• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KOMPLIKASI PERSALINAN PERVAGINAM DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KOMPLIKASI PERSALINAN PERVAGINAM DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2014"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KOMPLIKASI PERSALINAN PERVAGINAM DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2014

Gravika Dian Lestari1, Sri Rahayu Sanusi 2, Yusniwarti Yusad 3 1

Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

2,3

Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT

Maternal Mortality Rate (MMR) is a basic indicator of obstetric care or health of the woman at the age of produktif, more than 90% of maternal deaths due to complications that often occur at or around birth. Birth Complications is a deviation from the normal state, which directly cause morbidity and maternal mortality, because of the direct effect of the birth.

This study aims to determine the factors that influence the occurrence of complications of labor with risk factor approach in the General Hospital. Pirngadi Medan in 2014. This research is a descriptive analytic case control design, namely selecting case and control respondents respondents uncomplicated birth. The number of respondents in 576 birth by taking samples in random and analyzed with the test statististik Odds Ratio (OR) and chi-square test.

The results showed that there was correlation between age ( ρ =0,001, OR=5,875, parity (ρ =0,048, OR=2,214), pregnancy history ( ρ =0,028, OR=2,435) and disease history ( ρ =0,001, OR=8,000) with birth complications, whereas education and antenatal care no relationship.

Suggested to health care workers in hospitals to improve counseling and provide information to pregnant women about the condition in women with complications of childbirth and improve services so that hospital is always ready to serve the referral of patients with complications of birth.

Keywords : Birth complications, maternal mortality, RSUD DR.Pirngadi PENDAHULUAN

Angka kematian ibu (AKI) menjadi tolak ukur untuk menilai tingkat kesejahteraan ibu atau status kesehatan ibu. Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, AKI di Indonesia adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini masih jauh dari target MDGs 2015 yaitu AKI sebesar 102/100.000 kelahiran hidup.

RSUD Dr. Pirngadi Medan adalah salah satu rumah sakit rujukan yang besar di Kota Medan sehingga memiliki data jumlah kasus komplikasi persalinan yang cukup besar. Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti di RSUD dr. Pirngadi Medan, jumlah semua ibu bersalin pada tahun 2014 adalah sebanyak 576 kasus dan yang mengalami komplikasi persalinan sebesar 141 kasus.

TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian komplikasi persalinan pervaginam di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran kejadian komplikasi persalinan pervaginam di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.

2. Untuk mengetahui gambaran

karakteristik ibu (usia, paritas, pendidikan) di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.

3. Untuk mengetahui gambaran riwayat kehamilan ibu (jarak kehamilan, riwayat penyakit ibu, riwayat pemeriksaan antenatal) di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.

4. Untuk mengetahui hubungan

karakteristik ibu (usia, paritas, pendidikan) terhadap kejadian

(2)

komplikasi persalinan pervaginam di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.

5. Untuk mengetahui hubungan riwayat kehamilan ibu (jarak kehamilan, riwayat penyakit ibu, riwayat pemeriksaan antenatal) terhadap kejadian komplikasi persalinan pervaginam di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif analitik dengan desain case control.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di RSUD Dr.Pirngadi Medan. Penelitian ini dilakukan pada Bulan September tahun 2015.

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh ibu bersalin yang hanya partus spontan dirawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014 yang tercatat dalam rekam medis sebanyak 576 orang.Sampel dalam penelitian ini terdiri dari kasus yaitu ibu bersalin yang mengalami komplikasi

persalinan pervaginam dan kontrol yaitu ibu bersalin yang tidak mengalami komplikasi persalinan pervaginam.

Besar sampel diambil dengan rumus studi kasus kontrol untuk pengujian hipotesis terhadap Odds Ratio (Lemeshow, 1990) :

Keterangan :

n = Besar sampel minimum pada kasus dan kontrol

Z1-α = Nilai baku normal berdasarkan α

yang ditentukan (α = 0,05)  1,96

Z1-β = Nilai baku normal berdasarkan β yang ditentukan (β = 0,20)  0,84

P1 = Proporsi pajanan pada kelompok

kasus

P2 = Proporsi pajanan pada kelompok

kontrol sebesar 0,56 ( Armagustini, 2010) Q2 = 1 - P2= 1 - 0,56 = 0,44

P1-P2 = Selisih proporsi pajanan minimal

yang dianggap bermakna, ditetapkan sebesar 0,20 P1 = P2 + 0,20 = 0,56 + 0,20 = 0,76 Q1 = 1 - P1 = 1- 0,76 = 0,24 P = (P1+P2)/2 P = (0,76+0,56)/2= 0,66 Q = 1-0,66= 0,34

Dengan memasukan nilai-nilai diatas pada rumus, diperoleh :

n1= n2 = ( 1,96 2𝑥0,66𝑥0,34 + 0,84 0,76𝑥0,24 + 0,56𝑥0,44 )2 ( 0,76 - 0,56 )2

= 50,9 ( dibulatkan menjadi 51) Dengan demikian besar sampel

untuk tiap kelompok adalah 51 kasus (kelompok kasus sebanyak 51 orang dan kelompok kontrol sebanyak 51 orang). Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan cara simple random sampling yaitu dengan teknik undian.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dari status kebidanan rekam medis RSUD Dr.

Pirngadi Medan tahun 2014.

Analisis Data

Data yang telah diolah akan dianalisis dengan cara bertahap yaitu Analisis Univariatuntuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi atau besarnya proporsi menurut karakteristik yang diteliti dari semua variabel penelitian. Analisis Bivariatuntuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel independen dan variabel

(3)

dependen.Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square.

Kemudian keeratan hubungan dan kemaknaan dengan melihat nilai p juga dilakukan dengan tingkat kepercayaan (Confidence Interval) 95% dilihat Odds Ratio (OR) yang dihasilkan untuk mengetahui berapa besar derajat hubungan.

1. Bila OR > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor risiko (kausatif).

2. Bila OR = 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti bukan merupakan faktor risiko.

3. Bila OR < 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor protektif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat

Kejadian Komplikasi Persalinan

Distribusi frekuensi komplikasi persalinanpervaginam ibu yang bersalin di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2014.

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kejadian Komplikasi Persalinan Pervaginam

Komplikasi Persalinan

F %

Eklamsi dan Preklamsi 10 9,8

Infeksi 5 4,9

Partus Lama 15 14,7

Perdarahan 21 20,6

Tidak Ada 51 50,0

Total 102 100,0

Berdasarkan Tabel 1, kejadian komplikasi pervaginam yang terbanyak adalah perdarahan yaitu sebanyak 21 kasus (20,6%).

Karakteristik Ibu

Karakteristik ibu meliputi umur, paritas dan tingkat pendidikan ibu.

Tabel 2 Distribusi Karakteristik Ibu Bersalin No Karakteristik Responden f % 1 Umur <20 dan >35 tahun (Berisiko) 20-35 tahun (Tidak Berisiko) 21 81 20,6 79,4 Jumlah 102 100,0 Tabel 2 Lanjutan 2 Paritas 0 dan >3 (Berisiko) 1-3 (Tidak Berisiko) 50 52 49,0 51,0 Jumlah 102 100,0 3 Tingkat Pendidikan Rendah (SLTP ke bawah) Tinggi(SLTA ke atas) 18 84 17,6 82,4 Jumlah 102 100,0

Sebagian besar ibu yang bersalin di

RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan berada pada kategori umur yang tidak berisiko yaitu sebanyak 81 orang (79,4%%). Sebanyak 52 orang (51,0%) ibu memiliki paritas tidak berisiko. Berdasarkan tingkat pendidikan responden, responden dengan pendidikan tinggi (SLTA ke atas) yaitu sebanyak 84 orang (82,4%) ibu bersalin.

Riwayat Kehamilan Ibu

Riwayat kehamilan ibu yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi jarak kehamilan (Spacing), riwayat penyakit ibu dan pemeriksaan kehamilan (Antenatal Care) ibu.

Tabel 3 Distribusi Riwayat Kehamilan Ibu Bersalin No Karakteristik Responden F % 1 Jarak Kehamilan <2 tahun (Berisiko) α2 tahun (Tidak Berisiko) 57 45 55,9 44,1 Jumlah 102 100,0 2 Riwayat Penyakit Anemia Diabetes Hipertensi Infeksi 1 2 13 4 1,0 2,0 12,7 3,9

(4)

Tidak ada 82 80,4 Jumlah 102 100,0 3 Pemeriksaan Kehamilan ANC <4 kali ANC ≥4 kali 41 61 40,2 59,8 Jumlah 102 100,0

Berdasarkan Tabel 3 diatas, dapat diketahui bahwa dari 102 ibu yang bersalin di RSUD dr.Pirngadi Medan pada tahun 2014, sebanyak 57 ibu (55,9%) memiliki jarak kehamilan yang berisiko yaitu <2 tahun. Mayoritas ibu yang bersalin tidak memiliki Riwayat Penyakit yaitu sebanyak 82 orang (80,4%). Berdasarkan status pemeriksaan kehamilannya, dari 102

responden ibu bersalin sebanyak 61 orang ( 59,8%) ibu yang melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC) ≥ 4 kali.

Analisis Bivariat Karakteristik Ibu

Berikut akan diuraikan hubungan karakteristik ibu bersalin yang meliputi umur, paritas, pendidikan ibu dengan komplikasi persalinan ibu yang bersalin di RSUD Dr.Pirngadi Medan pada tahun 2014.

Tabel 4 Tabulasi Silang Kategori Umur dengan Komplikasi Persalinan Pervaginam

Umur (Tahun) Total

X2 (P value) OR Kasus Kontrol n % n % N % <20 dan >35 17 81,0 4 19,0 21 100,0 10,134 (0,001) 5,875 20-35 34 42,0 47 58,0 81 100,0 Total 51 50,0 51 50,0 102 100,0

Berdasarkan Tabel 4diatas, dapat diketahui bahwa responden dengan umur <20 dan>35 tahun yang mengalami komplikasi persalinan sebanyak 17 orang (81,0%) ibu bersalin. Berdasarkan hasil uji Chi Square antara umur ibu dengan komplikasi persalinan diperoleh nilai probabilitas (P = 0,001) sehingga Ho ditolak, artinya terbukti secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95% bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan terjadinya komplikasi persalinan. Nilai OR yang didapat adalah OR = 5,875 artinya risiko untuk mengalami komplikasi persalinan pada ibu umur <20 dan >35 tahun adalah 5,875 kali lebih besar dibanding dengan umur 20-35 tahun.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Muslihah (2001), dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara umur ibu dengan komplikasi persalinan dengan besar resiko yaitu 4 kali untuk umur resiko tinggi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Irma (2011), juga terdapat

kesamaan hasil dengan penelitian ini yaitu ada hubungan antara umur ibu bersalin dengan komplikasi persalinan, yaitu dengan nilai p value sebesar 0,038 dan Odd Ratio (OR) sebesar 2,3. Ini artinya bahwa ibu bersalin yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun memiliki 2,3 kali lebih beresiko mengalami komplikasi persalinan dibanding dengan ibu yang berumur 21-34 tahun.

Perbedaan penelitian ini dan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada hasil Odds Ratio yang didapat. Nilai Odds Ratio yang didapat dari hasil pengolahan data statistik menggunakan Chi Square lebih tinggi dari penelitian-penelitian sebelumnya yaitu sebesar 5,875 yang artinya risiko untuk mengalami komplikasi persalinan pada ibu umur <20 dan >35 tahun adalah 5,875 kali lebih besar dibanding dengan umur 20-35 tahun. Umur sangat mempengaruhi kondisi persalinan seorang ibu. Umur yang paling

(5)

aman untuk melahirkan adalah 20-35 tahun (Depkes,2009).

Tabel 5 Tabulasi Silang Kategori Paritas dengan Komplikasi Persalinan

Paritas (Anak) Total X2 (P value) OR Kasus Kontrol n % n % N % 0 dan >3 30 60,0 20 40,0 50 100,0 3,923 (0,048) 2,214 1-3 21 40,4 31 59,6 52 100,0 Total 51 50,0 51 50,0 102 100,0

Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa ibu yang memiliki paritas lebih dari 3 dan kehamilan pertama(primigravida) mengalami komplikasi persalinan sebanyak 30 orang (60,0%) ibu bersalin.

Berdasarkan hasil uji chi Square antara paritas ibu dengan komplikasi persalinan diperoleh nilai probabilitas (P = 0,048) sehingga Ho ditolak, artinya terbukti secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95% bahwa ada hubungan yang bermakna antara peritas ibu dengan kejadian komplikasi persalinan. Dengan nilai OR=2,214 artinya risiko untuk mengalami komplikasi persalinan pada ibu yang paritas 0 dan >3 adalah 2,214 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan paritas 1-3 orang anak.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan olehHidayah (2002) yaitu terdapat hubungan antara paritas ibu bersalin dengan kejadian komplikasi persalinan yaitu didapat p value sebesar 0,008 dan OR 10,15. Ini berarti paritas lebih dari 4 memiliki 10,15 kali resiko terjadinya komplikasi persalinan. Penelitian lainnya yaitu yang dilakukan oleh Armagustini (2010) juga menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan

anak pertama atau setelah anak ke-4 berisiko 1,19 kali mengalami komplikasi persalinan dibanding ibu yang melahirkan anak ke-2 hingga ke-3.Sedangkan penelitian yang dilakukan Huda (2007) menunjukkan bahwa Ibu dengan paritas >4 berisiko 1,86 kali lebih besar mengalami komplikasi obstetri dibandingkan ibu dengan paritas < 3.

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal.Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. (Prawihardjo, 2009).

Tabel 6 Tabulasi Silang Kategori Pendidikan dengan Komplikasi Persalinan

Pendidikan Total X 2 (P value) OR Kasus Kontrol n % n % N % Rendah 10 55,6 8 44,4 18 100,0 0,270 (0,603) 1,311 Tinggi 41 48,8 43 51,2 84 100,0 Total 51 50,0 51 50,0 102 100,0

(6)

Berdasarkan Tabel 6 diatas, dapat diketahui bahwa dari 51 responden ibu bersalin yang mengalami komplikasi persalinan, terdapat sebanyak 10 orang (55,6%) ibu bersalin yang memiliki pendidikan rendah ( SLTP ke bawah). Sedangkan sebanyak 41 orang ( 48,8%) ibu bersalin yang memiliki pendidikan tinggi ( SLTA ke atas) yang mengalami komplikasi persalinan.

Berdasarkan hasil uji Chi Square antara pendidikan ibu dengan komplikasi persalinan diperoleh nilai probabilitas (P = 0,603) sehingga Ho gagal ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dan terjadinya komplikasi persalinan.

Hal ini tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh terhadap kejadian komplikasi persalinan ibu.Teori yang dinyatakan oleh Kahar (2001) ini menyatakan bahwa Faktor pendidikan sangat berperan penting dalam menjaga kesehatan seseorang karena terkait pengetahuan yang dimiliki.Semakin rendah tingkat pendidikan ibu semakin tinggi angka kejadian komplikasi berupa anemia, hipertensi, dan perdarahan.

Perbedaan hasil penelitian yang didapat oleh peneliti dengan peneliti lainnya kemungkinan dikarenakan perbedaan lokasi dan waktu penelitian. Pada masa sekarang telah banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan sehingga sebagian besar ibu telah berpendidikan tinggi, ini dibuktikan dengan hasil uji analisis univariat yang menunjukkan hasil 82,4% atau sebanyak 84 orang ibu dari 102 ibu yang diteliti telah berpendidikan tinggi. Namun dengan pendidikan ibu yang telah tinggi tersebut,

sebagian ibu masih mengalami

komplikasi.Sehingga peneliti beranggapan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dan komplikasi persalinan yang terjadi pada ibu.

Riwayat Kehamilan Ibu

Berikut akan diuraikan hubungan Riwayat Kehamilan ibu bersalin yang meliputi Jarak Kehamilan, Riwayat Penyakit, dan Pemeriksaan Kehamilan (ANC) dengan komplikasi persalinan ibu yang bersalin di RSUD Dr.Pirngadi Medan pada tahun 2014.

Tabel 7 Tabulasi Silang Kategori Jarak Kehamilan dengan Komplikasi Persalinan

Jarak Kehamilan Total X2 (P value) OR Kasus Kontrol n % n % n % <2 tahun 34 59,6 23 40,4 57 100,0 4,812 (0,028) 2,435 α2 tahun 17 37,8 28 62,2 45 100,0 Total 51 50,0 51 50,0 102 100,0

Berdasarkan Tabel 7 diatas, dapat diketahui bahwa ibu bersalin yang memiliki jarak anak <2 tahun mengalami komplikasi persalinan sebanyak 34 orang (59,6 %). Sedangkan sebanyak 17 orang (37,8%) ibu bersalin yang memiliki jarak kehamilan ≥ 2 tahunmengalami kompikasi ibu dengan jarak kehamilan ≥ 2 tahun, sebanyak 17 dari 45 orang ibu mengalami komplikasi persalinan.

Hasil uji Chi Square antara jarak kehamilan dengan komplikasi persalinan ibu, diperoleh nilai probabilitas (P= 0,028) sehingga Ho ditolak, artinya terbukti

secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95% bahwa ada hubungan yang bermakna antara jarak kehamilan dengan komplikasi persalinan ibu. Dengan nilai OR = 2,435 yang artinya risiko untuk mengalami komplikasi persalinan pada ibu yang memiliki jarak kehamilan < 2 tahun 2,435 kali lebih besar dibandingkan dengan yang memiliki jarak kehamilan α2 tahun.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saragih (2006), hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Ibu yang melahirkan dengan jarak kelahiran <2 tahun berisiko

(7)

1,2 kali lebih besar mengalami komplikasi dibandingkan dengan ibu yang jarak kelahirannya >2 tahun. Hal ini terjadi karena Jarak kelahiran yang kurang dari dua tahun akan menambah beban berat pada tubuh ibu karena kondisi tubuh ibu yang belum pulih sepenuhnya akibat kelahiran sebelumnya. Kondisi ini yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan kehamilan dan persalinan seperti petumbuhan janin yang kurang baik, persalinan macet, dll.

Wanita dengan jarak kelahiran <2 tahun mempunyai risiko dua kali lebih besar mengalami kematian dibandingkan jarak kelahiran yang lebih lama (Royston dan Amstrong, 1994).Jarak kehamilan < 2 tahun terutama pada ibu dengan paritas tinggi dapat menimbulkan kelainan letak plasenta atau plasenta previa yang dapat menimbulkan komplikasi persalinan berupa perdarahan hebat (Depkes, 2012).

.Tabel 8 Tabulasi Silang Kategori Riwayat Penyakit dengan Komplikasi Persalinan

Riwayat Penyakit Total X2 (P value) OR Kasus Kontrol n % n % N % Ada 17 85,0 3 15,0 20 100,0 12,190 (0,000) 8,000 Tidak Ada 34 41,5 48 58,5 82 100,0 Total 51 50,0 51 50,0 102 100,0

Berdasarkan Tabel 8 diatas, dapat diketahui bahwa ibu bersalin memiliki riwayat penyakit yang mengalami komplikasi persalinan sebanyak 17 orang (85,0%). Sedangkan ibu bersalin yang tidak ada riwayat penyakit yang mengalami komplikasi persalinan sebanyak 34 orang ( 41,5 %).

Berdasarkan hasil uji Chi Square antara riwayat kehamilan dengan komplikasi persalinan ibu, diperoleh nilai probabilitas (P <0,0001) sehingga Ho ditolak, artinya terbukti secara signifikan pada tingkat kepercayaan 95% bahwa ada hubungan yang bermakna antara riwayat kehamilan dengan komplikasi persalinan ibu. Dengan nilai OR = 8,000, artinya risiko untuk mengalami komplikasi persalinan pada ibu yang memiliki riwayat kehamilan 8 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu bersalin yang tidak memiliki riwayat kehamilan.

Sebuah penelitian yang sejalan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan di RSUD Bayu Asih Purwakarta oleh Yulianti tahun 2008, menujukkan bahwa riwayat penyakit ibu memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian komplikasi pre-eklampsi berat (p-value = 0,000), dimana ibu yang memiliki riwayat penyakit berisiko 21 kali lebih besar mengalami komplikasi preeklampsi berat dibanding ibu yang tidak memiliki riwayat penyakit.

Peneliti beranggapan adanya dengan adanya riwayat penyakit yang menyertai kehamilan ibu dapat mempengaruhi persalinan ibu, karena tubuh ibu menjadi lebih ekstra baik dalam persalinan maupun dalam melawan penyakitnya. Apabila tenaga dan daya tahan ibu tidak cukup kuat maka kemungkinan timbulnya komplikasi dalam persalinan akan lebih besar.

.

Tabel 9 Tabulasi Silang Kategori Pemeriksaan Kehamilan dengan Komplikasi Persalinan

Pemeriksaan Kehamilan (ANC) Total X2 (P value) OR Kasus Kontrol n % n % N % ANC <4 kali 19 46,3 22 53,7 41 100,0 0,367 (0,545) 0,783 ANC α4 kali 32 52,5 29 47,5 61 100,0 Total 51 50,0 51 50,0 102 100,0

(8)

Berdasarkan Tabel 9 diatas, dapat diketahui bahwa ibu yang memeriksakan kehamilannya <4 kali dan mengalami komplikasi persalinan sebanyak 19 orang

(46,3%). Sedangkan ibu yang

memeriksakan kehamilannya ≥ 4 dan mengalami komplikasi persalinan sebanyak 32 orang ( 52,5 %). Berdasarkan hasil uji Chi Square antara pemeriksaan kehamilan dengan komplikasi persalinan ibu, diperoleh nilai probabilitas (P= 0,367) sehingga Ho gagal ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pemeriksaan kehamilan dengan komplikasi persalinan ibu.

Hal ini tidak sejalan dengan teori yang dinyatakan oleh Departemen Kesehatan tahun 2003 yang menyatakan bahwa, melalui pemeriksaan kehamilan dapat dideteksi risiko kehamilan dan persalinan yang mungkin timbul pada ibu secara dini sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat. Dengan demikian kunjungan pemeriksaan secara lengkap menjadi hal yang sangat penting bagi ibu hamil.

Jika ibu tidak rutin memeriksakan kehamilannya maka petugas kesehatan tidak dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya komplikasi pada ibu. Komplikasi persalinan yang dialami oleh ibu akan berpengaruh terhadap keselamatan jiwa ibu dan bayi. (Depkes, 2003).Pelayanan/asuhan antenatal ini hanya dapat diberikan oleh tenaga kesehatan profesional dan tidak dapat diberikan oleh dukun bayi (Saifuddin, 2006).ANC berguna dalam hal mendeteksi komplikasi yang dapat mengancam jiwa, mempersiapkan kelahiran dan memberikan pendidikan kesehatan (Depkes RI, 2009).

Peneliti beranggapan bahwa, ketidaksesuaian antara hasil penelitian dengan teori yang ada dikarenakan pada pemeriksaan kehamilan ibu, kemungkinan ibu lebih sering memeriksakan kehamilannya di rumah bersalin atau klinik terdekat dari rumahnya, hanya sedikit ibu yang memeriksakan kehamilannya secara rutin di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan.Karena RSUD

Dr.Pirngadi Kota Medan merupakan Rumah Sakit tingkat lanjut sebagai rumah sakit rujukan pasien. Sehingga hal ini dapat menjadi penyebab ketidaksesuai hasil penelitian dengan teori yang ada karena adanya bias dalam pengambilan data.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan pada tahun 2015 menggunakan data rekam medik tahun 2014, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dari 102 sampel yang diteliti, 51 sampel ibu merupakan sampel yang termasuk dalam kelompok kasus yaitu ibu yang mengalami komplikasi persalinan pervaginam, sedangkan 51 ibu lainnya termasuk kedalam kelompok kontrol yaitu ibu yang tidak mengalami komplikasi persalinan. 2. Berdasarkan analisis yang dilakukan,

didapatkan hasil bahwa faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan terhadap komplikasi persalinan pervaginam adalah faktor umur (p<0,001), paritas (p=0,048), Jarak kehamilan (p=0,028), dan riwayat penyakit ibu (p<0,0001). Sedangkan faktor pendidikan dan pemeriksaan kehamilan/ ANC tidak berhubungan. 3. Faktor risiko terjadinya komplikasi

dalam persalinan pervaginam yang terbesar adalah faktor riwayat penyakit ibu dengan nilai Odds Ratio yaitu 8,000, artinya risiko untuk mengalami komplikasi persalinan pervaginam pada ibu yang memiliki riwayat kehamilan 8 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu bersalin yang tidak memiliki riwayat kehamilan.

SARAN

1. Kepada peneliti selanjutnya, disarankan untuk tidak hanya mengambil data dalam 1 tahun melainkan beberapa tahun agar

(9)

penelitian lebih akurat, Kemudian disarankan juga untuk lebih memperbanyak variabel yang diteliti diluar variabel dalam penelitian ini seperti graviditas, riwayat abortus dan sebagainya.

2. Kepada pihak rumah sakit, terutama pada bagian rekam medis, disarankan

untuk lebih memperhatikan

penyimpanan berkas rekam medis pasien karena banyak berkas rekam medis yang tidak terawat dan tersusun secara sistematis.

3. Disarankan kepada pihak rumah sakit, khususnya kepada pihak tenaga medis agar lebih meningkatkan pelayanan medis terhadap ibu bersalin agar tidak terjadi komplikasi persalinan pervaginam yang lebih serius.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2013. Profil Kesehatan Provinsi

Sumatera Utara 2012. Medan

Hidayah, N, 2002. Hubungan Status

Reproduksi dan Perilaku Sehat Ibu dengan Kejadian Komplikasi persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Karanganom Kabupaten Klaten Tahun

2002.http://eprints.undip.ac.id/556

1/. Diakses 9 Februari 2015

Huda, Lasmita, 2007. Hubungan Status Reproduksi, Status Kesehatan,

AksesPelayanan Kesehatan

dengan Komplikasi Obstetri. Jurnal KesehatanMasyarakat Nasional Volume 1, No 6, Juni 2007.

Irma Lonita, 2013. Faktor Faktor Yang

Berhubungan Dengan

Komplikasi Persalinan DiKabupaten Situbondo Tahun 2012. Skripsi. FKM UI

Kahar, Amni, 2001. Angka Kejadian dan Jenis Komplikasi Kehamilan dan Persalinan di RSUD DR Hasan Sadikin Bandung Tahun 2000. Skripsi. FKM UI

Prawirohardjo, S, 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Pustaka

Royston, Erica dan amstrong, Sue. (1994). Pencegahan kematian ibu hamil. Jakarta: Binarupa aksara

Saifuddin,AbdulBari,2006. Buku

AcuanNasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Jakarta:BinarupaAksara

______, 2002.Buku Panduan Praktis

Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi Pertama.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Saragih, Esriani, 2006. Hubungan kualitas layanan antenatal dengan kejadian komplikasi persalinan

(analisa data SKDI

2002-2003).http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf /abstrak-107305.pdf. Diakses 10 Februari 2015

Syafrudin, Hamidah, 2009. Kebidanan

Komunitas. Jakarta, EGC

Yulius, Yulianti, 2002. Faktor-Faktor

yang Berhubungan dengan Komplikasi Persalinan di Rumah Sakit Persahabatan tahun 2001.Skripsi. FKM UI

(10)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEKURANGAN ENERGI KRONIK (KEK) PADA IBU HAMIL DI

PUSKESMAS LANGSA LAMA KOTA LANGSA TAHUN 2015

Lili Angriani Lubis1, Zulhaida Lubis2, Evawany Aritonang2 1)

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat 2)

Staf Pengajar FKM USU ABSTRACT

The pregnant woman with Chronic Energy Deficiency (CED) will birth a baby with low birth weight and risk of sudden mortality in prenatal. This condition, more of mother will died due to blooding and it will increase the mortality rate of neonate and mother. The objective of this research is to study factors related to the chronic energy deficiency event for pregnant woman, and this research was conducted at Puskesmas Langsa Lama, Langsa city. This research is analytic survey with cross sectional design. Sample in this research is 68 pregnant women, with questioner instrument to showed relationship of CED with pregnant woman with interview. The result of this research indicates that there was a correlation between knowledge and chronic energy deficiency incident that 29 pregnant woman with sufficiency knowledge with CED is 17.2 % while 21 of pregnant woman with low knowledge with CED is 76.2 %, with chi-square test (0.001). there is a correlation between income and CED incident to pregnant woman that indicates of 48 pregnant woman with the sufficient income with CED is 25 % and of 20 pregnant woman with low income and with CED 65 % with chi-square test (0.001). in addition, there is a correlation between the antenatal care assessment and CED incident to the pregnant woman. Of 24 pregnant women with antenatal care assessment with CED is 0%, while without assessment and with CED 48.0 % with chi-square test (0.001). It hope that the health staff at Langsa Lama Puskesmas can provide input and depiction about health condition ion provide the health extension and service for good nutrition supply for pregnant woman. It hopes to pregnant woman must be attention to their nutrition during the pregnancy.

Keywords: Chronic Energy Deficiency (CED), Knowledge, Income, Antenatal Care

Pendahuluan

Program kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu program pokok di puskesmas yang mendapat prioritas tinggi, mengingat kelompok ibu hamil, menyusui, bayi, dan anak merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap kesakitan dan

kematian (Sani, dkk., 2009). Angka kejadian kelahiran premature yang disebabkan karena ibu hamil

mengalami kurang gizi (kurang energi kronis/KEK, yang ditandai

dengan lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm. Akibat yang paling relevan dari ibu hamil KEK adalah terjadinya bayi lahir dengan BBLR (kurang dari 2.500 gram) (Mina, 2013).

Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 32 per 1000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari

(11)

Thailand. Beberapa penyebab kematian bayi dapat bermula dari masa kehamilan 28 minggu sampai hari ke-7 setelah persalinan (masa perinatal). Penyebab kematian bayi yang terbanyak adalah karena pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi pada janin, kelahiran prematur dan berat badan bayi lahir yang rendah, yaitu sebesar 38,85% (Sutriani, 2010).

Angka kematian bayi dan ibu serta bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang tinggi pada hakekatnya juga ditentukan oleh status gizi ibu hamil. Ibu hamil dengan status gizi buruk atau mengalami KEK (Kurang Energi Kronis) cenderung melahirkan bayi BBLR dan dihadapkan pada risiko kematian yang lebih besar dibanding dengan bayi yang dilahirkan ibu dengan berat badan yang normal. Sampai saat ini masih banyak ibu hamil yang mengalami 3 masalah gizi khususnya gizi kurang seperti Kurang Energi Kronik (KEK) dan animea (Saimin dalam Ferial (2011). Kejadian KEK dan anemia pada ibu hamil umumnya disebabkan karena rendahnya asupan zat gizi ibu selama kehamilan bukan hanya berakibat pada ibu bayi yang dilahirkannya, tetapi juga faktor resiko kematian ibu (Almatsier, 2004).

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, proporsi wanita usia subur resiko KEK usia 15-19 tahun yang hamil sebanyak 38,5% dan yang tidak hamil sebanyak 46,6%. Pada usia 20-24 tahun adalah sebanyak 30,1% yang hamil dan yang tidak hamil sebanyak 30,6%. Selain itu, pada usia 25-29 tahun adalah sebanyak 20,9% yang hamil dan 19,3% yang tidak hamil. Serta pada usia 30-34 tahun adalah sebanyak 21,4% yang hamil dan

13,6% yang tidak hamil. Hal ini menunjukkan proporsi WUS (Wanita Usia Subur) risiko KEK mengalami peningkatan dalam kurun waktu selama 7 tahun. Enam belas provinsi dengan prevalensi risiko KEK diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Aceh, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua Barat, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur.

Di Provinsi Aceh, prevalensi risiko KEK wanita hamil usia 15-49 tahun yang hamil sebanyak 20% sedangkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Secara nasional prevalensi risiko

KEK WUS sebanyak 21%

(Riskesdas, 2013).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Langsa pada tahun 2014 didapat 3.801 ibu hamil dan sebanyak 167 (4,3%) ibu hamil yang mengalami KEK ( Kekuranga Energi Kronis ), sedangkan pada Januari - Juni 2015 dari 2.181 ibu hamil terdapat sebanyak 243 (11,14%) (ibu hamil yang mengalami KEK (Kekurangan Energi Kronis).

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti membuat perumusan masalah bagaimanakah Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada Ibu Hamil di Puskesmas Langsa Lama Kota Langsa Tahun 2015.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan survey analitik yaitu dengan desain penelitian cross sectional study yang berlokasi di wilayah kerja Puskesmas Langsa Lama, Kota Langsa Provinsi

(12)

Aceh. Populasi dalam penelitian ini adalah 213 ibu hamil. Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik Proportional Random Sampling dengan kriteria ibu hamil yang bersedia diwawancarai, sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 68 orang. Metode Analisa data dalam penelitan ini adalah Editing, Coding, Scoring, dan Tabulating.

Hasil dan Pembahasan 1. Karateristik Ibu Hamil

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pendidikan di wilayah kerja Puskesmas Langsa Lama Kota Langsa Aceh yang terbanyak adalah ibu hamil dengan pendidikan SLTA sebesar 45,6% dan yang paling sedikit ibu hamil dengan pendidikan SD sebesar 11,7%. Adapun distribusi ibu hamil berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Karakteristik Ibu Hamil Menurut Pendidikan Pendidikan n % PT 14 20,6 SLTA/Sederajat 31 45,6 SLTP/Sederajat 15 22,1 SD 8 1,7 Jumlah 68 100

Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa kelompok umur penderita Kurang Energi Kronis (KEK) di wilayah kerja Puskesmas Langsa Lama Kota Langsa Aceh pada kelompok umur 25-30 tahun sebesar 32 ibu hamil (47,5%). Distribusi umur yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2. Karakteristik Ibu Hamil Menurut Umur Umur N % 19-24 tahun 26 38,2 25-30 tahun 32 47,5 31-36 tahun 5 7 37-42 tahun 3 4,4 >40 tahun 2 2,9 Jumlah 68 100

Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa usia kehamilan ibu di wilayah kerja Puskesmas Langsa Lama Kota Langsa Aceh mayoritas dengan usia kehamilan 14-27 minggu ada 29 ibu hamil ( 42,6%) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3. Karakteristik Ibu Hamil Menurut Usia Kehamilan Ibu Usia Kehamilan N % Trimester I 22 32,4 Trimester II 29 42,6 Trimester III 17 25 Jumlah 68 100

2. KEK (Kekurangan Energi Kronis)

Berdasarkan tabel dibawah ini dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 68 ibu hamil sebanyak 24 (35,3%) ibu hamil yang mengalami KEK (Kekurangan Energi Kronis) dan sebanyak 44 (64,7%) ibu hamil tidak mengalami KEK (Kekurangan Energi Kronis).

Tabel 4. Distribusi Frekuens KEK (Kekurangan Energi Kronis) pada Ibu Hamil di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2015

KEK n %

Ya 24 35,3

Tidak 44 64,7

Jumlah 68 100

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

(13)

Rahayu (2012) tentang faktor-faktor

yang berhubungan dengan

kekurangan energi kronik (KEK) menunjuk hasil pada variabel umur beresiko yaitu sebanyak 87,5 %, pada umur kehamilan sebagian besar umur kehamilan trimester III yaitu 50 %, pendidikan didapat sebagian besar mampu sebanyak 58,3 %, lulus SMA sebanyak 83,3 %, dan pengetahuan sebagian besar kurang yaitu 75 % manyoritas ibu hamil tidak mengalami KEK yaitu sebanyak 66,7 %.

Kebutuhan gizi akan terus menerus meningkat, terutama setelah memasuki kehamilan trimester ke dua. Sebab pada saat itu, pertumbuhan janin berlangsung sangat cepat. Hal lain yang perlu diperhatikan meskipun nafsu makan meningkat, tetaplah berpegang pada pola makanan dengan gizi seimbang.

Sjahmien Moehdji (2003) menyatakan bahwa jika masukan zat gizi dari makanan tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi defisiensi zat gizi, yang termanifestasi oleh adanya gejala yang timbul. Masukan zat gizi yang

berasal dari makanan yang dimakan setiap hari harus dapat memenuhi kebutuhan. Disamping untuk memenuhi kebutuhan tubuh ibunya sendiri, zat gizi juga dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembang an janin.

3. Kejadian KEK Berdasarkan Pengetahuan

Berdasarkan tingkat pengetahuan dari 68 ibu hamil manyoritas ibu dengan pengetahuan yang cukup tentang KEK yaitu sebanyak 29 ibu (42,6 %), dan minoritas ibu dengan pengetahuan baik tentang KEK yaitu sebanyak 18 ibu hamil (26,5 %).

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan pada Ibu Hamil tentang KEK di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2015 Pengetahuan Ibu Hamil n % Baik 18 26,5 Cukup 29 42,6 Kurang 21 30,9 Jumlah 68 100

Tabel 6. Distribusi Frekuensi KEK Pada Ibu Hamil Berdasarkan Pengetahuan Di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2015

Pengetahuan KEK Ya Tidak Jumlah % N % n % P. Value Baik Cukup Kurang 3 5 16 16,7 17,2 76,2 15 24 5 83,3 82,8 23,8 18 29 21 100 100 100 .001

Berdasarkan hasil penelitian, ibu hamil dengan pengetahuan baik yang tidak mengalami KEK sebanyak 83,3 % dan ibu hamil yang mengalami KEK ada 16,7 %. Ibu hamil dengan pengetahuan cukup yang mengalami KEK ada 17,2 % dan yang tidak KEK ada 82,8 %.

Sedangkan ibu hamil dengan pengetahuan kurang yang mengalami KEK ada sebanyak 76,2 % dan yang tidak mengalami KEK ada 23,8 %.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Widyawati (2012) hubungan antara pengetahuan tentang gizi dan konsumsi protein dengan kejadian

(14)

hubungan yang bermakana antara pengetahuan tentang gizi dengan kejadian KEK (p = 0,0000 < 0,05). Tingkat konsumsi protein dengan kejadian KEK diketahui tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian KEK (p= 0,975 > 0,05 ).

Pengetahuan yang baik pada gizi seseorang membuat orang

tersebut akan semakin

memperhitungkan jumlah dan jenis makanan yang dipilihnya untuk

dikonsumsi. Orang yang

berpengetahuan gizinya rendah akan berperilaku memilih makanan yang menarik panca indra dan tidak mengadakan pilihan berdasarkan nilai gizi makanan tersebut. Sebaliknya mereka yang memiliki pengetahuan tinggi cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan rasional dan pengetahuan tentang nialai gizi makanan tersebut.

Menurut hasil penelitian Nora

(2013) tentang gambaran

karakteristik ibu hamil yang menderita kekurangan energi kronis (KEK) di kecamatan Wonosalam Kabupaten Demark Menunjukan bahwa ibu hamil memiliki pengetahuan cukup tentang KEK sebanyak 15 orang (50%), dan sebagian besar ibu hamil yang menderita KEK memiliki status ekonomi yang tinggi yaitu sebanyak 18 orang (60%) ibu hamil yang menderita kekurangan energi kronis mempunyai pengetahuan cukup tentang KEK dengan tingkat tamat

SMA dan mempunyai status

ekonomi yang tinggi, tidak semua ibu hamil yang menderita KEK mempunyai tingkat pendidikan

rendah dan status ekonomi yang rendah pula.

Menurut Notoadmodjo (2010) hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan prilaku akan mempengaruhi keikutsertaan seseorang dalam suatu aktifitas tertentu. Adanya pengetahua n terhadap manfaat sesuatu hal, akan menyebabkan orang mempunyai sikp yang positif terhadap hal tersebut. Pengetahuan berisikan segi positif dan negatif. Bila sesuatu kegiatan di anggap lebih banyak segi positifnya, maka kemungkinan seeseorang akan mengikuti kegiatan tersebut. dalam hal ini ibu hamil yang rajin melakukan pemeriksaan kehamilan akan menerapkan hal-hal yang positif yang disarankan petugas kesehatan seperti memperhatikan

mengkonsumsi makanan yang

bergizi khususnya selama kehamilan untuk mencegah terjadinya KEK.

4. Kejadian KEK berdasarkan Pendapatan Keluarga

Berdasarkan tabel dibawah ini pendapatan rumah tangga dari 68 ibu hamil manyoritas ibu hamil dengan pendapatan cukup sebanyak 48 (70,6%) dan minoritas ibu hamil dengan pendapatan rendah sebanyak 20 (29,4%).

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Pendapatan Keluarga Ibu Hamil di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2015 Pendapatan Keluarga n % Cukup 48 70,6 Rendah 20 29,4 Jumlah 68 100

(15)

Tabel 8. Distribusi Frekuensi KEK Pada Ibu Hamil berdasarkan Pendapatan di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2015

Berdasarkan hasil penelitian bahwa pendapatan keluarga ibu hamil yang memiliki pendapatan cukup yang tidak mengalami KEK

sebanyak 77,1% dan yang

mengalami KEK sebanyak 22,9%. Sedangkan ibu hamil yang memiliki pendapatan rendah yang mengalami KEK sebanyak 65,0% dan yang tidak KEK 35,0 %.

Penelitian ini menunjukkan

hubungan bermakna antara

pendapatan keluarga per bulan dengan kejadian KEK pada ibu hamil. Keadaan ini menyimpulkan bahwa proporsi ibu hamil KEK lebih banyak pada ibu yang mempunyai pendapatan rendah yaitu kurang dari Rp.1.750.000,- per bulan ada 65,0 %. Sejalan dengan temuan Amrullah (2006), yang menyatakan bahwa ada hubungan nyata antara pendapatan suami dengan risiko KEK pada ibu hamil, semakin tinggi tingkat pendapatan suami maka status gizi ibu hamil cenderung lebih baik

sehingga lebih kecil

kemungkinannya untuk berisiko KEK dibandingkan dengan ibu hamil yang berasal dari status sosial ekonomi rendah.

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Tenri (2012) Tentang Hubungan Sosial Ekonomi Dengan KEK menunjukan pada pendidikan terdapat nilai signifikan p=0,000

dengan KEK pada wanita

prakonsepsi di Kota Makassar. Pada

pekerjaan p=0,535 dengan KEK pada wanita pra konsepsi di kota

Makassar sedangkan pada

pengeluaran pangan p=0,012 dengan KEK pada wanita pra konsepsi di Kota Makassar. Di simpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan KEK dan tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan KEK sedangkan pada pengeluaran pangan terdapat hubungan yang signifikan dengan KEK.

Pengeluaran yang rendah berpeluang besar menyebabkan terjadinya KEK yang menyebabkan akan berpengaruh dengan kualitas belanja pangan menyebabkan

pemenuhan kebutuhan gizi

khususnya energi dan protein semakin kecil. Menurut Suhardjo (2002) yang menyatakan bahwa pada umumnya, jika tingkat pendapatan naik maka jumlah makanan yang dimakan cenderung membaik juga. Secara tidak langsung zat gizi tubuh

akan terpenuhi dan akan

meningkatkan status gizi.

5 Kejadian KEK berdasarkan Pameriksaan Kehamilan (ANC)

Berdasarkan tabel dibawah ini dari 68 ibu hamil lebih banyak ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan yaitu 44 ibu hamil dan ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan ada 24 ibu hamil. Pendapatan KEK Ya Tidak Jumlah % n % n % P.Value Cukup Rendah 11 13 22,9 65,0 37 7 77,1 35,0 48 20 100 100 .001

(16)

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Pemeriksaan Kehamilan di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2015 Usia Kehamilan Pemeriksaan Kehamilan Jumlah % Baik Kurang n % n % Trimester I 7 31,8 15 68,2 22 100 Trimester II 8 27,6 21 72,4 29 100 Trimester III 9 52,9 8 47,1 17 100

Tabel 10. Distribusi Frekuensi KEK pada Ibu Hamil berdasarkan Pemeriksaan Kehamilan di Puskesmas Langsa Lama Tahun 2015

Pemeriksaan kehamilan KEK P.Value Ya Tidak jumlah % n % n % Sesuai Tidak sesuai 0 24 0 48,0 18 26 100 52,0 18 50 100 100 .001

Berdasarkan hasil penelitian bahwa ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan yang sesuai tidak ada yang mengalami KEK (0%), sedangkan ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan yang mengalami KEK ada sebanyak 48,0%.

Penelitian ini sesuai dengan Halim Surasih (2005) diketahui diketahui bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan KEK pada ibu ha,il adalah jumlah konsumsi energi, usia ibu hamil, dan

pendapatan kelurdga serta

pengetahuan ibu tenang gizi dan kesehatanibu hamil. Dan penelitian Debby Triwidyastuti (2011) menunjukan ada hubungan yang bermakna antara ANC dengan status Haemoglobin artinya nibu hamil yang termasuk kelompok ANC beresiko lebih banyak menderita anemia (83,3 %) dengan kurangnya kunjungan terhadap bidan untuk melakukan ANC secara rutin.

Menurut peneliti Antenatal care adalah upaya untuk mendeteksi dini terjadinya risiko tinggi terhadap kehamilan dan persalinan juga dapat menurunkan angka kematian ibu dan memantau keadaan janin dimana

dengan seringnya melakukan kunjungan terhadap bidan maka semakin mudah pula asuhan dapat diberikan bidan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dimana dengan semakin sering melakukan ANC keadaan ibu serta janin akan selalu terpantau serta ibu dapat memperoleh informasi yang ingin

ibu tahu tentang keadaan

kehamilannya.

Kesimpulan

1. Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan kejadian KEK pada ibu hamil. Jadi,semakin baik pengetahuan ibu hamil semakin kecil resiko ibu hamil akan mengalami KEK. 2. Ada hubungan yang signifikan

antara pendapatan ibu dengan kejadian KEK pada ibu hamil. Jadi, semakin tinggi pendapatan keluarga ibu hamil semakin kecil resiko ibu hamil akan mengalami KEK

3. Ada hubungan yang signifikan antara pelayanan ANC ibu dengan kejadian KEK pada ibu hamil. Jadi, semakin rutin ibu memeriksakan kehamilannya ke pelayanan kesehatan semakin

(17)

kecil resiko ibu akan mengalami KEK

Saran

Kepada petugas puskesmas langsa lama kota langsa dalam rangka menurunkan prevalensi KEK perlu dilakukan kerja sama lintas program terutama dari program Promosi Kesehatan (PROMKES)

dan Pelayanan Kesehatan

(YANKES) dengan menggalakkan program sosialisasi melalui Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

(KIE) untuk meningkatkan

pembekalan pengetahuan dan penyebarluasan informasi kesehatan, seperti kesehatan gizi ibu hamil dan faktor-faktor yang berhubungan dengan permasalahan kesehatan kehamilan.

Daftar Pustaka

Almatsier, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Umum.

Ferial, 2011. Kejadian Kekurangan Energi Kronis dengan Anemia. Fitramayana; Yogyakarta

Mina, 2013. Hubungan Kejadian Kelahiran Prematur Dengan KEK Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Alur Pinang. Aceh

Nora,2013. Gambaran Karakteristik Ibu Hamil Yang Menderita Kekurangan Energi Kronis (Kek).

www.apikescm.ac.id. Diakses Tanggal 09 April 2015 Jam 18.10.wib

Notoadmodjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Pt. Rineka Cipta, Jakarta Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan

Dasar 2013. Diakses Tanggal 01 April 2015

Sani, ddk, 2003. Panduan Program Kesehatan Ibu Dan Anak. Sjahmie Moehji,2003. Ilmu gizi 2.

Pupus Sinar Sianti. Jakarta Suhardjo, 2002. Berbagai Cara

Pendidikan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta.

Sutriani, 2010. Pertumbuhan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta Tenri, 2012. Hubungan Sosial

Ekonomi Dengan

Kekurangan Energi Kronik (KEK) Di Desa Pasaman. Jawa Barat.

(18)

1

PENAMBAHAN BIT (BETA VULGARIS L.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN

ZAT GIZI KERUPUK MERAH

Siti Hairunnisa Effendi Pohan1, Evawany Y Aritonang2, Etty Sudaryati2 1

Mahasiswi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU 2

Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Jl. Universitas No. 21 Kampus USU Medan, 20155

ABSTRACT

Red crackers is a lots of food consumed by the people of Indonesia as a complement to eat fried rice, fried noodle and others. Substance dye used in the manufacture of red crackers are often using the dye that banned such as rhodamine B. Beetroot Essence can be used as a natural dye on manufacture of the red crackers.

This is an experimental research with two treatment, where is the treatment given is : the addition of beetroot essence 25 % (P1) and the addition of beetroot essence 50 % (P2). Data collection method conducted with organoleptic test by 30 not trained panelists, they are students from Faculty of Public Health University of Sumatera Utara. Data analysis of the organoleptic test result it was descriptive qualitative percentage.

The result of this experimental showed that acceptability for crackers with the addition of beetroot essence 50 % (P2) more preferred by the panelists in terms of aroma, color, flavor and texture, with a total score of each 90 (74,9 %), 98 (81,6 %), 91 (75,7 %), dan 95 (79,1 %). The laboratory test result showed the addition of beetroot essence 50 % contains of fiber higher 8,5 %, contains of protein higher 0,8750 % and contains of vitamin C higher 3,3 % . The addition of beetroot essence 25 % contains of fat higher 54,1 % and contains of moisture higher 0,24 %. Laboratory test result for ash, the addition of beetroot essence 25 % and 50 % contains the same result is 0,33 %.

Efforts should be made to introduce more crackers with addition of beetroot essence as a natural dye that is safe to the public.

Keywords : Crackers, Beetroot Essence, Natural Dye

PENDAHULUAN

Zat pewarna telah lama digunakan pada makanan. Pada awalnya zat warna yang digunakan adalah zat warna alami dari tumbuhan

dan hewan. Namun dengan

berkembangnya teknologi, kini zat warna sintetik lebih banyak digunakan. Bagi produsen kecil harga

zat pewarna sintetik dianggap cukup mahal, maka mereka beralih ke zat pewarna tekstil karena lebih murah dan cerah warnanya, contohnya : Rhodamin B untuk warna merah dan Metanil Yellow untuk warna kuning. Padahal penggunaan zat pewarna tekstil pada makanan telah dilarang

(19)

2 oleh pemerintah karena berdampak

buruk terhadap kesehatan apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Rhodamin B dan Metanil Yellow sering digunakan untuk mewarnai kerupuk, terasi, permen, sirup, biskuit, sosis, makaroni, cendol dan ikan asap (Hidayat, 2006).

Salah satu kerupuk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah kerupuk merah. Kerupuk merah yang juga dikenal identik dengan makanan khas Padang adalah makanan pelengkap yang sering dijumpai saat menyantap lontong sayur, lontong pecal, nasi goreng, soto, mie goreng, mie rebus dan nasi ampera. Kerupuk merah dibuat dari tepung tapioka dengan sedikit bahan rempah dan diberi pewarna merah (Wahyono, 2000).

Zat pewarna yang digunakan pada pembuatan kerupuk seringkali menggunakan zat pewarna yang dilarang. Hasil penelitian Zadiar (2010) pada kerupuk merah yang dijual dibeberapa pasar Kodya Padang menunjukkan bahwa semua (100%) zat warna merah yang digunakan dalam pembuatan kerupuk merah adalah rhodamin B. Hasil penelitian

Murtiyanti (2012) mengenai

penggunaan zat pewarna pada pembuatan kerupuk menunjukkan dari 16 produsen kerupuk ditemukan 17 sampel kerupuk yang menggunakan pewarna berbahaya yaitu merah 39% (Rhodamin B), kuning 22% (Methanyl Yellow) dan hijau 13% (Malachite Green), sedangkan yang tidak menggunakan pewarna adalah kerupuk putih sebanyak 6 sampel kerupuk (26%). Hasil penelitian Dalimunthe (2010) pada jajanan anak sekolah dasar di Kabupaten Labuhan Batu Selatan menunjukkan dari 28 sampel jajanan, terdapat 3 sampel yang mengandung rhodamin B dengan

kadar di dalam sampel adalah 0,6 ppm pada es doger , 50 ppm pada saus tomat dan 59 ppm pada kerupuk.

Bit saat ini juga dimanfaatkan sebagai salah satu sumber zat pewarna alami. Umbi bit memiliki ciri spesifik bewarna merah. Walaupun bewarna merah umbi ini tidak memiliki pigmen merah (antosianin). Rata-rata bit mengandung pigmen betalain sebesar 1.000 mg/100 gr berat kering atau 120 mg/100 gr berat basah (Andarwulan, 2012).

Bit merupakan sumber

potensial akan serat pangan serta berbagai vitamin dan mineral yang dapat digunakan sebagai sumber antioksidan yang potensial dan membantu mencegah infeksi. Bit juga mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang berguna untuk kesehatan tubuh (Wirakusumah, 2007).

Pembuatan kerupuk dapat dilakukan dengan penambahan sari bit sebagai zat pewarna alami. Pada pembuatan kerupuk ini akan menggunakan konsentrasi sari bit yang berbeda. Penentuan konsentrasi ini diambil batas bawah dan batas atas adonan, dari hasil percobaan pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti batas bawah ditentukan dengan konsentrasi 25 % hal ini disesuaikan dengan jumlah air yang digunakan yaitu sama dengan jumlah sari bit, sedangkan untuk batas atas ditentukan dengan konsentrasi 50 % yaitu untuk menghasilkan warna yang lebih merah pada kerupuk.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mencoba memanfaatkan bit sebagai bahan pewarna alami dalam pembuatan kerupuk. Hal ini menarik untuk diteliti dalam sebuah

penelitian yang berjudul

“Penambahan Sari Bit (Beta

Vulgaris L.) Sebagai Pewarna Alami

(20)

3

Kandungan Zat Gizi Kerupuk Merah”.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis eksperimen, dimana hanya memilki satu perlakuan yaitu penambahan sari bit pada pembuatan kerupuk, yang berbeda hanya konsentrasi yang digunakan dalam penelitian. Konsentrasi yang dipilih yaitu 25 % dan 50 %. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif persentase yaitu kualitatif yang diperoleh dari panelis harus dianalisis dahulu untuk dijadikan data kuantitatif (Hanafiah, 2014).

Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan kerupuk dalam penelitian ini terdiri dari tepung tapioka, air, garam dan sari bit.

Pembuatan Sari Bit

Pembuatan sari bit dimulai dengan mengupas bit terlebih dahulu. Kemudian bit di cuci dan dikukus selama 5 menit, setelah itu bit diblender dengan air (jumlah air setengah dari berat bit). Bubur bit yang diperoleh dari pemblenderan disaring sehingga hanya tinggal ampas dan diperoleh sari bit. Panaskan sari bit untuk pasteurisasi dari mikrobia.

Pembuatan Kerupuk

Sari bit yang dihasilkan digunakan sebagai pewarna pada

pembuatan kerupuk (dengan

konsentrasi 25 % dan 50 %), kemudian dicampur dengan bahan-bahan yaitu tepung tapioka dan garam hingga terbentuk adonan yang homogen. Setelah itu adonan dicetak, dikukus selama ± 2 jam, didinginkan selama satu hari, diiris dengan

ketebalan 1 mm dan dikeringkan dengan menggunakan oven selama 4 jam dengan suhu 70°C. Kerupuk mentah yang dihasilkan kemudian digoreng dan dilakukan uji daya terima pada panelis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kerupuk

Karakteristik kerupuk dengan

penambahan sari bit 25 %

(perbandingan antara tepung tapioka 50 % dan sari bit 25 %) bewarna merah muda keputihan, beraroma khas kerupuk, rasanya gurih dan khas kerupuk, dan teksturnya renyah.

Sedangkan kerupuk dengan

penambahan sari bit 50 %

(perbandingan antara tepung tapioka 50 % dan sari bit 50 %) bewarna merah, beraroma khas kerupuk, rasanya gurih dan berasa manis bit, teksturnya renyah.

Hasil Uji Organoleptik

Gambar 1. Persentase Uji Organoleptik Kerupuk

Dari hasil uji organoleptik oleh panelis terhadap aroma, warna, rasa dan tekstur, kerupuk P2 (penambahan sari bit 50 %) memiliki skor persentase

67.5 74.9 62.5 64.9 71.6

81.6 75.7 79.1

Aroma Warna Rasa Tekstur

Persentase Uji Organoleptik Kerupuk P1 (25 %) P2 (50 %)

(21)

4 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P1

(penambahan sari bit 25 %).

Kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % dan kerupuk dengan

penambahan sari bit 50 %

menghasilkan aroma seperti aroma kerupuk pada umumnya. Pada dasarnya bit memiliki bau yang langu, namun pada proses pembuatan sari bit, bit dikukus sehingga dapat menghilangkan bau langu. Sesuai dengan Astawan (2009) bahwa bau langu dapat hilang ketika terkena suhu panas atau proses pemasakan dengan suhu tinggi.

Warna merah yang dihasilkan pada kerupuk dipengaruhi oleh bahan yang digunakan yaitu bit. Bit mengandung pigmen betalain yang dapat memberikan warna merah alami. Perbedaan warna yang dihasilkan pada kedua perlakuan dikarenakan, kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % penggunaan air digantikan seluruhnya oleh sari bit sehingga menghasilkan warna kerupuk yang lebih merah.

Sedangkan kerupuk dengan

penambahan sari bit 25 % adanya pencampuran sari bit dengan air sehingga pada saat dilakukan pemanasan pada adonan akan menghasilkan warna yang kurang merah.

Rasa pada kerupuk dalam penelitian ini dihasilkan dari penggunaan garam dan sari bit. Secara alami bit mengandung sukrosa sehingga memiliki rasa manis. Perbedaan rasa pada kerupuk terjadi karena adanya penambahan sari bit yang berbeda pada setiap perlakuan. Hal tersebut disebabkan, karena semakin tinggi proporsi penambahan sari bit juga akan mempengaruhi rasa dari kerupuk. Menurut Hidayat (2006) rasa suatu bahan makanan dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsentrasi,

dan interaksi dengan komponen rasa lain.

Tekstur kerupuk yang renyah dikarenakan penggunaan tepung tapioka. Tepung tapioka mengandung amilopektin yang dapat mempengaruhi daya kembang kerupuk. Kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % dan 50 % memiliki kerenyahan yang baik dan hampir sama, dikarenakan penggunaan tepung tapioka dengan konsentrasi yang sama. Namun pada kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki tekstur yang sedikit padat, dikarenakan proporsi penggunaan sari bit yang lebih banyak.

Kandungan Zat Gizi Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium Biokimia FMIPA USU kandungan zat gizi yang terkandung dalam setiap 100 gram kerupuk dengan penambahan sari bit dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Kerupuk dengan Penambahan Sari Bit per 100 gr

Zat Gizi Perlakuan

P1 P2 Serat 6,7 % 8,5 % Protein 0,7 % 0,8% Lemak 61,1 % 54,1 % Vitamin C 1,4 % 3,3 % Kadar Air 0,24 % 0,03 % Kadar Abu 0,33 % 0,33 %

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, dapat dilihat perbedaan kadar serat dalam kerupuk P1 dan P2, dimana kadar serat kerupuk per 100 gram yaitu pada kerupuk P2 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P1. Perbedaan kadar serat pada tiap perlakuan kerupuk ini diakibatkan oleh

(22)

5 konsentrasi sari bit yang berbeda

antara kerupuk P1 dan kerupuk P2. Angka kecukupan serat yang dianjurkan bagi anak-anak sebanyak 26 gram per hari, remaja laki-laki sebanyak 35 gram per hari dan 30 gram per hari untuk remaja perempuan, laki-laki dewasa sebanyak 38 gram per hari dan 30 gram per hari untuk wanita dewasa (PUGS, 2014). Sehingga dengan konsumsi tiap 100 gram kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memberikan kontribusi serat sebesar 8,5 gram.

Kadar protein kerupuk per 100 gram pada kerupuk P2 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P1. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kadar protein seiring dengan tingginya proporsi penambahan sari bit pada kerupuk.

Jumlah asupan protein yang direkomendasikan bagi bagi anak-anak sebanyak 49 gram per hari, remaja laki-laki sebanyak 72 gram per hari dan 69 gram per hari untuk remaja perempuan, laki-laki dewasa adalah 65 gram per hari dan wanita dewasa adalah 57 gram per hari (PUGS, 2014). Dalam hal ini, kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % dan 50 % belum dapat memenuhi kebutuhan protein karena kadar protein yang rendah. Akan tetapi, bila diperhatikan bahwa fungsi kerupuk hanya sebagai makanan tambahan lauk pauk atau sebagai makanan kecil, maka jumlah yang dikonsumsinya pun hanya sedikit saja. Sehingga dalam hal ini kerupuk tidak dapat dikategorikan sebagai sumber protein. Artinya walaupun ada, peranannya kecil sekali dalam mensuplai protein (Koswara, 2009).

Kadar lemak kerupuk per 100 gram pada kerupuk P1 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P2. Kadar lemak pada kerupuk P1 lebih tinggi dikarenakan memiliki daya serap yang

tinggi di dalam menyerap minyak

setelah digoreng. Menurut

Kusumaningrum (2009) daya serap yang tinggi menunjukkan terjadinya bagian yang matang dari kerupuk secara menyeluruh sehingga bagian tersebut menyerap banyak minyak, berbeda jika kerupuk memiliki daya serap minyak yang kecil, hal ini akan menyebabkan kerupuk berada dalam kondisi yang kurang mengembang.

Anjuran konsumsi lemak dan minyak tidak boleh lebih dari 25 % dari kebutuhan energi sehari-hari (PUGS, 2014). Konsumsi tiap 100 gram kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % dapat memberikan kontribusi lemak sebesar 54,1 gram. Karena sebagian besar lemak yang terdapat pada kerupuk ini berasal dari minyak goreng, sehingga konsumsinya juga tetap harus dibatasi.

Kadar Vitamin C kerupuk per 100 gram pada kerupuk P2 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P1. Perbedaan kadar vitamin C pada tiap perlakuan kerupuk ini diakibatkan oleh konsentrasi sari bit yang berbeda antara kerupuk P1 dan kerupuk P2.

Semakin tinggi konsentrasi

penambahan sari bit pada kerupuk, semakin tinggi pula kadar vitamin C yang terkandung pada kerupuk.

Angka kecukupan vitamin C yang dianjurkan bagi anak-anak sebanyak 45 mg per hari, remaja laki-laki sebanyak 75 mg per hari dan 65 mg per hari untuk remaja perempuan, laki-laki dewasa sebanyak 90 mg per hari dan 75 mg per hari untuk wanita dewasa (PUGS, 2014). Sehingga dengan konsumsi tiap 100 gram kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memberikan kontribusi vitamin C sebesar 3,3 mg.

Kadar air kerupuk per 100 gram pada kerupuk P1 lebih tinggi dibandingkan kerupuk P2, dikarenakan

(23)

6 adanya tambahan air pada adonan

kerupuk P1 selain dari sari bit. Sedangkan pada kerupuk P2 tidak ditambahkan air lagi pada adonan kerupuk, sehingga memiliki kadar air yang lebih sedikit.

Apabila kerupuk dengan penambahan sari bit dibandingan dengan kerupuk menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), kadar air kerupuk pada kedua perlakuan yaitu P1 sebesar 0,24 % dan P2 sebesar 0,03 % masih dalam standar SNI sebesar maksimal 12 % ketika kerupuk sudah digoreng. Makin rendah kadar airnya maka umur simpan akan semakin lama.

Kadar abu pada kerupuk P1 dan P2 memiliki kadar yang sama yaitu 0,33 %. Apabila dibandingkan dengan kerupuk menurut Standar Industri Nasional (SNI), Kadar abu dari kerupuk dengan penambahan sari bit pada kedua perlakuan (25 % dan 50 %) yaitu sebesar 0,33 %, masih dalam ketentuan SNI yaitu sebesar maksimal 2 %.

Penentuan kadar abu

dilakukan dengan tujuan untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, serta dijadikan parameter nilai gizi bahan makanan (Budiyanto, 2002). Menurut Muchtadi (1989) kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar mineral dalam bahan tersebut. Kandungan kadar abu yang kecil pada produk kerupuk yang dihasilkan, disebabkan adanya proses pemanasan yang dilakukan dengan pengovenan, sehingga tidak menghasilkan zat anorganik yang merupakan sisa-sisa hasil pembakaran suatu bahan organik (Budiyanto, 2002).

KESIMPULAN

1. Berdasarkan uji daya terima terhadap aroma, warna, rasa dan tekstur kerupuk yang disukai oleh panelis adalah kerupuk P2.

2. Kerupuk dengan penambahan sari bit 50 % memiliki kadar serat, protein, dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sari bit 25 %.

3. Kerupuk dengan penambahan sari bit 25 % memiliki kadar lemak dan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sari bit 50 %. 4. Kerupuk terbaik diperoleh dari

kerupuk P2 yaitu kerupuk dengan perbandingan 50 % sari bit dan 50 % tepung tapioka, menghasilkan kerupuk dengan warna merah, beraroma khas kerupuk, berasa gurih dan khas manis bit serta renyah.

SARAN

1. Agar masyarakat menjadikan kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai alternatif variasi pangan ditingkat rumah tangga ataupun tingkat industri.

2. Perlu dilakukan upaya untuk lebih memperkenalkan kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai pewarna yang aman kepada masyarakat seperti bekerjasama dengan produsen kerupuk merah untuk memproduksi kerupuk merah dengan menggunakan pewarna dari bit.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait kandungan gizi lain dalam kerupuk dengan penambahan sari bit sebagai pewarna.

(24)

7

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, N dan Faradila, RH. F. 2012. Pewarna Alami Untuk Pangan. Bogor : South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor

Astawan, M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Depok : Penebar Swadaya

Budiyanto, M. A. K. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang : UMM Press

Dalimunthe, I. 2010. Analisis Rhodamin B Pada Jajanan Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan

Hanafiah, K.A. 2014. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Cetakan ke-15. Jakarta : Rajawali Pers

Hidayat, N dan Saati, E.A. 2006. Membuat Pewarna Alami. Cetakan Pertama. Surabaya : Trubus Agrisarana

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta : Bakti Husada

Koswara, S. 2009. Pengolahan Aneka Kerupuk.

http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/Pengo lahan-Aneka-Kerupuk.pdf, diakses pada 7 September 2015

Kusumaningrum, I. 2009. Analisa Faktor Daya Kembang Dan Daya Serap Kerupuk Rumput Laut Pada Variasi Proporsi Rumput Laut. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. IV No. 2

Murtiyanti, M.F. 2012. Identifikasi Penggunaan Zat Pewarna Pada

Pembuatan Kerupuk Dan

Faktor Perilaku Produsen. Skripsi Fakultas Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang, Semarang

Wahyono, R., Marzuki. 2000. Pembuatan Aneka Kerupuk. Surabaya : Trubus Agrisarana Wirakusumah, E. 1995. Buah Dan

Sayur Untuk Terapi. Jakarta : Penerbit Swadaya

Zadiar. 2010. Analisa Zat Warna Pada Kerupuk Merah Yang Dijual Dibeberapa Pasar Kodya Padang. Skripsi Fakultas

Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Jurusan Farmasi Universitas Andalas, Padang

Referensi

Dokumen terkait

As his conveyance, the TARDIS, devolved into what I gather was the ghostly state suitable for its traverse between worlds, the Doctor set off into its extraordinary interior, looking

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

ditempuh seorang guru adalah; 1) menganalisis Standar Kompetensi, 2) menganalisis Kompetensi Dasar, 3) memilih dan menetapkan materi, dan 4)

Pelemahan otot merupakan primary simtom pada GBS. Pelemahan ini terjadi dengan cepat, dari hari ke minggu, dan pada awalnya mempengaruhi tungkai. Pelemahan

Anggota komunitas melakukan kegiatan dengan mendengarkan dan mengikuti program-program yang melibatkan masyarakat (program interaktif) yang dimiliki radio RSPD. Kegiatan

To resolve this problem, the proposed method determines final location by applying Bayesian estimator to detection results from each ship monitoring system in high frequency

Teknik Counter Pressure adalah teknik pijat yang sangat bermanfaat untuk memblokir impuls nyeri yang kemudian akan disalurkan ke otak.Tekanan atau pressure yang diberikan