PENGEMBANGAN BUKU CERITA BERGAMBAR BERBASIS
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI UNTUK PEMBELAJARAN
MEMBACA SISWA KELAS II B SD NEGERI DAYUHARJO
TAHUN PELAJARAN 2016-2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh:
Hilarius Alvin Krisnawan NIM : 131134030
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan penulis kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan nikmat sehat, berkat, sempat,
juga penyertaan sehingga penulis dapat dengan lancar menyelesaikan skripsi
ini.
2. Bapak Andreas Ismono dan Ibu Theresia Rina Titik Kristanti yang selalu
memberikan doa, semangat, dan dukungan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.
3. Adik saya Vincentia Indira Oktaviani yang selalu memberikan semangat
kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dengan baik dan lancar.
4. Agnes Rahayu Epifani yang selalu memberikan dukungan, penyertaan, dan
juga motivasi pada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
5. Teman dekat juga sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu
terima kasih atas keceriaan, semangat dan kebersamaan selama ini.
6. Teman-teman angkatan 2013 terima kasih atas kebersamaan selama kurang
MOTTO
“Siapa pun yang pada saat bekerja tidak mencintai pekerjaannya, itulah buruh.”
(presiden, dalang, ibu rumah tangga, dll)
“Sudjiwotedjo”
“Tidak hanya ilmu, doa, kesempatan, maupun keberuntungan yang mendekatkan pada pintu rezeki, tetapi juga teman”
(Hilarius Alvin K)
“Doa tanpa usaha itu bohong
Usaha tanpa doa itu sombong”
(Bambang Widoyoko)
“Ojo dumeh, ojo gumunan”
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang sudah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 4 Mei 2017
Peneliti
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Hilarius Alvin Krisnawan
Nomor Mahasiswa : 131134030
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
PENGEMBANGAN BUKU CERITA BERGAMBAR BERBASIS PENDIDIKAN ANTI KORUPSI UNTUK PEMBELAJARAN MEMBACA SISWA KELAS II B SD NEGERI DAYUHARJO
TAHUN PELAJARAN 2016-2017
beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 4 Mei 2017
Yang menyatakan
ABSTRAK
PENGEMBANGAN BUKU CERITA BERGAMBAR BERBASIS PENDIDIKAN ANTI KORUPSI UNTUK PEMBELAJARAN MEMBACA
SISWA KELAS II B SD NEGERI DAYUHARJO TAHUN PELAJARAN
2016-2017
Hilarius Alvin Krisnawan Universitas Sanata Dharma
2017
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang berawal dari permasalahan dan juga adanya potensi terkait dengan pendidikan anti korupsi. Masalah yang dihadapi adalah belum adanya media penunjang terkait penanaman nilai pendidikan anti korupsi. Penelitian ini difokuskan pada pembuatan media berupa buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian dan pengembangan (Research and Development atau R&D). Penelitian ini bertujuan mengembangkan produk dan mendeskripsikan kualitas buku cerita bergambar untuk siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo. Penelitian ini melalui tujuh langkah pengembangan penelitian yaitu (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, dan (7) revisi produk. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan wawancara analisis kebutuhan dan kuisioner. Wawancara yang digunakan untuk analisis kebutuhan kepada guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo, sedangkan kuesioner digunakan untuk validasi kualitas media bahan ajar oleh dosen ahli dan guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo. Uji coba produk melalui kuisioner dilakukan kepada 6 siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo sebagai subjek penelitian.
Hasil validasi dosen ahli dan guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo dengan total skor keseluruhan 4,31 dengan kategori “sangat baik”. Hasil uji coba produk kepada 6 siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo dengan total skor keseluruhan 4,31dengan kategori “sangat baik”.
ABSTRACT
THE DEVELOPMENT OF PICTURE STORY BOOKS BASED ON ANTI-CORRUPTION EDUCATION ON READING
LEARNING TO ELEMENTARY SCHOOL
STUDENTS CLASS II B OF DAYUHARJO STATE ELEMENTARY SCHOOL YEAR 2016 – 2017
Hilarius Alvin Krisnawan Sanata Dharma University
2017
This research was a development research that came from problem and other potential related to Anti-Corruption Education. The problem was there was no supported media that planted values related to Anti-Corruption Education. This research focused on making media such as picture books based on anti-corruption on reading learning for second grade B student of Dayuharjo state elementary school.
This Research and Development or R & D aimed to develop product and know the quality of picture books for second grade B students of Dayuharjo state elementary school. This research used 7 steps of development, those were (1) problem and potential, (2) data collection, (3) product design, (4) design validation, (5) design revision, (6) product trials, and (7) product revision. Instrument used in this research was a question list for interview about needs analysis and questioner. The interview about needs analysis was for second grade B teacher of Dayuharjo state elementary school, and the questioner was used for quality validation in teaching materials by lecture and second grade B teacher of Dayuharjo state elementary school. The product trial through questioner was for 6 second grade student B of Dayuharjo State Elementary School as the subject of this research.
The lecture and teacher‟s validation result was 4,31 in total that was including in category of “very good”. The product trial result of 6 second grade B student of Dayuharjo state elementary school was 4,31 in total that was “very good.”
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat sehat
dan penyertaan sehingga peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang
berjudul “Pengembangan Buku Cerita Bergambar Berbasis Pendidikan Anti Korupsi Untuk Pembelajaran Membaca Siswa Kelas II B SD Negeri Dayuharjo
Tahun Ajaran 2016-2017” dengan lancar dan tepat waktu. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Peneliti menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti
mendapatkan banyak bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak
terkait kepentingan dalam penyelesaian tugas akhir ini. Maka pada kesempatan ini
peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma.
2. Christiyanti Aprinastuti S.Si., M.Pd. selaku Kepala Program Studi PGSD.
3. Apri Damai Sagita Krisandi, S.S., M.Pd. selaku Wakaprodi Program Studi
PGSD.
4. Brigita Erlita Tri Anggadewi, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen Pembimbing I
yang telah membimbing dan memberi dukungan kepada peneliti sehingga
dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
5. Apri Damai Sagita Krisandi, S.S., M.Pd. selaku Dosen Pembimbing II
yang telah membimbing dan juga mendukung sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini.
6. Para validator yang telah berkenan meluangkan waktu dan juga membantu
dalam proses validasi produk.
7. Drs. Abu Yamin Kepala Sekolah SD Negeri Dayuharjo yang telah
8. Guru SD Negeri Dayuharjo yang telah membantu pelaksanaan analisis
kebutuhan dan mengijinkan siswa untuk berpartisipasi dalam uji coba
produk yang dikembangkan oleh peneliti.
9. Seluruh siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo yang telah bersedia
berpartisipasi dalam pelaksanaan uji coba produk.
10.Bapak Andreas Ismono dan Ibu Theresia Rina Titik Kristanti yang selalu
memberikan doa, semangat, cinta kasih, dan dukungan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.
11.Adik Vincentia Indira Oktaviani yang selalu memberikan semangat kepada
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dengan baik dan lancar.
12.Agnes Rahayu Epifani yang selalu memberikan dukungan, penyertaan, dan
juga motivasi pada penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih
untuk setiap chat yang selalu mengingatkan dalam mencicil tugas skripsi.
GBU
13. Teman-teman PGSD angkatan 2013, teman-teman PPL, teman payung
skripsi dan teman-teman lain yang mendukung serta ikut mendoakan.
14. Member To School For School : Spesial Muhammad Ais Erwin & Dyah
Nevi Anggraini. Terima kasih Arif Sae, Iyus, Danang, Albertin, Ristiana
Putri, dan teman-teman lain yang telah membantu.
15.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
memberikan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini memiliki banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, peneliti sangat membutuhkan kritik dan saran
dari berbagai pihak demi perbaikan karya ilmiah ini.
Yogyakarta, 4 April 2017
Peneliti,
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka ... 11
2.1.1 Pendidikan Anti Korupsi ... ... 11
2.1.1.1 Pengertian Korupsi ... 11
2.1.1.2 Tujuan Pendidikan Anti Korupsi ... . 16
2.1.1.3.1 Kejujuran ... 19
2.1.2 Buku Cerita Bergambar ... 22
2.1.2.1 Unsur-Unsur Cerita ... 24
2.1.2.2 Kriteria Buku Cerita yang Baik bagi Anak...28
2.1.3 Pengertian Membaca ... .29
2.1.3.1 Tujuan Membaca ... 30
2.1.3.2 Gerakan Literasi Sekolah ... 31
2.1.3.3 Prinsip-Prinsip Literasi Sekolah ... 33
2.1.3.4 Langkah-Langkah Kegiatan Membaca Literasi ... 34
2.1.3.4.1 Membacakan Nyaring ... 35
2.1.3.4.2 Membaca Dalam Hati ... 37
2.1.4 Tahap Perkembangan Anak ... 38
2.1.4.1 Perkembangan Anak SD Kelas Bawah ... 42
2.2 Penelitian yang Relevan ... 45
2.3 Kerangka Berpikir ... 49
2.4 Pertanyaan Penelitian ... 51
BAB III METODE PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian ... 52
3.2Prosedur Pengembangan ... 59
3.2.1 Potensi dan Masalah ... 60
3.2.2 Pengumpulan Data ... 61
3.2.3 Desain Produk ... 61
3.2.5 Revisi Desain ... 62
3.5Instrumen Penelitian... 65
3.5.1 Wawancara ... 66
3.5.2 Kuisioner ... 67
3.6Teknik Analisis Data ... 70
3.6.1 Teknik Analisa Data Kualitatif ... 70
3.6.2 Teknik Analisa Data Kuantitatif ... 70
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 4.1Hasil Penelitian Pengembangan ... 73
4.1.1 Proses Pengembangan Buku Cerita ... 73
4.1.1.3.10 Teknik Cetak ... 84
4.1.1.4 Validasi... 84
4.1.1.4.1 Data Hasil Validasi Dosen Ahli ... 85
4.1.1.4.2 Data Hasil Validasi Guru Kelas II B ... 88
4.1.1.5 Revisi Desain ... 89
4.1.1.6 Uji Coba Produk ... 93
4.2Kualitas Buku Cerita ... 95
4.3 Pembahasan ... 96
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 101
5.2 Keterbatasan Pengembangan ... 102
5.3 Saran ... 102
DAFTAR PUSTAKA ... 103
LAMPIRAN ... 106
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tahap Membaca Nyaring ...35
Tabel 2.2 Tahapan Membaca dalam Hati ...37
Tabel 3.1 Daftar Pertanyaan Wawancara ...66
Tabel 3.2 Pedoman Uji Validasi Produk untuk Pakar dan Guru ...68
Tabel 3.3 Contoh Instrumen Kuesioner Uji Validasi Pakar dan Guru ...68
Tabel 3.4 Konversi Nilai Skala Lima ...71
Tabel 4.1 Rangkuman Hasil Wawancara ...75
Tabel 4.2 Pengenalan Tokoh Harsa ...78
Tabel 4.3 Hasil Validasi Buku Cerita Bergambar oleh Dosen...85
Tabel 4.4 Komentar Buku Cerita Bergambar oleh Guru Kelas ...88
Tabel 4.5 Revisi Desain Buku Cerita Bergambar oleh Dosen ...89
Tabel 4.6 Ringkasan Hasil Uji Coba Produk ...93
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Judul Buku ... 80
Gambar 4.2 Gambar Sketsa Tangan... 81
Gambar 4.3 Gambar Sketsa Tangan yang Belum diberikan Warna ... 82
Gambar 4.4 Gambar Sesudah Diwarnai Menggunakan Adobe Photoshop CS6 ... 82
Gambar 4.5 Font untuk Judul Buku ... 83
Gambar 4.6 Font untuk Isi Cerita ... 84
Gambar 4.7 Sampul Depan Sebelum Revisi ... 90
Gambar 4.8 Sampul Depan Setelah Revisi Diberi Gradasi Warna ... 90
Gambar 4.9 Gambar Sampul Depan Awal ... 91
Gambar 4.10 Gambar Sampul Setelah Revisi ... 91
Gambar 4.11 Box Caption Sebelum Revisi ... 92
Gambar 4.12 Box Caption Setelah Revisi... 92
Gambar 4.13 Gambar Gaya Tipografi Sebelum Revisi ... 94
Gambar 4.14 Gambar Gaya Tipografi Setelah Revisi ... 94
Gambar 4.15 Diagram Batang Rekapitulasi Hasil Validasi ... 96
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Wawancara dengan Guru Kelas II B ... 107
Lampiran 2. Hasil Validasi Dosen Ahli ... 109
Lampiran 3. Hasil Validasi Guru Kelas II B ... 112
Lampiran 4. Hasil Uji Coba Produk 6 Siswa ... 116
Lampiran 5. Surat Izin Penelitian... 134
Lampiran 6. Surat Keterangan Melakukan Penelitian ... 135
Lampiran 7. Dokumentasi ... 136
Lampiran 8. Buku Cerita Bergambar (Dicetak Terpisah) ... 138
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pendidikan anti korupsi dalam Syarbini dan Arbain (2014 : 7) adalah usaha
sadar untuk memberi pemahaman dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi
yang dilakukan dari pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal pada
lingkungan keluarga, dan pendidikan non formal di masyarakat. Pendidikan anti
korupsi dapat dikatakan sebagai sikap penolakan terhadap berkembangnya budaya
korupsi. Korupsi menurut Wijaya (2014 : 4) memiliki pengertian sebagai
sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan merugikan orang lain. Tindakan
korupsi meliputi berbagai bentuk perbuatan, dimulai dari skala kecil hingga yang
berpengaruh terhadap kepentingan orang banyak.
Penolakan terhadap tindakan korupsi merupakan mentalitas dalam membina
kemampuan generasi mendatang untuk mampu mengidentifikasi berbagai
kelemahan dari sistem nilai yang mereka warisi dan memperbaharui sistem nilai
warisan dengan situasi-situasi tertentu (Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 114).
Pembinaan generasi muda terhadap bahaya budaya korupsi dapat dilakukan
melalui institusi pendidikan seperti halnya sekolah. Sekolah menjadi wahana yang
strategis dalam pengenalan nilai-nilai pendidikan anti korupsi. Dikatakan strategis
karena disadari atau tidak, anak-anak memeroleh pengetahuan, sikap, dan
menjadi waktu bagi guru dalam menginternalisasi nilai-nilai terkait suatu mata
pelajaran tertentu, seperti halnya nilai-nilai pendidikan anti korupsi.
Pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), istilah korupsi mungkin akan
terasa asing di telinga anak terutama bagi anak kelas II. Pemahaman terkait
nilai-nilai pendidikan anti korupsi penting untuk diberikan sejak dini terutama pada
anak usia SD. Berdasarkan hasil wawancara pada guru kelas II B SD Negeri
Dayuharjo, menuturkan bahwa pendidikan anti korupsi penting untuk diberikan
pada anak. Menurut narasumber pendidikan anti korupsi secara tidak langsung
disampaikan melalui penanaman nilai-nilai anti korupsi yang diimplementasikan
dalam 2 mata pelajaran yaitu Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Bahasa
Indonesia.
Pentingnya penanaman nilai anti korupsi menurut narasumber berdasarkan
pengaplikasian nilai pendidikan anti korupsi yang selalu bersinggungan dengan
dunia anak. Narasumber memberikan contoh bahwa nilai pendidikan anti korupsi
hadir semisal mengajarkan akan nilai kejujuran yang diimplementasikan dalam
mata pelajaran PKn. Nilai ini dapat ditemukan dalam bab yang membahas nilai
kejujuran maupun terdapat dalam soal. Selain itu, penggambaran nilai pendidikan
anti korupsi juga dapat dimunculkan dalam cerita pada bacaan terkait amanat
maupun karakter tokoh pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini menjadi
alasan mengapa pendidikan anti korupsi perlu diberikan pada anak SD terutama
kelas bawah.
Pengenalan nilai pendidikan anti korupsi pada anak dapat dilakukan dengan
menurut Nurgiyantoro (2010:152) adalah buku bacaan cerita anak yang di
dalamnya terdapat gambar-gambarnya. Bahan bacaan anak memiliki kesan penuh
gambar, warna, tersaji dengan kemasan buku yang menarik, karakter tokoh mudah
dikenali, dan alur cerita yang sederhana. Buku bergambar dipergunakan untuk
bacaan anak di usia awal sampai usia yang lebih besar dan bahkan, tidak jarang
juga, untuk orang dewasa. Buku bergambar merupakan perpaduan antara tulisan
dan gambar. Melalui gambar dapat diterjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk
lebih realistis (Anitah, 2009: 8). Penggambaran dalam bentuk yang lebih realistis
ditunjukkan lewat hadirnya media pembelajaran di kelas. Media tersebut seperti
gambar tokoh pahlawan, pakaian tradisional, rumah adat maupun
keanekaragaman hayati yang ditempelkan di dinding-dinding ruang kelas.
Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
oleh guru agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan
kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan di dalam diri
siswa (Wijaya, 2014 : 51). Pembelajaran di kelas dapat terselenggara dengan baik
apabila terdapat hubungan yang saling mendukung antara guru dan juga siswa.
Guru menjalankan tugas utama sebagai pendidik dan pengajar, sementara siswa
membalas bantuan yang diberikan oleh guru dengan bersikap kooperatif guna
mencapai kompetensi ataupun kecakapan yang ditetapkan oleh guru dalam
pembelajaran. Kompetensi siswa dalam proses pembelajaran dibutuhkan guna
mendukung penyampaian materi yang diberikan oleh guru. Salah satu kompetensi
Membaca merupakan suatu kegiatan berpikir untuk memahami dan
mengetahui maksud dari keterangan yang diberikan oleh penulis. Menurut
Dalman (2013: 5) membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif untuk
menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan. Informasi hadir
melalui karya tulisan penulis berupa gagasan, pengalaman dan lain sebagainya.
Dalam usaha memperoleh informasi yang diberikan oleh penulis, pembaca harus
mampu menginterpretasikan maksud dari tulisan penulis. Dengan demikian
pembaca harus mampu menyusun pengertian-pengertian yang tertuang dalam
kalimat-kalimat yang disajikan oleh pengarang sesuai dengan konsep yang
terdapat pada diri pembaca (Haryadi, 2007:77).
Di Indonesia minat baca terbilang masih rendah. Hasil survei UNESCO
pada 2011 menunjukkan indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya
0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih mau
membaca buku secara serius (jurnalasia.id, 30/04/2016). Berdasarkan survei
tersebut, ditemukan fakta di lapangan berupa hasil wawancara yang dilakukan
pada guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo pada 29 November 2016, yang
menunjukkan kompetensi terkait membaca belum terpenuhi oleh anak di sekolah
tersebut. Dari hasil wawancara yang dilakukan (hasil wawancara terlampir), ada
sedikitnya 1 anak dari total 29 anak kelas II B SD Negeri Dayuharjo yang belum
dapat membaca, 3 anak kurang cermat dalam mengeja dan sebagian besar kurang
memahami bacaan yang dibaca. Dari hasil wawancara tersebut, dapat diketahui
bahwa pembelajaran membaca perlu ditingkatkan pada siswa kelas bawah. Selain
kebijakan pemerintah yang diterapkan di sekolah yaitu berupa larangan
penerimaan anak baru melalui tes membaca. Oleh karena itu, ditemukan banyak
anak yang belum dapat membaca memasuki jenjang pendidikan SD dikarenakan
oleh sistem penerimaan siswa baru berdasarkan usia anak.
Membaca sebagai salah satu cara dalam memperoleh informasi terus
diusahakan hadir di sekitar lingkungan belajar anak. Hal ini terlihat dengan
adanya Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS sebagai upaya menyeluruh yang
dilakukan di lingkungan sekolah memiliki tujuan menanamkan budaya membaca
sebagai kebiasaan yang menyenangkan dan ramah pada anak agar warga sekolah
mampu mengelola pengetahuan. Penanaman kebiasaan membaca anak dilakukan
dengan pembiasaan membaca oleh anak di sekolah dengan kisaran waktu 15
menit sebelum pelajaran dimulai dan sesudah pelajaran selesai. Sebagai gerakan
yang partisipatif, GLS melibatkan seluruh elemen terutama bagi peserta didik
yang diwujudkan melalui pembiasaan membaca.
Tahapan keterampilan membaca anak senada dengan perkembangan anak
yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan anak oleh Piaget
dibagi menurut empat tahap seperti (1) tahap sensorimotor yang berlangsung sejak
anak lahir hingga berusia dua tahun, (2) tahap praoperasional yang berlangsung
dari usia dua tahun sampai dengan anak berusia tujuh tahun, (3) tahap operasional
konkret yang berlangsung dari usia tujuh tahun sampai dengan dua belas tahun,
(4) tahap operasional formal yang berlangsung pada usia dua belas tahun sampai
dengan dewasa (Salkind, 2009: 328). Pada anak kelas II SD, anak masuk pada
sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi, tetapi
hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam tahap ini, anak telah hilang
kecenderungan terhadap animism dan articialisme. Egosentrisnya berkurang dan
kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi menjadi lebih baik. Namun, tanpa
objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap operasional konkret masih
mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. Hal ini
merupakan kecenderungan dari anak usia sekolah awal di mana perkembangan
berbanding lurus dengan logika terkait objek fisik yang abstrak. Semakin matang
pola berpikir anak, semakin dapat pula menyelesaikan tugas-tugas yang
mempergunakan logika pada objek yang berbentuk abstrak.
Berdasarkan masalah tersebut, peneliti akan mencoba mengembangkan
buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran
membaca siswa kelas II SD. Buku cerita bergambar ini diharapkan dapat memberi
motivasi anak untuk meningkatkan keterampilan membaca sekaligus
memperkenalkan nilai pendidikan anti korupsi disesuaikan dengan tampilan buku,
isi cerita, maupun karakter tokoh menurut karakteristik siswa kelas II SD. Buku
yang akan dikembangkan merupakan buku cerita bergambar berbasis pendidikan
anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana proses pengembangan buku cerita bergambar berbasis pendidikan
anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri
Dayuharjo tahun pelajaran 2016/2017?
2. Bagaimana kualitas produk buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti
korupsi yang layak untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri
Dayuharjo tahun pelajaran 2016/2017?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian pengembangkan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti
korupsi adalah :
1. Menjelaskan bagaimana proses pengembangan buku cerita bergambar
berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II
B SD Negeri Dayuharjo tahun pelajaran 2016/2017.
2. Mendeskripsikan bagaimana kualitas pengembangan buku cerita bergambar
berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II
B SD Negeri Dayuharjo tahun pelajaran 2016/2017.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1`Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan mampu memotivasi dan memperkenalkan siswa
untuk mengetahui lebih dalam mengenai pendidikan anti korupsi melalui
1.4.2 Bagi Guru
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan membuat guru dapat mempergunakan
buku cerita bergambar ini sebagai referensi dalam mengajar khususnya
mengajarkan nilai anti korupsi. Selain itu, melalui pengembangan buku cerita
bergambar ini diharapkan dapat menambah variasi pada kegiatan
pembelajaran membaca sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan
menarik minat siswa dalam belajar membaca.
1.4.3 Bagi Sekolah
Pengembangan buku cerita bergambar ini diharapkan menambah
perbendaharaan buku cerita bergambar di sekolah. Selain itu, hadirnya buku
cerita bergambar ini juga dapat dipergunakan sebagai referensi milik sekolah
dalam pengenalan nilai anti korupsi pada siswa khususnya kelas bawah.
1.4.4 Bagi prodi PGSD
Penelitian pengembangan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti
korupsi ini dapat menambah pustaka prodi PGSD Universitas Sanata Dharma
terkait dengan pengembangan buku cerita bergambar untuk pembelajaran
membaca kelas II SD.
1.4.5 Bagi Peneliti
Memberikan tambahan wawasan dan pengalaman bagi peneliti dalam
mengembangkan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi.
Peneliti mengharapkan melalui hadirnya buku cerita bergambar berbasis
pendidikan anti korupsi ini dapat membantu dalam pembelajaran membaca
anak sekaligus memperkenalkan nilai anti korupsi yang bersinggungan
1.5 Definisi Operasional
1. Membaca adalah kegiatan aktif yang dilakukan untuk memperoleh
informasi terkait makna tulisan penulis yang didapatkan melalui berbagai
media tulis atau media lainnya.
2. Buku cerita bergambar adalah buku yang dibuat dengan memadukan cerita,
gambar dan bahasa yang sederhana serta dikemas halaman sampul yang
menarik.
3. Pendidikan anti korupsi adalah usaha sadar dan terencana dalam
memberikan penanaman dan penguatan nilai-nilai dalam membentuk sikap
anti korupsi yang diharapkan mampu diwujudkan generasi muda dalam
usaha melawan korupsi.
1.6 Spesifikasi Produk
Spesifikasi produk yang dihasilkan adalah :
1. Disesuaikan menurut tahap perkembangan anak yaitu konkret dan bahasa
yang digunakan sederhana.
2. Pembuatan buku cerita bergambar didesain penuh warna dan dikemas
menarik supaya meningkatkan minat anak dalam membaca.
3. Dilengkapi dengan komponen kata pengantar, panduan penggunaan buku,
kesimpulan, dan refleksi.
4. Bersifat kontekstual atau terkait dengan lingkungan sekitar anak.
5. Buku cerita bergambar dicetak dengan menggunakan kertas ivory 230 pada
bagian sampul buku, sedangkan isi buku dicetak dengan kertas AP (Art
6. Buku ini dibuat menggunakan gambar manual yang dipadukan ke dalam
Adobe Photoshop CS6.
7. Produk buku cerita bergambar memiliki jumlah halaman sebanyak 26 lembar
BAB II
LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pendidikan Anti Korupsi 2.1.1.1 Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara-negara
di dunia tak terkecuali di Indonesia. Korupsi bagaikan penyakit yang sukar
disembuhkan dan merupakan fenomena yang kompleks (Wijaya, 2014 : 4). Istilah
korupsi dalam Syarbini dan Arbain (2014 : 4) berasal dari bahasa Latin
“corruptus” atau “corruptio” yang berarti “to abuse” (menyalahgunakan) atau
“to deviate” (menyimpang). Korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(dalam Wijaya, 2014 : 4) adalah busuk, palsu, suap.
Korupsi adalah tindakan yang menyebabkan negara menjadi bangkrut dengan
pengaruh luar biasa seperti hancurnya perekonomian, pelayanan kesehatan tidak
memadai, dan rusaknya sistem pendidikan sehingga membudaya dalam kehidupan
bangsa indonesia. Korupsi menurut Hamzah (dalam Syarbini dan Arbain, 2014 :
7) adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, dan kata-kata atau ucapan yang
memfitnah. Korupsi diartikan secara lebih luas adalah perbuatan yang merugikan
orang lain dan juga menyimpang. Perbuatan merugikan dan menyimpang ini perlu
mendapat perhatian khusus oleh negara. Di Indonesia, korupsi tergolong ekstra
ordinary crime, karena telah merusak tidak hanya keuangan Negara dan potensi
moral, politik, dan tatanan hukum dan keamanan sosial (Syarbini dan Arbain,
2014 : 27).
Lebih lanjut, untuk menganalisis secara detail tentang konsep korupsi, Harahap
(dalam Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 12) membagi korupsi menjadi 7 (tujuh)
tipologi, yakni:
a. Korupsi Transaktif (transactive corruption), yaitu kesepakatan timbal balik
antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan
dengan aktif diusahakan keuntungan oleh kedua-duanya. Misalnya, transaksi
ilegal luar negeri, transaksi penyelundupan, dan menyalahgunakan dana.
b. Korupsi Memeras (exportive corruption), yaitu perilaku dengan pihak pemberi
dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang mengancam dirinya,
kepentingannya, atau orang-orang yang bersamanya, seperti intimidasi,
penyiksaan, menawarkan jasa perantara dan konflik kepentingan.
c. Korupsi Investif (investivecorruption), adalah pemberian barang dam jasa tanpa
ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang
dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang. Misalnya penyuapan dan
penyogokan, meminta komisi, menerima hadiah uang jasa, dan uang pelicin.
d. Korupsi Perkerabatan (nepotisic corruption) adalah menunjuk perilaku yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara memegang jabatan atau tindakan
yang memberikan perlakuan khusus dalam bentuk uang atau bentuk lain
kepada mereka yang bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku,
e. Korupsi Defensif (defensive corruption) adalah perbuatan korban korupsi
pemerasan demi mempertahankan diri, seperti menipu, mengecoh, mencurangi
dan memperdayai, serta memberi kesan salah.
f. Korupsi Otogenik (autogenic corruption) adalah korupsi yang dilakukan sendiri
tanpa melibatkan orang lain, seperti menipu, mencuri, merampok, tidak
menjalankan tugas, memalsu dokumen, menyalahgunakan telekomunikasi, pos,
stempel, kertas surat kantor, dan hak istimewa jabatan.
g. Korupsi Dukungan (support corruption) adalah korupsi yang secara tidak
langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain, tindakan
yang dilakukan untuk melindungi dan memperkuat korupsi kekuasaan yang
sudah ada, seperti memalsu peraturan, menjegal pemilihan umum dan lain
sebagainya.
Menyikapi fenomena tersebut diperlukan suatu upaya yang holistik dalam
pemberantasan korupsi baik dari segi aparat penegak hukum, kebijakan
pengelolaan negara sampai ke pendidikan formal di sekolah (Aditjondro, 2002).
Di lingkungan sekolah banyak ditemukan praktik korupsi mulai dari yang paling
sederhana seperti menyontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, masuk
sekolah terlambat, sampai menggelapkan uang pembangunan sekolah yang
bernilai puluhan juta rupiah (Wijaya, 2014 : 4). Terkait contoh tersebut, apabila
dihubungkan pada konsep korupsi menurut tipologi, perbuatan menyontek,
berbohong, melanggar aturan sekolah, masuk sekolah terlambat maupun
penggelapan uang sekolah termasuk konsep tipologi korupsi defensif dan
otogenik. Kebijakan pengelolaan sebagai antisipasi terkait tindakan korupsi di
beberapa mata pelajaran di sekolah. Pengintegrasian nilai-nilai luhur tersebut
dilakukan sebagai upaya membentuk perilaku siswa yang anti korupsi. Melalui
perilaku anti korupsi, mata rantai virus korupsi dapat terputus.
Upaya pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan harus dilaksanakan
karena tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan merupakan wahana yang sangat
strategis untuk membina generasi muda agar menanamkan nilai-nilai kehidupan
termasuk anti korupsi (Wijaya, 2014 : 24). Pendidikan menurut John Dewey
(dalam Syarbini dan Arbain, 2014 : 3) adalah proses pembentukan
kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama
manusia. Pengertian pendidikan juga dikemukakan oleh Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengemukakan
pengertian pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Usaha ini termasuk dalam
pengembangan potensi peserta didik dalam segala aspek dalam diri (intern peserta
didik), kemudian pada lingkup yang lebih luas seperti lingkup masyarakat dalam
hidup berbangsa dan bernegara.
Melihat peran sentral pendidikan bagi pemberantasan korupsi, pendidikan
anti korupsi penting ditanamkan pada generasi muda sebagai upaya sadar dan
terencana menanggulangi bahaya tindakan korupsi. Pendidikan anti korupsi dalam
pengertiannya adalah usaha sadar untuk memberi pemahaman dan pencegahan
pendidikan informal pada lingkungan keluarga, dan pendidikan non formal di
masyarakat. Pendidikan anti korupsi tidak berhenti pada pengenalan nilai-nilai
anti korupsi saja, akan tetapi, berlanjut pada pemahaman nilai, penghayatan nilai
dan pengamatan nilai anti korupsi menjadi kebiasaan hidup sehari-hari.
Pendidikan anti korupsi secara umum dikatakan sebagai pendidikan koreksi
budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir dan nilai-nilai baru
kepada peserta didik (Syarbini dan Arbain, 2014 :7).
Pendidikan anti korupsi adalah penanaman dan penguatan nilai-nilai dasar
yang diharapkan mampu membentuk sikap anti korupsi dalam diri peserta didik
(Wijaya, 2014 : 24). Melalui penanaman nilai dasar anti korupsi dapat
meningkatkan sikap tidak toleran pada tindakan korupsi sehingga mewujudkan
nilai-nilai dalam usaha melawan korupsi di kalangan generasi muda.
Upaya pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan bukan suatu alternatif
melainkan suatu keharusan atau kewajiban (Wijaya, 2014 : 24). Hal ini
dikarenakan oleh upaya yang dilakukan oleh pemerintahan tidak mampu
mematahkan keyakinan bahwa negara ini memang negara yang korup. Fakta
terkait kasus korupsi dapat diketahui melalui pemberitaan di televisi, surat kabar,
maupun media informasi lainnya. Tertangkapnya oknum pejabat pemerintahan,
seniman maupun oknum yang bekerja di berbagai bidang, merupakan gambaran
bahwa korupsi terjadi hampir di semua bidang dan sektor pembangunan.
Keberhasilan penanggulangan pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung
pada penegakkan hukum saja, namun ditentukan pula pada aspek tindakan
dini dengan menguatkan pendidikan anti korupsi di sekolah/madrasah (Mukodi
dan Burhanuddin, 2014 : 113).
Melalui penjelasan di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa pendidikan
anti korupsi merupakan usaha sadar dan terencana dalam memberikan penanaman
dan penguatan nilai-nilai dalam membentuk sikap anti korupsi yang diharapkan
mampu diwujudkan generasi muda dalam usaha melawan korupsi. Pendidikan
anti korupsi berwujud dalam pengintegrasian suatu mata pelajaran di sekolah.
Pendidikan anti korupsi di sekolah merupakan salah satu cara dalam memutus
mata rantai korupsi di Indonesia melalui sektor pendidikan.
2.1.1.2 Tujuan Pendidikan Anti Korupsi
Pendidikan anti korupsi merupakan langkah pencegahan sejak dini terjadinya
korupsi. Strategi ini punya dampak baik dalam penanggulangan korupsi. Hanya
saja, pendekatan preventif ini memang tidak dapat dinikmati langsung, tetapi akan
terlihat hasilnya dalam jangka panjang (Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 113).
Usaha dalam pemberian pengetahuan dan pemahaman mengenai korupsi tentu
saja memiliki tujuan.
Tujuan pendidikan anti korupsi menurut Syarbini dan Arbain (2014 : 13)
adalah untuk :
1. Menanamkan nilai dan sikap hidup anti korupsi kepada warga sekolah.
Penanaman nilai dan sikap hidup anti korupsi kepada warga sekolah
merupakan tujuan utama dalam menerapkan pendidikan anti korupsi di
lingkungan pendidikan. Dengan penanaman nilai dan sikap kepada warga
sekolah, secara sadar telah mengajak warga sekolah untuk dapat menjadikan
peserta didik, dan tenaga kependidikan serta warga sekolah secara menyeluruh.
Dengan adanya penanaman nilai dan sikap anti korupsi di lingkungan warga
sekolah dan menjadikan warga sekolah anti terhadap korupsi maka tujuan
pendidikan anti korupsi dapat terwujud.
2. Menumbuhkan kebiasaan perilaku anti korupsi kepada warga sekolah.
Ala bisa karena biasa. Itulah sepenggal kalimat sederhana yang sering
dilontarkan oleh kebanyakan orang. Melalui sebuah pembiasaan yang baik dan
terus-menerus dilakukan secara konsisten dalam bersikap dan berperilaku akan
menghadirkan sebuah stigma positif dalam diri setiap warga sekolah.
Kebiasaan perilaku anti korupsi kepada warga sekolah ini merupakan upaya
untuk melatih, membimbing, dan membina diri insan pendidikan dan lembaga
pendidikan untuk dapat bersikap jujur dan amanah dalam setiap perilaku yang
dilakukannya serta dapat memiliki tanggung jawab yang besar terhadap diri,
masyarakat, dan negara.
3. Mengembangkan kreativitas warga sekolah dalam memasyarakatkan dan
membudayakan perilaku anti korupsi.
Tujuan terakhir dari pendidikan anti korupsi adalah pengembangan kreativitas
masyarakat dan membudayakan perilaku anti korupsi di lingkungan sekolah.
Hal ini sangat penting dan memiliki peranan besar dalam menciptakan sekolah
yang terbebas dari korupsi. Menjadikan sekolah sebagai wahana anti korupsi
dan menjadikan sebuah kebiasaan (budaya) di sekolah adalah solusi logis untuk
dapat membebaskan sekolah dari virus-virus korupsi. Sebab, begitu banyak
lembaga pendidikan sudah terjangkiti oleh virus korupsi bahkan sudah menjadi
kiranya membudayakan perilaku anti korupsi di setiap sekolah secara universal
dan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan terintegrasi dalam setiap
mata pelajaran guna menjadikan sekolah sebagai media untuk dapat
memberantas virus korupsi sampai ke akar-akarnya.
Tujuan pendidikan anti korupsi juga disampaikan oleh Wijaya (2014 : 25)
berikut ini :
1. Membangun kehidupan sekolah sebagai bagian dari masyarakat melalui
penciptaan lingkungan belajar yang berbudaya integritas (anti korupsi), yaitu
jujur, disiplin, adil, tanggung jawab, bekerja keras, sederhana, mandiri, berani,
peduli, dan bermasyarakat.
2. Mengembangkan potensi kalbu/nurani peserta didik melalui ranah afektif
sebagai manusia yang memiliki kepekaan hati dan selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya sebagai wujud rasa cinta tanah air serta didukung wawasan
kebangsaan yang kuat.
3. Menumbuhkan sikap, perilaku, kebiasaan terpuji sejalan dengan nilai universal
dan tradisi budaya bangsa yang religius.
4. Menanamkan jiwa kepemimpinan yang profesional dan bertanggung jawab
sebagai generasi penerus bangsa.
5. Menyelenggarakan manajemen sekolah secara terbuka, transparan, profesional,
serta bertanggung jawab.
Pada hakikatnya tujuan pendidikan anti korupsi adalah untuk menanamkan
nilai dan sikap dalam penciptaan lingkungan belajar yang terbuka, transparan,
profesional, serta bertanggung jawab demi menumbuhkan kebiasaan perilaku anti
2.1.1.3 Nilai-Nilai Terkait Pendidikan Anti Korupsi
Pendidikan anti korupsi secara internal sangat dipengaruhi oleh nila-nilai anti
korupsi yang tertanam dalam diri seseorang. Menurut Nanang dan Romie (dalam
Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 79) terdapat 9 (sembilan) nilai anti korupsi,
yaitu 1) kejujuran, 2) kepedulian, 3) kemandirian, 4) kedisiplinan, 5) tanggung
jawab, 6) kerja keras, 7) kesederhanaan, 8) keberanian, dan 9) keadilan.
2.1.1.3.1 Kejujuran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jujur diartikan sebagai 1) lurus hati,
tidak berbohong, berkata apa adanya, 2) tidak curang dengan mengikuti aturan
yang berlaku, 3) tulus, ikhlas. Nilai kejujuran ibarat sebuah mata uang yang
berlaku dimana-mana termasuk dalam kehidupan di sekolah/madrasah. Prinsip
kejujuran harus dipegang teguh oleh peserta didik. Nilai kejujuran di
sekolah/madrasah dapat diwujudkan oleh peserta didik dalam bentuk tidak
melakukan kecurangan akademik seperti tidak menyontek saat ujian, tidak
melakukan kecurangan akademik, tidak memalsukan nilai, dan sebagainya.
2.1.1.3.2 Kepedulian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline v1.3, peduli diartikan
sebagai sikap mengindahkan, memperhatikan, menghiraukan. Nilai kepedulian
dapat diwujudkan oleh peserta didik dalam beragam bentuk, diantaranya berusaha
ikut memantau jalannya proses pembelajaran, memantau sistem pengelolaan
sumber daya di sekolah atau madrasah, memantau kondisi infrastruktur
2.1.1.3.3 Kemandirian
Menurut Nanang dan Romie dalam (Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 85)
kondisi mandiri bagi peserta didik diartikan sebagai proses mendewasakan diri
yaitu dengan tidak bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan
tanggung jawabnya. Nilai kemandirian dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk
mengerjakan tugas secara mandiri, mengerjakan ujian secara mandiri, dan
menyelenggarakan kegiatan kesiswaan dengan swadaya.
2.1.1.3.4 Kedisiplinan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, disiplin diartikan sebagai ketaatan
(kepatuhan) kepada peraturan. Sikap disiplin diperlukan dalam berkehidupan di
sekolah atau madrasah maupun masyarakat. Manfaat dari hidup yang disiplin
adalah peserta didik dapat mencapai tujuan hidupnya dengan efektif dan efisien.
Disiplin pada akhirnya juga dapat menambah rasa kepercayaan kepada orang lain.
Dalam berbagai situasi guru dituntut untuk dapat mengembangkan sikap disiplin
peserta didik.
2.1.1.3.5 Tanggung Jawab
Menurut Nanang dan Romie (dalam Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 88)
mendefinisikan tanggung jawab adalah menerima segala sesuatu dari sebuah
perbuatan yang salah, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Penerapan nilai
tanggung jawab antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk belajar dengan
sungguh-sungguh, lulus tepat waktu dengan nilai yang baik, mengerjakan tugas
yang diberikan oleh guru, menjaga amanah dan kepercayaan yang diberikan
2.1.1.3.6 Kerja Keras
Kerja keras didasarkan atas kemauan yang tinggi. Kerja keras dapat
diwujudkan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam
melakukan sesuatu menghargai proses bukan hasil semata, tidak melakukan jalan
pintas, belajar dan mengerjakan tugas-tugas akademik dengan sungguh-sungguh.
2.1.1.3.7 Sederhana
Prinsip hidup sederhana merupakan indikator bagian penting dalam menjalin
hubungan antara sesama peserta didik. Hidup sederhana menjauhkan pada bentuk
kecemburuan sosial yang tak jarang berujung pada sebuah tindakan melawan
hukum. Prinsip hidup sederhana juga menghindari seseorang dari keinginan yang
berlebihan. Nilai kesederhanaan dapat diterapkan oleh peserta didik dalam bentuk
diantaranya hidup sesuai dengan kemampuan, hidup sesuai dengan kebutuhan,
tidak suka pamer kekayaan dan sebagainya.
2.1.1.3.8 Keberanian
Berani menyampaikan pendapat adalah modal awal untuk mencegah
terjadinya korupsi. Nilai keberanian dapat dikembangkan peserta didik
diantaranya melalui berani mengatakan dan membela kebenaran, berani
bertanggung jawab terhadap segala bentuk kesalahan, berani menyampaikan
pendapat, dan sebagainya.
2.1.1.3.9 Keadilan
Keadilan diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban, atau
memberi sesuatu dengan kebutuhannya. Nilai keadilan dapat dikembangkan oleh
semangat pada temannnya yang tidak berprestasi, tidak memilih teman dalam
bergaul berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan.
Terkait dengan 9 nilai pendidikan anti korupsi di atas, peneliti berusaha
memunculkan 4 nilai anti korupsi dalam pengembangan produk buku cerita
bergambar miliknya. Nilai pendidikan anti korupsi yang dimunculkan peneliti
seperti nilai kejujuran, tanggung jawab, sederhana, dan keberanian. Peneliti
memunculkan nilai-nilai pendidikan anti korupsi dimaksudkan agar anak dapat
mengambil amanat setelah membaca cerita tersebut.
2.1.2 Buku Cerita Bergambar
Buku bergambar (picture books) menurut Huck (dalam Nurgiyantoro,
2005 : 153) adalah buku yang menyampaikan pesan lewat dua cara, yaitu ilustrasi
dan tulisan. Ilustrasi (gambar) merupakan pendukung yang menguatkan dan
mengungkapkan pesan yang ingin disampaikan dalam buku secara lebih baik dan
jelas. Pemakaian gambar dalam memperkuat suatu pesan diperjelas oleh Gerlach
dan Ely (dalam Anitah, 2009:7-8) yang menyatakan bahwa:
Gambar tidak hanya bernilai seribu bahasa, tetapi juga seribu tahun atau seribu mil. Melalui gambar dapat ditunjukkan kepada pebelajar suatu tempat, orang, dan segala sesuatu dari daerah yang jauh dari jangkauan pengalaman pebelajar sendiri. Gambar juga dapat memberikan gambaran dari waktu yang telah lalu atau potret (gambaran) masa yang akan datang.
Gambar diyakini menarik perhatian anak dalam hubungan menumbuhkan
minat terhadap bacaan. Keberadaan gambar juga dapat menambah keindahan
buku yang ditampilkan lewat sampul halaman buku yang beraneka ragam dan
harus mempergunakan bahasa yang baik dan benar. Hal ini dimaksudkan agar
cerita dapat dipahami pembaca sesuai pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.
Bahasa yang diwujudkan dalam bentuk teks dan kata-kata merupakan
aspek yang penting dalam penulisan cerita. Menurut Huck dkk. (dalam
Nurgiyantoro, 2005 : 157) kata-kata dan teks dalam buku cerita bergambar sama
pentingnya dengan gambar ilustrasi. Hal itu akan membantu pembaca
mengembangkan sensitivitas awal ke imajinasi dalam penggunaan bahasa. Bahasa
dalam buku untuk anak-anak juga harus sederhana. Kesederhanaan tersebut
merujuk pada kemudahan pengenalan arti kata yang dapat membantu anak
memahami isi cerita. Pemahaman terkait isi cerita dibantu dengan gambar
merupakan keunggulan dari buku cerita bergambar. Oleh karena itu, buku cerita
bergambar tidak lepas dengan dunia anak-anak yang mengkreasikan gambar
menarik pada tiap halaman sampulnya. Meskipun, tidak jarang juga buku cerita
bergambar dikonsumsikan pada pembaca dewasa. Selain dilengkapi dengan
gambar yang menarik dan bahasa yang sederhana, penampilan buku secara fisik
dibuat agar menarik minat baca anak untuk membaca. Hal ini diperkuat menurut
pernyataan Nurgiyantoro (2005 : 158) yang menyatakan bahwa anak memiliki
bakat untuk menyenangi keindahan, maka hal itu perlu dipupuk lewat penampilan
keindahan bahasa dan gambar-gambar ilustrasi.
Buku cerita bergambar menurut Stewing (dalam Susanto, 2011) adalah
sebuah buku yang menjajarkan cerita dengan gambar. Sementara Mitchell (dalam
Nurgiyantoro, 2005 : 153) lebih menyukai istilah picture storybooks yaitu buku
cerita bergambar adalah buku yang menampilkan gambar dan teks dan keduanya
mengungkapkan bahwa buku cerita bergambar memadukan unsur cerita dan
gambar. Unsur cerita yang termuat pada teks, sedangkan gambar berperan sebagai
pelengkap cerita yang keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Berdasarkan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa buku cerita bergambar
merupakan buku yang dibuat dengan memadukan cerita, gambar dan bahasa yang
sederhana serta dikemas halaman sampul yang menarik. Buku cerita bergambar
dibuat menarik agar membantu meningkatkan minat baca anak.
2.1.2.1 Unsur-Unsur Cerita
Menurut Nurgiyantoro (2005 : 7) mengatakan bahwa isi cerita anak tidak
harus yang baik-baik saja, seperti kisah anak rajin, suka membantu ibu, dan
lain-lain. Anak-anak juga dapat menerima cerita yang “tidak baik” seperti anak malas,
anak pembohong, kucing pemalas, atau bintang yang suka memakan sebangsanya.
Terkait beberapa contoh isi cerita di atas merupakan kesatuan dari berbagai
elemen yang membentuknya. Elemen-elemen itu dapat dibedakan ke dalam unsur
instrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur instrinsik adalah unsur-unsur cerita fiksi yang secara langsung berada
di dalam, menjadi bagian dan ikut membentuk eksistensi cerita yang
bersangkutan. Unsur fiksi yang termasuk dalam kategori ini misalnya adalah
tokoh dan penokohan, alur, pengaluran, dan berbagai peristiwa yang
membentuknya, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Berbeda dengan unsur
ekstrinsik, di pihak lain, adalah unsur yang berada di luar teks fiksi yang
bersangkutan, tetapi mempunyai pengaruh membangun cerita yang dikisahkan,
Rampan (2012: 73) menyatakan bahwa sebuah cerita sebenarnya terdiri dari
pilar-pilar sebagai berikut. (1) tema, (2) tokoh, (3) latar, (4) alur, dan (5) gaya.
Pilar pertama merupakan tema atau disebut rancang bangun cerita yang
dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik,
sehingga anak-anak tidak merasa sedang membaca wejangan moral. Pembaca
dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur, dan dari bacaan itu
anak-anak atau orang tua mereka dapat membangun pengertian dan menarik
kesimpulan tentang pesan yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya tema
yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca.
Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua yaitu tokoh
utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya
disertai dengan tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi
bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi
paling istimewa dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik atau
karakternya digambarkan secara lengkap, sebagaimana manusia sehari-hari.
Disamping itu, seiring pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan
secara satu isi (baik atau jahat), sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja
atau membenci dari para pembaca. Penokohan harus memperlihatkan
perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang
muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada
tokoh, sehingga lahir diidentifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai
Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun
dengan menarik jika penempatan latar waktu dan tempatnya dilakukan secara
tepat, karena latar berhubungan dengan tokoh, dan tokoh berkaitan erat dengan
karakter. Bangunan latar yang baik menunjukan bahwa cerita tertentu tidak dapat
dipindahkan ke kawasan lain, karena latarnya tidak menunjang tokoh dan
peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan
kata lain, latar menunjukan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah, sehinggga
mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya
ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampak latar memperkuat tokoh
dan mengidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan
cerita spesifik dan unik.
Alur merupakan pilar keempat. Alur menuntut kemampuan utama pengarang
untuk menarik minat pembaca. Secara sederhana, alur dapat dikatakan sebagai
rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus,
dimana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa-peristiwa demi peristiwa
berkaiatan langsung satu sama lain hingga cerita berakhir. Alur juga dapat
dibangun secara episodik, dimana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, dan
pada setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks dan leraian. Alur juga dapat
dibangun dengan sorot balik atau maju. Sorot balik adalah paparan informasi atau
peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa
kini, sementara alur maju merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima
peristiwa-peristiwa tertentu yang nanti akan terjadi.
Pilar kelima adalah gaya. Disamping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan
cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya.
Kalimat-kalimat yang enak dibaca, ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup, suspence
yang menyimpan kerahasiaan, pemecahan persoalan yang rumit namun penuh
tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan
sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona.
Disamping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot
perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya, seperti
penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi
kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau
gagalnya sebuah cerita.
Penyusunan kerangka buku cerita bergambar didasari oleh teori kelima pilar
cerita di atas. Kelima pilar tersebut seperti tema yang diangkat yaitu mengenai
nilai pendidikan anti korupsi berisi nilai kejujuran, tanggung jawab, keberanian,
dan juga sederhana. Selanjutnya mengenai tokoh, pengembangan buku cerita
bergambar ini mengambil beberapa tokoh seperti tokoh utama bernama Harsa,
Ibu, Pak Teten, dan kedua teman Harsa yaitu Jujuk dan Emen. Latar yang
digunakan dalam cerita seperti rumah Harsa, warung, dan juga jalan raya. Selain
itu, alur yang digunakan dalam pembuatan buku cerita menggunakan alur maju,
sehingga pemunculan masalah hingga penyelesaian masalah terdapat pada isi
cerita. Pilar cerita yang terakhir yaitu gaya. Buku cerita dilengkapi gambar dipadu
tulisan dan warna yang diharapkan memberi kesan buku terlihat lebih menarik.
Hal ini dilakukan supaya menumbuhkan minat baca anak ketika melihat tampilan
2.1.2.2 Kriteria Buku Cerita yang Baik bagi Anak
Kebutuhan akan bahan bacaan merupakan salah satu faktor bagi
perkembangan tahap membaca anak. Oleh sebab itu, guru maupun orang tua perlu
membimbing dan memperhatikan kebutuhan bacaan bagi anak-anaknya. Perlu
diketahui bahwa buku bacaan yang baik adalah buku bacaan yang : (1) dapat
memberikan nilai positif pada pembacanya; (2) disampaikan dalam bahasa yang
sederhana, enak dibaca dan penulisnya seakan ingin berbagi dengan pembaca,
bukan menggurui; (3) gaya penulisan tidak meledak-ledak; (4) menggunakan
kaidah bahasa Indonesia yang berlaku, tidak menggunakan istilah asing yang
sebenarnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia Christantiowati (dalam
Santosa, 2008: 9).
Pendapat serupa juga dikatakan oleh Effendi, Bangsa, dan Yudani (2013)
yang mengatakan bahwa buku cerita yang baik meliputi: (a) tampilan visual buku
dirancang menggunakan tampilan full color; (b) tampilan visual buku lebih
dominan gambar dibandingkan dengan teks; (c) jenis huruf pada buku cerita
memiliki tingkat keterbacaan yang baik bagi anak-anak; (d) judul buku cerita
mewakili keseluruhan isi cerita dan menarik minat anak untuk membaca lebih
lanjut; dan (e) tampilan warna mampu memberikan kesan dan mudah ditangkap
oleh indera penglihatan anak.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria buku cerita yang
baik bagi anak dalam pengembangan buku cerita bergambar peneliti meliputi
penggunaan bahasa yang sederhana, enak dibaca bagi pembaca. Selain itu, buku
visual buku full color, gambar lebih dominan dibandingkan teks, judul buku cerita
mewakili isi cerita, dan juga dapat memberikan nilai positif bagi pembaca seperti
nilai pendidikan anti korupsi.
2.1.3 Pengertian Membaca
Membaca merupakan kegiatan dalam menemukan berbagai informasi dalam
tulisan. Tulisan memiliki makna sebagai pesan yang ingin disampaikan oleh
penulis kepada pembaca. Menurut Wassid dan Sunendar (2008 : 246) membaca
merupakan proses memperoleh makna dari apa yang tertulis dalam teks.
Mengetahui makna dari pikiran penulis merupakan cara dalam mendapatkan
informasi dengan sejelas mungkin terkait bahan bacaan yang sedang dibaca. Oleh
sebab itu, membaca juga merupakan kegiatan yang mempergunakan penalaran
dalam menangkap informasi yang diberikan oleh penulis.
Pengertian membaca juga disampaikan Subyakto (1998: 145) yang
mengemukakan membaca adalah suatu aktivitas yang rumit atau kompleks karena
bergantung pada keterampilan berbahasa pelajar, dan pada tingkat penalarannya.
Kegiatan membaca pada pernyataan sebelumnya disebut sebagai keterampilan
berbahasa dipahami serupa oleh Pratiwi, dkk. (2007: 15) mengemukakan bahwa
membaca merupakan kegiatan berbahasa yang secara aktif menyerap atau
informasi atau pesan yang disampaikan melalui media tulis, seperti buku, artikel,
modul, surat kabar, atau media tulis lainnya. Disebut aktif karena membaca bukan
hanya sekedar memahami lambang tulis, tetapi juga membangun makna,
Berdasarkan uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah
kegiatan aktif yang dilakukan untuk memperoleh informasi terkait makna tulisan
penulis yang didapatkan melalui berbagai media tulis atau media lainnya. Pada
penelitian ini, peneliti ingin mengajak siswa kelas II SD untuk belajar membaca.
Cara yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan memperkenalkan siswa pada
bahan bacaan berbentuk buku cerita bergambar bertemakan pendidikan anti
korupsi. Selain belajar membaca dilengkapi dengan penjelasan tampilan gambar,
siswa diharapkan mampu menangkap nilai-nilai pendidikan anti korupsi yang
terdapat di dalam cerita tersebut.
2.1.3.1 Tujuan Membaca
Informasi dapat diperoleh melalui membaca. Informasi dibutuhkan untuk
memperkaya pengetahuan dari seseorang akan suatu peristiwa, asal-usul dan lain
sebagainya. Hal ini merupakan salah satu dari tujuan yang ingin dicapai pada
kegiatan membaca. Supriyadi mengemukakan dalam (1992: 117) tujuan membaca
sebagai berikut.
a. Mengisi waktu luang atau mencari hiburan.
b. Kepentingan studi (secara akademik).
c. Mencari informasi, menambah ilmu pengetahuan.
d. Memperkaya perbendaharaan kosakata, dan lain-lain.
Selain itu, tujuan dari kegiatan membaca juga disampaikan oleh Zuchdi
dan Budiasih (2001: 24). Menurut Zuchdi dan Budiasih membaca meliputi
beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut :
a. Mendapatkan informasi yaitu mencakup informasi tentang fakta dan kejadian
b. Membaca untuk meningkatkan citra diri,
c. Submilasi atau penyaluran yang positif,
d. Rekreatif yaitu untuk mendapatkan kesenangan atau hiburan,
e. Membaca hanya karena iseng, dan
f. Untuk mencari nilai-nilai keindahan dan nilai kehidupan.
Pada umumnya tujuan membaca adalah untuk memperoleh informasi terkait
makna tulisan penulis yang didapatkan dari berbagai media. Namun secara
khusus, setiap orang memiliki tujuan tersendiri dalam membaca seperti
menambah ilmu pengetahuan, iseng mengisi waktu luang, mendapatkan
kesenangan, dan lain sebagainya.
2.1.3.2 Gerakan Literasi Sekolah
Literasi sekolah dalam konteks Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan
kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas
melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan
atau berbicara (dikdas.kemdikbud 2016: 2). Literasi juga bermakna praktik dan
hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO,
2003).
GLS merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat
partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah,
tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid
peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat
yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku
kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Sebagai gerakan yang partisipatif, GLS melibatkan seluruh elemen terutama
bagi peserta didik yang diwujudkan melalui pembiasaan membaca. Pembiasaan
membaca ini selanjutnya diarahkan pada tahap pengembangan dan juga
pembelajaran. Oleh karena itu, variasi kegiatan GLS ini dapat berupa perpaduan
pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif. Keterampilan reseptif
merupakan keterampilan yang bersifat menerima meliputi keterampilan membaca
dan menyimak. Sedangkan keterampilan produktif merupakan keterampilan yang
bersifat mengungkap meliputi keterampilan menulis dan berbicara (Muchlisoh,
1992 : 119).
GLS sebagai upaya menyeluruh yang dilakukan di lingkungan sekolah
memiliki tujuan dalam menanamkan budaya membaca sebagai kebiasaan yang
menyenangkan dan ramah pada anak agar warga sekolah mampu mengelola
pengetahuan. Penanaman kebiasaan membaca anak dilakukan dengan pembiasaan
membaca oleh anak di sekolah dengan kisaran waktu 15 menit sebelum pelajaran
dimulai dan sesudah pelajaran selesai.
Kegiatan GLS pada tahap pembiasaan ini, memiliki prinsip dalam
pelaksanaan kegiatan membaca seperti bahan bacaan yang dibaca oleh anak dalam
kegiatan ini merupakan buku bacaan, bukan buku teks pelajaran. Selain itu peserta
didik diperkenankan memilih buku bacaan sesuai minat mereka dengan memberi
keleluasaan untuk membawa buku dari rumah. Kegiatan membaca tidak diikuti
oleh tugas lain seperti menghafalkan cerita, menulis sinopsis, dan lain-lain.
Adapun dalam kegiatan membaca dapat diikuti dengan diskusi informal tentang
buku yang dibaca ataupun kegiatan yang menyenangkan lainnya terkait buku yang
lanjutan ini tidak dinilai/dievaluasi. Kegiatan membaca juga berlangsung dalam
suasana yang santai dan menyenangkan. Guru menyapa peserta didik dan
bercerita sebelum membacakan buku dan meminta mereka untuk membaca buku
(dikdas.kemdikbud 2016: 8).
2.1.3.3 Prinsip-prinsip Literasi Sekolah
Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam gerakan literasi
sekolah menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat diprediksi.
Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis saling beririsan
antar tahap perkembangan. Memahami tahap perkembangan literasi peserta didik
dapat membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran
literasi yang tepat sesuai kebutuhan perkembangan mereka.
b. Program literasi yang baik bersifat berimbang
Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap
peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, strategi
membaca dan jenis teks yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan dengan
jenjang pendidikan. Program literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan
memanfaatkan bahan bacaan kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk anak dan
remaja.
c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum
Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua
guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun