• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seorang Perempuan Kepala Keluarga

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 124-127)

POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN:

C. Hasil dan Pembahasan

1. Seorang Perempuan Kepala Keluarga

Suasana pasar Mbrayung sangat ramai pagi itu (3 September 2009). Maklum menjelang lebaran. Ibu As terlihat sibuk melipat pakaian yang tadi sempat dilihat-lihat calon pembeli namun tidak jadi dibeli. Berkali-kali dalam wawancara, ia harus mengelap peluhnya yang telah membasahi kening dan lehernya. Suasana pasar yang panas dan pengap, tidak menghalanginya untuk terus bedagang. Semuanya rintangan itu, menurutnya tak lebih dari cobaan hidup yang harus dilalui. Ibu As bisa dibilang sabar, dia harus menanggung semuanya sendiri setelah bercerai dengan suaminya 12 tahun yang lalu. Suaminya menikah lagi dengan perempuan yang lebih muda, tetangganya sendiri.



Saya lahir di salah satu desa di Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus. Saya hidup dari keluarga serba kurang. Ayah berprofesi sebagai petani, sementara ibu jualan jajan di pasar. Meski kondisi ekonomi pas-pas_an, orang tua saya sangat mementingkan pendidikan. Saya bisa menikmati bangku kuliah dan bisa menjadi sarjana di salah satu Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di kota ini.

Belum sempat saya mencari kerja, saya sudah dilamar tetangga sendiri dan akhirnya kami menikah. Secara fisik dia memang bisa dibilang tampan, dia bekerja sebagai bayan (kepala dusun). Awal pernikahan, kami memang sangat bahagia, meskipun secara ekonomi bisa dibilang biasa saja. Maklum, seorang bayan itu tidak mendapatkan gaji. Hanya sawah bengkok yang disewakan. Meski demikian kami hidup bahagia. kami pun dikaruniai seorang putri dan dua orang putra. Namun, cobaan mulai datang ketika anak kami yang ketiga terkena penyakit leukimia. Kami sekeluarga shock. Lebih shock lagi karena biaya yang begitu tinggi untuk cuci darah tiap bulannya. Segala harta benda kami, habis untuk kesembuhan anak saya, namun rupanya Allah berkehendak lain, pada usia delapan tahun anak kami meninggal dunia. Bersamaan dengan meninggalnya anak saya, suami saya kedapatan selingkuh dengan tetangga saya sendiri yang lebih muda dan dari hubungan terlarang tersebut,

POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN

(Siti Malaiha Dewi) 319 perempuan itu sudah mengandung dua bulan. Saya marah, malu, bingung, dan semuanya campur aduk jadi satu. Saya sempat menyesal kenapa dulu tidak mencari kerja dulu setelah lulus kuliah.

Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Meski sebetulnya suami saya tidak mau menceraikan saya, tetapi saya yang tidak bisa menjalani kehidupan poligami dan harus berbagi suami. Dengan sangat berat, Saya mengikhlaskan suami saya untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukanya. Cukup lama saya terpuruk. Meratapi nasib. Beban sebagai janda begitu beratnya. Tetapi saya sadar bahwa saya sekarang seorang kepala keluarga dengan beban dua orang anak. Saya mulai bangkit. Dengan mengesampingkan gengsi bahwa saya adalah seorang sarjana, saya mulai berjualan kue di pasar terdekat. Hasilnya memang tidak sebanding dengan tingkat kelelahan yang saya rasakan. Harus bangun setiap jam dua pagi, berkutat di dapur, dan untungnya hanya cukup untuk makan kami bertiga. Setelah berjalan hampir tiga tahun, saya menyerah dan saya bersyukur mendapat warisan dari orang tua. Saya gunakan untuk membeli kios di pasar. Saya tidak lagi berjualan kue, tetapi jualan pakaian. Hasilnya lumayan, anak saya yang pertama sekarang duduk di bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang. Saya menaruh harapan besar padanya. Agar kelak menjadi anak yang bahagia. Tidak mengalami perjalanan yang menyedihkan seperti saya. Sedangkan adiknya masih duduk di SMP. Sekarang, alhamdulillah setiap sore hari saya juga mengajar Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) di dekat rumah. Dilihat dari ebsarnya gaji memang tidak seberapa, hanya Rp. 100.000,-. Tetapi saya yakin saya akan mendapat lebih banyak nanti di akhirat.

Saat ini kegiatan sehari-hari saya memang padat. Setiap pagi hingga siang, sekitar pukul 13.00 WIB, saya di pasar. Setelah itu saya pulang ke rumah untuk memasak, lalu istirahat sebentar dan sorenya membersihkan rumah. Malam harinya saya menemani anak saya belajar, setelah itu bisa santai menonton televisi. Jam 04.00 WIB saya sudah bangun untuk memasak, mencuci, dan lainya, lalu ke pasar lagi. Meskipun demikian, rutinitas saya tidak serta merta membuat saya absen dari kegiatan desa maupun pengajian keagamaan. Kebetulan saya pengurus Muslimat NU di desa yang setiap minggu sekali

diadakan pengajian dan dulu saya sempat aktif di PKK. Jadi, sampai sekarang kalau ada kegiatan desa, saya masih dilibatkan, termasuk pada saat pemilihan umum, saya selalu menjadi panitia. Pada saat pemilu legislatif kemarin dan juga pemilu presiden, saya pun sebagai panitia di TPS tempat saya mencontreng. Karena saya panitia, maka otomatis saya tidak golput, baik ada yang memberi amplop maupun tidak, karena bagi saya, mencontreng itu hak, maka harus saya gunakan. Kalaupun ada yang memberi amplop pasti saya tolak secara halus. Meskipun saya ini sangat membutuhkan uang, tetapi menurut saya, jika saya menerima amplop, itu sama saja saya mengotori proses demokrasi yang sudah dicita-citakan akan membawa kebaikan. Dalam ajaran Islam hal tersebut juga tidak diperbolehkan karena termasuk suap. Dan bagi yang menyuap maupun yang disuap kan sama saja. Masuk neraka.

Soal pilihan dalam pemilu, saya pasti memilih calon yang agamis, dan bersih. Saya tahu kalau agamis, bersih, dan lain-lain itu berdasarkan anjuran organisasi tempat saya aktif, yaitu Muslimat NU. Saya percaya dengan pilihan Kyai-Kyai. Contohnya, pada saat pilpres Tahun 2009 ini, saya memilih pasangan JK-Win, karena Pimpinan Pusat Muslimat NU secara resmi mendukung JK-WIN. Sedangkan pemilu legislatif, anggota Muslimat NU kecamatan Mejobo ada yang menjadi caleg, maka otomatis, Pimpinan Anak Cabang mengarahkan agar anggotanya memilih caleg tersebut, dengan harapan warga Muslimat NU akan terakomodasi kepentingan dan aspirasinya untuk lima tahun mendatang. Saya pun mengikutinya.

Alhamdulillah, caleg perempuan tersebut akhirnya lolos menjadi wakil rakyat dan saya secara pribadi mempunyai harapan besar akan ada perbaikan ekonomi bagi hidup saya, seperti pelatihan ketrampilan maupun pemberian modal yang lunak. Kemudian, saya pun berharap ada perbaikan kondisi pasar tempat saya dan ibu-ibu lain bekerja, antara lain perbaikan fasilitas kamar mandi yang rusak berat. Setiap hari saya dan ibu-ibu lain harus numpang di tetangga pasar untuk wudlu ataupun buang air kecil, lama kelamaan saya tidak enak juga. Dan, karena jaraknya agak jauh, saya juga harus menutup kios ketika hendak ke kamar mandi. Sehingga saya banyak kehilangan calon pembeli. Saya yakin, harapan saya ini tidak terlalu berat untuk direalisasikan. Lha wong membangun yang besar-besar saja bisa apalagi yang kecil. Tetapi terkadang yang kecil justru

POLITIK UANG DI MATA PEREMPUAN

(Siti Malaiha Dewi) 321 tidak kelihatan ya..alias terlupakan. Semoga tidak.

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 124-127)