• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usaha Perempuan Amerika dalam Kesetaraan

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 168-172)

DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

B. Usaha Perempuan Amerika dalam Kesetaraan

Usaha perempuan Amerika agar setara dengan laki-laki dimulai sejak lama. Secara formal terhitung sejak tahun 1848, dengan adanya konferensi di Senecal Falls. Berkumpulnya para perempuan itu dipicu oleh adanya ketidakadilan yang dirasa perempuan sebagai sesama warga negara (McMillen, 2008:3). Waktu itu stereotype yang muncul di masyarakat Amerika menurut William L. O’Neill dalam Feminism in America, wanita adalah malaikat dalam rumah tangga dan penjaga moral. Karena itu akses mereka menjadi terbatasi hanya di ranah domestik, sebagai penjaga anak-anak. Mereka tidak mempunyai akses publik (O’Neill, 1994: 7).

Berkumpulnya kaum perempuan tersebut dalam memperoleh hak politik, dan itu disebabkan karena mereka ingin diakui sebagai layaknya manusia dan warga negara. Hak tersebut baru terperoleh pada tahun 1920. Setelah itu timbul perang dunia yang membuat banyak para laki-laki turun di medan perang. Hal ini menimbulkan kurangnya tenaga kerja di dalam negeri, maka pemerintah memutuskan untuk mulai membuka lapangan pekerjaan di sektor publik bagi para perempuan. Kaum perempuan pun berbondong-bondong memasuki ranah publik tersebut. Hal ini pada akhirnya nanti mengubah paradigma berpikir perempuan Amerika. Mereka mulai merasakan bagaimana nyamannya memperoleh uang dari hasil jerih payah mereka sendiri. Hal ini menimbulkan rasa kemandirian dalam diri perempuan Amerika. Setelah perang usai, dan para laki-laki kembali ke rumah, timbul masalah mengenai pengaturan tenaga kerja yang telah dipegang oleh perempuan. Pemerintah

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 363 pun melakukan kampanye agar para wanita kembali ke rumah kembali sebagai penjaga anak-anak. Namun, seiring dengan tingkat pendidikan yang diraih para perempuan yang semakin tinggi, maka perempuan mulai sadar untuk mengembangkan karier sesuai dengan tingkat pendidikannya.

Dengan demikian, peran gender di Amerika mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada prinsipnya, perempuan ingin diakui hak-haknya sebagai manusia dan karena itu berhak melakukan hal sama seperti yang dilakukan laki-laki, seperti berpolitik, didengar pendapatnya, bekerja, menentukan nasib sendiri dan rasa independen tidak tergantung pada orang lain.

Selama ini, banyak hal dilihat dan diinterpretasi dari sudut pandang laki-laki. Joan C. Chrisler dalam Lectures on The Psychology of Women mengatakan bahwa Amerika adalah suatu masyarakat yang laki-lakinya dipandang lebih tinggi dibanding perempuan. Sehingga penting bagi psikologi feminis untuk menelaah perempuan berikut segala pengalamannya. Perempuan telah lama dibungkam. Kontribusi mereka terhadap masyarakat belum pernah terekam dalam buku-buku sejarah, dan pengalaman merekapun tidak pernah didengar atau dianggap secara serius (Chrisler, 2004: xiv).

Pembagian kerja masih menjadi isu penting di Amerika. Seperti dikatakan Ashcraft dalam The Sage Handbook of­ Gender and Communication: “Everywhere we turn, we see a clear distinction between ‘men’s work’ and ‘women’s work’ (Aschcraft, 2006:102). Perempuan sering dikaitkan dengan pekerjaan bersifat merawat seperti guru, perawat sedangkan laki-laki bekerja di bidang teknik.

Ada suatu kecenderungan di dalam budaya di negara-negara Barat seperti Eropa dan Amerika untuk memberlakukan stereotype peran gender, mengkaitkan suatu aktifitas atau tingkah laku tertentu pada suatu jenis kelamin. Jennifer Maher Saul dalam Feminism; Issues & Arguments mengatakan bahwa di negara-negara seperti Inggris dan Amerika, saat ini anak-anak telah diberi pengajaran bahwa urusan rumah tangga dan mengurus anak adalah pekerjaan perempuan (Saul, 2003: 20). Stereotype gender semacam itu akan berpengaruh pada masalah psikologis di antara laki-laki yang mengambil peran atau di pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan perempuan, dan juga sebaliknya.

Pada era 1990-an perempuan Amerika telah banyak berkarir. Namun dalam kenyataannya, mereka masih menghadapi kendala berupa “glass ceiling” yaitu “… an unofficial, invisible barrier that prevents women and minorities from advancing in businesses. (http://en.wikipedia.org/wiki/Glass_ceiling). Hal ini menunjukkan bahwa di Amerika masih ada ketidakadilan gender.

Dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarir belum serta merta merasakan keadilan gender. Mereka seringkali merasa bersalah karena meninggalkan anak-anak di rumah untuk bekerja. Akibatnya, memunculkan masalah yang diistilahkan dengan “double burden”.

Dua hal tersebut mengindikasikan bahwa perempuan Amerika belum merasa merdeka menentukan pilihan. Hubungan dengan pasangan masih diwarnai rasa kebersalahan hanya karena ia melakukan sesuatu yang sesungguhnya sama dilakukan oleh pasangannya (suami) yaitu bekerja. Di sini, tampak ketidakseimbangan dalam hubungan pasangan suami istri. Suami masih memposisikan dirinya sebagai ‘breadwinner’, meski gaji sang istri mungkin lebih tinggi. Sebagai breadwinner ia merasa berkuasa menentukan apa-apa yang baik dan buruk buat istri dan anak-anaknya.

Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam rumah tangga sudah semestinya terjalin rasa kerjasama, bukan berkompetisi mengenai siapa yang lebih berkuasa dan patut didengar.

Amerika dikenal sebagai negara yang dinamis dan diwarnai dengan perjalanan panjang kaum perempuannya dalam memperjuangkan persamaan hak dengan laki-laki. Gerakan tersebut dikenal sebagai gerakan feminisme. Definisi feminisme menurut Bell Hook dalam Feminist Theory; From Margin to Center adalah perjuangan melawan penindasan berdasarkan karena perbedaan jenis kelamin. Maka sangatlah perlu dilakukan perjuangan untuk menghapus segala dominasi yang telah merasuk ke dalam budaya mereka (di Barat) di segala bidang. Sehingga akan muncul pemberdayaan diri untuk terlepas dari imperialism atau penjajahan dari pihak yang berkuasa, dari ekspansi ekonomi dan hal yang bersifat materi (Hook, 2000: 26). Maggie Humm dalam Feminism; A Reader, mengungkapkan bahwa feminisme gelombang pertama berpusat pada perdebatan

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 365 mengenai materialisme, keinginan untuk menyampaikan pikiran atau berpendapat dan menentukan hidupnya sendiri tanpa dibayang-bayangi oleh laki-laki. Dalam memperjuangkan persamaan hak sebagai warga negara tersebut, mereka bekerja bersama-sama dengan kaum buruh, kaum perempuan pekerja dan organisasi anti kolonial. Mereka berkeyakinan bahwa ketidaksejajaran tersebut dapat dihilangkan jika institusi seperti keluarga terlebih dahulu berhenti menghalangi kaum perempuan untuk berkiprah sesuai potensi yang dimilikinya. Jika feminisme gelombang pertama memperjuangkan hak pilih yang tercapai pada tahun 1920, maka dalam gerakan feminisme gelombang kedua, perjuangan difokuskan pada diakhirinya diskriminasi terutamanya dalam upah. Ketika Amerika terlibat dalam Perang Dunia II, perempuan berbondong-bondong bekerja di pabrik dikarenakan Amerika kekurangan tenaga kerja. Namun setelah kembali dari medan perang, para laki-laki tersebut kesulitan masuk kembali ke pekerjaan mereka. Kemudian pemerintah melakukan himbauan memalui media massa kepada perempuan untuk kembali ke wilayah domestik. Akan tetapi, ternyata tidak mudah bagi perempuan-perempuan tersebut yang sudah terlanjur mandiri secara fisik dan finansial untuk meninggalkan pekerjaannya. Maka kemudian timbul gerakan feminisme gelombang kedua yang menuntut agar perempuan diberi hak yang sama di segala bidang. Upaya ini berhasil dengan ditetapkannya persamaan upah bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini terjadi pada tahun sekitar 1970-an (Humm, 1992: 11-13).

Pada awal tahun 1990-an, muncul gerakan kembali sebagai respon terhadap gerakan feminisme gelombang kedua, yang selanjutnya dikenal sebagai gerakan feminisme gelombang ketiga. Mereka mengkritik gerakan sebelumnya sebagai bias kelas dan hanya berfokus pada perempuan kulit putih. Maka isu mereka bergerak ke isu tentang ras, kelas sosial dan seksualitas. Mereka juga mempedulikan masalah ‘glass-ceiling’, pelecehan seksual, kebijakan cuti ibu bekerja yang tidak adil, memberi dukungan bagi ibu ‘single parent’ untuk penyediaan penitipan anak dan memberi penghargaan bagi ibu bekerja yang memutuskan meninggalkan karir untuk membesarkan anak secara penuh (www.wikipedia.org)

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 168-172)