• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Gender pada tahun 1900-an sampai 1990- 1990-an

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 181-187)

DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

C. Relasi Gender di Amerika

3. Konstruksi Gender pada tahun 1900-an sampai 1990- 1990-an

diri mereka sebagai “Black American Feminism”. Hingga kini pun, mereka masih berusaha mendapatkan kebebasan. Mereka telah mengalami penekanan di rumah, di tempat kerja, di komunitas mereka dan terlebih lagi dalam suatu budaya yang mendominasi.

3. Konstruksi Gender pada tahun 1900-an sampai 1990-an

Pada akhir abad 19, cita-cita domestik yang diinginkan oleh masa Victorian telah pudar. Era Jazz tahun 1920-an muncul, yaitu suatu era ketika perempuan mulai melawan konvensi mengenai kepantasan sikap bagi perempuan, suatu perlawanan yang ditunjukkan baik dalam gaya berpakaian yang berubah

dan gaya hidup yang berubah seperti merokok, minum, dan mencoba hal-hal yang berbau seksualitas.

Peran domestik dan peran sosial perempuan beberapa kali mengalami pasang surut antara tahun 1920 sampai 1950. Keberlebihan dan kekurangan yang ditunjukkan dalam setiap periode menyebabkan naik turunnya peran-peran ini. Kejadian-kejadian penting yang membawa pengaruh antara lain Perang Dunia I (tahun 1920-an), Masa Depresi dan New Deal, Perang Dunia II dan Setelah Perang Dunia II (tahun 1950-an). Kaum perempuan secara keseluruhan terpengaruh tetapi seberapa jauh dan dengan cara bagaimana mereka terpengaruh sungguh berbeda-beda.

Perempuan kulit putih yang telah menikah sangat dipengaruhi oleh ikon-ikon sosial sebagai ibu rumah tangga yang modern pada tahun 1920-an. Mereka juga cakap dalam hal pendidikan, karir dan kehidupan rumah. Dilihat dari sisi keidealan, mereka telah mempunyai segalanya. Depresi telah merusak impian-impian mereka dan mendorong keluar perempuan dari kancah dunia kerja sehingga kesempatan dikembalikan kembali kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Depresi finansial ini membawa implikasi sosial juga. Dengan timbulnya Perang Dunia II, maka ketenagakerjaan disodorkan kembali kepada istri-istri dan ibu-ibu ini. Kepentingan Negara terpaksa melukai kehidupan keluarga karena perempuan mengikuti apa yang dulu telah ditetapkan sebagai pekerjaan laki-laki. Setelah Perang Dunia II, dengan tujuan untuk mengamankan kembali pekerjaan-pekerjaan laki-laki, sosialisasi dilakukan dengan sasaran perempuan yang telah menikah untuk mengembalikan mereka kembali ke wilayah domestik.

Perempuan kulit putih yang lajang berhasil baik pada tahun 1920-an tetapi gagal pada masa Depresi. Selama Kebangkitan Kedua posisi-posisi professional yang sekali waktu pernah dipegang oleh perempuan kulit putih lajang yang berpendidikan, kemudian menjadi diperuntukkan untuk laki-laki. Kesempatan bagi para perempuan ini hilang. Selama Perang Dunia II ketenagakerjaan seperti halnya kesempatan politik terbuka lebar bagi perempuan kulit putih yang masih lajang. Mereka juga diperbolehkan bekerja di bidang militer. Tetapi kurangnya laki-laki dan kuatnya propaganda yang muncul setelah Perang pada tahun 1950-an membuat perempuan kulit putih lajang

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 377 ini menjadi rentan terhadap teknik sosialisasi yang membawa mereka kembali ke rumah. Hal ini menarik bagi perempuan muda tetapi tidak bagi perempuan yang berpendidikan dan professional. Ini adalah sebuah langkah mundur bagi aspirasi mereka.

Perempuan Amerika-Afrika menjalani kisah hidup mereka sendiri dan meskipun banyak perubahan telah terjadi akibat dari serangkaian kejadian, tetaplah ada masalah yang sama yang belum terselesaikan, diantaranya adalah diskriminasi dalam lapangan kerja. Mereka adalah pihak yang paling akhir diberi kesempatan dalam hal ketenagakerjaan ketika itu dibuka dan yang pertama disuruh menyingkir ketika kesempatan ditutup. Apalagi mereka tidak diberikan dukungan dan sarana untuk kembali menjadi ibu rumah tangga. Pada kenyataannya, perempuan Amerika-Afrika disamping perjuangannya, tetaplah menjadi kontributor finansial rumah tangga mereka. Mereka pada akhirnya naik menjadi kepala rumahtangga sebagai kesempatan yang paling mungkin bagi mereka daripada pasangan mereka.

Peran yang diharapkan perempuan secara drastis berubah sejak tahun 1950-an. Perang Dunia II menghilangkan banyak laki-laki dari rumah-rumah dan pekerjaan mereka, meninggalkan banyak pekerjaan terbuka yang hanya perempuanlah yang dapat mengisinya. Perempuan mengambil pekerjaan-pekerjaan yang secara tradisional hanya laki-laki yang memegangnya. Akhir perang membawa kepada kembalinya para prajurit dan kembali ke pekerjaan masing-masing sebelum perang dan membuat perempuan kembali ke posisinya sebagai ibu rumah tangga. Tahun 1950-an dan 1960-an, peran gender perempuan melukiskan mereka sebagai ibu-ibu rumah tangga yang bahagia yang ingin kelihatan senantiasa cantik, dapat menata rumah, mengasuh anak dan melayani suami. Tidak ada kebutuhan atau keinginan dari perempuan pada masa ini untuk dipekerjakan karena kepuasan diri sebagai pekerja sama saja dengan kepuasan menjalani peran sebagai istri (Barnet: 1182). Mendekati tahun 1970-an, perempuan mulai tidak mengindahkan peran gender yang telah diterima secara luas yang dahulunya dipegang. Kini ia berusaha mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan mendapatkan tempat dalam dunia kerja. Hal ini adalah awal dari apa yang disebut “one of the most significant social and economic trends in modern U.S. history”.

Melalui sejarah, laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah keluarga atau “men were [typically] the family breadwinners (www.pbs.org). perempuan jarang dididik di tingkat perguruan tinggi karena peran mereka adalah sebagai ibu rumah tangga. Tetapi hal ini berubah pada tahun 1970-an ketika gerakan feminisme dimulai. Sekarang ini, perempuan telah mengambil kontrol penuh atas pemilihan peran yang ingin dimainkannya dan sebagai hasilnya lebih banyak perempuan yang bekerja sekarang ini dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya (www.ilo.org). Naiknya jumlah perempuan dalam lapangan kerja dikarenakan kesempatan yang lebih besar yang diberikan pada perempuan dalam pasar kerja, pencapaian tingkat pendidikan yang terus menaik, ukuran keluarga yang mengecil, kemandegan atau bahkan turunnya upah bagi laki-laki, naiknya biaya untuk mempertahankan gaya hidup kelas menengah, semakin panjangnya rentang hidup seseorang dan pembebasan dalam hal tingkah laku berkaitan dengan peran yang cocok bagi laki-laki maupun perempuan dalam keluarga.

Biaya hidup yang naik pada tahun-tahun terakhir ini merupakan faktor utama kebutuhan perempuan untuk bekerja daripada hanya sekedar keinginan belaka. Perubahan yang paling kentara diantara laki-laki dan perempuan adalah perubahan dalam pandangan peran gender yang stereotip. Laki-laki tidak lagi mengharapkan istrinya yang mencucikan bajunya dan perempuan pun tidak lagi mengharapkan laki-laki menjadi satu-satunya pemberi nafkah dalam keluarga. Peran gender menjadi kurang stereotip, membiarkan perempuan merasakan kemandirian dan berkontribusi pada keberlangsungan keluarga dalam peran yang dianggap cocok, tidak mengacu pada masa lalu di tahun 1950-an.

Fenomena buku Betty Freidan yang berjudul The Feminine Mystique (1963) memberikan perempuan kesempatan untuk memeriksa kembali kehidupan mereka sendiri. Buku ini memberikan kepada perempuan yang selama ini dibesarkan dengan kepercayaan bahwa peran alam mereka adalah sebagai ibu rumah tangga, suatu wawasan akan hal kemungkinan lain demi pemenuhan kepuasan diri secara pribadi. Feminis berpendapat bahwa tak ada seorang perempuan pun yang dapat menemukan kepuasan pribadi sejati dalam peran sebagai ibu rumah tangga. Meskipun banyak perempuan yang tidak puas dengan gaya hidup seperti ini, tetapi juga tetap ada beberapa

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 379 yang senang sebagai istri dan ibu.

Sejak revolusi seks pertengahan tahun 1960-an, segala skenario hubungan antara laki-laki dan perempuan telah berubah kearah nilai-nilai liberal.

William Chafe dalam tulisannya The Road to Equality (1962-today) yang tertuang dalam buku American Women History menulis bahwa begitu Amerika menyambut tahun 2000, beberapa isu bermunculan tentang perempuan. Meskipun mengalami kemajuan, perempuan tetaplah korban utama ketidaksetaraan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Meskipun 40 % perempuan kulit hitam berpartisipasi di dalam kelas menengah dan sebagai pengacara, dokter dan eksekutif, 40 % yang lain terperangkap dalam kumparan kemiskinan, pengangguran dan masalah sosial.

Pada pertengahan 1990-an pembuat kebijakan dan orang-orang Amerika secara umum kelihatannya telah menemukan kompromi dalam hukum dan konstitusi mengenai status perempuan. Di balik keengganan badan pembuat undang-undang Negara untuk mengesahkan ERA—Amandemen hak-hak kesetaraan (1982) tersimpan ketakutan pihak-hak konservatif bahwa perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki akan dihilangkan. Akhirnya ERA gagal karena orang-orang semacam Judy Morgan dan Dianne Chavis tidak berharap pembuat undang-undang mereka betul-betul meninggalkan nilai-nilai tradisional (hal.83-84).

Perempuan berusaha memperoleh jabatan-jabatan politik pada tahun 1990-an. Pemerolehan jabatan itu lebih banyak pada tingkat lokal dibanding nasional. Masih terus adanya sekat gender dalam pemilihan suara—perempuan lebih memperhatikan isu sosial seperti pendidikan, pengawasan senjata, kesehatan, dan keamanan masyarakat—membuat para politisi mengabaikan kehadiran perempuan.

Pilihan reproduktif terus menjadi isu yang penting dalam politik khususnya oleh kaum Kristen fundamentalis yang menolak aborsi sebagai perampasan hak hidup. Mahkamah Agung Amerika telah memperbolehkan beberapa Negara bagian mengatur kondisi darurat yang memungkinkan perempuan memilih aborsi, dan itu diputuskan pada tahun 1992. Hal ini untuk menjaga kemajemukan masyarakat Amerika. Namun, banyaknya gerakan anti aborsi, dimana diantaranya ada yang

menggunakan cara-cara kekerasan telah berhasil mengurangi secara drastis jumlah penyedia jasa aborsi.

Baik dalam ERA maupun aborsi tampak adanya kecenderungan membalik keadaan dengan cara yang ekstrim baik itu dari yang pro maupun yang anti feminisme. Pertanyaan lebih besar adalah apakah program-program feminisme seiring sejalan dengan program dari kelompok masyarakat lain yang peduli untuk memperjuangkan masyarakat yang lebih adil. Pada tahun 1990-an kebijakan Amerika mengesahkan cuti bekerja selama 12 minggu bagi ibu melahirkan tetapi menyerahkan urusan gaji pada yang mempekerjakan. Para ibu mungkin pihak yang paling besar mendapat keuntungan, tetapi hal ini sebenarnya untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Tidak ada isu yang lebih besar di Amerika selain isu tentang gender, ras dan kelas. Melalui pengorbanan dari beberapa aktivitas yang tak terhitung jumlahnya, masyarakat Amerika diminta untuk terus mendengungkan masalah ras dan gender yang terus ada di bidang hukum maupun di dalam kehidupan masyarakat pada pertengahan kedua abad 20, untuk juga mengurangi ketimpangan yang dialami oleh mereka hanya karena lahir tidak sebagai laki-laki atau kulit putih.

Amerika yang baru dan yang lebih bebas masih menjadi angan-angan, dengan jutaan orang tidak dapat mengambil manfaat dari perubahan yang dihasilkan dari penyokong hak asasi manusia dan feminis. Jika saja Amerika dapat bergerak sebesar mungkin tenaga yang dibutuhkan, maka tujuan memperluas hak asasi manusia dan kehidupan yang layak bagi masyarakat kelas bawah dan juga perjuangan panjang penyetaraan antara laki-laki dan perempuan akan dapat terwujud (hal. 85-86).

Kondisi Amerika sekarang telah menerima perempuan sebagai partner yang setara, tetapi perempuan ingin lebih setara. Selama tahun 1990-an, pilihan peran tradisional perempuan terus terkikis dan sekat gender mulai menyempit. Tahun 1990-an juga memunculk1990-an fenomena laki-laki kulit putih y1990-ang marah (angry white man), laki-laki Amerika merasa terdesak, ditekan untuk menjadi maskulin dalam budaya yang tidak lagi menghargai laki-laki dalam peran tradisionalnya. Stiffed Faludi dalam The Betrayal of the American Man (1999) seperti dikutip dalam www.encyclopedia.com, menulis bahwa kebanyakan laki-laki tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi

PEMBAGIAN PERAN DALAM RUMAH TANGGA AMERIKA

(Dewi Ulya Mailasari) 381 dalam kehidupan masyarakat dengan secara lebih berarti. Di tengah krisis, beberapa melihat bahwa masa sekarang adalah kesempatan baru bagi laki-laki untuk lepas dari stereotip lama dan memunculkan paradigma baru kemaskulinan ; tugas mereka bukan untuk menetapkan bagaimana manjadi maskulin tetapi kemaskulinan tersebut terletak pada bagaimana menjadi manusia seutuhnya. “Their task is not, in the end, to figure out how to be masculine; rather their masculinity lies in figuring out how to be human”.

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 181-187)