• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor) Oleh : CITA SEPTIVIANI A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor) Oleh : CITA SEPTIVIANI A"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL

(Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor)

Oleh : CITA SEPTIVIANI

A14304068

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

RINGKASAN

CITA SEPTIVIANI, A1404068, “PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (STUDI KASUS: PT. UNITEX, KOTA BOGOR)”, di bawah bimbingan ACENG HIDAYAT

Sektor industri merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Perkembangan sektor industri selain memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional tetapi di sisi lain membawa masalah terhadap kondisi lingkungan. Dampak negatif dari perkembangan industri yang tidak bisa dihindari yaitu menimbulkan pencemaran karena dalam setiap proses produksinya menghasilkan limbah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

Perkembangan kondisi dan kualitas lingkungan di Indonesia sudah sangat memprihatikan karena kerusakan lingkungan semakin parah diikuti dengan pembuangan limbah secara terus menerus sehingga menimbulkan pencemaran dan akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan instrumen ekonomi, salah satunya instrumen fiskal. Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen fiskal yang umum digunakan untuk mengatasi persoalan pencemaran lingkungan.

Pajak lingkungan yang tengah menjadi wacana, masih mengalami perdebatan di berbagai kalangan. Pajak lingkungan direncanakan akan ditetapkan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan dan dibebankan khususnya pada industri manufaktur yang memiliki omzet di atas Rp 300 juta per tahun. Pemungutan pajak ini diserahkan kepada pemerintah kabupaten atau kota. Pajak lingkungan yang diusulkan oleh pemerintah tersebut mencerminkan ketidakadilan dari sisi lingkungan. Perusahaan yang beromzet di atas Rp 300 juta per tahun belum tentu memberikan kontribusi limbah yang berbahaya bagi lingkungan misalnya perusahaan tersebut telah memiliki IPAL yang baik sehingga tidak berpotensi mencemari lingkungan. Di sisi lain perusahaan kecil (omzet di bawah Rp 300 juta) yang belum memiliki IPAL akan memberikan kontribusi pencemaran yang lebih berbahaya. Berdasarkan hal tersebut maka pajak lingkungan sebaiknya tidak dikenakan atas omzet perusahaan melainkan berdasarkan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle/PPP) sehingga memenuhi prinsip keadilan. Pajak lingkungan diterapkan berdasarkan PPP artinya semakin besar tingkat pencemaran yang ditimbulkan maka pajak yang akan dikenakan semakin tinggi dan sebaliknya. Besarnya pajak lingkungan dapat ditentukan dengan mengetahui persamaan Marginal Abatement Cost (MAC) dan Marginal Damage (MD). Penentuan pajak lingkungan yang optimal diperoleh melalui perpotongan antara kurva MAC dan MD (MAC = MD).

(3)

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengestimasi tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost); (2) mengestimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage) dan (3) mengestimasi nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle.

Dalam penelitian ini untuk mengestimasi tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost) dengan menggunakan pendekatan biaya rata-rata (average cost pricing). Hasilnya dapat digunakan untuk menentukan persamaan MAC PT. UNITEX. Mengingat besarnya dampak yang harus diterima oleh masyarakat maka diperlukan estimasi mengenai tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage), melalui pendekatan nilai Willingness to Accept (WTA) dengan metode Contingent Valuation Method (CVM). Besarnya nilai MD yang diterima masyarakat tersebut dapat digunakan untuk menentukan persamaan MD masyarakat. Estimasi nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle diperoleh dari hasil perhitungan pertemuan antara persamaan MAC dengan MD (MAC=MD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa estimasi tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengurangi satu-satuan (mg/l) konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost) untuk parameter BOD sebesar Rp 599.743,00 per mg/l dan parameter COD sebesar Rp 647.992,00. Estimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai Marginal Damage (MD), rata-rata responden sebesar Rp 86.097,00/bulan dan MD masyarakat sebesar Rp 6.026.829,20/bulan. Faktor yang mempengaruhi nilai MD tersebut adalah tingkat pendidikan dan jarak tempat tinggal dengan sungai. Nilai pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle (MAC=MD) untuk parameter BOD sebesar Rp 43.998.040,00 ketika tingkat konsentrasi BOD sebesar 74 mg/l. Sementara itu, untuk parameter COD hasil perpotongan persamaan (MAC=MD) didapatkan tingkat pajak yang optimal yaitu Rp 11.529.265,00 ketika tingkat konsentrasi COD sebesar 357 mg/l. Pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran per 1 mg/l untuk parameter BOD sebesar Rp 594.568,00 mg/l dan parameter COD sebesar Rp 32.295,00 per mg/l. Pajak lingkungan yang seharusnya dibayarkan oleh PT. UNITEX berdasarkan parameter BOD dan COD sebesar Rp 27.929.738,00 per bulan.

(4)

PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL

(Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor)

Oleh:

CITA SEPTIVIANI A14304068

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(5)

Judul Skripsi : PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor) Nama : Cita Septiviani

NRP : A14304068

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 132 007 049

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (STUDI KASUS: PT. UNITEX, KOTA BOGOR)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM TULISAN.

Bogor, Januari 2009

Cita Septiviani A14304068

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Cita Septiviani, dilahirkan pada 21 September 1986 di Bogor sebagai kedua dari dua bersaudara dari pasangan Pandji Yudistira Kusumasumantri dan Ea Aisyah. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Polisi IV, Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP 20 Malang pada tahun 2001 dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Bogor pada tahun 2004.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya (EPS), jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Koperasi Mahasiswa (KOPMA) tahun 2005-2006, dan aktif dalam berbagai kegiatan kepanitian.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, karunia dan segala pertolongan serta kemudahan yang diberikan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada Rasullah SAW beserta sahabat, keluarga dan pengikutnya hingga akhir zaman. Semoga semua langkah dan usaha dalam pembuatan skripsi ini dapat bernilai ibadah, demikian juga kepada semua pihak yang telah membantu dengan iklas.

Skripsi yang berjudul “Penetapan Nilai Pajak Lingkungan untuk Industri Tekstil (Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor)” ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2009

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada :

1. Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran, dan perhatian terhadap penulis demi terselesaikannya tugas akhir ini.

3. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen penguji utama dan Adi Hadianto, SP selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan atas kritik dan saran sebagai penyempurna skripsi ini.

4. Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan perhatiannya terhadap penulis selama proses perkuliahan. 5. Mbak Pini Wijayanti, SP atas bimbingan, saran, kritik, dan perhatiannya

selama proses penyusunan skripsi.

6. Segenap Dosen dan Staf Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya memberikan banyak ilmu terhadap penulis selama proses perkuliahan.

7. Papah dan Mamah serta Teteh Tya buat perhatiannya, nasihat-nasihat, doa, dukungan, segala kasih sayang dan cintanya serta semua keluarga besar yang selalu mendoakan, dan dukungannya.

8. Yoga Prasta Adinugraha, SPt atas dukungan, waktu, perhatian, bantuan, dan kebersamaannya selama ini. Terimakasih banyak.

(10)

9. Sahabat-sahabatku tercinta: Vina, Nuy, Retno, Irna, Mayang (Goober), Uci, Ave, Ida, Evi, Risti, Maya, Ade, Owin, Tita, Wulan, Deasy, Arlin, Meymey, Manda. Terimakasih untuk perhatian, bantuan, semangat serta kebersamaan. 10. Teman-teman EPS 41 buat kebersamaannya: Devi, Toto, Nunung, Lingga,

Aghies, Ella, Pampam, Lingga, Sari, Cian, Emil, Teh Vitri, Rolas, Lina, Leni, Pipit, Zakia, Santi Sintia, Yanti, Merry, Erna, Anti, Wida, Rahma, Mail, Galih, Jimmy, Nia, Cecep, Ervan, Anggi, Zae, Asti, Pipih, Nana, Kevin, Yudi, Deli, Riky, Nisa, Budi, Gufron, Yamin, Arif dan semua teman-teman EPS 41 yang tidak tersebutkan.

11. PT. UNITEX dan masyarakat Kelurahan Tajur yang telah banyak membantu dalam pengambilan data untuk penyelesaian skripsi.

12. Semua pihak yang telah berkenan membantu demi kelancaran penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT menerima amal ibadah mereka semua. Amin.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………...………. i

DAFTAR TABEL………...………. iii

DAFTAR GAMBAR………..………. iv DAFTAR LAMPIRAN………..………. v I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………..………. 1 1.2 Perumusan Masalah………..………. 4 1.3 Tujuan Penelitian………..………. 8 1.4 Manfaat Penelitian………..………... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian…………..………... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak……….. 11

2.2 Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Priciple)………. 12

2.3 Eksternalitas……….. 13

2.4 Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif……… 15

2.5 Industri Tekstil………... 16

2.5.1 Proses Produksi Tekstil………... 16

2.5.2 Sumber Limbah Cair Tekstil……… 17

2.5.3 Baku Mutu Limbah Cair Tekstil………... 18

2.6 Indikator dan Pengamatan Pencemaran Air……….. 20

2.7 Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air……….. 21

2.8 Penelitian Terdahulu……….. 22

2.8.1 Industri Tekstil……….. 22

2.8.2 Willingness to Accept (WTA) ………...….. 23

2.9 Keunggulan Penelitian………... 24

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis………...………. 25

3.1.1 Konsep Kesediaan untuk Menerima (Willingness to Accept/WTA)...… 25

3.1.2 Asumsi dalam Pendekatan WTA Masyarakat……….. 26

3.1.3 Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method/CVM)... 27

3.1.4 Pajak Lingkungan……….……… 28

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional……….. 34

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………. 38

4.2 Metode Pengambilan Sampel……… 38

4.3 Jenis dan Sumber Data……….. 39

4.4 Metode Analisis Data……… 40

4.4.1 Estimasi Nilai Marginal Abatement Cost (MAC)... 41

4.4.2 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Abatement Cost (MAC)……. 45

(12)

4.4.4 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Damage (MD)... 54

4.4.5 Penetapan Nilai Pajak Lingkungan... 55

4.5 Teori Regresi Berganda... 56

4.6 Pengujian Parameter... 57

4.7 Batasan Definisi Operasional Penelitian………... 61

V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Perusahaan………... 62

5.1.1 Sejarah Singkat PT. UNITEX………...…………... 62

5.1.2 Sarana Produksi dan Proses Produksi………... 62

5.1.2.1 Bahan Baku……….. 62

5.1.2.2 Proses Produksi……… 63

5.1.3 Pengolahan Air Limbah……… 63

5.1.3.1 Sumber Limbah Cair……… 63

5.1.3.2 Jenis dan Karakteristik Limbah Cair……… 64

5.1.3.3 Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. UNITEX……….. 65

5.2 Gambaran Umum Kelurahan Tajur………... 71

5.2.1 Keadaan Umum kelurahan Tajur……….. 71

5.2.2 Kependudukan……….. 72

5.3 Karakteristik Responden………...……… 74

5.4 Aktivitas Responden di Sungai………. 79

VI. ESTIMASI MARGINAL ABATEMENT COST (MAC) 6.1 Estimasi Nilai MAC………...………...……. 80

6.2 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Abatement Cost (MAC)... 84

VII. ESTIMASI MARGINAL DAMAGE (MD) 7.1 Estimasi Nilai MD...…...…….…………. 89

7.2 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Damage (MD)... 96

VIII. PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN 8.1 Estimasi Penetapan Nilai Pajak Lingkungan yang Optimal... 101

8.2 Pajak Lingkungan dan Retribusi Limbah Cair... 105

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan……… 107

9.2 Saran... 108

DAFTAR PUSTAKA………....……….. 109

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1 Perkembangan Jumlah Industri di Kota Bogor Tahun 2002-2007……… 4 2 Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil………. 20 3 Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Menurut PP RI No. 82 Tahun

2001... 22 4 Matriks Metode Analisis Data………... 40 5 Jumlah Penduduk dari Setiap RW di Kelurahan Tajur Tahun

2008………...… 73

6 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur di Kelurahan Tajur Tahun

2008………... 73

7 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Tajur Tahun 2008…... 74 8 Lulusan Pendidikan Formal Penduduk Kelurahan Tajur Tahun 2008….. 74 9 Sebaran Karakteristik Responden……….. 75 10 Aktivitas Responden yang Umumnya Dilakukan di Sungai Cibudig

Sebelum Terjadinya Pencemaran Air………... 79 11 Hasil Perhitungan Statistik Rata-Rata Konsentrasi Parameter Kualitas

Limbah Cair Inlet, Outlet, dan Inlet-Outlet dengan IPAL PT. UNITEX 82 12 Hasil Perhitungan Statistik Rata-Rata dan Persentase Pengurangan

Konsentrasi Parameter Limbah Cair Sebelum dan Sesudah IPAL

(Inlet-Outlet)………..……… 83

13 Hasil Perhitungan Statistik MAC PT. UNITEX per 1 mg/l…………... 83 14 Hasil Perhitungan Statistik MAC PT. UNITEX ketika Tidak ada

Pencemaran, Inlet, dan Outlet………... 84 15 Distribusi WTA Responden ...………. 90 16 Total WTA (TWTA) Responden ……….………. 91 17 Rataan WTA Responden, TWTA Responden, dan TWTA Populasi

Beserta Tingkat Konsentrasi Masing-Masing Parameter... 92 18 Hasil Analisis Nilai WTA Responden...………... 93 19 Hasil Perhitungan Pajak Lingkungan ...……… 104 20 Rumus dan Hasil Perhitungan Retribusi Limbah Cair Perda No. 5

Tahun 2003 ... 106

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Eksternalitas Produksi Negatif……….. 14

2 Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif……… 16

3 Pajak Effluent yang Efisien ………..……..……….. 34

4 Pajak Effluent dan Insentif untuk R&D (Research and Development)…. 32 5 Diagram Alur Kerangka Berpikir ...……….. 37

6 Kurva MAC………... 45

7 Kurva MD……….. 55

8 Air Limbah Berwarna……… 65

9 Bak Penampungan Air Warna pada IPAL PT. UNITEX……….. 66

10 Saringan Halus (Bar Screen) pada IPAL PT. UNITEX……… 67

11 Cooling Tower pada IPAL PT. UNITEX……….. 67

12 Tangki Koagulasi dan Flokulasi pada IPAL PT. UNITEX……...……… 68

13 Tangki Sedimentasi I pada IPAL PT. UNITEX…………...……… 68

14 Tangki Sedimentasi II pada IPAL PT. UNITEX……….. 68

15 Mesin Pengepres Lumpur pada IPAL PT. UNITEX………. 69

16 Bak penampungan Air Umum………... 69

17 Bak Aerasi yang Berbetuk Oval………...……. 70

18 Bak Aerasi II dan III yang Berbentuk Persegi Panjang………. 70

19 Kolam Ikan……… 71

20 Saluran Pembuangan Air Limbah PT. UNITEX………... 71

21 Kurva MAC untuk Parameter BOD ……...…... 86

22 Kurva MAC untuk Parameter COD ………..…... 88

23 Kurva MD untuk Parameter BOD... 98

24 Kurva MD untuk Parameter COD... 100

25 Pajak Lingkungan yang Optimal ketika Efisiensi Masyarakat (MAC=MD) untuk Parameter BOD (mg/l)... 102

26 Pajak Lingkungan yang Optimal ketika Efisiensi Masyarakat (MAC=MD) Konsentrasi Parameter COD (mg/l)... 104

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Hasil Analisa Laboratorium Kualitas Air Sungai………. 112

2 Laporan Proses Air Limbah PT. UNITEX Periode Agustus 2006……….. 113

3 Hasil Pemeriksaan Mutu Limbah Cair PT. UNITEX Periode Juli 2005..… 114

4 Hasil Pemeriksaan Mutu Limbah Cair PT. UNITEX Periode Agustus 2005……….. 115

5 Rincian Konsentrasi Parameter Limbah Cair PT. UNITEX………..…….. 116

6 Rincian Biaya Proses Pengolahan Air Limbah PT. UNITEX……….. 117

7 Hasil Regresi Berganda Nilai WTA Responden... 118

8 Uji Statistik Hasil Regresi Berganda Nilai WTA... 119

9 Perhitungan Persamaan MAC, MD, dan Pajak Lingkungan... 120

10 Cara Pengukuran Retribusi Menurut Perda Kabupaten Bogor Nomor 5 Tahun 2003 ………...………... 122

11 Hasil Peramalan Data BOD inlet, COD inlet, BOD outlet, COD outlet, dan TAC (Total Abatement Cost)………. 124

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor industri merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Perkembangan sektor industri memiliki peran penting dalam memberikan dampak positif terhadap perekonomian seperti memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat, meningkatkan devisa negara dari ekspor, dan sebagai penyumbang yang cukup besar terhadap pendapatan nasional. Di sisi lain pertumbuhan sektor industri juga membawa efek negatif terhadap lingkungan yaitu semakin meningkatnya jumlah limbah industri yang berpotensi menimbulkan pencemaran sehingga dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.

Kegiatan sektor industri bisa dipastikan menimbulkan dampak eksternalitas. Eksternalitas yaitu keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar (Mangkoesoebroto, 1993). Eksternalitas dapat bersifat positif maupun negatif. Eksternalitas positif dari sektor industri adalah pemanfaatan kembali sisa buangan atau limbah oleh pihak lain misal limbah padat yang dihasilkan oleh industri tekstil berupa lumpur (sludge) dapat dimanfaatkan kembali menjadi pupuk organik, bahan campuran pembuatan conblok, dan batako. Contoh yang termasuk eksternalitas negatif adalah limbah industri yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.

Industri menghasilkan beragam limbah, seperti: limbah cair, padat, gas, dan lain-lain. Limbah-limbah ini biasanya langsung dibuang ke lingkungan, tanpa melalui proses pengolahan dan penanganan. Industri umumnya langsung

(17)

membuang limbah cair ke badan air, seperti: laut, sungai, atau danau. Limbah cair industri merupakan penyebab utama terjadinya pencemaran air. Setiap industri yang menghasilkan limbah cair wajib melakukan pengolahan air limbah agar memenuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah sehingga dapat langsung dibuang tanpa mencemari lingkungan. Limbah yang dibuang tanpa diolah terlebih dahulu akan menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan. Beberapa alasan pengusaha membuang limbah tanpa diolah terlebih dulu antara lain mahalnya biaya pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), biaya operasional, dan perawatan IPAL yang rumit dan kompleks.

Lingkungan mempunyai daya tampung limbah yang terbatas. Ketika limbah yang dibuang tidak melebihi ambang batas, lingkungan masih dapat menguraikannya sehingga tidak menimbulkan pencemaran. Namun jika ambang batas tersebut terlampaui, maka lingkungan tidak dapat menetralisir semua limbah yang ada sehingga timbul masalah pencemaran dan degradasi kondisi lingkungan. Perkembangan kondisi dan kualitas lingkungan di Indonesia sudah sangat memprihatikan karena kerusakan lingkungan semakin parah diikuti dengan pembuangan limbah secara terus menerus sehingga menimbulkan pencemaran dan akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan instrumen ekonomi, salah satunya instrumen fiskal. Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen fiskal yang umum digunakan untuk mengatasi persoalan pencemaran lingkungan.

Wacana mengenai pajak lingkungan ini sudah sering didiskusikan oleh berbagai kalangan. Pajak lingkungan direncanakan akan ditetapkan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan dan dibebankan khususnya pada industri

(18)

manufaktur yang memiliki omzet di atas Rp 300 juta per tahun.1 Pungutan pajak lingkungan akan dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan dimasukkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Secara umum pengenaan pajak lingkungan didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan industri yang berpotensi mencemari lingkungan agar memberikan kontribusi dalam perbaikan lingkungan.

Pajak lingkungan akan dikenakan kepada industri manufaktur karena industri tersebut dianggap tidak ramah lingkungan dan memiliki input dengan kadar pencemaran besar serta dalam proses produksinya menghasilkan output limbah yang berpotensi mencemari lingkungan. Industri tekstil merupakan salah satu industri manufaktur yang potensial menghasilkan limbah. Perkembangan sektor industri di Kota Bogor mengalami peningkatan setiap tahunnya, tidak terkecuali industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil). Setiap tahunnya jumlah unit usaha TPT mengalami peningkatan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Perkembangan industri tekstil diikuti dengan semakin besarnya limbah cair yang dihasilkan oleh industri tekstil. Industri tesktil merupakan salah satu industri penghasil utama limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan. Hal tersebut dikarenakan dalam proses produksinya industri tekstil membutuhkan input air dalam jumlah besar dan bahan kimia untuk digunakan dalam proses pewarnaan sehingga limbah yang dihasilkan mengandung COD dan BOD tinggi.

Limbah cair yang dihasilkan oleh industri tekstil merupakan salah satu limbah yang banyak mengandung bahan pencemar yang sulit terurai di lingkungan. Rata-rata di Indonesia limbah cair yang dihasilkan industri tekstil mengandung 750 mg/l padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD (Biological Oxigen

1 Maharani Siti Sophia. 2006. Kajian Di Balik Asumsi Pajak Lingkungan. Situs;

http://www.icel.or.id/. ICEL (Indonesian Center for Environmental Law). (diakses tanggal 1 Juli 2008)

(19)

Demand). Perbandingan COD (Chemical Oxigen Demand) dan BOD berkisar 1,5:1 sampai 3:1.2 Mengingat potensi limbah yang dihasilkan demikian besarnya, sebagai antisipasi terhadap diterapkannya pajak lingkungan maka diperlukan penetapan nilai pajak lingkungan yang mencerminkan keadilan dan kepatutan. Studi ini dilakukan untuk melihat berapa besar nilai pajak yang sebaiknya dikenakan pada industri tekstil.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah Industri di Kota Bogor Tahun 2002-2007 No Industri Menengah dan Besar Jumlah Unit Usaha

2002 2003 2004 2005 2006 2007 Kimia,Agro dan Hasil Hutan

1. Makanan 6 6 6 9 9 15

2. Minuman 3 4 5 6 8 9

3. Kayu Olahan dan Rotan 3 4 5 7 10 10

4. Pulp dan Kertas 3 4 4 7 8 10

5. Bahan Kimia dan Karet 5 5 5 5 6 7

6. Bahan Galian Non Logam - - - 1 2 2

7. Kimia 3 3 3 4 5 6

Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka

1. Mesin dan Rekayasa - - - -

2. Logam 5 5 5 5 10 10

3. Alat Angkut 4 4 4 5 5 5

4. Tekstil dan Produk Tekstil 18 18 19 22 23 23

5. Kulit - - - - 2 2

6. Alpora 1 1 1 1 1 1

7. Elektronika 2 2 2 3 3 3

Total Industri 53 56 59 75 92 103

Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor (2007)

1.2 Perumusan Masalah

Pembahasan rencana pemberlakuan pajak lingkungan di Indonesia masih diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Salah satu poin penting yang masih dipertanyakan adalah nilai pajak yang akan dikenakan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan khususnya terhadap industri manufaktur yang memiliki omzet

2 Departemen Lingkungan Hidup. 2003. Pengolahan & Pemanfaatan Limbah Tekstil. Situs : http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=7. (diakses tanggal 20 Febuari 2008).

(20)

di atas Rp 300 juta per tahun. Pajak lingkungan akan dikenakan kepada industri yang memiliki omzet di atas Rp 300 juta per tahun dengan tujuan untuk menghindari agar industri kecil tidak terkena pajak ini karena dikhawatirkan akan semakin membebani biaya produksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa industri yang memiliki omzet di bawah Rp 300 juta per tahun walaupun menimbulkan pencemaran akan dibebaskan dari pungutan pajak lingkungan dan dibiarkan mencemari lingkungan.

Hal tersebut mencerminkan ketidakadilan apabila dilihat dari sisi lingkungan. Perusahaan yang beromzet di atas Rp 300 juta per tahun belum tentu memberikan kontribusi limbah yang berbahaya bagi lingkungan misalnya perusahaan tersebut telah memiliki IPAL yang baik sehingga tidak berpotensi mencemari lingkungan. Di sisi lain perusahaan kecil (omzet di bawah Rp 300 juta) yang belum memiliki IPAL akan memberikan kontribusi pencemaran yang lebih berbahaya. Sebagai contoh industri kecil tapioka yang menghasilkan limbah cair dengan ciri seperti bau busuk, warna keruh (putih kecoklat-coklatan), kandungan BOD, COD, dan TSS masing-masing sekitar 1.290 mg/l, 3.200 mg/l, dan 148 mg/l (di atas ambang maksimum baku mutu limbah cair yang ditetapkan pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999, yaitu 150 mg/l BOD, 300 mg/l COD, dan 100 mg/l TSS) (Kurniarto, 2006).

Rencana pemberlakuan pajak lingkungan tersebut juga menimbulkan kontroversi, karena terdapat pihak yang pro ataupun kontra. Pihak yang kontra atau menolak adanya pemberlakuan pajak lingkungan sebagian besar berasal dari kalangan pengusaha. Hal ini disebabkan penerapan pajak lingkungan ini akan semakin membebani pengusaha dalam hal kenaikan biaya produksi (high cost).

(21)

Namun di sisi lain bagi pihak yang pro atau setuju, penerapan pajak lingkungan mencerminkan tanggung jawab industri terhadap lingkungan. Pengenaan pajak lingkungan bukan berarti perusahaan diperbolehkan untuk mencemari lingkungan melainkan harus menurunkan tingkat pencemaran limbahnya. Tujuan penerapan pajak lingkungan salah satunya dalam rangka menciptakan insentif bagi pengusaha untuk mendanai kegiatan pelestarian lingkungan mengingat kegiatan industri telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Hasil penerimaan pajak lingkungan digunakan untuk mendanai kegiatan pengelolaan lingkungan seperti mendanai kegiatan pengolahan dan pengendalian limbah, investasi IPAL ataupun pemberian subsidi kepada perusahaan untuk mengadakan sarana IPAL.

Berdasarkan hal tersebut maka pajak lingkungan sebaiknya tidak dikenakan atas omzet perusahaan melainkan berdasarkan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle/PPP) sehingga memenuhi prinsip keadilan. Pajak lingkungan diterapkan berdasarkan PPP artinya semakin besar tingkat pencemaran yang ditimbulkan maka pajak yang akan dikenakan semakin tinggi dan sebaliknya.

Limbah cair tekstil termasuk jenis limbah yang berpotensi besar mencemari perairan. Industri tekstil mengeluarkan limbah cair dengan jumlah yang cukup besar dan mengandung bermacam-macam polutan. Kandungan polutan dalam limbah cair tekstil berasal dari sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi, kotoran yang lepas dari serat, serta sisa-sisa serat yang terlepas oleh bahan kimia. Bahan kimia yang terbuang pada umumnya berasal dari proses pencelupan, baik bahan kimia yang digunakan untuk

(22)

pengkanjian, pewarnaan, dan pemutihan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah cair tekstil antara lain air limbah tekstil secara fisik berwarna keruh dan berbau, sehingga merusak estetika dan mengganggu pemanfaatan air. Air limbah tekstil terkadang berbusa yang menutupi permukaan air dan menghalangi fotosintesa serta masuknya oksigen dalam air sehingga mengganggu kehidupan flora dan fauna air (Sitorus, 1993).

Industri tekstil di Kota Bogor yang masih beroperasi yaitu PT. UNITEX. PT. UNITEX memiliki kapasitas IPAL maksimum sebesar 5.000 m3/hari dan membuang air limbahnya ke Sungai Cibudig. IPAL PT. UNITEX telah memberikan hasil yang memuaskan dalam mengelola limbah cair dari hasil produksinya. Hal tersebut dibuktikan dengan keberhasilannya mendapatkan penghargaan tingkat Asia Pasifik pada tahun 1990 "Sahwali Award" sebagai pengusaha yang berwawasan lingkungan dan memperoleh penghargaan Program Kali Bersih (Prokasih) No.1 di Indonesia tahun 1991 sebagai industri yang paling baik dalam pengolahan air limbah. PT. UNITEX juga menerima penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam upaya menciptakan produksi yang ramah lingkungan dengan menerapkan produksi bersih (cleaner production). Pada tahun 2004-2005, PT. UNITEX juga meraih peringkat biru pada penilaian PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) yang dilakukan oleh KLH.

(23)

Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Berapa tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost)? 2. Berapa tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat

pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage)?

3. Berapa nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengestimasi tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost).

2. Mengestimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage).

3. Mengestimasi nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Untuk bahan pertimbangan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sebagai informasi dan masukan dalam menetapkan besarnya pajak lingkungan yang akan dibebankan untuk industri.

2. Bagi industri, dapat sebagai pertimbangan dalam menentukan besarnya produksi dan teknologi pengolahan limbah cair yang dihasilkan, agar limbah

(24)

yang dikeluarkan tidak mencemari lingkungan dan sesuai dengan baku mutu limbah industri yang telah ditetapkan.

3. Pengusaha tekstil, agar memperhatikan dampak limbah yang ditimbulkan industri tekstil terhadap masyarakat sekitar serta ikut serta dalam upaya memperbaiki lingkungan.

4. Bagi peneliti dan akademisi, untuk menambah pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pajak lingkungan dan menjadi bahan literatur bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan penanggulangan pencemaran lingkungan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Industri tekstil menghasilkan limbah baik berupa limbah padat, cair, dan gas. Penelitian dilakukan hanya pada limbah cair. Hal ini disebabkan limbah padat yang dihasilkan oleh industri dapat di daur ulang atau dimanfaatkan kembali sehingga perusahaan tidak mengolah sendiri limbah padat yang dihasilkan sementara limbah gas, dikarenakan keterbatasan alat serta data penelitian.

Berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Industri, ditetapkan bahwa parameter utama pencemaran air untuk industri tekstil yang harus memenuhi syarat buangan antara lain: BOD, COD, TSS (Total Suspended Solid), krom total, fenol total, amonia total, minyak dan lemak, sulfida, dan pH. Dalam penelitian ini, parameter komponen limbah cair hanya difokuskan pada dua parameter yaitu BOD dan COD. Hal ini disebabkan BOD dan COD merupakan jenis pencemar organik yang paling banyak diterima badan

(25)

air. Adanya keterbatasan alat dan data, maka penelitian difokuskan pada kedua parameter tersebut.

Aspek sosial ekonomi mencangkup dampak positif dan negatif yang diterima masyarakat. Penelitian ini hanya meneliti dampak negatif yang diterima oleh masyarakat sekitar tetapi tidak meneliti dampak positif limbah cair karena keterbatasan alat dan data penelitian. Hal ini dikarenakan sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu meneliti dampak negatif yang diterima masyarakat dari pembuangan air limbah industri tekstil.

Polluter Pay Principle dilakukan dengan mengestimasi persamaan Marginal Abatement Cost (MAC) yang dikeluarkan oleh industri dan Marginal Damage (MD) yang dirasakan masyarakat. Dalam penelitian ini untuk mengestimasi MD dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai Willingness to Accept (WTA). Hal ini disebabkan MD digunakan untuk mengetahui tambahan kerusakan akibat tambahan satu-satuan konsentrasi parameter pencemar limbah cair bersifat sulit dihitung (intangible). Oleh karena itu, dalam penelitian ini pendekatan WTA digunakan untuk mengestimasi nilai kerusakan dari barang lingkungan yang dapat diukur secara ekonomi (tangibel).

Nilai pajak lingkungan yang optimal ditentukan dengan mengetahui persamaaan MAC dan MD. Dalam penelitian ini untuk menentukan persamaan MAC dan MD disederhanakan dengan menggunakan persamaan garis linier dua titik disebabkan karena keterbatasan alat dan data penelitian.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak

Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah yang didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak (orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak) dan tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaanya. Penerimaan pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

Adam Smith mengemukakan dalam Cannon of Taxation, prinsip-prinsip pengenaan pajak yang baik pada barang publik harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: (1) distribusi dari beban pajak harus adil; (2) pajak tidak boleh mendistorsi keputusan ekonomi secara signifikan; (3) pajak harus mengurangi ketidakefisienan di sektor swasta; (4) struktur pajak harus bisa digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi; (5) sistem pajak harus dimengerti oleh wajib pajak; (6) administrasi pajak dan biaya pelaksanaannya harus seminal mungkin; (7) kepastian; (8) dapat dilaksanakan; dan (9) dapat diterima (Mangkoesoebroto, 1993).

Menurut Tim INDEF (2007), pada dasarnya prinsip-prinsip pajak lingkungan yang utama yaitu: (1) netral revenue artinya menjamin motif penerimaan yang netral; (2) non double deviden artinya tidak ada keuntungan berganda, diantaranya dengan mempersiapkan pranata/lembaga pengelolaan yang terkait langsung dengan pajak lingkungan; dan (3) Polluter Pays Principle (PPP).

(27)

2.2 Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)

Polluter Pays Principle (PPP) merupakan salah satu prinsip dalam menetapkan nilai pajak lingkungan. Dalam dunia hukum lingkungan, penerapan pajak lingkungan diartikan sebagai prinsip pencemar membayar (Polluter Pays Principle). Prinsip Pencemar Membayar (PPM) artinya biaya kerusakan lingkungan harus dibebankan kepada pencipta atau produsen pencemar sesuai bagian kerusakan yang diciptakan dengan memasukkan biaya eksternal/biaya kerusakan lingkungan ke dalam perhitungan biaya produksi (internalising the external costs) sehingga mendorong alokasi biaya yang efektif. Prinsip ini juga digunakan sebagai tindakan penyelamatan lingkungan atas biaya penanggungjawab usaha untuk mendorong upaya dunia industri mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Menurut Suparmoko (2000), pada dasarnya pencemar harus menanggung biaya pencemaran sehingga limbah yang dibuang sesuai baku mutu yang ditetapkan. Ada dua interpretasi terhadap Prinsip Pencemar Membayar (PPM) antara lain:

1. Interpretasi dasar atau interpretasi sempit Prinsip Pencemar Membayar (PPM) memberikan suatu hak untuk membuang limbah ke lingkungan sampai jumlah tertentu bebas dari pungutan.

2. Interpretasi yang luas bahwa pencemar tidak lagi diizinkan membuang limbah sampai batas tertentu bebas tanpa bayaran tetapi ia harus membayar baik biaya pengendalian juga biaya kerusakan lingkungan. Interpretasi yang luas ini menghendaki adanya pungutan sebagai suatu insentif, yaitu pencemar harus membayar nilai bersih limbah buangan yang diizinkan. Pungutan sebagai

(28)

insentif ini memiliki keuntungan yaitu prinsip ini dapat mendorong pencemar agar mengurangi tingkat pencemarannya.

2.3 Eksternalitas

Dalam suatu perekonomian modern setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar maka tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya yang tidak melalui mekanisme pasar disebut dengan eksternalitas.

Mangkoesoebroto (1993) membagi eksternalitas berdasarkan dampaknya menjadi dua, yaitu eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang diuntungkan. Eksternalitas positif misalnya seseorang yang membangun pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Eksternalitas negatif apabila dampaknya bersifat merugikan bagi orang lain tetapi tidak menerima kompensasi misalnya polusi udara, air dan suara. Dalam hal adanya eksternalitas dalam suatu aktivitas, maka akan timbul inefisiensi. Inefisiensi akan timbul apabila tindakan seseorang mempengaruhi orang lain dan tidak tercermin dalam sistem harga. Secara umum apabila semua dampak yang merugikan maupun menguntungkan diinternalisasi ke dalam biaya produksi perusahaan sehingga akan

(29)

tercapainya efisiensi masyarakat. Dalam hal ini efisiensi akan tercapai apabila Marginal Social Cost (MSC) sama dengan Marginal Social Benefit (MSB).

Pada Gambar 1 menunjukkan tingkat output yang optimum dengan menginternalisasi biaya eksternalitas negatif ke dalam biaya produksi perusahaan terjadi pada tingkat produksi sebesar 0Q1 dengan harga di P1 yaitu pada saat MSC=MSB. Apabila perusahaan tidak memperhitungkan biaya eksternalitas dalam menentukkan harga dan jumlah barang yang dihasilkan maka berproduksi di Q2 dengan menetapkan harga sebesar P2 yaitu ketika MSB memotong kurva Private Marginal Cost (PMC). Apabila dalam melakukan kegiatan produksi timbul suatu eksternalitas negatif maka Marginal Damage (MD)>0 berarti MSC>PMC karena MSC=PMC+MD sehingga produksi harus dikurangi agar efisiensi produksi ditinjau dari seluruh masyarakat mencapai optimum.

MSC = PMC + MD PMC MSB Q2 0 Q1 P2 P1 Jumlah Produksi P Keterangan:

MSC : Marginal Social Cost MSB : Marginal Social Benefit PMC : Marginal Private Cost MD : Marginal Damage Sumber : Mangkoesoebroto (1993)

Gambar 1. Eksternalitas Produksi Negatif

(30)

2.4 Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif

Masalah eksternalitas dapat diatasi dengan menginternalisasi biaya eksternalitas ke dalam biaya produksi perusahaan sehingga diperlukan intervensi pemerintah melalui penerapan pajak. Pemerintah dapat memecahkan alokasi sumber yang lebih efisien dengan mengenakan pajak kepada pihak penyebab polusi dimana pajak tersebut merupakan pajak per unit.

Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dari eksternalitas negatif disebut dengan Pajak Pigovian (Pigovian Tax), sesuai dengan nama penggagas pertamanya yaitu Arthur Pigou (1877-1959). Gambar 2 menunjukkan analisa pajak untuk mengatasi eksternalitas negatif. Jumlah produksi perusahaan tanpa memperhitungkan eksternalitas negatif sebesar 0Q1 dimana pada titik B menunjukkan Marginal Benefit sama besarnya dengan Private Marginal Cost (MB=PMC). Pemerintah mengenakan pajak sebesar t=ED untuk setiap unit barang yang diproduksi. Akibatnya perusahaan tidak akan berproduksi sebesar 0Q1 tetapi mengurangi produksinya sampai titik E yaitu sampai biaya marginal perusahaan termasuk pajak sama dengan keuntungan marginal (MB=PMC+tax). Pada titik E inipun tercapai alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien karena pada titik E tersebut MB=PMC+MD (Marginal Damage). Penerimaan pemerintah dari pajak ini dapat digunakan untuk pemberian kompensasi kepada “korban” pencemaran lingkungan misalnya berupa fasilitas kesehatan bagi masyarakat yang sakit karena menggunakan air sungai yang tercemar.

(31)

2.5 Industri Tekstil

2.5.1 Proses Produksi Tekstil

Pada dasarnya proses produksi tekstil adalah merubah serat buatan dan serat alam (kapas) menjadi barang jadi tekstil dengan menggunakan serangkaian proses. Secara umum proses produksi tekstil terdiri dari (Yuwono dan Adinugroho, 2006):

1. Pengkanjian benang, yaitu proses pemberian kanji (starch) pada benang untuk memperkuat kekenyalan benang.

2. Penenunan, yaitu proses penyusunan benang yang telah dikanji dan dikeringkan menjadi lembaran kain (bahan).

3. Penghilangan kanji, yaitu proses pencelupan bahan dalam larutan enzim untuk menghilangkan kanji yang terdapat pada benang setelah proses penenunan.

Q

0

Q

1

t (tax) MSC=PMC+MD PMC+tax MD PMC MB A

F

D B C E Jumlah Produksi 0 Keterangan:

MSC : Marginal Social Cost MB : Marginal Benefit PMC : Marginal Private Cost MD : Marginal Damage Sumber : Mangkoesoebroto (1993)

Gambar 2. Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif Rupiah

(32)

4. Pemasakan, yaitu proses penggodokan bahan dengan soda kaustik encer untuk menurunkan berat dan meningkatkan kekuatan bahan.

5. Pemutihan, yaitu proses perendaman bahan dalam larutan pemutih untuk menguraikan dan membuang zat warna yang masih tertinggal setelah proses pemasakan.

6. Pencelupan, yaitu proses pewarnaan bahan dengan mencelupkan bahan dalam larutan pewarna pada suhu tinggi.

7. Pembersihan, yaitu proses penghilangan sisa warna pada permukaan kain dengan menggunakan pembersihan khusus.

8. Penguapan, yaitu proses peresapan resin ke dalam kain dan mengeringkannya.

2.5.2 Sumber Limbah Cair Tekstil

Pencemaran lingkungan terjadi karena adanya limbah. Industri yang menggunakan air dalam proses produksinya akan menghasilkan limbah cair. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan (Kepmen LH No. 51 Tahun 1995).

Limbah yang dihasilkan oleh industri tekstil terdiri dari limbah B3, cair, padat dan gas. Sumber limbah padat yang utama adalah lumpur yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair secara kimia. Limbah lain yang mungkin perlu ditangani adalah sisa kain, minyak, dan lateks. Limbah B3 industri tekstil dapat berasal dari proses penyempurnaan (finishing) tekstil, pencelupan (dyeing), dan percetakan (printing) bahan tekstil maupun lumpur (sludge) dari IPAL yang mengandung logam berat. Sementara itu, sumber pencemaran udara berupa gas

(33)

dan debu berasal dari proses pemintalan, penenunan, pencelupan, dan penyempurnaan serta peralatan produksi seperti steam boiler (mesin uap).

Limbah cair tekstil dihasilkan dari proses pengkajian, proses penghilangan kanji, pengelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan, dan penyempurnaan. Proses penyempurnaan biasanya terdiri dari pengulangan proses-proses sebelumnya. Proses-proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi, dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Proses penyempurnaan kapas menghasilkan limbah yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada limbah dari proses penyempurnaan bahan sistesis.

Proses pengkajian dan penghilangan kanji mengandung zat kimia untuk mengkanji dan biasanya memberikan BOD paling banyak dibanding dengan proses-proses lain. Pemasakan kapas dan pengelantangan merupakan sumber limbah cair yang penting, karena menghasilkan asam, basa, COD, BOD, padatan tersuspensi, dan zat-zat kimia. Pewarnaan dan pembilasan juga menghasilkan air limbah berwarna yang mengandung COD tinggi. Proses pencetakan menghasilkan limbah lebih sedikit daripada pewarnaan (Potter et al, 1994).

2.5.3 Baku Mutu Limbah Cair Tekstil

Kegiatan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran air. Pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Kepmen LH No. 51 Tahun 1995).

(34)

Pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup telah menetapkan baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 1995. Penetapan Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri di Jawa Barat dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999. Parameter utama pencemaran air untuk industri tekstil adalah TSS, BOD, COD, pH, krom total, fenol, amonia, sulfida, serta minyak dan lemak.

BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang di dibutuhkan (mg oksigen) oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik terurai dalam waktu 5 hari pada 1 liter limbah cair. COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, untuk menguraikan seluruh bahan organik secara kimiawi yang terkandung dalam 1 liter limbah cair. TSS (Total Suspended Solid) menunjukkan berat padatan yang berukuran lebih besar dari 2 mikron di dalam 1 liter limbah (Yuwono dan Adinugroho, 2006).

Parameter karakteristik menunjukkan jumlah atau konsentrasi dari suatu jenis pencemar misal BOD, COD, TSS. Parameter tersebut dijadikan acuan batas maksimal limbah yang boleh dibuang oleh industri atau sering disebut juga baku mutu limbah. Tabel 2 menunjukkan parameter baku mutu limbah cair untuk industri tekstil berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Jawa Barat No. 6 Tahun 1999.

(35)

Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil No. Parameter Satuan Kadar

Maksimum

Beban Pencemaran Maksimum

Kg/ton Produksi Kg/hari

1. BOD5 mg/l 60 6,000 90,000 2. COD mg/l 150 15,000 225,000 3. TSS mg/l 50 5,000 75,000 4. Fenol Total mg/l 0,5 0,050 0,750 5. Krom Total (Cr) mg/l 1,0 0,100 1,500 6. Amonia Total mg/l 8,0 0,800 12,000 7. Sulfida (S) mg/l 0,3 0,30 0,450 8. Minyak&lemak mg/l 3,0 0,300 4,500 9. pH - 6,0-9,0 10. Debit m3/bulan 45.000

Sumber: Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Jawa Barat No. 6 Tahun 1999

2.6 Indikator dan Pengamatan Pencemaran Air

Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar yaitu adanya perubahan yang dapat diamati melalui antara lain: (1) perubahan suhu air; (2) perubahan pH; (3) perubahan warna, bau, dan rasa air; (4) timbulnya endapan, koloidal, bahan terlarut; (5) adanya mikroorganisme; dan (6) meningkatnya radioaktivitas air lingkungan.

Berdasarkan cara pengamatannya, pengamatan indikator pencemaran air lingkungan dapat digolongkan menjadi 3 yaitu:

1. Pengamatan secara fisik, yaitu pengamatan pencemaran berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu air, perubahan rasa, dan warna air. 2. Pengamatan secara kimia, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat

kimia yang terlarut (BOD, COD) dan perubahan pH.

3. Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada di dalam air, terutama ada-tidaknya bakteri patogen (penyebab timbulnya penyakit).

(36)

Ketiga macam pengamatan tersebut di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Masing-masing saling mengisi agar diperoleh hasil pengamatan yang lengkap dan cermat (Wardana, 2007).

2.7 Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air

Menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air bahwa klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi empat kelas yaitu sebagai berikut:

1. Kelas satu, air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Kriteria mutu air berdasarkan kelas menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

(37)

Tabel 3. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Menurut PP RI No. 82 Tahun 2001

Parameter Satuan Kelas Keterangan

I II III IV

BOD mg/l 2 3 6 12 Angka batas minimum

COD mg/l 10 25 50 100

Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001

2.8 Penelitian Terdahulu 2.8.1 Industri Tekstil

Penelitian mengenai industri tekstil antara lain telah dilakukan oleh Purnamasari (2001), yaitu tentang pengaruh penggunaan faktor–faktor produksi terhadap jumlah dan debit serta aspek finansial pengolahan limbah cair industri tekstil. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi perusahaan untuk mendirikan IPAL dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam dan luar perusahaan. Keputusan perusahaan untuk mendirikan fasilitas pengolahan industri didasari oleh kesadaran perusahaan bahwa adanya IPAL akan membantu terciptanya hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, pemerintah, dan konsumen pasar sasaran produknya.

Penelitian lain mengenai pengolahan limbah cair industri tekstil diperlukan untuk mendukung penelitian ini. Penelitian mengenai studi aspek teknologi penanganan limbah cair industri tekstil di PT. UNITEX Bogor yang dilakukan oleh Sitorus (1993). Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa air limbah yang dihasilkan oleh proses produksi pabrik tekstil PT. UNITEX telah ditangani dengan baik. Proses penanganan limbah cair PT. UNITEX terdiri dari tiga tahapan proses, yaitu proses primer, proses sekunder, dan proses tersier. Proses biologi yang terdapat pada IPAL PT. UNITEX menggunakan lumpur aktif dengan sistem

(38)

kolam aerasi. Berbagai permasalahan yang ada dalam proses penanganan limbah cair PT. UNITEX dapat diatasi dengan baik.

2.8.2 Willingness to Accept (WTA)

Harianja (2006) yang meneliti mengenai analisis Willingness to Accept masyarakat terhadap tempat pembuangan akhir sampah Bantargebang dengan pendekatan Contingent Valuation Method (kasus Kelurahan Ciketing Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi). Penelitian menggunakan responden anggota masyarakat yang tinggal di wilayah Ciketing Udik. Hasil penelitian menunjukkan, nilai WTA responden Ciketing Udik dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, jarak tempat tinggal, ada tidaknya biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi dampak dari TPA sampah dan penilaian responden terhadap pengolahan sampah yang dilakukan selama ini. Nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 24.300,00/ton sampah yang masuk ke TPA Sampah Bantargebang. Nilai total WTA untuk masyarakat Ciketing Udik adalah Rp 118.259.983,80/ton sampah dan nilai total kompensasi yang dapat diperoleh adalah Rp 481.140.000,00/bulan.

Penelitian lain dilakukan oleh Qomariah (2005) mengenai analisis Willingness to Pay dan Willingness to Accept masyarakat terhadap pengelolaan sampah (studi kasus TPA Galuga, Cibungbulang, Bogor). Respondennya adalah rumah tangga di Kota Bogor, pedagang di tujuh unit pasar traditional di Kota Bogor, dan masyarakat Desa Galuga. Kesimpulan yang diperoleh, faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTA masyarakat Galuga terhadap penerimaan kompensasi adalah tingkat pendapatan dan jarak tempat tinggal dengan lokasi TPA. Besarnya nilai WTA dari masyarakat di Desa Galuga

(39)

berdasarkan dugaan rataan hitungnya (EWTA) sebesar Rp 21.979,17 per bulan sedangkan WTA agregat (TWTA) adalah sebesar Rp 114.950.000,00 per bulan.

Utari (2006) juga melakukan penelitian mengenai analisis Willingness to Pay dan Willingness to Accept masyarakat terhadap pembuangan akhir sampah Pondok Rajeg Kabupaten Bogor. Hasil penelitian menunjukkan, nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 37.300,00/KK/bulan, nilai tengah WTA Rp 35.300,00/KK/bulan, dan totalnya Rp 1.194.000,00/bulan. Nilai WTA responden tersebut dipengaruhi oleh faktor tingkat pendapatan, jarak tempat tinggal dengan lokasi TPA sampah, dan tingkat gangguan yang dialami responden akibat keberadaan TPA sampah.

2.9 Keunggulan Penelitian

Penelitian mengenai pajak lingkungan pada industri tekstil ini merupakan penelitian pertama yang belum pernah ada sebelumya terutama yang dilakukan oleh mahasiswa di IPB. Penentuan pajak lingkungan dalam penelitian ini juga menggunakan perpotongan kurva antara MAC dan MD sehingga dilihat baik dari sisi perusahaan serta masyarakat agar terbentuk tingkat pajak lingkungan yang optimal. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pajak lingkungan.

(40)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis

3.1.1 Konsep Kesediaan untuk Menerima (Willingness to Accept/WTA) Willingness to Accept (WTA) menunjukkan seberapa kemampuan individu menerima kerusakan yang terjadi pada lingkungan. Berbeda halnya dengan WTP, WTA tidak terkait dengan pendapatan. Kecenderungannya, ketika seseorang ditanya tentang kesediaan menerima, jawaban mereka dapat lebih tinggi dari kesediaan untuk membayar pada jenis barang dan jasa lingkungan yang sama.

Kesediaan untuk menerima (WTA) merupakan suatu ukuran dalam konsep penilaian ekonomi dari barang/jasa lingkungan yang memberikan informasi tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat terhadap penurunan kualitas lingkungan disekitarnya yang setara dengan biaya perbaikan kualitas lingkungan tersebut. Penilaian barang/jasa lingkungan dari sisi WTA mempertanyakan seberapa besar jumlah minimum uang yang bersedia diterima seseorang (rumah tangga) setiap bulan/tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan (Hanley dan Spash, 1993).

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam perhitungan WTA untuk menilai penurunan kondisi lingkungan, antara lain:

1. Menghitung jumlah yang bersedia diterima oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan. 2. Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin

(41)

3. Melalui suatu survei untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat menerima dana kompensasi dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan.

Metode mempertanyakan nilai WTA (elicitation method) digunakan untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTA responden (penduduk). Dalam penelitian ini untuk mengetahui nilai minimum WTA digunakan metode tawar menawar (bidding game). Metode ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point) dan responden setuju atau tidak setuju dengan jumlah yang akan diterima. Kemudian nilai awal dinaikkan/diturunkan sampai responden menyatakan bahwa tidak mau menerima lagi penawaran yang diajukan. Penawaran yang disetujui oleh responden merupakan nilai minimum dari WTA mereka.

3.1.2 Asumsi dalam Pendekatan WTA

Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengumpulan nilai WTA dari masing-masing responden (penduduk) adalah:

1. Responden bersedia menerima kompensasi karena mengenal dengan baik kondisi Sungai Cibudig Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur dan memiliki ketergantungan terhadap jasa lingkungan yang disediakan oleh sungai tersebut.

2. Pemerintah Kota Bogor memberikan perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan termasuk pembuangan limbah cair industri tekstil yang dibuang ke Sungai Cibudig Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur.

(42)

3. Pemerintah Kota Bogor bersedia untuk memberikan dana kompensasi atas penurunan kualitas lingkungan akibat pembuangan limbah cair industri tekstil yang dibuang ke Sungai Cibudig Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur. 4. Responden dipilih dari penduduk yang relevan dimana setiap satu tempat

tinggal (rumah) yang diambil dianggap sebagai satu Kepala Keluarga.

3.1.3 Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method/CVM) Pendekatan CVM pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1963. CVM merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan untuk memperkirakan nilai ekonomi dari suatu komoditi yang tidak diperjualbelikan dalam pasar seperti barang lingkungan. Metode ini merupakan cara perhitungan secara langsung dengan titik berat preferensi individu menilai intangible goods yang penekanannya pada standar nilai uang (Hanley dan Spash, 1993).

Dalam CVM digunakan pendekatan secara langsung, yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat mengenai berapa besar nilai minimum dari WTA sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran barang publik yang mendekati nilai sebenarnya dalam pasar hipotesis yang dikondisikan bisa mendekati kondisi pasar yang sebenarnya.

Asumsi dasar dari CVM adalah individu memahami benar pilihan masing-masing dan cukup mengenal kondisi lingkungan yang dinilai. Selain itu, apa yang dikatakan individu tersebut adalah sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan jika pasar untuk intangible goods benar-benar ada. Dengan dasar asumsi tersebut CVM menilai lingkungan dengan menanyakan pertanyaan “Berapakah jumlah

(43)

minimum uang yang bersedia diterima seseorang (WTA) setiap bulan atau setiap tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan”.

Kuesioner CVM meliputi tiga bagian, yaitu (1) pernyataan yang jelas tentang kondisi alam yang mana/bagaimana yang harus dievaluasi oleh masyarakat; (2) pertanyaan yang menjelaskan keterkaitan responden secara ekonomi : pendapatan, lokasi tempat tinggal, usia, dan pengalaman pemanfaatan sumber daya alam terkait; (3) pertanyaan tentang WTA yang diteliti. Sebelum menyusun kuesioner terlebih dahulu dibuat skenario-skenario yang diperlukan untuk membangun suatu pasar hipotesis barang publik yang menjadi pengamatan. Selanjutnya dilakukan pembuktian pasar hipotesis menyangkut pertanyaan perubahan kualitas lingkungan yang dijual atau dibeli.

3.1.4 Pajak Lingkungan

Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen fiskal yang berperan penting dalam mengurangi kerusakan lingkungan. Secara konseptual sebagaimana disebut dalam buku Alfred Pigou,”The Economic of Welfare”, pajak lingkungan dirasionalkan sebagai upaya menginternalisasi biaya eksternal/biaya kerusakan yang tidak termasuk dalam harga pasar (pigouvian tax) ke dalam private cost (biaya perusahaan yang diperhitungkan berdasarkan laporan rugi laba), sehingga tersedia dana dalam pembiayaan lingkungan hidup untuk mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dapat diiringi dengan meningkatkan efisiensi produksi. Oleh karena itu, pajak lingkungan menjadi tanggung jawab perusahaan yang bersangkutan (Dhewanthi dan Apriani, 2006).

(44)

Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup, fungsi pajak lingkungan yaitu: (1) fungsi budgeter, yakni fungsi untuk mengisi kas daerah dan negara; (2) fungsi regulerend, yakni pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah antara lain: (a) mengatur usaha atau kegiatan yang memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL); (b) mengatur usaha atau kegiatan yang membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL/UKL); (c) pencegahan, pengendalian, serta penanggulangan pencemaran lingkungan; dan (d) pemberian ganti kerugian kepada “korban” pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.3

Dalam sistem pajak, pencemar diberi kebebasan untuk membuang limbah, tetapi mereka akan dikenai sanksi membayar pajak untuk setiap unit effluent (limbah cair) misalnya dalam ton yang dibuang. Esensi dari pendekatan pajak adalah untuk menyediakan insentif untuk para pencemar agar mereka mencari sendiri cara terbaik untuk mengurangi limbahnya. Dengan pajak, pencemar memiliki insentif untuk melestarikan penggunaan jasa-jasa lingkungan.

1. Dasar Ekonomi

Asumsi program pajak effluent yaitu harus ada tekanan kompetitif/iklim ekonomi kompetitif yang memaksa perusahaan untuk melakukan apa saja yang dapat meminimalisir biaya. Pada perusahaan-perusahaan yang kompetitif, respon terhadap pajak akan bergantung pada dua faktor, yaitu tinginya pajak dan kecuraman kurva MAC (Marginal Abatement Cost). Semakin tinggi pajak, semakin besar pengurangan effluent, dan sebaliknya. Faktor lainnya yaitu semakin

3 Muhammad Djafar Saidi. 2007. Pajak Lingkungan; Instrumen Perlindungan Lingkungan Hidup. Situs : http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=49070. (diakses tanggal 21 Maret 2008).

(45)

curam kurva MAC semakin sedikit pengurangan effluent dalam merespon suatu tingkat pajak tertentu.

2. Tingkat Besaran Pajak

Besarnya tingkat pajak dapat ditentukan dengan mengetahui fungsi MAC dan MD. Abatement Cost merupakan biaya pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan melalui pengurangan effluent. MAC menggambarkan biaya tambahan untuk mencapai pengurangan tingkat pencemaran sebanyak satu satuan, atau bisa juga dilihat sebagai biaya yang dihemat ketika pencemaran meningkat sebesar satu satuan. MD (Marginal Damage) menunjukkan perubahan kerusakan karena perubahan jumlah limbah yang dibuang. Pajak optimal ditetapkan pada tingkat effluent efisien (MD=MAC), yaitu pada e*, sehingga tingkat pajak adalah t* dapat dilihat pada Gambar 3.

MA

MD a 0 e1 e* eo f b c d e t* effluent MAC keterangan:

Total Abatement Cost (TAC) = e Total tagihan pajak = a+b+c+d Total biaya perusahaan = a+b+c+d+e Sumber: Field (1994)

Gambar 3. Pajak Effluent yang Efisien Tax (Rp)

(46)

Reduksi effluent dari e0 ke e* telah mengatasi biaya kerusakan sebesar e+f. Biaya kerusakan yang tersisa yaitu (b+d) jumlahnya lebih kecil dari pada pembayaran pajak perusahaan. Flat Tax seperti ini banyak dikritik karena pembayaran pajak perusahaan dapat melebihi biaya kerusakan yang tersisa. Salah satu solusi masalah ini adalah dengan menerapkan pajak effluent dua bagian, misalnya pemerintah dapat memutuskan bahwa untuk tingkat effluent hingga sebesar e1 bebas dari pajak, tingkat effluent selebihnya dikenai pajak sebesar t*. Dengan cara seperti ini, perusahaan masih memiliki insentif untuk mengurangi tingkat emisi hingga e1, tetapi total pengeluaran pajaknya hanya sebesar c + d.

Jika tidak diketahui fungsi MD, pajak dapat ditetapkan dengan mengobservasi kualitas ambang. Secara umum, makin rendah effluent, maka makin rendah konsentrasi ambang dari suatu polutan. Jadi strateginya adalah dengan menetapkan pajak pada besaran tertentu dan mengamati apakah tingkat pajak tersebut dapat memperbaiki kualitas ambang. Jika kualitas ambang tidak membaik, maka pajak dinaikkan dan sebaliknya.

3. Pajak Lingkungan dan Insentif untuk Berinovasi

Sebagai alternatif kebijakan lingkungan, pajak effluent mampu menciptakan insentif untuk mendorong kemajuan teknologi dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan. Gambar 4 menunjukkan pajak emisi dan inovasi teknologi pengurangan pencemaran. MAC1 adalah MAC perusahaan X sebelum mengadopsi teknologi baru. Jika pajak ditetapkan sebesar Rp ton/tahun, maka perusahaan X akan mengurangi tingkat effluent ke tingkat e1, dimana TAC = (d+e) dan total tagihan pajak = (a+b+c). MAC2 adalah MAC perusahaan X setelah mengadopsi teknologi baru. Dengan pajak t, effluent menjadi e2, TAC = (b+e),

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu kami berencana untuk membuka usaha pembuatan es krim berbahan dasar jamur tiram putih yang merupakan salah satu inovasi produk olahan jamur tiram yang

Yang dimaksud dengan penyuluhan kesehatan gigi adalah : Gabungan dari berbagai macam kegiatan dan kesempatan yang berlandaskan prinsip- prinsip belajar untuk

1) Hambatan pengembangan dan pembelajaran yang meliputi faktor-faktor dana, fasilitas dan peralatan yang telah tersedia, waktu yang tersedia (waktu mengajar serta

12 Seorang yang tertarik pada gadis cantik dan menuangkannya dalam lagu 13 Penyanyi yang mengagumi kecantikan sang gadis dan takut kehilanggannya l4lCowok yang ingin mendekati

[r]

lain *ang ! *ang ! onta! dengan onta! dengan penderita secara lan penderita secara lan gsung& atau dengan e!stra! gsung& atau dengan e!stra! !husus *ang dibuat dari

Saran dalam menyelesaikan masalah pada penelitian ini yaitu agar masalah rute perbaikan access point dapat optimal yaitu dengan menerapkan algoritma transportasi

serta masyarakat yang telah dihadapinya, sehingga untuk menilai bahwa matan hadis itu bisa diterima atau dinyatakan maqbu>l, maka harus memenuhi unsur- unsur