ii
Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film
Green Street Holigans
(Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Konsentrasi Jurnalistik
Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh Alif Risna Fauzi NIM 6662103153
KONSENTRASI JURNALISTIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
v
ABSTRAK
Alif Risna Fauzi. NIM. 6662103153. Skripsi. Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce). Pembimbing I: Mia Dwianna, S.Sos, M.Ikom dan Pembimbing II: Yoki Yusanto, S.Sos, M.Ikom
Visualisasi mempunyai kemampuan untuk menimbulkan kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan menungkannya ke atas layar. Visualisasi perfilman merupakan penampilan informasi yang komplek kedalam bentuk visual, visualisasi dimanfaatkan dimana penerima harus berusaha untuk mengartikan simbol tersebut. Film Green Street Holigans adalah penggambaran hooliganisme supporter sepak bola di Inggris. Di Amerika dan di Australia film ini disebut
Green Street Hooligan, di Negara lain disebut football hooligan atau hanya hooligan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sign, object, interpretant visualisasi anarkis supporter sepakbola. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan model yang digunakan dalam menganalisis adalah model analisis semiotika, tiga unsur makna Charles Sanders Peirce yaitu Sign/tanda, object, dan intrepetant. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi tidak langsung yaitu mengamati Film Green Street Holigans dan menggunakan triangulasi teori untuk menguatkan hasil intrepetasi data. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sign, objek dan intrepetant saling berhubungan satu sama lain dalam proses penyampaian pesan ideologi.
vi
ABSTRACT
Alif Risna Fauzi. NIM. 6662103153. Undergraduate Thesis. Visualization Anarkisme Football Holigans of Green Street Holigans (Semiotics Analysis of Charles Sanders Peirce) Guide. I: Mia Dwianna, S.Sos, M.Ikom and Guide II: Yoki Yusanto, S.Sos, M.IKom
Visualization has the ability to give rise to criticism that appears on this perspective is based on the argument that the film is a portrait of a society in which the film was made. Movies always record the reality that grows and develops in the community, and pour it over the screen. Visualization of the film is the appearance of complex information into visual form, visualization is used in which the receiver should attempt to interpret the symbols. The film is a portrayal of Green Street Holigans football hooliganism in England supporters. In America and in Australia this movie called Green Street Hooligans, in other countries is called football hooligans or just hooligans. The aim of this study was to see how the sign, object, interpretant visualization anarchist football supporters. This study uses descriptive qualitative approach and the model used in the analysis is the semiotic analysis model, the three elements of the meaning of Charles Sanders Peirce, namely Sign, object, and intrepetant. Data collection techniques using indirect observation of observing film Green Street Holigans and using triangulation theory to corroborate the results of the data intrepetasi. The results of this study revealed that the sign, object and intrepetant relate to each other in the process of delivering a message ideology.
vii
MOTTO & PERSEMBAHAN
“How many roads must a man walk down
Before you call him a man?
How many seas must a white dove sail Before she sleeps in the sand?
Yes, how many times must the cannon balls fly
The answer my friends is blowin’in the wind…”
__Bob Dylan - Blowin’ in the wind Song __
Skripsi ini kupersembahkan untuk Mamahku yang terus berjuang dalam hidupnya agar
anaknya dapat mengangkat harkat, martabat dan derajat keluarga untuk mendapatkan
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles Sander Peirce)” dengan
baik. Adapun penelitian ini dilakukan dan disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis tetap bertumpu pada landasan akademis dan menggunakan teori komunikasi yang ada untuk mengupas dan mengemas hasil penelitian ini sehingga menjadi sebuah karya ilmiah yang diharapkan bermanfaat dan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya yang berhubungan dengan analisis semiotika.
ix
dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. KH. Soleh Hidayat, M.Pd. Selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
3. Ibu Neka Fitriyah, S.Sos. M.Si, selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi dan dosen pembimbing akademik penulis dari semester awal sampai akhir. 4. Ibu Mia Dwianna S.Sos, M.Ikom selaku dosen pembimbing pertama yang
telah banyak memberi waktu, bimbingan ilmu, arahan dan kesempatan pengalaman kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini. 5. Bapak Yoki Yusanto S.Sos, M.Ikom selaku dosen pembimbing kedua yang
telah banyak memberi waktu, bimbingan ilmu, arahan dan kesempatan pengalaman kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini. 6. Ibu Puspita Asri Praceka, S.Sos. M.Ikom, selaku Sekertaris Jurusan Prodi
Ilmu Komunikasi.
7. Para Dosen dan staf TU Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atas segala sumbangsihnya.
x
9. Buat abah Slamet yang tidak pernah lelah berdoa yang terbaik untuk anak mu ini, ibu Supi Yati yang sekarang sudah bahagia di surga. Skripsi ini adalah bukti Alif berhasil menyelesaikan pendidikan S1.
10.Rangga Andriana dan Putut Wiroreksono. Terimakasih banyak sudah membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.
11.Sausan Saidah Salam. Terimakasih banyak telah menemani selama 7 bulan ini, segala baik dan buruk yang kau terima apa adanya. Terimakasih. 12. Imagine family, Erzha, Bofal, Kotay aka Arief, Gugie, Dandy, Joe, Kiki
Discongs. Terimakasih atas kebersamaan, kekeluargaan kalian dan atas dorongan semangat kalian.
13.Teman-Teman Jurnalistik Komunikasi Kelas J Angkatan 2010, Putut Wiro Reksono, Rangga Andriana, Sumardi Noviono, M.Vicky(Lacuk), Maulana Yusuf, Otnay aka Suryanto, Romi Fatullah, Windi Tresnanda. Selalu semangat dalam menempuh perjanalan kuliah ini.
14. Teman-teman seperjuangan 2010 Teguh Cipta, M. Fandi, Dhamar Indraloka, Step Ian Akbar, Akmal Alamsyah, Tirta Lestari Coppo, Natasya, Bunda Shinta, Sari Puji Fitriani dan Puput Jolie, M Nida, Ichawan (icon), Sausan, Nadia, Indra, Akmal, Stef, Dhamar, Teguh Cipta, Andi Hidayatullah Ocha, Windi, Nanis, Ncek. Semangat buat kalian semua.
xi
16. Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini dan selama perkuliahan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini.
Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan kalian semua dengan yang lebih baik, Amin. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, namun untuk seluruh pembaca pada umumnya.
Serang, April 2015 Penulis
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN... Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ... ii
2.1.3 Film sebagai Media Massa ... 12
xiii
2.1.5 Film Sebagai Representasi Realitas ... 19
2.1.6 Holigans ... 20
2.1.7 Anarkisme ... 26
2.1.8 Semiotika Film ... 27
2.1.9 Teori Psikologi Massa ... 38
2.2 Kerangka Berfikir ... 40
2.3 Penelitian Terdahulu ... 42
BAB III ... 45
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 45
3.2 Fokus Penelitian ... 46
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 47
3.4.1 Dokumentasi ... 47
3.4.2 Data Sekunder ... 47
3.5 Instrumen Penelitian ... 48
3.5.1 Unit Analisis ... 48
3.6 Teknik Unit Analisis Data ... 53
3.7 Validitas Data ... 54
BAB IV ... 56
4.1 Gambaran Umum Oddlot ... 56
4.1.1 Sejarah Singkat Oddlot Entertainment ... 56
xiv
4.2.1 Sejarah Singkat Film Green Street Hooligans ... 57
4.2.2 Penghargaan Film Green Street Hooligans... 58
4.2.3 Sinopsis Film Green Street Hooligans ... 59
4.2.4 Insert Triangle ... 63
4.2.5 Pemain & karakter Film Green Street Hooligans ... 64
4.3 Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 68
4.3.1 Analisis Scenes 1 ... 69
4.3.2 Analisis Scenes 2 ... 80
4.3.3 Analisis Scenes 3 ... 87
4.3.4 Analisis Scenes 4 ... 93
4.3.5 Analisis Scenes 5 ... 101
4.3.6 Analisis Scenes 6 ... 107
4.3.7 Analisis Scenes 7 ... 112
4.4 Intrepetasi Data ... 116
4.4.1 Sign Dalam Film Green Street Holigans ... 116
4.4.2 Object Dalam Film Green Street Holigans ... 118
4.4.3 Intrepetant Dalam Film Green Street Holigans ... 119
4.4.4 Visualisasi Anarkisme ... 120
BAB V ... 123
5.1 Kesimpulan ... 123
xv
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006, 63) ……… 35
Gambar 2.0.2 Bagan Kerangka Berfikir ………... 41
Gambar 3.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006, 63) ……… 53
Gambar 4.0.1 Ikon Oddlot Enterainment ……….. 56
Gambar 4.0.2 Poster Film Green Street Hooligan ……… 57
Gambar 4.0.3 Tokoh Matt Buckner ……….. 64
Gambar 4.0.4 Tokoh Pete Dunham ………... 65
Gambar 4.0.5 Tokoh Shannon Buckner ……… 65
Gambar 4.0.6 Tokoh Steve Dunham ………. 66
Gambar 4.0.7 Tokoh Bovvers ………... 66
Gambar 4.0.8 Tokoh Tommy Hatcher ……….. 67
Gambar 4.0.9 Tokoh Dave ……… 67
Gambar 4.0.10 Bagian Scenes1 ……… 69
Gambar 4.0.11 Bagian Scenes 2 ……… 80
Gambar 4.0.12 Bagian Scenes 3 ……… 87
Gambar 4.0.13 Bagian Scenes 4 ……… 93
Gambar 4.0.14 Bagian Scenes 5 ……… 101
Gambar 4.0.15 Bagian Scenes 6 ……… 107
xvii
DAFTAR TABLE
Tabel 2.0.1 Penjelasan Ikon, Indeks, Simbol ……….. 37
Tabel 2.0.2 Penelitian Terdahulu ………. 43
Tabel 3.0.1 Sample Unit Analisis ……….... 49
Tabel 4.0.1 Pembagian Tanda Scenes 1 ……….. 71
Tabel 4.0.2 Pembagian Tanda Scenes2 ……….. 82
Tabel 4.0.3 Pembagian Tanda Scenes 3 ……….. 88
Tabel 4.0.4 Pembagian Tanda Scenes 4 ……….. 95
Tabel 4.0.5 Pembagian Tanda Scenes 5 ……….. 102
Tabel 4.0.6 Pembagian Tanda Scenes6 ……….. 108
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Visualisasi yang ada pada suatu film dapat menimbulkan kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikanya ke atas layar (Sobur 2009: hal 127). Bukti dari realitas tersebut dapat terlihat pada supporter sepak bola di Indonesia, yang tidak pernah bisa lepas dari tindak kekerasaan.
Visualisasi perfilman merupakan penampilan informasi yang komplek kedalam bentuk visual. Visualisasi dimanfaatkan dalam perfilman yang akan lebih menarik bila dibuat dimana penerima harus berusaha untuk mengartikan symbol tersebut. Dengan disajikannya visualisasi dengan gambar-gambar atau tulisan dan grafik, maka mempermudah penikmat untuk menimbulkan persepsinya sendiri terhadap apa yang sedang mereka tonton. Visualisasi dalam film pun selalu menceritakan bagaimana tingkah dan perilaku yang memiliki maksud tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Dalam sebuah perfilman pun visualisasi gambar merupakan bagian yang penting. Visualisasi diartikan sebagai pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan angka), peta, atau grafik. Secara umum film menggambarkan kisah real yang ada dalam kehidupan nyata. Dan bila ditelusuri lebih jauh akan banyak ditemukan muatan-muatan pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara. Muatan-muatan pesan tersebut di visualisasikan yang mengidentifikasikan adanya pesan ideologi yang terkandung dalam isi cerita film ini. Pada kesempatan peneliti ingin mengulas tentang film olahraga yang bertema sepak bola, khususnya kepada supporter sepak bola. Film yang berjudul Green Street Hooligans, menceritakan tentang
hooliganisme supporter sepak bola di Inggris, film ini di sutradarai oleh Lexi Alexander dan dibintangi oleh Elijah Wood dan Charlie Hunnam. Di Amerika dan di Australia film ini disebut Green Street Hooligan, di Negara lain disebut football hooligan atau hanya hooligan.
perhatian masyarakat. Sebagai contoh ialah pembuatan film mengenai fanatisme supporter yang di bumbui cinta. Pembanding yang dilakukan oleh sutradara bisa membuat citra ribuan supporter menjadi harum bahkan bisa juga menjadi buruk.
Contoh pembingkaian film yang membuat citra supporter menjadi buruk. Dikutip dari film Romeo Juliet supporter persib vs persija yang mengangkat tentang fanatisme supporter di Indonesia khususnya persib dan persija yang dibumbui dengan cinta. Sifat loyalitas itu menunjukkan bahwa supporter tersebut memang benar-benar setia memberikan motivasi buat tim maupun fanatisme. Fanatisme supporter sepakbola yang berujung pada aksi kekerasan dan bentrok antar pendukung pun acapkali di belahan benua manapun. Andibachtiar Yusuf, penulis naskah dan sutradara film ini, menyatakan “fanatisme telah hidup dalam diri para supporter berlandaskan
berbagai motif, baik yang rasional maupun yang di luar nalar. Mereka bahkan rela mati demi klub kesayanganya.” Film yang di mulai dari seorang Ranggamobe Larico (Edo Borne) sebagai pendukung persija yang bertemu dengan seorang lady viker yang bernama Dessy Kasih Purnamasari (Sissy prescilia), dalam bentrok tersebut terjadilah kisah klasik itu, cinta pada pandangan pertama antara Rangga dan Dessy.
dibuat berdasarkan fakta, realita, atau hal-hal yang benar dan terjadi pada kehidupan kita sehari-hari.
Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwasannya pembingkaian cerita berpengaruh besar kepada para penontonnya. Cerita fiksi yang di angkat oleh sutradara dapat membingkai sebuat cerita film juga bisa membuat citra supporter menjadi buruk.
Setelah banyak contoh berita yang dibingkai media diatas, penulis tertarik untuk meneliti visualisasi anarkisme supporter sepakbola dalam film green street holigans. Green Street Hooligans ini menjadi menarik ketika muatan pesan tersebut dapat dilihat dari penggambaran visual yang dibangun pada film tersebut mengenai fanatisme supporter sepak bola terhadap klub kesayangannya yaitu West Ham United. Dari fanatisme itu sendiri yang akhirnya menimbulkan anarkis antar holigans yang tervisualisasikan pada film tersebut.
Berbicara mengenai simbol dan tanda maka tepat kiranya jika semiotika dijadikan pisau bedah untuk meneliti lebih jauh tetang film
pesan-pesan ideology mengenai fanatisme dan anarkisme dapat dikupas secara detail dengan teori simiotika. Dengan pertimbangan itulah penulis ingin mengangkat sebuah film sebagai objek penelitian semiotika sebagai pisau bedahnya. Karena unsur fanatisme dan anarkisme di film ini sangatlah kuat dan sangat berkarakter sehingga para penonton bisa menyimpulkan tayangan yang mereka tonton.
Berdasarkan paparan di atas, penulis merasa perlu mengkaji lebih jauh film ini ke dalam bentuk penelitian yang berjudul “Visualisasi anarkisme supporter sepak bola pada film Green Street Hooligans”
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran pada pemaparan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana “Visualisasi anarkisme supporter sepak bola dalam film
Green Street Hooligans”?
1.3 Identifikasi Masalah
Masalah dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Bagaimana Sign anarkis dalam film Green Street Hooligans?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penulisan ini ialah:
1. Mengungkapkan Sign apa yang muncul tentang visualisasi anarkis yang terjadi dalam film Green Street Hooligans.
2. Mengungkapkan Object symbol-symbol anakis dalam film Green Street Hooligans.
3. Mengungkapkan Interpretan anarkis dalam film Green Street Hooligan
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi studi komunikasi, khususnya mengenai media film yang berkaitan dengan studi semiotika baik dalam pembelajaran teori pada perkuliahan mengenai semiotika komunikasi maupun sinematografi.
1.5.2 Manfaat Praktis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Visualisasi
Visualisasi berasal dari kata, yaitu:
1. Visual berarti berdasarkan penglihatan atau dapat dilihat. 2. Visualization berarti pemberian gambar
3. Visualize berarti memberi gambar tentang sesuatu.
Visualisasi diartikan sebagai pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan angka), peta, atau grafik. Juga diartikan sebagai proses pengubahan konsep menjadi gambar untuk disajikan lewat media misalnya televisi oleh produsen. Edward Tufte (1997: hal 23) mengatakan bahwa “Visualization is successful if it reveals this structure. A different way to express this it to say that information design works with information, while information visual information works with data as it always the case with the actual cultural practice, it is easy to find example that do not fit such distinction but a majority do. Therefore, I think that this distinction can be useful in allowing us to understand the practices of information visualization design as partially overlapping but ultimately different in terms of their functions”.
Visualisasi (Inggris: visualization) adalah rekayasa dalam pembuatan
gambar, diagram atau animasi untuk penampilan suatu informasi. Secara umum, visualisasi dalam bentuk gambar baik yang bersifat abstrak maupun nyata telah dikenal sejak awal dari peradaban manusia. Contoh dari hal ini meliputi lukisan di dinding-dinding gua dari manusia purba, bentuk huruf hiroglip Mesir, sistem geometri Yunani, dan teknik pelukisan dari Leonardo da Vinci untuk tujuan rekayasa dan ilmiah.
Visualisasi adalah suatu bentuk penyampaian informasi yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu dengan gambar, animasi atau diagram yang bisa dieksplor, dihitung dan dianalisis datanya. Menurut McCormick (et al., 1987), visualisasi memberikan cara untuk melihat yang tidak terlihat. Beberapa hal yang menyusun terbentuknya visualisasi:
1. Penggunaan tanda-tanda (signs)
2. Gambar (drawing) 3. lambang dan symbol
4. Ilmu dalam penulisan huruf (tipografi) 5. Ilustrasi dan warna
mendiagnosa dan menganalisis data yang ditampilkan agar dapat memprediksi kesimpulan.
2.1.1.1 Visualisasi Berdasarkan Komunikasi Massa
Elvinaro menyebutkan komunikasi massa dapat dijelaskan melalui beberapa karakteristik (Elverano 2004: hal 57). Karakteristik tersebut antara lain: komunikator dalam komunikasi massa terlembagakan, komunikasi massa menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik. Komunikasi massa juga melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks (Elvirano 2004: hal 57).
Bentuk yang paling umum dari bahasa verbal manusia adalah bahasa terucapkan. Bahasa tertulis adalah sekedar cara untuk merekam bahasa terucapkan dengan membuat tanda – tanda pada kertas ataupun pada lembaran tembaga dan lain-lain. Penulisan ini memungkinkan manusia untuk merekam dan menyimpan pengetahuan sehingga dapat digunakan dimasa depan atau di transmisikan pada generasi - generasi berikutnya.
a. Bahasa sebagai lambang b. Bahasa dan makna c. Bahasa dan kebudayaan d. Bahasa dan kenyataan
Komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen. Komunikator dalam komunikasi massa tidak mengenal komunikan (anonym), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Selain itu, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan factor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama, dan tingkat ekonomi (Daryanto 2010: hal 97).
secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama (Daryanto 2010: hal 97).
Komunikasi massa mengutamakan dimensi isi ketimbang dimensi hubungan. Sedangkan pada komunikasi antara personal unsur hubungan sangat penting. Dimensi isi menunjukkan muatan atau isi komunikasi, yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakannya, yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu.
2.1.2 Definisi Film
Menurut Undang-Undang Perfilmn No. 8 tahun 1992, Pasal 1 Ayat 1.
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.
Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (UU baru tentang perfilman) “Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial
Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figure palsu) dengan kamera, dan atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang (developer).
Pada dasarnya film dapat dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan film non-cerita. Terkadang suka digolongkan menjadi film fiksi dan non-fiksi. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya, film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan iklan tertentu. Film non-cerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataannya sebagai subyeknya. Jadi merekam kenyataan daripada fiksi tentang kenyataan (Himawan Pratista 2008, 24)
2.1.3 Film sebagai Media Massa
karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dIbuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan / atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan / atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan / atau lainnya.
Media massa (film) merupakan perpanjangan tangan dari masyarakat, sehingga apa yang terkandung dalam media tersebut merupakan gambaran realitas sosial di masyarakat, yang mempunyai kekuatan dalam menyampaikan suatu makna, tentunya dengan ide yang dituangkan oleh komunikator lewat berita dan hIburan yang dikemas dalam isi pesan media. McQuail (1987) mendefinisikan pandangannya tentang media sebagai berikut:
1. Media massa sebagai penterjemah yang menolong kita, menjadikan pengalaman diri menjadi suatu yang masuk akal.
2. Media adalah angkutan yang menyampaikan informasi.
3. Media merupakan sarana komunikasi interaktif yang memberikan kesempatan kepada khalayak atau masyarakat untuk memberikan tanggapan atau umpan balik.
5. Media merupakan filter yang memfokuskan kita pada beberapa bagian dari pengalaman pribadi dan mengalihkannya dari beberapa bagian yang lain.
6. Media merupakan cermin yang merefleksikan diri kita.
7. Media merupakan pagar pembatas yang memblokir suatu kebenaran.
Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi (Cangara 1998). Media massa juga mempunyai kemampuan yang kuat dalam mengubah perilaku khalayak (komunikan) melalui proses imitasi (belajar sosial). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya stasiun televisi, radio, perusahaan media cetak, baik itu surat kabar, majalah, dan media cetak lainnya, sebab masyarakat selalu haus akan informasi, hIburan dan lain sebagainya yang disediakan oleh media massa.
Hal ini dipertegas oleh McQuil (1987), yang mengatakan” Media
penglihatan (televisi, film, video) yang bersifat verbal visual vokal. Bahkan menurut Nurudin (2007), media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. Selain itu media massa juga mempunyai fungsi. Menurut Bungin (Bungin 2007: hal 78-81) fungsi Komunikasi massa adalah fungsi pengawasan, fungsi sosial learning, fungsi penyampaian informasi, fungsi tranformasi budaya, dan fungsi hIburan.
1. Fungsi pengawasan, media massa merupakan sebuah medium dimana dapat digunakan untuk pengawasan aktivitas masyarakat pada umumnya. Fungsi pengawasan ini bisa berupa peringatan dan kontrol sosial maupun kegiatan persuasif.
2. Fungsi social learning, fungsi utama dari komunikasi media massa adalah melakukan guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat. Media massa bertugas untuk memberikan pencerahan-pencerahan kepada masyarakat dimana komunikasi massa itu berlangsung.
3. Fungsi penyampaian informasi, komunikasi massa mengandalkan media massa, sebagai alat dalam proses penyampaian informasi kepada masyarakat luas. Komunikasi massa memungkinkan informasi dari institusi publik tersampaikan kepada masyarakat secara luas dalam waktu yang cepat dan singkat.
maka yang terpenting adalah komunikasi massa menjadi proses transformasi budaya yang dilakukan bersama-sama oleh semua komponen komunikasi massa, terutama yang didukung oleh media massa.
5. Fungsi hiburan, komunikasi massa juga digunakan sebagai medium hIburan, terutama karena komunikasi massa menggunakan media massa. Jadi fungsi hIburan yang ada pada media massa, juga merupakan bagian dari fungsi komunikasi massa.
Dengan demikian, maka fungsi hIburan dari komunikasi massa saling mendukung fungsi-fungsi lainnya dalam proses komunikasi massa.
2.1.4 Film Sebagai Realitas Tanda
Tanda dalam realitas tersebut diangkat dari persepsi sutradara (komunikator) sendiri, yang dimaknai dari pengalaman yang didapat atau dilihat dari lingkungan sosial budaya. Sehingga film tidak semata membentuk realitas tapi memberikan penekanan persepsi di depan kamera. Hal ini diperkuat oleh pandangan Alex Sobur pada tahun 2004, bahwa film bukan semata-mata memproduksi realitas tetapi juga mendefinisikan realitas.
Film dibagi kedalam tiga kategori yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi yang biasa disebut dengan film kartun.
1. Film fitur, merupakan karya fiksi yang stukturnya berupa narasi yang dIbuat dengan tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan tahap ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, cerita pendek atau karya cetakan lainya. Bisa juga dIbuat secara khusus untuk dIbuat filmnya. Tahap produksi yaitu masa berlangsunganya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakahir, adalah pos-produksi (editing), ketika semua bagian film dalam pengambilan gambar tidak sesuai urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.
Film dokumenter sering kali diambil tanpa skrip dan jarang ditampilkan di gedung bioskop seperti film fitur. Film jenis ini biasanya ditampilkan di televisi.
3. Film animasi, merupakan film yang menggunakan teknik ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan peyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohya.
2.1.5 Film Sebagai Representasi Realitas
Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, Lumiere bersaudara memberikan pertunjukkan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris (Danesi 2010: hal 132).
Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata (Irwansyah 2009: hal 12), yang merupakan hasil karya seni, di mana di dalamnya di warnai dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi (Al-Malaky 2004: hal 139).
Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarakan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia tampil. Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat interpretant (Danesi 2010: hal 134).
2.1.6 Holigans
Menurut Chols, kata ‚supporter/hooligans ‚ berasal dari kata kerja
(verb) dalam bahasa Inggris to support dan akhiran (suffict) –er. To support
(Kamus Bahasa Inggris, 1988). Sementara itu, menurut Yasyin (Kamus Bahasa Indonesia, 1997) istilah‚ penonton berasal dari awalan pe- dan kata kerja tonton dalam bahasa Indonesia. Awalan pe- dalam hal ini berarti orang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan kata kerja. Bila kata kerjanya tonton, maka penonton berarti orang yang menyaksikan suatu pertunjukan atau tontonan.
Ada perbedaan yang tipis antara „penonton‟ dan „suporter‟, terlebih
lagi apabila kata tersebut digunakan dalam persepakbolaan. Penonton adalah orang yang melihat atau menyaksikan pertandingan sepakbola, sehingga bersifat pasif. Sedangkan suporter adalah orang yang memberikan dukungan, sehinga bersifat aktif. Dalam lingkungan sepakbola, suporter erat kaitannya dengan dukungan yang dilandasi oleh perasaan cinta dan fanatisme terhadap tim.
Selain penonton dan suporter, istilah lain juga muncul berkenaan dengan sebutan terhadap sekelompok orang yang sedang menyaksikan pertandingan sepakbola. Sindhunata pada tahun 2002 mengatakan bersumber dari sejumlah terbitan surat kabar di Surabaya maupun tulisan hasil penelitian sejumlah ahli, peneliti melansir adanya beberapa istilah untuk penonton sepakbola, seperti istilah tifosi dari Italia, yang berarti pendukung fanatik dalam sepakbola Italia, begitu pula halnya dengan istilah
merupakan singkatan atau akronim dari kata ‟bondho nekat‟ dan „bondho maling‟.
Dapat disimpulkan bahwa Suporter yang fanatis mempunyai pandangan sempit terhadap tim sepakbola yang dicintai dan berantusias atau bersemangat yang tinggi untuk mendukung tim sepakbola kesayangannya serta ditunjukkan dengan berperilaku yang irrasional ketika kesebelasannya dicemooh atau kalah dalam bertanding. Suporter akan betindak sangat emosional dan misinya, praktis tak mengenal batas-batas. Begitu pula sebaliknya ketika kesebelasannya menang dalam pertandingan, suporter mengalami rasa kegembiraan yang luar biasa dan larut dalam
euforia.
2.1.6.1 Sejarah Hooligans
Harus diakui, Inggris adalah pelopor sepakbola modern karena Negara inilah yang menyempurnakan peraturan sepak bola menjadi menarik seperti sekarang ini. Pada tahun 1845 baru dibuat peraturan yang mengenai permainan sepakbola. Sebelumnya sepakbola masih sama dengan
rugby, pemain masih boleh menggunakan tangan untuk menangkap dan membawa bola. Baru pada tahun 1949 ada peraturan, pemain sepak bola tidak boleh menggunakan tangannya dan sepakbola „berpisah‟ dengan
rugby (Arifin 2011: hal 17).
setiap pertandingan berbuat ulah, ricuh dan rusuh. Dalam banyak kasus, terlebih saat Inggris mengalami kekalahan dalam pertandingan tandang maupun di kandang sendiri, hooligan kerap berurusan dengan kepolisian karena tidak menunjukkan perilaku sportif yang berujung anarkistis.
Jika melihat tampilan para hooligan, dalam keadaan biasa, memang lucu kelihatannya. Namun, begitu mereka beraksi, tak ada lagi yang patut ditertawakan. Mereka suka mabuk-mabukan, muntah, dan kencing sembarangan. Berkelahi dengan siapa saja yang dijumpainya, terutama terhadap pendukung musuh kesebelasannya. Polisi pun tidak segan dilabrak.
Penyakit hooliganisme tersebut kini menular ke seluruh penjuru dunia, mulai dari daratan Eropa, ujung Afrika, pedalaman Cina hingga pelosok Indonesia. Bahkan, hooliganisme di negeri ini juga menyulut banalisme di luar stadion. Kisah kekerasan suporter bola, termasuk di Indonesia, melahirkan tanda tanya besar di benak kita: ada apa dengan sepak bola dan suporternya? Sejak kapankah hooligan muncul dalam dunia sepak bola? Buku The Land of Hooligans ini secara lugas mengisahkan sejarah para perusuh sepak bola di berbagai negara. Penulis juga berusaha mengurai variabel sosial.
Tak heran jika Inggris adalah gudang penghasil hooligan yang paling padat. Sementara studi mengenai suporter sepak bola dimulai akhir 1960-an. Sejak itu pula, ada kepedulian politis, sosial, dan media yang besar terhadap.
Puncak aksi hooliganisme terjadi pada 29 Mei 1985 ketika suporter Liverpool menyerang suporter Juventus dalam final Champions Cup di Stadion Heysel, Brussel, Belgia. Peristiwa ini bermula dari pendukung masing-masing klub yang saling mengejek dan melecehkan. Kemudian, para pendukung Juventus mulai melemparkan kembang api ke arah pendukung Liverpool. Huru-hara pun meledak. Akibat peristiwa itu, 39 orang tewas mengenaskan. Kisah-kisah kekerasan hooligan terus mewarnai dunia sepak bola, termasuk dalam pertandingan derby. Di Skotlandia, yang paling sering terjadi adalah perang antar-suporter Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers. Celtic adalah klub yang dianggap mewakili agama Katolik, sedangkan Rangers mewakili Protestan.
Masing-masing hooligan siap bertaruh nyawa. Suporter Rangers sering menamakan diri Billy Boys, yakni geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow semasa Perang Dunia I dan II. Akibatnya, derby kedua klub ini selalu panas. Pendukung kedua klub pun sering terlibat bentrok sebab setiap Celtic dan Rangers bertanding, olok-olokan suporter saling menyerang.
memertemukan Fenerbahce versus Galatasaray adalah pertandingan yang dianggap sebagai perang kaum miskin (Fenerbahce) versus aristokrat (Galatasaray) bawah.
Secara sosiologis, popularitas sepak bola mempresentasikan permainan kelas bawah. Maklum, media massa sebelum era 1995-an masih senang mencemooh sepak bola milik kelas proletar di Eropa, milik masyarakat Dunia Ketiga di Asia dan Amerika Latin, dan milik penduduk terbelakang di Benua Afrika. Sebagaimana ditulis Jim White dalam buku Manchester United; The Biography (edisi 2009), sepakbola memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan sosial. Apayang terjadi di antara suporter itu adalah fenomena sosial yang kompleks. Menurut survey pada 1960 terhadap 520 perusuh Inggris yang ditahan polisi menunjukkan, buruh kasar (68, 1%).
untuk mengubah keadaanya. Kompetisi dalam sepak bola lalu dianggap relevan sebagai sikap pelarian.
Frustasi dalam hidup bermasyarakat kerap dijadikan alasan melancarkan agresi dan tidak banyak sarana untuk menyalurkannya. Dalam hal ini, pertandingan sepak bola yang dipadati ribuan penonton 'dibajak' sebagai sarana pelampiasan. Karena itu, sesungguhnya ada mata rantai antara kekerasan dalam sepak bola dan agresi sosial tersebut.
Salah satu pihak yang turut bertanggungjawab mematahkan mata rantai itu adalah pemain. Pemain sejatinya menampilkan permainan yang menarik tanpa kekerasan. Begitu memeragakan kekerasan, dia wajib dihukum seberat-beratnya sehingga dapat meredam emosi suporter dan harus sportif. Itulah sepak bola yang memiliki kisahnya sendiri.
2.1.7 Anarkisme
Adanya fanatisme dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi. Ciri-ciri yang jelas dari sifat anarkis adalah ketidakmampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Ahmad Kursyid (1993: hal 30) fanatisme akan lebih berkembang bila agama tidak mengambil bagian dalam percarturan politik atau berperan besar dalam kekuatan politik.
kekerasan. Sebagai bentuk kognitif, individu yang fanatik akan cenderung kurang terkontrol dan tidak rasional. Apabila bentuk kognitif ini mendasari setiap beperilaku, maka peluang munculnya agresi akan semakin besar.
Berdasarkan beberapa uraian pendapat diatas maka penulis dapat mendefinisikan bahwa fanatisme merupakan suatu antusiasme pada sesuatu, sehingga menimbulkan agresi atau yang sering disebut dengan tindak kekerasan dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya. Fanatisme juga merupakan suatu pemikiran akan ketertarikan individu terhadap objek fanatis (individu atau kelompok ataupun barang) yang dianggap layak sebagai panutan atau hal-hal yang tertentu yang menyebabkan individu yang bersangkutan tertarik dan diyakini secara mendalam, sehingga sulit diluruskan atau diubah. Fanatis dapat berbahaya jika fanatis tersebut bersifat ekstrim, individu yang fanatis mempunyai pandangan yang sempit terhadap figur atau kelompok yang dicintai sebagai yang paling benar dan harus jadi nomor satu. Maka timbulah suatu
anarkisme atau kerap dikatakan dengan kekerasaan.
2.1.8 Semiotika Film
diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Pada film digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Ciri gambar - gambar film adalah persamaanya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Sobur 2004: hal 128).
Alex Sobur (2004: hal 128) juga mengatakan bahwa film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukkannya dengan proyektor dan layar. Ada hal-hal yang dapat dilakukan film yang tidak dapat dilakukan cerita tertulis dan sebaliknya.
Film televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsure yang akrab, seperti pemotongan, (cut), pemotretan jarak dekat (close up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade),
pelarutan (dissolve),gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat
(speeded-up), efek khusus (special effect) (Sobur 2004: hal 128).
Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise en scene yang terkait dengan penempatan posisi dan pergerakan actor pada set (blocking), serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan
(scene) dan sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera. Mise en scene berarti menempatkan sesuatu pada satu layar, unsure-unsurnya antara lain actor’s performance yang terdiri dari script adalah sebuah naskah yang berisi semua kalimat yang diucapkan oleh pemain film, dan
movement yaitu semua hal dan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemain film (Bordwell dan Thomson 1993: hal 45).
Selain itu menurut Bordwell dan Thomson (1993: hal 45) mise en scene juga terdiri dari unsur suara (sound). Sound yaitu latar belakang suara pemain, lagu sound effect, atau nat sound (suara di sekeliling pemain film). Suara yang dapat didengar mendampingi visualisasi gambar pada layar.
Adapun kategori suara antara lain: Spoken word berupa perkataan, komentar, dialog, maupun monolog dari seorang pemain film. Natural sound berupa semua suara selain ucapan pemain film dan musik yang berfungsi sebagai ilusi realitas dan simbilisasi keadaan. Serta, music berupa instrumen atau nyanyian yang berfungsi untuk membantu transisi antar
Unsur selanjutnya dalam mise en scene yaitu production design. Production design yang terdiri dari setting berupa lokasi pengambilan gambar, property berupa segala peralatan atau barang yang mendukung pelaksaan produksi film, dan costum berupa segala pakaian yang dipakai oleh pemain.
Penerapan metode semiotika dalam film berkaitan erat pula dengan media televisi. Karena televisi merupakan medium yang kompleks yang menggunakan bahasa verbal, gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide pada orang. Aspek-aspek yang diperhatikan dari medium yang berfungsi sebagai tanda, untuk membedakan sebagai pembawa tanda. Berkesinambungan dengan objek yang peneliti ambil.
2.1.8.1 Semiotika Charles Sander Peirce
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti”tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu atas
dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Sobur 2004: hal 95). Secara terminologis, semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan; cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaan oleh mereka yang mempergunakannya (Sujiman and Zoest 1992: hal 5).
maupun visual (Senel 2007: hal 118). Analisis semiotik merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks (Pawito 2007: hal 155-156). Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk sistem lambang (sign) baik yang terdapat pada media massa maupun yang terdapat diluar media massa. Urusan analisis semiotik adalah melacak makna-makna yang diangkut dengan teks berupa lambang-lambang (signs). Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik. Di dalam setiap teks, tanda-tanda di organisasikan ke dalam sistem tanda yang oleh ilmu semiotika merupakan sebuah kode. Kode mempunyai sejumlah unit (atau kadang-kadang satu unit) tanda. Cara menginterpretasi pesan-pesan yang tertulis yang tidak mudah dipahami. Jika kode sudah diketahui, makna akan bisa dipahami. Dalam semiotik, kode dipakai untuk merujuk pada struktur perilaku manusia (Rachmat 2006: hal 269).
yang telah dipahami dan dimengerti. John Fiske menyebut bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu (Fiske 2006: hal 60):
Jika dalam teks kita dapat memilih dan menghubungkan tanda-tanda dalam hubungannya dengan kode-kode yang sudah kita kenali maknanya, selanjutnya dilanjutkan kepada sasaran informasi atau pembaca yang kita inginkan. Karena sistem tanda sifatnya konteksual dan bergantung pada pengguna tanda. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada. Dalam membaca sebuah teks, pembaca menginterpretasikan tanda dengan acuan yang telah dipahami dan dimengerti. John Fiske menyebut bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu (Fiske 2006: hal 60):
a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Dalam semiotika komunikasi, tanda atau signal dikaji dalam konteks komunikasi yang lebih luas yaitu melibatkan berbagai elemen komunikasi. Charles Sanderss Peirce melihat tanda (representamen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretant) (Piliang 2003: hal 266). Tampak pada definisi Peirce tersebut peran subjek (somebody) sebagai bagian tidak terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan semiotika komunikasi.
Penempatan tanda atau signal didalam rantai komunikasi menyebabkan tanda atau signal mempunyai peran yang penting dalam penting dalam komunikasi. Jadi, dalam teori komunikasi perhatian lebih kepada kondisi penyampaian signifikasi, yaitu ada saluran komunikasi. Berkat saluran komunikasi inilah pesan dapat disampaikan (Sujiman and Zoest 1992: hal 6).
dalam sistem dan mengambil bagian aktif dalam proses semiosis (Barbieri 2008: hal 1-3).
Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni representamen (R), objek (O), dan interpertant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi (secara fisik atau mental). Pada bagian inilah, seorang manusia mempersepsi dasar (ground). Selanjutnya, tanda ini merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Bagian ini menuntun seseorang mengaitkan dasar (ground) dengan suatu pengalaman. I merupakan bagian dari proses yang menafsirkan hubungan R dengan O. Di sini seseorang bisa menafsirkan persepsi atas dasar yang merujuk pada objek tertentu. Dengan demikian, Peirce menjadikan tanda tidak hanya sebagai representatif, tetapi juga interpretatif.
Peirce melihat subjek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses signifikasi. Model triadik Peirce (representamen+objek+interpretan=tanda) memperlihatkan peran besar subjek dalam proses transformasi bahasa. Tanda dalam pandangan Peirce selalu berada di dalam proses perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tidak berbatas (unlimited semiosis), yaitu proses penciptaan rangkaian interpretan yang tanpa akhir (Piliang 2003: hal 266).
Gambar. 2.0.1: Elemen Makna Charles Sander Pierce (Fiske 2006: hal 63)
Model triadik Peirce tersebut memperlihatkan tiga elemen utama pembentuk tanda, yaitu representamen (sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain), objek (sesuatu yang direpresentasikan), dan interpretan (interpretasi seseorang tentang tanda) (Piliang 2003: hal 267).
tanda dari nilai yang diberikan oleh kaidah budaya dan sistem tanda (McQuill 1995: hal 182).
Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan sifat ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda.
Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda.
Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda (Sobur, Semiotika Komunikasi 2004: hal 32).
Berdasarkan sifat hubungan antara ground dan objek-nya, Peirce membedakan tanda atas lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index). Peirce berpendapat bahwasanya model tersebut bermanfaat dan fundamenal mengenai sifat tanda. Ketiganya dapat dijelaskan demikian (Fiske 2006: hal 70-71):
a. Lambang (symbol): suatu tanda dimana hubungan antara tanda dan acuannya merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Lambang ini adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari para pengguna tanda.
c. Indeks (index): suatu tanda yang hubungan eksistensinya langsung dengan objeknya. Jadi, indeks adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya.
Tabel 2.0.1 Penjelasan Ikon, Indeks, Simbol
Jenis
dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa disitu sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
2.1.9 Teori Psikologi Massa
Crowd psikologi adalah cabang dari psikologi social, orang-orang biasanya dapat memperoleh kekuasaan langsung dengan bertindak secara historis, karena besar kelompok masyarakat telah mampu membawa dramatis dan tiba-tiba perubahan social dengan cara yang bypasses
didirikan proses hukum, mereka juga menimbulkan kontroversi. Ilmuwan social telah mengembangkan teori berbeda untuk menjelaskan psikologi orang, dan cara dimana psikologi orang banyak berbeda secara signifikan dari psikologi individu-individu di dalamnya.
Menurut Sigmund Freud kerumunan adalah Teori yang mengemukakan bahwa orang-oramg yang berada dalam kerumunan/kelompok, tindakan berbeda terhadap orang dari mereka yang berfikir secara individu. Pikiran kelompok akan bergabung untuk membentuk sebuah cara berfikir. Antusiasme setiap anggota akan meningkat sebagai akibatnya, dan satu menjadi kurang menyadari sifat sejati dari tindakan seseorang (Suwarno 2005: hal ).
Secara deskriptif Milgram pada tahun 1977 melihat kerumunan sebagai: 1. Sekelompok orang yang membentuk agregasi(kumpulan),
3. Orang-orang ini mulai membuat suatu bentuk baru,
4. Memiliki distribusi diri yang bergabung pada suatu saat dan tempat tertentu dengan lingkaran yang semakin jelas, dan
5. Titik pusatnya permeable dan saling mendekat.
Ada beberapa bentuk kerumunan (Crowd) yang ada dalam masyarakat:
1. Temporary Crowd: orang yang berada pada situasi saling berdekatan di suatu tempat dan pada situasi sesaat
2. Casual Crowd: sekelompok orang yang berada di ujung jalan dan tidak memiliki maksud apa-apa
3. Conventional Crowd: audience yang sedang mendengarkan ceramah 4. Expressive Crowd: sekumpulan orang yang sedang nonton konser
music menari sambil sesekali ikut melantunkan lagu
5. Acting Crowd atau rioting crowd: sekelompok massa yang melakukan tindak kekerasan/tindakan anarkis
6. Solidaristic Crowd: kesatuan massa yang munculnya karena didasari oleh kesamaan ideologi.
2.2 Kerangka Berfikir
Menurut Uma Sekaran dalam Sugiyono tahun 2009 mengemukakan bahwa kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah yang penting.
Dalam kerangka berfikir yang dibuat peneliti, akan menggambarkan bagaimana visualisasi anarkisme dalam film tersebut akan dikupas dengan dua teori, yang berdasarkan model dari Charles Sanders Pierce, dan teori Psikologi massa digunakan sebagai satu teori pendukung. Sebagai contoh dalam film Greent Street Hooligans yang berdasarkan teori semiotika Charles Sanders Pierce akan ditemukan sejumlah signifier (penanda) dan
2.3 Penelitian Terdahulu
Terdapat dua penelitian yang dianggap relevan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu Christina Ineke Widhiastuti (2012) dengan judul “Representasi Nasionalisme Film Merah Putih”. Christina Ineke melihat Representasi Nasionalisme yang ada dalam film merah putih. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Representasi Nasionalisme Film Merah Putih.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, dimana penelitian kualitatif terebut bertujuan untuk mempertahankan bentuk dan isi prilaku manusia dan menganalisa kualitas-kualitasnya. Penelitian yang menggunakan latar alamiah yang menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada (Moleong 2006: hal 5).
Sifat yang diambil adalah jenis deskriptif, yaitu peneliti yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data (Narbuko dan Abu Achmadi 2005). Pertimbangan penulis menggunakan metode deskriptif karena memiliki tujuan yang sama dengan keinginan penelitian penulis, yaitu hanya untuk melihat kondisi objektif yang terjadi di lapangan, lalu memaparkan keadaan atau peristiwa tersebut apa adanya, tidak untuk mencari atau menjelaskan.
Penelitian kualitatif juga bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek peneliti misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalam (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data (Kriyantono 2008: hal 56-57).
3.2 Fokus Penelitian
Setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu hal. Untuk itu perlu diberikan untuk menghindari penafsiran yang keliru atas judul peneliti. Untuk menghindari kesalah pahaman dalam menginterpretasi, sekaligus memudahkan pembaca dalam memahami judul peneliti ini, maka penulis merasa perlu untuk mencantumkan batasan masalah dalam penelitian ini, sehingga tidak menimbulkan kesimpangsiuran dalam pembahasan selanjutnya.
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada tanda-tanda visualisasi yang ada dalam film.
2. Peneliti mendiskripsikan tanda-tanda kekerasan yang terdapat dalam film.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Dokumentasi
Dalam penelitian “Visualisasi anarkisme suporter sepak bola pada
film Green Street Hooligan” peneliti melakukan dengan mengolah dan
menganalisa objek film tersebut. Data yang dipakai berupa rekaman film dalam format DVD ini, seluruh data nya akan dianalisa menurut acuan pesan ideologi yang merujuk kepada penelitian penulis, baik berupa gambar/shot yang terlihat yang mewakili pesan ideologi, adegan/ yang mencerminkan pesan ideologi yang hendak disampaikan maupun dari segi
Mise-En-Scene yang terlihat sebagai pelengkap bahan kajian penelitian yang kesemuanya mengacu pada pendekatan Peirce dengan teori Triangle Of Meaning dengan katagorisasi pada Ikon,Indeks & Simbol.
Dari data yang didapat berupa gambar dan adegan tersebut, penulis akan memilih mana saja dari bagian film tersebur yang mengindikasikan adanya pesan ideologi. Dalam hal ini penulis didukung oleh tabel visualisasi dari film tersebut yang membedah secara umum bagian-bagian baik dari shot dan adegan yang memperlihatkan adanya pesan ideologi.
3.4.2 Data Sekunder
berhubungan dengan masalah yang diangkat mengenai film tersebut. Data-data ini selanjunya digunakan untuk melengkapi Data-data yang sudah ada.
3.5 Instrumen Penelitian
3.5.1 Unit Analisis
Unit Analisis adalah setiap unit yang akan dianalisa, digambarkan atau dijelaskan dengan pernyataan-pernyataan deskriptif, yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah tanda-tanda anarkis dalam film Green Street Hooligans yang divisualisasikan melalui simbol-simbol tertentu dalam Scene. Scenes/adegan adalah gambaran motion visual audio yang bergerak yang mempunyai makna atau pesan didalamnya.
Table. 3.0.1 Sample Unit Analisis
No Durasi Shot Visualisasi
1 00:01:53 Medium long shot
2 00:01:54 Medium close up
4 00:02:20 Medium shot
5 00:29:47 Medium close up
6 00:29:40 Medium long shot
8 00:34:14 High angel
9 00:31:33 Low angle
10 01:11:50 Medium shot
12 01:18:13 Two shot
13 00: 28:04 Medium close up
3.6 Teknik Unit Analisis Data
Unit analisis yang sudah terkumpul dan dikategorikan lalu dianalisis dengan menggunakan analisis Semiotika Charles Sanders Peirce. Menurut Peirce semiotika adalah suatu hubungan antara tanda, objek dan makna. Pemikiran Charles Sanders Peirce bisa dijelaskan melalui bagan segitiga makna pada gambar dibawah berikut.
Gambar 3.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006: hal 63)
Menurut Charles sanders Peirce tanda dibentuk oleh hubungan segitiga yaitu representemant, yang oleh Peirce juga disebut tanda (sign) berhubungan dengan object yang dirujuk. Tahapan teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut:
a. Inventarisasi data, yaitu dengan cara mengumpulkan data sebanyak- banyaknya baik melalui observasi maupun dokumentasi.
c. Kategori model semiotikanya, menemukan model semiotika yang digunakan, yaitu model semiotika Charles Sanders Peirce.
d. Klasifikasi data, identitas teks (tanda), alasan-alasan tanda tersebut dipilih, temukan pola semiosis dan tentukan kekhas wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika dalam scene yang dianggap mewakili representasi visualisasi anarkisme supporter sepak bola.
e. Penemuan scene tersebut menentukan tanda (sign), objek (object), dan makna (interpretant) yang merupakan representasi visualisasi anarkisme. f. Penarikan kesimpulan dan penilaian terhadap data-data yang dibahas dan
dianalisis selama penelitian.
Seluruh data nya akan dianalisa menurut acuan pesan ideologi yang merujuk kepada penelitian penulis, baik berupa gambar/shot yang terlihat yang mewakili pesan ideologi, adegan/ yang mencerminkan pesan ideologi yang hendak disampaikan maupun dari segi Mise-En-Scene yang terlihat sebagai pelengkap bahan kajian penelitian yang kesemuanya mengacu pada pendekatan Peirce dengan teori Triangle Of Meaning dengan katagorisasi pada Ikon,Indeks & Simbol.
3.7 Validitas Data
(derajat kepercayaan), salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi, Triangulasi data adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Moleong 2004: hal 178). Jenis triangulasi yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu Triangulasi Teori.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Oddlot
4.1.1 Sejarah Singkat Oddlot Entertainment
Deskripsi Perusahaan: Odd Lot Entertainment Didirikan pada tahun 2001 oleh Gigi Pritzker dan Deborah Del Prete (The Wedding Planner), adalah produksi film dan perusahaan pembiayaan berbasis di Culver City,California.
Gambar 4.0.1 Ikon Oddlot Entertainment
(http://www.zoominfo.com/#!search/profile/company?companyId=168821578&targetid=profile)
Menurut situs yang di akses pada tanggal 24-06-2010 (http://www.zoominfo.com/#!search/profile/company?companyId=168821578&targetid=p rofile) Produser The Wedding Planner, Green Street Hooligans dan Berarti
Creek, Odd Lot Entertainment adalah sebuah perusahaan berbasis di Los Angeles yang berkembang, keuangan, memproduksi, dan mengatur distribusi untuk properti film komersial $ 5 - kisaran $ 60 juta baik di pasar domestik dan internasional. Pada batu tulis yang akan datang adalah Marc Platt Drive, sekarang dalam pra-produksi dan yang mulai syuting pada bulan September 2010, dibintangi Ryan Gosling dan Carey Mulligan, dan disutradarai oleh Nicolas Winding Refn, dan Dari Prada untuk Nada, yang akan dirilis teatrikal oleh Lionsgate pada awal 2011, dibintangi Camilla Belle, Alexa Vega dan Adriana Barraza.
Menurut novelis Orson Scott Card, Odd Lot akan memproduksi versi film novel, permainan sci-fi Ender itu nya. Sebuah versi film novel ini telah di pekerjaan, dalam satu bentuk atau lain, selama lebih dari satu dekade.
4.2 Gambaran Umum Film Green Street Hooligans
4.2.1 Sejarah Singkat Film Green Street Hooligans
Green Street adalah sebuah film tentang hooliganisme sepak bola di Inggris. Film ini disutradarai oleh Lexi Alexander dan dibintangi oleh Elijah Wood dan Charlie Hunnam. Di Amerika Serikat dan Australia, film ini disebut Green Street Hooligans. Di negara lain, dinamakan Football Hooligans atau hanya Hooligans. Dalam film ini, seorang mahasiswa perguruan tinggi Amerika terlibat dengan firma hooligan West Ham (Green Street Elite) yang dikelola oleh kakak iparnya.
Cerita dan skenario tersebut dikembangkan oleh mantan hooligan yang menjadi penulis, Dougie Brimson. Sepanjang film, Green Street Elite bertarung dengan "firma" lainnya seperti Yid Army, kelompok pendukung Tottenham Hotspur, Birmingham Zulus, Red Army dan Millwall Bushwackers.
4.2.2 Penghargaan Film Green Street Hooligans
Green Street memenangkan beberapa penghargaan termasuk Penampilan Terbaik di Festival Film LA Femme, Film Terbaik di Festival Film Malibu, dan Penghargaan Khusus Juri di Festival Film SXSW (Richard 2006).
Film ini dinominasikan untuk Penghargaan Emas William Shatner untuk Film Underground Terbaik, film nominasi lainnya adalah
pemenang penghagaan Up for Grabs dan Opie Gets Laid (Tyler Joshua 2006).
4.2.3 Sinopsis Film Green Street Hooligans
Matt Buckner (Elijah Wood), mahasiswa jurnalisme, dikeluarkan dari Universitas Harvard setelah kokain ditemukan di kamarnya. Namun, kokain itu milik Jeremy Van Holden (Terence Jay), teman sekamarnya. Buckner takut untuk berbicara karena Van Holdens adalah keluarga yang kuat, dan Jeremy menyogoknya dia $10.000. Matt berkunjung ke Inggris untuk tinggal bersama adiknya Shannon (Claire Forlani), suaminya Steve Dunham (Marc Warren) dan anak mereka, Ben (James Allison). Di sana, Matt bertemu saudara Steve, Pete (Charlie Hunnam), seorang Cockney yang keras dan preman yang menjalankan sebuah firma hooligan sepak bola setempat - kelompok pendukung sepak bola yang mengatur perkelahian setelah pertandingan - dan mengajar di sekolah lokal. Steve meminta Pete membawa Matt untuk pertandingan sepak bola antara West Ham dan Birmingham City, meskipun Pete enggan untuk membawa seorang "Yankee" ke pertandingan sepak bola, karena sifat xenophobia
Matt bertemu teman Pete dan firmanya di Abbey, pub lokal mereka. Semua hooligan bersikap ramah dengan Matt, dengan pengecualian yang agak menjengkelkan dengan tangan kanan Pete, Bovver (Leo Gregory). Setelah menghabiskan beberapa gelas bir, mereka menuju ke Boleyn Ground untuk pertandingan. Setelah pertandingan, Pete, Bovver, dan anggota perusahaan lain setuju untuk pergi dan melawan beberapa fan Birmingham, tapi Matt memutuskan bahwa dia tidak akan ikut campur dan mengatakan pada Pete bahwa ia akan pulang sendiri. Dalam perjalanan kembali ke stasiun bawah tanah, Matt diserang oleh tiga penggemar Birmingham, yang hampir memberinya Chelsea Grin, tapi dia diselamatkan oleh beberapa anggota GSE, yang sedang dalam perjalanan mereka ke pertarungan yang lebih besar. Meskipun kalah jumlah, GSE berhasil mempertahankan posisi mereka sampai bala bantuan dari firma pusat datang untuk mengejar para penggemar Birmingham. Matt cukup baik dalam pertarungan pertama yang sebenarnya dan dilantik menjadi anggota
GSE. Setelah bertengkar dengan Steve, Matt berpindah ke rumah Pete, dan dua orang tersebut bertukar cerita.