• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dan Keluarga

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 187-194)

DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

D. Perempuan dan Keluarga

Beberapa artikel mengungkapkan peran perempuan dalam rumah tangga dan dalam hubungannya dengan pasangan mereka. Seperti Letitia Anne Peplau dan Susan Miller Campbell dalam artikelnya “The Balance of Power in Dating and Marriage” mengatakan bahwa istilah kekuasaan (power) dalam suatu hubungan laki-laki dan perempuan sulit untuk didefinisikan. Banyak kesimpulan yang bisa didapat dalam penelitian baru-baru ini. Mayoritas pasangan menggambarkan hubungan mereka sebagai egaliter, sebagian yang lain mengungkapnya adanya dominasi laki-laki dan yang paling sedikit menyatakan didominasi perempuan. Pasangan yang egaliter tidaklah serta merta berbagi semua keputusan penting yang perlu diambil. Masing-masing berpengaruh pada bidang-bidang yang berbeda. Suami mengambil keputusan yang berkaitan dengan keuangan, sedangkan istri mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah rumah tangga. Sedangkan dalam hal rekreasi anggota keluarga, mereka memutuskan bersama-sama. Semua masih mengacu pada peran tradisional, sehingga mereka mengkombinasikan kesetaraan kekuasaan dengan peran tradisional.

Penelitian menunjukkan tampaknya pasangan yang sejajar dalam kekuasaan adalah pasangan yang memang menganut kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan, yang masing-masing mempunyai sumber penghasilan sendiri yang sama, dan sama-sama saling bergantung atau terikat dengan hubungan yang mereka jalin. Tidak ada satupun faktor yang bisa menjadi acuan bahwa suatu hubungan dikatakan mempunyai kekuasaan yang setara. Ada kalanya pasangan yang menganut kesetaraan, ternyata tidak memperoleh hubungan yang setara. Sedangkan

yang menganut paham peran tradisional justru menganggap hubungan mereka telah sejajar dalam hal kekuasaan atau pengaruh.

Penelitian empiris telah menolak adanya mitos bahwa orang kulit hitam bersifat matriarkal dan orang keturunan Amerika latin sebagai patriarkal dalam hubungan antara laki-laki dan perempuannya. Pernyataan yang skeptis muncul setelah melihat beberapa hasil penelitian yaitu bahwa pernikahan yang benar-benar egaliter sebenarnya hanyalah mitos.

Secara awam orang berpikir bahwa suatu hubungan mempunyai kekuasaan yang setara jika secara kasat mata kelihatan sebagai hubungan yang adil, jika mereka tidak merasa tereksploitasi satu sama lain, jika mereka masing-masing dapat melakukan hal-hal yang mereka ingin lakukan dan terlebih lagi jika mereka merasa dapat mempercayai pasangan mereka dan percaya bahwa mereka memang mempunyai hubungan yang baik. Sesungguhnya kepercayaan dan komitmen-lah yang bisa mengurangi ketimpangan kekuasaan di antara pasangan. Pada akhirnya kesetaraan sejati dalam sebuah pernikahan tidak dapat diperoleh sampai perempuan sebagai kelompok masyarakat mempunya status yang sejajar pula di masyarakat. Jika hanya laki-laki yang diberi kesempatan lebih besar mengembangkan kemampuan mereka, maka sulit perempuan memperoleh kesetaraan kekuasaan (Peplau dalam Freeman, 1989: 121-136).

Janice M. Steil dalam “Marital Relationships and Mental Health: The Psychic Costs of Inequality” mengatakan bahwa prinsip keadilan (equity) dan persamaan (equality) semestinya dibedakan, karena keadilan diasosiasikan dengan tercapainya tujuan produktifitas ekonomi dan orang hanya dilihat dari segi kemanfaatan ekonomi. Sedangkan prinsip persamaan (equality) memandang semua keadaan dan sarana harus sama-sama dibagi secara sama. Persamaan (equality) diasosiasikan dengan tujuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang nyaman. Hubungan pernikahan sekarang ini lebih condong kepada equity atau asas keadilan. Hal ini berakar dari pandangan masyarakat yang memandang segala sesuatu yang bernilai itu hanya dari sudut ekonomi. Namun mengapa seorang perempuan yang merelakan dirinya untuk fokus pada rumah tangga menjadi sosok yang kurang berpengaruh dalam kehidupan, padahal dia sudah melakukan hal yang berharga dan bernilai ekonomis

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 383 yaitu mengurus keluarga. Hal ini disebabkan oleh adanya nilai dan pembedaan peran gender yang memberikan peran dan tanggung jawab tertentu berdasar pada jenis kelamin. Dahulu kala perempuan dipandang sebagai property atau hak milik dan sekarang mengarah pada hubungan yang sejajar. Hubungan yang sejajar tidak dapat tercapai manakala sistem masyarakat masih membedakan peran dan tanggungjawab atas dasar jenis kelamin. Suatu perubahan tidak akan diperoleh sampai peran gender stereotip diterima sebagai sesuatu yang tidak adil. Keyakinan yang ada dalam masyarakat tersebut mempengaruhi pandangan perempuan tentang hal-hal yang mungkin mereka capai, tentang tanggungjawab mereka, tentang keinginan-keinginan mereka dan tentang hak-hak mereka. Karena itu perempuan harus disadarkan atau kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi penyokong dominasi laki-laki karena menganggap perannya hanya sebagai nurturer baik untuk suami maupun untuk anak-anaknya, sementara suami sebagai pencari nafkah. Jika masyarakat tidak memberi dukungan kepada khususnya ibu-ibu bekerja, maka ditakutkan akan muncul keluarga-keluarga yang kecil dan perempuan yang tidak menginginkan anak (Steil dalam Freeman, 1989: 138-146).

Janet Saltzman Chafetz dalam artikelnya “Marital Intimacy and Conflict: The Irony of Spousal Equality” mengatakan bahwa kebebasan dan kesetaraan adalah hal yang baik namun kestabilan dan keharmonisan tampaknya bukanlah bagian dari itu. Karena dalam hubungan yang setara, justru akan lebih sering muncul konflik dan lebih sulit pula untuk diselesaikan. Dan perceraian lebih mungkin menjadi alternatif (Chafetz dalam Freeman, 1989: 149-155).

Michele Hoffnung dalam artikelnya “Motherhood: Contemporary Conflict for Women” mengatakan bahwa merubah nilai-nilai sosial itu perlu, tapi hampir tidak dapat menjadi jawaban bagi perempuan yang sekarang ini sedang merenungkan peran sebagai ibu. Diakui bahwa seorang ibu bekerja akan lebih puas terhadap dirinya sendiri dan harga diri mereka meningkat dibanding ibu yang tidak bekerja. Faktor dukungan keluarga cukup berperan. Suami dan anak yang tidak mendukung akan mengurangi tingkat kepuasan ibu bekerja terhadap hidup mereka dan dalam pekerjaan mereka. Baik ibu yang bekerja maupun tidak sama-sama memandang peran ibu sebagai peran yang penting. Namun ibu yang bekerja merasa hubungan kedekatan dengan

anak tidaklah harus berdasar fisik semata. Sedangkan ibu di rumah menganggap kedekatan dengan anak secara fisik adalah keharusan. Sekali lagi, jika dukungan keluarga diperoleh, maka ibu bekerja tetap akan puas dan bahagia meski jauh dari anaknya karena bekerja. Dari sebuah kuesioner oleh Janet Gray yang dibagikan kepada professor, pengacara, dan doktor perempuan yang menikah, disimpulkan bahwa demi keprofesionalan dalam bekerja, dan nantinya ini berimbas pada tingkat kepuasan dalam hidup mereka, maka ada 5 strategi yang digunakan oleh mereka dalam pernikahan, yaitu: 1) meminta anggota keluarga berbagi pekerjaan rumah, 2) Mengurangi standar dalam hal tertentu seperti standar kerapian atau kebersihan rumah, 3) Menjadwal dan mengatur kegiatan secara teliti, 4) Meminta anggota keluarga membantu mengatasi konflik peran yang timbul, 5) Menghargai dan menganggap penting minat dari setiap anggota keluarga. Selain 5 hal diatas, maka ada 5 hal negative yang harus dihindari menurut mereka, yaitu: 1) Menghilangkan peran, 2) Membiarkan adanya pembedaan peran seolah-olah peran tersebut tidak bisa dipertukarkan, 3) Berusaha memenuhi semua harapan anggota keluarga, 4) Peran yang tumpang tindih, dan 5) Tidak mempunyai strategi nyata ketika terjadi konflik peran. Menolak peran-peran dan hubungan-hubungan yang bersifat stereotip dan meletakkan karir dan keluarga –baik bagi suami maupun istri—pada pijakan yang lebih sejajar dapat membuat karir dan keluarga tersebut sama-sama berhasil. Perubahan nilai sosial ini meskipun tidak menghilangkan namun bisa mengurangi konflik yang dihadapi perempuan modern (Hoffnung dalam Freeman, 1989: 157-172).

E. Simpulan

Pembagian peran di Amerika bersifat dinamis mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Serangkaian peristiwa dan kejadian tampaknya mendewasakan pola pikir masyarakat Amerika hingga pada akhirnya sampai pada kesetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan seperti sekarang. Seiring dengan munculnya kebutuhan akan eksistensi diri, maka perempuan Amerika meningkatkan kemampuan dan keahlian di bidangnya dalam rangka memperoleh kesetaraan dengan pasangannya dan dalam rangka menghindarkan diri dari rasa tereksploitasi oleh pasangan. Perempuan dan laki-laki Amerika

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 385 sama-sama meninggalkan stereotip yang selama ini berlaku dan memulai fase hidup baru dengan bernegoisasi dengan pasangan dalam segala hal. Sehingga yang dikedepankan adalah prinsip persamaan atau equality bukan keadilan atau equity. Karena dalam equality mengandung pengertian adanya semangat kerjasama dalam memperoleh satu tujuan, bukan kesamaan dalam segala bidang yang pada akhirnya hanya akan berkutat pada saling menuntut.

Anthony,et al., History of Woman Suffrage. California: Sage Publishing Company, 2006.

Ashcraft, Karen Lee. “Back to Work: Sights/Sites of Difference in Gender and Organizational Communication Studies.” Ed. Bonnie Dow and Julia Wood. California: Sage Publishing Company, 2006.

Barnet, Rosalind. “Work-Family Balance”. Encyclopedia of Women and Gender. Academic Press. 2001.

Chadwik, Bruce A. Statistical Handbook on the American Family. Phoenix, Arizona: Greenwood Publishing Group, 1999. Chafetz, Janet Saltzman in Jo Freeman’s The Women, “The Irony

of Spousal Equality”, California: Mayfield Publishing Company, 1989.

Chrisler, Joan C. Lectures on the Psychology of Women. New York: McGraw-Hill, 2004.

Hoffnung, Michele in Jo Freeman’s The Women, “Motherhood: Contemporary Conflict for Women”, California: Mayfield Publishing Company, 1989.

Hook, Bell. Feminist Theory: From Margin to Center. Cambridge: South End Press, 2000.

Humm, Maggie. Feminism; A Reader. Great Britain: BPC Wheatons, Ltd., 1992.

McMillen, Sally Gregory. Seneca Falls and the Origins of the Women’s Rights Movement. Oxford: Oxford University Press, Inc., 2008.

Michael Goldberg in Breaking New Ground (1800-1848) in Nancy F. Cott’s (eds.) A History of Women in the United States. New York: Oxfrd University Press, 2000.

O’Neill, William L. Feminism in America. New Jersey: Quadrangle Books, Inc., 1994.

Peplau, Letitia Anne and Susan Miller Campbell in Jo Freeman’s The Women, “The Balance of Power in Dating and Marriage”, California: Mayfield Publishing Company, 1989.

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 387 Saul, Jennifer Maher. Feminism; Issues & Arguments. New York:

Oxford University Press, Inc., 2003.

Steil, Janice M. in Jo Freeman’s The Women, “Marital Relationships and Mental Health: The Psychic Costs of Inequality”, California: Mayfield Publishing Company, 1989.

William Chafe in The Road to Equality (1962-today) in Nancy F. Cott’s (eds.) A History of Women in the United States. New York: Oxfrd University Press, 2000.

http://en.wikipedia.org/wiki/Glass_ceiling www.wikipedia.org

Setyoningsih *)

Judul buku : Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan

Penulis : Anang Santoso

Penerbit : PT Bumi Aksara Jakarta, Maret 2009 Halaman : 184+xv

Harga : Rp.

31.000,-Persolan/isu gender merupakan topik sering diperbincangkan, namun tidak banyak yang mengkajinya dari sudut pandang bahasa. Para pakar ilmu bahasa sejak lama sudah tertarik untuk menganalis apakah ada perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan di lihat dari sudut pandang sosiolinguistik. Beberapa ada yang sepakat bahwa laki-laki dan perempuan berbahasa secara berbeda, tetapi ada juga yang tidak menyetujui pendapat tersebut. Namun ternyata secara luas diterima bahwa laki-laki dan perempuan berbahasa secara berbeda. Anang Santoso, yang merupakan seorang dosen atau staf pengajar di jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, adalah salah satu orang yang tertarik menganalisa relasi bahasa dengan gender yaitu tentang “konstruksi ideologi dalam bahasa perempuan” yang merupakan hasil penelitian multi-years selama dua tahun mulai 2006-2008. Kajian terhadap ideologi melalui bahasa perempuan dilakukan agar dapat diketahui bagaimana sebenarnya perempuan melihat dan menafsirkan dunia atau realitas, apa yang dianggap penting dan tidak penting, dan sebagainya.

Di awal buku ini dibahas alasan mengapa bahasa perempuan menarik untuk dikaji. Bahasa perempuan dapat

) Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus

PERJUANGAN EMANSIPASI

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 187-194)