• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTIVITAS FISIK, STATUS GIZI, DAN PRODUKTIVITAS KEPALA KELUARGA WANITA PEMETIK TEH DI PERKEBUNAN TEH MALABAR PTPN VIII BANDUNG, JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKTIVITAS FISIK, STATUS GIZI, DAN PRODUKTIVITAS KEPALA KELUARGA WANITA PEMETIK TEH DI PERKEBUNAN TEH MALABAR PTPN VIII BANDUNG, JAWA BARAT"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

BANDUNG, JAWA BARAT

NONI EKA JAYA WARDANI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

Bandung, Jawa Barat. Supervised by KATRIN ROOSITA.

The cross sectional design was used in this study to elaborate physical activity, nutritional status, and work productivity of tea picker’s head of household. The criteria of study sample were men as tea picker’s head of household at cluster area of Malabar tea plantation of PTPN VIII Bandung, having a job, and they were willing to be interviewed.

The total number of 72 men in this cluster area was chosen randomly. Primary data consisted of physical activity recall (2x24 hours), food consumption recall (2x24 hours), anthropometry data (weight and height), and productivity (passage of tea sprout). Secondary data were included data of PT Perkebunan Nusantara VIII Bandung, West Java.

In general, more than a half of sample had active or moderate physical activity level (PAL=1.89). The physical activity level of samples during work day (average PAL=1.93) was higher (p<0.05) than holiday (average PAL=1.77) (p<0.05). The working hours during holiday were substituted by doing domestic chores and miscellaneous recreational activities.

Average energy and protein adequacy level of tea picker’s head of household only reached 76 – 98%. More than a half of samples had iron and vitamin A adequacy level on normal stage. Almost all (98.6%) samples had deficit intake of vitamin C.

Most of samples (86.1%) had normal nutritional status. Majority (76.4%) of samples had wages per month below the regional minimum wages. More than a half of head of tea picker’s household had work time below seven hours per day and had wages per hours below standard of regional minimum wages per hour.

Based on correlation analysis, there are significant correlation between 1) education level with physical activity level ; 2) age, income per capita, and family size with wage per month; 3) age and physical activity level with working hours; and 4)age, income per capita, iron (Fe) consumption rate, and nutritional status with wages per hour.

Keywords : physical activity level (PAL), nutritional status, men productivity, income per capita.

(3)

RINGKASAN

NONI EKA JAYA WARDANI. Aktivitas Fisik, Status Gizi, dan Produktivitas Kepala Keluarga Wanita Pemetik Teh Di Perkebunan Teh Malabar PTPN VIII, Bandung, Jawa Barat. Di bawah bimbingan KATRIN ROOSITA

Produktivitas merupakan salah satu cerminan kualitas sumberdaya manusia (Syarief 1997). Produktivitas yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan yang selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan individu dan keluarga. Produktivitas ditentukan dan dipengaruhi oleh beragam faktor baik internal maupun eksternal antara lain status gizi, kemampuan fisik, dan motivasi. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan tingkat konsumsi, status gizi, dengan produktivitas kerja kepala keluarga wanita pemetik teh di perkebunan teh. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi contoh yang meliputi usia, pendidikan, pendapatan per kapita, besar keluarga, dan jenis pekerjaan (2) menganalisis aktivitas fisik contoh (3) menganalisis tingkat konsumsi zat gizi yang meliputi, energi, protein, zat besi, vitamin A, dan vitamin C (4) menilai status gizi contoh (5) mengukur produktivitas kerja contoh (6) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan aktivitas fisik, tingkat konsumsi zat gizi, status gizi, dan produktivitas kerja contoh.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dan dilaksanakan di perkebunan teh Malabar milik PTPN VIII Bandung Jawa Barat, pada bulan Maret hingga Juni 2008. Lokasi dibagi menjadi lima cluster yaitu Purbasari, Malabar, Talun Santosa, Sedep, dan Rancabali. Contoh dalam penelitian ini adalah kepala keluarga wanita pemetik teh pada cluster terpilih yaitu Malabar. Keluarga pemetik teh yang terambil secara acak dalam penelitian sebelumnya oleh Sunarti, Roosita dan Herawati (2007) berjumlah 102 keluarga. Pada saat pengambilan data, terdapat lima keluarga yang telah pindah tempat tinggal dari kawasan kebun Malabar sehingga tersisa 97 keluarga. Kriteria inklusi penelitian adalah keluarga dengan kepala keluarga pria yang masih aktif bekerja dengan isteri yang bekerja sebagai pemetik teh dan bertempat tinggal di lokasi penelitian sehingga seluruh contoh penelitian berjumlah 72 orang.

Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara langsung yang meliputi karakteristik sosial ekonomi, recall konsumsi pangan (2x24 jam), recall aktivitas fisik (2x24 jam), status gizi, dan produktivitas kerja. Data sekunder didapatkan dari Kantor Desa Banjarsari yang meliputi gambaran umum lokasi penelitian. Data terkumpul dianalisis secara statistik. Tahapan pengolahan data dimulai dari verifikasi,

coding, entri, cleaning, dan selanjutnya dianalisis. Analisis data menggunakan

program komputer Microsoft Excell dan Statistical Program for Social Science (SPSS) version 13 for Windows. Analisis inferensia yang digunakan adalah korelasi Pearson dan Spearman, dan independent sample t-test. Korelasi Pearson dan Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel.

Independent sample t-test digunakan untuk menganalisis perbedaan tingkat

aktivitas fisik dan pengeluaran energi antara hari kerja dan hari libur serta menganalisis perbedaan konsumsi dan tingkat konsumsi zat gizi berdasarkan kelompok usia.

Sebagian besar (77.8%) contoh termasuk dalam kategori dewasa madya dan persentase terkecil contoh (8.3%) termasuk dalam kategori dewasa akhir. Lebih dari separuh jumlah contoh (55.6%) menempuh pendidikan hingga tamat sekolah dasar. Lebih dari separuh jumlah contoh masih berada di bawah garis kemiskinan Kabupaten Bandung. Hampir separuh jumlah contoh (40.3%) bekerja

(4)

sebagai pemetik teh. Lebih dari separuh jumlah contoh (58.3%) termasuk dalam keluarga sedang. Lebih dari separuh jumlah contoh (63.8%) berkontribusi sebesar 44.89 persen hingga 68.77 persen terhadap pendapatan keluarga.

Hampir separuh (40.3%) contoh melakukan aktivitas yang tergolong dalam kategori sedang, 26.4% termasuk kategori ringan, dan 33.3% termasuk kategori berat. Tingkat aktivitas contoh lebih tinggi pada hari kerja (p<0.05). Pada hari libur, contoh mengalokasikan waktu yang tidak digunakan untuk bekerja ke kegiatan domestik rumah tangga dan kegiatan rekreasional. Faktor yang berhubungan dengan aktivitas fisik adalah pendidikan, semakin tinggi pendidikan maka semakin ringan tingkat aktivitasnya.

Pengeluaran energi rata-rata berdasarkan Schofield equation lebih tinggi pada hari kerja (2869 kkal) dibanding dengan hari libur (2644 kkal) dan hari gabungan (2824 kkal) (p<0.05). Demikian pula berdasarkan Oxford equation, pengeluaran energi rata-rata pada hari kerja (2563 kkal) cenderung lebih tinggi dibanding hari libur (2373 kal) dan hari gabungan (2525 kkal).

Tingkat konsumsi energi rata-rata berdasarkan Schofield equation adalah sebesar 87.2%, tingkat konsumsi energi rata-rata berdasarkan Oxford equation adalah sebesar 97.9%, dan tingkat konsumsi energi rata-rata berdasarkan angka kecukupan energi WNPG (2004) adalah sebesar 121.2%. Tingkat konsumsi energi rata-rata pada kelompok dewasa muda cenderung lebih tinggi dibanding dua kelompok usia lain, baik berdasarkan Schofield equation, Oxford equation dan angka kecukupan energi WNPG (2004).

Tingkat konsumsi protein contoh rata-rata pada kelompok dewasa muda (89.3%) cenderung lebih besar dibanding kelompok dewasa madya (88.2%) dan kelompok dewasa akhir (81.6%). Sebagian besar (75.0%) contoh memiliki tingkat kecukupan zat besi (Fe) yang termasuk dalam kategori normal. Tingkat konsumsi zat besi contoh rata-rata pada kelompok dewasa madya (117.0%) cenderung lebih tinggi dibanding kelompok dewasa muda (108.6%) dan kelompok dewasa akhir (96.3%).

Lebih dari separuh contoh (73.6%) memiliki tingkat konsumsi vitamin A yang termasuk dalam kategori defisit. Tingkat konsumsi vitamin A contoh rata-rata pada kelompok dewasa akhir (95.7%) cenderung lebih besar dibanding kelompok dewasa madya (47.8%) dan kelompok dewasa muda (35.3%). Hampir seluruh contoh (98.6%) mengalami defisit dalam tingkat konsumsi vitamin C. Tingkat konsumsi vitamin C contoh rata-rata pada kelompok dewasa muda (25.7%) cenderung lebih tinggi dibanding kelompok dewasa madya (19.4%) dan kelompok dewasa akhir (16.3%).

Jenis pangan yang menjadi sumber zat gizi dalam konsumsi zat gizi contoh adalah nasi untuk energi, protein, dan zat besi, minyak goreng untuk vitamin A dan kentang untuk vitamin C.

Sebagian besar (86.1%) contoh termasuk dalam kategori status gizi normal, 9.7% contoh termasuk dalam kategori status gizi kurang, dan 4.2% termasuk dalam kategori status gizi lebih. Sebagian besar contoh (76.4%) memiliki upah di atas UMR Kabupaten Bandung (Rp 672 000.00), separuh jumlah contoh bekerja di bawah jam efektif (62.5%), dan memiliki tingkat upah per jam di bawah tingkat UMR per jam (73.6%).

Faktor yang berhubungan dengan tingkat aktivitas adalah pendidikan (p< 0.05, r=−0.267). Faktor yang berhubungan dengan tingkat konsumsi energi (r= - 0.262, p<0.05) dan vitamin A (r=0.275, p<0.05) adalah pendapatan perkapita per bulan dan besar keluarga (r= – 0.0271, p<0.05). Faktor yang berhubungan dengan status gizi adalah pendapatan perkapita per bulan (r=0.249, p<0.05). Faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan dengan upah per bulan adalah usia,

(5)

pendapatan perkapita, dan besar keluarga. Faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan dengan jam kerja adalah usia dan tingkat aktivitas. Faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan dengan upah per jam adalah usia, pendapatan perkapita, tingkat konsumsi zat besi (Fe) dan status gizi.

(6)

AKTIVITAS FISIK, STATUS GIZI, DAN PRODUKTIVITAS

KEPALA KELUARGA WANITA PEMETIK TEH

DI PERKEBUNAN TEH MALABAR PTPN VIII

BANDUNG, JAWA BARAT

NONI EKA JAYA WARDANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(7)

Judul Skripsi : Aktivitas fisik, Status Gizi, dan Produktivitas Kepala Keluarga Wanita Pemetik Teh di Perkebunan Teh Malabar PTPN VIII Bandung Jawa Barat

Nama : Noni Eka Jaya Wardani

NIM : A54104063

Disetujui Dosen Pembimbing

Katrin Roosita, SP, M.Si NIP. 132 232 457

Diketahui

Dekan Fakultas Pertanian

(Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr) NIP : 131 124 019

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 5 November 1986. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara, putri dari pasangan Djainuddin dan Suyanti. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN 027 Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 2 Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara dan lulus pada tahun 2004.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) di Fakultas Pertanian, Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Semasa kuliah, penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan daerah Forum Mahasiswa Beasiswa Utusan Daerah Kutai Kartanegara (FM-BUD KUKAR) sebagai Ketua Divisi Kewirausahaan (2005/2006) dan Anggota Divisi PPSDM (2006-2009). Penulis adalah anggota aktif UKM Agriaswara IPB. Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti Nuansa Pangan Gizi dan Keluarga dan Seminar PERSAGI. Penulis juga pernah menjadi asisten peneliti dalam Survei Persepsi Konsumen yang dilakukan atas kerjasama FEMA-IPB dan DANONE Indonesia.

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Aktivitas Fisik, Status Gizi, dan Produktivitas Kepala Keluarga Wanita Pemetik

Teh Di Perkebunan Teh Malabar PTPN VIII, Bandung, Jawa Barat” dengan

lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Katrin Roosita SP, MSi sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar

telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi selama pelaksanaan penelitian hingga skripsi ini terselesaikan.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara atas kesempatan, dukungan, doa dan perhatian yang telah diberikan.

3. Prof. Dr. Ali Khomsan MS sebagai dosen penguji hasil penelitian.

4. Ir. Nandi Suhandi selaku administratur dan staf Kebun teh Malabar atas izin dan sambutan yang diberikan.

5. Bapak, Mama, Nenek, Tante, Om serta adik-adikku yang telah memberikan dukungan, semangat, dan doa.

6. Keluarga besar Bapak dan Ibu Suhendar, pemerintahan desa, serta warga desa Banjarsari atas sambutan dan keramahan yang telah diberikan.

7. Munawwar Mufti Syarwani A.Md atas perhatian, dukungan, semangat, doa dan kesabaran yang telah diberikan.

8. Venny, Yuli, Teh Cica, Novitmel, Firdaus, Bang Fahmi, Yayu, Kiki, Mba Ai, Rini, Enggar, Ani, Marissa, Nadya, Lenny, Yulia, Lola, Yesa, Heni, Dewi M, Friska, Devi P, Arina, dan Eka terima kasih atas doa dan semangatnya. 9. Seluruh rekan-rekan GMSK 40 dan 41, GM 42 dan 43 serta rekan-rekan

FM-BUD Kutai Kartanegara yang telah memberikan dukungan dan doa. 10. Semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penulis melakukan

penelitian hingga skripsi ini selesai. 

Penulis menyadari skripsi ini masih terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga hasil skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2008 Noni Eka Jaya Wardani

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Kegunaan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Karakteristik Pria Dewasa ... 4

Usia ... 4

Berat Badan dan Tinggi Badan ... 4

Pendidikan ... 5

Karakteristik Keluarga ... 6

Ukuran Keluarga ... 6

Peran Suami dalam Kehidupan Ekonomi Keluarga ... 6

Aktivitas Fisik ... 7

Konsumsi Pangan ... 10

Penilaian Konsumsi Pangan ... 12

Tingkat Konsumsi dan Angka Kecukupan Zat Gizi ... 12

Energi ... 13 Protein ... 15 Fe (zat besi) ... 15 Vitamin A ... 16 Vitamin C ... 18 Status Gizi ... 19 Produktivitas Kerja ... 20

Teori Motivasi dan Motivasi Kerja... 23

KERANGKA PEMIKIRAN ... 25

METODE PENELITIAN ... 28

(11)

Halaman

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 28

Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 30

Pengolahan dan Analisis Data ... 30

Definisi Operasional ... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 38

Karakteristik Sosial Ekonomi ... 42

Usia ... 42

Pendidikan ... 42

Jenis Pekerjaan ... 43

Pendapatan Perkapita ... 44

Besar Keluarga ... 45

Kontribusi Upah Suami terhadap Pendapatan Keluarga ... 46

Aktivitas fisik ... 47

Tingkat konsumsi zat gizi ... 49

Energi ... 49

Protein ... 51

Zat Besi (Fe) ... 52

Vitamin A ... 53

Vitamin C ... 54

Status Gizi ... 55

Produktivitas Kerja ... 56

Upah per bulan ... 56

Jam Kerja ... 57

Upah per jam ... 59

Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat aktivitas fisik ... 60

Karakteristik Sosial Ekonomi ... 60

Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat konsumsi zat gizi ... 60

Karakteristik Sosial Ekonomi ... 60

Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi ... 61

(12)

Halaman

Faktor-faktor yang berhubungan dengan produktivitas kerja ... 61

Karakteristik Sosial Ekonomi ... 61

Tingkat Konsumsi Zat Besi ... 62

Aktivitas fisik ... 63

Status gizi ... 63

KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL ... 8

2 Perhitungan PAL untuk populasi dewasa ... 9

3 Rumus Schofield equation dan Oxford Equation bagi pria dewasa ... 14

4 Klasifikasi indeks massa tubuh... 20

5 Jenis dan cara pengumpulan data primer ... 30

6 Persamaan dalam menghitung angka metabolisme basal (AMB) ... 32

7 Cara pengkategorian data ... 34

8 Tingkat pendidikan penduduk Desa Banjarsari tahun 2007 ... 40

9 Mata pencaharian utama penduduk desa Banjarsari ... 41

10 Sarana dan Prasarana di desa Banjarsari... 41

11 Tingkat pendapatan per kapita berdasarkan jenis pekerjaan ... 45

12 Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik pada hari libur, hari kerja, dan hari gabungan ... 47

13 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan dan tingkat aktivitas ... 48

14 Rata-rata pengeluaran energi pada hari libur, hari kerja, dan hari gabungan berdasarkan Schofield equation dan Oxford equation .... 49

15 Rata-rata konsumsi, kebutuhan, dan tingkat konsumsi energi berdasarkan kelompok usia ... 51

16 Konsumsi dan tingkat konsumsi protein berdasarkan kelompok usia ... 52

17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi zat besi ... 52

18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi vitamin A ... 53

19 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi vitamin C ... 54

20 Sebaran contoh berdasarkan status gizi ... 56

21 Sebaran contoh berdasarkan tingkat upah per bulan ... 56

22 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan dan tingkat upah perbulan ... 57

23 Sebaran contoh berdasarkan jam kerja... 58

(14)

Halaman 25 Sebaran contoh berdasarkan tingkat upah per jam kerja ... 59 26 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan dan tingkat

upah per jam ... 59 27 Hubungan antara pendidikan dengan tingkat aktivitas contoh ... 60 28 Hubungan antara tingkat konsumsi Fe dengan tingkat upah per jam ... 63

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka berpikir penelitian ... 27

2 Cara penarikan contoh penelitian ... 29

3 Sebaran contoh berdasarkan usia... 42

4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ... 43

5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan ... 44

6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendapatan per kapita ... 44

7 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ... 46

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis deskriptif data ... 74

2 Jenis aktivitas, alokasi waktu aktivitas, dan PAL pada hari libur ... 75

3 Jenis aktivitas, alokasi waktu aktivitas, dan PAL pada hari kerja ... 76

4 Jumlah konsumsi dan kontribusi pangan terhadap konsumsi zat gizi ... 79

5 Hasil uji korelasi Pearson ... 81

6 Hasil uji korelasi Spearman ... 82

(17)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Sumberdaya manusia merupakan kekuatan sebuah bangsa. Sumberdaya manusia yang berkualitas menjadi faktor yang menentukan produktivitas dan daya saing bangsa Indonesia pada percaturan global. Kualitas sumberdaya manusia diukur dengan indikator indeks pembangunan manusia (IPM). IPM Indonesia menempati urutan ke 112 dari 175 negara (Human Development

Report 2003 diacu dalam WNPG 2004). Berdasarkan data tersebut, tampak

bahwa kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih rendah.

Seorang manusia dilahirkan, dirawat, dan dibentuk baik secara fisik, mental, dan psikologis dalam sebuah keluarga. Ebrahim (1982) menyatakan bahwa keluarga merupakan unit terkecil dari sebuah masyarakat dan merupakan tempat seorang anak dilahirkan untuk kemudian dirawat hingga dewasa dan membentuk keluarganya sendiri. Kesejahteraan sebuah keluarga penting untuk diperhatikan untuk dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas di masa depan.

Keluarga memerlukan sumberdaya termasuk uang agar dapat memenuhi kebutuhan tiap individu dalam keluarga tersebut. Komunitas wanita pemetik teh telah menjadi sorotan selama beberapa tahun belakangan. Wanita pemetik teh bekerja mencari nafkah bagi kehidupan keluarga. Namun mencari nafkah pada dasarnya merupakan kewajiban seorang suami. Istiadah (1999) menyatakan bahwa suami merupakan kepala rumah tangga sekaligus pencari nafkah utama bagi kehidupan keluarga. Pendapatan keluarga yang paling utama biasanya didapatkan dari suami atau ayah.

Pendapatan atau upah didapatkan dari hasil melakukan suatu pekerjaan. Menurut Ravianto (1990) upah dapat diartikan sebagai imbalan yang diterima pekerja dalam hubungan kerja, berupa uang atau barang, melalui suatu perjanjian kerja, tertulis maupun lisan. Upah juga merupakan salah satu cerminan kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Seseorang yang bekerja dengan lebih produktif memiliki kemungkinan untuk mendapatkan upah yang lebih besar dibanding seseorang yang kurang produktif.

Produktivitas merupakan salah satu cerminan kualitas sumberdaya manusia (Syarief 1997). Hal ini ditentukan dan dipengaruhi oleh beragam faktor baik internal maupun eksternal yaitu status gizi, kemampuan fisik, dan motivasi.

(18)

Faktor tersebut membentuk hubungan yang berkesinambungan. Secara fisik, seseorang harus memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Selain itu, secara psikologis seseorang sekiranya memiliki kemauan atau motivasi untuk melakukan pekerjaannya. Penelitian Anhar (2007) menyatakan bahwa motivasi kerja seseorang mempengaruhi hasil kerjanya.

Fisik yang sehat tentunya adalah keadaan fisik yang kuat dan tidak sakit. Keadaan fisik yang prima ditentukan oleh status gizi dan kemampuan fisik. Kemampuan fisik termasuk di dalamnya adalah keadaan usia dan proporsi tubuh. Semakin tua usia seseorang, maka kemampuan untuk melakukan aktivitas tertentu juga menurun (Santrock 2002). Hal ini berkaitan dengan berat badan yang mencerminkan massa otot yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan (Bee 1987).

Status gizi penting dalam mendukung kemampuan fisik bekerja. Riyadi (2006) menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi, penyerapan, dan penggunaan pangan di dalam tubuh. Kurang gizi dapat menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Hal ini dikarenakan menurunnya kemampuan fisik. Selain itu, keadaan gizi yang baik juga meningkatkan derajat kesehatan sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan ketidakhadiran bekerja.

Status gizi ditentukan oleh konsumsi zat gizi. Sebagaimana dinyatakan oleh Hardinsyah dan Martianto (1992) serta Almatsier (2003) bahwa status gizi yang optimal akan dapat tercapai jika tubuh mendapatkan zat gizi yang cukup. Defisiensi zat gizi tertentu juga dapat menurunkan kemampuan bekerja. Anwar (1998) dan Widayani (2004) menyatakan bahwa defisiensi zat besi dapat menurunkan kapasitas kerja fisik dan produktivitas kerja.

Tingkat konsumsi zat gizi yang baik didapatkan dari konsumsi pangan yang bergizi. Jenis pangan yang dikonsumsi ditentukan oleh pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi. Hal ini juga terkait erat dengan tingkat pendidikan formal yang menentukan tingkat pekerjaan dan mempengaruhi penerimaan terhadap informasi.

Keadaan diatas cukup menarik untuk dipelajari lebih jauh. Di satu sisi produktivitas kerja seorang kepala keluarga merupakan faktor penting bagi kesejahteraan keluarga, namun di sisi lain produktivitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang bersifat internal individu maupun faktor eksternal dari

(19)

lingkungan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis produktivitas kerja kepala keluarga wanita pemetik teh.

Tujuan

Tujuan Umum

Menganalisis hubungan aktivitas fisik, status gizi, dengan produktivitas kerja kepala keluarga wanita pemetik teh di perkebunan teh.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi contoh yang meliputi usia, pendidikan, pendapatan per kapita, besar keluarga, dan jenis pekerjaan. 2. Menganalisis aktivitas fisik contoh.

3. Menganalisis tingkat konsumsi zat gizi yang meliputi, energi, protein, zat besi, vitamin A, dan vitamin C.

4. Menilai status gizi contoh.

5. Mengukur produktivitas kerja contoh.

6. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan aktivitas fisik, tingkat konsumsi zat gizi, status gizi, dan produktivitas kerja contoh.

Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dan sebagai pertimbangan bagi pemerintah dalam penyusunan kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya keluarga wanita pemetik teh.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Pria Dewasa

Usia

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi membagi usia dewasa menjadi tiga fase yaitu dewasa muda (19-29 tahun), dewasa madya (30-49 tahun), dan dewasa akhir (50-64 tahun). Santrock (2002) menyatakan bahwa usia mempengaruhi kapasitas kerja, yang selanjutnya mempengaruhi produktivitas kerja. Semakin tinggi tingkat kedewasaan seseorang, kemampuan fisik akan semakin menurun sehingga produktivitas kerja juga menurun. Ravianto (1985) menyatakan ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik sehingga membutuhkan tenaga kerja dengan usia yang lebih muda.

Pada tahap dewasa awal, kemampuan fisik mencapai puncak pematangannya. Namun, pada tahap ini sebenarnya penurunan kemampuan fisik sudah dimulai (pada awal usia 30 tahun). Pada tahap dewasa madya, kekuatan otot mulai menurun tepatnya pada bagian punggung dan kaki. Sepuluh hingga 15 persen dari kekuatan maksimum (puncak pematangan) berkurang sejak usia 35 tahun hingga 60 tahun. Pada tahap dewasa lanjut, kemampuan fisik menurun disertai dengan menurunnya sistem kekebalan karena penurunan fungsi organ tubuh sehingga lebih mudah sakit (Santrock 2002).

Bee (1987) menyatakan bahwa terjadi kehilangan kekuatan jaringan otot selama usia dewasa dengan penurunan drastis pada usia diatas 50 tahun. Marsetyo & Kartasapoetra (1991) menyebutkan bahwa seorang dewasa muda mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan lincah dalam berkegiatan karena intensitas dan fungsi organ-organ dalam tubuhnya masih kuat. Sedangkan pada dewasa madya, hal tersebut sudah tidak dapat dilakukan karena intensitas dan fungsi organnya sudah menurun.

Berat Badan dan Tinggi Badan

Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air, dan mineral pada tulang. Berat badan merupakan ukuran tubuh yang paling mudah mengalami perubahan karena perubahan konsumsi makanan dan kesehatan. Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang menggunakan timbangan (Supariasa, Bakri & Fajar 2001). Berat badan yang tidak memadai menjadikan seseorang tidak mampu bekerja dengan baik. Berat badan yang

(21)

rendah menunjukkan massa otot yang rendah menyebabkan kapasitas kerja seseorang dengan berat badan yang kurang juga lebih rendah daripada seseorang dengan berat badan normal (WHO 1995).

Tinggi badan pada dasarnya merupakan hasil pengukuran terhadap jaringan tulang tubuh. Tinggi badan merupakan gabungan dari pengukuran komponen-komponen tubuh seperti kaki, pelvis, punggung, dan kepala (Jeliffe & Jelliffe 1989). Pada umumnya berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, pertambahan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan dengan percepatan tertentu. Sehingga berat badan normal akan proporsional dengan tinggi badan (Soekirman 2000). Namun, pada anak-anak terdapat sedikit perbedaan. Pada masa anak-anak, peningkatan berat badan tidak hanya cerminan peningkatan ukuran skeletal namun juga peningkatan ukuran sistem muskular dan organ-organ tubuh (Santrock 2002).

Pendidikan

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Masalah gizi sering timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (FKM-UI 2007).

Pada umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Orang dengan pendidikan tinggi lebih cenderung memilih makanan yang murah tetapi dengan kandungan gizi yang tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1989).

Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempermudah penerimaan informasi tentang gizi dan kesehatan. Terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Masyarakat dengan rata-rata pendidikan rendah, menunjukkan prevalensi gizi kurang yang tinggi. Masyarakat dengan rata-rata pendidikan tinggi menunjukkan prevalensi gizi kurang yang rendah (Madanijah 2003).

(22)

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang dihubungkan oleh ikatan dan pembagian kedekatan emosi dan menjadikan diri mereka sendiri menjadi anggota keluarga. Secara garis besar terdapat 3 jenis keluarga yaitu keluarga inti, orientasi, dan keluarga luas (extended) (Friedman 2003). Keluarga merupakan unit terkecil dari sebuah masyarakat. Dalam keluarga, seorang anak dilahirkan untuk kemudian dirawat hingga dewasa dan membentuk keluarganya sendiri (Ebrahim 1982).

Ukuran Keluarga

Ukuran keluarga mempengaruhi pembagian makanan dalam keluarga. Kebutuhan pangan tiap anggota keluarga akan lebih dapat tercukupi jika jumlah anggota keluarga sedikit. Penambahan anggota keluarga yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan keluarga yang memadai akan menyebabkan akses tiap anggota keluarga terhadap pangan menjadi terhambat. Sehingga setiap anggota keluarga tidak dapat memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhannya (Harper et al. 1986).

Pada umumnya sebuah keluarga akan mendahulukan kebutuhan pangan orang tua atau anggota keluarga yang usianya lebih tua daripada anak yang lebih kecil. Sehingga akses anak usia dini terhadap pangan akan semakin kecil bila dibandingkan dengan saudara yang usianya lebih tua (Harper et al. 1986). Supariasa et al. (2001) juga menyatakan bahwa jumlah anak yang terlalu banyak dan jarak kelahiran antar anak yang terlalu dekat akan mempengaruhi zat gizi dalam keluarga.

Peran Suami dalam Kehidupan Ekonomi Keluarga

Kemampuan rumah tangga untuk memperoleh penghasilan memberikan batasan terhadap status gizi (Harper et al. 1986). Keluarga dengan pendapatan terbatas tidak mampu membeli bermacam jenis makanan. Makanan instan merupakan makanan yang paling sering dikonsumsi oleh rumah tangga miskin. Keluarga miskin yang memiliki keterbatasan transportasi pada umumnya hanya memiliki akses ke warung kecil, dimana pilihan makanan yang tersedia sangat terbatas. Pada beberapa keluarga miskin, bahkan tidak memiliki kemampuan untuk memasak ataupun menyimpan makanan (Endres, Robert & Cynthia 2004).

Pendapatan keluarga merupakan jumlah pemasukan yang didapatkan oleh keluarga, baik yang berasal dari bekerja maupun penyewaan aset

(23)

sumberdaya. Istiadah (1999) menyatakan bahwa suami merupakan kepala rumah tangga sekaligus pencari nafkah utama bagi kehidupan keluarga. Pendapatan keluarga yang paling utama biasanya didapatkan dari suami atau ayah. Pada keluarga yang sangat kekurangan bisa saja ibu turut mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan agar dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Khomsan (2004) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan keluarga akan mampu memperbaiki konsumsi pangan seluruh anggota keluarga.

Produktivitas yang rendah menjadikan pendapatan rendah. Penghasilan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga seperti sandang, perumahan, serta makanan dan minuman yang bergizi. Akibat dari penghasilan yang kurang, mutu pendidikan anak kurang bermutu karena ketidakmampuan menyekolahkan anak-anak ke sekolah yang tinggi. Hal ini akan menyebabkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia di masa depan (Ravianto 1985).

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eksternal adalah kegiatan yang menggunakan tenaga atau energi untuk melakukan berbagai kegiatan fisik, seperti berjalan, berlari, berolahraga, dan lain-lain. Setiap kegiatan fisik membutuhkan energi yang berbeda menurut lamanya intensitas dan kerja otot (FKM-UI 2007). Menurut Hoeger dan Hoeger (2005) akitivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi.

Aktivitas orang dewasa biasanya dibagi menjadi tiga golongan yaitu ringan, sedang dan berat. Semakin berat aktivitas yang dilakukan, semakin banyak energi yang diperlukan untuk melakukan aktivitas tersebut. Oleh karena itu, faktor aktivitas umumnya digunakan untuk menaksir angka kebutuhan energi seseorang (Khumaidi 1989). Contoh aktivitas fisik yang biasa dilakukan termasuk berjalan, naik tangga, berkebun, melakukan tugas rumah tangga, berdansa, dan mencuci mobil (Hoeger & Hoeger 2005).

Semua gerakan tubuh membutuhkan energi. Semakin berat gerakan yang dilakukan, semakin besar energi yang diperlukan oleh tubuh (Holman 1987; Hoeger & Hoeger 2005). Pengeluaran energi beragam antara orang yang satu dengan yang lain (Mardlaw & Hampl 2007). Dalam hal ini, aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kebutuhan energi seseorang (Baliwati & Retnaningsih 2004). Pengukuran kebutuhan energi didasarkan pada

(24)

pengeluaran energi dengan komponen utama angka metabolisme massal (BMR) dan kegiatan fisik sesuai tingkatannya (Hoeger & Hoeger 2005).

FAO/WHO/UNU (2001) menyatakan bahwa aktivitas fisik adalah variabel utama, setelah angka metabolisme basal dalam penghitungan pengeluaran energi. Setiap orang memiliki aktivitas atau kegiatan yang wajib dilakukan setiap hari. Kegiatan wajib tersebut tidak hanya pekerjaan yang mendatangkan penghasilan, namun juga meliputi kegiatan lain seperti kegiatan domestik rumah tangga, bersosialisasi, rekreasi dan lain sebagainya. Walaupun tidak penting secara ekonomi, namun pengeluaran energi untuk kegiatan-kegiatan tersebut perlu diperhitungkan agar didapatkan angka pengeluaran energi seseorang sebagai manusia tidak hanya sebagai pekerja. Pengeluaran energi tersebut kemudian dapat menjadi gambaran kebutuhan energi agar seseorang dapat hidup dengan lebih sejahtera dan berkualitas secara keseluruhan. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik.

PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut FAO/WHO/UNU (2001) :

Keterangan : PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)

PAR : Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk

tiap jenis aktivitas per satuan waktu tertentu) Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dikategorikan sebagai berikut : Tabel 1 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL

Kategori Nilai PAL

Ringan (sedentary lifestyle)

Sedang (active or moderately active lifestyle) Berat (vigorous or vigorously active lifestyle)

1.40-1.69 1.70-1.99 2.00-2.40 Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)

FAO/WHO/UNU (2001) menyatakan bahwa kategori tingkat aktivitas fisik mengarah kepada jenis pekerjaan. Orang-orang yang termasuk dalam kategori tingkat aktivitas fisik ringan merupakan orang-orang yang tidak banyak melakukan kegiatan fisik, tidak banyak berjalan kaki dalam jarak yang jauh,

(25)

menggunakan kendaraan sebagai alat transportasi, dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan dalam posisi berdiri diam atau duduk, misalnya staf atau karyawan kantor. Orang-orang yang termasuk dalam tingkat aktivitas sedang merupakan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga, namun energi yang dikeluarkan sedikit lebih tinggi dibanding tingkat aktivitas ringan. Pada umumnya orang-orang tersebut melakukan suatu pekerjaan berat namun dalam satu jangka waktu tertentu, seperti tukang batu atau pekerja konstruksi. Selain itu, aktivitas mengambil air atau mengumpulkan kayu bakar juga dapat meningkatkan pengeluaran energi. Orang-orang yang termasuk dalam tingkat aktivitas berat adalah orang-orang yang dalam kesehariannya melakukan aktivitas yang mengeluarkan banyak energi seperti menari, berenang, bekerja sebagai buruh tani yang melakukan pekerjaan mencangkul, dan berjalan kaki dalam jarak yang jauh dengan beban yang berat.

Tabel 2 Perhitungan PAL untuk populasi dewasa

Jenis aktivitas alokasi waktu PAR alokasi x PAR rata-rata PAL

Sedentary or light activity lifestyle

Sleeping 8 1.0 8.0

Personal care 1 2.3 2.3

Eating 1 1.5 1.5

Cooking 1 2.1 2.1

Sitting 8 1.5 12.0

General household work 1 2.8 2.8

Driving car to/from work 1 2.0 2.0

Walking at varying paces without a load 1 3.2 3.2

Light leisure activities 2 1.4 2.8

Total 24 36.7 36.7/24=1.53

Active or moderately active lifestyle

Sleeping 8 1 8

Personal care (dressing, showering) 1 2.3 2.3

Eating 1 1.5 1.5

Standing, carrying light loads 8 2.2 17.6

Commuting to/from work on the bus 1 1.2 1.2

Walking at varying paces without a load 1 3.2 3.2

Low intensity aerobic exercise 1 4.2 4.2

Light leisure activities 3 1.4 4.2

(26)

Jenis aktivitas alokasi waktu PAR alokasi x PAR rata-rata PAL

Vigorous or vigorously active lifestyle

Sleeping 8 1 8

Personal care (dressing, bathing) 1 2.3 2.3

Eating 1 1.4 1.4

Cooking 1 2.1 2.1

Non-mechanized agricultural work 6 4.1 24.6

Collecting water/wood 1 4.4 4.4

Non-mechanized domestic chores 1 2.3 2.3

Walking at varying paces without a load 1 3.2 3.2

Miscellaneous light leisure activities 4 1.4 5.6

Total 24 53.9 53.9/24=2.25

Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)

Pada umumnya semakin intens aktivitas yang dilakukan maka tubuh akan mengalami rasa penat atau lelah. Kepenatan atau tingkat ketegangan mempengaruhi produktivitas kerja. Semakin tinggi tingkat kepenatan seseorang maka produktivitas kerja semakin rendah. Tidur diperlukan untuk menghilangkan kepenatan setelah beraktivitas. Tidur dalam jangka waktu yang terlalu singkat atau terlalu lama dapat mengakibatkan meningkatnya kepenatan sehingga menurunkan produkivitas kerja (Ravianto 1985).

Konsumsi Pangan

Pangan adalah bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan pengganti jaringan tubuh yang rusak. Pangan menyediakan unsur-unsur kimia tubuh yang dikenal sebagai zat gizi. Orang mengkonsumsi zat gizi yang terkandung dalam pangan untuk memberikan energi kepada tubuh, mengatur proses-proses tubuh, untuk pertumbuhan dan membantu memperbaiki jaringan-jaringan tubuh. (Harper et al. 1986).

Di samping tujuan utama penggunaan makanan sebagai pemberi zat gizi bagi tubuh yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup, manusia juga menggunakannya untuk nilai-nilai sosial, karena penggunaan makanan telah melembaga sebagai alat untuk berhubungan dengan orang lain atau para dewa. Oleh karena itu, makanan dalam setiap lingkungan masyarakat menyangkut gizi dan aspek sosial. Setiap bahan pangan harus mampu memperbaiki fisiologik tubuh, tetapi tidak bertentangan dengan kepercayaan atau tradisi sosial dan

(27)

kebiasaan makan dari lingkungan masyarakat (Buckle, Edwards, Fleet & Waston 1985).

Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada suatu waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kualitas gizi seseorang akan lebih baik jika mengkonsumsi pangan yang beragam. Namun, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keadaan ekonomi, segi-segi sosial dan budaya, kesehatan serta perilaku dalam menyusun menu sehari-hari.

Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai gizi dan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki atau diketahui oleh seseorang yang didapatkan dari pengamatan indrawi. Pengetahuan gizi akan mampu mengatasi keterbatasan konsumsi makanan yang diakibatkan oleh kemiskinan atau keterbatasan akses keluarga terhadap pangan. Dengan pengetahuan gizi yang baik, pengolahan dan pemafaatan pangan yang tersedia dapat lebih optimal untuk memenuhi kebutuhan gizi (Harper et al. 1986).

Data BPS (2006) menunjukkan bahwa presentase pengeluaran pangan masyarakat Indonesia lebih kecil daripada pengeluaran non pangan. Pendapatan seseorang tidak mutlak mempengaruhi konsumsi pangan karena pendapatan akan ditransformasikan menjadi pengeluaran yang terdiri dari pengeluaran pangan dan non pangan. Pada konsep tradisional, konsumsi pangan akan semakin baik dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini tidak terjadi jika pengeluaran non pangan seperti pendidikan dan pembelian barang-barang lebih besar daripada pengeluaran pangan. Pengeluaran pangan yang meningkat belum tentu meningkatkan pembelian makanan dengan gizi yang lebih bermutu (Berg 1986).

Pemilihan orang dewasa muda terhadap makanan pada umumnya tidak memperhatikan faktor kesehatan. Orang dewasa muda lebih memilih makanan yang rasanya sesuai dengan selera dan harganya sesuai dengan daya beli. Namun tidak demikian halnya dengan usia dewasa madya akhir dan lanjut usia awal. Mereka lebih memperhatikan faktor kesehatan dan memilih makanan yang sehat bagi dirinya (Santrock 2002).

(28)

Penilaian Konsumsi Pangan

Survey konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri konsumsi pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya maupun jumlah yang dikonsumsinya, termasuk bagaimana kebiasaan makanannya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut. Data survei pangan dapat menunjukkan cukup tidaknya konsumsi individu, keluarga, dan kelompok tertentu suatu masyarakat atau penduduk bila dibandingkan dengan apa yang seharusnya dibutuhkan (Suhardjo, Hardinsyah & Riyadi 1988).

Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, dihitung jumlah pangan yang atau makanan yang dikonsumsi, sedangkan secara kualitatif, penilaian melihat frekuensi makan, frekuensi konsumsi pangan menurut jenis pangan, dan kebiasaan makan (food habit). Pada cara kuantitatif, terdapat lima metode yang sering digunakan untuk pengukuran konsumsi makanan individu yaitu metode

recall 24 jam, metode estimated food records, metode penimbangan makanan,

metode dietary history, dan metode frekuensi makanan (Supariasa et al. 2001). Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Pengukuran ini dianjurkan setidaknya dilakukan sebanyak 2 x 24 jam, karena data yang berasal hanya dari 24 jam saja cenderung kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Waktu 2 x 24 jam yang tidak berturut-turut dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Supariasa et

al. 2001).

Metode recall digunakan untuk estimasi jumlah pangan dan minuman yang dikonsumsi oleh seseorang selama 24 jam yang lalu atau sehari sebelum wawancara dilakukan. Dengan metode ini akan diketahui besarnya porsi pangan berdasarkan ukuran rumah tangga, kemudian dikonversi ke ukuran metrik (g) (Riyadi 2004).

Tingkat Konsumsi dan Angka Kecukupan Zat Gizi

Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur kimia yang terkandung dalam makanan yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh secara normal. Manusia memerlukan zat gizi agar dapat hidup dengan sehat dan mempertahankankan kesehatannya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang

(29)

diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan internal dan eksternal, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan, serta untuk aktivitas khususnya untuk orang dewasa dan lanjut usia. Kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein pada tahap awal menimbulkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu dapat menurunkan berat badan disertai dengan menurunnya kemampuan (produktivitas) kerja (Hardinsyah & Martianto 1992). Sehingga penting untuk mengetahui angka kecukupan dan tingkat konsumsi zat gizi.

Penilaian untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Secara umum, tingkat konsumsi dirumuskan sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):

Angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Namun, angka kecukupan ini digunakan untuk berbagai keperluan yang sifatnya menyangkut populasi seperti merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk (Almatsier 2003). Sehingga jika akan digunakan untuk penaksiran angka kecukupan individu, untuk energi dan protein perlu dilakukan koreksi dengan menggunakan berat badan aktual sehat dengan rumus sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994):

Energi

Energi dalam tubuh manusia dapat dihasilkan karena adanya pembakaran karbohidrat, protein, dan lemak sehingga manusia memerlukan makanan yang cukup bagi tubuhnya (Marsetyo & Kartasapoetra 1991). Manusia membutuhkan energi dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Energi berfungsi sebagai input bagi kegiatan produktif manusia. Tanpa energi yang cukup

(30)

manusia tidak dapat hidup dan bekerja secara optimal. Hal ini berpengaruh pada kesehatan dan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas (Pergizi pangan 1999).

Energi yang diperlukan diperoleh dari energi potensial yang tersimpan dalam pangan yang berupa energi kimia. Energi kimia ini dilepaskan waktu terjadi pembakaran ikatan kimia dalam tubuh (dalam proses metabolik). Energi diukur dalam satuan kalori (Karsin 2004). Angka kecukupan energi untuk kelompok pria dewasa usia 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-64 tahun berturut-turut dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 2515 kkal, 2315 kkal, 2307 kkal per hari (WNPG 2004).

Pada umumnya kebutuhan energi orang dewasa didasarkan pada produksi energi dalam tubuh yang berfungsi untuk melakukan kerja internal, melakukan kerja eksternal (aktivitas fisik), dan menutup pengaruh aksi dinamik spesifik (SDA) makanan. Oleh karena itu dalam perhitungan kebutuhan energi orang dewasa terlebih dahulu dihitung angka metabolisme basal (AMB). Selain itu, jumlah energi untuk melakukan aktivitas fisik juga turut diperhitungkan (Suhardjo & Kusharto 1992).  

Angka metabolisme basal dapat dihitung dengan banyak persamaan termasuk diantaranya adalah perhitungan AMB berdasarkan Schofield equation dalam FAO/WHO/UNU (2001) dan Oxford equation dalam (WNPG 2004).

Schofield equation merupakan persamaan yang didapatkan dari hasil penelitian

yang dilakukan di Amerika Utara dan Eropa Barat. WNPG (2004) menyatakan bahwa dalam penggunaannya Schofield equation menghasilkan nilai pengeluaran energi yang overestimate sekitar 10-15% jika digunakan untuk menaksir angka pengeluaran energi ras ASIA. Oxford equation merupakan persamaan yang didapatkan dari hasil metaanalysis yang dilakukan di Filipina, sehingga Oxford equation dianggap lebih sesuai untuk perhitungan pengeluaran energi komunitas ras Asia.

Tabel 3 Rumus Schofield equation dan Oxford Equation bagi pria dewasa

Nama persamaan Rentang Usia (tahun) Persamaan

Schofield equation*) 18 – 30 15.057 (BB) + 692.2

30 – 60 11.472 (BB) + 873.1

Oxford equation**) 19 – 29 16.8 (BB) + 498

30 – 64 16.0 (BB) + 462

keterangan : BB : berat badan (kg)

Sumber : *) FAO/WHO/UNU (2001) **) WNPG (2004)

(31)

Protein

Protein merupakan molekul makro yang terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Terdapat dua puluh jenis asam amino yang telah diketahui, yang terdiri dari sembilan asam amino esensial dan sebelas asam amino nonesensial (Almatsier 2003). Berdasarkan sumbernya, protein diklasifikasikan menjadi protein hewani dan protein nabati. Protein hewani yaitu protein dalam bahan makanan yang berasal dari binatang, seperti dari daging, susu, dan ikan. Protein nabati adalah protein yang berasal dari tumbuhan seperti jagung dan kacang-kacangan (Sediaoetama 2006)

Almatsier (2003) menyatakan bahwa protein memiliki peran yang sangat penting bagi tubuh yaitu sumber energi, pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, membentuk antibodi, dan mengangkut zat-zat gizi. Protein berfungsi dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang mati, dan habis terpakai sebagai protein struktural. Protein juga berfungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh melawan berbagai mikroba dan zat toksin lain yang datang dari luar dan masuk ke dalam tubuh. Sebagai zat-zat pengatur, protein mengatur proses-proses metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon.

Angka kecukupan protein untuk pria dewasa usia 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-64 tahun dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 60 g per hari (WNPG 2004). Defisiensi protein umumnya terjadi pada masa anak-anak dan jarang ditemukan pada orang dewasa. Namun demikian, defisiensi protein dalam waktu yang lama akan mengekibatkan ketidakseimbangan kondisi tubuh mengingat protein merupakan zat gizi yang sangat substansial bagi tubuh (Sediaoetama 2006)

Fe (Zat besi)

Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia (Almatsier 2003). Bahan makanan yang banyak mengandung zat besi antara lain adalah hati, dan daging dari bahan pangan sumber hewani dan kacang kedelai, kacang tanah, kacang panjang, serta sayuran hijau. Zat besi yang berasal dari tumbuhan yang dapat diabsorpsi hanya sedikit bila dibandingkan dngan bahan makanan asal hewani yang dapat dibsorpsi cukup tinggi (Anwar 1998).

(32)

Zat besi (Fe) merupakan elemen mikro yang essensial bagi tubuh. Zat ini terutama diperlukan dalam hemopoesis (pembentukan darah), yaitu dalam sintesa hemoglobin (Hb). Di samping itu, beberapa enzim memerlukan Fe sebagai faktor penggiat (Sediaoetama 2006). Zat besi (Fe) dalam tubuh juga berperan dalam transportasi dan penyimpanan oksigen (Guthrie & Picciano 1995).

Angka kecukupan zat besi (Fe) untuk pria dewasa usia 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-64 tahun dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 13 mg per hari (WNPG 2004). Defisiensi besi merupakan defisiensi yang paling umum terjadi karena daya serap tubuh manusia terhadap Fe relatif sulit. Defisiensi terutama menyerang golongan rentan, seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan rendah (Almatsier 2003). Rendahnya kemampuan kerja jasmani pada umumnya berhubungan dengan defisiensi besi (Anwar 1998). Defisiensi besi dapat berakibat menurunkan produktivitas dan kapasitas fisik saat bekerja dan menurunkan imunitas seluler dan meningkatkan kesakitan (Widayani 2004). Produktivitas pekerja yang kekurangan zat besi menurun 10-30% daripada pekerja yang sehat (Baliwati et al. 2004).

Defisiensi zat gizi besi dapat menimbulkan anemia gizi besi. Salah satu gejala fisik yang terjadi pada anemia gizi besi adalah penurunan kemampuan kerja. Efek fisik lainnya adalah peningkatan sensitivitas terhadap penyakit flu, gangguan gastrointestinal, konstipasi, dan diare (Guthrie & Picciano 1995). Pekerja yang membutuhkan tenaga besar akan merasa cepat lelah karena anemia gizi besi menyebabkan tenaga berkurang. Dengan demikian hasil kerjanya akan rendah karena produktivitas kerja menurun. Kekurangan zat besi akan menurunkan ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Kelebihan zat besi bisa mengakibatkan mikroorganisme memanfaatkannya untuk pertumbuhan sehingga penyakit yang diderita semakin parah (Wirakusumah 1999).

Vitamin A

Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam). Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Secara luas, vitamin A merupakan nama generik

(33)

yang menyatakan semua retinoid dan prekursor/provitamin A/karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol (Almatsier 2003).

Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karoten terutama di dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, lemak susu, dan mentega. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-buahan yang berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, daun kacang, wortel, jeruk dan lain-lain. Vitamin A essensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup dan berbagai fungsi faali tubuh. Vitamin A berperan dalam fungsi penglihatan, diferensia sel, kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan dan reproduksi (Almatsier 2003).

Defisiensi vitamin A dapat merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi, atau kekurangan sekunder karena gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat, ataupun karena gangguan pada konversi karoten menjadi vitamin A. Organ tubuh yang mengalami degradasi fungsi akibat defisiensi vitamin A adalah mata. Buta senja adalah salah satu tanda awal kekurangan vitamin A, selain itu juga dapat terjadi perubahan pada mata berupa xeroftalmia. WHO (1982) dalam Almatsier (2003) mengklasifikasikan tingkat xeroftalmia sebagai berikut :

- XN : buta senja

- X1A : xerosis konjungtiva

- X1B : bercak bitot

- X2 : xerosis kornea

- X3A : ulkus kornea dengan xerosis

- X3B : keratomalasia

- XS : parut kornea

- XF : xeroftalmia fundus

Angka kecukupan vitamin A bagi pria dewasa dalam daftar AKG 2004 adalah sebesar 600 RE per hari (WNPG 2004). Defisiensi vitamin A menurunkan fungsi kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lendir, sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau bakteri atau virus dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Perubahan pada kulit juga dapat terjadi, disebut hiperkeratosis folikular. Pertumbuhan sel-sel terhambat pada kondisi defisiensi vitamin A. Fungsi sel-sel yang membentuk email pada gigi

(34)

terganggu dan terjadi atrofi sel-sel yang membentuk dentin, sehingga gigi mudah rusak (Almatsier 2003).

Vitamin C

Vitamin C adalah kristal putih yang mudah larut dalam air. Pada keadaan kering vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut, vitamin C mudah rusak karena bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Vitamin C tidak stabil dalam larutan alkali, namun cukup stabil dalam larutan asam. Bila dibandingkan dengan vitamin lainnya, vitamin C merupakan vitamin yang paling labil. Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu buah terutama yang memiliki rasa asam seperti jeruk dan tomat. Selain dalam buah, vitamin C juga banyak terdapat dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2003).

Fungsi vitamin C di dalam tubuh bersangkutan dengan sifat alamiahnya sebagai antioksidan. Meskipun mekanismenya belum diketahui, tapi tampaknya vitamin C berperan serta di dalam banyak proses metabolisme yang berlangsung di dalam jaringan tubuh. Fungsi fisiologis yang membutuhkan vitamin C ialah :

- Kesehatan substansi matrix jaringan ikat

- Integritas epitel melalui kesehatan zat perekat antar sel

- Mekanisme imunitas dalam rangka daya tahan tubuh terhadap berbagai serangan penyakit dan toksin

- Kesehatan epitel pembuluh darah

- Penurunan kadar kolesterol, dan

- Pertumbuhan tulang dan gigi geligi

Vitamin C mempunyai banyak fungsi bagi tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Asam askorbat memiliki kemampuan mereduksi yang kuat dan bertindak sebagai antioksidan dalam reaksi-reaksi hidroksilasi. Vitamin C dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hal ini mungkin karena kemampuan pemeliharaan terhadap membran mukosa dan pengaruhnya terhadap fungsi kekebalan. (Almatsier 2003).

Angka kecukupan vitamin C untuk pria dewasa usia 19-29 tahun, 30-49 tahun, dan 50-64 tahun dalam tabel angka kecukupan gizi 2004 adalah 90 mg per hari (WNPG 2004). Defisiensi vitamin C memberi gejala penyakit skorbut dengan kerusakan terutama terjadi pada rongga mulut, pembuluh darah kapiler dan jaringan tulang (Sediaoetama 2006).

(35)

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi, penyerapan, dan penggunaan pangan di dalam tubuh (Riyadi 2006). Status gizi optimal dapat tercapai jika tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan umum secara maksimal. Baik gizi kurang maupun gizi lebih dapat menghambat optimalisasi pencapaian hal tersebut (Almatsier 2003).

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah yang penting untuk diperhatikan. Malnutrisi tidak hanya meningkatkan resiko terkena penyakit namun juga mempengaruhi produktivitas kerja (Supariasa et al. 2001). Riyadi (2006) juga menyatakan bahwa kekurangan gizi dapat berakibat menurunnya ketahanan fisik dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja.

Soekirman (2000) menyatakan bahwa status gizi dapat ditentukan dengan beberapa ukuran-ukuran gizi tertentu atau kombinasinya. Beberapa cara pengukuran status gizi antara lain yaitu pengukuran antropometrik, klinik, dan laboratorik. Pengukuran yang paling sering dilakukan adalah pengukuran antropometrik karena metodenya relatif paling sederhana dibanding pengukuran klinik dan laboratorik.

Metode antropometri menggunakan pengukuran terhadap dua dimensi, yaitu dimensi pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan derajat gizi, sehingga bermanfaat terutama pada keadaan terjadinya ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri juga dapat digunakan untuk mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat. Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi tentang riwayat gizi masa lampau, hal ini tidak dapat diperoleh (dengan tingkat kepercayaan yang sama) dengan menggunakan teknik penilaian lainnya (Riyadi 2001). Pengukuran dengan metode ini dapat dilakukan dengan relatif cepat, mudah, dan menggunakan alat pengukur yang reliabel, sehingga tehnik dan peralatannya dapat dikalibrasi dan distandarisasi(Gibson 2005).

Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan untuk menilai status gizi yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U), indeks massa tubuh (IMT), tebal lemak bawah kulit menurut umur, dan rasio lingkar pinggang dengan pinggul. Diantara keempat

(36)

indeks tersebut, indeks massa tubuh (IMT) adalah indeks yang paling mudah diukur dan diinterpretasikan (Supariasa et al. 2001).

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan sebuah instrumen sederhana yang dapat digunakan untuk menilai status gizi. Pemakaian IMT khususnya untuk melihat kekurangan dan kelebihan berat badan. Namun, IMT tidak dapat diterapkan pada keadaan khusus (Supariasa et al. 2001). Perhitungan IMT adalah sebagai berikut :

Nilai IMT yang didapatkan dari perhitungan kemudian disesuaikan dengan klasifikasi yang ada (Supariasa et al. 2001). Klasifikasi indeks massa tubuh (IMT) dibagi menjadi beberapa kategori seperti di bawah ini.

Tabel 4 Klasifikasi indeks massa tubuh (IMT)

Status gizi Klasifikasi Cut-off points

Kurang Kurus tingkat berat

Kurus tingkat sedang Kurus tingkat ringan

< 16,00 16,00-16,99 17,00-18,49 Normal Normal 18,50-24,99 Lebih Overweight Pra-obese Obese Obese kelas I Obese kelas II Obese kelas III

>25,00 25,00-29,99 >30,00 30,00-34,99 35,00-39,99 >40,00 sumber : WHO (2004) dalam WHO (2005)

Produktivitas Kerja

Produktivitas secara umum mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumberdaya yang digunakan atau secara sederhana, merupakan perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input) dengan rumus sebagai berikut (Ravianto 1990) :

(37)

Menurut Sinungan (2003) masing-masing variabel output maupun input dapat dinyatakan dalam beragam satuan, tergantung hasil (output) dan masukan (input) yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Satuan yang dapat digunakan seperti satuan fisik (berat, volume, hari, jam, panjang) atau satuan nilai rupiah.

Ravianto (1985) menyebutkan bahwa produktivitas kerja menunjukkan hubungan antara hasil kerja dengan satuan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seorang tenaga kerja. Seorang tenaga kerja dinilai produktif jika mampu menghasilkan keluaran (output) yang lebih banyak dari tenaga kerja lain untuk satuan waktu yang sama. Dengan kata lain bahwa seorang tenaga kerja menunjukkan tingkat produktivitas yang lebih tinggi bila mampu menghasilkan output yang sesuai dengan standar yang ditentukan dalam waktu yang lebih singkat.

Salah satu dimensi yang banyak digunakan dalam pengukuran produktivitas adalah dimensi waktu. Hasil tertentu dicapai dalam suatu waktu tertentu, sehingga waktu merupakan suatu dimensi yang secara langsung atau tidak langsung ada dalam perhitungan produktivitas (Todaro 1985). Namun, peningkatan jumlah jam kerja tidak selalu meningkatkan produktivitas seorang pekerja. Waktu bekerja yang melebihi waktu standar (8 jam) cenderung menurunkan produktivitas. Pada kondisi ini, pekerja cenderung merasa penat dan tegang, sehingga cenderung untuk melakukan kegiatan istirahat lebih banyak. Hal ini menyebabkan waktu tersebut tidak digunakan secara efektif dalam melakukan pekerjaan (Sastrowinoto 1985).

Sastrowinoto (1985) menyatakan bahwa waktu istirahat sangat dibutuhkan oleh pekerja, tidak hanya pekerja fisik, namun juga oleh pekerjaan yang menimbulkan ketegangan secara mental. Ada empat tipe istirahat yang umum dilakukan saat bekerja yaitu:

a) istirahat spontan, adalah istirahat yang dilakukan secara spontan dan diselipkan sendiri oleh pekerja dalam waktu bekerja

b) istirahat tersembunyi, adalah melakukan pekerjaan yang tidak perlu dan tidak bersangkutan dengan pekerjaan yang dilakukan

c) istirahat kondisi pekerjaan, adalah waktu menunggu, istirahat jenis ini biasanya terjadi pada pekerja yang menggunakan mesin dalam melakukan pekerjaannya, misalnya menunggu mesin dingin, membersihkan peralatan

(38)

d) istirahat telah ditentukan, adalah waktu istirahat yang ditentukan oleh pihak perusahaan atau atasan dan pada umumnya dibuat atas dasar studi kerja dari jenis pekerjaan yang bersangkutan.

Istirahat tipe spontan dan tersembunyi dapat dibenarkan secara fisiologis mengingat manusia tidak mungkin melakukan suatu pekerjaan terus menerus tanpa berhenti. Namun, istirahat di luar waktu yang ditentukan menyebabkan pekerja tidak produktif, karena waktunya tidak lagi efektif digunakan untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya.

Dimensi lain yang tidak terlepas dari produktivitas adalah upah. Upah dapat diartikan sebagai imbalan yang diterima pekerja dalam hubungan kerja, berupa uang atau barang, melalui suatu perjanjian kerja, tertulis maupun lisan. Upah juga merupakan salah satu cerminan kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Selain itu, upah yang layak juga merupakan penunjang produktivitas kerja. Upah yang dirasa oleh pekerja setimpal dengan pekerjaan yang dilakukan dapat memacu peningkatan produktivitas pekerja. Upah yang memadai juga memberikan keleluasaan bagi pekerja untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup, terutama kebutuhan pangan yang dapat memberikan energi untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik (Ravianto 1990).

Produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berhubungan dengan tenaga kerja itu sendiri maupun faktor-faktor lainnya seperti pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap dan etika kerja, motivasi, teknologi, serta gizi dan kesehatan. Produktivitas kerja merupakan hasil yang berkesinambungan antara individu tenaga kerja dengan lingkungan di luar pekerjaan, termasuk lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya dan lingkungan psikologi. Faktor lain yang juga ikut berpengaruh terhadap produktivitas adalah penggunaan alat-alat dan teknologi yang dapat membantu kegiatan kerja (Ravianto 1985).

Gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seseorang. Keadaan gizi yang baik merupakan pemicu peningkatan produktivitas kerja. Keadaan gizi yang baik tidak hanya dapat meningkatkan ketahanan fisik, namun juga meningkatkan derajat kesehatan sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan ketidakhadiran bekerja (Riyadi 2006). Suhardjo (2005) menyebutkan bahwa perbaikan gizi pekerja akan menurunkan tingkat absen pekerja sehingga meningkatkan kemampuan produktivitas pekerja.

(39)

Hasil penelitian Baliwati dan Sumarwan (1994) pada buruh tani menunjukkan bahwa status gizi yang baik meningkatkan kemampuan petani untuk bekerja. Kemampuan bekerja petani yang meningkat menyebabkan meningkatnya hasil padi per jam kerja yang dilakukan, sehingga produktivitas juga meningkat. Hasil penelitian lain oleh Moelyosiwi (1999) pada penebang tebu juga menunjukkan bahwa status gizi berpengaruh nyata terhadap produktivitas kerja.

Teori Motivasi dan Motivasi Kerja

Istilah motivasi diambil dari istilah latin, movere berarti “pindah”. Motivasi adalah proses-proses psikologis meminta mengarahkan, arahan, dan menetapkan tindakan sukarela yang mengarah pada tujuan. Motivasi berbeda dengan perilaku. Motivasi melibatkan suatu proses psikologis untuk mencapai puncak keinginan dan maksud seorang individu untuk berperilaku dengan cara tertentu (Kreitner & Kinicki 2005). Motivasi adalah kondisi mental yang mendorong aktivitas dan memberi energi yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan (Ravianto 1985). Motivasi adalah keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu (Hoger & Hoeger 2005).

Motivasi kerja adalah besar kecilnya usaha yang diberikan seseorang untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Motivasi dapat dibagi menjadi motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah yang berasal dari luar dirinya seperti hadiah atau insentif. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri sendiri seperti kepuasan kerja (Ravianto 1985).

Motivasi kerja seseorang dipengaruhi oleh sistem kebutuhannya. Maslow menyatakan bahwa motivasi adalah suatu fungsi dari lima kebutuhan dasar. Pada saat kebutuhan dasar terpenuhi, secara otomatis memunculkan kebutuhan pada hirarki yang lebih tinggi. Saat suatu kebutuhan terpuaskan maka akan mengaktifkan kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi dalam hirarki tersebut (Kreitner & Kinicki 2005).

Menurut Maslow, kebutuhan seseorang dibagi dalam beberapa tingkatan dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi yaitu : 1) kebutuhan fisiologis seperti makan, istirahat, defekasi, dan sex; 2) kebutuhan akan keamanan, keselamatan, rasa tenteram, dan lain sebagainya; 3) kebutuhan untuk diakui, diterima, dicintai dalam lingkungan sosial; 4) kebutuhan akan prestasi; dan 5) kebutuhan perwujudan diri dan pencapaian cita-cita (Ravianto 1985). Kebutuhan

(40)

fisiologi dan rasa aman digolongkan ke dalam kebutuhan tingkat rendah, sedangkan kebutuhan sosial, prestasi, dan aktualisasi diri digolongkan ke dalam kebutuhan tingkat tinggi (Robbins 2003).

Kebutuhan akan muncul dan menjadi motivasi hingga kebutuhan itu terpenuhi (Ravianto 1985). Tiap kebutuhan yang terpenuhi secara substansial, kebutuhan berikutnya akan bersifat dominan, sehingga kebutuhan naik ke hirarki yang lebih tinggi. Walaupun tak ada kebutuhan yang terpenuhi secara sempurna, kebutuhan lainnya akan muncul dan dengan segera menjadi motivasi (Robbins

2003). Hasil penelitian Anhar (2007) menunjukkan bahwa semakin tinggi

Gambar

Tabel 2  Perhitungan PAL untuk populasi dewasa  Jenis aktivitas  alokasi
Gambar 1  Kerangka berpikir penelitian
Gambar 2. Cara penarikan contoh penelitian Malabar n=102 Talun santosa n=67  Sedep n=96 Kebun Malabar n=102  97 contoh  72 contoh terpilih 25 contoh drop out
Tabel 7 Cara pengkategorian data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Based on the above statement it is necessary to proceed cytotoxicity assay of the “ekor naga” leaf ( Rhaphidophora pinnata (Lf) Schott) extracts with different polarity of solvent

Strategi keamanan dan kerahasian dalam jaringan komputer bertujuan untuk memaksimalkan sumber daya yang ada untuk mengamankan sistem jaringan komputer pada titik-titik yang

Kesadaran hokum masyarakat mengenai pernikahan di bawah umur terhadap hak anak menurut uu no 23 tahun 2002.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

The ekor naga leaf ( Rhaphidophora pinnata (Lf) Schott) D isolate had antiproliferative activity and promote apoptosis of the MCF-7 cells. Kitagawa, S., (2006), Inhibitor Effect

Program aplikasi pengelolaan data pasien ini menggunakan Microsoft Visual Foxpro 6.0 karena dengan menggunakan Microsoft Visual Foxpro 6.0 aplikasi pengelolaan data pasien ini

Mengingat bahwa akhir-akhir ini Corporate Governance merupakan salah satu topik pembahasan sehubungan dengan semakin gencarnya publikasi tentang kecurangan (fraud) maupun

Dari latar belakang tersebut, rumusan masalah yang disusun dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengembangan buku berbahasa Jawa bergambar sebagai penunjang pembelajaran

dan tarif angkutan taksi argometer dalam wilayah kota Surabaya” yang.. berisikan, tentang perubahan besaran tarif angkutan