• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menimbang Pendekatan Kaum Feminis terhadap Teks-teks Keislaman

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 32-35)

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa kaum feminis ingin membangun kerangka dasar paradigmatik model pemahaman baru terhadap teks-teks keislaman (khususnya al-Qur’an) dan isu-isu keperempuanan. Sebab mereka yakin bahwa selama ini telah terjadi pencemaran dan distorsi historis antara ajaran Islam normatif yang bersumber pada al-Qur’an dengan Islam historis yang selama ini dipraktikkan di masyarakat patriarki. Sehingga, diperlukan keberanian mengkritisi produk-produk penafsiran yang bias gender, karena produk-produk-produk-produk tafsir yang bias gender cenderung melahirkan perilaku yang bias gender pula.

Suatu produk tafsir sudah seharusnya mampu berperan menjadi agen perubahan-perubahan sosial (agent of social change). Perubahan itu sendiri antara lain diawali dengan mengubah sistem teologi yang lebih sensitif gender. Sehingga,

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 227 tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep pemahaman kaum feminis terhadap teks Islam mencerminkan pandangan yang kritis dan liberatif yang mampu merespon isu-isu sosial-keagamaan kontemporer, seperti kesetaraan gender, demokrasi, dan HAM. Sebab, penafsiran yang dideduksi dari ayat-ayat al-Qur’an seharusnya tidak hanya sekadar konsep dan nilai-nilai normatif yang idealis-metafisis yang hanya ada di kertas (on paper), akan tetapi harus mampu membentuk karakter sosial yang objektif.

Pendekatan apapun yang digunakan dalam memahami dan menginterpretasi teks-teks keislaman pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Dilihat dari perspektif epistemologi—dengan meminjam kategori M. Abid al-Jabiri—maka pendekatan yang digunakan kaum feminis menganut corak epistemologi bayani, yakni sebuah corak epistemologi berpikir yang tetap masih mengacu kepada teks suci. Namun karena ia juga menggunakan model berpikir filsafat, sehingga rasionalisasi pemahaman teks menjadi cukup dominan. Ini menunjukkan corak berpikir kaum feminis tidak murni bayani, melainkan juga bercampur burhani (demonstratif filosofis). Sehingga betapapun rasionalnya pemikiran kaum feminis, mereka masih mengakui sakralitas teks, dan akan tetap menjadikan teks sebagai titik tolak berpikir.

Menurut Ian G. Barbour, sebagaimana dikutip Mustaqim (2003: 176), ada dua ciri menonjol dalam corak pemikiran dan kajian terhadap agama, termasuk kajian yang dilakukan kaum feminis, yaitu: Pertama, pemikiran keagamaan itu bersifat personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Pemeluk agama—termasuk dalam hal ini adalah kaum feminis—yang concern terhadap al-Qur’an akan mempertahankan ideologi dan pemikirannya dengan gigih. Kedua, bahasa yang digunakan pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku atau actor, bukan bahasa peneliti dari luar, sehingga kadang sisi subjektifisme dalam rumusan-rumusan pemikiran keagamaan juga tidak bisa dihindarkan sama sekali.

Kesungguhan kaum feminis meneliti dan mengkaji ulang prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an demi mencapai tujuan yang diperintahkan agama adalah bentuk personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Sedangkan bahasa yang dipakai kaum feminis juga mencerminkan seorang aktor dari dalam. Mayoritas kaum feminis merasakan sebagai pelaku

korban dari diskriminasi sistem patriarki. Dari sini, maka dapat dilihat bahwa struktur fundamental dari pemikiran keagamaan yang dibangun kaum feminis adalah bagaimana agar terwujud suatu sistem relasi dan struktur masyarakat yang adil tanpa diskriminasi antara lelaki dan perempuan di bawah sinar petunjuk al-Qur’an.

Mayoritas kaum feminis memiliki kecenderungan hanya berpegang pada al-Qur’an (Qur’an oriented) dan dalam beberapa kasus mengabaikan hadis terutama jika hadis tersebut menurutnya tidak sejalan dengan semangat al-Qur’an. Sebab menurut mereka, tidak ada jaminan mengenai otentisitas hadis, seperti terhadap kasus penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam. Meskipun riwayat tersebut telah dianggap shahih oleh dua orang imam ahli hadis, yaitu Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

Meski demikian, pemahaman ataupun pemikiran kaum feminis terhadap teks-teks keislaman hendaknya tetap tidak mengarah pada truth claim, klaim kebenaran sepihak tanpa ada dialog komunikatif dengan pihak-pihak lain. Artinya, jika hasil pemahaman dan interpretasi kaum feminis kemudian dipahami secara ideologis, kaku, dan tidak terbuka, maka juga akan mengarah pada dogmatisme dan fanatisme yang sempit. Karena bisa jadi kaum feminis yang tadinya mengkritik bahwa hasil penafsiran al-Qur’an selama ini mengandung bias laki-laki, pada akhirnya justru mereka sendiri terjebak pada bias-bias keperempuanan. Terlebih, adanya kecenderungan umum jika seorang penafsir memiliki idelogi tertentu, maka hasil interpretasinya sedikit banyak juga cenderung bias ideologi. Oleh karena itu, dalam mengkaji teks-teks keislaman, seorang feminis juga harus bersifat terbuka dan jangan dianggap sebagai sesuatu yang final.

I. Penutup

Pemahaman atas teks-teks keislaman sebagaimana yang dilakukan kaum feminis pada dasarnya merupakan refleksi kritis yang berperspektif gender, dimana mereka ingin melihat isu-isu perempuan dalam bingkai teologi feminis yang berwawasan kesetaraan, keadilan dan dilandasi semangat menghormati hak-hak asasi manusia, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sebagai sebuah ijtihad baru, kajian feminis memang perlu diapresiasi, tapi tidak disakralkan.

TEKS-TEKS KEISLAMAN DALAM KAJIAN KAUM FEMINIS

(Umma Farida) 229

Abdul Mustaqim, Taf­sir Feminis versus Taf­sir Patriarki, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.

Ahmad, Kamla Bhasin, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya, 1994.

Boucher, David, The Feminist Challenge: the Movement for Women’s Liberation in Britain and the United States, London: McMillan Press, 1983.

Conolly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS, 1999.

J. Dwi Narwoko, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, 2004.

Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transf­ormasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1997.

Riffat Hasan & Fatima Mernisi, Setara di Hadapan Allah,. Yogyakarta: LSPPA, 2000.

Rosemary Putnam Tong, Feminist Thought, terj. Aquarini Priyatna, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.

Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga & Pustaka Pelajar, 2002.

Wadud, Amina, Qur’an menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Jakarta: Serambi, 2003.

Waryono Abdul Ghafur, Gender dan Islam: Teks dan Konteks, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002.

Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an: Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Zakiyuddin Baidhawy, Wacana Teologi Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Dalam dokumen Volume 3. Nomor 2. Desember 2010 (Halaman 32-35)