• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1. Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent)

Salah satu hak dasar individu yang dimiliki oleh seorang pasien adalah mendapatkan informasi sejelas-jelasnya dan selengkap-lengkapnya dari dokter yang menangani penyakitnya, yaitu hak atas informasi yang merupakan bagian dari hak untuk menentukan dirinya sendiri (the rights of self-determination)1, sehingga tak seorang pun dibenarkan untuk melakukan suatu tindakan atas badan orang lain termasuk dokter atas diri pasiennya, terkecuali ada izin atau consent dari yang mempunyai diri.

Informasi yang diberikan dokter kepada pasien selain sebagai syarat atau landasan dari persetujuan pasien, juga merupakan kewajiban dokter. Dan jika dokter lalai dalam melaksanakan tindakan kedokteran tersebut, maka dokter tetap dapat dituntut melakukan tindakan malpraktik. Persetujuan tindakan kedokteran dari pasien atau keluarga pasien tidak dapat memberikan jaminan kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya bahwa ia bebas dari tuduhan maupun gugatan malpraktik kedokteran.

Dalam melakukan tindakan kedokteran, yang membuat luka atau memakai benda tajam, merobek kulit atau menembus kulit (tindakan operasi, menyuntik, menginfus), membuat orang menjadi tidak berdaya dengan cara membius tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarga pasien, maka dokter atau tenaga

1 Desriza Ratman, 2012, Loc. Cit;

(2)

15

medis lainnya dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Menurut Prof. Leenan agar dokter tidak dapat dituntut atas Pasal 351, maka harus memenuhi syarat yang menghilangkan sifat melawan hukumnya, yakni2 :

a. Orang yang dilukai itu memberikan persetujuan;

b. Tindakan kedokteran tersebut berdasarkan suatu indikasi medis, dan ditujukan pada suatu tujuan yang konkrit;

c. Tindakan kedokteran tersebut dilakukan sesuai ilmu kedokteran.

Menurut Komalawati, persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.3 Persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) terdiri dari dua unsur yang sangat penting yang memegang peranan dapat tidaknya suatu tindakan kedokteran dilakukan, yaitu adanya persetujuan (consent) dari pihak pasien atas penjelasan (informed) yang diberikan oleh pihak tenaga medis.

Yang dimaksud dengan persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Seorang dokter atau tenaga medis lainnya

2Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991, hlrn.43-44;

3 Anny Isfandyarie, 2006, Loc. Cit;

(3)

16

wajib memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang menyangkut masalah kesehatan yang dialami pasien dengan benar dan jujur.

Bila pasien menyatakan setuju terhadap apa yang telah dijelaskan, maka tindakan dapat dilanjutkan. Tetapi bila pasien menolak walaupun akan berdampak buruk terhadap penyakit yang dideritanya, maka seorang dokter harus menghormati keputusan pasien tersebut, ini disebut sebagai informed refusal. Hal ini dikarenakan bahwa setiap dokter atau tenaga medis lainnya harus menghargai eksistensi seorang pasien sebagai seorang manusia yang mempunyai kekuasaan otonom/mutlak terhadap dirinya. Dalam ilmu etika modern, hal ini disebut sebagai respect to autonomy.

Informed refusal adalah penolakan dari pasien untuk dilakukan tindakan kedokteran tertentu, yang diputuskan setelah dokter memberikan informasi terkait sesuatu yang berkenaan dengan tindakan kedokteran yang akan diberikan. Dengan ditegaskan bahwa pasien sudah tahu dan memahami segala konsekuensi yang mungkin timbul sebagai akibat dari penolakan tersebut.4

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (yang selanjutnya akan disebut UU Kesehatan) Pasal 56 menyatakan bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Hak menerima atau menolak tidak berlaku pada penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam

4 Guwandi J, Informed Consent & Informed Refusal, Edisi IV, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006, hal. 27;

(4)

17

masyarakat yang lebih luas, keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri, atau gangguan mental berat.

Dalam hukum perdata, persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) merupakan suatu “toestemming” yakni kesepakatan atau persetujuan sepihak dari pihak pasien kepada dokter yang akan melakukan suatu tindakan kedokteran terhadap dirinya, di mana persetujuan tersebut dilandasi oleh suatu informasi yang cukup dari dokter kepada pasien. Karena fungsinya hanya sebagai

“toestemming” maka persetujuan dapat dicabut setiap saat jika pasien menghendaki.

Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi diatur dalam UU Praktik Kedokteran Pasal 45 yang menyatakan bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap, yakni sekurang-kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Persetujuan dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Untuk setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan,

Persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) diatur dalam PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran. Menurut PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran, persetujuan tindakan kedokteran adalah

(5)

18

persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenau tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Keluarga terdekat adalah suami atau isteri, ayah atau ibu kandung, anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.

Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88 menyatakan bahwa manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan kedokteran yang bertentangan dengan keinginan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri. Informasi tentang tindakan kedokteran harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Dokter tidak boleh menahan informasi, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Ketika memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedis lain sebagai saksi adalah penting. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan kedokteran yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif.

Persetujuan dari pasien atas penjelasan yang diberikan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya dapat diberikan oleh pasien baik secara lisan ataupun dalam bentuk tertulis tergantung dari jenis tindakan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, seorang dokter harus mengklasifikasikan tindakan-tindakan yang akan dilakukan kepada pasien.

(6)

19

I. Bentuk izin (persetujuan) dapat dibedakan5 : 1. Dinyatakan secara jelas (express consent)

a. Secara tertulis (written) : akan dijelaskan

Persetujuan yang diberikan oleh pasien/keluarga pasien setelah mendapat penjelasan atau informasi dari dokter atau tenaga medis mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien dalam bentuk tertulis pada formulir khusus yang telah disediakan.

Persetujuan tertulis diberikan terhadap semua tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi atau tindakan yang hasilnya sulit diprediksi (meragukan).

Meskipun persetujuan tindakan kedokteran sudah diberikan oleh pasien atau keluarga pasien dengan cara menandatanganinya, tetap saja pesetujuan tersebut tidak menghapus tanggung gugat (secara hukum, baik pidana maupun perdata) terhadap dokter atau tenaga medis yang melakukan kelalaian atau kesalahan yang merugikan pasien.

b. Secara lisan (oral) : akan dijelaskan

Dalam PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran dinyatakan bahwa pasien tidak perlu memberikan persetujuan dalam bentuk tertulis bila tindakan yang diberikan oleh dokter atau tenaga medis lainnya bukan bersifat tindakan yang mengandung resiko tinggi atau yang meragukan hasilnya. Contoh tindakan kedokteran yang

5 Guwandi J, Informed Consent, Cetakan Ulang, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2008, hal. 20;

(7)

20

hanya perlu persetujuan lisan adalah pengambilan darah, pemasangan infus, pemasangan oksigen, pemeriksaan usg, dan lain-lain (implied consent).

Jadi setelah dokter atau tenaga medis lainnya memberi penjelasan mengenai jenis tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien dengan bahasa yang mudah dimengerti, maka pasien atau keluarga pasien dapat melakukan persetujuan dengan mengiyakan secara lisan (perkataan), manganggukan kepala, mengedipkan mata, menggerakan tangan, atau diam saja / contact eyes (dengan catatan pasien sadar dan mengerti pembicaraan).

2. Dianggap diberikan (implied or tacit consent)

a. Dalam keadaan biasa (normal) : tidak semua tahapan-tahapan suatu tindakan harus dijelaskan secara detail, tetapi hanya tujuannya saja yang dijelaskan. Contoh : memasang infus, yang dijelaskan adalah tujuan infus dipasang, tidak perlu dijelaskan detail seperti cara memasang infusnya.

b. Dalam keadaan gawat darurat (emergency) : akan dijelaskan.

II. Tanpa persetujuan

Adakalanya pada suatu keadaan tertentu, yakni ketika pasien masuk ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar (keadaan darurat) dan tanpa pengantar.

Bilamana pada keadaan tersebut pasien membutuhkan tindakan segera untuk mengatasi kegawatan yang terjadi, maka tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.

(8)

21

Dalam suatu aturan yang diberlakukan tentu ada aturan-aturan yang mengatur suatu pengecualian, artinya boleh dilanggar dengan persyaratan- persyaratan tertentu. Salah satu contoh keadaan di mana pasien tidak dapat dimintai persetujuan tindakan kedokteran baik secara lisan maupun tulisan yakni pasien dalam keadaan darurat.

Pada keadaan darurat, untuk menyelamatkan hidup pasien (live saving) atau mencegah terjadinya kecacatan, maka persetujuan tidak perlu diminta kepada pasien maupun keluarga pasien. KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan “zaakwaarneming”

atau perwalian sukarela yaitu apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri.”

Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya.

Dokter wajib memberikan informasi mengenai tindakan kedokteran yang telah dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan tersebut.

Bila terjadi hal-hal yang buruk terhadap diri pasien atau tindakan yang diberikan gagal, maka pasien atau keluarga tidak bisa menuntut dokter atau tenaga

(9)

22

medis lainnya, yakni apabila semua prosedur tindakan telah diberikan dengan baik dan sesuai dengan kompetensi tenaga medis yang menolongnya.

III. Penjelasan

Seorang dokter atau tenaga medis lainnya haruslah mengetahui secara teknis (mengenal status kesehatan pasien) maupun non teknis (kondisi latar belakang kultur budaya, sosial, ekonomi, agama, dan keadaan jiwa/psikis) situasi dan kondisi dari pasien ataupun keluarga pasien. Seorang dokter atau tenaga medis lainnya juga harus menguasai teknik dalam menyampaikan penjelasan kepada pasien atau keluarga pasien agar apa yang disampaikan sesuai dengan kondisi pasien dapat diketahui dan dapat dipahami oleh pasien ataupun oleh keluarga pasien.

Untuk suatu tindakan kedokteran, sekurang-kurangnya yang harus diterangkan atau dijelaskan kepada pasien atau keluarganya yakni :

1. Penjelasan tentang diagnosis dan tata cara tindakan medis;

2. Penjelasan tentang tujuan tindakan medis yang dilakukan;

3. Penjelasan tentang alternatif tindakan lain dan resikonya;

4. Penjelasan tentang resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, yakni semua resiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan medis yang dilakukan;

5. Penjelasan tentang prognosis, yakni prediksi dari kemungkinan perawatan, durasi dan hasil akhir suatu penyakit berdasarkan pengetahuan umum dari pathogenesis dan kehadiran faktor resiko penyakit. Prognosis berarti

(10)

23

ramalan tentang peristia yang akan terjadi, khususnya yang berhubungan dengan penyakit atau penyembuhan setelah operasi.6 Yang meliputi : a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam)

b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam) c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam) 6. Penjelasan tentang perkiraan pembiayaan.

IV. Yang berhak memberi persetujuan

Untuk memberikan penjelasan sesuai dengan kebutuhan medis dari pasien, seorang dokter harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga pasien.

Yang disebut keluarga pasien adalah suami atau isteri, ayah atau ibu kandung, anak kandung, saudara kandung, atau pengampu yakni seseorang yang bertanggung jawab terhadap seseorang dewasa yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum yang diberikan hak oleh pengadilan. Ada pula seseorang yang disebut wali, yakni seseorang baik dari kalangan keluarga maupun orang lain yang diberikan hak oleh pengadilan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum atas nama anak yang diwalikannya.

Sedangkan, untuk pasien yang berhak menerima penjelasan secara langsung dari dokter atau tenaga medis lainnya dibedakan menjadi dua yakni :

1. Pasien yang kompeten, meliputi persyaratan :

a. Pasien dinyatakan dewasa berdasarkan undang-undang, yaitu berumur di atas 18 tahun (pada syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata adalah 21 tahun atau sudah pernah menikah)

6 Arti Prognosis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

(11)

24

b. Pasien sudah pernah atau dalam status kawin, walaupun umurnya belum genap 18 tahun

c. Dalam keadaan sadar secara fisik dan dapat berkomunikasi dengan baik

d. Tidak mengalami penyakit jiwa : schizophrenia (gila)

e. Tidak mengalami gangguan mental/retardasi mental: depresi, pikun, idiot, imbisiil.

2. Pasien yang tidak kompeten

Pasien yang dapat dinilai langsung oleh tenaga medis, layak atau tidaknya untuk diberikan penjelasan. Biasanya tenaga medis menilai dari kondisi emosi pasien, stabil atau tidak stabil.

V. Penolakan tindakan kedokteran

Persetujuan yang telah diberikan pasien atau keluarga pasien masih bisa dicabut atau ditarik kembali selama tindakan kedokteran belum dilakukan sesuai oleh yang memberikan persetujuan awal atau pasien/keluarga pasien menolak seluruh atau sebagian tindakan yang disarankan oleh dokter. Ini merupakan hak dari pasien yang dijamin oleh Undang-Undang serta merupakan hak otonomi pasien yang harus dihormati oleh dokter atau tenaga medis lainnya.

Apapun yang sudah diputuskan oleh pasien atau keluarga pasien adalah tanggung jawabnya bila terjadi sesuatu yang buruk atas kondisi kesehatan pasien.

Sebaiknya setiap penolakan tindakan yang dilakukan pasien atau keluarga pasien dinyatakan dalam bentuk tertulis. Hal ini akan menjadi bukti untuk membantu

(12)

25

dokter apabila pasien melakukan kebohongan atau memutar balikkan fakta.

Penolakan tersebut harus ditandatangani oleh pasien dan atau keluarga pasien.

VI. Tanggung Jawab

Setelah dokter mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarga pasien atas tindakan kedokteran yang diizinkan, maka dokter dengan atau tanpa tim harus bertanggung jawab atas tindakan yang dijanjikan itu. Tanggung jawab tersebut bukan hanya berupa aspek medis, tetapi juga aspek hukum. Karena secara hukum, setiap perjanjian akan melahirkan hak dan kewajiban, yang mana bila salah satu pihak melanggar isi perjanjian tersebut maka pihak yang merasa dirugikan bisa menuntut atau meminta ganti rugi terhadap pihak yang dianggap merugikan.

Mengenai hak dan kewajiban dokter pada transaksi terapeutik, apabila terjadi wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, maka dokter dapat dianggap melakukan malpraktik.

Tanggung jawab yang harus dipikul oleh dokter atau tenaga medis lainnya apabila terjadi kerugian pada pasien atas tindakan tidak professional yang dilakukan adalah:

1. Secara pidana : Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP

Dokter dapat dituntut secara pidana akibat kecerobohannya atau ketidak hati-hatiannya dalam melakukan tindakan medis sehingga menimbulkan kematian atau cacat berat pada pasien.

a. Pasal 359 menyatakan :

Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana

(13)

26

penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

b. Pasal 360 menyatakan :

(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timhul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

2. Secara perdata

Dokter dapat digugat oleh pasien atau keluarga pasien, bila dalam melakukan tindakan medis yang ceroboh menyebabkan kerugian pada pasien (tidak sampai menimbulkan kematian atau cacat berat. Malpraktik perdata dapat digugat apabila memenuhi unsur unsur sah kelalaian (legal elements of negligence), yakni7:

a. Duty

Kewajiban dari profesi medis untuk menggunakan segala ilmu

7 S. Y. Tan, Medical Malpractice : Understanding the Law, Managing the Risk, World Scientific Publishing, Singapore, 2006, hal. 22;

(14)

27

dan kepandaiannya untuk penyembuhan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasien (to cure and to care).

b. Dereliction of that Duty / Breach of Duty

Penyimpangan dari kewajiban, menyimpang dari yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi medis.

c. Damages

Adanya kerugian yang diderita pasien akibat langsung dari kelalaiannya.

d. Direct causation / Proximate causation

Kerugian yang diderita pasien akibat kelalaian yang diperbuat dokter tanpa adanya waktu/peristiwa sela diantaranya.

Kelalaian yang dilakukan oleh dokter dibagi menjadi kesalahan yang sengaja dilakukan karena kelalaian (ketidak sengajaan) dan kesalahan yang dibuat oleh orang lain yang menjadi tanggung jawabnya (perawat atau bidan dalam timnya). Sehingga tanggung jawab hukumnya adalah :

a. Perbuatan melawan hukum dengan kesengajaan (Pasal 1365 KUH Perdata)

Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

(15)

28

b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan tapi terjadi kelalaian (Pasal 1366 KUH Perdata)

Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hati.

c. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanggung jawab mutlak (Pasal 1367 KUH Perdata)

Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang- barang yang berada di bawah pengawasannya.

3. Secara disiplin profesi

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) atas pengaduan pasien atau masyarakat dapat memeriksa dan memberikan keputusan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi (Pasal 67 UU Praktik Kedokteran), dan apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan pengaduan tersebut kepada organisasi profesi. Adapun keputusan tersebut mengikat terhadap dokter dan dan dokter gigi yang bersangkutan.

4. Secara etika

(16)

29

Bila seorang dokter bekerja di sarana kesehatan atau rumah sakit dan melakukan kelalaian pada saat melakukan tindakan medis yang merugikan pasien, maka sebagai tempat dilakukannya tindakan medis tersebut dapat pula digugat untuk dimintakan pertanggung jawabannya bersama-sama atau tersendiri dengan dokter yang mengerjakan tindakan tersebut. Dasar hukum yang mengikat hal tersebut yakni :

a. KUH Perdata Pasal 1367

Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

b. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 58 ayat 1 Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

c. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit , Pasal 46

Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.

(17)

30 2.1.2. Kegawatdaruratan

Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, petugas medis dan pasien masing-masing mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent). Informed consent merupakan standart dalam prosedur tindakan kepada pasien di mana pasien berhak untuk mendapatkan informasi terkait tindakan yang akan dilakukan kepada dirinya.

Akan tetapi, pelaksanaan informed consent ini dipengaruhi oleh keadaan pasien, apakah pasien dalam keadaan non darurat atau keadaan darurat. Dalam keadaan non darurat, pasien berhak untuk melakukan informed consent untuk mendapatkan persetujuan terhadap apa yang akan dilakukan terhadap dirinya. Akan tetapi, sering kali ditemui pasien dalam keadaan darurat dan mengalami penurunan kesadaran sehingga sangat tidak mungkin untuk dilakukan informed consent.

Tidak jarang, pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi yang pasrah menyerahkan sepenuhnya pengobatan dirinya kepada rumah sakit yang merawatnya. Menurut UU Praktik Kedokteran Pasal 45, dalam kondisi pasien adalah anak-anak dan orang yang tidak sadar, maka penjelasan diberikan pada keluarganya atau yang mengantar. Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya sedangkan tindakan medis harus dilakukan maka penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien sudah sadar.

Pengaturan kewenangan tenaga medis dalam melakukan tindakan kedokteran diatur dalam UU Kesehatan Pasal 50 yakni tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang

(18)

31

keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Pengaturan tersebut menyangkut pelayanan gawat darurat di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan kedokteran termasuk tindakan spesifik pada keadaan darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga medis, maka yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (darurat) saat itu.

Informed consent merupakan tanggung jawab petugas medis kepada pasien di mana dalam informed consent, petugas kesehatan memberikan informasi diagnostik dan prosedur perawatan, risiko, komplikasi dan alternatif pilihan pengobatan dalam kasus-kasus non darurat sehingga akan meningkatkan komunikasi antara petugas medis dengan pasien. Menurut PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 7, penjelasan tindakan mencakup diagnosis dan tata cara tindakan, tujuan tindakan yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan dan perkiraan pembiayaan.

Gawat darurat adalah kondisi klinik yang memerlukan pelayanan ekstensif segera dengan rawat inap di rumah sakit dan memerlukan pemeriksaan diagnostik atau observasi, yang setelahnya mungkin memerlukan atau mungkin tidak memerlukan rawat inap. Keadaan ini dapat timbul pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja yang disebabkan oleh penyakit mendadak atau kecelakaan, bencana alam atau karena peperangan.

PERMENKES Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan (yang selanjutnya akan disebut PERMENKES Pelayanan

(19)

32

Kegawatdaruratan) telah menentukan kriteria kegawatdaruratan yakni mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan; adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi; adanya penurunan kesadaran; adanya gangguan hemodinamik; dan/atau memerlukan tindakan segera

Dalam UU Kesehatan terlihat bahwa upaya penyelenggaraan pelayanan sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (Pasal 4). Selanjutnya pada Pasal 7 mengatur bahwa Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).

Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 3, menyatakan bahwa setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Yang berhak menandatangani persetujuan adalah pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan kedokteran yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.

Pada keadaan darurat yang memiliki resiko kematian atau kecacatan fisik, tidak diperlukan persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat. Hal ini sesuai

(20)

33

dengan PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 4 yang menyatakan bahwa dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan (UU Praktik Kedokteran Pasal 45).

Persetujuan tindakan dalam kasus emergency termasuk dalam Implied Emergency Consent, di mana bila pasien dalam kondisi gawat darurat yang dapat mengancam jiwanya, tindakan menyelamatkan kehidupan (life saving) tidak memerlukan persetujuan tindakan medik. Dalam hal ini perlu dilakukan tindakan segera untuk menyelamatkan jiwa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan dengan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas atau henti jantung maupun akibat kecelakaan.

a) Fasilitas pelayanan gawat darurat

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (yang selanjutnya akan disebut UU Tenaga Kesehatan) Pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.

Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,

(21)

34

Pemerintah Daerah, dan/atau mayarakat. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (yang selanjutnya akan disebut UU Rumah Sakit) Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa rumah sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelanggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia Tahun 2001 (Kodersi) ditegaskan bahwa rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan merupakan unit sosio ekonomi, yang harus mengutamakan tugas kemanusiaan dan mendahulukan fungsi sosialnya dan bukan untuk mencari keuntungan semata. Sebagai unit sosio ekonomi maka rumah sakit harus memiliki nilai-nilai dasar rumah sakit, yang oleh kepustakaan disebutkan

“... it is necessary for a hospital to stipulate medical standarts which must be observed by the hospital staff as an ethical code and abide by its guiding principles of medical care.”8

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit (yang selanjutnya akan disebut PERMENKES Klasifikasi Rumah Sakit) Pasal 3 menentukan bahwa untuk mendapatkan penetapan klaifikasi rumah sakit maka setiap rumah sakit harus memenuhi pra-syarat yakni Rumah Sakit harus mempunyai kemampuan pelayanan sekurang-kurangnya pelayanan medis umum, gawat darurat, pelayanan keperawatan, rawat jalan, rawat inap, operasi/bedah, pelayanan medik spesialis dasar, penunjang medik, farmasi, gizi, sterilisasi, rekam medik, pelayanan administrasi dan manajemen, penyuluhan

8 Hermin Hadiati Koeswadji, Hukum Untuk Perumahsakitan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hal., 188-189.

(22)

35

kesehatan masyarakat, pemulasaran jenazah, laundry, dan ambulance, pemeliharaan sarana rumah sakit, serta pengolahan limbah.9

Rumah Sakit dapat berfungsi sebagai tempat pelayanan akhir dalam penanganan pasien sesuai dengan kemampuannya. OIeh karena itu sarana, prasarana, dan sumber daya Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus memadai, sehingga mampu menanggulangi pasien (to save life and limb). IGD adalah salah satu unit pelayanan di rumah sakit yang menyediakan penanganan awal (bagi pasien yang datang langsung ke Rumah Sakit)/lanjutan (bagi pasien rujukan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain ataupun dari PSC 119), menderita sakit ataupun cedera yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. IGD berfungsi menerima, menstabilkan dan mengatur pasien yang membutuhkan penanganan kegawatdaruratan segera, baik dalam kondisi sehari-hari maupun bencana.

2.1.3. Sanksi Pelanggaran Informed Consent a) Pidana

1. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 351

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

9 Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Keni Media, Bandung, 2012, hal., 67.

(23)

36

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

2. UU Praktik Kedokteran Pasal 79

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:

a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau

c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Pelanggaran atas tidak dilaksanakannya informed consent adalah pada huruf c, yaitu pasal 51 huruf a yakni kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Dalam memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur (SOP) adalah termasuk adanya informed consent di dalamnya.

3. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (yang selanjutnya akan disebut PP Tenaga Kesehatan) Pasal 34

(24)

37 Barangsiapa dengan sengaja:

a. Melakukan upaya kesehatan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

b. Melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)

c. Melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)

d. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1). Dipidana denda paling banyak Rp 10.000.000., (sepuluh juta rupiah). Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan :

(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk :

a) menghormati hak pasien;

b) menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;

c) memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan;

d) meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;

e) membuat dan memelihara rekam medis.

(25)

38 b) Perdata

Sanksi hukum di ranah perdata berhubungan secara privat antara pasien dengan dokter akibat adanya kerugian yang diderita oleh pasien baik kerugian finansial, kerugian fisik, maupun kerugian psikis.

1. KUH Perdata Pasal 1239

Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

Jika kewajiban dokter tidak dilakukan sesuai dengan prestasi yang diperjanjikan, kemudian timbul kerugian yang di derita pasien akibat kelalaian dokter yang tidak menjalankan prestasinya maka pasien dapat menggugat dokter tersebut. Gugatan tersebut bisa dilaporkan atau dicatatkan ke pengadilan atau bisa diselesaikan dengan negosiasi/mediasi untuk menggantikan kerugian yang diderita.

c) Administratif

Kelalaian atau kesalahan dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang dipertanggung jawabkan secara administratif yakni kelalaian atau kesalahan atas pelanggaran disiplin profesi atau pun pelanggaran etik. Bila ada pengaduan dari pasien mengenai adanya pelanggaran disiplin profesi maka Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI yang akan bertanggung jawab Sedangkan, jika ada pelanggaran etik maka Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) yang akan bertanggung jawab.

(26)

39

Adapun sanksi akibat tidak melakukan informed consent dengan benar sehingga menimbulkan kerugian pada pasien adalah mulai dari teguran lisan/tertulis, pendidikan, skorsing sampai pencabutan Surat Izin Praktek. Hal ini diatur dalam :

1. UU Praktik Kedokteran a) Pasal 67

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.

b) Pasal 68

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.

c) Pasal 69 ayat (3)

Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

a. pemberian peringatan tertulis;

b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau

c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

2. Peraturan Pemerintah Tenaga Kesehatan Pasal 33

(27)

40

(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan.

(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

a. teguran;

b. pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.

(3) Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. PERMENKES Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 19 ayat (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, sampai dengan pencabutan Surat Izin Praktek.

Proses mengenai alur pengeluaran sanksi adalah:

1. Disiplin profesi

a. Pemberian peringatan tertulis dan penyertaan kembali untuk pendidikan langsung diputuskan oleh MKDKI sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan.

(28)

41

b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktek, bila dianggap tingkat kesalahan lebih tinggi, maka MKDKI memberikan rekomendasi kepada KKI (Konsil Kedokteran Indonesia – atasan dari MKDKI) untuk melakukan salah satu kewenanganny, yaitu menerbitkan dan mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dokter/dokter gigi. Dengan dicabutnya STR, otomatis Surat Izin Praktek (SIP) dokter akan berakhir sehingga dokter tidak akan dapat praktek lagi untuk waktu tertentu atau selamanya.

2. Etik

a. Teguran lisan dan tertulis : biasanya pengaduan berada dalam ranah etik, di mana pasien membuat pengaduan ke organisasi profesi (IDI/PDGI), kemudian organisasi profesi melalui MKEK akan menilai tingkat pelanggaran yang bersangkutan. Kemudian hasil pemeriksaan MKEK akan ditindak lanjuti oleh Ketua organisasi profesi.

b. Pencabutan SIP : pencabutan SIP bisa berasal dari pencabutan STR oleh KKI atau dari organisasi profesi sendiri secara langsung, atau tidak memberikan rekomendasi sehingga dokter yang bersangkutan tidak bisa menerbitkan SIP-nya di Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten.

Referensi

Dokumen terkait

• Teori-teori komunikasi interpesonal banyak dipengaruhi konsepsi psikologi humanistis yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional

 Bagaimana pengaruh temperatur operasi sensor dan konsentrasi gas LPG terhadap sensitivitas sensor gas LPG dari material WO 3 yang disintesa dengan metode sol gel dan

07/11/2012 18 QBasic Input data rancangan AutoCAD Pembuatan gambar kerja otomatis QBasic Pengolahan data rancangan Pembuatan dan. penyimpanan

Arah hubungan (r) adalah positif, semakin tinggi luas penutupan kayu apu pada limbah cair tahu maka semakin tinggi pula penurunan nitrat pada limbah cair tahu. 28.Tabel

Untuk nilai indeks dominansi berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai dominansi sebesar 0,59 dengan demikian terkategorikan dominansi jenis tertentu masih

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang “Gambaran pengetahuan Wanita Usia Subur tentang deteksi dini kanker serviks dengan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA ) di

produksi seperti plastik dan kertas pembungkus bahan-bahan pendukung produk. Jumlah limbah ini tidak lebih dari 500kg/hari dan sebagian masih dapat dimanfaatkan

reaksi terbentuknya Ag+z. Disisi lain secara teoritis tidak ada faktor temperatur pada perhitungan efisiensi, sehingga semakin rendah temperatur harga efisiensi arus elektrolisis