LAPORAN TUTORIAL BLOK XXIII TRAUMATOLOGI SKENARIO II
NYERI PINGGANG DAN TIDAK BISA KENCING
KELOMPOK A2
YAASIN RACHMAN NOOR G0012231
MAHARDHIKA K G0012123 PARADA JIWANGGANA G0012159 FADHLI RAHMAN G0012073 DENATA SIENVIOLINCIA G0012055 PRATIWI RETNANINGSIH G0012163 RIFAATUL MAHMUDAH G0012183
BERLIAN MAYA DEWI G0012043
DITA MAYASARI G0012063
NELSI MARINTAN TAMPUBOLON G0012147
RUSMITA HARDINASARI G0012197
DEVITA MAHAJANA G0012057
TUTOR :
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
BAB I PENDAHULUAN
Pada diskusi turorial minggu ke-II blok trumatologi, kami mendapat skenario sebagai berikut :
Nyeri pinggang dan tidak bisa kencing
Dokter IGD menerima pasien rujukan dari puskesmas, pasien seorng lki-lki berusia 35 tahun. Sekitar 6 jam sebelumnya, pasien mengendarai sepeda motor sambil bertelepon. Saat kecepatan tinggi, pasien menabrak pohon karena bermaksud menghindari becak. Pasien terbentur setang motor pada pinggang kanan, lalu jatuh ke tanah dengan panggul membentur batu besar. Pasien sadar, tampak pucat, mengeluh nyeri pada pinggang dan perut bagin bawah, dan tidak bias kencing. Namun dokter tetap tidak melakukan kateterisasi.
Dari pemeriksaan dokter IGD didapatkan kesadaran GCS 15, pupil isokhor, reflex cahaya (+/+), lateraisasi (-), jalan napas bebas. Didapatkan vital sign: nadi 120 x/menit, tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36oC, akral dingin dan lembab, RR 24 x/menit.
Terdapat jejas pda region lumbal dekstra, nyeri ketok costovertebral (+), keluar darah dari orificium uretra eksternum, serta terdapat hematom pada region perineum. Dari pemerikaan rectal toucher didapatkan prostt melayang. Dalam pemeriksaan stabilits pelvis, tes kompresi (+), tes distraksi (+).
Dokter melengkapi pemeriksaan penunjang kemudian mengkonsulkan pasien pada dokter spesialis yang berkaitan untuk menangani kasus ini.
BAB II DISKUSI
A. SEVEN JUMP
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario.
a. Pemeriksaan stabilitas pelvis: penilaian awal terhadap perdarahan pelvis, untuk memstikan terjadiny ceder uyang mengganggu tulang dan ligament yang memperkuat pelvis.
b. Kompresi: kompresi manual Krista iliaka atau spina iliaka anterosuperior. Adanya gerakan bnormal atau nyeri tulang mengrah pada adanya fraktur pelvis, pemeriksaan stabilits harus segera dihentikan. Bila pelvis tmpak stabil pada kompresi, lakukan maneuver distraksi
c. Distraksi: distrksi spina iliaka anterosuperior untuk mengevaluasi adanya gerakan tulang ataupun nyeri. d. Prostat melayang: hasil pemeriksaan yang didpatkan
ketika posisi prostat lebih tinggi dari normal dan tidak ada yang memfiksasi prostat, sehingga terkesan melayang
2. Langkah II : Menentukan/mendefinisikan
permasalahan
a. Trauma apa yang terjadi setelah menabrak dan membentur batu besar?
b. Apakah ada hubungan antara pasien yang mengendarai sepeda motor sambil bertelepon dengan kecelakaan membentur setang?
c. Adakah hubungan antara nyeri pingang dan perut bagian bawah dengan keluhan tidak bias kencing?
d. Mengapa dokter tidak memasang kateter pdahal psien tidak bias kencing?
e. Adakah hubungan antara kecelakaan 6 jam sebelumnya dengan keluhan yang muncul setelahnya?
f. Mengapa nadi cepat, tekanan darah menurun, suhu 36oC, akral dingin dan lembab, dan frekuensi pernapasan meningkat?
g. Bagaimana interpretasi pemeriksaan GCS, pupil, reflex cahaya, dan lateralisasi?
h. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan adanya jejas pada region lumbal dekstra?
i. Pemeriksaan penunjang apakah yang harus dilengkapi? j. Apakah tindakan yang harus dilakukn pada kasus
kegawatdaruratan ini?
k. Ke dokter spesialis manakah pasien ini harus dikosultasikan?
3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara mengenai permasalahan.
1. Trauma yang terjadi pada pasien
a. Lokasi: Pinggang kanan terbentur setang dan panggul membentur batu besar
b. Kronologi: mengendarai sepeda motor sambil bertelepon dengan kecepatan tinggi dan menabrak pohon
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa mengemudi sambil bertelepon menyebabkan aktifnya korteks prefrontal (digunakan untuk mengatur atensi) akan tetapi terjadi penurunan aktivitas pada area penglihatan pada lobus occipitalis (Schweizer et al., 2013).
Terjadi 2 jenis injury yaitu decompression injury dan deceleration injury. Decrompession injury adalah trauma organ visceral yang disebabkan karena kompresi dari bagian tubuh yang lain. Misalnya ketika jatuh tengkurap atau menabrak pohon dari depan, bagian tubuh anterior (misal costae) manusia akan melawan percepatan yang terjadi sedangkan bagian tubuh posterior (misal vertebrae) cenderung masih mengalami percepatan sehingga organ visceral akan terkompresi (Paru / jantung akan terkompresi costae dan vertebrae. Sedangkan pada orang yang menebrak sesuatu mengalami kecenderungan untuk menahan napas sehingga masih terdapat udara pada saluran pernapasan. Kompresi pada thorax dapat menyebabkan ruptur alveolus). Deceleration injury organ yang terfixir (Misal ligamen, tulang) mengalami deselerasi (perlambatan) terlebih dahulu daripada organ yang tidak sepenuhnya terfixir (misal hepar, ginjal). Akibatnya akan terjadi robekan pada ligamen.
Karena energi kinetik berbanding lurus dengan massa dan kecepatan, maka semakin cepat dan tinggi massa maka derajat keparahan trauma akan semakin besar.
Region abdomen
Abdomen dibagi menjadi 9 regio yang dipisahkan oleh dua garis horizontal, yaitu linea subcostalis dan linea intertubercularis, dan dua garis vertical, yaitu linea midclavicularis dextra dan sinistra, membagi abdomen menjadi 9 regio :
1. Regio hipokondriaka dextra 2. Regio hipokondriaka sinistra 3. Region epigastrica
4. Region lumbalis dextra 5. Region lumbalis sinistra 6. Region umbilikalis 7. Region inguinalis dextra 8. Region inguinalis sinistra 9. Region hipogatrica
Regio Organ
Hipokondriaka dextra Hepar, empedu, ren dextra, intestinum tenue Hipokondriaka sinistra Lien, kolon, ren sinistra, pancreas
Epigastrium Gaster, Hepar, Pankreas, duodenum, lien Lumbalis dextra Empedu, hepar, kolon ascendens
Lumbalis sinistra Kolon desendens, ren sinistra
Umbilikalis Imbilikus, jejenum, ileum, duodenum Inguinalis dextra Apendiks, caecum
Inguinalis sinistra Kolon desendens, kolom sigmoid
Hypogastrium Vesika urinaria, kolon sigmoid, organ genital (Drake et al, 2009)
Fraktur pelvis
Pelvis terdiri atas os sacrum dan os coxae (ilium, ischium, dan pubis), dengan banyak kompleks ligament yang mengencangkan struktur pelvis. Cedera pada ligament dan tulang pelvix menandakan adanya trauma yang sangat berat, yang dapat terjadi karena kecelakaan dan kendaraan bermotor. Fraktur pelvis memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan cedera organ intraperitoneal dan retroperitoneal dan struktur vaskuler.
Pasien dengan fraktur pelvis mengalami syok hemoragik berisiko kehilangan darah dari : (1) permukaan tulang yang parah ; (2) plexus venosus pelvis ; (3) cedera arteri pelvis ; (4) benda-benda diluar pelvis.
Ada 4 macam kekuatan yang dapat menyebabkan trauma pelvis :
1. Anterior Posterior Compression, menyebabkan rupture pada simfisis pubis dan complex ligamentum osesus posterior. Menunjukan adanya bentuk fraktur ‘open book’
2. Lareral compression biasanya disebabkan oleh adanya rotasi internal pada hemipelvis yang bersangkutan, dan menyebabkan pubis terdorong ke dalam system genitourinary bawah. Menunjukkan adanya bentuk fraktur ‘closed’.
3. Vertical shear disebabkan oleh adanya kekuatan besar dalam arah vertical sepanjang anterior dan posterior dan merusak ligament sacrospinosis dan ligamentum sacrotuberius, menyebabkan instabilitas pelvis (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
Klasifikasi fraktur pelvis :
Fraktur pelvis dapat diklasifikasikan berdasarkan seberapa besar risiko terjadinya trauma uretra. Fraktur pelvis yang mempunya risiko trauma uretra lebih tinggi adalah fraktur Straddle atau sering disebut butterfly fractures dimana 4 rami os pubis semuanya patah. Tipe berikutnya adalah fraktur Malgaigne, fraktur pelvis yang terjadi karena jatuh dari keitnggian (sama seperti vertical shear) . (Daniel IR, Nejd FA, 2006).
Trauma Ren
Adanya nyeri ketok costovertebral menandakan adanya trauma pada ginjal.
Trauma renal dibagi atas derajat kerusakannya, yaitu:
Grade 1: adanya luka memar pada ginjal, dan/atau hematoma subkapsular yang tidak menyebar
Grade 2: adanya laserasi <1 cm pada medulla renal dan ductus kolektivus, dan/atau hematoma retroperitoneal yang tidak membesar
Grade 3: adanya laserasi >1 cm pada ductus kolektivus
Grade 4: adanya laserasi >1 cm pada ductus kolektivus dan/atau cedera pembuluh darah renal dengan perdarahan
Grade 5: renal hancur dan/atau rupture pembuluh darah renal
Ruptur Uretra
Berdasrkan anatomi, rupture uretra dibagi atas rupture uretra posterior yang terletak proksimal diafragma urogenital dan ruptur uretra anterior yang terletak distl diafragma urogenital.
Cedera menyebabkan memar dinding dengan atau tanp robekan mukosa baik parsial atau total.
Rupture uretra posterior hampir selalu disertai frktur pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranacea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen frktur, sedangkan uretra membranacea terikat di diafragma urogenital. Rupture uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek, seingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.
Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara obyek yang keras dengan tulng simfisis. Cedera uretra anterior selain oleh karena cedera kangkang juga dapat disebabkan oleh instrumentsi urologic, seperti pemsangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi Gambaran Klinik
Pada rupture uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai rupture kandung kemih bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum.
Pada rupture uretra anterior, terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum.
Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupkan tanda klasik cedera uretr. Bila terjadi rupture uretra total, penderita mengeluh tidak bisa kencing sejak
terjadi rudapaksa, dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan mungkin dijumpai kandung kemih yang penuh.
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan demam. Ekstravsasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fasia yang turut rusak.
Diagnosis
Rupture uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra di sertai patah tulang pelvis. Selain tanda setempat, pada colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. Kadang tidak teraba prostat sama sekali karena pindah ke cranial.
Kecurigaan rupture uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau instrumentsi dan darah yang menetes dari metus uretra.
Pemeriksaan radiologi dengan uretrogram retrograde dapat memberi keterangan letak dan tipe rupture uretra.
2. Hasil Pemeriksaan a. GCS 15
GCS 15 menandakan bahwa pasien masih dalam keadaan sadar penuh atau compos metis sehingga diagnosis banding trauma kepala bisa disingkirkan. b. Pupil isokhor
Pupil isokhor menandakan bahwa fungsi sehingga diagnosis banding trauma kepala bisa disingkirkan.
c. Reflex cahaya (+/+)
Reflex cahaya (+/+) menandakan bahwa pasien masih normal keduanya sehingga diagnosis banding trauma kepala bisa disingkirkan.
d. Vital Sign (HR 120 x/ min, BP 90/60 mmHg, T 36oC, RR 24x/min) Heart rate meningkat, tekanan darah menurun, frekuensi nafas menigkat, serta suhu akral dingin mrupakan tanda adanya syok, dalam hal ini syok yang terjadi adalah syok hemoragic akibat perdarahan pada intra abdominal.
3. Hasil Pemeriksaan Fisik a. Jejas regio lumbal dekstra
Jejas pada region lumbal dextra menandakan bahwa terdapat benda tumpul yang mengenai daerah lumbal dekstra sehingga perlu adanya curiga trauma organ pada region lumbal dextra.
b. Nyeri ketok kostovertebral
Adanya nyeri ketok costovertebral menandakan adanya trauma pada ginjal c. OUE mengeluarkan darah
OUE mengeluarkan darah perlu adanya curiga a trauma pada uretra maupun buli-buli.
d. Hematom regio perineum
Hematom regio perineum perlu adanya curiga perdarahan intraabdominal. Hematom pada region perineum biasanya akibat rupture uretra posterior e. Rectal Toucher: Prostat melayang
Trauma urethra menyebabkan cedera pada urethra dan daerah sekitarnya. Cedera tersebut dapat menyebabkan putusnya urethra dan ligamentum puboprostatikum. Darah dari luka tersebut dan urin kemudian mengumpul di daerah sekitar cedera misalnya saja di sekitar prostat. Hilangnya bagian yang mengfiksasi prostat menyebabkan prostat seolah – olah melayang karena prostat tertarik ke arah cranial. Akibat dari kejadian tersebut pada pemeriksaan rectal toucher prostat teraba lebih tinggi atau bahkan tidak teraba sama sekali. (Cummings, James. 2013)
f. Tes Stabilitas Pelvis
Pemeriksaan stabilitas pelvis dimulai dengan melakukan kompresi manual ke spina iliaca anterosuperior atau bisa ke arah crista iliaca. Apabila terjadi pergerakan abnormal atau timbul rasa nyeri maka diduga terjadi fraktur pelvis. Apabila pelvis tampak stabil pada compresi lakukan manuver distraksi ke bagian spina iliaca anterosuperior, lalu perhatikan kembali apakah ada pergerakan abnormal, krepitasi atau nyeri. Lakukan manuver kompresi dan distraksi ini dengan hati-hati karena dengan melakukan manuver ini maka dapat menimbulkan atau meningkatkan perdarahan. Apabila memungkinkan
hindari pemeriksaan ini dan langsung dilakukan pemeriksaan x-ray.
4. Langkah IV: Mengeinventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3.
5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran 1. Tanda prostat melayang
2. Golden periode trauma 3. Pemeriksaan lateralisasi 4. Keluhan pasien
a. Pucat
b. Nyeri pinggang dan perut bagian bawah c. Tidak bias kencing
5. Kegawatdaruratan Kecelakaan Trauma Tumpul Keluhan Kegawatdaruratan Primary Survey Secondary Survey Pemeriksaan Penunjang Penatalaksanaan
a. TRIASE: primary survey, adjunct primary survey, secondary survey
b. Pemeriksaan Penunjang c. Tatalaksana
d. Konsultasi dokter spesialis 6. Komplikasi dan Prognosis
6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
7. Langkah VII: Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang diperoleh
1. Tanda prostat melayang
Trauma urethra menyebabkan cedera pada urethra dan daerah sekitarnya. Cedera tersebut dapat menyebabkan putusnya urethra dan ligamentum puboprostatikum. Darah dari luka tersebut dan urin kemudian mengumpul di daerah sekitar cedera misalnya saja di sekitar prostat. Hilangnya bagian yang mengfiksasi prostat menyebabkan prostat seolah – olah melayang karena prostat tertarik ke arah cranial. Akibat dari kejadian tersebut pada pemeriksaan rectal toucher prostat teraba lebih tinggi atau bahkan tidak teraba sama sekali (Cummings, 2013).
2. Golden periode trauma
Unit kecelakaan besar harus mampu menerapkan metode pengobatan standar untuk mengendalikan perdarahan yang mengancam kehidupan dalam 'Golden Hour' atau sekarang dikenal sebagai ‘Golden Period’, seperti yang direkomendasikan oleh pedoman ATLS. Dalam penelitian di Skotlandia, terdapat 31 unit kecelakaan besar di Skotlandia diperiksa untuk menentukan kemampuan mereka untuk menstabilkan patah tulang panggul dalam periode ini. Ditemukan bahwa hanya delapan unit berpotensi menstabilkan panggul dalam 1 jam. Dalam delapan unit lainnya tidak ada perawatan darurat yang sesuai tersedia. Kami merekomendasikan bahwa semua unit yang ditunjuk untuk menerima beberapa kasus
harus memiliki perangkat panggul stabilisasi serta pelatihan dan keahlian untuk menggunakannya serta ketepatan waktu (McSwain, 2003).
3. Pemeriksaan Lateralisasi
Lateralisasi adalah suatu keadaan dimana terdapat perbedaan antara keadaan neurologis pasien pada bagian tubuh kanan dan kiri. Pada mata lateralisasi dapat terjadi berupa pupil anisokor:
Pupil kanan lebih besar Lateralisasi ke kanan Pupil kiri lebih besar Lateralisasi ke kiri
Perbedaan ukuran pupil dapat disebabkan karena gangguan persarafan parasimpatis dari mata yang berasal dari nukleus Edinger-Westphal. Gangguan pada nukleus Edinger-Westphal salah satunya dapat disebabkan oleh trauma kepala yang menyebabkan perdarahan pada epidural space sehingga terjadi penekanan pada cerebri dan menyebabkan herniasi dari uncus yang dapat menyebabkan penekanan pada nukleus Edinger-Westphal.
Tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia. Hemiplegia paling banyak terjadi karena adanya rupture arteri yang memperdarahi korteks motorik primer. Darah yang seharusnya berada di dalam arteri merembes keluar sehingga mengurangi suplai nutrisi terutama supai oksigen, hal itu memungkinkan sel saraf untuk mengalami kematian yang dapat menyebabkan kelumpuhan sesisi. Selain itu, darah yang keluar dari arteri meneken sistem piramidalis yang mengganggu impuls saraf atau perintah yang di berikan oleh girus presentralis. Tekanan darah ini mengganggu kapsula interna sebagai tempat di bentuknya jaras kortikospinalis dan kortikobular di daerah genu sampai krus posterior, gangguan ini juga dapat menyebabkan lesi di daerah kapsula interna sehingga kapsula interna ini tidak dapat meneruskan perintah yang di berikan untuk sampai di kornu anterior dorsalis untuk di teruskan ke otot yang di tuju demi menghasilkan gerakan yang di inginkan. Hemiplegia yang di terjadi pada batang otak sesisi dinamakan hemiplegia alternans. Hemiplegia
alternans mempunyai 3 jenis yang berbeda dan mempengaruhi sraf cranial yang berbeda pula.
4. Keluhan pasien a. Pucat
b. Nyeri pinggang dan perut bagian bawah c. Tidak bisa kencing
Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat dari penurunan pengisian kapiler yang disebabkan oleh berkurangnya perfusi jaringan pada pasien yang mengalami syok.
Tidak bisa kencing bisa disebabkan oleh banyak hal. Bisa disebabkan oleh gangguan sistem urogenital dimana ada produksi urin namun tidak bisa dikeluarkan saluran perkemihan atau memang tidak terjadi proses pembentukan urin di ginjal.
Pada kasus di skenario, kemungkinan fraktur pelvis juga berdampak pada terganggunya fungsi organ di sekitarnya mulai dari ginjal, ureter, vesika urinaria, prostat sampai urethra, yang meliputi :
Pada pemeriksaan nyeri ketok costovertebra (+) dan ada riwayat trauma tumpul pada pinggang kanan kemungkinan terjadi ruptur ginjal yang bisa mengakibatkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik sehingga produksi urin terganggu yang menyeababkan pasien tidak dapat kencing.
Ruptur pada ureter menyebabkan putusnya saluran yang menyambungkan pelvis ren dengan vesica urinaria sehingga urin tidak dapat dikeluarkan. Namun pada ruptur ren pravelensinya sangat kecil karena letaknya yang sangat terlindungi.
Ruptur vesica urinaria terlihat pada palpasi di abdomen setelah diberikan pengganti cairan, jika tidak teraba saat palpasi kemungkinan ada ruptur Vesica urinaria.
Pada pemeriksaan RT terdapat prostat yang melayang serta keluarnya darah dari OUE mengindikasikan terjadinya ruptur urethra posterior. Hal ini juga merupakan penyebab pasien tidak bisa kencing.
5. Kegawatdaruratan
a. TRIAGE, Primary survey, Adjunct primary survey, dan Secondary survey
Masuk Prioritas I : karena perdarahan hebat yang sampai menyebabkan syok hipovolemik termasuk keadaan darurat sekaligus gawat.
Class I Class II Class III Class IV
Blood loss (ml) Up to 70 750 - 1500 1500 - 2000 > 2000
Blood loss (5 blood volume)
Up to 15 % 15% - 30% 30% - 40% > 40%
Pulse rate < 100 100-120 120 - 140 > 140
Blood pressure Normal Normal Decreased Decreased
Pulse pressure (mmHg0 Normal or increased
Decreased Decreased Decreased
Respiratory rate Up to 20 20 - 30 30 - 40 > 35
Urine output (mL/hour) > 30 20 - 30 5 - 15 Negligible
CNS/mental status Slightly anxious Mildly anxious Anxious, confused Confused, lethargic Fluid replacement Crystalloid Crystalloid Crystalloid and
blood
Crystalloid and blood
Primary Survey Glasgow Coma Scale
GCS adalah penilaian tingkat keasadaran seorang pasien terutama pada pasien yang mengalami shock atau trauma.penilaian kesadaran terbagi atas tiga yaitu eyes, motorik dan verbal. Berikut ini penjelasan tentang GCS lebih lanjut: Refleks Membuka Mata (E)
4 : membuka secara spontan
3 : membuka dengan rangsangan suara 2 : membuka dengan rangsangan nyeri 1 : tidak ada respon
Refleks Verbal (V) 5 : orientasi baik
3 : kata-kata baik tapi kalimat tidak baik
2 : kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang 1 : tidak ada respon
Refleks Motorik (M)
6 : melakukan perintah dengan benar
5 : mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukan perintah dengan benar 4 : dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi.
3 : hanya dapat melakukan fleksi 2 : hanya dapat melakukan ekstensi 1 : tidak ada respon
Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan. Penderita yang sadar = compos mentis pasti GCSnya 15 (4-5-6), sedang penderita koma dalam, GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M normal, penulisannya X-5-6. Bila ada trakheostomi sedang E dan M normal, penulisannya 4-X-6.Atau bila tetra parese sedang E dan V normal, penulisannya 4-5-X. GCS tidak bisa dipakai untuk menilai tingkat kesadaran pada anak berumur kurang dari 5 tahun. Atau jika ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :
a. Skor 14-15 : compos mentis b. Skor 12-13 : apatis
c. Skor 11-12 : somnolent d. Skor 8-10 : stupor e. Skor < 5 : koma Derajat Kesadaran
Sadar : dapat berorientasi dan komunikasi
Somnolens : dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi secara motorik / verbal kemudian terlelap lagi. Gelisah atau tenang.
Stupor : gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri, pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi tapi terbatas pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan kepala.
Semi Koma : tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar dan ada yang menghindar (contoh menghindari tusukan).
Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus. Kualitas Kesadaran
Compos mentis : bereaksi secara adekuat
Abstensia drowsy / kesadaran tumpul : tidak tidur dan tidak begitu waspada. Perhatian terhadap sekeliling berkurang. Cenderung mengantuk. Bingung / confused : disorientasi terhadap tempat, orang dan waktu. Delirium : mental dan motorik kacau, ada halusinasi dan bergerak sesuai
dengan kekacauan pikirannya.
Apatis : tidak tidur, acuh tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa. Gangguan fungsi cerebral meliputi : gangguan komunikasi, gangguan intelektual, gangguan perilaku dan gangguan emosi.
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (glasgow coma scale) : a. Cedera kepala ringan/minor
• GCS 13-15
• Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit • Tidak ada fraktur tengkorak
• Tidak ada kontusia serebral, hemotoma b. Cedera kepala sedang
• GCS 9 – 12
• Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 m tetapi kurang dari 24 jam
• Dapat mengalami fraktur tengkorak
• Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma intrakranial c. Cedera kepala barat
• GCS 3 – 8
• Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam • Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma intra kranial. Selain kesan umum, diperiksa:
A: Airway, diperiksa apakah ada sumbatan pada jalan nafas. Apakah ada suara gurgling (mengorok), apakah lidah terjatuh ke belakang dan menutupi jalan nafas B: Breathing, diperiksa apakah pasien dapat bernafas atau tidak. Dengan look (melihat pergerakan dinding dada), listen (mendengar aliran udara dari hidung dan mulut), dan feel (merasakan hembusan udara)
C: Circulation, periksa denyut nadi pasien dengan meraba denyut nadi pada arteri Carotis pasien
D: Disability, diperiksa GCS dan refleks pupil
E: Exposure, baju pasien dilepas untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut akan tetapi pasien tidak boleh hypothermia (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
Adjunct Primary Survey dan Resusitasi
Dilakukan setelah Primary Survey dan sebelum Secondary Survey. - Electrocardiographic Monitoring
- Urinary catheter - Gastric catheter
- Monitoring: Arterial Blood Gases (ABG), saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter, dan tekanan darah
- X-rays: AP chest X-rays, AP pelvis, dan vertebrae cervical - Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
- Focused Assessment Sonography in Trauma (FAST) Secondary Survey
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination) termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital yang dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi dilakukan dan A-B-C-D-E penderita dipastikan membaik.
IVP (Intra Venous Pyelography)
Ilmu yang mempelajari prosedur/tata cara pemeriksaan ginjal, ureter, dan vesica urinaria menggunakan sinar-x dengan melakukan injeksi media kontras melalui vena.
1. Pada saat media kontras diinjeksikan melalui pembuluh vena pada tangan pasien, media kontras akan mengikuti peredaran darah dan dikumpulkan dalam ginjal dan tractus urinary, sehingga ginjal dan tractus urinary menjadi berwarna putih.
2. Dengan IVP, radiologist dapat melihat dan mengetahui anatomy serta fungsi ginjal, ureter dan vesica urinaria.
Indikasi Pemeriksaan IVP, antara lain: 1. Renal agenesis
2. Polyuria
3. BPH (benign prostatic hyperplasia) 4. Congenital anomali:
o Duplication of ureter dan renal pelvis o Ectopia kidney o Horseshoe kidney o Malroration 5. Hydroneprosis 6. Pyelonepritis 7. Renal hypertention
Kontraindikasi Pemeriksaan IVP, antara lain: 1. Alergi terhadap media kontras
2. Pasien yang mempunyai kelainan atau penyakit jantung 3. Pasien dengan riwayat atau dalam serangan jantung 4. Multi myeloma
6. Diabetes mellitus tidak terkontrol/parah 7. Pasien yang sedang dalam keadaan kolik 8. Hasil ureum dan creatinin tidak normal Prosedur pemeriksaan BNO-IVP:
1. Lakukan pemeriksaan BNO posisi AP, untuk melihat persiapan pasien
2. Jika persiapan pasien baik/bersih, suntikkan media kontras melalui intravena 1 cc saja, diamkan sesaat untuk melihat reaksi alergis.
3. Jika tidak ada reaksi alergis penyuntikan dapat dilanjutkan dengan memasang alat compressive ureter terlebih dahulu di sekitar SIAS kanan dan kiri.
4. Setelah itu lakukan foto nephogram dengan posisi AP supine 1 menit setelah injeksi media kontras untuk melihat masuknya media kontras ke collecting sistem, terutama pada pasien hypertensi dan anak-anak.
5. Lakukan foto 5 menit post injeksi dengan posisi AP supine menggunakan ukuran film 24 x 30 untuk melihat pelviocaliseal dan ureter proximal terisi media kontras.
6. Foto 15 menit post injeksi dengan posisi AP supine menggunakan film 24 x 30 mencakup gambaran pelviocalyseal, ureter dan bladder mulai terisi media kontras 7. Foto 30 menit post injeksi dengan posisi AP supine melihat
gambaran bladder terisi penuh media kontras. Film yang digunakan ukuran 30 x 40.
8. Setelah semua foto sudah dikonsulkan kepada dokter spesialis radiologi, biasanya dibuat foto blast oblique untuk melihat prostate (umumnya pada pasien yang lanjut usia).
9. Yang terakhir lakukan foto post void dengan posisi AP supine atau erect untuk melihat kelainan kecil yang mungkin terjadi di daerah bladder. Dengan posisi erect dapat menunjukan adanya ren mobile (pergerakan ginjal yang tidak normal) pada kasus pos hematuri.
Kriteria Gambar
1. Foto 5 menit post injeksi: Tampak kontras mengisi ginjal kanan dan kiri
2. Foto 15 menit post injeksi: Tampak kontras mengisi ginjal, ureter
3. Foto 30 menit post injeksi (full blass): Tampak blass terisi penuh oleh kontras
4. Foto Post Mixi: Tampak blass yang telah kosong.
DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage)
DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) adalah pemeriksaan kedua tercepat untuk mengidentifikasi perdarahan atau potensi cedera organ
berongga. DPL adalah prosedur yang invasif yang secara bermakna mempengaruhi tindakan selanjutnya dan dianggap 98% sensitif untuk perdarahan intraperitoneal. DPL harus dilakukan oleh tim bedah terhadap pasien dengan abnormalitas hemodinamik dan trauma tumpul multiple, terutama bila terdapat situasi berikut:
- perubahan sensorium - cedera otak, intoksikasi alkohol atau penggunaan narkoba
- perubahan sensasi - cedera medulla spinalis
- cedera struktur sekitar - iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis - pemeriksaan fisik yang meragukan
- hilang kontak dengan pasien dalam waktu lama - anastesi umum untuk cedera ekstra abdomen, pemeriksaan X-ray yang lama (seperti angiografi pada pasien dengan atau tanpa abnormalitas hemodinamik)
- lap-belt sign (kontusio dinding abdomen) dengan kecurigaan cedera usus DPL juga diindikasikan pada pasien tanpa abnormalitas hemodinamik, tetapi tidak dapat fasilitas ultrasonografi dan CT. Kontra indikasi absolut DPL hanyalah bila ada indikasi untuk laparotomi. Kontraindikasi relatif termasuk adanya riwayat operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, cirrhosis lanjut, dan koagulopati.
Bila tidak terdapat darah gross (> 10mL) atau isi usu, lavase bisa dilakukan dengan cairan kristaloid isotonik yang hangat sebanyak 1000ml (10mL/kg pada anak). Setelah isi peritoneal tercampur dengan baik dengan cairan lavase dengan cara mengkompresi abdomen dan menggerakkan pasien dengan cara logrolling atau memiringkan ke posisi head-down dan head-up, cairan dikirim ke laboratorium untuk analisis kuantitatif bila isi usus, serat sayuran atau empedu tidak terlihat secara jelas. Tes dikatakan positif pada trauma tumpul bila terdapat >100.000 sel darah merah per millimeter kubik, 500 sel darah putih per millimeter kubik, atau adanya bakteri pada pewarnaan Gram.
FAST ( Focused Assessment Sonography in Trauma )
Merupakan pemeriksaan deteksi cepat untuk hemorage dengan menggunakan ultrasonografi dan sangat efektif untuk mendeteksi hemoperitoneum. FAST lebih unggul dikarenakan metode ini sangat mudah dilakukan, cepat dan akurat serta tidak mahal. Selain itu, FAST dapat dilakukan berkali – kali dan dapat pula dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan lain atau dengan terapi yang diberikan guna menangani trauma pasien.
Retrograde urethrography
Retrograde urethrography menjadi pemeriksaan pilihan dalam mendiagnosis trauma uretra. Alasannya adalah karena retrograde urethrography lebih akurat, mudah, dan memberikan hasil dalam waktu relatif singkat (Daniel IR, Nejd FA, 2006; Dixon CM, 1996). Berbeda dari CT-Scan yang lebih efektif untuk trauma saluran kencing atas dan trauma kandung kemih. Sedangkan MRI lebih efektif untuk menggambarkan post-trauma pelvis sebelum rekonstruksi dan USG juga kurang efektif karena USG terbatas pada onset akut.
Retrograde urethrography harus dilakukan dalam posisi yang tepat. Pasien dibaringkan di meja X-ray. Pasien posisi supinasi dengan pelvis dinaikan sekitar 30o – 45o oblik terhadap sumbu horizontal. Paha yang menempel pada meja difleksikan 90o, dan paha yang satunya tetap dalam posisi lurus. Untuk memasukkan kontras 60 cc dilakukan dengan kateter foley 14 Fr melalui meatus sampai masuk fossa navicularis dan kembangkan balon sampai 2cc untuk mencegah kontras refluks ke ke meatus. (Daniel IR, Nejd FA, 2006)
c. Tatalaksana Fraktur Pelvis
Pada fracture yang dimana hanya sebagian kecil terjadi fraktur sehingga terjadi perubahan yang minimal, dipelukan pemberian analgesik oral dan dilakukan bed rest sampai dapat dilakukan mobiliasasi (3-6 minggu). Pada tipe unstable injury yang merupakan tanda kegawat daruratan orthopedi harus dilakukan resusitasi, penanganan hipovolemi, antisipasi koagulapati dan pastikan tranfusi darah tersedia apabila dibutuhkan.
Tipe Unstable yang merupakan kegawatdaruratan orthopedic, lakukan resusitasi pada semua trauma mayor. Perbaiki keadaan hypovolemi apabila ada dengan pemberian kristaloid IV. Antisipasi koagulopati dan pastikan transfusi darah tersedia. Perdarahan pada pelvis dapat menjalar ke abdomen oleh karena itu pastikan apakah ada perdarahan pada dinding abdomen lakukan diagnostic peritoneal lavage (DPL) dan lakukan di supraumbilical. Minimalisasi pergerakan dengan pelvic binder atau bidai (SAM sling).
Ruptur Urethra
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat analgesik. Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan lubrikan yang adekuat. Namun jika terjadi striktur urethra, tidak dilakukan kateterisasi.
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain, cukup dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu.
d. Konsultasi dokter spesialis
Disarankan untuk konsultasi ke Dokter Spesialis Bedah Urologi untuk kasus urinarianya dan Dokter Spesialis Orthopedi untuk fraktur yang dimungkinan ada di pelvis.
6. Komplikasi dan Prognosis Komplikasi Fraktur Pelvis
Ruptur otot & hernia. Cedera APC sering menyebabkan rupture m. Rectus Abdominis, yang dapat menyebabkan hernia ventral. Selaijn itu, juga ada kaitan antara hernia inguinalis dengan fraktur rami pelvis
Cedera neurologis, sering mengenai serabut saraf L5 dan S1 pada plexus lumbosakralis
Infeksi pasca bedah
Cedera pada organ genito-urogenital, seperti ureter dan vesika urinaria. Adanya fraktur pada pelvis juga dapat menyebabkan disfungsi ereksi pada penis (Russell, 2014).
Komplikasi trauma ren
Komplikasi dini yang terjadi dalam 4 minggu pertama setelah rudapaksa adalah perdarahan, ekstravasasi urin, abses, sepsis, fistel urin, dan hipertensi. Komplikasi lanjut adalah hipertensi, fistel arteriovena, hidronefrosis, urolitiasis, dan pielonefritis kronik.
KESIMPULAN DAN SARAN
A Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi yang telah kami laksanakan dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami fraktur pelvis karena panggul membentur batu besar. Selain itu, pasien juga mengalami rupture ren dextra karena pinggang kanan terbentur setang motor. Fraktur pelvis yang dialami juga bias menyebabkan rupture uretra karena posisi uretra difiksasi oleh diafragma urogenital pada tulang pelvis. Keluarnya darah dari orificium uretr eksternum merupakan tnda klasik terjadinya rupture uretra. Kemungkinan besar pada scenario ini terjadi rupture uretra posterior total. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek dan prostat tidak terfikssi lagi pada diafragma urogenital, sehingga prostat bergerak ke cranial dan teraba melayang. Bila terjadi rupture uretra total, penderita mengeluh tidak bisa kencing sejak terjadi rudapaksa, dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik.
B Saran
Beberapa saran untuk diskusi tutorial skenario 2 blok traumatologi ini antara lain dalam melakukan kegiatan diskusi tutorial, seharusnya kami lebih aktif lagi dalam mengemukakan pendapat dan mencantumkan sumber informasi yang dapat dipercaya berdasarkan prinsip Evidence Based Medicine (EBM) setiap kali kami menyampaikan pendapat. Selain itu, kami sebaiknya dapat menggunakan waktu secara efisien supaya waktu yang dialokasikan untuk diskusi dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Committee on Trauma (2009). Advanced Trauma Life Support : Student Course Manual. Eighth Edition. Chicago : American College of Surgeons
Armenakas, Noel (2013). Renal Trauma. The Merck Manual.
http://www.merckmanuals.com/professional/injuries-poisoning/genitourinary-tract-trauma/renal-trauma - diakses Mei 2015
Daniel IR, Nejd FA. Diagnosis and Classification of Urethral Injuries. Urologic Clinic of North America. Elsevier Saunders; 2006. P. 73-85
Dixon CM. Diagnosis and acute management of posterior urethral disruptions. In: McAninch JW, Jordan GH, Carroll PR, editors. Traumatic and reconstructive urology. Philadelphia: W.B. Saunders; 1996. p. 347–55. Drake, Richard (2009). Gray’s Anatomy for Students. Third Edition. Philadelphia :
Elsevier.
Feldman, G. 2006. Blunt Abdominal Trauma : Evaluation. Diakses pada April 2015 dari http://www.docstoc.com/docs/30321684/Blunt-Abdominal-Trauma-Evaluation.
Garber, B. G., Brigelow, E., Yelle, J. D., & Pagliarello, G. (2000). Use Of Abdominal Computed Tomography In Blunt Trauma : Do We Scan Too Much. JCC, 43.
McSwain NE Jr, Frame S, & Salomone JP (Ed.): Assessment & Management; Golden Principles of prehospital trauma care; Military Medicine, in PHTLS, Basic and advanced prehospital trauma life support, 5th Ed, Mosby, 2003: c 62-89; 366-73; 374-92.
Sjamsuhidajat, S. Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Schweizer Tom A., Kan Karen, Hung Yuwen, Tam Fred, Naglie Gary, Graham Simon J. (2013). Brain activity during driving with distraction: An immersive fMRI study. Frontiers in Human Neuroscience, 7: 1-11.
Udeani, J., Steinberg S. R. 2011. Trauma Medicine: Blunt Abdominal Trauma.Emedicine. WebMD. Diakses pada April 2015 dari