.

7. Kemenkumham Kanwil DIY, Kesbangpol DIY dan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Sleman. Penulis amat berterima kasih diizinkan dan banyak dibantu untuk melakukan penelitian. Terutama kepada Bu Hastuti, Pak Suradi, beserta seluruh staf administrasi Lapas Klas IIB Sleman. Terima kasih untuk segala bantuan, sambutan hangat, cerita juga candaan yang menemani sepanjang pengambilan data.

8. Teristimewa kepada BE, SA, dan SR. Tiga manusia tangguh yang bersedia berbagi cerita hidup kepada penulis. Penulis sangat bersyukur boleh dipertemukan, mendengar cerita, terlebih lagi mendapat suntikan semangat lewat inspirasi hidup yang diberikan. Semangat selalu! Tuhan menjagai dan menyertai setiap langkah hidup Mas dan Bapak sekalian.

9. Bagi yang dirindukan di rumah.. Ucup, Epin, Helen. Trio berisik usil tapi ngangenin, penyemangat untuk terus belajar dan kuat berjuang dalam hidup. Terima kasih untuk pengertian, kruntelan, juga candaan konyol pembawa sukacita. Terima kasih untuk Iik Nana dan Om Mimi yang tak kalah usilnya, tapi sungguh perhatian bagaikan orang tua kedua. Juga untuk Emak Engkong (alm), keluarga besar Tandyo Kuncoro, beserta Tante Like, Om Hans, dan Nico untuk semua bantuan dan dukungan doa. 10. Ibu Tatik dan seluruh anggota Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM)

Distrik Yogyakarta. Terutama teman-teman Sel Ignatius: Chilla, Rani, Rebecca, Yose, Raquel, Fely, Ko Edwin, Jefry. Terima kasih untuk kesempatan boleh bersama melayani di Lapas hingga bantuan untuk pengambilan data.

(14)

xiv

11. Christian Agung Pratomo, teman setia -dimana pun- sejak maba hingga studi selesai, yang selalu memberi perhatian dengan cara uniknya sendiri. Isabella Elga, si cantik kecil yang mudah terharu.. selalu percaya dan terus mendukung dari jauh. Sri Liasna, hadirnya sangat berkesan di akhir masa studi.. saling menghibur dan menguatkan. Terima kasih tak terhingga.. 12. Teman-teman bimbingan Bunda(d)Ari: Christian Pratomo, Alberta

Praswin, Aristhon David, Priscilla Nia, Benedicta Dhani, Redita, dan Lintang Nana. Para manusia hebat yang saling memberi energi positif satu sama lain. Penulis sangat bersyukur boleh mengenal dekat dan berjuang bersama. Tuhan Yesus menyertai setiap pilihan dan langkah hidup kalian.. 13. Cabe-Cabe: Anet, Clak, Vio, Bella, Lev, Gabby, Lia, Citra. Terima kasih

untuk semua kehebohan, kekonyolan, dan perhatian hangat bagi penulis yang seperti “tomat” di tengah kalian. Tuhan Yesus memberkati!

14. Semua teman-teman Psikologi Kelas A 2013 dan seluruh organisasi panitia, BEMF, DPMF, AKSI, Live-in, semuanya.. Terima kasih untuk semua pengalaman, pembelajaran, sukacita dan warna-warni perkuliahan yang membentuk serta membuat hidup penulis semakin bermakna.

15. Terakhir, kepada diri sendiri.. terima kasih ya Vi, untuk tidak menyerah dan berjuang hingga titik ini. Untuk belajar berdamai dengan diri sendiri dan berbesar hati menerima yang terjadi dalam hidup. Untuk bangun, berjalan, dan berlari lagi. Terus jaga nyala api.. tak apa sesekali redup, tapi ingat jangan padam ☺

Keterbatasan dan kekurangan yang peneliti lakukan dalam menyusun tulisan ini tentu tak bisa dipungkiri. Kritik, saran ataupun usaha untuk memperdalam pemahaman akan topik yang diteliti merupakan hal yang berarti bagi peneliti. Semoga tulisan yang belum sempurna ini boleh bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi serta menjadi berkat untuk membantu sesama. Terima kasih dan semangat bertumbuh.

Yogyakarta, 25 September 2019 Yovita Giri Sekarsari

(15)

xv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

DAFTAR GAMBAR ... xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 19

C. Tujuan Penelitian ... 19

D. Manfaat Penelitian ... 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 21

A. Stress-Related Growth ... 21

1. Pengertian stress dan stressor ... 21

2. Pengertian stress-related growth ... 22

3. Stress-related growth dan terminologi terkait ... 22

4. Dasar teori stress-related growth ... 25

5. Model pembentukan pertumbuhan ... 27

6. Aspek-aspek stress-related growth ... 30

(16)

xvi

B. Narapidana Tahanan Pendamping (Tamping) ... 34

1. Definisi narapidana ... 34

2. Definisi narapidana tamping ... 35

3. Syarat menjadi narapidana tamping ... 36

4. Tugas narapidana tamping ... 37

5. Kewajiban narapidana tamping ... 37

C. Lembaga Pemasyarakatan ... 38

1. Definisi sistem pemasyarakatan ... 38

2. Definisi lembaga pemasyarakatan ... 39

3. Lembaga pemasyarakatan Klas IIB Sleman ... 39

D. Narapidana yang menjadi tahanan pendamping ... 41

E. Stres pada narapidana yang menjadi tahanan pendamping ... 42

F. Stress-related growth narapidana yang menjadi tahanan pendamping (tamping) di Lapas Klas IIB Sleman ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

A. Strategi Penelitian ... 49

B. Pendekatan Fenomenologis Deskriptif ... 50

C. Fokus Penelitian ... 51

D. Informan Penelitian ... 51

E. Metode Pengumpulan Data ... 54

F. Prosedur Pengumpulan Data ... 55

G. Metode Analisis Data ... 56

H. Saturasi Data ... 59

I. Peran Peneliti ... 60

J. Kredibilitas Data ... 63

K. Pedoman Wawancara ... 64

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 65

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 65

1. Persiapan dan perizinan ... 65

2. Pelaksanaan penelitian ... 68

(17)

xvii

B. Informan Penelitian ... 72

1. Demografi informan ... 72

2. Latar belakang informan ... 72

a. Informan 1 ... 73

b. Informan 2 ... 74

c. Informan 3 ... 76

C. Hasil Penelitian ... 78

1. Hasil informan 1 (BE) ... 79

2. Hasil informan 2 (SA) ... 97

3. Hasil informan 3 (SR) ... 116

D. Hasil Kredibilitas Data ... 133

E. Analisis Data Penelitian ... 135

1. Beban persidangan ... 139

2. Pergulatan batin menjalani hukuman ... 142

3. Kehidupan keras penjara ... 146

4. Rintangan menjadi tamping ... 149

5. Hukuman penjara adalah teguran dan tantangan ... 153

6. Karakter pribadi pendorong pertumbuhan ... 154

7. Berproses dengan diri sendiri memunculkan dorongan internal untuk berubah ... 157

8. Beradaptasi dan berjuang menghadapi tantangan ... 170

9. Interaksi bersama orang terdekat menjadi dorongan eksternal untuk berubah ... 176

10. Bentuk pertumbuhan diri napi tamping ... 183

11. Kegunaan hasil pertumbuhan diri ... 214

F. Temuan Unik ... 219

G. Pembahasan ... 222

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 251

A. Kesimpulan ... 251

B. Keterbatasan Penelitian ... 254

(18)

xviii

1. Bagi narapidana ... 255

2. Bagi lembaga pemasyarakatan ... 255

3. Bagi keluarga ... 256

4. Bagi masyarakat ... 256

5. Bagi peneliti selanjutnya ... 258

DAFTAR PUSTAKA ... 260

(19)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint pedoman wawancara ... 64

Tabel 2. Pelaksanaan Penelitian ... 68

Tabel 3. Demografi Informan ... 72

Tabel 4. Hasil Kredibilitas Data Informan 1 ... 133

Tabel 5. Hasil Kredibilitas Data Informan 2 ... 134

Tabel 6. Hasil Kredibilitas Data Informan 3 ... 134

Tabel 7. Hasil Analisis Data ... 135

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Lembar Persetujuan (informed consent) ... 279

1. Lembar Persetujuan Informan 1 ... 279

2. Lembar Persetujuan Informan 2 ... 281

3. Lembar Persetujuan Informan 3 ... 283

Lampiran B. Data Penelitian ... 285

1. Kuesioner Penelitian Stress-Related Growth ... 285

2. Lembar Pernyataan Kesesuaian Hasil ... 295

a. Lembar Pernyataan Kesesuaian Informan 1 ... 295

b. Lembar Pernyataan Kesesuaian Informan 2 ... 296

c. Lembar Pernyataan Kesesuaian Informan 3 ... 297

Lampiran C. Analisis Data Penelitian ... 298

1. Verbatim dan Analisis Informan 1 ... 298

2. Coding Book ... 368

3. Clustering Informan 1 ... 393

4. Integrasi Ketiga Informan ... 406

Lampiran D. Surat Perizinan Penelitian ... 412

1. Surat Izin Fakultas Psikologi ... 412

2. Surat Izin Kesbangpol DIY ... 413

3. Surat Izin Kemenkumham Kanwil DIY ... 414

4. Surat Izin Lapas Klas IIB Sleman ... 415

(21)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model Skema Schaefer dan Moos (1992) ... 27 Gambar 2. Skema Alur Berpikir Penelitian SRG Napi Tamping ... 48 Gambar 3. Skema Hasil Penelitian SRG Napi Tamping ... 250

(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Saya awalnya seolah-olah belum percaya kalau kehidupan saya sekarang disini, dalam penjara.. seperti mimpi. Saya mengira hidup tidak akan terjadi apa-apa, terus.. ah yaa.... susah diungkapkan. Dalam hati bener-bener sakit.. apa yang saya cita-citakan, apa yang sudah saya kerjakan dan orang tua saya sudah support.. semua mimpi-mimpi saya itu hampir terwujud, tapi malah jadi seperti ini...” - BE, 31 tahun “Saya dulu tanya sama Tuhan.. "kenapa Tuhan harus saya seperti ini?" bertanya.. "kenapa Tuhan? Kalau Engkau baik, kenapa saya harus mengalami proses disini, kenapa tidak di luar?" Saya sebelumnya tidak pernah merasakan hidup di penjara, bahkan membayangkan penjara itu seperti apa saja.. tidak pernah..” - SA, 56 tahun Penggalan kisah hidup BE (31) dan SA (56) di atas sedikit mewakili beragam gejolak perasaan dan kekalutan pikiran para narapidana di dalam penjara. Hidup yang seketika berubah, impian dan rencana hidup sirna, julukan narapidana, dan dibayangi stigma.

Hukuman penjara sebagai harga mahal yang harus dibayar untuk menebus kesalahan, menjadi suatu transisi hidup luar biasa bagi narapidana. Para peneliti telah berupaya mengidentifikasi dan mencegah timbulnya masalah yang berhubungan dengan transisi kehidupan, salah satunya adalah munculnya kondisi stres (Schaefer & Moos, 1992). Hidup manusia seringkali tidak terlepas dari kondisi stres, baik itu stres ringan, sedang ataupun berat. Begitu pula dengan narapidana, kondisi stres dapat

(23)

mengubah fungsi fisiologis, emosi, kognitif dan perilaku selama mendekam dalam penjara (Nursanti, 2014).

Dikutip dari setara.net, World Prison Brief merilis informasi bahwa di tahun 2017 Indonesia menduduki peringkat 9 dari 10 negara dengan jumlah narapidana terbanyak di dunia. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM (“Yasonna Sebut Penghuni Lapas Bertambah”, 2018), peningkatan penghuni lapas di Indonesia rata-rata sebesar 22 ribu orang per tahun. Rinciannya, tahun 2017 jumlah penghuni lapas sebesar 232. 080, meningkat dibanding tahun 2016 yakni 204.549 orang dan tahun 2015 sebesar 173.572 orang. Pada akhir 2018, Harian Nasional Tempo (“Lembaga Pemasyarakatan Kelebihan Penghuni”, 2018) memberitakan selama satu tahun peningkatan jumlah narapidana semakin besar yakni 24.197 orang, sehingga total penghuni lapas sebanyak 256.273 orang di tahun 2018.

Peningkatan jumlah narapidana berbanding lurus dengan meningkatnya kasus kelebihan kapasitas lapas. Data Direktorat Jendral Pemasyarakatan per 30 April 2017 mencatat dari seluruh kanwil provinsi di Indonesia, sebanyak 27 wilayah mengalami kelebihan kapasitas (“Krisis Rutan dan Lapas di Indonesia”, 2017). Artinya, 82% kepadatan rutan dan lapas Indonesia berada dalam kondisi melebihi batas. Jumlah ini terus bertambah, Menteri Hukum dan HAM mengatakan kelebihan kapasitas lapas Indonesia membludak 203% di tahun 2018 (“Lembaga Pemasyarakatan Kelebihan Penghuni”, 2018). Salah satu diantaranya

(24)

terletak di lapas wilayah Yogyakarta, yakni Lapas Klas IIB Sleman atau Lapas Cebongan. Persentase kelebihan kapasitas di lapas ini mencapai 50-67% setiap bulannya. Angka tersebut sering meningkat karena dipengaruhi tingginya tindak kriminalitas dan kejahatan di Kabupaten Sleman (www.lapassleman.com). Akibat dari kondisi overcrowded ini adalah muncul kasus pelecehan seksual antar narapidana, kekerasan, serta masalah kesehatan karena sanitasi yang kurang baik dan minimnya jumlah tenaga medis (Widayati, 2012).

Coyle (dalam Gavin, 2014) mengatakan pemenjaraan terhadap narapidana utamanya dimaksudkan untuk memberi keadilan hukum pada pelaku kejahatan, melindungi masyarakat, mencegah potensi kriminal kejahatan, dan untuk mereformasi pelaku kejahatan supaya tidak melakukan penyerangan kembali. Selain itu, pidana penjara juga ditujukan untuk menjadi sarana perbaikan diri narapidana lewat sistem pemasyarakatan. Pasal 2 UU Pemasyarakatan Tahun 1995 menjelaskan, sistem pemasyarakatan dibuat untuk membentuk narapidana supaya menjadi manusia seutuhnya, dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi kesalahan sehingga nantinya mampu kembali ke masyarakat untuk hidup baik, wajar, dan bertanggung jawab.

Tujuan sistem peradilan dan pemasyarakatan dalam hukuman penjara ternyata tidak sepenuhnya berjalan kondusif, tetapi justru membawa efek psikologis yang belum tentu positif (Gavin, 2014). Efek psikologis pemenjaraan berhubungan dengan keadaan fisik dan mental,

(25)

yang dapat berujung pada munculnya kondisi stres narapidana (Nursanti, 2014). Menjalani hidup sebagai narapidana di lembaga pemasyarakatan merupakan kondisi stres yang tidak diinginkan (undesirable stress), stres berat yang juga membutuhkan penyesuaian diri yang berat pula (Nursanti, 2014). Narapidana harus menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan fisik dan sosial penjara. Lingkungan fisik adalah seluruh benda mati yang berupa bangunan penjara, pagar penjara dan ruangan sel. Sedangkan lingkungan sosial yakni teman sel, sipir, tim medis penjara, juru masak, tukang kebun, dan rohaniawan (Siswati & Abdurrohim, 2009).

Kehidupan seorang narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan sangat jauh berbeda dengan masyarakat bebas. Lestari (2009) mengungkapkan banyak keterbatasan yang dirasakan, karena segala kegiatan dibatasi dan diatur sedemikian rupa sehingga narapidana mengalami penderitaan akibat kehilangan kemerdekaannya. Menurut Gresham M’Cready Sykes (2007), pidana penjara bersifat Long and Painfull yang berarti lama dan menyakitkan. Rasa sakit akibat pemenjaraan ini timbul karena dirampasnya lima kebutuhan mendasar narapidana yakni kehilangan kemerdekaan (loss of liberty) karena ruang gerak dibatasi dan terisolasi, kehilangan hak kepemilikan barang dan pelayanan (loss of good and services), kehilangan hubungan heteroseksual (loss of heterosexual relationships) yakni tidak adanya hubungan seksual biologis, kehilangan hak mengatur diri sendiri (loss of autonomy), serta

(26)

kehilangan rasa aman (loss of security) karena harus berkumpul dengan semua pelaku kejahatan dan rawan terjadi kekerasan.

Perubahan hidup menjadi narapidana ini merupakan stressor kehidupan yang berat. Proses persidangan, vonis hukuman, rasa malu dan bersalah, sanksi ekonomi dan sosial menjadi stressor yang dapat memperburuk kondisi psikologis narapidana (Mukhlis, 2011). Label narapidana sebagai “penjahat” pun menjadi sanksi sosial yang terus melekat dalam dirinya dan dapat berpengaruh pada kepribadian (Yulia, 2008). Persepsi negatif masyarakat menjadikan narapidana membangun persepsi buruk atas diri mereka, sehingga kepercayaan diri hilang dan muncul kecemasan menghadapi penerimaan masyarakat setelah bebas (Kartono, 2011). Waktu pemenjaraan yang lama juga menjadi tekanan batin yang memunculkan rasa rendah diri, kecenderungan autistik dan usaha melarikan diri dari realitas traumatik (Kartono, 2011).

Rininta (dalam Nursanti, 2014) menjelaskan segala tekanan yang dialami narapidana di dalam penjara dapat menyebabkan penyakit fisik maupun psikis, seperti sering melamun, mudah tersinggung dan menyerang orang lain, bahkan bunuh diri. Hal ini sesuai dengan temuan Dye (dalam Gavin, 2014) bahwa hukuman penjara secara tidak disengaja menimbulkan efek negatif, seperti meningkatnya penyalahgunaan zat adiktif, masalah kesehatan fisik dan mental, serta lebih tingginya potensi bunuh diri. Butler, Allnut, Cain, Owens, dan Muller (2005) mengungkapkan, survei kesehatan mental di penjara menemukan bahwa

(27)

banyak narapidana mengalami gangguan psikologis seperti penyakit psikotik, cemas, stres, depresi ringan hingga berat, bahkan gangguan kepribadian. Temuan ini didukung penelitian Rias (2007) yang menemukan terdapat 345 narapidana memperlihatkan kondisi stres. Sebanyak 5,5 % narapidana ingin melukai diri sendiri bahkan ingin bunuh diri. Mereka mengalami gangguan fisiologis, kognitif, dan perilaku.

Secara umum, beragam studi terdahulu mengenai perubahan hidup yang penuh tekanan seringkali hanya berfokus pada efek negatif stres seperti penyakit fisik dan mental (Dolbier, Jaggars, & Steinhardt, 2010). Fokus yang hanya satu sisi pada dampak negatif stres mengakibatkan potensi hasil positif dari stres terabaikan (Siegel & Schrimshaw, 2000). Menyadari masalah tersebut, baru-baru ini para peneliti menyerukan perubahan paradigma mendasar pada kesehatan mental, sehingga konsekuensi positif dan negatif dari stres lebih diselidiki (Siegel & Schrimshaw, 2000). Diprakarsai oleh Martin Seligman, psikologi positif memandang bahwa peristiwa penuh tekanan seperti penyakit kronis, korban peperangan, bencana alam, kondisi disabilitas juga memiliki aspek perubahan positif (Linley & Joseph, 2004). Artinya, setiap krisis hidup yang penuh tekanan tidak selalu berdampak negatif, namun juga dapat memberikan perubahan positif bagi individu yang mengalaminya.

Caplan (dalam Park, Lawrence, & Renee, 1996) mengatakan, krisis hidup yang penuh tekanan merupakan turning point atau titik balik dalam transformasi kehidupan, yang berpeluang besar untuk membawa

(28)

perubahan positif. Perubahan positif ini muncul karena individu berpotensi untuk tumbuh dari pengalaman negatif sebelumnya. Schaefer dan Moos (1992) juga menyatakan, krisis hidup dipandang sebagai “konfrontasi konstruktif” yang memacu pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut, O’Leary dan Ickovics (dalam Tedeschi, Park, & Calhoun, 1998) mengungkapkan bahwa selama menghadapi krisis hidup, individu tidak hanya berpeluang positif untuk bertahan dan pulih, melainkan juga berpotensi mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan ini mengarah pada kemampuan individu melampaui keaslian fungsi psikososial diri dan menjadikannya pribadi yang lebih berkembang.

Kehidupan narapidana selama dihukum dalam penjara mendukung berbagai pernyataan yang telah dipaparkan di atas, bahwa perubahan positif dapat terjadi saat mengalami krisis hidup yang penuh tekanan. Hal ini didukung Tomar (2013) yang mengatakan karena banyaknya dampak negatif akibat pemenjaraan, maka masuk akal bahwa narapidana juga berkesempatan besar untuk mengalami dampak positif. Ternyata hal ini pun benar ditemukan dalam penjara, segala tekanan yang dialami dalam penjara tidak selalu berdampak negatif. Faktanya, terdapat sebagian narapidana yang mampu berjuang menghadapi bermacam tekanan tersebut dan berhasil terpilih menjadi tahanan pendamping yang dipercaya petugas untuk membantu mengkoordinasi sesama narapidana serta membantu program pembinaan.

(29)

Narapidana sendiri merupakan terpidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di dalam lapas (Pasal 1 ayat 7 UU Pemasyarakatan tahun 1995). Narapidana cenderung merespon stres secara negatif sehingga sering melamun, cemas bahkan depresi. Namun, beberapa narapidana melakukan kegiatan produktif, menjalin relasi dengan sipir dan narapidana lain, serta memberi motivasi bagi sesama napi di lapas (Rinaldi, 2015). Orang-orang ini biasa dinamakan tahanan pendamping atau disebut narapidana tamping. Tamping sendiri merupakan narapidana yang berkelakuan baik, memiliki kematangan diri dalam menjalani proses pemasyarakatan, dan bukanlah residivis (Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 7 Tahun 2013).

Tamping diangkat oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan atas rekomendasi dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (Permenkumham No. 7 Tahun 2013). Jumlah penghuni lapas yang terus meningkat tidak sebanding dengan jumlah sipir yang terbatas, menjadi fakta lapangan yang memperkuat alasan diangkatnya tamping. Narapidana tamping memiliki kewajiban lain di luar kewajibannya sebagai seorang narapidana biasa. Harus menjadi teladan bagi narapidana lain, melakukan kegiatan sesuai tanggung jawab, menjaga kerukunan dalam lapas, menghindari konflik antar narapidana, serta taat dan hormat pada petugas (Permenkumham No. 7 Tahun 2013, No. 9 Tahun 2019).

(30)

Pemaparan tentang narapidana tamping di atas menggambarkan bahwa napi tamping memiliki peran rangkap. Peran sebagai warga binaan, serta peran menjadi narapidana yang membantu petugas dan ikut bertanggung jawab menjaga kerukunan dalam lapas. Permenkumham (2013, 2019) menyebutkan, menjadi seorang tamping berarti harus mampu menjadi teladan baik dan memotivasi narapidana lainnya, meskipun besar kemungkinan napi tamping mengalami tekanan dan kesulitan yang sama akibat pemenjaraan.

Penelitian Taku, Prioleau, Anderson, Takeguchi, Sekine, Maeda, Yabe, Yanagisawa, dan Katz (2018) dan Skuladottir (2016) menyimpulkan, individu yang memiliki dua peran sebagai orang yang membantu meski dirinya sendiri sedang berada dalam kondisi sulit dan penuh tekanan dapat mengalami pertumbuhan diri dan penting untuk diteliti. Hal ini dikarenakan menurut kedua penelitian, individu dengan karakteristik ini mudah terpapar berbagai macam situasi, rentan mengalami stres, rasa tidak aman, dan harus sigap mengatasi keadaan. Di sisi lain, individu tersebut harus mampu mengubah dan mengolah tekanan kondisi yang negatif menjadi positif untuk tetap membantu sesamanya. Penjelasan dan karakteristik individu yang diungkapkan oleh Taku et al. (2018) dan Skuladottir (2016) sesuai dengan peran yang sedang dijalankan oleh napi tamping.

Kembali ditegaskan Taku et al. (2018) dan Skuladottir (2016), individu dengan karakteristik peran rangkap seperti napi tamping

(31)

berpeluang besar mengalami pertumbuhan diri. Akan tetapi, para peneliti ini mengungkapkan bahwa penelitian tentang pertumbuhan diri yang berfokus pada individu dengan karakteristik ini masih jarang dilakukan dan perlu diperdalam. Seiring dengan hal tersebut, muncul pula beberapa pertanyaan menarik terkait napi tamping yang belum banyak dieksplorasi. Bagaimana proses pertumbuhan diri napi tamping? Bagaimana napi tamping mengubah hal-hal negatif penjara menjadi positif untuk membantu dan memotivasi sesama narapidana? Hal apa saja yang memengaruhi napi tamping sehingga cenderung lebih bisa bertumbuh daripada napi lain? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan digali dalam penelitian ini.

Vaughn (2009) mengatakan, perubahan positif atau manfaat pertumbuhan yang didapat saat individu mengalami peristiwa yang penuh tekanan disebut dengan istilah stress-related growth. Tedeschi dan Calhoun (2004) menyatakan, stress-related growth mengindikasikan bahwa individu dapat mengalami perubahan positif bukan hanya setelah selesai melewati peristiwa negatif, melainkan juga saat masih berjuang mengatasi tekanan hidup yang menegangkan. Siegel dan Schrimshaw (2000) memaparkan, terdapat beragam istilah mengenai perubahan positif yang berkaitan dengan peristiwa negatif, diantaranya stress-related growth (Park, Cohen, & Murch, 1996), adversarial growth (Linley & Joseph, 2004), benefit finding (Affleck & Tennen, 1996), thriving (O’Leary & Ickovics, 1995), dan posttraumatic growth (Tedeschi & Calhoun, 1998).

(32)

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan terminologi stress-related growth (SRG) dikarenakan SRG mencakup perubahan positif atau pertumbuhan dari tekanan hidup berupa kesulitan sehari-hari dan dengan tingkat stressor atau kerumitan yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan kondisi narapidana tamping, dimana setiap hari masih harus berjuang menghadapi tekanan hidup dalam penjara serta tugasnya sebagai tamping. Pernyataan ini didukung oleh Aldwin (2007), bahwa individu dapat bertumbuh dari peristiwa hidup penuh tekanan yang dihadapi sehari-hari. Selain itu, Aldwin (2007) juga menjelaskan, individu yang membantu orang lain dalam menghadapi krisis hidup juga dapat mengalami stress-related growth. Hal ini pun selaras dengan tamping, dimana tidak hanya membantu petugas tetapi juga memotivasi dan membantu sesama narapidana untuk bertahan hidup dalam penjara.

Menurut Park, Cohen, dan Murch (1996), stress-related growth memiliki tiga aspek perubahan, yaitu meningkatnya sumber daya pribadi, relasi sosial, dan perubahan filosofi kehidupan. Schaefer dan Moos (dalam Park et al., 1996) menjelaskan stress-related growth dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, kepribadian individu seperti watak dan sifat serta lingkungan yang meliputi orang terdekat dan kondisi tempat tinggal. Kedua, bentuk krisis hidup yang dialami seperti berapa lama krisis terjadi dan seberapa besar keparahannya. Ketiga, perilaku mengatasi masalah yakni sejauh apa individu mampu menilai dan menerima krisis hidup yang dialami.

(33)

Stress-related growth (SRG) sendiri mulai cukup banyak diteliti dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian SRG cukup berkembang di negara barat dan telah dilakukan pada beberapa macam populasi diantaranya, pada penderita HIV/AIDS (Siegel & Schrimshaw, 2000), atlet cedera olahraga (Salim, Wadey, & Diss, 2015) remaja dengan ras / etnis minoritas (Vaughn, Roesch, & Aldridge, 2009), Lesbian Gay dan Biseksual (LGB) (Cox, Dewaele, Houtte, & Vincke, 2010). Penelitian SRG paling banyak dilakukan menggunakan metode kuantitatif seperti pada penelitian Vaughn et al. (2009) serta Cox et al. (2010) dengan menyebarkan skala. Hasil studi kuantitatif SRG ini lebih cenderung pada mengevaluasi dan merevisi skala SRG supaya dapat digunakan pada populasi subjek yang minoritas.

Penelitian SRG Siegel dan Schrimshaw (2000) serta Salim et al. (2015) menunjukkan hasil pertumbuhan bahwa individu yang menderita sakit cenderung mengalami peningkatan kekuatan diri menghadapi penyakit dan rasa empati terutama pada sesama penderita sakit. Penelitian Vaughn et al. (2009) menemukan remaja etnis minoritas memiliki pertumbuhan relasi sosial dimana lebih terbuka dan lebih mudah mengekspresikan kondisi emosinya. Cox et al. (2010) menemukan jika populasi LGB mengalami pertumbuhan diri yakni lebih menghargai orang lain terutama dalam hal seksualitas.

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa dengan proses SRG yang relatif sama, memunculkan hasil pertumbuhan yang berbeda sesuai

(34)

konteksnya. Menurut Park dan Fenster (2004) hal ini terjadi karena dimensi dalam SRG membentuk konfigurasi unik dalam setiap kasusnya. Maka dari itu, sangat mungkin muncul hasil SRG yang berbeda pula pada napi tamping yang berada dalam konteks hilang kemerdekaan akibat pemenjaraan dan harus menjalankan peran rangkap. Linley dan Joseph (2004) pun mendukung pentingnya dilakukan penelitian SRG sesuai dengan keunikan konteksnya.

Di Indonesia sendiri, penelitian tentang SRG sudah pernah dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Namun, SRG umumnya masih banyak diteliti dengan metode kuantitatif dan dikaitkan dengan variabel lain seperti optimisme, religiusitas, strategi coping, dukungan sosial (Aqilah, 2015; Aktarianti, 2017; Sakinah, 2016; Kusuma, 2015). Penelitian-penelitian ini menunjukkan hasil serupa bahwa variabel optimisme, religiusitas, coping dan dukungan sosial memiliki hubungan yang positif dengan stress-related growth. Hasil pertumbuhan dan perubahan dalam SRG ini akan semakin baik jika diiringi dengan rasa optimisme yang tinggi, ketaatan ibadah, penyelesaian masalah yang baik, serta banyak mendapat dukungan sosial.

Penelitian stress-related growth (SRG) secara kualitatif saat ini banyak digiatkan oleh para peneliti di Yogyakarta. Beberapa penelitian kualitatif SRG yang pernah dilakukan antara lain SRG pada anak broken home (Faizah, 2018) dan determinan SRG ibu dari anak penyandang autisme (Anantasari, 2018). Kedua penelitian ini memotret dinamika

(35)

terjadinya SRG pada masing-masing kasus yang diteliti. Terlebih lagi, Anantasari (2018) memvalidasi determinan yang berpengaruh pada SRG ibu dari anak penyandang autisme dengan studi kombinasi kuantitatif. Faizah (2018) menemukan bahwa SRG berdampak positif membawa anak broken home untuk mengaktualisasikan diri. Sedangkan Anantasari (2018) menemukan variabel ketangguhan, self-compassion, dan dukungan sosial berpengaruh langsung terhadap SRG ibu dari anak autisme. Tak hanya itu, ada pula temuan bentuk pertumbuhan diri ibu dari anak autisme, pertumbuhan keluarga, refleksi arti kehadiran anak dengan autisme, serta pemanfaatan pertumbuhan diri.

Penelitian psikologi tentang tamping yang pernah dilakukan di Indonesia umumnya meneliti sisi psikologis tamping dari segi kesejahteraan psikologis. Penelitian tersebut dilakukan oleh Maulana dan Handayani (2014) serta Rinaldi (2015) dengan variabel yang sama yakni psychological well-being, perbedaannya adalah pada letak lapas yakni di kota Jember dan di kota Bandung, serta pada kategori napi yakni napi biasa dan napi narkoba. Kedua penelitian tersebut menemukan, selama menjadi tamping para narapidana belajar untuk berkomunikasi dan menjalin relasi terkait tugasnya membantu pembinaan. Penelitian lain tentang tamping di Indonesia dilakukan oleh peneliti dari cabang ilmu sosiatri. Penelitian Isnawati (2014) merujuk pada peran tamping dalam pembinaan dan penelitian Kurniawati (2014) melihat tentang upaya

(36)

tamping membantu petugas pembinaan. Secara umum, kedua penelitian ini sama-sama meneliti kinerja tamping dalam membantu petugas.

Terdapat defisiensi dari beberapa penelitian sebelumnya terkait topik stress-related growth (SRG). Jika dilihat dari segi variabel, topik tentang stress-related growth seringkali masih dikaitkan dengan variabel lain. Terutama di Indonesia, penelitian terdahulu seringkali hanya berfokus pada hubungan antara stress-related growth dengan aspek psikologis lain dan kurang mengeksplorasi proses pembentukan stress-related growth dari setiap keunikan kasus subjek yang diteliti. Dari segi subjek, penelitian yang khusus meneliti tentang stress-related growth pada narapidana tamping belum pernah ada sebelumnya. Khususnya dengan stressor napi tamping yang mengalami hilang kemerdekaan karena pemenjaraan dan masih harus menjalani peran rangkap.

Pada penelitian psychological well-being (PWB) tamping yang pernah dilakukan sebelumnya, growth yang merupakan salah satu dimensi penting PWB banyak diteliti secara kuantitatif dan masih kurang dieksplorasi. Padahal secara teoretis, growth membantu pemenuhan kesejahteraan psikologis dan realisasi potensi individu (eudaimonic well-being) yang dalam hal ini adalah napi tamping (Ryff & Singer, 2008). Kemudian secara praktis, growth terkandung dalam tujuan utama proses pemasyarakatan yakni agar narapidana mengalami perubahan dan perbaikan diri yang positif melalui pembinaan.

(37)

Berdasarkan pemaparan defisiensi di atas, maka peneliti secara khusus akan mengeksplorasi bagaimana proses pembentukan dan hasil stress-related growth (SRG) yang dialami narapidana tamping. Penelitian ini tak hanya mengungkap hasil pertumbuhan dari SRG saja, tetapi juga melihat proses terbentuknya SRG pada para narapidana tamping. Hal ini turut berangkat dari celah penelitian bahwa teori pertumbuhan yang ada masih menuai kritik dan perdebatan terkait proses dan keterkaitan hasilnya (Schaefer & Moos, 1992; Park & Fenster, 2004; Zoellner &Maercker, 2006; Park & Helgeson, 2006) yang selengkapnya dipaparkan dalam bab berikutnya (halaman 28). Ditambah saran ahli bahwa studi tentang proses pertumbuhan masih diperlukan, mengingat tahapan terjadinya pertumbuhan seringkali masih sulit dipahami (Park & Helgeson, 2006). Dengan melihat proses pertumbuhan diri ini pula, diharapkan dapat ditemukan faktor-faktor penunjang pertumbuhan yang dapat berguna bagi pelaksanaan pembinaan. Terutama bagi napi tamping agar semakin maksimal dalam menjalankan tugasnya.

Penelitian tentang stress-related growth pada tamping ini penting untuk dilakukan karena pertumbuhan meningkatkan keberfungsian diri. Carver (1998) mengatakan, pertumbuhan psikologis bukan hanya berguna untuk mengatasi peristiwa negatif saat ini, tetapi juga di waktu mendatang. Pertumbuhan psikologis dapat menurunkan reaktivitas negatif terhadap stressor berikutnya, membantu pemulihan diri yang lebih cepat saat menghadapai stressor berikutnya, serta meningkatkan keberfungsian diri

(38)

yang melampaui kemampuan diri yang sudah ada. Carver (1998) juga menyatakan, pertumbuhan merupakan sisi tertinggi dari pengalaman manusia, menghasilkan suatu hal baik dari sesuatu yang buruk. Jika individu yang dalam studi ini adalah tamping bertumbuh, maka ia akan lebih optimal dalam memotivasi dan menjadi teladan bagi narapidana lain. Selain itu, tamping pun juga akan lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi peristiwa negatif di masa mendatang.

Penelitian ini dilakukan di Lapas Klas IIB Sleman yang paling mengalami kepadatan berlebih di Yogyakarta. Berdasarkan wawancara pendahulu dengan salah satu petugas dan dua orang napi, disebutkan bahwa kelebihan kapasitas menimbulkan perkelahian akibat adanya gesekan antar napi dan masalah kesehatan karena buruknya sanitasi. Perkelahian ini tidak hanya terjadi karena masalah pribadi atau adanya pengkastaan antar napi, tetapi juga karena terbatasnya ruang gerak yang memancing emosi negatif. Bahkan sempat terjadi tahanan kabur dari lapas

(

“Penyebab Kaburnya Lima Tahanan Cebongan”, 2018) karena kondisi berlebihnya kapasitas. Kepadatan berlebih ini menjadi stressor yang lebih besar bagi informan, namun berdasar temuan penelitian level stressor yang lebih tinggi ini justru meningkatkan adanya SRG (Armeli, 2001). Hal ini dikarenakan stressor yang tinggi semakin menantang informan untuk lebih terampil dalam mengatasi masalah dan lebih adaptif (Park, 2004). Dengan demikian, Lapas Klas IIB Sleman memungkinkan untuk menjadi tempat dilakukannya penelitian dengan topik stress-related growth.

(39)

Kebaruan penelitian ini terletak pada informan dan metode yang dipilih. Penelitian tentang pertumbuhan dalam konteks narapidana atau penjara termasuk lingkup baru. Studi kualitatif yang membahas masalah dalam konteks populasi ini juga tidak terlalu banyak. Metode kualitatif yang dipakai juga berbeda dengan studi SRG terdahulu yang banyak berkembang dengan metode kuantitatif. Penelitian dengan topik stress-related growth pada narapidana tamping belum pernah diteliti di Indonesia, terutama yang merujuk pada proses pembentukan dan hasil SRG. Lewat eksplorasi proses pembentukan SRG, penelitian ini juga berusaha untuk memberikan kontribusi yang berguna bagi peningkatan pelaksanan program pembinaan di lapas melalui faktor-faktor dan hal-hal penunjang pertumbuhan yang akan diteliti lebih dalam.

Informan penelitian ini adalah tiga orang tamping berusia 25 tahun ke atas, minimal telah menjalani satu tahun vonis sebagai napi biasa, dan telah bertugas satu tahun sebagai napi tamping. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan desain fenomenologi deskriptif agar dapat memotret fenomena yang terjadi secara menyeluruh. Penelitian dilakukan dengan memberikan kuisioner SRG singkat sebagai pendahulu dan melakukan wawancara semi-terstruktur untuk memperoleh pemahaman baru terkait pengalaman yang dialami oleh informan.

(40)

B. Rumusan Masalah

Bagaimana proses dan bentuk hasil stress-related growth pada narapidana yang menjadi tahanan pendamping (tamping) di Lapas Klas IIB Sleman?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembentukan dan hasil stress-related growth narapidana yang menjadi tahanan pendamping (tamping) di Lapas Klas IIB Sleman.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang perjuangan narapidana untuk berubah lewat hukuman penjara. Serta memberi sumbangan yang berguna untuk memperkaya khasanah ilmu psikologi, terutama psikologi klinis, psikologi positif dan psikologi sosial berupa kajian mengenai proses pembentukan dan hasil stress-related growth pada narapidana yang diangkat menjadi tamping. 2. Manfaat praktis

a. Bagi pemerintah dan pihak lembaga pemasyarakatan, penelitian ini diharapkan dapat berguna menjadi salah satu sumber acuan untuk meningkatkan usaha pendampingan dan pelaksanaan pembinaan bagi para warga binaan khususnya di Lapas Klas IIB Sleman. Hal ini dikarenakan supaya cita-cita dan tujuan dari sistem

(41)

pemasyarakatan untuk mengubah warga binaan menjadi lebih positif saat kembali ke masyarakat dapat tercapai.

b. Bagi masyarakat, diharapkan melalui penelitian ini masyarakat dapat memiliki cara pandang baru dan terbuka terhadap narapidana. Lebih lanjut diharapkan masyarakat dapat memberi dukungan, penerimaan positif, dan meminimalisir stigma negatif pada narapidana.

c. Bagi para praktisi psikologi maupun komunitas peduli lapas, diharapkan pula hasil penelitian ini dapat membantu untuk menyusun kiat-kiat peningkatan pertumbuhan diri yang berguna bagi pembinaan maupun program intervensi.

d. Bagi para warga binaan, penelitian ini diharapkan dapat berguna menjadi sarana refleksi untuk lebih memaknai pengalaman hidup di lembaga pemasyarakatan secara positif. Untuk menyadari dan belajar dari kesalahan, berbenah dan bangkit dari keterpurukan, serta untuk menjadikan ketertekanan di lapas sebagai pendorong positif menuju pertumbuhan diri.

(42)

21 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stress-Related Growth 1. Pengertian stress dan stressor

Hidup keseharian manusia berkaitan erat dengan yang disebut stres. Seringkali stres didefinisikan sebagai stimulus, respon, atau interaksi antara individu dengan situasi yang dianggap melebihi sumber dayanya (Lazarus & Folkman, 1984). Bicara tentang stres, pastilah tidak terlepas dengan istilah stressor. Kata stressor merujuk pada suatu penyebab, dapat berupa tuntutan dari lingkungan; sosial; biologis; atau psikologis yang mengharuskan individu untuk menyesuaikan diri. Sedangkan stress merujuk pada efek dari stressor (Sahagun, 2019; Harrington, 2012). Lebih jauh, stres merupakan sekumpulan reaksi kognitif; emosional; fisiologis; dan perilaku dari individu ketika berhadapan dengan pengalaman yang dipandang mengancam atau menantang (Harrington, 2012).

Stres diibaratkan dua sisi mata uang, memiliki sisi baik dan buruk. Stres yang berdampak positif disebut eustress dan yang berdampak negatif disebut distress (Harrington, 2012). Ketika seseorang mengalami eustress, maka muncul peningkatan kinerja dan kesehatan. Sebaliknya, ketika mengalami distress dapat menimbulkan penurunan kinerja, kesehatan, dan hubungan sosial (Lumban Gaol, 2016).

(43)

2. Pengertian stress-related growth

Dipaparkan sebelumnya bahwa stres tak hanya berdampak negatif, tetapi juga memiliki potensi hasil positif. Hal ini sejalan dengan kajian psikologi positif tentang terminologi baru yang muncul dengan istilah stress-related growth (SRG). Kesimci, Goral, dan Gencoz (2005) mengemukakan bahwa stress-related growth (SRG) merupakan perubahan positif yang mengikuti pengalaman selama menjalani peristiwa hidup yang penuh tekanan. Park, Cohen, dan Murch (1996) mengatakan bahwa stress-related growth merupakan keadaan dimana seseorang dapat mengalami perubahan positif di dalam perjuangannya menghadapi peristiwa atau keadaan hidup yang penuh tekanan.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa stress-related growth merupakan perubahan positif yang dialami individu seiring dengan perjuangannya menghadapi peristiwa atau pengalaman hidup yang penuh tekanan.

3. Stress-related growth dan terminologi terkait

Terminologi stress-related growth (SRG) sering dihubungkan atau dianggap sama dengan posttraumatic growth (PTG), resiliensi, maupun coping. SRG kerapkali disebut dengan posttraumatic growth, akan tetapi konsep keduanya berbeda. Posttraumatic growth (PTG) merupakan perubahan positif yang terjadi akibat peristiwa seismic yang mengguncang skema asumsi

(44)

kognitif pre-trauma individu (Tedeschi & Calhoun, 2004). Stressor PTG merupakan kejadian traumatis yang terjadi secara singkat dan signifikan serta memunculkan proses perubahan yang bersifat transformasional (Aldwin & Werner, 2007).

Pada konsep stress-related growth, stressor merujuk pada kejadian menekan apapun baik itu akut; kronis; maupun ketegangan sehari-hari (Aldwin & Werner, 2007). Ketiga tipe stressor ini tidak dapat dipisahkan, saling terkait dan memengaruhi satu sama lain. Kejadian akut dapat menimbulkan ketegangan kronis yang kemudian menetap menjadi ketegangan sehari-hari, begitupun sebaliknya (Carr & Umberson, 2013). Pada konteks ini, stress-related growth dapat mewadahi stressor secara lebih luas (Sahagun, 2019; Carr & Umberson, 2013). Bukan hanya trauma, melainkan juga peristiwa hidup dengan tingkat ketertekanan yang beragam (Linley & Joseph, 2004). Selain itu, stress-related growth juga menimbulkan pertumbuhan diri secara gradual yang hasil perubahannya cenderung lebih bertahan (Aldwin & Werner, 2007). Literatur stress-related growth berhubungan erat pula dengan resiliensi, karena keduanya berfokus pada kekuatan manusia dalam menghadapi peristiwa hidup yang menantang (Baumgardner & Crothers, 2009). Perbedaannya bahwa resiliensi menekankan pada bagaimana individu dapat bertahan dan bangkit kembali ke tingkat keberfungsian atau penyesuaian diri seperti

(45)

sebelum kesulitan terjadi. Sebaliknya, stress-related growth mengeksplorasi perubahan positif dan peningkatan fungsi individu yang tumbuh melampaui tingkat penyesuaian diri sebelum munculnya kejadian menekan (Baumgardner & Crothers, 2009).

Levine, Laufer, Stein, Hamama-Raz, dan Solomon (2009) menyatakan bahwa relisiensi dan stress-related growth adalah hasil salutogenik dari kesulitan hidup, namun dua hal ini memiliki hubungan berbeda. Tedeschi dan Calhoun (2004) menyatakan jika growth lebih bersifat transformatif dibanding resiliensi. Hal ini dijelaskan oleh Bonanno (dalam Bensimon, 2012) bahwa resiliensi mencerminkan kemampuan untuk bertahan dan menjaga stabilitas keseimbangan diri. Ditegaskan pula oleh Bensimon (2012), jika individu terpapar peristiwa negatif namun relatif stabil, kurang merasa tertantang, dan kurang mengembangkan distress maka resiliensi hadir. Sebaliknya, apabila individu mengalami peristiwa negatif dan merasa diri atau pandangannya terhadap dunia sangat tertantang maka growth akan muncul. Didukung oleh Tedeschi dan Calhoun (2004) bahwa merasa sangat tertantang oleh peristiwa negatif dan melakukan perjuangan besar di dalamnya akan berpotensi memunculkan pertumbuhan.

Selain resiliensi, coping juga sering dikaitkan dengan stress-related growth. Coping adalah upaya kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk mengelola tuntutan eksternal dan/atau

(46)

internal tertentu yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya individu tersebut (Lazarus & Folkman, 1984). Stress-related growth (SRG) sendiri merupakan hasil positif atau pertumbuhan yang dihasilkan dari proses coping (Park, 1998). Proses coping ini merupakan proses transaksional antara individu dan lingkungannya yang melibatkan penilaian kognitif (Park, 1998). Stressor dan coping negatif cenderung membangkitkan tekanan psikologis, sementara strategi coping positif yang mengarah pada SRG dapat memunculkan hasil positif (Aldwin & Werner, 2007).

4. Dasar teori stress-related growth

Teori stress-related growth (SRG) mulai marak diteliti setelah dipopulerkan oleh Schaefer dan Moos pada tahun 1992. Gagasan ini muncul setelah keduanya banyak mengamati dan mengeksplorasi beragam studi terdahulu mengenai transisi dan krisis hidup, yang ternyata berpotensi memunculkan hasil positif berupa pertumbuhan diri. Empat tahun berikutnya pada 1996, teori stress-related growth dari Schaefer dan Moos ini dikembangkan lebih jauh oleh Park, Cohen, dan Murch terutama dalam segi validitas dan pengukurannya.

Growth atau pertumbuhan yang merupakan inti utama dari stress-related growth kerap dibahas dalam psikologi positif maupun humanistik. Psikologi positif yang berakar dari pendekatan Aristotelian percaya bahwa manusia memiliki karakter dasar baik

(47)

dan positif. Menurut Aristotelian, manusia dapat bertumbuh dari potensi kebaikan yang sudah ada menuju suatu realisasi berupa kesejahteraan dan kebahagiaan (Jorgensen & Nafstad, 2004).

Bagi psikologi humanistik sendiri, growth banyak dibahas dalam teori person-centered approach (PCA) dan organismic valuing process (OVP) (Joseph, 2015). Teori person-centered approach berangkat dari pandangan humanistik Carl Rogers dan berorientasi pada pertumbuhan sifat manusia. PCA dikembangkan untuk memfasilitasi individu supaya lebih berfungsi secara penuh dan growth menjadi penggerak utama agar individu mencapai keberfungsian diri yang utuh. Begitu pula dengan organismic valuing process, teori yang meyakini pada dasarnya individu termotivasi untuk tumbuh bahkan bertumbuh dari suatu kesulitan hidup. OVP percaya growth adalah proses yang tak terhindarkan dan dipengaruhi oleh dunia sosial serta dukungan (Joseph, 2015).

Pemaparan growth atau pertumbuhan tersebut menguatkan bahwa individu tak hanya mampu pulih melainkan dapat berkembang melampaui kondisi sebelumnya. Dalam hal ini, lebih jauh lagi dijelaskan jika pertumbuhan pada stress-related growth tak hanya berupa proses bertumbuh dari keadaan menekan saja (Tedeschi & Calhoun, 1998) melainkan juga dapat diperoleh hasil-hasil positif dari pertumbuhan (Schaefer & Moos, 1992).

(48)

5. Model pembentukan pertumbuhan

Bagaimana suatu pertumbuhan dapat terjadi? Hal ini dijelaskan oleh beberapa ahli diantaranya Schaefer dan Moos (1992) serta Park dan Fenster (2004).

Gambar 1. Model skema Schaefer dan Moos (1992)

Schaefer dan Moos (1992) melalui skema pertumbuhan di atas menjelaskan bahwa sistem lingkungan dan pribadi secara bersama-sama memengaruhi karakteristik krisis atau transisi hidup individu. Kemudian, individu berusaha menangani dengan melakukan penilaian kognitif dan coping. Perilaku ini kembali dipengaruhi oleh faktor lingkungan, pribadi, serta kejadian hingga memungkinkan munculnya hasil positif berupa pertumbuhan. Pada model ini, Schaefer dan Moos (1992) menekankan bahwa coping menjadi kunci penting pertumbuhan. Ahli lain yakni Park dan Fenster (2004) menyebutkan bahwa terdapat tiga kunci utama pertumbuhan yakni worldview, proses kognitif, dan coping. Temuan Park dan Fenster (2004) mendukung temuan Schaefer dan

Bagian I Sistem Lingkungan Bagian III Krisis hidup atau masa transisi (faktor yang berkaitan dengan kejadian) Bagian IV Penilaian kognitif dan respon coping Bagian II Sistem Pribadi Bagian V Hasil positif dari krisis hidup dan transisi

(49)

Moos (1992) bahwa proses kognitif dan coping berpengaruh pada pertumbuhan.

Model Schaefer dan Moos (1992) ini menjadi acuan bagi Park, Cohen, dan Murch (1996) dalam meneliti pertumbuhan dengan teori stress-related growth yang mereka kembangkan. Sepanjang waktu berjalan, beberapa peneliti melakukan review terhadap teori model pertumbuhan yang sudah ada. Salah satunya adalah Zoellner dan Mearcker (2006), me-review dan mengkritisi bahwa langkah-langkah dalam proses pertumbuhan selama ini masih kurang menunjukkan secara pasti kaitannya dengan penyesuaian. Keduanya juga menyatakan dari serangkaian prosesnya, SRG tidak hanya menghasilkan komponen konstruktif tetapi juga bersamaan dengan adanya ilusi pertumbuhan. Zoellner dan Maercker (2006) setuju bahwa growth merupakan hasil positif dari strategi coping, namun keduanya menemukan terdapat strategi coping menghindar yang disfungsional dan mempertanyakan apakah tetap memunculkan hasil positif atau sebaliknya.

Park dan Fenster (2004) yang juga turut mengembangkan teori SRG menanggapi kritikan tersebut. Hasil studi mereka menunjukkan, SRG muncul dari pemrosesan kognitif yang lebih melibatkan pemikiran akan kejadian yang mengganggu (intrusive thoughts) berulang daripada strategi coping menghindar. Penelitian Tedeschi dan Caljoun (2000) juga mendukung bahwa pikiran

(50)

intrusive memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan. Helgeson (dalam Park & Helgeson, 2006) menambahkan, pikiran intrusive sendiri menjadi indikator bahwa individu melakukan pemrosesan kognitif ketika terjadi peristiwa menekan. Lebih jauh, pemrosesan kognitif ini menandakan bahwa growth yang dilaporkan merupakan hasil positif yang aktual dan bukanlah ilusi pertumbuhan.

Park dan Fenster (2004) kembali berpendapat bahwa selama ini ditemukan jika SRG erat kaitannya dengan penyesuaian positif seperti peningkatan harga diri dan kenyamanan berelasi sosial. Keduanya menyatakan bahwa proses SRG memang seringkali tidak langsung memperlihatkan kaitannya dengan penyesuaian, akan tetapi kurang tepat jika pencapaian SRG hanya dinilai berdasarkan perilaku adaptif penyesuaian saja karena cakupan SRG jauh lebih luas.

SRG menggambarkan ciri kepribadian dan coping yang lebih sehat serta efektif, yang pada akhirnya mengarah pada penyesuaian yang lebih baik. Bahkan hal lain yang sangat memengaruhi peran SRG terhadap penyesuaian adaptif adalah faktor lingkungan (sosial dan keadaan hidup). Ketiga hal ini menjadi pondasi yang penting untuk dilihat dalam penelitian SRG. Maka dari itu, menurut Park dan Fenster (2004) selanjutnya tetap diperlukan penelitian yang berorientasi pada proses SRG untuk

(51)

melihat faktor-faktor apa saja yang memengaruhi growth terutama yang berkaitan dengan penyesuaian adaptif.

Berdasarkan paparan di atas, diketahui bahwa para ahli tersebut saling mendukung dan mengkritisi proses serta kunci penting terjadinya pertumbuhan. Adanya perbedaan ini yang kemudian menjadi celah bagi peneliti untuk lebih jauh mengeksplorasi bagaimana proses pembentukan pertumbuhan terjadi serta hal-hal penting apa yang memengaruhi, terutama pada proses pertumbuhan narapidana tamping. Peneliti juga berusaha memperhatikan kritik yang muncul mengenai teori tersebut.

6. Aspek-aspek stress-related growth

Penelitian yang dilakukan Schaefer dan Moos (1992) serta Park, Cohen dan Murch (1996) menemukan bahwa stress-related growth memiliki beberapa aspek yaitu:

a. Meningkatnya kekuatan pribadi

Terdapat beberapa peningkatan pada diri individu yang mengalami pertumbuhan pribadi, diantaranya adalah meningkatnya diferensiasi kognitif dan intelektual individu, meningkatnya pemahaman dan kepercayaan diri individu, meningkatnya rasa empati, sifat altruisme, dan kedewasaan serta terjadi perubahan pada nilai-nilai dasar dan prioritas hidup yang dimiliki individu.

(52)

b. Meningkatnya kekuatan sosial

Kekuatan sosial yang dimaksud adalah individu semakin baik dalam berhubungan dengan keluarga dan teman, mendapatkan orang-orang baru yang mendukungnya, dan semakin memiliki kepercayaan terhadap hubungan dengan orang lain.

c. Semakin berkembangnya kemampuan untuk melakukan coping Individu yang mengalami pertumbuhan pribadi juga merasakan adanya peningkatan kemampuan untuk berpikir logis ketika menyelesaikan masalah, lebih mau mencari bantuan ketika membutuhkan, dan lebih mampu untuk mengatur diri serta perasaannya.

d. Perubahan filosofi hidup

Pandangan dan filosofi hidup dapat berubah pada individu yang mengalami pertumbuhan. Seperti adanya tujuan dan makna yang lebih mendalam tentang kehidupan, menemukan jawaban eksistensial yang mendasar, peningkatan spiritual, juga perubahan pada prioritas hidup.

Uraian di atas menjelaskan bahwa individu yang mengalami stress-related growth akan semakin merasakan adanya peningkatan kekuatan pribadi, sosial, kemampuan menyelesaikan masalah, juga filosofi hidup. Individu akan

(53)

semakin percaya diri, erat membangun relasi, mampu menyelesaikan masalah, dan merasakan kebermaknaan.

7. Faktor-faktor yang memengaruhi stress-related growth Schaefer dan Moos (1992) mengatakan terdapat beberapa faktor yang memengaruhi stress-related growth yaitu:

a. Karakteristik kejadian atau stressor

Suatu kejadian atau krisis hidup dapat dilihat secara berbeda oleh banyak orang, prediksi atau timbulnya kejadian secara tiba-tiba, tingkat keparahan, durasi kejadian, cara pengendalian, serta dampak yang ditimbulkan semua berkaitan dengan perubahan atau pertumbuhan individu. Hal ini sesuai dengan temuan Helgeson, Reynolds, dan Tomich (2006) bahwa tingkat keparahan kejadian dan persepsi individu terhadap kejadian stres yang dialami berkaitan dengan pertumbuhan yang menguntungkan.

b. Karakter pribadi individu

Growth dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu seperti usia, jenis kelamin maupun status sosial ekonomi. Selain itu juga dipengaruhi oleh watak, kekuatan ego, kepercayaan diri, filosofi hidup atau komitmen religius, dan permasalahan hidup yang pernah dialami sebelumnya serta pengalaman untuk mengatasinya. Faktor-faktor tersebut membantu untuk menggambarkan krisis yang dialami dan

Gambar

Gambar 1.     Model Skema Schaefer dan Moos (1992)  ...................................
Gambar 1.  Model skema Schaefer dan Moos (1992)
Gambar 1. Skema Alur Berpikir Penelitian SRG Napi Tamping
Tabel 3. Hasil member checking informan 1
+3

Referensi

Dokumen terkait

Besar Laju Aliran Massa Refrigeran AC Standard dan AC Dengan Pendingin Kondensor Pada Siang Hari ... Besar Laju Aliran Massa Refrigeran AC Standard dan AC

- Mengkaji keluarga dengan pengkajian keperawatan keluarga - Memberikan pendidikan kesehatan tentang bahaya merokok - Mengevaluasi respon keluarga. No

Contoh di atas merupakan bentuk imperatif yang sudah terlihat jelas baik dari segi konstruksi kalimat serta kata kerja penanda imperatifnya baik dalam bahasa

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Tugas Akhir (TA) dengan judul

baik lagi serta ilmu yang bermanfaat selama masa perkuliahan di

sebab tata graha adalah bagian yang bertugas dan bertanggung jawab untuk menjaga. kebersihan, kerapian, keindahan dan kenyamanan di seluruh areal hotel,

Kesimpulan: dari penelitian ini adalah ada hubungan yang kuat antara komunikasi terapeutik bidan dengan kepuasan ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal care di Rumah Bersalin

Pada saat bayi ibu berusia kurang dari 6 bulan apakah suami ibu pernah menganjurkan untuk memberikan makanan selain ASI jika bayi