• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kanoppi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kanoppi"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kanoppi

“OPTIMALISASI PENGELOLAAN HUTAN

BERBASIS AGROFORESTRI UNTUK MENDUKUNG

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KAYU DAN

HHBK, SERTA PENDAPATAN PETANI”

Cisarua-Bogor, 1 Desember 2016

Editor:

Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si. Dr. Ir. Sri Suharti, M.Sc. Dr. Diana Prameswari, M.Si.

Drs. Kuntadi, M.Agr. Drh. Pujo Setio, M.Si

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

(4)

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kanoppi

Optimalisasi Pengelolaan Hutan Berbasis Agroforestri untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas Kayu dan HHBK, serta Pendapatan Petani

Cisarua-Bogor, 1 Desember 2016

Kerja sama World Agroforestry Centre / ICRAF dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan / Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi / Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Penanggung Jawab:

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Panitia Pengarah:

Ir. Harisetijono, M.Sc. (Koordinator)

Panitia Pelaksana:

Dr. Diana Prameswari, M.Si. (Koordinator)

Pembahas:

Dr. Supriyanto, Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si., Ir. Sutiyono, dan Drs. Kuntadi, M.Agr.

Editor:

Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si., Dr. Ir. Sri Suharti, M.Sc.,

Dr. Diana Prameswari, M.Si., Drs. Kuntadi, M.Agr., dan Drh. Pujo Setio, M.Si.

Penerbit:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Jawa Barat Telp. +62 251 8633234 Fax. +62 251 8638111

Copyright © Penulis dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Cetakan Pertama, 2018

x + 124 halaman; 210 x 297 mm ISBN 978-602-1681-50-3

Penerbitan/Pencetakan Dibiayai Oleh:

Proyek Kerja Sama Penelitian KANOPPI 2013–2017 (ACIAR FST/2012/039)

antara World Agroforestry Centre/International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dengan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (FOERDIA)

(5)

KATA PENGANTAR

KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN

Kerja sama antara Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Ling-kungan Hidup dan Kehutanan dengan World Agroforestry Center/ICRAF dengan judul “Development of Timber and Non-Timber Forest Product’s Productions and Marketing

Strategies for Improvement of Smallholders Livelihood in Indonesia”/Proyek ACIAR

FST/2012/039 yang juga disebut Proyek Kanoppi Fase 1 dimulai tahun 2013 dan telah berakhir pada bulan Maret 2017.

Selama masa periode kerja sama tersebut, telah dihasilkan beberapa publikasi kegiatan penelitian ataupun nonpenelitian. Khusus untuk kegiatan penelitian, telah diadakan “Seminar Hasil Penelitian kerjasama Badan Litbang dan Inovasi (BLI) dengan World Agroforestry Center/ICRAF” pada tanggal 1 Desember 2016, yang mana hasil seminar tersebut diformulasikan dalam bentuk prosiding ini.

Kami manyambut baik dan memberikan apresiasi yang tinggi atas diterbitkannya buku Prosiding “Optimalisasi Pengelolaan Hutan Berbasis Agroforestri untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas Kayu dan HHBK, serta Pendapatan Petani”. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para pemegang kebijakan, peneliti, penyuluh kehutanan, dan pelaku agroforestri.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih kepada para peneliti lingkup BLI atas kerja sama ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Balai: BPPTA Ciamis, BPPTHHBK Mataram, dan BPPLHK Kupang yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian yang berada di wilayahnya.

Akhirnya, semoga prosiding ini dapat digunakan dan bermanfaat bagi para pengguna.

Bogor, Maret 2018

Kepala Pusat Litbang Hutan,

(6)

LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR

Yang Terhormat:

- Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi; - Kepala Pusat Litbang Hutan;

- Kepala Pusat Litbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim; - Kepala Pusat Diklat SDM-LHK;

- Team Leader Proyek Kerja sama ICRAF-Badan Litbang atau Proyek KANOPPI, Bapak Aulia Perdana;

- Para Profesor Riset dan para Peneliti lingkup Badan Litbang dan Inovasi;

- Para Kepala Balai terkait, yaitu BPPTA Ciamis, BPPTHHBK Mataram dan BPPLHK Kupang, serta para Pejabat Eselon III dan IV Pusat Litbang Hutan;

- Bapak Dr. Supriyanto (IPB, Bogor);

- Para Undangan dari ICRAF, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (LIPI), Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Papua; dan

- Para Peserta Seminar.

Assallamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk Kita semua.

Pertama-tama, marilah kita mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas perkenan-Nya, kita dapat berkumpul di pagi ini. Saya ucapkan terima kasih kepada para peneliti yang selama ini telah bergelut menekuni penelitian dan pada akhirnya akan mempresentasikan hasil penelitian pada seminar ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada para pembahas yang telah meluangkan waktunya untuk membahas dan memberikan masukan. Demikia pula kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang bersedia hadir pada acara “Seminar Hasil Penelitian Proyek Kanoppi kerja sama ICRAF dan Badan Litbang dan

Inovasi”.

Tujuan seminar ini adalah menyajikan hasil penelitian Kanoppi, khususnya yang terdapat pada objective 1. Oleh sebab itu, menjelang berakhirnya proyek Kanoppi tahap I, kita akan merangkum semua hasil penelitian tersebut dengan menyelenggarakan seminar pada pagi ini, yang mana para peneliti dari beberapa UPT telah membuat beberapa demplot dan menyajikannya dalam tulisan, yaitu:

1. Efek Silvikultur Jati dan Pemupukan Jahe Terhadap Kualitas Rimpang Jahe Emprit (Zingiber officinale var. Amarum) dalam Sistem Agroforestri;

2. Teknik Silvikultur untuk Peningkatan Produktivitas Jati pada Hutan Rakyat di Sumbawa dengan Pola Agroforestri;

3. Uji Coba Pemanfaatan Rumput Ketak (Lygodium circinnatum (Burn. F.) Sw.) pada Hutan Rakyat Kemiri (Aleurites moluccana Willd) di Desa Batudulang, Sumbawa;

(7)

4. Pengaruh Pemupukan dan Penjarangan Terhadap Produktivitas Buah Kayu Ules (Helicteres isora) di Desa Bosen, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur;

5. Pengaruh Lokasi Penempatan Koloni dan Bentuk Stup Terhadap Produksi Produk Perlebahan Budi Daya Trigona spp. (Studi Kasus di Desa Mangkung, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat);

6. Pengaruh Penjarangan dan Pemangkasan Terhadap Riap Tegakan Mahoni Hutan Rakyat di Desa Mangkung, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat;

7. Pertumbuhan Bambu Galah (Gigantochloa atter) pada Aplikasi Penjarangan dan Pemupukan.

Semua hasil penelitian akan dipresentasikan sesuai dengan jadwal yang sudah kami buat. Pada akhirnya, kami berharap kegiatan ini akan berjalan lancar dan kami mohon Bapak Kepala Pusat Litbang Hutan untuk memberikan sambutan dan membuka acara ini.

Wassallamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ketua Panitia Seminar,

Dr. Diana Prameswari, M.Si.

(8)

SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENELITIAN

DAN PENGEMBANGAN HUTAN

Pada Acara Seminar Hasil Penelitian

Kerja Sama

Pusat Litbang Hutan, Badan Litbang dan Inovasi

dengan

World Agroforestry Centre/ICRAF

Hotel Grand USSU, Cisarua-Bogor, 1 Desember 2016

Yang Terhormat:

- Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi;

- Kepala Pusat Litbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim; - Kepala Pusat Diklat SDM-LHK;

- Team Leader Proyek KANOPPI/ICRAF Bogor (Sdr. Aulia Perdana); - Para Profesor Riset dan para Peneliti Badan Litbang dan Inovasi;

- Para Pembahas (Dr. Supriyanto, Prof. Dr. Nina Mindawati, Ir. Sutiyono, dan Drs. Kuntadi M.Sc.);

- Para Kepala Balai: BPPTA Ciamis, BPPTHHBK Mataram, dan BPPLHK Kupang; - Para Pejabat Eselon III dan IV Badan Litbang dan Inovasi;

- Para Undangan dari ICRAF, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya (LIPI), Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Papua; dan

- Para Tamu Undangan Seminar.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk Kita Semua.

Marilah kita bersama-sama mengucapkan syukur kepada Tuhan YME karena atas izin dan karunia-Nya maka pada pagi yang indah ini kita dapat berkumpul bersama-sama di Hotel Grand USSU Cisarua ini, dalam rangka “Seminar Hasil Penelitian kerja sama Pusat Litbang Hutan, Badan Litbang dan Inovasi dengan World Agroforestry Centre/ICRAF”.

Saya mengucapkan selamat datang kepada para peserta seminar, terutama kepada Bapak dan Ibu yang baru pertama kali datang ke lokasi ini, semoga kita semua dapat menikmati suasana di daerah yang sejuk ini.

Hadirin yang saya hormati,

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kerja sama Pusat Litbang Hutan yang sebelumnya Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang dan Inovasi dengan World Agroforestry Centre/ICRAF dimulai pada tahun 2013 yang lalu dan akan berakhir pada bulan Maret 2017, atau telah berlangsung lebih kurang empat tahun. Kerja

(9)

sama ini berjudul “Development of Timber and Non-Timber Forest Product’s Productions

and Marketing Strategies for Improvement of Smallholders Livelihood in Indonesia”

dengan kode Proyek ACIAR FST/2012/039. Kerja sama ini juga dikenal dengan singkatan KANOPPI, yaitu kayu, non kayu, produksi, pemasaran, dan kebijakan di Indonesia. Kerja sama multipihak antara Badan Litbang dan Inovasi, ICRAF, CIFOR Bogor, University of Western Australia Perth, Universitas Mataram, Thread of Life Bali, WWF Nusa Tenggara, dan Pokja Hutan Lestari Gunungkidul. Kerja sama ini dibiayai oleh Pemerintah Australia, Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), yang bekerja sama dengan World Agroforestry Centre/ICRAF.

Bapak/Ibu undangan yang berbahagia,

Kerja sama multipihak ini diharapkan mampu berperan sebagai ”filling the gaps” atas berbagai keterbatasan dari berbagai institusi riset ini. Tentunya atas dasar manfaat kerja sama, keunikan potensi masing-masing lembaga, kesejahteraan, dan kepercayaan. Saya yakin, kerja sama ini dapat dilakukan guna meningkatkan peran lembaga dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam kurun waktu tersebut, telah banyak diperoleh hasil penelitian dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh para peneliti yang berada di BPPTA Ciamis, BPPTHHBK Mataram, dan BPPLHK Kupang dengan koordinasi dari Pusat Litbang Hutan (Dr. Diana Prameswari) dan dari ICRAF (Dr. Gerhard Manurung).

Fokus kegiatan penelitian ini, yaitu Objective 1 adalah mengembangkan dan melaksanakan peningkatan produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) secara terpadu untuk meningkatkan kehidupan masyarakat lokal. Jenis kayu yang diteliti adalah jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahagony) yang dikelola oleh rakyat dan berada di lahan masyarakat. Jenis HHBK yang diteliti adalah lebah Trigona sp. yang menghasilkan propolis; jenis bambu lokal dan bambu petung introduksi/kultur jaringan dari Yogyakarta; rumput ketak bahan baku untuk anyaman dan kerajinan tangan; jahe emprit dan kencur yang ditanam di bawah tegakan jati, serta tumbuhan pewarna alami (Indigofera tinctoria) dan tanaman obat kayu ules (Helicteres isora). Secara terperinci dan pada waktunya nanti, sebagian besar hasil penelitian akan disampaikan oleh para peneliti. Lokasi penelitian berada di tujuh desa dalam empat kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul (DI Yogyakarta); Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat), serta Kabupaten Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur).

Peserta seminar yang saya hormati,

Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa hutan rakyat telah memberikan sumbang-an produksi kayu secara nasional ysumbang-ang cukup signifiksumbang-an, terutama di pulau Jawa; misalnya pengembangan jenis pohon sengon. Harga kayu yang cukup tinggi dan teknik produksi kayu yang relatif telah dikuasai telah mendorong masyarakat menanam berbagai jenis pohon kayu, bahkan areal pertanian yang tidak cocok lagi untuk tanaman pangan telah diganti dengan tanaman hutan, seperti sengon dan jati di beberapa lokasi di Pulau Jawa.

(10)

Di Kabupaten Gunungkidul yang merupakan salah satu lokasi penelitian, banyak terdapat hutan tanaman jati yang dikelola oleh masyarakat. Proyek Kanoppi telah membantu para petani dengan memperkenalkan teknik pemangkasan cabang (pruning), penunggalan (singling), dan penjarangan (thinning). Selain itu, lahan-lahan kosong antarpohon dapat diisi dengan tanaman produktif untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, misalnya penanam-an jahe emprit. Hal ypenanam-ang sama juga dilakukpenanam-an pada hutpenanam-an tpenanam-anampenanam-an jati di Sumbawa dengpenanam-an tanaman jahe emprit dan kencur yang ditanam di bawah tegakan.

Hasil hutan bukan kayu yang diteliti dalam kerja sama ini telah menarik minat masyarakat untuk mengusahakannya, seperti budi daya lebah Trigona sp. di Desa Mangkung dan penanaman bambu petung di Desa Mangkung, serta pemupukan tumbuhan pewarna alami dan kayu ules di Desa Bosen, Nusa Tenggara Timur.

Hadirin yang saya hormati,

Pada kesempatan ini, saya menyampaikan terima kasih kepada Team Leader Kanoppi dan World Agroforestry Centre/ICRAF yang telah bekerja sama dengan Pusat Litbang Hutan, Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi. Hasil-hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pengguna. Demikian juga kepada para penyuluh dan widyaiswara kiranya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini.

Akhirnya, dengan ucapan “Bismillahirahmanirrahim”, Seminar Hasil Penelitian Kerja sama Pusat Litbang Hutan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi dengan World Agroforestry Centre/ICRAF secara resmi saya buka. Semoga Tuhan YMK menyertai kita dan seminar ini berjalan dengan lancar.

Bogor, 1 Desember 2016 Kepala Pusat Litbang Hutan,

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

HUTAN ... iii LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR ... iv SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN Pada Acara Seminar Hasil Penelitian Kerja Sama Puslitbang Hutan, Badan Litbang dan Inovasi dengan World Agroforestry Centre/ICRAF ... vi DAFTAR ISI ... ix MAKALAH UTAMA ... 1 Efek Silvikultur Jati dan Pemupukan Jahe Terhadap Kualitas Rimpang Jahe

Emprit (Zingiber officinale var. amarum) dalam Sistem Agroforestri

Aris Sudomo, Gerhard E.S. Manurung, Diana Prameswari, & James M. Roshetko .... 3 Teknik Silvikultur untuk Peningkatan Produktivitas Jati pada Hutan Rakyat di Sumbawa dengan Pola Agroforestri

Alex Novandra, Gerhard E.S. Manurung, & Cecep Handoko ... 15 Uji Coba Pemanfaatan Rumput Ketak (Lygodium Circinnatum [Burn. F] Swartz) pada Hutan Rakyat Kemiri (Aleurites moluccana Willd) di Desa Batudulang,

Sumbawa

I Wayan Widhana Susila, Gerhard E.S. Manurung, & Diana Prameswari ... 29 Pengaruh Pemupukan dan Penjarangan Terhadap Produktivitas Buah Kayu Ules (Helicteres isora) di Desa Bosen, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur

Siswadi, Aziz Umroni, Dani Pamungkas, & Gerhard E.S. Manurung ... 45 Pengaruh Lokasi Penempatan Koloni dan Bentuk Stup Terhadap Produksi Produk Perlebahan Budi Daya Trigona spp. (Studi Kasus di Desa Mangkung, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat)

Krisnawati, Septiantina Dyah Riendriasari, & Edi Kurniawan ... 55 Pengaruh Penjarangan dan Pemangkasan Terhadap Riap Tegakan Mahoni

Hutan Rakyat di Desa Mangkung, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

Anita Apriliani Dwi Rahayu, Abdul Jafar Maring, & Ramdiawan ... 63 Pertumbuhan Bambu Galah (Gigantochloa atter) pada Aplikasi Penjarangan dan Pemupukan

I Komang Surata & Diana Prameswari ... 73 MAKALAH PENUNJANG ... 85 Analisis Rantai Nilai Produk Mainan Bambu dari Gunungkidul

Marcellinus Utomo, Peter Kanowski, Aulia Perdana, Diana Prameswari, & Levina Pieter ... 87

(12)

Bioaktivitas Antibakteri Acacia mangium dari Habitat Lahan Revegetasi Pascatambang Batu Bara

Kissinger & Rina Muhayah Noor Pitri ... 95 Upaya Konservasi Ex Situ Tumbuhan Obat Dataran Rendah Karst di Kebun Raya Pucak, Maros, Sulawesi Selatan

Sudarmono ... 103 Sistem Agroforestri pada Lahan Bekas Hutan Sagu di Kampung Baraway,

Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua

Rima Herlina S. Siburian ... 113 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 119

(13)
(14)
(15)

EFEK SILVIKULTUR JATI DAN PEMUPUKAN JAHE TERHADAP KUALITAS RIMPANG JAHE EMPRIT (Zingiber officinale var. amarum)

DALAM SISTEM AGROFORESTRI

The Effect of Teak Silviculture and Ginger Fertilization on the Quality of Jahe Emprit (Zingiber officinale var. amarum) in Agroforestry System

Aris Sudomo1, Gerhard E.S. Manurung2, Diana Prameswari3, & James M. Roshetko2

1

Balai LitbangTeknologi Agroforestry - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

2World Agroforestry Centre (ICRAF)

3Pusat Litbang Hutan - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Email : arisbpkc@yahoo.com

ABSTRACT

Ginger (Zingiber officinale var. amarum) is a plant species that can be used as medicines so that it is relatively easy in its marketing. Ginger is potential to be planted under shade in intercropping system with trees such as teak (Tectona grandis). The purpose of this research is to study the influence of intercropping patterns of teak+ginger and fertilization on ginger quality. The experimental design used was CRBD with three factorials (two levels of teak pruning intensity, two levels of teak singling intensity and two levels of ginger fertilization). The two levels of pruning intensity were P0 (control/without pruning) and P1 (pruning intensity of 60%). Two levels of singling were S0 (control/without singling) and S1 (singling of teak coppice) and two fertilization intensity were J0 (control/without fertilization) and J1 (Cow dung 5 tons/ha + NPK 525 kg/ha). Each combination treatment was applied randomly in three replications of the smallest unit of its homogeneity (block) so that the trial units were 24 unit of experiment plot. There was also ginger in an open area or ginger monoculture (fertilized and unfertilized) as control. Research was conducted at community teak forest at Karangduwet village, Paliyan subdistrict, Gunungkidul district in 2015–2016. The teak stands were the result of coppiced system in 2009 (aged 6–7 years). The results showed that the average water content and ginger fiber did not show a different trend among teak intercropping (8.8%/20.47%) with the open area (7.51%/20.8%). Average level of essential oil and gingerol in intercropping patterns (2.65%/0.53%) was bigger than in the open area (1.7%/0.3%). Fertilization produced water content, gingerol and fiber which were relatively similar compared to the unfertilized ginger. The average content of essential oil of ginger that were fertilized (2.716%) was higher compared to the unfertilized ginger (2,208%).

Key words: intercropping, quality, medicines

ABSTRAK

Jahe adalah tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan sehingga relatif mudah dalam pemasarannya. Jahe potensial ditanam di bawah naungan dengan sistem intercropping dengan tanaman kayu seperti jati. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh tindakan silvikultur dalam pola intercropping jati+jahe dan pemupukan terhadap kualitas umbi jahe. Rancangan percobaan yang digunakan adalah RCBD faktorial dengan tiga faktor (dua macam intensitas pruning jati, dua macam intensitas singling jati dan dua macam pemupukan jahe). Dua macam intensitas pruning adalah P0 (kontrol/tanpa pruning) dan P1 (intensitas pruning 60%). Dua macam singling adalah S0 (kontrol/tanpa singling) dan S1 (singling terubusan jati) dan dua intensitas pemupukan adalah J0 (kontrol/tanpa pupuk) dan J1(kontrol/ tanpa pemupukan) and J1 (pupuk kandang 5 ton/ha + NPK 525 kg/ha). Masing-masing kombinasi perlakuan ditempatkan secara random dalam tiga kali unit homogenitas terkecil (blok) sehingga unit percobaan adalah 24 kotak unit percobaan. Terdapat pula jahe area terbuka atau monokultur jahe (dipupuk dan tidak dipupuk) sebagai kontrol. Penelitian dilakukan di lahan hutan rakyat jati Dusun Karangduwet, Desa Paliyan, Kecamatan Gunungkidul pada tahun 2015–2016. Tegakan jati adalah hasil terubusan tahun 2009 (umur 6–7 tahun). Hasil penelitan menunjukkan bahwa rerata kadar air dan serat jahe relatif tidak menujukkan tren yang berbeda antara intercropping jati (8,8%/ 20,47%) dengan tempat terbuka (7,51%/20,8%). Rerata kadar minyak atsiri dan kadar gingerol jahe pada pola intercropping (2,65%/0,53%) lebih besar dibandingkan tempat terbuka (1,7%/0,3%). Pemupukan relatif menghasilkan kadar air, gingerol dan serat yang relatif tidak berbeda dibandingkan tanpa pemupukan. Rerata kandungan minyak atsiri jahe yang dipupuk (2,716%) lebih besar dibandingkan tanpa pemupukan (2,208%). Kata kunci: intercropping, kualitas, obat

(16)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hasil hutan bukan kayu (Non Timber Forest Products/NTFP) potensial dikembangkan dalam rangka peningkatan produktivitas lahan hutan tanaman. Pola tanam intercropping kayu dengan tanaman NTFPs dapat mengoptimalkan pemanfaatan lahan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat. Sistem agroforestri banyak diadaptasi petani daripada sistem monokultur dalam pemanfaatan lahan skala rumah tangga. Menurut Darusman (2002 dalam Hairiah et al., 2003), agroforestri memiliki keunggulan ekonomi karena dengan jenis output beragam akan dapat lebih tahan terhadap fluktuasi harga. Diversifikasi produk juga lebih menguntungkan dalam rangka memenuhi kebutuhan subsisten petani untuk jangka panjang (kayu), jangka menengah dan jangka pendek (NTFPs). Salah satu NTFPs penghasil obat-obatan yang bernilai pasar tinggi adalah jahe. Jahe merupakan bahan baku obat tradisional, fitofarmaka dan salah satu komoditas ekspor rempah-rempah Indonesia (Rostiana et al., 2013).

Jahe emprit (Zingiber Officinale var. amarum) dapat ditanam secara intercropping di bawah naungan dengan intensitas cahaya yang kurang. Menurut Samanhudi et al. (2014), perlakuan naungan 25% menunjukkan hasil tertinggi untuk produksi dan biomassa tanaman dibandingkan dengan naungan rapat (75%) dan naungan jarang/tempat terbuka (5%). Di China, jahe menghasilkan pertumbuhan tinggi ketika ditanam secara intercropping dan ideal ditanam di bawah tanaman Paulownnia elongata (Sabur & Molla, 1993). Hasil penelitian Oladele dan Popoola (2013) menunjukkan bahwa produksi anakan jahe pada intercropping dengan Tectona grandis lebih rendah dibandingkan tempat terbuka. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh efek allelopathic dari jati, tidak cukupnya sinar matahari di permukaan tanah dan kompetisi nutrisi/unsur hara antartanaman (Oladele & Popoola, 2013).

Meskipun jahe mengalami penurunan produksi pada intercropping jati, tetapi meng-hasilkan nilai tambah. Menurut Oladele dan Poopola (2013), jahe mampu meningkatkan keuntungan ketika ditanam di bawah tegakan jati. Produksi jahe layak secara finansial, meskipun tanpa pemupukan anorganik selama musim kedua, baik di dalam intercropping maupun di luar intercropping (B/C=1.02 dan 1.09) (Oladele & Poopola, 2013).

Penelitian tentang produksi jahe, baik secara intercropping maupun monokultur, telah beberapa kali dilakukan (Oladele & Popoola, 2013; Sudomo et al., 2013; Wahyuni et al., 2013; Emmyzar & Rosman, 1997). Namun, penelitian tentang efek intercropping dan pemupukan terhadap kualitas rimpang jahe belum banyak dikaji. Pengelolaan pohon dalam pola tanam agroforestri adalah naungan dikurangi dengan jalan pemangkasan cabang pohon selama musim tanam (Hairiah et al., 2002). Pemupukan NPK meningkatkan produksi daun jahe (Sadanandan et al., 2001; Lujiu et al., 2010). Tanaman bawah jahe akan terpengaruh zat alelopati yang berada di tanah akibat dekomposisi serasah jati dan akumulasi serasah yang tinggi di tanah menghambat pertumbuhan jahe (Healey & Gara, 2003) sehingga produksi dedaunan jahe berkurang dan akhirnya dapat menurunkan aktivitas fotosintesis. Pertumbuhan jahe akan terhalang oleh kanopi jati sehingga perlu diteliti lebih lanjut umur jati optimal yang dapat ditanami jahe (Oladele et al., 2012). Tujuan penelitian ini adalah

(17)

peningkatan produktivitas lahan hutan rakyat dengan sistem agroforestri, intercropping jati, dan pemupukan terhadap kualitas rimpang jahe yang dihasilkan.

II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan hutan rakyat jati yang secara administratif masuk wilayah Desa Karangduwet, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian dengan altitude 08o01’01,615” S dan longitude 110o29’49,002” E. Ketinggian tempat lokasi penelitian adalah 220 m dpl, topografi terdiri dari dataran rendah, bukit dan pengunungan. Suhu udara rerata adalah 25oC dengan curah hujan 1.318 mm. Penelitian dilakukan mulai tahun 2014 hingga tahun 2016.

B. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah existing hutan rakyat jati yang merupakan hasil terubusan 2009 (umur enam tahun), pupuk kandang dan pupuk anorganik (NPK). Benih tanaman jahe diseleksi yang masih segar dan besar.

C. Prosedur Penelitian 1. Persiapan Lahan

Persiapan lahan meliputi pembersihan lahan dari gulma/alang-alang yang tumbuh liar dan pengolahan tanah. Pengolahan tanah bertujuan agar drainase tanah membaik dan tanah menjadi gembur. Hal ini dilakukan agar tanaman jahe yang akan ditanam terbebas dari kompetisi dengan gulma dan dapat tumbuh dengan baik. Pembabatan gulma dilakukan secara manual dengan parang untuk membersihkan lahan dari alang-alang dan rumput liar.

Pengolahan tanah dilakukan dengan mencangkul tanah dengan dandang sedalam 20-30 cm. Tanah dibalikkan sehingga bagian tanah yang di bawah dibalik menjadi di atas. Bongkahan-bongkahan tanah ini dicangkul agar gembur sehingga kondusif bagi tanaman jahe yang akan ditanam.

2. Ploting

Patok dibuat dari paralon yang di dalamnya diisi semen dan ditancapkan pada masing-masing perlakuan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah RCBD Faktorial.

Treatment pemeliharaan yang diujicobakan terdiri dari tiga faktor, yaitu faktor pruning jati, singling jati dan pemupukan. Faktor A adalah dua macam pruning, yaitu PO (kontrol/tanpa pruning) dan P1 (pruning 60%). Faktor B adalah dua macam singling, yaitu S0 (tanpa singling) dan S1 (singling penunggalan batang dipodial, tripodial) dan Faktor C adalah dua

macam pemupukan, yaitu JO (tanpa pupuk) dan J1 (pupuk kandang 40 kg/80 m2 + NPK 4,2 kg/80 m2)/5 ton ha pupuk kandang dan 525 kg/ha NPK). Pada monokultur jahe terdapat perlakuan pemupukan dengan marolis, trichoderma, pupuk kandang dan NPK.

(18)

Pruning jati dilakukan dengan intensitas 60%, yang artinya 60% dari tinggi total jati

dipangkas dan dibersihkan cabang-cabangnya. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas kayu sehingga bebas mata tunas. Selain itu kegiatan pruning akan memberi ruang bagi masuknya sinar matahari.

3. Pemilihan Benih Jahe

Benih jahe emprit dipilih yang secara fisik masih segar dan relatif besar. Benih yang dipilih merupakan benih unggulan lokal yang didapatkan dari pasar di Yogyakarta.

4. Penanaman

Penanaman jahe dilakukan dengan jarak tanam 60 cm x 40 cm. Pemupukan dasar yaitu pupuk kandang 40 kg/80 m2 + NPK (4,2 kg/80 m2) sesuai dengan rancangan percobaan. Penanaman dilakukan dengan terlebih dahulu melubangi tanah dengan sabit dan menaruh benih jahe ke dalam lubang tersebut dan menutup kembali dengan tanah.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh berupa rimpang hasil panen (Gambar 1) yang dianalisis ke Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat Bogor. Parameter kualitas jahe yang diamati meliputi kadar air jahe, kandungan minyak atsiri, kadar gingerol, dan kandungan serat. Data-data tersebut dianalisis secara statistik sederhana dengan merata-ratakannya pada setiap perlakuan.

Gambar 1. Percobaan penanaman jahe emprit (Zingiber officinale var. Amarum) di bawah tegakan jati rakyat di Desa Karangduwet, Kabupaten Gunungkidul (a) dan hasil panennya (b)

(19)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Cahaya pada Silvikultur Jati

Pertumbuhan tanaman jahe dalam intercropping jati dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara, air dan sinar matahari. Oleh karena itu, intensitas cahaya matahari di bawah tegakan jati akibat perlakuan silvikultur menjadi faktor yang penting diperhatikan dalam menganalisis pertumbuhan tanaman bawah. Data persentase intensitas cahaya di bawah tegakan jati akibat perlakuan silvikultur jati disajikan pada Gambar 2.

Tindakan silvikultur singling bertujuan menghasilkan intensitas cahaya yang semakin besar dengan semakin terbukanya tajuk (intensitas cahaya naik 4%). Begitu pula pada tindakan silvikultur berupa pruning 60% terhadap tegakan jati menghasilkan peningkatan intensitas cahaya yang relatif semakin besar dibandingkan tanpa pruning (Gambar 2). Perlakuan silvikultur jati berupa kombinasi pruning 60% dan singling menghasilkan inten-sitas cahaya (40–44%) lebih besar dibandingkan tanpa pruning dan tanpa singling (28– 30%). Tinggi tanaman jati umur tujuh tahun yaitu sekitar 7–9 m sehingga efek naungan relatif sudah besar.

Gambar 2. Intensitas cahaya di bawah tegakan jati akibat perlakuan silvikultur pruning dan singling

B. Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri

Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa rerata kadar air rimpang jahe lebih tinggi pada pola intercropping jati (8,8%) dibandingkan pada tempat terbuka (7,51%). Detail kadar air dan kadar minyak atsiri disajikan pada Gambar 3.

28,95 36,87 30,88 36,89 33,82 40,17 34,56 44,86 100 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 In ten si ta s Ca h ay a (%)

(20)

Gambar 3. Kandungan kadar air dan minyak atsiri rimpang jahe pada setiap perlakuan

Berdasarkan hasil analisis laboratorium diketahui bahwa kadar air jahe di bawah naungan intercropping jati dengan tempat terbuka relatif tidak berbeda jauh. Kadar air dalam rimpang jahe cenderung bersifat terjaga stabil dalam merespons intensitas sinar matahari. Tanaman cenderung merespons kurangnya sinar matahari dengan perubahan luas daun dan jumlah klorofil untuk mengoptimalkan fotosintesis. Produk fotosintesis sendiri berupa karbohidrat dan air akan tersimpan dalam rimpang hasil panen. Kadar air rimpang jahe di dalam tanah yang telah terbentuk oleh hasil fotosintesis tidak banyak mengalami perubahan. Penguapan akan terjadi melalui stomata daun dan batang di atas permukaan tanah. Pemupukan juga relatif tidak menghasilkan kadar air jahe emprit yang berbeda. Meskipun demikian, terjaganya kelembaban tanah di bawah tegakan jati memungkinkan untuk tetap terjaganya kadar air umbi dalam sistem intercropping dibandingkan tempat terbuka. Kadar air pada jahe yang dipupuk (7,79%) relatif tidak berbeda jauh dibandingkan pada jahe yang tanpa dipupuk (7,74%). Naungan pohon yang berfungsi melindungi jahe dari temperatur tinggi akibat sinar matahari di daerah tropis ini tidak terlihat berbeda, terlebih di era peru-bahan iklim sekarang ini (Lott et al., 2009)

Rerata kadar minyak atsiri jahe pada pola intercropping (2,65%) lebih besar dibandingkan tempat terbuka (1,7%). Terdapat kecenderungan perlakuan yang menghasil-kan jahe dengan kadar air lebih tinggi maka amenghasil-kan menghasilmenghasil-kan jahe dengan kadar minyak atsiri yang lebih rendah dan begitupun sebaliknya. Air merupakan hasil metabolisme primer dan produk utama fotosintesis selain karbohidrat. Minyak atsiri sebagai hasil metabolisme sekunder terstimulasi dengan keterbatasan kondisi lingkungan. Terbatasnya sinar matahari ternyata meningkatkan kandungan minyak atsiri rimpang jahe. Tingginya intensitas naungan akibat tajuk jati, struktur perakaran, dan efek alelopati jati berdampak pada kecilnya anakan rimpang jahe (Healey & Gara, 2003). Tajuk jati menghalangi tanaman jahe dalam mem-peroleh intensitas sinar matahari sampai permukaan tanah; padahal, jahe tumbuh optimal pada intensitas cahaya 25% (Valenzuela, 2011).

(21)

Rerata kandungan minyak atsiri jahe yang dipupuk (2,716%) lebih besar dibanding-kan tanpa pemupudibanding-kan (2,2%). Hal ini menunjukdibanding-kan bahwa dengan bertambahnya unsur hara maka meningkatkan metabolisme sekunder jahe untuk memproduksi minyak atsiri. Selain itu, interaksi antara akar jati dengan jahe menyebabkan kompetisi unsur hara. Sasikumar et

al. (2008) dan Lujiu et al. (2010) menemukan bahwa jahe sebagai tanaman bawah

memer-lukan banyak nutrisi potassium (K) dan nitrogen (N) yang ketersediaannya di dalam tanah akan berpengaruh terhadap anakan rimpang umbi. Secara umum, potasium sebagai pupuk dasar berpengaruh dalam proses biokimia dan proses fisiologi yang penting untuk pertumbuhan dan kualitas minyak (Marschner, 1995; Cakmak, 2005; Lester et al., 2010). Jahe di bawah tegakan jati dipengaruhi oleh efek substansi alelopati yang masuk ke dalam tanah akibat dekomposisi serasah. Tingginya akumulasi serasah menghalangi pertumbuhan jahe (Healey & Gara, 2003).

C. Kandungan Gingerol dan Serat

Hasil lainnya menunjukkan bahwa kandungan gingerol pada intercropping jati lebih besar dibandingkan tempat terbuka. Rerata kadar kadar gingerol jahe pada pola

inter-cropping mencapai 0,53%, sedangkan pada tempat terbuka hanya 0,3% sebagaimana

disajikan pada Gambar 4. Menurut Wahyuni et al. (2013), pola intercropping menurunkan produktivitas dan berat rimpang jahe. Tetapi sebaliknya, untuk kandungan gingerol yaitu pada pola intercropping jati justru mengalami kenaikan. Berat jahe merupakan hasil metabolisme primer yang mana akan mengalami penurunan dengan berkurangnya sinar matahari. Tetapi, gingerol merupakan hasil metabolisme sekunder yang akan meningkat dengan keterbatasan faktor lingkungan, khususnya sinar matahari. Kadar gingerol jahe yang dipupuk (0,44%) sedikit lebih kecil dibandingkan yang tanpa pemupukan (0,52%). Pena-naman jahe pada lahan kritis cenderung menghasilkan kualitas gingerol (rasa pedas) yang lebih tinggi dibandingkan pada lahan yang relatif subur. Meskipun demikian, produksi berat rimpang jahe akan lebih tinggi pada lahan yang lebih subur. Emmyzar dan Rosman (1997) menjelaskan bahwa jahe yang ditanam di tempat ternaungi memiliki daun yang membesar, tetapi rimpang yang dihasilkan akan mengecil.

(22)

Gambar 4. Kandungan gingerol rimpang jahe pada setiap perlakuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata serat jahe relatif tidak menujukkan tren yang berbeda antara intercropping jati (20,47%) dengan tempat terbuka (20,8%). Begitu pula dengan efek pemupukan, relatif tidak berbeda jauh antara kadar serat jahe yang dipupuk (20,07%) dan yang tidak dipupuk (21,0%). Kecenderungan dari data (Gambar 5) menun-jukkan bahwa perbedaan serat antarperlakuan dari yang terendah (18,36%) sampai tertinggi (22,77%) hanya rentang 4,41%. Data tertinggi dan terendah didapatkan pada pola

inter-cropping sehingga tidak dapat diketahui secara jelas pengaruh naungan terhadap perubahan

serat. Secara keseluruhan, data serat jahe antarperlakuan relatif seragam. Serat lebih banyak dipengaruhi faktor genetik daripada perubahan kondisi lingkungan tempat tumbuh. Hal ini menyebabkan perlakuan intercropping jati (pruning, singling, dan pemupukan) relatif tidak meningkatkan kadar serat jahe.

Dalam pola tanam intercropping dengan pohon maka diperlukan tindakan silvikutur. Tindakan tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap pohon tetapi juga tanaman pertanian di bawahnya. Pruning pada sistem agroforestri sebagai bentuk pengelolaan untuk menyedia-kan lingkungan yang lebih optimal sehingga kompetisi lebih rendah selama penanaman tanaman bawah (Ong et al., 2006). Perlakuan pengurangan batang pada terubusan jati selain bertujuan menghasilkan batang besar berkualitas, secara tidak langsung meningkatkan sinar matahari yang sampai permukaan tanah. Perlakuan pemupukan terhadap tanaman bawah jahe juga berimbas pada tegakan jati yang berada di sampingnya. Keterbatasan faktor pertumbuhan (air, nutrisi, dan sinar matahari) dalam intercropping tidak selalu menghasil-kan kualitas jahe yang lebih rendah. Hal ini ditunjukmenghasil-kan oleh meningkatnya menghasil-kandungan minyak atsiri dan gingerol jahe pada pola intercropping.

(23)

Gambar 5. Kandungan serat rimpang jahe pada setiap perlakuan

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Intercroping jahe pada silvikultur jati menghasilkan jahe lebih berkualitas dengan

kandungan minyak atsiri dan kandungan gingerol umbi jahe lebih tinggi dibandingkan tempat terbuka. Hal ini menjadi nilai positif dari pola intercropping untuk menghasilkan produk berkualitas dengan indikator tingginya kandungan kimia obat di dalamnya. Spesifikasi bahan baku industri yang menuntut kualitas dengan indikator kandungan kimia jahe potensial diperoleh dalam sistem agroforestri.

B. Saran

Pengembangan jahe pada lahan kering hutan rakyat dengan sistem agroforestri hendaknya memperhatikan beberapa kondisi lingkungan, seperti iklim (terutama curah hujan) dan kondisi tanah harus gembur agar mudah ditembus perakaran jahe. Dengan demikian, hal ini akan mampu menghasilkan produk rimpang jahe yang berkualitas dengan kadar minyak atsiri dan gingerol yang tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mas Aulia Perdana sebagai Project Leader “Strategy on NTFPs development in improving People’s Welfare”. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mr. Bagyo (pengumpulan data), Suci (data analysis), Mr. Bakat (pemilik lahan), dan Adang Bayu Pamungkas (membantu pembangunan plot) dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah Bogor. Penelitian ini didanai oleh Australian Centre for International Agriculture Research (ACIAR) dan ICRAF

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Cakmak, I. 2005. The role of potassium in alleviating detrimental effects of abiotic stresses inplants. Journal of Plant Nutrition and Soil Sciences. 168, 521–530.

Emmyzar & Rosman, R. 1997. Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh pada Benih Jahe. Prosiding, Forum Konsultasi Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Hairiah, K., van Noordwijk, M., & Suprayogo, D. 2002. Interaksi antara

Pohon-Tanah-Tanaman Semusim: Kunci Keberhasilan atau Kegagalan dalam Sistem Agrofrestry. Dalam Buku Wanulcas Model Simulasi Untuk Sistem Agroforestry. International Agroforestry Researh Center. (ICRAF). Bogor.

Hairiah, K., Utami, S.R., Verbist, B., van Noordwijk, M., & Sardjono, M.S. 2003. Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di Indonesia. Bahan Ajaran Agroforestri

Buku 9. World Agroforetry Centre (ICRAF). Bogor.

Healey, S.P. & Gara, R.I. 2003. The effect of a teak (Tectona grandis) plantation on the establishment of native species in an abandoned pasture in Costa Rica. Forest Ecology

and Management, 176(1–3), 497–507.

Lester, E.G., Jifon, J.L., & Makus, D.J. 2010. Impact of Potassium Nutrition on Food Quality of Fruits and Vegetables: A Condensed and Concise Review of the Literature. Better

Crops, 94(1), 18–21.

Lott, J.E., Ong, C.K., & Black, C.R. 2009. Understorey microclimate and crop performance in a Grevillea robusta-based agroforestry system in semi-arid Kenya. Agricultural and

Forest Meteorology, 149, 1140–1151.

Lujiu, Li, Chen F., Yao D., Wang J., Ding N., & Liu X. 2010. Balanced Fertilization for Ginger Production – Why Potassium Is Important. Better Crops, 94(1).

Marschner, H. 1995. Functions of mineral nutrients: macronutirents, In: H. Marschner (ed.).

Mineral nutrition of higher plants 2nd Edition. Academic Press, N.Y.

Oladele, A.T., Popoola, L., & Jimoh, S.O. 2012. Effect of teak canopy cover and NPK fertilizer application on growth of ginger in agroforestry trial, Ile-Ile, Nigeria. Journal

of Agriculture And Social Research (JASR), 12(2).

Oladele, A.T. & Popoola, L. 2013. Economic analysis of growing ginger (Zingiber

officinale) under teak (Tectona grandis) canopy in Southwest Nigeria. Journal of Forest Science, 29(2), 147–156. http://dx.doi.org/10.7747/JFS.2013. 29.2.147

Ong, C.K., Black, C.R., & Muthuri, C.W. 2006. Modifying forests and agroforestry for improved water productivity in the semi-arid tropics. CAB Reviews: Perspectives in Agriculture, Veterinary Science. Nutr. Nat. Resour., 65, 1–19.

Rostiana, O., Bermawie, N., & Rahardjo, M. 2013. Standar Prosedur Operasional Budidaya

Jahe. Balitro. Bogor.

Sabur, S.A. & Molla, A.R. 1993. Trend, variability and relative profitability of spices in Bangladesh. Bangladesh J. Agric. Econs., XVI(1), 1–5.

(25)

Sadanandan, A.K., Peter, K.V., & Hamza, S. 2001. Role of Potassium Nutrition in Improving Yield and Quality of Spice Crops in India. Paper, presented at International Potassium Institute conference on nutrient management for sustainable crop production in India, New Delhi, India.

Samanhudi, Sumiyati, & Kristian, H. 2014. Pengaruh Tingkat Naungan dan Cekaman Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jahe Empirit (Zingiber officinale var

amarum). Abstrak Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Depok , 20

Desember 2014. Universitas Indonesia.

Sasikumar, B., Thankamani, C.K., Srinivasan, V., Devasahayam, S., Santhosh, J.E., Kumar, A., & John, Z.T. 2008. Ginger Extension Pamphlet. Srinivasan, V., Thankamani, C.K., Dinesh, R., Kandiannan, K., & Rajeev, P. (eds). Indian Institute of Spices Research, Kerala, India.

Sudomo, A., Sebastian, G.E., Prameswari, D., & Roshetko, J.M. 2016. Intercropping of

Zingiber Officinale Var. Amarum on Teak Silviculture in Karangduwet Village,

Paliyan Sub-District, Gunungkidul District of Yogyakarta. International Seminar of

Agroforestry. Agroforestry for Small Island. Ambon.

Valenzuela, H. 2011. Farm and Forestry Production and Marketing Profile for Ginger (Zingiber officinale) revised. In: Elevitch, C.R. (ed.). Specialty Crops for Pacific

Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR), Holualoa, Hawai‘i.

http://agroforestry.net/scps (Retrieved Dec. 2011).

Wahyuni, L., Barus, A., & Syukri. 2013. Respon Tumbuhan Jahe Merah (Zingeber officinale rosc) terhadap pemberian naungan dan beberapa teknik bertanam. Jurnal Online

(26)
(27)

TEKNIK SILVIKULTUR UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS JATI PADA HUTAN RAKYAT DI SUMBAWA DENGAN POLA AGROFORESTRI Silvicultural technique for increasing teak productivity at community forest at Sumbawa

with agroforestry pattern

Alex Novandra1, Gerhard E.S. Manurung2, & Cecep Handoko3 1,3Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Email: alex_novandra@yahoo.com

2 World Agroforestry Center (ICRAF)

ABSTRACT

Management of community forest in Sumbawa in general still uses silvicultural techniques in minimum way, with teak as main tree species. Optimization of land use needs to be done so that the community could get maximum products in land management. One technique is done by applying agroforestry pattern and application of silvicultural techniques such as pruning and thinning. The purpose of this research is to study the intensity of thinning and pruning to improve the productivity of community teak forest in Sumbawa, to study the productivity of ginger and kencur (Kaempfeia galanga) in agroforestry patterns with teak species and to conduct financial analysis of ginger and kencur (K. galanga) in agroforestry patterns. Results of the study showed that thinning treatment with 25% intensity gave significant effect to stem diameter growth of teak whereas pruning as well as thinning treatment of teak gave no effect on the growth or productivity of ginger and K. galanga. The result of financial analysis showed that business of ginger and K. galanga planted with teak stand in agroforestry patterns in Pelat village, Uter Iwes subdistrict, Sumbawa District, did not give benefit.

Key words: ginger, kencur (Kaempfeia galanga), agroforestry, productivity

ABSTRAK

Pengelolaan hutan rakyat di Sumbawa pada umumnya masih menggunakan teknik silvikultur yang minim dengan tanaman pokok kayu jati. Optimalisasi penggunaan lahan perlu dilakukan agar masyarakat mendapatkan hasil yang maksimal dalam mengelola lahan yang ada. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menerapkan pola agroforestri dan penerapan teknik silvikultur, seperti pemangkasan cabang dan penjarangan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui intensitas penjarangan dan pemangkasan cabang untuk meningkatan produktivitas jati pada hutan rakyat di Sumbawa, mengetahui produktivitas tanaman jahe dan kencur pada pola agroforestri dengan tanaman jati, analisis finansial pengusahaan jahe dan kencur pada pola agroforestri dengan tanaman jati. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan silvikultur penjarangan intensitas 25% berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan diameter batang tanaman jati, perlakuan penjarangan ataupun pemangkasan tanaman jati tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ataupun produktivitas tanaman jahe dan kencur, serta analisis finansial menunjukan bahwa pengusahaan tanaman jahe dan kencur pada pola agroforestri dan tegakan jati di Desa Pelat, Kecamatan Uter Iwes, Sumbawa, tidak memberikan keuntungan.

Kata kunci: jahe, kencur (Kaempfeia galanga), agroforestri, produktivitas

I. PENDAHULUAN

Pengelolaan Hutan rakyat di Sumbawa pada umumnya dilakukan dengan teknik silvikultur yang minim. Hal ini karena petani masih memiliki pengetahuan yang kurang tentang bagaimana cara mengelola hutan rakyat yang tepat. Hutan rakyat di Sumbawa sebagian besar dibangun dengan pola monokultur, salah satu tanaman pokok yang banyak dikembangkan adalah Jati. Perkembangan hutan rakyat jati di Sumbawa cukup pesat. Hal ini tidak terlepas dari harapan agar memperoleh hasil maksimal dari penjualan kayunya.

(28)

Kayu jati sejak dahulu terkenal sebagai kayu yang mahal. Selain banyak dipakai sebagai kayu pertukangan, kayu ini juga banyak dipakai di dalam kerajinan mebel. Potensi pasar kayu jati di Sumbawa cukup besar. Hal ini terlihat dari adanya pengiriman kayu olahan jati hutan rakyat dari Sumbawa ke Surabaya sebanyak 1.000 m3 untuk bahan baku industri kehutanan sebagaimana di-launching oleh Bupati Sumbawa, Drs. H. Jamaluddin Malik, pada tanggal 24 Oktober 2014 (http://www.sumbawakab.go.id).

Optimalisasi penggunaan lahan perlu dilakukan agar masyarakat mendapatkan hasil yang maksimal dalam mengelola lahan yang ada. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menerapkan pola agroforestri. Agroforestri merupakan strategi win-win solution untuk mencapai kelestarian fungsi ekologi dan fungsi sosial ekonomi secara bersama-sama. Secara ekologi, sistem agroforestri dalam beberapa kasus telah berhasil menciptakan lingkungan yang tidak monokultur sehingga keseimbangan ekologi lebih terjamin dan mampu meningkatkan produksi tanaman (van Noordwijk et al., 2004). Pola agroforestri yang mengombinasikan antara tanaman semusim dengan tanaman kehutanan atau hewan secara bersamaan ataupun berurutan dalam suatu lahan dapat meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan. Tanaman semusim yang dapat dikombinasikan dengan tanaman kehutanan salah satunya dari jenis empon-empon. Jahe dan kencur merupakan tanaman empon-empon yang banyak dikembangkan oleh petani di Sumbawa. Potensi pasar jahe dan kencur cukup besar karena dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan jamu yang dikenal memiliki khasiat obat, selain dimanfaatkan sebagai bumbu masak. Humas salah satu perusahaan di Wonogiri, Eko Purwanto, menyatakan bahwa perusahaannya setiap tahun membutuhkan empon-empon sebanyak 1.500 ton. Jenis empon-empon yang dibutuhkan perusahaan antara lain jahe emprit, kencur, kunir, dan temu lawak. Rerata kebutuhan jahe sebanyak 1.500 ton/ tahun, sedangkan rerata kebutuhan empon-empon yang lain sekitar 400 ton/tahun (http://www.infowonogiri.com).

Pengenalan teknik-teknik silvikultur perlu dilakukan kepada petani hutan rakyat di Sumbawa. Salah satu teknik silvikultur dalam pemeliharaan tanaman jati adalah pemang-kasan cabang dan penjarangan. Metode pemangpemang-kasan cabang tegakan jati telah dikembang-kan oleh Perez dan Kanninen (2005) di Costa Rica. Pada kualitas lahan yang baik, pemangkasan pertama dilakukan pada ketinggian 2,0–3,0 m ketika tegakan jati mencapai tinggi total sekitar 4,0–5,0 m. Pemangkasan kedua, tegakan jati yang berumur tiga tahun dapat dipangkas hingga 4,0–5,0 m ketika tegakan mencapai tinggi total sekitar 9,0–10,0 m. Pemangkasan ketiga dilakukan pada ketinggian 7,0 m ketika tegakan jati mencapai tinggi total sekitar 12,0 m dan berumur empat tahun. Pengelolaan agroforestri jati seharusnya mengikuti kondisi spesifik lahan dan keberadaan pasar. Menurut Southitham (2001), stok penanaman awal harus berada di antara 1.000 hingga 2.000 tegakan per hektare. Penjarangan (thinning) pertama harus dipertimbangkan segera mungkin ketika cabang-cabang dari batang pohon mulai bersentuhan dengan cabang-cabang pohon lainnya. Hal ini dapat terjadi ketika agroforestri jati berumur 4 hingga 5 tahun dan intensitas penjarangan pohon bisa mencapai 50% dari stok penanaman awal. Penjarangan kedua dilakukan sekitar umur tegakan jati 10 hingga 15 tahun, dan penjarangan terakhir dilakukan pada umur tegakan 15 hingga 20 tahun.

(29)

Pemeliharaan tanaman semusim pada pola agroforestri umumnya dilakukan dengan pemupukan, pendangiran, penyiraman, dan pembersihan tanaman pengganggu. Agar dapat mengetahui pengaruh pemeliharaan tanaman, baik pada tanaman pokok maupun tanaman semusim pada pola agroforestri, penelitian pada skala demonstrasi plot perlu dilakukan. Selain itu, analisis finansial juga perlu dilakukan agar dalam pengusahaan hutan rakyat dengan sistem agroforestri dapat diketahui keuntungan ataupun kerugiannya. Menurut Garret (1997), sistem agroforestri dapat memberikan keuntungan finansial dan menjadi daya tarik bagi alternatif penggunaan lahan. Alternatif pengelolaan lahan yang semakin banyak ditawarkan diharapkan dapat memberikan dampak yang positif untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pengelola lahan.

Penelitian ini bertujuan mengetahui intensitas penjarangan dan pemangkasan cabang terbaik untuk peningkatan produktivitas tegakan jati pada hutan rakyat di Sumbawa, mengetahui produktivitas tanaman jahe dan kencur pada pola agroforestri dengan tanaman jati, serta analisis finansial pengusahaan tanaman jahe dan kencur pada pola agroforestri dengan tanaman jati.

II. METODOLOGI A. Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada Hutan Rakyat Jati di Desa Pelat, Kecamatan Unter Iwes, Kabupaten Sumbawa, yaitu pada koordinat 50 L 0542303 UTM 9056544 dan ketinggian 189 m dpl. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2014 hingga bulan November 2016.

B. Analisis Data

1. Teknik Silvikultur pada Tegakan Jati

Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) untuk melihat pengaruh perlakuan pemangkasan cabang (Pruning/P) dan penjarangan (Thinning/J) terhadap pertumbuhan tanaman jati. Kombinasi perlakuan penjarangan dan pemangkasan cabang dikombinasikan dalam beberapa rezim. Perlakukan pemangkasan cabang (P) meliputi tiga taraf, sebagai berikut:

 P0: Kontrol (tidak ada pemangkasan)

 P1: Pemangkasan cabang 50% dari tinggi total pohon

 P2: Pemangkasan cabang 60% dari tinggi total pohon

Sementara itu, perlakuan penjarangan (J) meliputi dua taraf, yaitu:

 J0: Kontrol (tidak ada penjarangan)

 J1: Penjarangan ringan (25% dari total jumlah tegakan pohon diberi perlakuan penjarangan, diprioritaskan pada pohon cacat dan bengkok).

(30)

Terdapat enam kombinasi perlakuan pemangkasan cabang dan penjarangan yang akan diacak di dalam tiga blok sebagai bentuk ulangan (replikasi) yang dipertimbangkan memiliki tingkat keragaman relatif homogen (Tabel 1). Dengan demikian, terdapat sebanyak 18 blok pengamatan (3 rezim pemangkasan cabang x 2 rezim penjarangan x 3 ulangan), yang mana setiap blok pengamatan berukuran 100 m2 (10 m x 10 m).

Tabel 1. Kombinasi perlakuan pemangkasan cabang dan penjarangan

P0J0: tidak ada pemangkasan dan tidak ada penjarangan (kontrol)

P1J1: pemangkasan 50% dan penjarangan 25%

P0J1: tidak ada pemangkasan dan penjarangan 25%

P2J0: pemangkasan 60% dan tidak ada penjarangan

P1J0: pemangkasan 50% dan tidak ada penjarangan

P2J1: pemangkasan 60% dan penjarangan 25%

Setiap blok percobaan diambil data pertumbuhan tegakan jati setiap enam bulan sekali berupa diameter batang setinggi 1,3 m (dbh). Data pertumbuhan tegakan jati dianalisis menggunakan Model Linear dan Analisa Keragaman dari Rancangan Acak Kelompok (RAK) untuk menguji pengaruh kombinasi perlakuan pemangkasan cabang dan penjarangan terhadap peningkatan pertumbuhan diameter batang.

Dalam menganalisis kombinasi perlakuan silvikultur pada tanaman jati, dua demplot percobaan dibangun, yaitu demplot hutan jati rakyat dengan pola agroforestri jahe emprit dan kencur dan demplot hutan jati rakyat pola monokultur.

2. Produktivitas Tanaman Jahe dan Kencur

Tanaman jahe emprit (Zingiber officanale var. rubrum) dan kencur (Kaemferia

galanga L.) ditanam bersamaan di setiap blok pengamatan. Bibit jahe yang ditanam di setiap

lubang berbobot sekitar 20–30 g, sedangkan bibit kencur berbobot sekitar 5–10 g. Jarak tanam dan pemupukan mengikuti rekomendasi prosedur operasional standar budi daya jahe dan kencur (Rostiana et al., 2008) dengan jarak tanam 60 cm x 40 cm dan dosis pemupukan sebagai berikut:

 Pupuk kandang (20–30 ton/ha) diberikan 2–4 minggu sebelum tanam

 SP-36 (200–300 kg/ha) diberikan pada saat tanam

 KCl (200–300 kg/ha) diberikan pada saat tanam

 Urea (300–400 kg/ha) diberikan masing-masing 1/3 dosis setiap pemberian pada umur 1, 2, dan 3 bulan setelah tanam.

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan pemangkasan cabang (Pruning/P) dan penjarangan (Thinning/J) tanaman jati terhadap pertumbuhan jahe dan kencur.

Pengukuran pertumbuhan dan produksi jahe emprit dan kencur dilakukan dengan mengukur sampel tanaman jahe dan kencur sebanyak 20 tanaman yang dilakukan pada umur

(31)

3, 4, dan 5 Bulan Setelah Tanam (BST) terhadap parameter 1) jumlah anakan per rumpun dan 2) tinggi tanaman; sedangkan pengamatan produksi dilakukan pada umur 6 BST, meliputi parameter 1) berat basah per rumpun dan 2) berat total satu blok.

3. Analisis Finansial

Menurut Soekartawi (1995), keuntungan usaha agroforestri merupakan selisih antara jumlah penerimaan dan jumlah biaya yang dikeluarkan dalam proses agroforestri. Dengan demikian, formula yang digunakan adalah:

𝜋 = 𝑇𝑅 − 𝑇𝐶

yang mana:

π = Total keuntungan atau profit

TR = Total penerimaan atau revenue TC = Total biaya atau cost

Selain itu, Soekartawi (1995) menjelaskan bahwa penerimaan (revenue) merupakan perkalian antara produksi (production) yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha tani dengan harga jual (price). Dengan demikian, formula yang digunakan adalah:

𝑇𝑅 = ∑ 𝑌. 𝑃𝑦 yang mana:

𝑇𝑅 = Total penerimaan

𝑌 = Produksi yang diperoleh dalam usaha tani 𝑃𝑦 = Harga Y

Besarnya efisiensi usaha agroforestri pada masing-masing tingkat perkembangannya dihitung dengan menggunakan analisis B/C ratio. Analisis ini merupakan perbandingan antara total penerimaan (TR) dengan total biaya produksi (TC) yang dirumuskan dalam persamaan berikut:

𝐵/𝐶 =𝑇𝑅

𝑇𝐶

Apabila nilai B/C ratio >1, artinya bahwa usaha agroforestri bersifat menguntungkan. Apabila nilai B/C ratio =1, artinya bahwa usaha agroforestri impas, yaitu tidak mengun-tungkan dan tidak merugikan. Sementara itu, nilai B/C ratio <1 dapat diartikan bahwa usaha agroforestri tidak menguntungkan sehingga bersifat tidak efisien.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Teknik Silvikultur Pada Tegakan Jati

Rerata pertumbuhan diameter tegakan jati dengan pola agroforestri lebih tinggi jika dibandingkan dengan pola tanam monokultur (Gambar 1). Pada pola agroforestri,

(32)

pertumbuhan diameter tertinggi pada plot pruning 50% dan penjarangan 25% (P1J1), yaitu 2,42 cm. Sementara itu, pada demplot jati monokultur, pertumbuhan diameter tertinggi pada plot tanpa pruning dan penjarangan 25% (P0J1) sebesar 1,45 cm.

Gambar 1. Grafik rerata pertumbuhan diameter batang jati

Hasil uji anova terlihat bahwa teknik silvikultur penjarangan (thinning) yang diterap-kan pada demplot, baik agroforestri maupun monokultur, memberiditerap-kan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan diameter batang pohon jati pada tingkat α 5%. Sebaliknya, teknik silvikultur pemangkasan cabang tidak memberikan pengaruh yang nyata. Pada demplot monokultur, perlakuan interaksi antara penjarangan dan pemangkasan cabang memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan diameter jati pada taraf α 5% sebagaimana terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil sidik ragam pada pola agroforestri dan monokultur

Dependent variable: Pertumbuhan diameter

Pola agroforestri Pola monokultur

Source Mean Square F Sig. Mean Square F Sig.

Corrected Model 1.750 1.990 0.056 1.049 2.170 0.040 Intercept 1358.143 1544.574 0.000 223.323 461.941 0.000 Block 0.255 0.290 0.748 0.078 0.161 0.851 Pruning 0.038 0.044 0.957 0.837 1.731 0.181 Thinning 10.270 11.680 0.001** 1.948 4.030 0.046** Pruning * Thinning 0.642 0.730 0.483 1.744 3.607 0.029** Error 0.879 0.483

(33)

Perlakuan silvikultur penjarangan sebesar 25% memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan diameter tegakan jati, baik pada pola agroforestri maupun mono-kultur. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Perez dan Kanninen (2005), yaitu bahwa penjarangan yang dilakukan pada tegakan jati akan memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan batang, pertambahan diameter, dan tinggi pohon. Penjarangan yang dilakukan pada umur-umur awal akan meningkatkan biomasa daun dan meningkatkan diameter batang (Kanninen et al., 2004; Ola-Adams, 1990). Hal tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Yahya et al. (2011) bahwa perlakuan penjarangan dengan menyisakan jumlah tegakan sebanyak 200 pohon/ha dapat meningkatkan kerapatan tegakan dan mening-katkan pertumbuhan diameter batang. Dengan adanya penjarangan, persaingan antar-tanaman dalam memperoleh unsur hara di dalam tanah ataupun cahaya matahari yang diperlukan dalam proses pertumbuhan menjadi berkurang sehingga unsur hara yang ada dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh tegakan jati. Selain itu, adanya penjarangan menjadikan proses pergantian tajuk akan berlangsung lebih cepat karena daun yang baru tumbuh akan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga dapat meningkatkan diameter dan tingginya (Malimbwi et al., 1992; Kanninen et al., 2004; Kamo et al., 2004). Sementara itu, perlakuan pemangkasan cabang tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan diameter batang tanaman jati. Hal ini karena tunas baru akan cepat tumbuh setelah dilakukan pemangkasan cabang dan tidak dilakukan pembersihan oleh petani. Selain itu, teknik silvikultur pemangkasan cabang sudah terlambat dilakukan karena umur tanaman saat dilakukan pemangkasan cabang sudah berumur delapan tahun dengan ketinggian pohon rerata sudah >14 m. Pemangkasan cabang dilakukan untuk tujuan menda-patkan kualitas kayu pertukangan yang bagus, yaitu mendamenda-patkan batang dengan tinggi bebas cabang yang tinggi dan mengurangi mata kayu yang dapat menurunkan kualitas kayu pertukangan.

Pertumbuhan diameter tegakan jati yang ditanam dengan pola agroforestri membe-rikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan pola monokultur. Pada pola agroforestri, ada proses pengolahan tanah lanjutan untuk penanaman tanaman semusim dan juga adanya penambahan pupuk pada tanah. Hal ini berarti adanya tambahan unsur hara dan pengolahan tanah dapat memperbaiki aerasi tanah. Sebaliknya, pada pola monokultur tidak dilakukan pengolahan tanah lanjutan dan penambahan pupuk sehingga pohon jati hanya memanfaatkan unsur hara yang tersedia dengan aerasi tanah yang kurang bagus.

Interaksi antara perlakuan silvikultur penjarangan dan pemangkasan cabang pada pola tanam monokultur memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan diameter batang. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan silvikultur penjarangan dan pemangkasan cabang harus dilakukan secara bersamaan jika ingin meningkatkan pertumbuhan diameter tegakan jati.

B. Produktivitas Tanaman Jahe dan Kencur

Hasil panen tanaman jahe dan kencur yang ditanam di bawah tegakan jati pada pola agroforestri secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil panen jahe tertinggi yaitu yang ditanam di bawah plot dengan perlakuan pemangkasan cabang 50% dan tanpa

(34)

penjarangan (P1J0), yaitu sebanyak 0,063 kg setiap rimpang (lubang tanam). Sementara itu, tanaman kencur hasil panen tertinggi yang ditanam di bawah plot dengan perlakuan pemang-kasan cabang 60% dan penjarangan 25% (P2J1) sebanyak 0,037 kg.

Gambar 2. Grafik rerata hasil panen jahe dan kencur

Teknik silvikultur yang diterapkan pada tegakan jati dengan pemangkasan cabang dan penjarangan secara statistik tidak memberikan pengaruh yang nyata, baik terhadap produk-tivitas tanaman jahe maupun kencur (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil uji Anova tanaman jahe dan kencur

Dependent variable: Produktivitas hasil panen

Jahe Kencur

Source Mean Square F Sig. Mean Square F Sig.

Corrected Model 0.083 0.736 0.648 0.022 0.509 0.808 Intercept 20.365 181.660 0.000 6.783 160.256 0.000 Block 0.043 0.379 0.694 0.015 0.363 0.705 Pruning 0.075 0.670 0.533 0.023 0.555 0.591 Thinning 2.222E-07 0.000 0.999 0.048 1.135 0.312 Pruning * Thinning 0.171 1.527 0.264 0.013 0.298 0.749 Error 0.112 0.042

(35)

Tanaman jahe dan kencur dapat tumbuh dengan baik ketika ditanam di bawah tegakan jati dengan pola agroforestri (Lampiran 1). Hal ini karena tanaman empon-empon pada umumnya tahan ditanam di bawah naungan dan dapat tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai pula dengan hasil analisis Anova bahwa pertumbuhan tanaman jahe dan kencur tidak terpengaruh ketika tanaman tersebut ditanam di bawah tegakan jati (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil uji Anova tanaman jahe dan kencur

Dependent variable: Jahe Kencur

Pertumbuhan tinggi tanaman Pertumbuhan tunas baru

Source Mean Square F Sig. Mean Square F Sig.

Corrected Model 34.651 0.844 0.576 0.022 0.509 0.808 Intercept 33891.929 825.919 0.000 6.783 160.256 0.000 Block 20.105 0.490 0.627 0.015 0.363 0.705 Pruning 53.693 1.308 0.313 0.023 0.555 0.591 Thinning 21.473 0.523 0.486 0.048 1.135 0.312 Pruning * Thinning 36.745 0.895 0.439 0.013 0.298 0.749 Error 41.035 0.042

Rerata hasil panen jahe adalah 20–60 g/rimpang atau 2,5 ton/ha, sedangkan rerata hasil kencur adalah 20–30 g/rimpang atau 1,25 ton/ha. Hasil tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan hasil pemanenan jahe di daerah Batudulang, Kecamatan Batulanteh Sumbawa, yang rata rata menghasilkan 8,3 ton/ha (wawancara dengan petani jahe: Junaedi, 2016). Hal ini disebabkan bibit jahe dan kencur yang digunakan menjadi penyebab kurang maksimalnya hasil panen. Bibit jahe yang ditanam berasal dari Batulanteh dan bukan benih unggul. Rostiana et al. (2008) menjelaskan bahwa untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal diperlukan bahan tanaman dengan jaminan dan mutu benih yang baik dan menerapkan budi daya anjuran. Penggunaan bibit varietas unggul jahe merah dipadukan dengan penerapan budi daya dengan menggunakan Prosedur Operasional Standar Budi Daya Jahe akan menghasilkan potensi produksi rerata sebanyak 22 ton/ha, sedangkan untuk kencur jika menggunakan bibit varietas unggul Balittro-V2 dapat menghasilkan potensi produksi 14–16 ton/ha. Selain itu, umur panen tanaman juga memengaruhi hasil panen yang didapatkan. Jahe untuk konsumsi dipanen pada umur 6–10 bulan, tetapi rimpang untuk bibit dipanen pada umur 10–12 bulan. Tanaman jahe dan kencur dipanen pada bulan Juni 2016 atau berumur kurang dari enam bulan. Hal tersebut dilakukan karena pada saat bulan Juni, kondisi iklim di Sumbawa sudah memasuki musim kemarau. Kondisi tanaman juga sudah terlihat mulai mati sehingga jika tidak dilakukan pemanenan maka dikhawatirkan rimpang jahe akan membusuk dan mengempes. Data curah hujan tahun 2015 menunjukan bahwa pada bulan Mei sudah memasuki musim kemarau (Tabel 5). Tanaman jahe akan tumbuh dengan optimal pada curah hujan di atas 100 mm/bulan dengan jumlah bulan basah 7–9 bulan dan ketinggian tempat 300–900 m dpl.

(36)

Tabel 5. Data iklim di lokasi penelitian

Jumlah curah hujan (mm)

Tahun Bulan

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2015 69 216 168 242 54 0 2 0 0 0 51 174

2016 302 464 158 135 40 107 19 4 44 162

Jumlah hari hujan

Tahun Bulan

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2015 13 17 12 17 3 - 1 - - - 5 14

2016 13 20 10 12 7 11 5 1 5 11

Sumber: BMKG Sumbawa, 2016

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara pertumbuhan tanaman jahe dan kencur di bawah tegakan jati yang diterapkan perlakuan silvikultur dan yang tidak. Hal tersebut sesuai dengan Prosedur Operasional Standar Budi Daya Jahe yang menyebutkan bahwa tanaman jahe dapat tumbuh dengan optimal dengan intensitas cahaya matahari 70–100 % atau agak ternaungi sampai terbuka (Rostiana et al., 2008). Secara umum, tanaman empon-empon tahan terhadap naungan sehingga sangat cocok untuk diterapkan pada pola agroforestri.

C. Analisis Finansial

Anlisis finansial pengusahaan tanaman jahe dan kencur di bawah tegakan jati menunjukkan bahwa setelah tanaman berusia enam bulan, hasil panen tidak mampu menutupi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penanaman dan pemeliharaannya sehingga mengalami kerugian (Tabel 6).

Tabel 6. Aliran kas pengusahaan jahe dan kencur pada pola agroforestri dengan jati

No. Komponen analisis Bulan ke- (2016) Jumlah

1 2 3 4 5 6

A. Biaya

1. Pembelian bibit jahe sebanyak 18 kg @ Rp10.000

180.000 180.000

2. Pembelian bibit kencur sebanyak 9 kg @ Rp12.000

108.000 108.000

3. Biaya tenaga kerja persiapan lahan dan penanaman sebanyak 4 orang @ Rp50.000

200.000 200.000

4. Pembelian pupuk kandang sebanyak 400 kg @ Rp500

200.000 200.000

5. Pembelian pupuk SP sebanyak 10 kg @ Rp3.000

Gambar

Gambar 1.  Percobaan penanaman jahe emprit  (Zingiber officinale var. Amarum) di bawah tegakan  jati rakyat di Desa Karangduwet, Kabupaten Gunungkidul (a) dan hasil panennya (b)
Gambar 2.  Intensitas cahaya di bawah tegakan jati akibat perlakuan silvikultur pruning dan singling
Gambar 3.  Kandungan kadar air dan minyak atsiri rimpang jahe pada setiap perlakuan
Gambar 4.  Kandungan gingerol rimpang jahe pada setiap perlakuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel pasar kompetitif terhadap Kinerja Usaha kelompok wanita tani berpengaruh positif tidak signifikan dengan nilai

Politeknik Sains &amp; Teknologi Wiratama Maluku Utara merupakan salah satu instansi yang bergerak di bidang pendidikan yang menerapkan teknologi informasi dalam membantu

mempersiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan penelitian (kuesioner) secara tertulis dan alternatif dari jawabannya telah dipersiapkan. Dengan wawancara

Implementasi algoritma FP- Growth dalam Sistem Informasi Penjualan dimaksudkan untuk pengolahan data sales order menjadi pengetahuan yang dapat dijadikan rujukan sebagai

Pada penelitian ini variabel bebas terdiri dari Pemeriksaan Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak, sedangkan Penerimaan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan

Kedua Self Blame pada responden penelitian ini adalah ia menyalahkan dirinya sendiri karena dilahirkan dengan wajah berjerawat, memiliki kekurangan, berbeda dengan

Hasil tabulasi silang antara efikasi diri dengan pemberian ASI eksklusif menunjukkan bahwa yang mempunyai efikasi diri yang cukup terdapat sebesar 71,4% yang memberikan

Didalam tiap siklusnya peneliti selalu melaksanakan tahapan-tahapan berikut ini: (1) perencanaan, di dalam perencanaan ini peneliti dan guru melakukan kegiatan