HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Ciamis, Jawa Barat
Kabupaten Ciamis merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki luasan sekitar 244.479 Ha. Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak pada koordinat 108o 20"-108o 40" BT dan 7o 40" 20"-7o 41" 20" LS, rataan suhu harian per tahun 20- 30 oC; dengan tingkat kelembaban udara 75,8% (Dinas Propinsi Jawa Barat, 2010).
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjung Manggu, Sindangrasa, Imbanagara Ciamis, Jawa Barat. Gambar 14 menyajikan peta lokasi Desa Tanjung Manggu, Sindangsara, Kabupaten Ciamis.
Gambar 14. Peta Lokasi Desa Tanjung Manggu, Sindangsara, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat
Mata pencarian masyarakat Desa Tanjung Manggu merupakan petani sebagai mata pencarian utama dan peternak ayam Kampung dengan pemeliharaan secara semi-intensif. Kandang ayam dibangun di pekarangan rumah. Ayam Kampung dilepas pada pagi hari dan dikandangkan pada malam hari. Pakan ayam Kampung terdiri atas sisa-sisa dapur yang dicampur dengan dedak padi yang diberikan pada setiap pagi hari, sebelum ayam dilepas. Ayam Kampung mencari pakan sendiri pada saat dilepas. Vitamin juga diberikan sesekali, sehingga pemberiannya tidak secara rutin. Bibit ayam Kampung merupakan hasil tetasan sendiri.
23 Tegal, Jawa Tengah
Kabupaten Tegal memiliki luasan wilayah daratan sebesar 87.879 Ha dan lautan 121,50 km2. Secara geografis terletak pada 108o 57'6"-109o 21'30" BT dan antara 60o 50'41"-7o 15'30" LS, rata-rata suhu harian per tahun 26,9 oC dengan kelembaban udara 82% (Dinas Pemerintah Kabupaten Tegal, 2011). Penelitian ini dilakukan di Desa Dampyak, Mejasem Timur, Tegal Jawa Tengah. Gambar 15 menyajikan peta lokasi Desa Dampyak, Mejasem Timur, Tegal Jawa Tengah.
Gambar 15. Desa Dampyak, Mejasem Timur, Tegal Jawa Tengah.
Desa Dampyak merupakan desa dengan mata pencarian utama masyarakat sebagai petani dengan lahan persawahan yang sangat luas. Mata pencaharian sampingan masyarakat adalah peternak ayam Kampung. Ayam Kampung dipelihara secara semi-intensif dengan kandang dibangun di pekarangan rumah dan sebagian tanpa bangunan kandang, ayam Kampung yang dipelihara beristirahat di dalam rumah yaitu pada bagian dapur atau bertengger pada pohon-pohon di pekarangan rumah. Ayam Kampung diberi pakan sisa-sisa dapur pada pagi hari, sebelum dilepas sampai kembali ke kandang pada sore hari. Bibit ayam Kampung ditetaskan sendiri.
Blitar, Jawa Timur
Kabupaten Blitar memiliki ketinggian sekitar 167 m dpl. Luasan Kabupaten Blitar adalah 1.588,79 km2. Kabupaten Blitar terletak di sebelah selatan garis
24 khatulistiwa yaitu pada 111o40'-112o10' BT dan 78o58'-8o9' LS. Kabupaten Blitar terletak pada kawasan selatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.
Suhu harian per tahun berkisar antara 18-30 oC dengan kelembaban 60%-94% (Dinas Pemerintah Kabupaten Blitar, 2011). Penelititian dilakukan di Desa Duren, Talun, Blitar, Jawa Timur. Desa Duren merupakan suatu desa yang kecil dengan ladang persawahan yang luas. Gambar 16 menyajikan peta lokasi Desa Duren, Talun, Blitar, Jawa Timur.
Gambar 16. Desa Duren, Talun, Blitar, Jawa Timur.
Mata pencaharian masyarakat Desa Duren adalah petani dan peternak. Ternak yang dipelihara para peternak adalah kambing, sapi dan ayam Kampung. Ayam Kampung dipelihara secara semi-intensif sampai ayam Kampung mencapai bobot potong. Ayam Kampung diberi makan berupa sisa-sisa dapur yang dicampur dengan dedak padi dan jagung serta diberi vitamin sesekali. Bibit ayam Kampung yang dipelihara merupakan hasil tetasan sendiri. Ayam Kampung yang dipelihara dilepas pada pagi hari dan dikandangkan pada malam hari.
Asumsi Kondisi Populasi Ayam Kampung Pengamatan
Populasi ayam Kampung pada penelitian ini diasumsikan pada kondisi keseimbangan Hardy-Weinberg. Noor (2004) menyatakan bahwa frekuensi gen dominan dan resesif pada suatu populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi lain jika tidak ditemukan seleksi, migrasi, mutasi dan
25 genetic drift. Populasi ayam Kampung yang diamati, diasumsikan tidak mengalami seleksi, tidak ditemukan ayam Kampung yang keluar dan masuk lokasi pengamatan, tidak mengalami mutasi dan tidak ditemukan faktor kebetulan (genetic drift).
Penentuan asumsi tersebut dilakukan karena pada kenyataannya peternak ayam Kampung telah melakukan secara tidak langsung seleksi terhadap warna bulu untuk memperoleh produktivitas ayam Kampung (produksi daging dan telur) yang tinggi.
Sistem pemeliharaan ayam Kampung diasumsikan sama yaitu semi-intensif.
Pemberian pakan tidak dapat diukur karena dilakukan secara tradisional. Perbedaan ditemukan hanya pada manajemen penetasan. Penetasan ayam Kampung di Ciamis dan Tegal, masih tradisional. Ayam ditetaskan secara alami. Pengeraman dilakukan pada setiap induk yang dimiliki. Penetasan ayam Kampung di Blitar sudah lebih maju yaitu dengan pendirian breeder di lokasi pengamatan di bawah pengawasan HIMPULI (Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia). Perkawinan dilakukan secara alami, telur-telur tetas dikumpulkan ditetaskan pada mesin tetas secara kolektif.
Karakter Genetik Eksternal Ayam Kampung Penelitian
Karakter genetik eksternal ayam Kampung pada penelitian ini, dibedakan menjadi karakter genetik eksternal autosomal dan sex-linked. Tabel 2 menyajikan distribusi data ayam Kampung pada populasi ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar, berdasarkan karakter genetik eksternal autosomal. Karakter genetik eksternal autosomal merupakan gen yang terpaut pada kromosom tubuh suatu individu (Noor, 2004). Pada penelitian ini sifat autosomal meliputi warna dasar bulu pada ayam Kampung yaitu bulu berwarna dan putih, pola warna bulu hitam, liar dan kolumbian dan bentuk jengger pea dan bentuk single. Tabel 2 juga menyajikan lokus dan genotip dari masing-masing karakter genetik eksternal (fenotipe). Variasi fenotipik pada sifat warna dasar, pola bulu dan bentuk jengger pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar; diperlihatkan dengan ketidakseragaman kualitatif. Sifat berwarna pada warna dasar bulu ditemukan lebih banyak pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Hal yang sama ditemukan pada sifat pola warna bulu liar dan bentuk jengger pea.
26 Tabel 2. Distribusi Data Ayam dengan Karakter Genetik Eksternal Autosomal
pada Kelompok Ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar Karakter
Genetik Eksternal Autosomal
Lokus Genotipe
(Fenotipe) Ciamis Tegal Blitar Total ---(ekor)--- Warna Bulu
Dasar I,i (I>i) II,Ii atau I_(Putih) 4 9 9 22
ii (Berwarna) 98 100 109 307
Total 102 109 118 329
Pola Bulu E,e+, e (E>e+>e)
E e+, Ee atau E_
(Hitam)
25 29 48 102
e+e+, e+e atau e+_ (Liar)
48 63 59 170
ee (Kolumbian) 29 17 11 57
Total 102 109 118 329
Bentuk Jengger
P,p (P>p)
PP, Pp atau P_
(Pea)
83 99 115 297
pp (Single) 19 10 3 32
Total 102 109 118 329
Keterangan: tanda > menunjukkan urutan dominasi (hirarki)
Menurut Nishida et al. (1980), sifat berwarna pada warna dasar bulu dan pola warna liar serta bentuk jengger pea ditemukan banyak pada ayam Kampung, sedangkan menurut Mansjoer (1985) dan Saputra (2010), sebagian ayam Kampung banyak memiliki sifat warna dasar berwarna dan pola bulu kolumbian. Dijelaskan bahwa bentuk jengger pea menurut Mansjoer (1985) ditemukan terbanyak dan bentuk jengger single ditemukan terbanyak menurut Saputra (2010). Widiastuti (2005) menyatakan bahwa ayam Kampung memiliki warna dasar bulu berwarna, pola warna hitam dan bentuk jengger pea. Tabel 3 menyajikan rekapitulasi hasil pengamatan warna bulu dasar, pola warna dan bentuk jengger berdasarkan urutan dominasi pada penelitian terdahulu, yang dibandingkan dengan penelitian ini.
27 Tabel 3. Dominasi Warna Dasar dan Pola Warna Bulu serta Bentuk Jengger pada
Ayam Kampung Penelitian Terdahulu dibandingkan dengan Penelitian ini Warna Dasar Pola Warna Bentuk Jengger
Nishida et al. (1980) Berwarna Liar Pea
Mansjoer (1985) Berwarna Kolumbian Pea
Widiastuti (2005) Berwarna Hitam Pea
Saputra (2010) Berwarna Kolumbian Single
Penelitian ini Berwarna Liar Pea
Perbedaan dominasi ketiga sifat tersebut disebabkan perbedaan sampel yang digunakan. Sampel ayam Kampung yang digunakan pada penelitian ini berasal dari ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar; pada penelitian Mansjoer (1985) dari daerah Bogor, Jawa Barat dan penelitian Saputra (2010) berasal dari Karanganyar, Jawa Tengah penelitian Nishida et al. (1980) berasal dari hampir semua daerah di Indonesia (Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Bali, Lombok, Sulawesi dan Sumbawa), penelitian Widiastuti (2005) dari daerah Seragen, Jawa Tengah dan Magetan, Jawa Timur. Pengamatan sifat warna dasar bulu, pola warna dan bentuk jengger ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar dapat mewakili ayam Kampung Indonesia, karena bersesuaian dengan penelitian Nishida et al. (1980).
Karakter genetik eksternal sex-linked ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar yang meliputi corak warna bulu, kilau warna bulu dan warna shank, disajikan pada Tabel 4. Pada tabel ini juga disajikan lokus dan genotipe dari masing-masing karakter genetik eksternal tersebut. Variasi fenotipik pada masing-masing sifat tersebut diperlihatkan dengan ketidakseragaman kualitatif. Bulu polos dan bulu emas serta warna shank kuning-putih mendominasi ayam jantan pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Bulu polos ditemukan banyak pada ayam Kampung betina Ciamis dan Blitar, tetapi tidak demikian pada ayam Kampung Tegal. Kilau warna perak pada betina ditemukan dominan pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Ayam Kampung Ciamis betina memiliki jumlah ayam dengan warna shank kuning-putih dan hitam abu-abu yang sama, sedangkan shank warna kuning-putih ditemukan lebih banyak pada ayam Kampung Tegal betina.
28 Tabel 4. Distribusi Data Ayam dengan Karakter Genetik Eksternal Sex-linked
pada Kelompok Ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar Bagian
yang Diamati
Lokus Jenis Kelamin
Genotipe
(Fenotipe) Ciamis Tegal Blitar Total ---(ekor)--- Corak
Warna ZB, Zb ZB > Zb
♂ ZB ZB, ZB Zb (Burik)
7 7 4 18
Zb Zb (Polos) 41 13 33 87
Total 48 20 37 105
♀ ZBW (Burik) 24 53 32 109
ZbW (Polos) 30 36 49 115
Total 54 89 81 224
Kilau Warna
ZS,Zs ZS > Zs
♂ ZSZS, ZSZs (Perak)
7 9 13 29
ZsZs (Emas) 41 11 24 76
Total 48 20 37 109
♀ ZSW (Perak) 36 56 62 154
ZsW (Emas) 18 33 19 70
Total 54 89 81 224
Warna Shank
ZId, Zid ZId>Zid
♂ ZIdZId, ZIdZid (Kuning- putih)
38 15 31 84
ZidZid (Hitam abu- abu)
10 5 6 21
Total 48 20 37 105
♀ ZIdW (Kuning, Putih)
27 53 30 110
ZidW (Hitam, Abu-Abu)
27 36 51 114
Total 54 89 81 224
Total Keseluruhan 102 109 118 329
Keterangan: tanda > menunjukkan hirarki dominasi
29 Ayam Kampung betina Blitar memiliki shank warna kuning-putih yang lebih sedikit. Tabel 5 menyajikan rekapitulasi dominasi sifat corak dan kilau warna bulu serta warna shank. Hasil penelitian ini bersesuaian dengan Saputra (2010) yang menyatakan bahwa dominasi bulu polos, perak dan warna shank kuning-putih ditemukan banyak pada ayam Kampung.
Tabel 5. Derajat Dominasi Corak dan Kilau Warna Bulu serta Warna Shank pada Ayam Kampung Penelitian Terdahulu dibandingkan dengan Penelitian ini
Corak Bulu Kilau Bulu Warna Shank Nishida et al. (1980) Polos Emas Kuning-putih
Mansjoer (1985) Polos Emas Kuning-putih
Widiastuti (2005) Polos Emas Kuning-putih
Saputra (2010) Polos Perak Kuning-putih
Penelitian ini Polos Perak Kuning-putih
Sampel ayam Kampung yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pula.
Mansjoers (1985) menggunakan sampel ayam kampung yang berasal dari daerah Bogor, Jawa Barat dan Saputra (2010) berasal dari daerah Karanganyar, Jawa Tengah, sedangkan Nishida et al. (1980) berasal dari hampir semua daerah di Indonesia (Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Bali, Lombok, Sulawesi dan Sumbawa), Widiastuti (2005) berasal dari daerah Seragen, Jawa Tengah dan Magetan, Jawa Timur.
Nishida et al. (1980) menyatakan bahwa warna dasar berwarna, pola bulu liar, bentuk jengger pea, corak bulu polos, kilau bulu emas dan warna shank hitam abu-abu merupakan sifat asli ayam Kampung (ii e+e+ PP bb ss id id). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua sifat asli tersebut dimiliki ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar telah mengalami pencemaran dari bangsa ayam unggul Eropa dan Amerika yaitu Rhode Island Red, White Leghorn dan Barred Plymouth Rock. Seberapa jauh pencemaran tersebut sangat tergantung pada laju introgresi dari bangsa ayam Rhode Island Red, White Leghorn dan Barred Plymouth Rock. Laju introgresi sangat dipengaruhi frekuensi gen. Menurut Nishida et al.
30 (1980) laju introgrersi White Leghorn dipengaruhi frekuensi gen warna dasar putih (qI); laju introgresi Rhode Island Red dipengaruhi frekuensi gen warna shank kuning (qId) dan corak bulu lurik (qB), sedangkan laju introgresi Barred Plymouth Rock dipengaruhi frekuensi gen corak bulu lurik (qB) dan warna dasar putih (qI). Laju
introgresi dapat diperoleh bila frekuensi gen dari masing-masing sifat diketahui.
Frekuensi Gen Pengontrol Karakteristik Genetik Eksternal
Sifat kualitatif pada Tabel 2 dan 4 dikendalikan 2-3 gen yang membentuk sebanyak 3-6 pasangan gen. Menurut Noor (2004) sifat kualitatif dipengaruhi satu atau beberapa pasang gen yang bersifat non-aditif. Aksi gen non-aditif menurut Noor (2004) merupakan aksi gen yang salah satu alelnya menghasilkan ekspresi fenotip yang lebih kuat dari alel yang lain. Aksi gen non-aditif dominan penuh ditemukan pada seluruh sifat yang diamati pada penelitian ini. Berdasarkan pengamatan fenotipik kualitatif pada data ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar (Tabel 2 dan 4), dapat ditentukan frekuensi gen dari masing-masing lokus. Tabel 6 menyajikan perolehan frekuensi gen pengontrol warna bulu, pola bulu, bentuk jengger, corak bulu, kerlip bulu dan warna shank. Frekuensi gen bulu dasar berwarna ditemukan tinggi pada setiap kelompok ayam Kampung yang diamati. Pada sifat pola warna bulu, frekuensi gen kolumbian ditemukan tertinggi pada Ayam Kampung Ciamis, sedangkan frekuensi gen liar pada ayam Kampung Tegal dan Blitar. Pada sifat bentuk jengger, frekuensi gen pea ditemukan tertinggi pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Kusuma (2002) menyatakan bahwa frekuensi bentuk jengger pea ditemukan tinggi pada ayam Kampung. Pada sifat corak bulu, frekuensi gen corak bulu polos pada ayam Kampung Ciamis dan Blitar ditemukan tertinggi, sedangkan pada ayam Kampung Tegal pada frekuensi gen lurik. Pada sifat kilau bulu, frekuensi gen perak ditemukan tertinggi pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Pada sifat warna shank, frekuensi gen kuning-putih dan hitam abu-abu ditemukan sama yaitu 0,5 pada ayam Kampung Ciamis. Frekuensi gen kuning-putih ditemukan tertinggi pada ayam Kampung Tegal, sedangkan frekuensi gen hitam-abu-abu pada ayam Kampung Blitar. Hasil ini tidak sama dengan penelitian Sartika et al. (2008) yang melaporkan bahwa shank hitam abu-abu memiliki frekuensi yang tinggi dengan nilai 0,7509.
31 Tabel 7 menyajikan rekapitulasi pemunculan fenotipik terbanyak pada sifat- sifat kualitatif ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Tabel 7 dibuat dari Tabel 6.
Tabel 6. Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Karakteristik Eksternal pada Ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar
Karakteristik
Eksternal Lokus Genotipe (Fenotipe) Gen Frekuensi Gen Ciamis Tegal Blitar Warna Bulu I>i I- (Putih) qI 0,0198 0,0422 0,0389
ii (Berwarna) qi 0,9802 0,9578 0,9611
Pola Bulu E>e+>e
E_ (Hitam) qE 0,1312 0,1433 0,2298 e+_ (Liar) qe+ 0,3356 0,4618 0,4649 ee (Kolumbian) qe 0,5332 0,3949 0,3053 Bentuk
Jengger P>p P_ (Pea) qP 0,5684 0,6971 0,8406 pp (Single) qp 0,4316 0,3029 0,1594 Corak Bulu B>b B_ (Lurik) qB 0,4444 0,5955 0,3951 bb (Polos) qb 0,5556 0,4045 0,6049 Kilau Bulu S>s S_ (Perak) qS 0,6667 0,6292 0,7654 ss (Emas) qs 0,3333 0,3708 0,2346 Warna
Shank Id>id Id_(Putih/Kuning) qId 0,5000 0,5955 0,3704 idid (Hitam/ Abu-abu) qid 0,5000 0,4045 0,6296
Keterangan: tanda > menunjukkan hirarki dominasi
Sifat asli ayam Kampung menurut Nishida et al. (1980) juga disajikan pada tabel tersebut. Kesamaan sifat genetik eksternal pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar terhadap ayam Kampung asli menurut Nishida et al. (1980) dapat disimpulkan dari Tabel 7. Kesamaan sifat bulu berwarna dan bentuk jengger pea, mengindikasikan bahwa keaslian ayam Kampung pada populasi ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar masih ditemukan. Lima dari enam sifat yang diamati ditemukan sama antara ayam Kampung Blitar dan ayam Kampung asli. Kesamaan sifat paling banyak dengan ayam Kampung asli, ditemukan pada ayam Kampung Blitar. Ayam Kampung Tegal memiliki kesamaan yang paling sedikit.
32 Tabel 7. Rekapitulasi Pemunculan Fenotipik Terbanyak pada Ayam Kampung
Ciamis, Tegal dan Blitar yang Dibandingkan dengan Ayam Kampung Asli Ayam Kampung
Asli*
Ayam Kampung Ciamis
Ayam Kampung Tegal
Ayam Kampung Blitar Bulu berwarna Bulu berwarna Bulu berwarna Bulu berwarna
Pola liar Pola kolumbian Pola liar Pola liar Jengger pea Jengger pea Jengger pea Jengger pea
Bulu polos Bulu polos Bulu lurik Bulu polos
Bulu emas Bulu perak Bulu perak Bulu perak
Shank hitam abu- abu
± Shank kuning-putih Shank hitam abu- abu
Keterangan: *Nishida et al. (1980); ± proporsi 50%
Laju Introgresi Ayam Ras Unggul Luar Negeri
Perolehan frekuensi gen pada data ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar (Tabel 6), dapat menentukan laju introgresi ayam ras unggul luar negeri. Tabel 8 menyajikan nilai pengaruh (introgresi) dari bangsa ayam Eropa dan Amerika terhadap ayam Kampung. Semakin tinggi nilai laju introgresi ayam ras unggul luar negeri terhadap ayam Kampung, maka tingkat keaslian ayam Kampung yang diamati tersebut semakin kecil. Bangsa-bangsa ayam unggul Eropa dan Amerika yaitu Rhode Island Red, White Leghorn dan Barred Plymouth Rock banyak mempengaruhi karakteristik eksternal ayam-ayam di Asia Tenggara (Mansjoer, 1985).
Tabel 8. Perbandingan Nilai Introgresi (Q) dan Kandungan Gen Asli Bangsa Ayam Asing Rhode Island Red (RIR), White Leghorn (WL) dan Barred Plymouth Rock (BR) terhadap Ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar
Laju Introgresi Kandungan Gen Asli Lokasi QRIR QWL QBR QRIR + QWL +
QBR
1 – (QRIR + QWL + QBR ) Ciamis 0,0556 0,0198 0,4246 0,5000 0,5000 (50%)
Tegal 0 0,0422 0,5533 0,5955 0,4045 (40%)
Blitar -0,0247 0,0389 0,3562 0,3704 0,6296 (63%) Ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar memiliki tingkat keaslian yang tidak jauh berbeda yaitu 50%, 40%, dan 63% untuk masing-masing lokasi. Hasil ini
33 menunjukkan bahwa pengaruh ayam ras unggul luar negeri terhadap ayam Kampung cukup tinggi. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan pengamatan yang dilakukan oleh Nishida et al. (1980) yang menyatakan bahwa tingkat keaslian ayam Kampung di Indonesia kurang lebih sebesar 50%.
Laju introgresi yang berasal dari ayam ras unggul luar negeri pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar cukup besar dengan pengaruh tertinggi berasal dari ayam Barred Plymouth Rock. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Wati (2007) yang menyatakan bahwa laju introgresi tertinggi pada ayam Kampung berasal dari ayam Barred Plymouth Rock, tetapi berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nishida et al. (1980) yang menyatakan bahwa laju introgresi ayam ras unggul luar negeri yang mempengaruhi ayam Kampung tertinggi berasal dari Rhode Island Red. Perbedaan nilai laju introgresi pada penlitian ini dikarenakan populasi ayam Kampung yang berbeda. Populasi ayam Kampung penelitian dilakukan di Ciamis, Tegal dan Blitar pada tahun 2012, sedangkan penelitian Nishida et al. (1980) di sebelas provinsi di Indonesia 1980. Laju introgesi bangsa ayam asing Rhode Island Red (RIR), White Leghorn (WL) dan Barred Plymouth Rock (BR) pada penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian Wati (2007), salah satunya disebabkan waktu penelitian yang tidak terlalu jauh. Sartika et al. (2008) menyatakan bahwa jumlah dan lokasi pengambilan sampel ayam Kampung yang diamati dapat mempengaruhi nilai introgresi ayam Kampung.
Laju introgresi pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar yang berbeda dikarenakan perbedaaan mobilitas ayam unggul bangsa asing ke lokasi penelitian.
Hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan pemasukan secara sengaja bibit ayam unggul yang dipelihara perusahaan pembibitan ayam ras unggul luar negeri ke peternak ayam Kampung. Pada ayam Kampung Tegal, kejadian tersebut paling besar ditemukan, sehingga keasliannya paling rendah. Hal yang sebaliknya ditemukan pada ayam Kampung Blitar. Kejadian pemasukan secara sengaja bibit ayam unggul yang dipelihara perusahaan pembibitan ayam ras unggul luar negeri ke peternak ayam Kampung Blitar sedikit. Hal tersebut terjadi karena sistem pembibitan ayam Kampung telah dilakukan secara terpadu melalui koordinasi HIMPULI (Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia), sehingga kemungkinan pemasukan bibit ayam ras unggul luar negeri, sedikit.
34 Frekuensi Gen Asli
Perolehan frekuensi gen dan nilai introgresi ayam luar negeri pada data ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar (Tabel 6 dan Tabel 8), dapat menentukan frekuensi gen asli pada ayam Kampung yang diamati. Tabel 9 menyajikan perbandingan frekuensi gen asli yang tidak dipengaruhi bangsa ayam unggul Eropa dan Amerika Rhode Island Red (RIR), White Leghorn (WL) dan Barred Plymouth Rock (BR) pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Frekuensi gen-gen asli ayam Kampung meliputi gen E (pola bulu hitam), e+ (pola bulu liar), e (pola bulu kolombian), ZS (kilau bulu keperakan), Zs (kilau bulu emas), Zid (bentuk shank hitam/abu-abu), P (bentuk jengger pea) dan p (bentuk jengger tunggal). Sifat pola warna liar (e+), shank warna hitam abu-abu (id) dan bentuk jengger pea (P), merupakan sifat asli ayam Kampung yang tidak dimiliki ayam ras unggul Rhode Island Red (RIR), White Leghorn (WL) dan Barred Plymouth Rock (BR). Sifat pola warna kolumbian pada ayam Kampung dipengaruhi warna kolumbian dari ayam ras unggul Rhode Island Red (RIR), sehingga untuk perhitungan frekuensi gen pola warna kolumbian asli (qE(N)) ayam Kampung, faktor pengurang laju introgresi ayam Rhode Island Red (RIR) dilibatkan. Menurut Nishida et al. (1980) sifat corak warna bulu lurik (barred) bukan merupakan sifat asli ayam Kampung. Pemunculan sifat corak warna bulu lurik pada ayam Kampung sebagai akibat dari cemaran atau pemasukan ayam ras unggul luar negeri Barred Plymouth Rock (BR). Pemunculan warna hitam dan kilau perak pada bulu ayam Kampung juga karena pengaruh introgresi ayam Barred Plymouth Rock (BR), sehingga perhitungan frekuensi gen asli hitam (qE(N)
) dan kilau perak (qS(N)
) melibatkan frekuensi gen lurik (qS(N)
) yang berasal dari Barred Plymouth Rock (BR) pada populasi ayam Kampung.
Frekuensi gen asli Zid (bentuk shank hitam abu-abu) dan P (bentuk jengger pea) bernilai tinggi pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar, sedikit tinggi dibandingkan dengan ayam Kampung Ciamis dan Tegal pada frekuensi gen pola warna bulu liar. Menurut Nishida et al. (1980), ayam Kampung asli Indonesia memiliki gen asli antara lain warna shank hitam (id) dan bentuk jengger pea (P) serta pola warna bulu liar (e+). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam Kampung Blitar memiliki nilai frekuensi gen asli yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam Kampung Ciamis dan Tegal. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
35 korelasi ditemukan antara laju introgressi, kandungan gen asli dan frekuensi gen asli pada ayam Kampung. Frekuensi gen asli ayam Kampung Blitar yang relatif tinggi (Tabel 9), memiliki laju introgresi yang rendah (Tabel 8) dan kandungan gen asli yang tinggi (Tabel 8).
Tabel 9. Perbandingan Frekuensi Gen Asli yang Tidak Dimasuki Bangsa Ayam Unggul Eropa dan Amerika Rhode Island Red (RIR), White Leghorn (WL) dan Barred Plymouth Rock (BR) Terhadap Ayam Kampung pada Lokasi Penelitian
Frekuensi Gen Asli q(N) Lokasi
Ciamis Tegal Blitar
qE(N) = qE – qB -0,3132 -0,4522 -0,1653
qe+(N) = qe+ 0,3356 0,4618 0,4649
qe(N) = qe – QRIR 0,4776 0,3949 0,3300
qS(N)
=qS – qB 0,2223 0,0337 0,3703
qs(N) = qs - QRIR 0,2777 0,3708 0,2593
qid(N)
= qid 0,5000 0,4045 0,6296
qP(N)
= qP 0,5684 0,6971 0,8406
qp(N)
= qp – qId -0,0684 -0,2926 -0,2110
Variabilitas Genetik Ayam Kampung berdasarkan Karakteristik Genetik Eksternal
Tabel 10 menyajikan heterosigositas harapan per individu (h) dan rata-rata heterosigositas per individu (H�) karakteristik genetik eksternal ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Nilai heterosigositas harapan per individu (h) dan rataan heterosigositas per individu (H�) digunakan untuk mengetahui variabilitas (keseragaman) ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Semakin tinggi nilai heterosigositas karakteristik genetik eksternal dalam suatu populasi maka semakin tinggi keragaman sifat tersebut dalam suatu populasi.
36 Tabel 10. Heterosigositas Harapan per Individu (h) dan Rata-Rata Heterosigositas
per Individu ( H ) Ayam Kampung pada Lokasi Penelitian Sifat Yang Diamati Heterosigositas (h ± SE h)
Ciamis Tegal Blitar
Warna Bulu 0,0388 ± 0,0187 (6)
0,0800 ± 0,0249 (6)
0,0784 ± 0,0233 (6) Pola Bulu 0,5859 ± 0,0201
(1)
0,6103 ± 0,0146 (1)
0,6379 ± 0,0132 (1) Bentuk Jengger 0,4907 ± 0,0101
(4)
0,4223 ± 0,0247 (5)
0,2680 ± 0,0322 (5) Corak Bulu 0,4938 ± 0,0085
(3)
0,4817 ± 0,0132 (3)
0,4780 ± 0,0302 (2) Kilau Bulu 0,4444 ± 0,0222
(5)
0,4666 ± 0,1144 (4)
0,3591 ± 0,0291 (4) Warna Shank 0,5000 ± 0,0035
(2)
0,4818 ± 0,0132 (2)
0,4664 ± 0,0164 (3) H� ± SE H� 0,4256 ± 0,1901 0,4238 ± 0,1614 0,3813 ± 0,1875
Keterangan : Angka dalam tanda kurung menunjukkan urutan nilai heterosigositas yang diurut dari yang tertinggi (1) ke yang terendah (6)
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan Widiastuti (2005) dan Wati (2007).
Widiastuti (2005) memperoleh rata-rata heterosigositas per individu populasi ayam Kampung Magetan sebesar 0,4286 ± 0,1151; sedangkan Wati (2007) 0,3830 ± 0,0856 pada daerah Ciawi Jawa Barat. Hasil penelitian ini hampir sama dengan yang diperoleh pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan tidak terjadi introgresi (pemasukan) ras unggul luar negeri pada lokasi penelitian sampai dengan penelitian ini dilakukan, disamping letak lokasi penelitian yang tidak jauh berbeda (di pulau Jawa).
Korelasi ditemukan antara laju introgresi, kandungan gen asli, frekuensi gen asli dan rata-rata heterosigositas per individu populasi pada ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar. Frekuensi gen asli ayam Kampung Blitar yang relatif tinggi (Tabel 9), memiliki laju introgresi rendah (Tabel 8), kandungan gen asli tinggi (Tabel 8) dan rata-rata heterosigositas per individu populasi rendah (Tabel 10).