digambarkan sebagai bersifat heteroseksual. Hubungan yang diperkenankan dalam Islam ini juga menjadi dasar bagi seluruh pembahasan dalam kitab ini. Sepanjang penelusuran penulis, persoalan homoseksualitas atau autoerotik tidak menjadi bahasan karena fokus Nawawi nampaknya hanya berkaitan dengan persoalan hak dan kewajiban suami istri dan tidak melakukan eksplorasi yang mendalam dalam persoalan hubungan suami istri serta pemenuhan hasrat seksual secara khusus.
Selengkapnya tentang konstruksi seksualitas perempuan dalam pandangan Nawawi dapat dilihat dalam tabel berikut:
No Nama Konsep Uqud al-Lujjayn
1. Identitas diri perempuan Tubuh perempuan adalah fitnah karena penuh dengan seksualitas Perempuan yang baik adalah yang taat secara total terhadap suami Tubuh perempuan adalah milik suami
Kemunculan perempuan di ruang publik perlu dibatasi
Perempuan adalah sejenis tawanan bagi suami
2. Tindakan Seksual Seks halal
3. Perilaku Seksual Sexual intercourse dengan gambaran seksualitas pasif bagi perempuan. 4. Orientasi seksual Heteroseksual
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah) 303
PENUTUP
Berdasarkan kajian penulis, konstruksi seksualitas perempuan dalam kitab berdasarkan dimensi seksualitas yang dilakukan oleh Munti yang terbagi menjadi identitas diri, tindakan seksual, perilaku seksual, serta orientasi seksual, maka penelitian ini memperoleh potret tentang seksualitas perempuan dalam kitab sebagai berikut: identitas diri perempuan digambarkan oleh al-Nawawi dalam pandangan tentang tubuh perempuan yang mengandung fitnah, tubuh perempuan adalah milik suami, perempuan sebagai tawanan bagi suami, serta otoritas suami atas istri. Sementara dalam tindakan seksual terwujud dalam seks yang halal, perilaku seksual berwujud sexual intercourse serta heteresexual sebagai orientasi seksualnya.
Mengulas pemikiran al-Nawawi dalam
terlihat bahwa konstruksi pemikiran Nawawi tentang seksualitas perempuan sangat dipengaruhi oleh teks-teks di sekitarnya yang berujud Ayat al-Qur’an, hadith Nabi, pernyataan para ulama’ serta realitas sosial yang dibaca Nawawi dengan pembacaan yang dipengaruhi oleh kultur Timur Tengah di penghujung abad ke-19 M. Sebagai anak kandung zamannya, pembacaan Nawawi terlihat merepresentasikan pandangan patriarchal sehingga perbincangan seksualitas perempuan dalam kitab masih menempatkan perempuan dalam relasi yang tidak berimbang dengan laki-laki.Sebagai sebuah hasil pemikiran yang berlandaskan teks-teks keagamaan, maka pandangan Nawawi dimungkinkan untuk dibaca kembali dan direkonstruksi berdasarkan relasi yang adil antara laki-laki dan perempuan. Pembacaan baru ini penting untuk membangun schema pengetahuan yang membentuk pandangan pesantren tentang seksualitas perempuan yang lebih adil.
A. BUKU
Alimatul Qibtiyah, Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2006
Al-Nawawi, Muhammad ibn Umar al-Banteni al-Jawi. Uqud al-Lujjain fi Huquq al-Zawjayn. Tk: tp, tth.
Al-Tihami, Maulana. Qurrat al-Uyun fi Nikah al-Shar’y bi Sharh Nazh Ibn Yanun.tk: tp, tth.
Anang Harris Himawan, Dzikir Cinta: Eksplorasi Cinta dan Seksualitas dalam Islam. Yogyakarta: Suluh Press dan Lembaga Studi Agama dan Budaya, 2006
Annastasia Melliana. Menjelajah Tubuh Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2006
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren
______, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LkiS, Rahima dan Ford Foundation, 2002
Irwan Abdullah et. all, Islam dan Konstruksi Seksualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Ford Foundation, 2002
M. Dian Nafi’ et all, Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: ITD, Yayasan Selasih dan Forum Pesantren, 2007 Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial.
Yogyakarta; LkiS, 2005
Mustofa Bisri, “Ini Uqud al-Lujjayn Baru, Ini Baru Uqud al-Lujjayn” dalam tim Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Atas Kitab Uqud Lujjayn. Yogyakarta, LKiS dan FK3, 2001.
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997
Ratna Batara Munti, Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global. Yogyakarta: LkiS, 2005
KONSTRUKSI SEKSUALITAS PEREMPUAN _
(Nur Mahmudah) 305 Saskia E Wieringa et all “Pengantar” dalam Membongkar
Seksualitas Perempuan Yang Terbungkam. Yogyakarta: LKiS, 2007
Siti Musdah Mulia dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia. Jakarta: LKAJ dan Ford Foundation, 2003
Syafiq Hasyim, “Seksualitas dalam Islam” dalam (ed.) Amiruddin Arani dan Faqihuddin Abdur Qodir, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2002
Tim Forum Kajian Kitab Kuning, Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Atas Kitab Uqud Lujjayn. Yogyakarta: LKiS dan FK3, 2001 B. WEB SITE www.rahima.or.id www.icrp-online.org www.wikipedia.org www.komnasperempuan.net
Siti Malaiha Dewi*)
ABSTRACT: The thing which always appear and accompany the democratic party of this nation is the existence of money politics. Despite the various monitoring organizations shared, supervisory agency deployed, and the rules regarding the prohibition of money politics has been made, but in fact money politics still exist and could not be eliminated. This paper tries to reveal the of women’s views about the existence of money politics and factors - factors that influence their political views personal narratively. Based on data obtained from female informants above, then the women’s attitudes and purports toward money politics can be divided into three groups. First, rejecting money politics; second, accepting money politics and making money as a determinant factor of political choice; third, accepting money politics but not affecting their political choices.
Keywords: money politics, women.
A. Pendahuluan
Walaupun dengan nuansa dan tekanan yang berbeda namun pada dasarnya manusia pada saat ini telah banyak yang menyepakati bahwa bentuk pemerintahan atau masyarakat yang demokratis adalah bentuk yang paling ideal jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk pemerintahan lainnya, seperti kerajaan, oligarki, otoritarian atau totalitarian. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa demokrasi adalah ’the best of the worse’ dari bentuk-bentuk pemerintahan dan masyarakat lain yang pernah ada atau masih ada di dunia ini (Imam subono: 2003,1).
) Penulis adalah Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus