• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 3. Nomor 2. Desember 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volume 3. Nomor 2. Desember 2010"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

hak penulis dan penerbit dilindungi undang-undang volume 3, nomor 2, Desember 2010

(2)

Abdul Hadi

Mitra Bestari

Siti Syamsiatun

Ismi Dwi Astututi Nurhaeni

Penyunting Pelaksana Umma Farida Siti Muflichah Nur Said Pimpinan Redaksi Nur Mahmudah Sekretaris Redaksi Primi Rohimi Dewan Redaksi

Siti Malaiha Dewi Setyoningsih Rini Dwi Susanti

Desain Grafis

Muhlisin

Sekretariat

Bunawati

Penerbit

Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus

Alamat Redaksi

PSG STAIN Kudus, Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51 Telp.0291 432677 Fax.0291 441613 Kudus 59322 Email&facebook: jpalastren@yahoo.co.id Website: www.psgstainkds.multiply.com

Jurnal PALASTRèN diterbitkan oleh Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus enam bulan sekali pada bulan Juli dan Desember. Redaksi menerima tulisan baik berupa hasil riset, kajian teks maupun telaah buku yang terkait dengan isu-isu gender atau persoalan perempuan terkini. Tulisan diprioritaskan yang memberi jalan keluar bagi persoalan ketidakadilan gender. Teknik penulisan merujuk pada acuan terlampir. Redaksi berhak memperbaiki susunan kalimat tanpa merubah substansi. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

(3)
(4)

Puji Syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan inayahnya sehingga jurnal PALASTReN dapat kembali hadir secara kontinu dan konsisten untuk melakukan diseminasi gagasan yang berkaitan dengan berbagai isu gender sebagai bagian ikhtiar akademis untuk mewujudkan relasi gender yang adil dan setara.

Selanjutnya tim redaksi menyampaikan terima kasih atas antuasisme pembaca dalam merespon kehadiran jurnal PALASTReN sejak awal hingga memasuki tahun ketiga. Kritik dan masukan pembaca memberikan kontribusi yang penting menuju peningkatan kualitas jurnal. Berbekal keinginan tersebut, tim redaksi berupaya melakukan beberapa pembenahan dalam edisi ini yang dapat pembaca nikmati mulai dari perwajahan hingga penyuntingan.

Substansi edisi ini menyajikan beberapa artikel konseptual dan hasil riset yang berkaitan dengan isu gender ketika di-hadapkan pada norma dan realitas empiris. Dialektika Islam dan relasi gender dalam dataran teks mengetengahkan beberapa tulisan yang menarik. Tulisan pembuka oleh Umma Farida yang berjudul Teks-Teks Keagamaan dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim diharapkan mampu memberikan mapping terhadap berbagai cara pembacaan terhadap teks keagamaan dalam studi Islam yang ramah terhadap perempuan. Kajian tentang seksualitas perempuan dalam teks keislaman dan realitas masyarakat ditawarkan oleh Nur Mahmudah yang melakukan riset tentang teks yang menjadi pembentuk pemikiran di pesantren atau yang biasa dikenal sebagai kitab kuning dalam tulisan Konstruksi Seksualitas Perempuan dalam Literatur Klasik Pesantren (Studi Terhadap Kitab Uqud al-Lujjayn karya Nawawi al-Banteni), dan Muhammad Mustaqim yang mengkaji fenomena sunat perempuan dalam Sirkumsisi Perempuan antara Tradisi Keagamaan dan Kekerasan Gender.

(5)

v Dunia politik perempuan yang diwarnai dialektika antara tradisi dan perilaku politik perempuan dalam masyarakat Samin di Kudus ditawarkan dalam kajian Moh. Rosyid dalam tulisan Perempuan Samin dalam Politik.

Sementara berkaitan dengan domestifikasi terhadap peran perempuan disinggung oleh tulisan Annisa Listiana dengan judul Pekerja Rumah Tangga, Liku Kehidupan dan Perspektif­ Islam Tentangnya sebagai pengalaman perempuan Indonesia. Sementara Dewi Ulya Meilasari membagi pengalaman masyarakat Amerika dalam melakukan pembagian kerja bagi laki-laki dan perempuan dalam rentangan sejarah hingga mampu mewujudkan kesetaraan peran melalui tulisan Pembagian Peran di Rumah Tangga Amerika. Ulasan M. Rikza Khamami yang menyinggung Kreatifitas Perempuan dalam Transformasi Sosial diharapkan dapat mengatasi ketimpangan peran perempuan baik dalam menjalani peran domestik dan peran publik secara adil.

Isu gender dalam buku juga menjadi bagian dari pergulatan mewacanakan kesetaraan menghadirkan dua buah buku. Setyoningsih dalam tulisan Perjuangan Emansipasi melalui Bahasa Perempuan merupakan refleksi terhadap buku Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan (2009). Demikian juga upaya melakukan pembacaan kembali fiqh yang ramah terhadap perempuan dalam buku Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender (2009) menghasilkan tulisan Muhammad Zainal Abidin yang berjudul Taf­sir Baru Fiqh Perempuan.

Sebagai kata akhir, redaktur menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penerbitan edisi ini terutama para penulis yang telah menyiapkan artikel dan hasil penelitiannya untuk diterbitkan. Juga kepada mitra bestari yang banyak memberikan masukan serta para pembaca yang budiman yang tetap kami tunggu saran konstruktifnya. Kepada mereka semua redaktur menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Akhirnya, kami sampaikan SELAMAT MEMBACA.

Kudus, Desember 2010 Redaktur

(6)

IDE UTAMA

Teks-Teks Keagamaan dalam Kajian Kaum Feminis: Telaah terhadap Pendekatan Studi Islam

dari Kalangan Feminis Muslim 203 - 229 Umma Farida

Pekerja Rumah Tangga, Liku Kehidupan

dan Perspektif Islam Tentangnya 230 - 246 Annisa Listiana

Kreatifitas Perempuan dalam

Transformasi Sosial 247 - 262

M. Rikza Khamami

Sirkumsisi Perempuan antara Tradisi Keagamaan

dan Kekerasan Gender 263 - 276

Muhammad Mustaqim

RISET

Konstruksi Seksualitas Perempuan dalam Literatur Klasik Pesantren

(Studi Terhadap Kitab Uqud al-Lujjayn

karya Nawawi al-Banteni) 277 - 305

Nur Mahmudah

Politik Uang di Mata Perempuan:

Studi Kasus pada Pemilu Tahun 2009 306 - 332 Siti Malaiha Dewi

(7)

vii

Perempuan Samin dalam Politik 333 - 360 Moh. Rosyid

Pembagian Peran di Rumah Tangga Amerika 361 - 387 Dewi Ulya Meilasari

BEDAH BUKU

Perjuangan Emansipasi melalui

Bahasa Perempuan 388 - 393

Setyoningsih

Tafsir Baru Fiqh Perempuan 394 - 405 Muhammad Zainal Abidin

(8)
(9)

Ide Utama

Umma Farida*)

ABSTRACT: One of things which establish gender injustice comes from the inaccuracy of reading religious texts included in the Islamic religious texts that are not friendly toward women. This paper discusses a new reading proposed by some Feminist Muslim. It will be reviewed through the interpretation of the creation of women, leadership and woman as wittnesses. This paper suggest that f­undamental structure of religious thought developed by moslem feminist is how to manifest a system of relations and the structure of egalitarian society without discrimination between men and women in the light of guidance of the Qur’an

Keywords: Feminis moslem, Religious Text, Islamic Studies

A. Pendahuluan

Agama merupakan salah satu objek kajian yang sangat menarik tatkala memperbincangkan masalah-masalah perempuan. Ini dikarenakan agama merupakan way of­ lif­e umat Islam, baik laki-laki ataupun perempuanSumber kebenaran dalam agama lebih banyak bertumpu pada kitab suci sebagai kodifikasi firman Tuhan dan kumpulan sabda Nabi (hadis) yang berfungsi sebagai penjelas pesan-pesan wahyu yang bersifat general. Dalam merespon masalah-masalah yang berkembang, seiring dengan meluasnya jangkauan geografis dan lintasan kultural umat, kedua sumber tersebut membutuhkan perantara untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kebenaran Ilahi ini dalam suatu konteks yang berbeda dengan masa pewahyuan. Proses perantaraan ini lebih lazim disebut ‘penafsiran’ dimana

) Penulis adalah Dosen tetap Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus.

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM

KAJIAN KAUM FEMINIS:

Telaah Terhadap Pendekatan Studi Islam dari Kalangan Feminis Muslim

(10)

terjadi relasi yang dialektis antara teks dan konteks yang dalam hal ini diwakili oleh perspektif para penafsir. Tanpa menuduh para mufasir (yang mayoritas laki-laki) dengan sengaja merendahkan perempuan, namun perspektif sebagai produk dari sosialisasi kultur secara kolektif, sedikit banyak akan mempengaruhi penafsiran mereka.

Selama ini pemahaman dan penafsiran para ‘elit agama’ atas teks-teks keislaman dalam kaitannya dengan masalah perempuan ini cenderung menempatkan kaum perempuan dalam posisi ‘nomor dua’ dan mengesankan keunggulan laki-laki atas perempuan.

Di sisi lain, pandangan para feminis hampir seluruhnya menyepakati bahwa agama—khususnya Islam, dan Kristen— adalah termasuk sebuah wilayah seksis. Artinya, dalam agama-agama tersebut banyak menggambarkan citra Tuhan maupun para utusan/nabi sebagai laki-laki, yang pada ujung-ujungnya melegitimasi superioritas laki-laki di atas perempuan. Posisi agama yang merupakan unsur utama kesadaran sosial dan determinan atas berbagai tradisi yang ada di masyarakat, membuat pandangan tentang superioritas laki-laki itu memperoleh justifikasi dari agama. Terlebih teks-teks suci keislaman—dalam konteks ini adalah al-Qur’an dan Hadis—yang secara harfiah memposisikan laki-laki sebagai pihak superior dan kemudian ditafsirkan oleh para mufassir dengan nuansa patriarki (Mustaqim: 41-42).

B. Menjernihkan Istilah Feminisme

Hingga kini masih banyak orang yang salah memaknai feminisme sehingga seringkali kita melihat orang sinis tatkala disebut kata tersebut. Mereka berasumsi bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki. Feminisme dianggap sebagai bentuk pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada, atau institusi rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya. Akibat dari kesalahpahaman ini, maka feminisme kurang mendapat respon positif di kalangan perempuan itu sendiri, apalagi laki-laki, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat.

Sejatinya, secara etimologis kata ‘feminisme’ berasal dari bahasa latin, yaitu f­emina, yang dalam bahasa Inggris

(11)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 205

diterjemahkan menjadi feminine, artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan. Kemudian kata itu ditambah ‘ism’ menjadi feminism, yang berarti bahwa hal ihwal tentang perempuan, atau dapat pula berarti paham mengenai perempuan. Dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut digunakan untuk menunjuk suatu teori kesetaraan jenis kelamin (sexual equality). Secara historis, istilah itu muncul pertama kali pada tahun 1895, sejak itu pula feminisme dikenal secara luas (Mustaqim, 2003: 16).

Menurut Kamla Bhasin Akhmad dan Nighat Said Khan (1995: 5) bahwa feminisme adalah suatu paham aliran yang mempunyai kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, di dalam keluarga, disertai tindakan sadar oleh perempuan atau laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Senada dengan pengertian tersebut, Mansour Fakih (1987: 10) memberikan batasan bahwa gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil menuju sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan demikian hakikat feminisme adalah kesadaran terhadap adanya diskriminasi, ketidakadilan dan subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan sebuah upaya untuk merubah keadaan tersebut menuju suatu sistem masyarakat yang lebih adil. Untuk menjadi feminis tidak harus berjenis kelamin perempuan. Seorang laki-laki pun dapat menjadi seorang feminis asal memiliki concern dan kesadaran untuk mengubah ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sehingga, perhatian utama dari gerakan feminisme adalah terciptanya suatu keadilan (justice), kesetaraan (equality) dalam sistem dan struktur masyarakat.

Feminisme dalam pembahasan ini, mengikuti kerangka Sue Morgan dalam Connolly (1999: 64) merupakan suatu pendekatan yang hendak melakukan dekonstruksi terhadap sistem sosial yang merugikan posisi perempuan karena jenis kelaminnya. Agama sebagai sumber sistem sosial tidak lepas dari perhatian para feminis. Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Atau dengan kata lain, pendekatan ini menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama, praktik-praktik eksklusioner yang melegitimasi superioritas

(12)

laki-laki dalam bidang sosial. Aspek transformatif kemudian meletakkan kembali simbol-simbol sentral, teks, dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan mengokohkan pengalaman perempuan yang diabaikan.

C. Sekilas tentang Sejarah Feminisme

Sebelum membahas lebih lanjut feminisme sebagai sebuah pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami teks-teks agama, disini akan diuraikan terlebih dahulu sejarah gerakan feminisme. Secara historis, gerakan feminisme di Barat muncul sebagai reaksi atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarkis. Munculnya gerakan ini terkait erat dengan lahirnya renaissance di Italia yang membawa fajar baru kebangkitan kesadaran baru di dunia Eropa dan Amerika.

Sara M. Evans, sebagaimana dikutip Kadarusman (2005: 23-26), mengungkapkan bahwa gerakan Women’s Liberation di Amerika merupakan momentum penting dalam sejarah gerakan feminisme. Dalam sejarah feminisme, usaha-usaha yang terorganisasi untuk meningkatkan status kesetaraan gender pertama kali muncul di Amerika Serikat. Gerakan tersebut meliputi perbaikan akses perempuan di bidang pendidikan, sosial dan reformasi politik.

Terhitung sejak gerakan massa Stamp Ampf di tahun 1760-an sampai aksi 1760-antara 1776 d1760-an 1781, kaum perempu1760-an Amerika seperti tak pernah ketinggalan ikut terlibat dalam penyebaran gejolak revolusioner, tanpa dipandang apakah mereka berasal dari kota atau desa. Pada tahun ini pula, kaum perempuan berpartisipasi mengadakan operasi boikot produk-produk impor dari Inggris untuk dihasilkan sendiri. Kesadaran ini meningkat sesuai dengan gagasan John Locke tentang liberalisme: hak untuk bebas, hak atas kehidupan dan hak milik. Dengan sendirinya, peningkatan pendidikan di kalangan perempuan memberi mereka peluang yang semakin lebar di dunia kerja.

Pada tahun 1800, gerakan kesetaraan perempuan mulai berkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi di berbagai negara. Dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan peran perempuan berangsur-angsur meningkat sampai awal tahun 1900. Pada akhir tahun 1920, perempuan Inggris mulai

(13)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 207

diperbolehkan bekerja di luar rumah, yaitu di pabrik-pabrik, karena memang dengan adanya revolusi industri pabrik-pabrik kekurangan tenaga kerja. Sedangkan di Prancis, baru pada tahun 1881 untuk pertama kalinya perempuan yang bersuami dan bekerja di pabrik boleh membuka rekening tabungan tanpa harus memakai nama suami.

Pasca 1920, gerakan ini sempat tenggelam. Baru kira-kira tahun 1960-an ketika Betty Friedan menerbitkan bukunya, The Feminine Mystique (1963) kembali mampu memberikan kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan, bahwa peran-peran tradisional selama ini ternyata menempatkan mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan, yaitu subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan.

Pada tahun 1970-an, kampanye tentang hak-hak perempuan semakin giat dikumandangkan. Pada saat itu sudah banyak kaum perempuan yang memperoleh pendidikan di perguruan tinggi sampai jenjang pendidikan tertinggi. Mereka memiliki hak suara dan ikut menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan di hampir semua negara yang mempunyai prosedur pemilihan umum.

Kampanye gender sampai pula ke dunia Islam Negara Mesir sebagai transformasi sains dan teknologi Eropa merupakan pintu gerbang masuknya kampanye gender dan feminisme ke dunia Islam pada awal abad ke-20. Di antara perubahan yang tampak yaitu kam perempuan Mesir tidak lagi hanya tinggal di rumah. Mereka mulai berperan aktif dalam organisasi, dunia pendidikan dan bahkan politik.

Dapat dipastikan bahwa pandangan perempuan yang sudah mulai berubah dan sadar akan hak-hak mereka ini, mengalami benturan dengan teks-teks keislaman. Tidak semua penafsiran dalam Islam mengusung gagasan kebebasan gender. Dalam berbagai karya tafsir dan fiqh yang dijadikan pegangan untuk mengatur kehidupan umat Islam dijumpai bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang selanjutnya ditanggapi dengan lahirnya gerakan feminisme. Para aktifisnya dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan, baik praktisi maupun akademisi. Di antara mereka terdapat nama-nama Riffat Hassan, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi, dan sebagainya.

(14)

D. Teori-Teori Feminisme

Teori-teori feminisme merupakan gambaran dinamika wacana feminisme. Kaum feminis Islam adalah bagian dari dinamika tersebut. Untuk memahami posisi para feminis Islam dalam peta teori feminisme, maka penting untuk mengidentifikasi nilai-nilai dasar feminisme. Berikut ini sketsa tentang ide dasar teori-teori feminisme yang telah mempengaruhi perkembangan feminisme sebagai pemikiran akademis maupun gerakan sosial:

1. Feminisme Liberal

Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan (f­reedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’ bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan (Fakih, 2007: 81; Narwoko, 2004: 327). Teori ini dipelopori oleh Mary Wollstonecraft (1759-1799), John Stuart Mill, dan Betty Friedan.

Dalam perspektif feminis liberal, persoalan kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau bagian dari partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irrasional serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan, dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan, di antaranya melalui peningkatan pendidikan perempuan dengan menekankan bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama (Rosemary Tong, 1998: 28).

Feminisme liberal tidak pernah mempersoalkan terjadinya diskriminasi sebagai akibat dari ideologi patriarki sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis atas struktur ‘kelas’, politik, ekonomi, serta gender sebagaimana dipermasalahkan oleh gerakan feminis sosialis (Kadarusman: 29).

(15)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 209

2. Feminisme Radikal

Brownmiller dalam Fakih (2007: 84) menyebutkan bahwa teori feminisme radikal ini muncul karena seksisme atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an. Teori ini dirintis oleh Charlotte Perkins Gilma, Emma Goldman, dan Margaret Sanger.

Feminisme radikal berkembang pesat pada tahun 1960-an d1960-an 1970-1960-an di Amerika Serikat. Teori ini disebut radikal karena memfokuskan pada akar dominasi laki-laki dan klaim bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dari supremasi laki-laki dan ideologi patriarkinya. Patriarki yang secara literal berarti ‘peraturan bapak’ adalah sebuah sistem yang menjamin dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan sendirinya, lembaga keluarga dan sistem patriarki menjadi dua institusi yang harus dihancurkan. Keluarga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki sehingga perempuan ditindas (Kadarusman: 31).

Bagi feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan mereka sendiri terhadap kaum laki-laki, sehingga bisa bersifat sangat personal. Menurut mereka, sepanjang perempuan masih meneruskan hubungannya dengan laki-laki, maka akan sulit bahkan tidak akan mungkin berjuang melawan laki-laki. Jadi, dapat dipahami, bahwa golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan ideologi maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum laki-laki (Fakih: 86).

3. Feminisme Marxis

Feminisme Marxis memandang bahwa penindasan perempuan tidak dikarenakan ideologi patriarki, melainkan sebagai akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme (Ilyas, 1997: 48).

Adapun tokoh yang getol mengusung teori ini adalah Great Britain. Meski Karl Marx sebagai pendiri Marxisme tidak menjelaskan posisi perempuan dalam teori perubahan sosialnya, namun sahabatnya Engels-lah yang mengulas masalah ini dalam sejarah pra-kapitalisme dalam bukunya

(16)

yang berjudul The Origins of­ the Family: Private Property and the State. Menurutnya, subordinasi perempuan sekarang terjadi setelah perempuan mengalami kekalahan sistem kapitalis.

Sebelum kapitalisme berkembang, keluarga adalah kesatuan produksi. Seluruh kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya dilakukan ole semua anggota keluarga termasuk perempuan. Tetapi pasca kapitalisme, industri dan keluarga tidak lagi menjadi kesatuan produksi. Kegiatan produksi beralih dari rumah ke pabrik, kemudian terjadi pembagian kerja, perempuan bekerja di sektor domestik yang tidak produktif, dan tidak bernilai ekonomis, sedang laki-laki bekerja di sektor publik dan produktif.

Sebagai jalan keluar yang ditawarkan aliran ini adalah dengan mengembangkan teori materialisme Karl Marx, artinya perempuan harus masuk ke dalam sektor publik yang dapat menghasilkan nilai ekonomi, sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan tidak ada lagi (Mustaqim: 27-28).

4. Feminisme Sosialis

Feminis sosialis mulai dikenal tahun 1970-an. Teori ini berusaha menggabungkan antara feminisme Marxis dan feminisme radikal. Artinya, kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan. Feminisme sosialis inilah yang oleh banyak kalangan terutama pengikut gerakan perempuan, dianggap lebih memiliki harapan (Fakih: 90).

Gerakan feminisme sosialis lebih difokuskan kepada penyadaran kaum perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Menurut mereka banyak perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarki. Contohnya dengan menonjolkan isu-isu betapa perempuan diperlakukan tidak manusiawi, dikurung dalam sangkar emas, sampai pada isu mengapa perempuan yang harus membuat kopi untuk para suami dan sebagainya. Timbulnya kesadaran ini akan membuat kaum perempuan bangkit emosinya, dan secara kelompok diharapkan mengadakan konflik langsung

(17)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 211

dengan kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat konflik antara kelas perempuan dan kelas dominan, diharapkan dapat meruntuhkan sistem patriarki (Ilyas: 53).

Dari uraian di atas, dapat ditarik pelajaran bahwa feminisme sebagai sebuah gerakan berikut teori-teorinya, menginspirasi kelahiran feminisme sebagai pendekatan dalam memahami teks-teks keislaman.

E. Feminisme dalam Studi Islam

Feminisme sebagai sebuah pendekatan untuk mengkaji teks-teks keislaman dalam kerangka kerjanya selalu menggunakan analisis gender sebagai alat untuk mempertajam pandangan mereka. Ini dikarenakan feminisme dan agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada umumnya. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terhadap persesuaian antara pandangan feminis danpandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain (Connolly, 1999: 63). Adapun analisis gender difungsikan untuk memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktik hubungan baru antara kaum laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya (Fakih: xii).

Dalam kajian kaum feminis muslim, berbagai teks keislaman yang berpihak pada tradisi patriarkal harus diinterpretasi ulang untuk memperoleh substansi teks yang egaliter. Sehingga, kajian feminisme dapat dikategorikan sebagai kajian sosiologis dan teologis. Dalam perspektif sosiologis, kajian feminisme berusaha mengkaji persoalan kesetaraan gender melalui dekonstruksi sistem patriarkal dan rekonstruksi sistem egaliter dalam struktur masyarakat. Kajian feminisme perspektif teologis berusaha melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks keislaman yang mengandung muatan sistem patriarkal.

Teologi pembebasan yang diterapkan untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan disebut teologi feminisme (theology of­ f­eminism). Teologi feminisme adalah gerakan reformis dan revolusioner untuk mendekonstruksi ideologi dan pemahaman keagamaan yang bias kelelakian. Dekonstruksi ini

(18)

bertujuan untuk menghapus patriarki, dan mencari landasan teologis atas kesetaraan gender. Gender bukan semata-mata persoalan sosiologis, tetapi telah merambah wilayah ketuhanan (Kadarusman: 35).

Dzuhayatin (2002: 5) mengungkapkan bahwa istilah teologi feminisme (ada pula yang menyebut teologi feminis) di Indonesia tidak secara eksplisit digunakan. Mereka lebih cenderung menggunakan istilah perspektif perempuan dalam agama atau menggunakan analisis gender dalam agama ketimbang teologi feminis. Namun, bukan berarti istilah gender tidak mendapatkan respon yang keras dari kalangan umat beragama di Indonesia tetapi reaksi terhadap feminism nampaknya lebih keras dibandingkan dengan istilah gender. Teologi feminis berpotensi menimbulkan kecurigaan ganda di kalangan umat Islam. Pertama, istilah ‘teologi’, meski bersifat netral sebagai pengetahuan tentang agama, namun cenderung dianggap bias Kristen. Kedua, kerancuan untuk melihat feminisme hanya sebagai ideologi kebebasan perempuan Barat yang identik dengan free sex, aborsi dan anti rumah tangga telah mengaburkan semangat dasar feminisme sebagai kesadaran untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena mereka berjenis kelamin perempuan (Boucher, 1983: 63). Untuk mengkonstruksi teologi feminis Islam, menurut Kuntowijoyo (dalam Dzuhayatin (2002: 9), hendaknya tetap menjadikan iman sebagai f­ramework atau niatan dalam menggunakan teologi feminis sebagai tools of­ analysis terhadap masalah-masalah yang muncul dari pengalaman keberagamaan yang cenderung diskriminatif dari sudut pandang perempuan. Atau dengan kata lain, teologi feminis dalam konteks Islam dimaksudkan oleh kaum feminis untuk membebaskan bagi perempuan dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk kitab suci (baca: al-Qur’an) yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi.

Berikut ini disebutkan pula faktor-faktor yang melatar-belakangi munculnya pendekatan feminisme dalam kajian agama Islam, sebagaimana diungkapkan Mustaqim (2003: 62-74) adalah:

1. Faktor Internal

Kaum feminis muslim berpendapat bahwa pada dasarnya agama Islam itu menegaskan kesetaraan antara

(19)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 213

laki-laki dan perempuan. Meski, misalnya, al-Qur’an menggunakan bahasa (ungkapan) yang secara literal seakan menunjuk pada struktur yang hirarkis, namun secara moral ia justru ingin menghilangkan subordinasi yang dialami oleh perempuan pada masa-masa pra-Islam. Dengan demikian, sesungguhnya ungkapan al-Qur’an adalah ungkapan yang sarat dengan upaya pembebasan, termasuk dalam hal ini adalah pembebasan perempuan dari dominasi dan eksploitasi kaum laki-laki dengan menggunakan prinsip-prinsip keadilan.

2. Faktor Eksternal

a. Realitas Sosial

Kaum feminis rata-rata hidup dalam lingkungan yang sangat patriarkis, dan mereka menyadari bahwa ada pola budaya dan relasi yang ternyata sangat tidak menguntungkan perempuan. Kesadaran tentang hal ini berpengaruh dalam membentuk wacana feminisme dalam mengkaji teks-teks agamanya.

Riffat Hassan misalnya, dalam otobiografi singkatnya, menulis tentang lingkungan di mana ia dilahirkan, yakni di sebuah masyarakat di Pakistan ‘yang lazim merayakan kelahiran seorang anak laki-laki dan meratapi kelahiran anak perempuan. Pikiran Riffat Hassan sendiri mengakui sangat dipengaruhi oleh ibunya yang memang sangat feminis dan selalu menentang tradisi suaminya yang konservatif-tradisionalis-patriarkis.

Feminis muslim lainnya, Fatima Mernissi menghabiskan masa kanak-kanaknya di dalam harem sebagaimana umumnya para gadis Maroko. Harem adalah sebuah ruangan yang dikhususkan untuk dihuni oleh perempuan dan dijaga oleh seorang laki-laki. Perempuan yang tinggal di dalam harem itu dilarang keras keluar sekalipun untuk keperluan berbelanja. Kaum perempuan di dalam harem itu, dipisah dengan kaum laki-laki melalui hudud (pembatas), dan salah satu dari hudud ini adalah pintu harem yang dijaga oleh laki-laki (Mustaqim: 67).

Asghar Ali Engineer, seorang feminis laki-laki yang sangat gencar dalam memperjuangkan kesetaraan laki-laki

(20)

dan perempuan. Dalam hal ini realitas sosiologis, India, negara tempat Asghar berasal, juga sangat berpengaruh dalam mengkonstruksi pemikiran feminis Asghar. Dalam sebagian besar masyarakat India, terutama kalangan menengah ke bawah yang merupakan jumlah mayoritas, kedudukan perempuan dalam keluarga sangatlah lemah. Terjadinya kasus-kasus kekerasan domestik adalah sangat biasa. Contoh lain yang sangat menonjol adalah talak tiga sekaligus yang menurutnya sangat menempatkan perempuan dalam posisi yang seakan tidak dihargai.

b. Persentuhan dengan peradaban Barat

Persentuhan dengan peradaban Barat berperan dalam membentuk pemikiran feminisme. Baik Riffat Hassan, Mernissi, maupun Engineer memiliki basis ilmu-ilmu sosial, ilmu yang nota bene berasal dari Barat, selain ilmu-ilmu keagamaan yang mempengaruhi pandangan hidup mereka.

Kemampuan mereka memahami ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk memahami gejala-gejala keagamaan yang sejauh ini hanya didasarkan pada ilmu-ilmu agama. Mereka tampaknya menyadari bahwa ilmu sosial yang berasal dari Barat itu sangat penting untuk memahami dan ataupun mengkritik gejala yang ada dalam dunia Islam selama ini. Riffat Hassan misalnya, dengan terang-terangan mengakui perlunya mengembangkan apa yang disebut ‘teologi feminisme’ yang sejatinya berasal dari Barat untuk membebaskan muslim dari struktur yang tidak adil dan tidak memungkinkan terjadinya relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan (Mustaqim: 69).

Kecenderungan kaum feminis muslim terhadap ilmu-ilmu sosial itu sendiri tampaknya dapat dipahami melalui latar belakang akademis atau aktifitas sosial mereka yang juga diperoleh dari negara-negara Barat.

c. Perkembangan Global

Globalisasi yang melanda dunia memaksa kaum muslim untuk merumuskan kembali berbagai pemikiran keislaman. Teknologi informasi yang berkembang demikian pesat akhir-akhir ini telah menyebabkan terjadinya perubahan yang demikian kompleks dalam kehidupan umat

(21)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 215

Islam. Pergolakan ‘emansipasi’ dan ‘demokrasi’ di bagian wilayah dunia dengan begitu mudah data diakses oleh umat Islam dan sangat mempengaruhi kehidupannya. Masuknya gagasan feminism di kalangan umat Islam jelas tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perkembangan global yang melanda umat Islam (Mustaqim: 71).

d. Gagasan tentang HAM

Faktor lainnya yang juga mempengaruhi munculnya pemikir feminis dalam Islam adalah ‘serangan’ dunia Barat terhadap Islam yang selalu menuding bahwa Islam tidak menghargai hak-hak kaum perempuan. Tudingan Barat ini memang sulit dibantah meski tidak sepenuhnya benar, karena realitas kebanyakan negara-negara Islam menunjukkan kenyataan itu, bahwa posisi perempuan dalam struktur sosial kehidupan sering berada pada posisi inferior.

Serangan Barat kepada Islam dan tuntutan dunia modern untuk melaksanakan hak-hak asasi manusia (HAM) secara menyeluruh ini agaknya menyadarkan pemikir-pemikir muslim untuk merumuskan kembali ajaran Islam yang secara moral ternyata sangat membela ide-ide egalitarianism dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Permasalahannya adalah penafsiran teks-teks keislaman tentang relasi gender oleh para ulama klasik yang bias patriarki dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia sebab telah memposisikan jenis kelamin laki-laki dalam posisi superior dibandingkan perempuan.

F. Karakteristik dan Corak Kajian Feminis

Pemahaman terhadap teks-teks keislaman oleh para ulama klasik yang cenderung memojokkan perempuan (patriarkis), telah mengundang tanggapan para feminis. Connolly (1999: 78) menyebut para feminis yang berupaya memberikan pemahaman yang sesuai atas kalam Tuhan yang ada, dengan mengusulkan rangkaian pandangan yang merefleksikan pengalaman kedua jenis gender dengan nama ‘feminis religius’.

Dalam rangka membangun paradigma teologi feminis yang erat kaitannya dengan isu-isu keperempuanan, kaum feminis menggunakan pendekatan dua level, yaitu:

(22)

Pertama, pendekatan normatif-idealis, artinya bahwa teologi feminis yang hendak dirumuskan itu mengacu kepada norma-norma yang bersumber dari ajaran Islam yang ideal. Paling tidak ada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis yang selalu dijadikan rujukan oleh kaum muslimin dalam memecahkan berbagai persoalan hidup, baik persoalan sosial budaya, ekonomi maupun yang menyangkut persoalan keagamaan pada umumnya. Dalam pandangan kaum feminis, sumber utama dan pertama yang dijadikan rujukan itu adalah al-Qur’an yang diyakininya sebagai sumber nilai tertinggi. Dalam konteks ini mereka akan melihat bagaimana al-Qur’an menggariskan prinsip-prinsip dasarnya yang lebih bersifat idealis normatif, misalnya bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur’an, baik tingkah lakunya, hubungannya dengan Tuhannya, dengan orang lain, dan dengan dirinya sendiri. Model pendekatan ini bersifat deduktif.

Kedua, pendekatan historis-empiris. Setelah melihat secara cermat dan kritis bagaimana sebenarnya pandangan ideal-normatif (terutama yang bersumber dari al-Qur’an), kaum feminis mencoba melihat bagaimana kenyataan secara empiris-historis kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Berdasar data empiris inilah kaum feminis mendapati kesenjangan antara idealis-normatif-metafisis dengan yang historis-empiris-realistis.

Jika demikian kenyataannya, berarti ada something wrong dalam sejarah perempuan. Padahal, mestinya f­undamental values yang ada dalam al-Qur’an seperti semangat kebebasan, keadilan, kesejajaran dan penghormatan atas hak-hak asasi kemanusiaan dapat terjabarkan dan teraktualisasikan dalam historisitas kemanusiaan yang nyata. Karena al-Qur’an diturunkan jelas bisa diamalkan dan harus diamalkan. Inilah rupanya yang salah satu hal yang menjadi kegelisahan dan mendorong kaum feminis untuk melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung bias-bias patriarkhi (Mustaqim: 107-108).

Meski tujuan para feminis ini adalah senada, yakni untuk memperoleh pemahaman atas teks-teks keislaman yang adil secara gender, namun ternyata mereka dapat digolongkan dalam kelompok yang berbeda berdasarkan corak pemikiran mereka. Ghazala Anwar dalam Zakiyuddin Baidhawy (1996: 7-14) menggolongkan pemahaman feminis terhadap teks-teks keislaman kepada lima macam, yaitu: feminis apologis, feminis reformis, feminis transformis, feminis rasionalis, feminis rejeksionis.

(23)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 217

1. Feminis Apologis

Feminis apologis ini meyakini bahwa Islam sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an dan Hadis telah memberikan semua hak yang diperlukan oleh kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan bagi kesejahteraan dan pemenuhan pribadi masing-masing. Keyakinan ini memunculkan dua perbedaan. Pertama, ada perbedaan yang tak bisa dipungkiri antara kebutuhan dan keinginan laki-laki dengan kebutuhan dan keinginan perempuan, yang dipahami dan dilayani oleh ayat-ayat dalam al-Qur’an. Kedua, praktik umum dalam berbagai komunitas muslim menyalahi atau tidak memenuhi seluruh hak bagi perempuan sebagaimana telah tersurat dalam teks-teks otoritatif (al-Qur’an dan Hadis).

Penekanan mereka bukan pada upaya untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an agar berdampak kepada dua jenis kelamin, namun dengan mendidik perempuan tentang makna dan tafsiran teks-teks tersebut. Cara ini menurut Anwar relatif tidak membangkitkan emosi kalangan konservatif dan dianggap oleh Anwar sebagai jenis feminisme yang ‘aman’.

2. Feminis Reformis

Persoalan utama feminis reformis adalah adanya perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan tafsiran-tafsiran tentangnya, bukan perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan praktik budaya sebagaimana diyakini feminis apologis.

Bagi feminis reformis, teks-teks al-Qur’an telah disalahpahami secara tidak memadai dan/atau disalahtafsirkan. Sebagaimana para apologis, para reformis juga menggunakan argumen-argumen filologis dan kontekstual untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an, namun mereka lebih sadar akan kebutuhan untuk menafsirkan kembali sekaligus sadar akan keterlibatan diri mereka dalam kegiatan semacam itu.

3. Feminis Transformasionis

Feminis transformasionis bertujuan untuk mentrans-formasikan tradisi dengan tetap menggunakan metodologi hermeneutik klasik yang telah akrab dalam wacana Islam tradisional. Dasar hermeneutik feminis transformatif ini sudah dikenal dalam wacana Islam klasik, namun dirumuskan dengan

(24)

rumusan-rumusan yang baru dan berbeda sama sekali dengan rumusan yang ada dalam wacana Islam klasik. Misalnya, pengkategorian teks-teks al-Qur’an menjadi dan . Dalam wacana Islam tradisional, suatu teks disebut muhkamãt apabila maknanya sudah jelas dan tegas secara literal, yang tidak memerlukan penafsiran ulang. Sementara teks-teks al-Qur’an disebut jika maknanya masih samar, tidak jelas, ambigu, dan seterusnya.

Metodologi ini memang dirumuskan dari teks al-Qur’an sendiri yang menyatakan, “Dialah yang menurunkan kepadamu al-Kitab, di antara ayat-ayatnya ada yang , itulah isi kitab inti, dan yang lain adalah (QS. Ali Imran: 7). Masalahnya adalah mana ayat-ayat yang termasuk kategori muhkamat dan mana yang termasuk mutasyabihat, tidak ada kesepakatan di kalangan para ulama. Salah seorang pemikir Islam Indonesia, Masdar F. Mas’udi (1997: 51-55), memperbaharui

konsep dan tersebut.

Ia tidak setuju dengan makna kedua konsep tersebut seperti yang dikemukakan oleh mufassir klasik. Ia memang sepakat dengan para mufassir klasik, bahwa teks-teks adalah teks yang jelas maknanya dan yang adalah yang samar. Namun berbeda dengan mufasir klasik yang memahami makna dan secara literal, yakni memahami makna ayat secara harfiah. Masdar menegaskan bahwa kejelasan atau kesamaran itu adalah pada pesan, ruh, substansi teksnya. Dan substansi teks itu tidak lain adalah pesan-pesan keadilan, hak asasi, kesetaraan, demokrasi dan lain-lain.

Model hermeneutis yang digagas Masdar ini jelas sekali mempunyai implikasi yang sangat jauh dan kemungkinan yang luas sekali dalam menafsirkan ulang teks-teks keislaman yang dalam pandangan para feminis, terkenal seksis dan tidak adil. Pembacaan terhadap teks-teks al-Qur’an yang kelihatannya secara literal seksis, bisa ditafsirkan ulang sehingga bias gender yang terasa tidak adil bisa ditransformasikan kepada makna yang lebih setara secara gender.

4. Feminis Rasionalis

Feminis rasionalis, seperti Amina Wadud dan Riffat Hassan, menyatakan bahwa karena Allah itu Maha Adil dan Maha Pengasih, maka kata-kata-Nya hanya bisa ditafsirkan

(25)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 219

dalam istilah-istilah yang selaras dengan kualitas-kualitas Ilahi tersebut. Pandangan ini tentu saja berarti menerapkan kriteria keadilan kepada al-Qur’an, daripada hanya sekadar menerima begitu saja bahwa al-Qur’an pastilah adil. Atau, ia mengambil pandangan tentang keadilan yang dikembangkan dalam sebagian ayat al-Qur’an, serta menggunakannya untuk menilai ayat-ayat lain yang tampaknya mengguncangkan pandangan tentang keadilan itu.

5. Feminis Rejeksionis

Berbeda dengan aliran feminisme yang lain, aliran feminisme ini menganggap bahwa memang terdapat teks-teks dalam al-Qur’an dan hadis dalam kaitannya dengan masalah perempuan yang misoginis, seksis, dan diskriminatif. Tilik rujukan mereka adalah pengalaman perempuan. Oleh karena itu, argumen apapun di luar itu—dari manapun sumbernya—yang mendukung diskriminasi terhadap perempuan akan ditolak.

Tasleema Nasreen dari Bangladesh adalah contoh pengikut aliran feminisme rejeksionis ini. Menurut Anwar, Nasreen mengemukakan perlunya merevisi atau bahkan menolak sebagian teks al-Qur’an yang dianggap misoginis atau seksis tersebut.

G. Memahami Teks-teks Keislaman dalam Kajian Kaum

Feminis

1. Konsep Penciptaan Manusia

Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan adalah isu yang sangat penting dan mendasar dibicarakan lebih dahulu, karena konsep kesetaraan atau ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan ini.

Dalam tradisi Islam dikenal dan diyakini empat macam cara penciptaan manusia: (1) Diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam As.) dalam QS. : 11, : 11, dan al-Hijr: 26; (2) Diciptakan dari (tulang rusuk) Adam (penciptaan

) dalam QS. : 1, : 189, Az-Zumar: 6; (3) Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah (penciptaan Nabi Isa As.) dalam QS. Maryam: 19-22; (4)

(26)

Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis (penciptaan manusia selain Adam, Hawa, Isa) dalam

QS. : 12-14.

Berbeda dari ketiga macam cara penciptaan yang lain, ayat-ayat tentang penciptaan Hawa tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci mekanisme penciptaan Hawa. Dalam ketiga ayat tersebut hanya disebutkan bahwa “dari padanya (naf­s wahidah-Adam), Dia menciptakan istrinya“ (zaujaha-Hawa). Redaksi ini sangat potensial untuk ditafsirkan secara kontroversial (Ilyas: 62).

Para mufassir pada umumnya seperti az-Zamakhshari, , dan sepakat menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan naf­s wahidah dalam an- : 1 adalah Adam, dan zawjaha adalah istrinya (Hawa). Argumen yang mereka kemukakan: (1) Berdasar ayat, min yang terdapat dalam kalimat wa khalaqa minha zaujaha adalah min yang dengan demikian berarti Hawa diciptakan dari sebagian Adam; (2) Berdasar hadis Rasulullah SAW. riwayat Bukhari dan Muslim, yang menyebutkan secara eksplisit penciptaan H{awa dari tulang rusuk Adam.

Sementara kaum feminis seperti Riffat Hassan (2000: 55-66) berpendapat bahwa naf­s wahidah tidak dapat dipastikan adalah Adam, karena baik kata naf­s, maupun zawj bersifat netral, tidak menunjukkan jenis kelamin tertentu. Bagi Riffat, Adam bukanlah nama diri, melainkan nama jenis secara linguistik, bukan menyangkut jenis kelamin. Jika “Adam” belum tentu laki-laki, maka zawj Adam pun belum tentu perempuan.

Riffat juga menolak penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Menurutnya, Hawa juga diciptakan dari tanah seperti penciptaan Adam. Argumen yang dia kemukakan: (1) min dalam ayat tersebut menunjukkan jenis yang sama. Artinya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, yaitu dari tanah; (2) Semua hadis tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam lemah, baik dari segi sanad ataupun matan. Dari segi sanad, empat orang perawinya (Maisarah al-Asyja’i, Haramalah bin Yahya, Zaidah, dan Abu Zinad --menurutnya--didha’ifkan oleh kritikus hadis adz-Dzahabi. Dari segi matan, bertentangan dengan al-Qur’an karena mengandung elemen-elemen misoginik yang bertentangan dengan konsep penciptaan manusia fi ahsan at-taqwim. Disamping itu Riffat mengaku tidak dapat memahami

(27)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 221

relevansi statemen bahwa bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas; (3) Cerita tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak lebih dari dongeng-dongeng Genesis 2 yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui asimilasinya dalam kepustakaan hadis (Riffat: 75).

Sedangkan pemahaman Amina Wadud Muhsin terhadap QS : 1 tidak secara tegas menyebutkan penolakannya bahwa yang dimaksud naf­s di sini adalah Adam mengingat minimnya penjelasan al-Qur’an tentang ini. Menurutnya, kata naf­s secara gramatikal adalah feminin, namun secara konseptual naf­s tidak feminin maupun maskulin. Ia juga mengungkapkan bahwa menurut kisah al-Qur’an tentang penciptaan, Allah tidak pernah berencana memulai penciptaan manusia dengan seorang laki-laki; Dia juga tidak pernah merujukkan asal-muasal manusia pada Adam. Dengan demikian, secara teknis kata naf­s dalam al-Qur’an merujuk pada asal semua manusia secara umum. Meskipun manusia berkembang biak di muka bumi dan membentuk bermacam-macam negara, suku, dan bangsa yang berlainan bahasa dan warna kulit, namun mereka semua berasal dari sumber yang sama (Amina: 42-43).

Mengenai teknis penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas, apakah H}awa diciptakan dari tulang rusuk Adam seperti pendapat para mufassir, atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara yang sama dengan penciptaan Adam seperti pendapat Riffat. Dia hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab, pertama, dapat digunakan sebagai preposisi (kata depan) ‘dari’ untuk menunjukkan makna’menyarikan sesuatu dari sesuatu yang lainnya. Kedua, dapat digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya. Bila min pada kalimat minha dalam : 1 digunakan fungsinya yang pertama (preposisi) maka maknanya Hawa diciptakan dari Adam (seperti umumnya pendapat mufassir), sebaliknya jika digunakan fungsi min yang kedua maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Penggunaan min yang terakhir ini dapat dilihat contohnya pada QS. Ar-Rûm: 21 misalnya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri (min anfusikum) supaya kamu tenteram.” Meski demikian, Amina terkesan tidak menyukai kemungkinan pertama, sekalipun tidak secara tegas memilih yang kedua.

(28)

2. Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga

Kepemimpinan rumah tangga menurut para mufassir klasik dengan berdasar QS An-Nisâ’: 34 ditafsirkan sebagai kepemimpinan suami atas istri. Menurut feminis, paham yang menempatkan suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karenanya, para feminis muslim—Asghar Ali Engineer, Amina Wadud, dan Riffat Hassan—berupaya untuk melakukan penafsiran kembali terhadap ayat tersebut, tentu saja setelah membongkar penafsiran lama yang dinilai bias gender. Para ulama memaknai kata dalam QS. An-Nisa: 34 tersebut sebagai pemimpin. Al-Qur’an mengemukakan dua alasan kenapa suami yang menjadi pemimpin. Pertama, karena kelebihan yang diberikan Allah kepada mereka. Kedua, karena kewajiban mereka memberi nafkah keluarga. Meski demikian, para ulama masih berselisih pendapat mengenai maksud ‘kelebihan’, apakah yang dimaksud kelebihan fisik, intelektual atau agama, atau semuanya sekaligus.

Menurut Asghar, QS. : 34 tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial pada waktu ayat itu diturunkan. Menurut dia, struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, al-Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali (Asghar, 1994: 61).

Asghar mengungkapkan bahwa keunggulan laki-laki adalah keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin. Pada masa ayat itu diturunkan, laki-laki bertugas mencari nafkah dan perempuan di rumah menjalankan tugas domestik. Karena kesadaran sosial perempuan waktu itu masih rendah, maka tugas mencari nafkah dianggap sebagai sebuah keunggulan. Apabila kesadaran sosial kaum perempuan sudah tumbuh, bahwa peran-peran domestik yang mereka lakukan harus dinilai dan diberi ganjaran yang serupa sesuai dengan doktrin yang diajarkan oleh al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 21), bukan semata-mata kewajiban yang harus mereka lakukan, maka tentu perlindungan dan nafkah yang diberikan laki-laki terhadap

(29)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 223

mereka tidak dapat lagi dianggap sebagai keunggulan laki-laki, karena peran-peran domestik yang dilakukan perempuan, laki-laki harus mengimbanginya dengan melindungi dan memberi nafkah yang oleh al-Qur’an disebut sebagai itu. Karena itu, kepemimpinan suami atas istri bersifat kontekstual, bukan normatif. Apabila konteks sosialnya berubah, doktrin itu dengan sendirinya juga akan berubah.

Dia membangun pendapatnya itu dengan menggunakan

argumen struktur kalimat . Dalam

bukunya, ia mengatakan: Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus menjadi . Dapat dilihat bahwa adalah merupakan sebuah pernyataan kontekstual, bukan normatif. Seandainya al-Qur’an mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi maka ia akan menjadi sebuah pernyataan normatif, dan pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan hal itu (Asghar: 62-63).

Riffat tidak setuju jika diartikan sebagai pemimpin, penguasa. Ia lebih cenderung mengartikannya dengan pelindung. Pelindng juga terkandung di dalamnya sebagai pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana pendukung perempuan.

Berbeda dengan Riffat, karena perempuan mengemban fungsi penting dalam reproduksi, Amina menerima kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, namun harus memenuhi dua hal (1) Laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya dan kelebihan itu digunakan untuk mendukung perempuan. Kelebihan laki-laki yang dimaksud Amina hanyalah kelebihan hak waris yang secara jelas ditetapkan oleh al-Qur’an. Dengan demikian, terdapat hubungan timbal balik antara hak istimewa yang diterima dengan tanggung jawab yang dipikul. Laki-laki memiliki tanggung jawab menggunakan kekayaannya untuk mendukung perempuan, sehingga ia dijamin harta warisannya sebanyak dua kali lipat. Di sini tampak bahwa dalam menafsirkan QS. An-Nisa’: 34 Amina lebih menekankan pada kata (Amina, 2003: 121).

Amina (2003: 122) juga mengkritik penafsiran laki-laki yang sering mengabaikan dua prasyarat kepemimpinan

(30)

laki-laki sebagaimana diuraikan di atas. Ia menulis:

Banyak laki-laki yang menafsirkan ayat di atas sebagai indikasi tak bersyarat dari pelebihan laki-laki di atas perempuan. Mereka menandaskan bahwa ‘Laki-laki diciptakan Tuhan lebih tinggi daripada perempuan (dalam hal kekuatan dan akal)’. Akan tetapi, penafsiran ini tak berdasar karena tidak ada keterangan dalam ayat tersebut yang menyatakan superioritas fisik atau intelektual laki-laki.

Pengertian semacam ini menjadikan tidak setiap laki-laki secara otomatis memiliki kelebihan atas istrinya. Hak mendapat warisan lebih banyak dari perempuan memang sudah dijamin oleh al-Qur’an, tapi apakah warisan itu digunakan untuk mendukung perempuan—dalam konteks ini istrinya—tentu harus dibuktikan. Oleh sebab itu, kelebihan itu tidak bisa tidak harus bersyarat, karena QS. An-Nisa’: 34 tidak mengatakan ‘mereka’ (jamak maskulin) telah dilebihkan atas mereka (jamak feminin). Ayat itu menyebutnya (sebagian) di antara mereka atas (sebagian lainnya). Penggunaan kata berhubungan dengan hal-hal yang nyata teramati pada manusia. Tidak semua kaum laki-laki unggul atas kaum perempuan dalam segala hal. Sekelompok laki-laki memiliki memiliki kelebihan atas sekelompok perempuan dalam hal-hal tertentu. Demikian pula sebaliknya, perempuan juga memiliki kelebihan atas laki-laki dalam hal-hal tertentu (Ilyas: 85).

3. Konsep Kesaksian 1: 2 dan Warisan 2:1

Terhadap konsep kesaksian, Asghar menyatakan bahwa dua kesaksian perempuan sebanding dengan satu kesaksian laki-laki—yang berlaku khusus pada transaksi bisnis—itu tidak menunjukkan inferioritas perempuan. Hal itu semata-mata karena pada masa itu perempuan tidak mempunyai pengalaman yang memadai dalam masalah keuangan, dan karena itu dua saksi perempuan dianjurkan oleh al-Qur’an. Sehingga jika terjadi kelupaan maka salah seorang dapat mengingatkan yang lain. Selain itu, Asghar juga mengingatkan bahwa walaupun dua saksi perempuan dianjurkan sebagai pengganti seorang saksi laki-laki, hanya salah seorang di antara keduanya yang memberikan kesaksian, yang lain berfungsi tidak lebih dari pengingatnya jika dia bimbang (Asghar: 88).

(31)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 225

Senada dengan Asghar, Amina juga mengungkapkan bahwa dalam ayat tidak disebutkan bahwa kedua perempuan tersebut sebagai saksi. Seorang perempuan diperlukan untuk mengingatkan yang lainnya, sehingga ia bertindak sebagai mitra yang lainnya. Penyaksian dua saksi ini mengindikasikan upaya untuk mencegah penyelewengan. Jika salah seorang keliru, atau terbujuk untuk memberikan kesaksian palsu, maka ada yang satunya lagi untuk mendukung ketentuan perjanjian. Tetapi, mengingat perempuan dalam masyarakat ketika itu mudah untuk ditekan, jika salah satu dari dua saksi tadi adalah perempuan, maka dia akan menjadi sasaran empuk pemaksaan oleh laki-laki yang ingin mencabut kesaksiannya. Kalau ada dua orang perempuan, maka mereka dapat saling mendukung. Satu kesatuan yang terdiri atas dua perempuan dengan fungsi yang berbeda ini tidak saja memberi nilai signifikan pada tiap-tiap individu, tetapi juga membentuk satu front yang terpadu untuk menghadapi saksi lain.

Disamping itu, menurut Amina, satu saksi laki-laki ditambah satu kesatuan yang terdiri atas dua perempuan ini tidaklah sama dengan formula dua-banding-satu, sebab jika tidak demikian, maka empat saksi perempuan dapat menggantikan dua saksi laki-laki. Tetapi, al-Qur’an tidak memberikan alternatif ini (Amina: 148).

Mengenai formula warisan 2:1, ternyata Asghar tidak menilai ketentuan ini bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Menurut Asghar, selain mendapatkan bagian dari warisan, nanti setelah anak perempuan itu kawin, di akan mendapatkan tambahan harta berupa mas kawin dari suaminya. Padahal disamping itu dia tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menafkahi dirinya sendiri dan anak-anaknya, karena semuanya sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Hanya saja Asghar mengkritik penafsiran yang menjadikan ketentuan warisan ini sebagai alasan untuk menganggap anak perempuan lebih rendah nilainya dibanding anak laki-laki. Menurut dia, pandangan seperti ini sangat keliru, karena kesetaraan laki-laki dan perempuan termasuk kategori moral, sementara warisan masuk kategori ekonomi. Pewarisan sangat banyak tergantung kepada struktur sosial dan ekonomi dan fungsi jenis kelamin tertentu di dalam masyarakat (Asghar: 97)

(32)

Berbeda dengan Asghar, Menurut Amina, meski pernyataan awal al-Qur’an, dalam QS an-Nisa: 11-12 menetapkan ‘bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan’, namun kajian yang lengkap atas ayat ini menunjukkan variasi pembagian yang proporsional antara laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka bagiannya adalah setengah harta pusaka. Selain itu, pertimbangan orangtua, saudara kandung, kerabat jauh, maupun anak-cucu dibahas dalam berbagai kombinasi yang berbeda-beda untuk menunjukkan bahwa bagian perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki bukanlah satu-satunya model pembagian harta, melainkan salah satu dari beberapa penetapan proporsional yang bisa dilakukan (Amina: 150). Dengan demikian dalam pandangan Amina, pembagian warisan bersifat fleksibel dengan mempertimbangkan naf’un (manfaat) bagi orang-orang yang ditinggalkan. Ia memberikan contoh, jika dalam suatu keluarga yang terdiri atas seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, sang ibu yang janda dirawat dan dinafkahi oleh salah seorang anak perempuannya, mengapa anak laki-laki harus menerima bagian yang lebih besar? Mungkin bukan ini keputusannya jika diperhatikan naf’un yang nyata bagi ahli waris tertentu (Amina: 151).

H. Menimbang Pendekatan Kaum Feminis terhadap

Teks-teks Keislaman

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kaum feminis ingin membangun kerangka dasar paradigmatik model pemahaman baru terhadap teks-teks keislaman (khususnya al-Qur’an) dan isu-isu keperempuanan. Sebab mereka yakin bahwa selama ini telah terjadi pencemaran dan distorsi historis antara ajaran Islam normatif yang bersumber pada al-Qur’an dengan Islam historis yang selama ini dipraktikkan di masyarakat patriarki. Sehingga, diperlukan keberanian mengkritisi produk-produk penafsiran yang bias gender, karena produk-produk-produk-produk tafsir yang bias gender cenderung melahirkan perilaku yang bias gender pula.

Suatu produk tafsir sudah seharusnya mampu berperan menjadi agen perubahan-perubahan sosial (agent of social change). Perubahan itu sendiri antara lain diawali dengan mengubah sistem teologi yang lebih sensitif gender. Sehingga,

(33)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 227

tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep pemahaman kaum feminis terhadap teks Islam mencerminkan pandangan yang kritis dan liberatif yang mampu merespon isu-isu sosial-keagamaan kontemporer, seperti kesetaraan gender, demokrasi, dan HAM. Sebab, penafsiran yang dideduksi dari ayat-ayat al-Qur’an seharusnya tidak hanya sekadar konsep dan nilai-nilai normatif yang idealis-metafisis yang hanya ada di kertas (on paper), akan tetapi harus mampu membentuk karakter sosial yang objektif.

Pendekatan apapun yang digunakan dalam memahami dan menginterpretasi teks-teks keislaman pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Dilihat dari perspektif epistemologi—dengan meminjam kategori M. Abid al-Jabiri—maka pendekatan yang digunakan kaum feminis menganut corak epistemologi bayani, yakni sebuah corak epistemologi berpikir yang tetap masih mengacu kepada teks suci. Namun karena ia juga menggunakan model berpikir filsafat, sehingga rasionalisasi pemahaman teks menjadi cukup dominan. Ini menunjukkan corak berpikir kaum feminis tidak murni bayani, melainkan juga bercampur burhani (demonstratif filosofis). Sehingga betapapun rasionalnya pemikiran kaum feminis, mereka masih mengakui sakralitas teks, dan akan tetap menjadikan teks sebagai titik tolak berpikir.

Menurut Ian G. Barbour, sebagaimana dikutip Mustaqim (2003: 176), ada dua ciri menonjol dalam corak pemikiran dan kajian terhadap agama, termasuk kajian yang dilakukan kaum feminis, yaitu: Pertama, pemikiran keagamaan itu bersifat personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Pemeluk agama—termasuk dalam hal ini adalah kaum feminis—yang concern terhadap al-Qur’an akan mempertahankan ideologi dan pemikirannya dengan gigih. Kedua, bahasa yang digunakan pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku atau actor, bukan bahasa peneliti dari luar, sehingga kadang sisi subjektifisme dalam rumusan-rumusan pemikiran keagamaan juga tidak bisa dihindarkan sama sekali.

Kesungguhan kaum feminis meneliti dan mengkaji ulang prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an demi mencapai tujuan yang diperintahkan agama adalah bentuk personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Sedangkan bahasa yang dipakai kaum feminis juga mencerminkan seorang aktor dari dalam. Mayoritas kaum feminis merasakan sebagai pelaku

(34)

korban dari diskriminasi sistem patriarki. Dari sini, maka dapat dilihat bahwa struktur fundamental dari pemikiran keagamaan yang dibangun kaum feminis adalah bagaimana agar terwujud suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa diskriminasi antara lelaki dan perempuan di bawah sinar petunjuk al-Qur’an.

Mayoritas kaum feminis memiliki kecenderungan hanya berpegang pada al-Qur’an (Qur’an oriented) dan dalam beberapa kasus mengabaikan hadis terutama jika hadis tersebut menurutnya tidak sejalan dengan semangat al-Qur’an. Sebab menurut mereka, tidak ada jaminan mengenai otentisitas hadis, seperti terhadap kasus penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam. Meskipun riwayat tersebut telah dianggap shahih oleh dua orang imam ahli hadis, yaitu Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

Meski demikian, pemahaman ataupun pemikiran kaum feminis terhadap teks-teks keislaman hendaknya tetap tidak mengarah pada truth claim, klaim kebenaran sepihak tanpa ada dialog komunikatif dengan pihak-pihak lain. Artinya, jika hasil pemahaman dan interpretasi kaum feminis kemudian dipahami secara ideologis, kaku, dan tidak terbuka, maka juga akan mengarah pada dogmatisme dan fanatisme yang sempit. Karena bisa jadi kaum feminis yang tadinya mengkritik bahwa hasil penafsiran al-Qur’an selama ini mengandung bias laki-laki, pada akhirnya justru mereka sendiri terjebak pada bias-bias keperempuanan. Terlebih, adanya kecenderungan umum jika seorang penafsir memiliki idelogi tertentu, maka hasil interpretasinya sedikit banyak juga cenderung bias ideologi. Oleh karena itu, dalam mengkaji teks-teks keislaman, seorang feminis juga harus bersifat terbuka dan jangan dianggap sebagai sesuatu yang final.

I. Penutup

Pemahaman atas teks-teks keislaman sebagaimana yang dilakukan kaum feminis pada dasarnya merupakan refleksi kritis yang berperspektif gender, dimana mereka ingin melihat isu-isu perempuan dalam bingkai teologi feminis yang berwawasan kesetaraan, keadilan dan dilandasi semangat menghormati hak-hak asasi manusia, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sebagai sebuah ijtihad baru, kajian feminis memang perlu diapresiasi, tapi tidak disakralkan.

(35)

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 229

Abdul Mustaqim, Taf­sir Feminis versus Taf­sir Patriarki, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.

Ahmad, Kamla Bhasin, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya, 1994.

Boucher, David, The Feminist Challenge: the Movement for Women’s Liberation in Britain and the United States, London: McMillan Press, 1983.

Conolly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS, 1999.

J. Dwi Narwoko, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, 2004.

Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transf­ormasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1997.

Riffat Hasan & Fatima Mernisi, Setara di Hadapan Allah,. Yogyakarta: LSPPA, 2000.

Rosemary Putnam Tong, Feminist Thought, terj. Aquarini Priyatna, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.

Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga & Pustaka Pelajar, 2002.

Wadud, Amina, Qur’an menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Jakarta: Serambi, 2003.

Waryono Abdul Ghafur, Gender dan Islam: Teks dan Konteks, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002.

Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an: Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Zakiyuddin Baidhawy, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

(36)

Annisa Listiana*)

ABSTRACT: A domestic Worker (PRT) is anyone who

works within the scope of the household either male or female, young or old, even a child. Actually, they have given a huge contribution to their family in Indonesia, and donated income for the country. But on top of legal documents, they are not recognized by the Labor Law as an appropriate form of formal employment that deserve to be given protection by the existing laws and regulations. In the Islamic perspective, women and men are required to work in accordance with the potential and capacity in order to obtain a decent living or to meet family needs. Al Quran does not mention a specific job for a certain gender. Women and men can work inside or outside the home. Working as a domestic worker is not lower than other professions as long as conducted by and for the good purpose.

Keywords: Domestic Workers (PRT), Islamic Perspectives.

A. Pendahuluan

Fenomena di bawah ini seringkali ditayangkan di televisi dan bahkan kita seringkali melihat dan mendengar berita di sekitar kita yang menceritakan tentang berbagai macam permasalahan pekerja rumah tangga (PRT) atau yang lebih sering orang menyebut pembantu rumah tangga, berikut ilustrasi beberapa PRT yang dapat kita baca dan kita cermati:

Adalah Yanti seorang PRT berasal dari Purwodadi yang berusia 15 tahun, dengan harapan ingin membahagiakan orangtuanya, dia berangkat ke kota Jakarta untuk bekerja. Di Jakarta karena ) Penulis adalah Dosen STAIN Kudus

PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT),

LIKU KEHIDUPAN DAN PERSPEKTIF ISLAM

TENTANGNYA

(37)

PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _

(Annisa Listiana) 231

hanya lulusan SMP dia terpaksa harus jadi Pekerja Rumah tangga. Dia berangkat ke Jakarta diajak temannya yang juga bekerja sebagai PRT. Tidak seperti keinginannya ternyata dia bekerja untuk menggantikan temannya dengan upah 150.000 rupiah selama satu bulan. Kemudian dia pindah ke tempat lainnya, di tempat yang baru ini juga tidak seperti harapannya, ia sering disalahkan oleh majikannya yang berujung pada penganiayaaan, tidak diberi makan teratur, akhirnya dia tidak tahan dengan siksaan majikan, ia kabur dari rumah dan minta tolong kepada temannya yang membawanya ke Jakarta untuk pulang kembali ke desanya dengan tidak membawa uang gaji ataupun uang saku. (wawancara tanggal 02 Juli 2009)

Kasus yang lain misalnya Sanah yang bekerja di sebuah warung makan sebagai tukang masak, dia dipekerjakan mulai jam 4 pagi sampai jam 11 menjelang tidur, istirahat hanya makan dan melaksanakan ibadah dengan gaji hanya dengan 300 ribu per bulan tanpa uang lembur ataupun bonus, sementara dia harus meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil ke tetangganya dengan upah sehari 10 ribu. Dia bangun jam 3 pagi kemudian saat berangkat bekerja anaknya masih tidur dan pulang anaknya sudah tidur, itupun harus mengantarkan ke tetangganya dan juga menjemput anaknya tengah malam. Dia bertahan hingga 6 bulan karena badannya terasa sakit-sakit dan upahnya tidak seberapa. (wawancara tanggal 05 Juli 2010)

Bagi daerah-daerah tertentu yang daerah pertaniannya tandus ataupun tidak ada perusahaan, pekerja rumah tangga (PRT) lebih banyak diburu. Mereka memilih pekerjaan PRT di sejumlah kota besar misalnya Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan tidak sedikit yang rela meninggalkan kampung halaman demi bekerja sebagai TKI atau TKW juga sebagai PRT di negeri seberang misalnya Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Abu Dhabi, Libya, dll.

Mereka menjadi TKI atau TKW sebagai PRT karena keterpaksaaan. Di rumah tidak bisa melakukan apa-apa karena untuk berdagang tidak punya modal, untuk bekerja di pabrik harus ada ijazah minimal SMA, padahal rata-rata PRT sekarang adalah tamatan SMP yang tidak mempunyai skill. Harapan mereka bisa pergi dari rumah untuk mencari kehidupan yang lebih baik meski ternyata tidak sesuai dengan harapannya.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dalam proses menampilkan hasil pencarian, setelah data dalam tabel (baik data yang dicari ditemukan atau tidak), maka proses ini akan berjalan untuk menampilkan

kolonialisme, dari Pondok pesantren lahirlah tokoh-tokoh nasional yang tangguh yang menjadi pelopor pergerakan 134kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Hasyim Asyari,

Para dosen tersebut dalam pasal 18 ayat 1 huruf a tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain, jika tidak dengan persetujuan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan,

Apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya (triwulan II tahun 2013) perekonomian Riau mengalami pertumbuhan sebesar 7,13 persen (y-on-y),

Tidak hanya itu, para member juga dapat menikmati fasilitas alunan musik yang diputar oleh pihak staf diseluruh ruangan (kecuali untuk ruangan kelas tertentu, memiliki playlist

supaya membeli produk dari An Nahl. Menurut Wendra Hartono bahwa, salah satu keuntungan dari celebrity endorsement adalah mass appealing. 186 Pada kenyataannya, An

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi keperawatan adalah kemampuan seorang perawat dalam bentuk pelayanan/asuhan profesional yang merupakan bagian integral dari

(2) Faktor pendukung adanya dukungan dari Kepala sekolah, dukungan dari orang tua, dan dukungan dari pihak Komite. Sedangkan faktor penghambat kurangnya kesadaran