• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada Masa Awal Berdiri Negara

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 172-178)

DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

C. Relasi Gender di Amerika

1. Pada Masa Awal Berdiri Negara

Antara tahun 1760-an dan 1790-an, menjadi masa transisi dimana standar maskulinitas dan feminitas mulai berubah. Pengaruh laki-laki yang selama ini mendominasi standar nilai moral masyarakat mulai terkikis dengan mulai diperhatikannya pengaruh perempuan. Kewajiban sebagai warga negara yang semula berfokus pada sisi militer dan pemerintahan kini beralih dengan lebih memperhatikan institusi gereja dan keluarga. Suatu pandangan baru yang mengedepankan hubungan yang baik di dalam keluarga telah menaikkan posisi para istri dan ibu, yang mana kefemininan kini dipandang sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka menjaga nilai-nilai negara. Pengembangan peran istri dan ibu juga terjadi dalam lingkup kaum borjuis.

Pada masa kolonial Inggris, perempuan yang mencari nafkah biasanya bekerja sebagai penjahit atau pemilik rumah sewa. Tetapi beberapa perempuan juga bekerja pada bidang-bidang yang diperuntukkan bagi laki-laki. Ada dokter, pengacara, pengkhotbah, guru, penulis, dan penyanyi. Pada awal abad 19, pekerjaan yang bisa diterima oleh masyarakat bagi perempuan bekerja adalah terbatas pada buruh pabrik dan di rumah tangga. Perempuan tidak diperbolehkan bekerja pada sektor lain kecuali menulis dan mengajar. Mereka bekerja selama 12 jam per hari. Namun tidak sampai tahun 1910, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang membatasi jam kerja perempuan dan memperbaiki kondisi kerja mereka.

Perempuan selama periode ini menurut Michael Goldberg dalam Breaking New Ground (1800-1848) sebagaimana dikutip

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 367 American Women History: 79 mengalami pasang surut antara idealisme dan realita menyangkut hal pendidikan, agama, pekerjaan, kewarganegaraan dan hubungan keluarga. Bagi kebanyakan perempuan ini, pola hubungan keluarga seperti dengan suami atau sebagai ibu dengan anak masih berubah-ubah. Begitu norma baru dibuat maka norma yang lama ada yang masih dipertimbangkan atau bahkan diperkuat kembali. Berbagai tingkat kekuasaan perempuan dan ketidakberdayaan mereka menjadi terungkap. Hal ini merefleksikan status mereka dalam masyarakat secara luas.

Begitu era industrialisasi muncul, orang-orang bekerja di pabrik-pabrik dan kantor di kota-kota. Keluarga kelas menengah menggunakan sebagian besar penghasilan mereka untuk membeli barang-barang siap pakai dari sabun sampai sepatu yang dulunya pernah dibuat perempuan di rumah. Orang-orang kelas menengah tidak lagi membutuhkan keluarga besar untuk membantu mereka bekerja di sawah. Pada akhirnya, sebuah keluarga yang besar malah dipandang sebagai beban ekonomi.

Ada satu masa ketika orang New England memandang keluarga sebagai suatu hierarki yang cukup ketat dimana ayah sebagai pengatur segalanya, ibu di bawah sang ayah dan secara teoritis, anak-anak berada di tingkat paling bawah. Setelah tahun 1800, standard tersebut berubah. Buku-buku dan majalah mulai memotret keluarga dimana laki-laki mengontrol sektor publik seperti politik dan bisnis dan perempuan mengambil tanggung jawab di sektor domestik atau rumah tangga. Pernikahan dipandang lebih sebagai hubungan partner; dengan istri sebagai partner yunior, tetapi model lama dimana laki-laki sebagai pengatur absolut sudah tidak lagi dipakai dalam keluarga kelas menengah di Amerika tenggara. Tetapi meskipun perempuan menguasai sektor domestik, hal ini tidak menjadikan mereka mempunyai hak-hak seperti hak pilih, hak kepemilikan atas sesuatu atas nama mereka sendiri setelah menikah, mengajukan perkara hukum, atau membuat wasiat.

Perubahan pandangan dalam pernikahan ini memberikan pemahaman kepada kita mengapa perempuan muda enggan untuk menikah. Karena menikah dipandang sebagai kemitraan, masa berkenalan menjadi masa untuk membuktikan adanya kesesuaian di antara pasangan.

setia yang berapi-api dulu. Meskipun banyak pasangan menjadi lebih kuat, dan terjalin ikatan yang dalam, namun pembagian wilayah kerja domestik dan publik yang mana perempuan harus tinggal di rumah dan laki-laki pergi keluar membuat pasangan suami istri terpisah cukup lama selama beberapa jam. Buku-buku khutbah dan yang berisi nasihat menekankan bahwa istri harus membuat rumah sebagai tempat istirahat yang nyaman bagi suami mereka. Pemisahan wilayah kerja ini membuat perempuan mempunyai ikatan persahabatan di antara perempuan juga. Persahabatan di antara perempuan tumbuh seiring pemahaman bahwa kehidupan mereka berbeda dengan laki-laki. Tidak seperti hubungan istri dengan suaminya, hubungan dengan sesame perempuan didasarkan pada kesetaraan (hal. 80-81).

Jika seorang perempuan berhasil menuntut perceraian, ia takjub akan harga atas kebebasannya. Tunjangan suami untuk bekas istri jarang diberikan, meskipun hakim memerintahkan penggantian sejumlah uang pada perempuan yang dizalimi oleh suaminya. Jika seorang perempuan membawa harta dalam pernikahannya, maka tidak mungkin untuk mengambilnya kembali. Begitu ia dan suami mengatakan ‘ya’ saat janji pernikahan, maka suaminya resmi menguasai semua harta yang ia miliki. Kesempatan perempuan untuk bekerja sangat kecil, terlebih jika ia mendekati usia paruh baya.

Pernikahan yang dipandang baik bagi orang Amerika tenggara adalah jika sang istri mengabaikan segala ambisi pribadinya dengan tujuan melayani suami dan anak-anaknya. Tetapi bagi perempuan kesetiaan pada suami dijunjung tinggi, sehingga secara moral perempuan pada masa itu dipandang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini memberikan kemungkinan peran perempuan lebih besar di masyarakat dan pada bangsanya. Perempuan mulai memahami bahwa sebagai suatu kelompok yang berbeda dari laki-laki, mereka mempunyai sesuatu untuk ditawarkan kepada masyarakat. Mereka bisa menjadi penjaga, pendidik moral bagi calon generasi penerus mereka. Begitu Amerika berkembang, para perempuan pun demikian dalam visi mereka mengenai kedudukan mereka di rumah (hal.82).

Selama masa kekacauan revolusi, Amerika kurang memberi perhatian kondisi keruhaniaan dibanding dengan masalah kebebasan warganya. Pemuka agama khawatir akan matinya rasa keagamaan dan mencela jamaahnya karena gagal

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 369 menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Pada tahun 1790-an banyak orang merasakan pentingnya mengembalikan pemikiran dan energi mereka ke gereja.

Dalam atmosfir inilah Kebangkitan Kedua (Second Awakening) dimulai, pertama di area frontier yang haus akan petunjuk agama dan kemudian di daerah yang lebih padat penduduk yaitu di Amerika sebelah Timur. Selama Kebangkitan Kedua, penghidupan kembali nilai-nilai agama membawa ribuan pemeluk agama baru masuk ke beberapa macam perkumpulan agama. Kelompok yang tergolong radikal pada waktu itu seperti Baptist dan Shakers tumbuh kuat secara dramatis dari akhir abad 18 sampai pertengahan abad 19 dan pendirian gereja diperluas (hal. 172).

Bagi kaum perempuan, Kebangkitan Kedua sebagai sarana semakin meningkatkan pengaruh keagamaan mereka yang telah cukup signifikan selama ini. Perempuan telah lama menjadi mayoritas jemaah gereja. Selama kebangkitan ini, jumlah mereka semakin membengkak. Pertumbuhan ini semakin menguatkan kedominanan mereka atas kehidupan keagamaan di Amerika (hal. 174).

Sejak akhir abad 17, lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang mencari penghiburan di gereja-gereja dengan alasan yang bermacam-macam. Pertama, mereka telah terbiasa untuk mengorbankan diri mereka sendiri demi kepentingan yang lain. Karena itu, perempuan merasa lebih nyaman dengan pengajaran Kristen yang mengedepankan pengorbanan diri. Kedua, dibanding dengan laki-laki, perempuan lebih riskan menghadapi resiko kematian dan luka permanen karena melahirkan. Dihadapkan pada resiko kematian yang lebih sering membuat mereka lebih memperhatikan kebutuhan ruhani mereka. (Bukan hal yang kebetulan, perempuan sering ikut dalam kegiatan gereja begitu mereka menikah.) Tingkat kematian bayi tetap tinggi selama abad 18, dan hamper setiap perempuan mempunyai pengalaman teman atau famili yang meninggal karena melahirkan atau luka yang diderita karenanya. Hal ini menjadi sebab kesetiaan perempuan pada perkumpulan keagamaan (hal. 174).

Pemuka agama mungkin juga mendapatkan dukungan dari jemaat perempuannya dengan mengajarkan pada mereka bahwa hanya dengan prinsip-prinsip Kristen-lah perempuan

dinaikkan ke posisi yang sejajar dengan laki-laki. Tema yang senantiasa ada dalam khutbah-khutbah selama Kebangkitan Kedua adalah peran gereja dalam memperbaiki kedudukan sosial perempuan. Hanya dengan pengajaran Kristen, laki-laki akan memperlakukan perempuan dengan baik seperti yang sepantasnya diterima oleh perempuan. Budaya dan agama lain tidak berhasil dalam menaikkan status perempuan, tetapi Kristen telah memuliakan perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki. Itulah yang membuat perempuan mendukung gereja dan pendeta (hal. 174).

Meskipun perempuan tidak dimasukkan dalam posisi kepemimpinan di kebanyakan gereja, pemuka agama merasa perlu untuk memperhatikan kebutuhan dan pendapat mereka ketika menyusun khutbah, menyusun kebijakan gereja atau mengatur dana gereja. Karena perempuan mendominasi gereja dan pemberi terbanyak donasi gereja, semakin banyak pemuka agama merasa berhutang atas posisi, status dan gaji mereka. Sehingga penggambaran tentang perempuan menjadi lunak pada abad 18. Yang telah berlalu adalah prinsip lama dimana kaum Puritan menekankan pada peran Hawa yang menyebabkan Adam berada dalam dosa. Dalam posisinya, muncullah pandangan yang lebih lunak tentang perempuan sebagai sosok yang bijaksana, berhati lembut, dan cocok bagi tugas-tugas keagamaan. Perempuan yang baik, dalam pandangan pemuka agama, adalah pendukung utama agama di dalam keluarga dan masyarakat. Tanpa mereka, orang Kristen dalam bahaya seperti dikatakan oleh salah satu pendeta dalam pujiannya terhadap Ibunya: “ Siapa yang dapat menemukan seorang istri yang baik? Dia lebih berharga daripada batu berlian…ia letakkan satu tangannya pada keluarganya dan kedua tangannya memegang kumparan. Ia membuka tangannya untuk kaum miskin dan membuka tangannya untuk orang yang membutuhkan…ia membuka mulutnya hanya untuk mengatakan hal-hal yang bijak dan mengajarkan akan kebaikan. Ia kelihatan gesit dalam urusan rumah tangga dan tidak membiarkan kemalasan menghampirinya. Anak-anak memuliakannya dan suamipun memujinya.” Pendeta tersebut mengatakan hal ini dalam kaitan mengajarkan perempuan mengenai kewajiban sosial dan kewajiban domestiknya.

Dalam setiap isi khutbah kemudian senantiasa memotret sifat perempuan sebagai sosok ibu yang bijaksana, pekerja keras

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 371 dan berkemauan kuat untuk membawa anak-anaknya kepada Jesus dan mencontohkan jiwa penolong.

Penekanan para pemuka agama pada sosok perempuan melengkapi keyakinan bangsa bahwa ibu ada dalam posisi yang penting untuk mendukung kesejahteraan bangsa.

Selama masa awal berdirinya Negara Amerika Serikat, seorang laki-laki memiliki istri dan anak-anaknya hamper seperti layaknya harta milik. Jika seorang laki-laki miskin memilih untuk mengirimkan anak-anaknya ke lembaga panti asuhan karena kemiskinannya, sang ibu tidak mempunyai kekuatan untuk melawannya. Beberapa masyarakat mengubah hukum yang telah ada dengan mengijinkan perempuan bertindak sebagai pengacara di pengadilan, menuntut hak kepemilikan dan memiliki harta atas nama mereka jika suami menyetujuinya.

Pada awal abad 19, anak secara resmi dibawah kekuasaan ayahnya dan perempuan seringkali tidak berdaya menghadapi penculikan atau pemenjaraan oleh suami dan anggota keluarga laki-lakinya.

Abad 19 didominasi pemikiran pembedaan gender secara alami, dan oleh konsepsi seksualitas yang bersifat normatif yang berpusat pada keluarga kelas menengah. Budaya kelas menengah yang masuk di Amerika sebagai hasil urbanisasi, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang kuat memunculkan dua wilayah berbeda yang saling melengkapi yaitu wilayah publik dan wilayah domestik. Wilayah publik yang menjadi bagian laki-laki yaitu wilayah bisnis dan uang, wilayah politik dan kekuasaan, dan industri. Wilayah domestik di sisi lain dianggap sebagai wilayah feminin, identik dengan tempat tinggal dan tungku dapur, simpati dan pemeliharaan, kesalihan dan pemeliharaan anak. Perempuan mempunyai batasan dalam wilayah publik.

Akhir abad 19 ditandai dengan munculnya definisi baru New Woman atau perempuan baru. Perempuan Baru menjungkirkan sejumlah stereotip model Victorian yang kuno. Ia identik dengan kecerdasan, lawan dari emosional, sangat publik lawan dari domestik atau privat, aktif lawan dari pasif, dan dalam banyak kasus, tidak reproduktif, lawan dari bersifat keibuan. Ia menyebabkan kegemparan bukan hanya karena ia menolak peran tradisional perempuan tetapi juga karena ia kelihatan lebih sesuai dengan yang laki-laki.

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 172-178)