BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan reformasi sektor publik yang begitu dinamis saat ini tidak
dapat dilepaskan dari tuntutan masyarakat yang melihat secara kritis buruknya
kinerja pemerintah dalam mengelola sumber daya publik. “Perubahan suatu
sistem politik, sosial, dan serta ekonomi yang dibawa oleh arus reformasi telah
menimbulkan tuntutan yang beragam terhadap pengelolaan pemerintahan yang
baik” Asmadewa, (2006).
“Agenda-agenda reformasi terhadap tuntutan perubahan organisasional
kemudian menciptakan sejumlah prinsip atau doktrin tata kelola pemerintahan
seperti terangkum dalam konsep new public management (Hood 1991), atau
prinsip reinventing government” Osborne dan Gaebler, (1993). Beberapa agenda
perubahan yang mengacu pada prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah
pemerintah berpicu pada misi (mission-driven government), pemerintah
berorientasi pada hasil (result-oriented government), pemerintah berpicu pada
pelanggan (customer-driven government), standar atau ukuran kinerja yang jelas,
tingkat pelayanan yang diinginkan. Seperti yang telah dilakukan di Amerika
Serikat pada awal mula mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja yaitu
dengan dibentuknya Komisi Hoover pada tahun 1949 untuk mendukung konsep
anggaran berbasis kinerja hingga diberlakukannya GPRA (Government
Performance and Result Act) tahun 1993. GAO (General Accounting Office)
penekanan anggaran dari pengendalian belanja line item kepada alokasi sumber
daya berdasarkan tujuan program dan ukuran-ukuran hasil”.
Anggaran berbasis kinerja di Indonesia telah diperkenalkan dalam
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menjelaskan
bahwa “rencana kerja dan anggaran disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan
dicapai atau berbasis kinerja”. Penjelasan Undang-Undang tersebut menguraikan
bahwa anggaran berbasis prestasi kerja merupakan upaya untuk memperbaiki
proses penganggaran di sektor publik.
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang
keuangan negara, pemerintah bersama DPR kemudian mengesahkan juga
Undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan
Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan
daerah. Dikeluarkannya kedua Undang-Undang tersebut telah merubah paradigma
pembangunan di daerah, terkait perubahan sistem dan mekanisme perencanaan
pembangunan daerah. Kemudian, perubahan dalam sistem penganggaran sesuai
Kepmendagri No. 29 tahun 2002 yang sekarang telah direvisi dengan
dikeluarkannya Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan
keuangan daerah. Sesuai dengan Permendagri No. 13 tahun 2006 penganggaran
yang baik akan memberikan dasar bagi pengukuran kinerja dan menghasilkan
informasi kinerja yang valid dan akurat, sehingga dapat digunakan sebagai bahan
penyusunan laporan kinerja untuk pengendalian.
Melihat kondisi di pemerintahan daerah maupun pusat serta dengan
penganggaran di Indonesia yang masih bersifat tradisional diganti dengan sistem
penganggaran yang mampu merespon perubahan-perubahan tersebut. Sebagai
gantinya adalah Anggaran Negara Berdasarkan Prestasi Kerja atau istilah yang
lebih sering digunakan adalah Anggaran Berbasis Kinerja. Proses penyusunan dan
sasaran yang ingin dicapai dari sistem anggaran berbasis kinerja menggambarkan
adanya peluang bagi daerah untuk mengembangkan visi dan misi serta
mewujudkan keinginan dan harapan masyarakat sesuai dengan potensi yang
dimiliki daerah yang bersangkutan.
Bastian (2006) mendefenisikan “anggaran berbasis kinerja adalah teknik
penyusunan anggaran berdasarkan beban kerja (work load) dan unit cost dari
setiap kegiatan yang terstruktur”. Bastian (2006) juga menjelaskan anggaran
berbasis kinerja memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan dalam
pelaksanaannya.
Adapun kelemahan anggaran berbasis kinerja di Indonesia adalah tidak semua kegiatan dapat distandarisasikan, tidak semua hasil kerja dapat diukur secara kuantitatif, dan tidak ada kejelasan mengenai pengambil keputusan dan pemegang beban dari sebuah keputusan. Di balik kelemahan tersebut, anggaran berbasis kinerja memiliki berbagai kelebihan. Kelebihan tersebut adalah adanya kemungkinan pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan, meningkatkan partisipasi dan motivasi kinerja pegawai melalui penilaian anggaran, membantu perencanaan dan mempertajam pebuatan keputusan, adanya kemungkinan pengalokasian dana secara optimal,dan mengindarkan keborosan anggaran.
Julnes dan Holzer, (2001) menjelaskan “faktor rasional perlu ditempatkan
pada kerangka politik agar memberikan pemanfaatan yang besar”. Selain itu,
Julnes dan Holzer, (2001) menyebutkan bahwa “kultur budaya suatu organisasi
diperlukan untuk menjadi dasar bagi personil organisasi menghadapi
permasalahan yang timbul”.
Penelitian implementasi dan pengadopsian pemenfaatan pengukuran
kinerja yang dilakukan Julnes dan Holzer, (2001), menunjukkan bahwa “faktor
rasional meliputi sumber daya, informasi, dan orientasi tujuan mempunyai
pengaruh terhadap pengadopsian dan implementasi terkait pemanfaatan
pengukuran kinerja di Amerika”.
Di Indonesia, Suhardjanto dan Cahya, (2008) meneliti faktor rasional yang
terdiri atas sumber daya, informasi, orientasi tujuan dan pengukuran kinerja. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa “sumber daya dan pengukuran kinerja
berpengaruh pada implementasi anggaran berbasis kinerja, sedangkan informasi
tidak berpengaruh signifikan. Orientasi tujuan memiliki pengaruh yang negatif”.
Kusuma (2013) meneliti kejelasan sasaran anggaran, komitmen organisasi
dan ketidakpastian lingkungan. Hasilpenelitianinimenunjukkanbahwa kejelasan
sasarananggarandan komitmenorganisasiberpengaruhpositif pada
ketepatananggaranpendapatan
danbelanja,sedangkanketidakpastianlingkunganberpengaruhnegatif pada
ketepatananggaran pendapatan danbelanja.
Adiwirya dan Sudana (2015) meneliti akuntabilitas, transparansi dan
dantransparansiberpengaruh positifsecarasimultan
padaanggaranberbasiskinerja.Secaraparsial,transparansi berpengaruh positifpada
anggaranberbasis kinerja.Penelitianini,menunjukkanbahwaresponden memiliki
persepsi yanglebihcondongpadatransparansidibandingkandenganakuntabilitas.
Dengan mempertimbangkan kelemahan dan kelebihan anggaran
berbasis kinerja dan perkembangan yang masih beragam, maka evaluasi atas
status implementasi anggaran berbasis kinerja yang telah dicapai pemerintah
daerah saat ini penting untuk diteliti. Hal ini untuk mengetahui apakah
perubahan pendekatan anggaran ini efektif dijalankan atau hanya menjadi aksi
simbolis yang terjebak pada formalitas penyusunan anggaran dan pada
akhirnya berujung pada kegagalan reformasi.
Namunfenomenayang terjadiakhir-akhir ini,terdapatpenyimpanganyang
berkaitandengananggarandisuatuinstansipemerintah. Seperti penelitian yang
dilakukan Janti (2009) di Kabupaten Karanganyarmerupakan salah satukabupaten
di Provinsi JawaTengah yangtelah menerapkan sistem Anggaran Berbasis
Kinerjapada penyelenggaraan pemerintahannya. Pemerintah Kabupaten
Karanganyar menyadariakanketerbatasan daerah dalamhal
sumberdayamanusiayang mampu
untukmenyusunanggaranberbasiskinerjasepertiyang diharapkan.Darisurvei
awalyang telahdilakukanpenelitidiPemerintahDaerah Karanganyar,banyak
pegawaiyang menyatakanbahwapelaksanaananggaranberbasiskinerjabelum
optimal.HalinidikarenakankurangnyapenyelenggaraandiklatolehPemerintah
penyusunan anggaran yang dapat membantu pemerintah daerah dalam
penyusunanAnggaranPendapatanBelanja Daerahsesuaidenganperaturan
perundang-undanganyang berlaku.Begitujugadenganpelaksanaananggaran
berbasiskinerja,diharapkanpelaksanaannya kepada pemerintahdaerahdapat
dilakukansesuaidenganmekanisme pelaksanaananggaranberbasiskinerja agar dapat
mencapai tujuanyangtelah ditetapkan.
Permasalahannyaadalah,ketika sistembarutersebutsudahmulaiefektif
diberlakukan tidak diimbangidengan pelatihan-pelatihan khususseputar
pelaksanaananggaranyang sesuaidenganperundang-undanganyang berlaku. Salah
satunya adalah pemerintahan kabupaten Karanganyar. Pelatihan
pelaksanaananggarandiberikanhanya beberapakali,danmasihbanyakpegawai yang
belummengertidenganbaikbagaimanapelaksanaannya.
Sadjiarto,(2000)menyatakan “penyalahgunaanwewenang
dalampengelolaan anggarandaerahkerapterjadidanmunculke permukaansehingga
masyarakat seringkalimempertanyakan kinerja pemimpin daerah”.
“Hal ini merupakan upaya untuk menjaga momentum perubahan ini agar
selalu pada jalur yang tepat” Bastian, (2006).Karenanya, penelitian ini akan
meneliti status perkembangan atau efektivitas implementasi anggaran berbasis
kinerja pemerintah daerah terkait aspek-aspek yang mempengaruhinya dari
perspektif teori organisasi yang melihat perubahan dalam pendekatan anggaran
sebagai perubahan organisasional.
Penelitian ini akan menanyakan persepsi pada pejabat (penganggar) pada
mana efektivitas implementasi anggaran berbasis kinerja di setiap SKPD mereka
dan sikap mereka terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
implementasi anggaran berbasis kinerja. Hal inilah yang merupakan perluasan
penelitian yang membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
1.2. Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang penelitian di atas dan beberapa hasil penelitian
sebelumnya, maka masalah yang hendak dijawab melalui penelitian ini antara
lain:
1. Apakah sumber daya manusia berpengaruh terhadap efektivitas implementasi
anggaran berbasis kinerja?
2. Apakah akuntabilitas berpengaruh terhadap efektivitas implementasi
anggaran berbasis kinerja?
3. Apakah penerapan teknologi berpengaruh terhadap efektivitas implementasi
anggaran berbasis kinerja?
4. Apakah ketidakpastian lingkungan berpengaruh terhadap efektivitas
implementasi anggaran berbasis kinerja?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1. Untuk megetahui pengaruh sumber daya manusia terhadap efektivitas
implementasi anggaran berbasis kinerja.
2. Untuk mengetahui pengaruh akuntabilitas terhadap efektivitas
3. Untuk mengetahui pengaruh penerapan teknologi terhadap efektivitas
implementasi anggaran berbasis kinerja.
4. Untuk mengetahui pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap
efektivitas implementasi anggaran berbasis kinerja.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian mengenai efektivitas implementasi anggaran
berbasis kinerja ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :
1. Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, gambaran, dan
bukti-bukti empiris mengenai sumber daya manusia, akuntabilitas,
penerapan teknologi, dan ketidakpastian lingkungan terhadap
efektivitas implementasi anggaran berbasis kinerja. Selain itu,
penelitian ini dapat menjadi referensi bagi para peneliti yang
melaksanakan penelitian-penelitian sejenis dan penelitian-penelitian
lanjutan.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan menjadi
dasar evaluasi dalam upaya meningkatkan efektivitas implementasi
anggaran berbasis kinerja di Pemerintah Kabupaten Deli Serdang.
3. Manfaat Peneliti
Peneliti untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti
sehubungan dengan efektivitas implementasi anggaran berbasis kinerja