• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 194-200)

PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN

(Setyoningsih) 389 disikapi sebagai wacana, karena pada dasarnya bahasa perempuan selalu mempresentasikan model pandangan hidup tertentu, yakni gambaran sebuah konstruksi dunia yang bulat dan utuh tentang ide hidup dan kehidupan yang sudah ditafsirkan dan diolah perempuan. Anang kemudian meneliti aspek ‘ideologi’ dari bahasa mereka melalui analisis wanaca kritis (AWK) terhadap penggunaan kosa kata dan gramatika para elite perempuan Indonesia antara lain mereka yang berprofesi penyanyi, artis sinetron, filsuf, sastrawan, menteri, dan lain lain,

Pertama, buku ini memaparkan berbagai macam teori tentang bahasa perempuan ditinjau dari berbagai sudut pandang, yaitu bahasa perempuan sebagain kajian budaya dimana penelitian terhadap bahasa perempuan merupakan implikasi dari struktur politik yang menindas, patriarkis, dan rasis akibat dari persepsi mengenai kebudayaan yang salah kaprah. Persoalan bahasa perempuan juga haruslah disikapi dengan wacana perempuan bukan hanya sebagai bahasa karena wacana merupakan sistem representasi, yakni cara mengatakan, menuliskan atau membahasakan peristiwa, pengalaman, pandangan dan kenyataan hidup tertentu, dan di dalam wacana semua makna diartikulasikan. Sebagai situs pertarungan sosial (sosial struggle), bahasa perempuan memuat pelbagai ideologi dimana kajian terhadap ideologi dalam bahasa perempuan berarti kajian terhadap pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh komunitas atau kaum perempuan, kajian tentang bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan pelbagai citra tentang realitas yang telah didistorsi, kajian terhadap teks yang sering terjebak pada persoalan keberpihakan, kajian tentang cara-cara dimana ritual dan kebiasaan tertentu menghasilkan akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada tatanan sosial, sebuah tatanan yang ditandai oleh adanya kesenjanagan kesejahteraan, gap status, dan jurang kekuasaan yang demikian menonjol serta kajian tentang usaha untuk menjadikan apa yang faktanya parsial dan khusus menjadi universal dan legitimate dan sekaligus juga usaha untuk melewatkan hal-hal yang bersifat cultural sebagai hal yang ilmiah. Semua posisi ideologis diatas menempatkan perempuan selalu dalam posisi lemah, marginal dan subordinat,

Menurut beberapa ahli, perbedaan jenis kelamin tertentu dalam perilaku bahasa merupakan efek samping dari pengalaman sosial laki-laki dan perempuan yang secara sistematis berbeda. Penggunaan bahasa yang dibedakan secara gender berperan signifikan dalam marginalisasi perempuan dalam pelbagai profesi, khusunya kemajuan dan perkembangan karir, sehingga posisi makhluk perempuan menjadi tersudut.

Sedangkan jika di lihat dari sudut pandang persoalan politik representasi, buku ini mengungkapkan tiga pertanyaan penting berkaitan dengan bahasa perempuan yaitu (1) apakah representasi “perempuan” dan “laki-laki” memang tidak sejajar atau simetris dalam bahasa, (2) adakah perbedaan penggunaan bahasa antara “perempuan” dan “laki-laki”, (3) bahaimana memberikan penjelasan yang tepat dan akurat kaitannya dengan perbedaan penggunaan bahasa antara “perempuan” dan “laki-laki”. Disini disebutkan beberapa contoh ketidaksimetrisan kata kata dalam bahasa Inggris kaitannya dengan representasi perempuan dan laki laki yaitu penggunaan kata man secara jenerik untuk memaknai “perempuan”, “laki-laki” dan “anak laki-laki” dan penggunaan kata man untuk hanya memaknai “laki-laki” (bukan wanita dan anak-anak). Begitu juga dgn gelar “Mr” dapat langsung digunakan oleh laki-laki dewasa, sedangkan perempuan harus memilih tiga “gelar” yang ada yaitu “Miss”, “Mrs” dan “Ms”.

Tiga teori relasi bahasa dan gender yaitu teori dominasi, teori perbedaan dan teori analisi gender juga dipaparkan cukup jelas beserta contohnya. Menurut teori dominasi, perbedaan bahasa perempuan dan laki-laki berkaitan erat dengan kekuasaan sehingga muncullah istilah “wacana seksis” yang menunjukkan adanya kekuasaan laki-laki atas perempuan karena berdasarkan statistik laki-laki cenderung memiliki kekuasaan yang lebih atas perempuan secara fisik, finansial, dan dalam hierarki di tempat kerja. Akhirnya terdapat ideologi yang cenderung merendahkan, meminggirkan, dan meniadakan perempuan.

Teori yang kedua yaitu teori perbedaan menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki gaya berbicara yang berbeda karena faktor biologis dan sosiologis. Dari segi faktor biologis, dalam hal ini faktor hormon, laki-laki cenderung agresif. Sedangkan dari faktor sosiologis, anak perempuan diharapkan untuk selalu berperilaku sopan, sedangkan laki-laki dihormati

PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN

(Setyoningsih) 391 dari sifat “ aktif agresif” dan “semangatnya”.

Teori analisis gender memiliki pandangan yang berbeda dari kedua teori sebelumnya dimana dalam teori ini, perempuan secara umum tidak berbicara dalam cara yang sama. Mereka memiliki pandangan dan harapan yang berbeda sesuai dengan perbedaan umur, kebangasaan, religi, kelas, orientasi seksual, latar belakang regional dan kultural, begitu juga laki-laki.

Melanjutkan paparan teoritis, Anang memaparkan pelbagai ideologi yang diperjuangkan perempuan berdasarkan analisis kosa kata dari beberapa kutipan elite perempuan, diantaranya adalah penolakan terhadap kodrat. Di Indonesia sepertinya sudah mejadi kodrat perempuan menjadi seorang ibu rumah tangga dimana tugasnya hanyalah menjalankan peran-peran domestik. Bahkan dalam budaya jawa, perempuan hanyalah menjalankan 3 M yaitu Masak, Macak, Manak. Pada kutipan THN, salah seorang elite perempuan yang menjadi sastrawan ditegaskan bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki kodrat, dan menjadi wanita pada hakikatnya sama menjadi pria. Ideologi yang lain adalah pembelaan terhadap kelompoknya yang tertindas. Ada kutipan yang cukup menarik dari seorang elite perempuan yang menjadi seorang sastrawati ketika ditanya tentang isi novel yang sedang ia tulis. Jawaban yang ia berikan adalah bahwa isi novelnya tentang marginalisasi perempuan yang secara langsung merupakan pembelaan terhadap kelompoknya. Masih banyak ideologi yang diungkapkan di buku ini yaitu ideologi keterikatan pada struktur, pemgambilan distansi untuk menunjukkan kemampuan, pengurangan distansi dalam kerangka solidaritas, pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki, dan perasaan senasib dengan sesamanya.

Setelah berkonsentrasi pada kajian kosa kata, Anang menitikberatkan analisis kutipan dari segi gramatika dan menemukan beberapa ideologi yaitu ideologi keteguhan dalam bersikap dan bertindak, pengandalan afeksi dalam mengkodekan realitas. Penonjolan agen untuk menunjukan kausalitas, pemerhalusan tuturan untuk memperpendek jarak sosial, pemertahanan terhadap keadaan yang sudah ada, pemberontakan terhadap realitaa di sekelilingnya, penonjolan peran individu, selalu mendorong terciptanya sebuah aktualisasi, penonjolan autoritas dalam membentuk realitas.

terperinci mengenai adanya dimensi yang rumit terkait relasi lingual dalam wacana perempuan. Wacana tersebut -khususnya wacana publik- akan lebih ditafsirkan sebagai relasi kuasa dan relasi ideologi daripada semata-mata hanya relasi antar unsur-unsur lingual atau kebahasaan saja. Anang juga menekankan bahwa membaca sebuah fenomena melalui wacana adalah sebuah proses seperti ketika kita berusaha memahami dunia atau menafsirkan tanda-tanda di sekitarnya jadi pembaca memiliki peran yang sangat besar dalam membaca fenomena tersebut.

Kata adalah salah satu simbol yang memiliki makna penting dalam wacana perempuan karena simbol tersebut digunakan sebagai instrumen perjuangan perempuan. Anang menyebutkan paling tidak ada tiga simbol yaitu (1) pengarusutamaan gender (2) kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (3) marginalisasi perempuan. Kata “Pengarusutamaan gender” adalah senjata yang digunakan perempuan untuk mengubah cara pandang masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, bahwa masalah gender adalah masalah bersama. Kata kedua yaitu “ kekerasan dalam rumah tangga” menjadi instrumen perempuan ke arah kesetaraan, dan dalam jangka panjang ke arah persamaan. Sedangkan kata yang ketiga “marginalisasi perempuan” digunakan para aktivis sebagai alat perjuangan untuk mengembalikan perempuan ke titik sentral karena selama ini banyak terjadi peminggiran perempuan di pelbagai bidang.

Wacana perempuan juga berfungsi sebagai arena perjuangan emansipasi. Apapun profesinya, entah sebagai menteri, istri pejabat, relawan, artis dan lainnya tidak membuat mereka berhenti memperjuangkan emansipasi. Bagi perempuan Indonesia, setara dalam hak dan kewajiban, setara dalam pembentukan dan konsumsi wacana public, setara dalam tugas privat dan setara dalam pencitraan sudah lebih dari cukup dan terus diperjuangkan sampai sekarang.

Perempuan di Indonesia banyak mengalami kekerasan simbolik (symbolic violence) yaitu sebuah bentuk kekerasan yang halus, dan tidak kasat mata yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi melaui sebutan, predikat, olok-olok, stereotip, syair lagu, moto, semboyan dan lain lain. Misalnya istilah Wanita Tuna Susila (WTS) tidak pernah ada padanannya yaitu Laki-laki Tuna Susila padahal baik perempuandan laki-laki sebenarnya

PERJUANGAN EMANSIPASI MELALUI BAHASA PEREMPUAN

(Setyoningsih) 393 memiliki andil yang sama dalam proses “pertunasusilaan”. Begitu juga dengan istilah laki-laki harapan bukanlah padanan kata dari wanita harapan karena laki harapan mengacu kepada laki-laki yang memiliki kelebihan di pelbagai bidang. Sedangkan wanita harapan merupakan sinonim dari Wanita Tuna Susila.

Perempuan diharuskan untuk terlibat dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik, makna-makna yang diperjuangkan akan terkonsumsi oleh publik, baik laki-laki maupun perempuan karena semua teks menyisakan terjemahan realitas yang bersifat subjektif, parsial, dan terfragmentasi (tidak lengkap) sehingga penafsiran wacana tersebut harus melibatkan penafsir yang lebih merata secara gender.

Ternyata, melalui pemilihan kosa kata dan gramatika, perempuan dalam hal ini elite perempuan secara sadar dan bawah sadar, eksplisit dan implisit, suka maupun tidak suka telah memperjuangkan beberapa ideologi akibat kekerasan simbolik yang dialami banyak perempuan di Indonesia.

Kelebihan dari buku ini adalah pembahasan secara komprehensif tentang bahasa perempuan dan relasinya dengan ideologi yang diperjuangkannya. Pelbagai sudut pandang di paparkan secara detil beserta referensinya karena pada dasarnya buku ini memang karya ilmiah hasil dari sebuah penelitian terhadap wacana elit perempuan.

Namun disisi lain, terdapat banyak istilah linguistik yang sulit dipahami oleh orang yang tidak begitu akrab dengan teorisasi bahasa, sehingga untuk memahaminya membutuhkan waktu dan pemikiran yang lama. Pilihan Anang ini tentu saja membuat buku ini menjadi agak kurang bisa dinikmati dengan tuntas oleh seluruh kalangan, sehingga terkesan “berat” dan membatasi pembacanya pada kalangan tertentu saja.

Di luar keterbatasannya, buku ini sangat bermanfaat karena telah mengisi kekurangan literatur dalam bidang relasi bahasa dan gender, khususnya yang berbahasa Indonesia. Bahwa perjuangan kesetaraan dapat memiliki banyak wajah, Anang menunjukkan dengan sangat cermat dan komprehensip bagaimana perempuan mempersepsi diri dengan dan melalui bahasa untuk menciptakan tatanan yang ramah baginya. Jadi, bahasa bukanlah sekadar susunan kata yang arbitrer, dan dengan demikian terbuka kesempatan bagi perempuan untuk mewacanakan kesetaraan melalui bahasa, sebagai sebuah pilihan.

Muhammad Zainal Abidin*)

Judul buku : FIQH PEREMPUAN,

Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender

Penulis : K.H. Husein Muhammad

Penerbit : LKiS Yogyakarta Cetakan : V, November 2009

Tebal : xiiv + 262 Halaman

Kita sadari atau tidak, fakta kehidupan dalam masyarakat kita terdapat akar sejarah yang panjang mengenai dominasi laki-laki atas perempuan, di mana dalam sebagian besar sektor yang dibangun adalah berlandaskan pada tatanan yang timpang juga, yaitu tatanan nilai yang menjadikan laki-laki ditempatkan sebagai pihak superior (kuat) dan sebaliknya perempuan harus menerima kenyataan menjadi pihak yang inf­erior (lemah). Tatanan ini terbentuk dengan proses panjang dalam lingkungan sosial budaya di sekitar kita sendiri.

Laki-laki dan perempuan seringnya dibedakan karena faktor biologis (jenis kelamin) yang dimiliki, dan perbedaan inilah yang kemudian ditradisikan menjadi ajang untuk menjadikan perempuan menjadi sosok yang lemah, kalah, dan belakang. Parahnya kemudian, pemahaman inilah yang selama ini dianggap sebagai gender, padahal gender adalah bukan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada faktor biologis (apalagi karena faktor beda jenis kelamin) akan tetapi didasarkan pada hasil konstruk sosial dan bukan ciptaan Tuhan. Artinya telah sekian lama terjadi bias atau bahkan kesalahan) dalam memahami gender karena perbedaan secara biologis itu bersifat kodrati, dimana laki-laki mempunyai penis dan perempuan mempunyai vagina, dan lain sebagainya.

) Penulis adalah Alumni STAIN Kudus

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 194-200)