• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usaha Kemandirian Perempuan

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 62-69)

KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL:

D. Usaha Kemandirian Perempuan

Usaha untuk membangun bangsa bersama kaum perempuan akan menjadi sebuah realitas jika perempuan mempunyai jiwa mandiri. Kemandirian merupakan sebuah sikap yang berangkat dari kesadaran diri untuk tidak mudah tergantung pada orang lain, namun mandiri bukan berarti tidak butuh orang lain. Kebutuhan akan pihak lain hanyalah sebagai bagian dari interaksi sosial sedangkan kesendiriannya dalam menuntuskan tanggungjawabnya dapat diselesaikan sendiri. Bentuk kemandirian ini sangat beragam. Paling tidak ada tiga karakter kemandirian perempuan dalam skala mikro, yaitu: kemandirian berkeluarga, kemandirian bermasyarakat dan kemandirian berprestasi.

Kemandirian berkeluarga menjadi cermin awal dalam proses penataan diri. Dalam hal ini, perempuan diasah untuk mandiri. Jika dalam struktur kehidupan berkeluarga perempuan

KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL

(M. Rikza Chamami) 257 sudah mampu dan terbiasa mandiri maka sudah barang tentu akan meningkat pada hierarki kemandirian di atasnya. Bentuk kemandirian dalam kehidupan berkeluarga dapat diwujudkan dengan saling mendukung urusan domestik dan karier. Dua hal ini menjadi bagian dari tugas yang secara transenden perlu diselesaikan. Dalam penyelesaian itu terkadang perempuan secara tidak sadar tidak mampu menyelesaikan dengan kreatifitas dan kemandiriannya. Akibatnya, kemandirian yang dimilikinya akan lari. Oleh sebab itu, kemandirian dengan pola pertama ini perlu diasah dan dikembangkan.

Pola kemandirian perempuan yang lainnya adalah kemandirian bermasyarakat. Pada titik inilah seorang perempuan mempunyai peran yang sangat strategis dalam membangun transformasi sosial. Perempuan mempunyai jiwa yang sangat luwes dan supel dalam berkomunikasi. Bekal inilah yang akan dijadikan untuk menata kemandirian bermasyarakat. Ketika berinteraksi dengan tetangga, organisasi, lintas agama dan lintas negara, perempuan mempunyai modal dasar cepat ramah. Dengan keramahan itulah akan terwujud sebuah kemandirian untuk membangun masyarakat.

Sedangkan kemandirian berprestasi akan menutup citra negatif tentang perempuan. Prestasi besar yang dicapai dalam menata jiwa mandiri di keluarga dan masyarakat merupakan bukti bahwa perempuan mampu. Untuk selanjutnya prestasi itu ditingkatkan pada ranah yang lainnya. Misalnya bagaimana seorang perempuan karier yang mendedikasikan hidupnya dalam hal masak-memasak, menyajikan sebuah hidangan/masakan lokal tetapi dipublikasikan di tingkat internasional. Sama halnya dengan prestasi perempuan dalam bidang keilmuan dan sains menjadi tolok ukur untuk menegasikan hilangnya kepercayaan masyarakat pada perempuan.

Ada kemungkinan memang bahwa perempuan rawan untuk dilupakan. Ada kendala mengapa perempuan cenderung terlupakan. Mansour Faqih (1996: 87) menyebutkan ada tiga kendala yang dihadapinya sebagai berikut: 1) kendala struktur sosial; 2) kendala minoritas unik; dan 3) kendala mitos. Ketiganya akan hilang sendirinya jika perempuan itu mandiri dan berprestasi.

Sikap teguh seorang perempuan pernah dilakukan oleh Ummu Salamah selama menjadi seorang istri Rasul yang sangat

bijak dalam menemani hidupnya (Abdul Aziz Asy-Syinnawi, 2006: 107). Suatu ketika Nabi memerintah menyembelih qurban dan mencukur rambut, tapi tak satupun sahabat yang patuh. Ummu Salamah menyampaikan kepada Rasul seraya berkata, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau memarahi mereka, karena di dalam diri mereka tersembunyi maksud yang agung, yakni terkait dengan salah satu kesepakatan dalam perjanjian yang dirasakan memberatkan dirimu dan mereka harus pulang tanpa kemenangan”.

Wanita muslimah lainnya yang terkenal dengan kecerdasannya pada masa awal Islam dikarenakan ilmu, kecerdasan, pendapat, keutamaan, pengajaran dan riwayat haditsnya adalah: Arwa binti Al Harits, Fathimah Azzahra, Laila Al Ghifariyyah, Ummu Kultsum binti Imam Ali, Maimunah binti Haritsah, Malikah binti Nu’man dll. (Abd ar-Rasul Abdul Hasan al-Ghaffar, 1995: 67).

Figur-figur itu dapat dijadikan teladan mengenai sikap perempuan yang ramah kepada keluarga, ramah kepada masyarakat dan mampu untuk memperjuangkan orang banyak. Kepedulian terhadap orang lain adalah sebuah tantangan besar bagi perempuan, sebab kecintaan kepada keluarga terkadang menutup cintanya pada pihak lain. Sehingga perlu diubah stigma mengenai hal ini.

Senada dengan hal di atas, ketika seseorang mempunyai rasa cinta kepada negaranya (hubb al-wathan), terselip rasa benci terhadap negara lainnya. Ternyata sikap cinta negara dengan pola demikian kurang tepat. Yusuf Sutanto mengamati bahwa China sebagai suatu negara, menyebutkan bahwa dalam literatur Islam sejak Nabi Muhammad Saw. masih hidup pernah bersabda “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China”. Dengan demikian, dalam perkembangan Islam pun pada masa itu telah ada komunitas muslim di China.

Indonesia juga pernah dikunjungi oleh semua tradisi besar yang ada di dunia dan memiliki budaya yang merupakan buah dari crosscultural fertilization yang telah berlangsung sangat lama sehingga semuanya merasa ikut memiliki. Modal sosial ini sangat berharga untuk terus mengembangkan peradabannya sendiri sebagai bagian dari membangun dunia yang semakin menghargai hak-hak asasi. Untuk itu, diperlukan cara pandang (episteme) yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang

KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL

(M. Rikza Chamami) 259 selalu mau terus belajar sepanjang hayatnya. Ajaran yang bersifat open end ini memungkinkan setiap orang bisa mempunyai hati dan pemikiran yang semakin luas dan yang sangat diperlukan dalam membangun peradaban masa depan.

Berdasar uraian Yusuf Sutanto sebagaimana termaktub di atas, mengandung kesan adanya kecenderungan lebih mengamati sisi cultural history antara Nusantara dan China, padahal di lapangan benturan-benturan kepentingan selama ini lebih menonjol, muaranya adalah pada kekuasaan, mengingat kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi kekuasaan dan yang menandai subyek. Karena Foucault mempertautkan kekuasaan dengan pengetahuan, sehingga kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan menyediakan kekuasaan, dan kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan regulasi. Disini, dampak tekanan terhadap orang China pada era Orde Baru masih membekas sampai sekarang, terbukti dengan masih banyaknya kalangan masyarakat China di Indonesia yang masih belum berani bersikap dalam menentukan orientasi politiknya, dan lebih memilih mengikuti arus kuat yang mengalir (Eko Ali Roso, 2010: 258).

Dengan demikian, perlu ada rumusan tentang kemandirian dalam memaknai nasionalisme dan internasionalisme. Perempuan juga mampu untuk mewujudkan kemandirian dalam menatap wajah baru guna membangun nasionalisme yang lebih luas maknanya. Selain upaya ini menjadi bentuk baru dalam transformasi sosial, perlu juga dilihat bahwa penguatan nasionalisme juga perlu melibatkan komitmen perempuan.

Selain nasionalisme, ada satu hal penting yang perlu melibatkan peran perempuan, yakni dalam hal memajukan pendidikan Indonesia. Fakta yang ada di lapangan, guru TK dan SD, hampir rata-rata didominasi perempuan, sebab perempuanlah yang mempunyai jiwa kesabaran dalam membina mental dan akhlak anak. Namun, berbeda halnya ketika tingkat SMP hingga Perguruan Tinggi. Guru dan dosen yang mendidik sudah didominasi laki-laki. Sehingga cara didik dan pengarahannya menjadi beda.

Mengingat tanggungjawab memajukan pendidikan nasional merupakan tugas yang sangat berat untuk dilaksanakan. Paling tidak, untuk memajukan dunia pendidikan membutuhkan

perangkat penyempurnaan secara sistemik dalam berbagai hal, antara lain: peningkatan kualitas dan pemerataan penyebaran guru, kurikulum yang disempurnakan, sumber belajar, sarana dan prasarana yang memadai, iklim pembelajaran yang kondusif, serta didukung oleh kebijakan (political will) pemerintah baik pusat maupun daerah (E. Mulyasa, 2008: 5).

Dari semuanya itu, guru merupakan unsur paling penting dari proses kependidikan. Karena di tangan gurulah kurikulum, sumber belajar, sarana prasarana dan iklim pembelajaran menjadi sesuatu yang berarti bagi peserta didik. Di pundak guru terletak tanggungjawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan cultural transmission yang bersifat dinamis ke arah suatu perubahan secara kontinyu, sebagai sarana vital untuk membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia.

Guru adalah orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik, karena besarnya tanggung jawab guru terhadap anak didiknya maka apapun bukan menjadi penghalang bagi guru untuk selalu hadir di tengah-tengah anak didiknya. Guru bisa saja disebut sebagai pendidik, pendidik merupakan orang yang memiliki tanggungjawab untuk mendidik (Ahmad D. Marimba, 1989: 37). Guru perempuan mempunyai jiwa yang sangat halus dan budi luhur. Sehingga perlu diwujudkan sebuah kemandirian guru perempuan untuk menjadi garda depan dalam memajukan pendidikan karakter yang sedang banyak diperbincangkan.

Satu usaha kaum perempuan dalam menjaga bangsa ini adalah dengan prinsip kemandirian dalam membangun budaya, sosial, politik dan pendidikan. Usaha sadar perempuan dalam transformasi ini akan sangat bermakna dalam mewujudkan sebuah impian baru bernama negara yang bermartabat dan berdaulat dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Dengan usaha itulah, maka kemandirian yang dimilikinya akan abadi selamanya.

E. Penutup

Perempuan adalah sosok idaman yang mampu diajak membangun bangsa dan negara menuju

KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL

(M. Rikza Chamami) 261 Perannya dalam transformasi sosial sangat bisa diandalkan jika ia mempunyai tiga prinsip hidup: aksi, peduli dan mandiri. Bentuk aksi terwujud dalam langkah kongkrit yang dilakukan. Peduli sebagai aktualisasi dari sikap responsif terhadap kondisi sosial. Sedangkan mandiri menunjukkan bahwa perempuan mampu dan berdaya guna di tengah kepentingan umum.

Dalam menopang kemandiriannya, perempuan perlu sadar dengan tiga jenis kemandirian; kemandirian keluarga, kemandirian masyarakat dan kemandirian prestasi. Dalam menyelesaikan tugas kemandirian itu, segmen yang diutamakan untuk diselesaikan adalah membangun bangsa dengan nasionalisme dan membangun pendidikan karakter. Dengan itu semua, transformasi sosial yang dilakukan akan merata pada semua segmen kehidupan; budaya, sosial, politik, hukum, pendidikan dan ekonomi.

Al-Akkad, Abbas Mahmoud, Wanita dalam Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Abdul Aziz, Sa’ad Yusuf, 101 Wasiat Rasul untuk Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.

Abu Syuqqah, Abdul HaliM. Kebebasan Wanita,Jakarta: Gema Insani Press,1997.

Al Ghaffar, Abdur Rasul Abdul Hasan, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.

Annisa Lathifah, La Tahzan f­or Modern Muslimah: Bahagia dengan Kegelisahan, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008.

Asy-Syinnawi, Abdul Aziz, 12 Wanita Pejuang Bersama Rasulullah, Jakarta: Amzah, 2006.

E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.

Eko Ali Roso, “Membangun Relasi Islam Indonesia dan China”, dalam Jurnal Harmoni Vol IX No. 34, Jakarta: Puslitbang Kemenag RI, 2010.

Gufran Ali Ibrahim, “Budaya Patriarchi, Sumber Ketidakadilan Gender”, dalam Adnan Mahmud dkk (Ed), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Mansur Faqih, Analisis Gender dan Transf­ormasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Muhammad Ali Al-Hasyimi, Muslimah Ideal: Pribadi Islami dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, Mitra Pustaka, 2004.

Ramadan Hafizh, The Colour of Women: Mengungkap Misteri Wanita, Jakarta: Amzah, 2009.

Rr. Suhartini, “Pemberdayaan Perempuan”, dalam Moh Ali Aziz (ed), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.

Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik: Pengaruhnya pada Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Ide Utama

Muhamad Mustaqim*)

ABSTRACT: In today’s world, the existence of female circumcision is still in debate. It is called voluntary female circumcision or it is also known as Female Genital Mutilation(FGM). Here, female circumcision is often associated with religious teachings and traditions of society that must always be maintained. For some f­eminists, f­emale circumcision is considered as the practice of violence that should be eliminated from society. Community culture and religious traditions that have been more nuanced patriarchal, became the legitimacy of the continuity of this practice. This paper describes some trends of circumcision, implementation of women, the religious dimension, tradition and critical review of this practice.

Keywords: female circumcision, traditions, religious and gender violence

A. Pendahuluan

Tuhan menciptakan manusia dari jenis laki-laki daan perempuan tidak lain adalah untuk mewujudkan ketenangan, kedamaaian dan kasih sayang antar keduanya. Ini berarti meniscayakan tidak adanya eksploitasi, penindasan dan ketidakadilan antar masing-masing jenis. Sebagaimana pengertian terminologinya, gender merupakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan atas dasar konstruk sosial yang mengitarinya. Tabiat gender yang bisa dipertukarkan, menjadikan terlindunginya hak antar keduanya. Dalam hal ini,

) Penulis adalah Dosen STAIN Kudus

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 62-69)