• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi Sosial

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 58-62)

KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL:

C. Transformasi Sosial

Salah satu segmen kehidupan yang mampu menjaga tatanan moral dan martabat kehidupan adalah agama. Agama menjadi salah satu icon penting dalam kehidupan—untuk mengendalikan sikap, perilaku dan nilai yang dimiliki manusia. Agama cenderung melindungi dan mewujudkan kebaikan daripada membentuk karakter negatif yang jauh dari Tuhannya. Agama seakan mengajak manusia untuk percaya bahwa di atasnya ada kekuasaan absolut yang harus diakui.

Dalam konteks ini Emile Durkheim, sosilog terkemuka asal Perancis, dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama sebagai: “Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church” (satu sistem yang terkait anatar kepercayaan dan praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, yang mampu menyatukan pengukutnya menjadi satu kesatuan masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari pengertian ini, agama dapat dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan di antara pemeluknya. Sehingga ketika agama dijadikan keyakinan, maka dapat berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara kolektif.

KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL

(M. Rikza Chamami) 253 Pandangan itu berbeda dengan pendapat Karl Marx yang sejak awal sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Menurutnya agama telah dijadikan alat untuk membangun ”kesadaran palsu” untuk mengalihkan perhatian pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas. Sehingga Marx pesimis agama mampu membentuk transformasi sosial.

Agama di Indonesia menjadi hak asasi manusia yang paling mendasar. Sebab agama adalah kebebasan dalam memilih keyakinan yang tidak dapat dihalangi atau dikurangi oleh siapapun juga baik oleh negara maupun warga masyarakat. Hal ini berdasarkan adanya pengakuan bersama bahwa nilai kemanusiaan memiliki kedudukan yang tinggi karena manusia adalah karya puncak Tuhan. Atas dasar itu, maka pilihan keyakinan yang dilakukan seseorang semata-mata bersumber dari kesadaran dirinya.

Sudah menjadi hukum alam bahwa paham kebebasan individu itu akan melahirkan suasana kemajemukan yang tidak mungkin diseragamkan. Namun, betapapun keberadaan kemajemukan itu akan tetapi semua warga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus berdasar dan sekaligus menuju kepada cita-cita yang satu. Inilah yang disebut kesatuan dalam keragaman (unity in diversity) yang dilambangkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu tujuan. Hal itu berarti bahwa formulasi bentuk keyakinan dan pengamalan kepada Tuhan bisa berbeda-beda namun harus tetap memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai warganegara diharapkan memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap setiap warga masyarakat untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya tersebut. Hal inilah yang menjadi filosofi dasar bangsa Indonesia.

Sebagai agama, Islam mengajak kepada para pemeluknya untuk peduli terhadap kondisi sosial. Ini dicontohkan oleh Nabi,

dimana ia selalu memberikan nasehat kepada para istrinya untuk selalu berbicara yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain. Sebab sebagian kesalahan umat Islam adalah akibat dari kesalahan lisannya; Inna aktsara khathaya ibnu Adama fi lisanihi (Syaikh Sa’ad Yusuf Abdul Aziz, 2009: 673). Dengan kesadaran untuk berkomunikasi secara baik inilah transfromasi sosial akan dengan mudah dibangun secara paten. Artinya perempuan bagi Nabi mempunyai potensi dalam berkomunikasi guna mentransformasikan pemberdayaan masyarakat.

Transformasi sosial dalam struktur kemasyarakatan sangat mempunyai makna penting dalam segala hal. Transformasi sosial misalnya, mampu memberi perubahan dari beberapa aspek kehidupan, seperti halnya moralitas, nilai, pranata sosial, wawasan, pola berpikir, atau adat istiadat yang telah lama terjadi di masyarakat. Perubahan yang dimaksudkan berupa perubahan yang bersifat umum dan khusus. Perubahan umum bertumpu pada bagaimana ada perubahan yang terlihat dari sikap masyarakat secara umum. Sedangkan perubahan khusus terjadi pada individu-individu masyarakat.

Perubahan demi perubahan ini yang akan menjadi titik tolak untuk kita berangkat menata hal yang tidak baik menjadi baik. Demikian pula, hal yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan melihat pada perubahan khusus inilah, transformasi sosial bukan sekadar perubahan seperti yang tak bermakna. Sebab perubahan individu ini akan mempola secara besar tentang perubahan yang sifatnya umum. Selain itu, agenda besar dalam perubahan lainnya juga akan mampu terselesaikan. Misalnya perubahan mutu kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat.

Melihat pentingnya transformasi sosial ini, perlu dijadikan patokan, bahwa terdapat tiga strategi besar dalam pembangunan sosial (Rr. Suhartini, 2009: 194):

1. Melalui individu (tanpa menunjuk jenis kelamin). Individu-individu dalam masyarakat secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat untuk memberdayakan ma-syarakat.

2. Melalui komunitas. Kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya. 3. Melalui pemerintah. Pembangunan sosial dilakukan oleh

KREATIFITAS PEREMPUAN DALAM TRANSFORMASI SOSIAL

(M. Rikza Chamami) 255 Tiga komponen dasar ini harus menyatu ketika agenda besar tentang transformasi ini dijadikan program bersama, dan perempuanlah yang menjadi garda besar dalam mengkomunikasikan hal ini. Sudah tidak ada lagi kekuatan negatif yang dikhawatirkan, mengingat dalam hal ini, perempuan dalam Islam mempunyai posisi yang sangat strategis. Setidaknya ada empat hal yang dapat dilakukan oleh perempuan dalam mensukseskan transformasi sosial ini.

Pertama, perempuan memposisikan dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Dikotomi gender yang selama ini kental diperbincangkan dengan menyatakan bahwa perempuan tidak berdaya, perlu diluruskan. Penyeimbangan peran perempuan ini perlu dibarengi dengan keberperanan dan prestasi. Sehingga perempuan sudah saatnya keluar dari rumah dan ikut bergabung membangun bangsa.

Kedua, memperkuat jaringan studi gender dengan agenda membangun masyarakat adil dan jujur. Banyak komunitas gender yang sudah berdiri dan eksis selama ini. Namun kondisinya masih belum begitu maksimal. Untuk itu dibutuhkan tenaga ekstra untuk menggerakkan pusat studi yang telah ada agar lebih solid dengan misi sosial yang sangat agung. Sudah tidak lagi waktunya bagi pusat studi gender untuk memperdebatkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, karena yang penting saat ini bukanlah argumentasi, tetapi perempuan butuh aksi dalam mengelola, merawat dan memberdayakan masyarakat secara bersama. Sebab, perjuangan kaum laki-laki dalam membentuk bangsa yang adil dan jujur jauh dari kesuksesan, yang diharapkan dengan keterlibatan perempuan menata bangsa, maka beban berat untuk membersihkan bangsa ini dari mental ketidakjujuran akan menjadi ringan dan mendekati kesuksesan.

Ketiga, mengajak kepada seluruh perempuan untuk semakin berdaya dalam menata keluarga untuk menjadi masyarakat yang peduli sosial. Keluarga bagi perempuan adalah ibarat bunga dan mahkota. Perempuanlah yang paling berperan aktif dan mengetahui seluk beluk keluarga, bahkan boleh dikatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan keluarga sangat tergantung dengan figur perempuan. Jika perempuan bergerak secara aktif dan mendidiknya dengan baik, maka yang keluarga itu akan berjiwa positif, begitu pula sebaliknya. Jika semua keluarga diberdayakan oleh perempuan dengan teknik

mendidik dengan baik, maka seluruh isi bangsa ini akan menjadi baik dan sudah barang tentu ada prestasi dalam kehidupan sosialnya.

Keempat, memperjuangkan hak-haknya dengan pendekatan sosio-antoposentris. Hak perempuan sangat banyak sekali, akan tetapi hak itu menjadi hilang ketika perempuan sendiri membiarkan dengan tidak mengambil hak itu. Artinya, hak itu hilang bukan karena dicuri oleh orang dan akhirnya perlu dirampas kembali oleh perempuan. Sekarang waktunya untuk memperjuangkan kembali hak-haknya dalam berpartisipasi dalam transformasi sosial.

Dengan demikian, transformasi sosial akan dapat dilaksanakan oleh para perempuan jika hak tersebut jalan on the track. Proses transformasi akan mengalami kemajuan yang sangat pesat jika perempuan memiliki andil besar. Selama ini terjadinya stagnasi sosial akibat dihilangkannya peran perempuan dalam kegiatan sosial—berakibat pada munculnya krisis multidimensional. Oleh sebab itulah, kesadaran akan kebersamaan dalam membangun bangsa baik oleh laki-laki dan perempuan perlu kembali dirajut. Tidak ada salahnya jika perempuan diajak untuk menata bangsa yang semakin terpuruk mentalitasnya.

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 58-62)