• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Respirasi pada Penyakit Saraf (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gangguan Respirasi pada Penyakit Saraf (1)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Gangguan Respirasi pada Penyakit Saraf

Michael Setiawan

Bagian Neurologi RS Pluit, RS Pondok Indah Puri Indah, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Banyak penyakit saraf yang dapat menjadi progresif sehingga mengganggu fungsi respirasi. Gangguan akibat penyakit saraf dapat mengenai pusat pernapasan, otot inspirasi/ekspirasi, dan otot saluran napas atas. Walaupun penyakit saraf memiliki banyak penyebab dan perjalanan klinis yang berbeda, pada kebanyakan kasus komplikasi respirasi merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas. Sering kali gejala awal gangguan respirasi hanya berupa gangguan tidur, dan desaturasi nokturnal. Pemeriksaan fungsi respirasi dengan spirometri memperlihatkan gambaran restriktif dengan kapasitas total paru yang cukup baik. Penatalaksanaan dengan kombinasi bantuan inspirasi dan ekspirasi, disertai penatalaksanaan sekresi oral, latihan pernapasan, dan terapi medis. Penatalaksanaan yang baik dapat memperpanjang ketahanan hidup, mem-perbaiki kualitas hidup, meningkatkan fungsi kognitif, menurunkan kejadian pneumonia dan perawatan rumah sakit.

Kata kunci: respirasi, pneumonia, penyakit saraf

ABSTRACT

Many neurologic diseases can progress to the point where they compromise respiratory function. Respiratory disorders caused by neurological diseases are not limited to pulmonary disorders, but can involve central respiratory control, inspiratory/expiratory muscles, and upper airway muscles. Although the diseases have variable causes and clinical courses, in many cases it is a respiratory complication that is the cause of death or other serious adverse event. Often the i rst signs are sleep disturbances and nocturnal desaturation. Pulmonary function testing reveals a restrictive pattern on spirometry with preserved total lung capacity. Management includes support of inspiratory and expiratory function, management of oral secretions, respiratory muscle training, and medical therapy. Good management can prolong survival, improve quality of life, enhance cognitive function, reduce pneumonia and hospitalization rates. Michael Setiawan. Respiratory Problems in Neurological Diseases.

Key words:respiration, pneumonia, neurological diseases

Alamat korespondensi email: ms922000@yahoo.com

PENDAHULUAN

Beberapa penyakit saraf, misalnya penyakit Parkinson, stroke, dan sklerosis multipel dapat menyebabkan komplikasi pada paru. Gangguan paru biasanya baru muncul pada fase akhir penyakit neuromuskular, sedangkan gangguan respirasi dapat muncul pada awitan beberapa penyakit saraf; dapat berupa gangguan tidur, dan desaturasi nokturnal.1 Sesak napas saat

aktivitas fisik (exertional dyspnea) yang merupakan gejala awal pada kebanyakan gangguan respirasi sering tidak dijumpai pada penyakit saraf, karena gangguan saraf menghambat mobilitas pasien.2

Walaupun cukup banyak penyakit saraf menyebabkan gangguan respirasi, prinsip penatalaksanaannya sama.1 Pada makalah

ini akan dibahas fisiologi, patofisiologi, evaluasi klinis, pemeriksaan fungsi paru, dan penatalaksanaan gangguan respirasi pada penyakit saraf.

FISIOLOGI

Peranan Susunan Saraf dalam Kontrol Pernapasan

Pernapasan memiliki ritme yang teratur. Ritme pernapasan dihasilkan dari pusat pernapasan yang terletak di pons dan medula oblongata (pneumotaxic center). Kebanyakan inti sel saraf yang terletak di medula oblongata memiliki akson yang berjalan menuju medula spinalis, bersinaps dengan interneuron atau motor neuron yang terletak di regio servikal, torakal dan lumbal. Inti sel saraf spinal yang menerima input dari medula oblongata membentuk saraf tepi, keluar dari medula spinalis, menginervasi otot inspirasi dan otot ekspirasi.3

Kontraksi otot inspirasi akan menimbulkan tekanan negatif, menyebabkan terjadinya aliran udara dari luar masuk ke dalam paru. Kedalaman dan frekuensi pernapasan sangat penting karena komponen pernapasan ini akan membantu mempertahankan

homeostasis kadar oksigen, karbon dioksida dan ion H+ dalam darah arteri.3

Reseptor yang berperan mendeteksi perubahan volume paru, kadar oksigen arterial, karbon dioksida, ion H+ akan memberikan

umpan balik ke pusat pernapasan di medula oblongata, yang pada akhirnya akan memengaruhi frekuensi dan kedalaman pernapasan. 3

(2)

melainkan langsung memengaruhi motor neuron respirasi di medula spinalis. 3

Struktur saluran napas atas sangat berperan agar udara dapat masuk ke dan keluar dari paru. Saluran napas atas yang paten sangat tergantung struktur anatomis daerah tersebut. Ukuran konka nasalis yang besar, lidah atau uvula yang besar, dan palatum molle yang lemah dapat mengobstruksi saluran napas atas. Otot genioglosus (untuk menjulurkan lidah), serta styloglosus dan hyoglosus (untuk menarik lidah) mempunyai interaksi kompleks agar jalan napas tetap terbuka.3

PATOFISIOLOGI

Kontrol Respirasi Sentral

Gangguan kontrol respirasi sentral mungkin memiliki peranan langsung pada gangguan respirasi akibat penyakit saraf pusat, misalnya pada stroke, sklerosis multipel, atau penyakit Parkinson.

Central periodic breathing (CPB), termasuk pernapasan Cheyne-Stokes dan central sleep apnea (CSA) ditemukan pada penderita

stroke.5-7 Pernapasan Cheyne-Stokes adalah

suatu pola pernapasan yang amplitudonya mula-mula naik kemudian turun bergantian

dengan periode apnea. Pola pernapasan ini sering dijumpai pada pasien stroke, akan tetapi tidak memiliki korelasi anatomis yang spesii k.2 Salah satu penelitian melaporkan

CPB terjadi pada kurang lebih 53% pasien penderita stroke.5

Selain menimbulkan gangguan kontrol respirasi sentral, hemiplegi akut pada stroke

berhubungan dengan risiko kematian akibat infeksi paru. Kemungkinan infeksi paru cukup besar pada pasien dengan aspirasi dan hipoventilasi. Kontraksi otot diafragma pada sisi yang lumpuh akibat stroke akan berkurang pada pernapasan volunter, tidak berpengaruh pada pernapasan involunter. Emboli paru juga pernah dilaporkan terjadi pada 9% kasus

stroke.4

Central neurogenic hyperventilation pertama kali digambarkan oleh Plum dan Swanson tahun 1959, merupakan hiperpnea yang terjadi saat bangun dan tidur akibat gangguan di pons. Pernapasan klaster adalah hiperventilasi bergantian dengan apnea secara cepat yang disebabkan gangguan di mesensefalon. Pernapasan ataksik merupakan pernapasan yang memiliki irama dan amplitudo ireguler disebabkan gangguan pada medula oblongata. 2

Gangguan medula oblongata bagian bawah membuat pernapasan tidak dipengaruhi oleh respon kimiawi, akan tetapi kontrol volunter masih intak (Ondine’s curse). Bila tidak diatasi dengan support ventilator malam hari, dapat menyebabkan kematian mendadak. 2

Lesi herniasi transtentorial akan memberikan gambaran respirasi progresif mulai dari pernapasan Cheyne-Stokes, kemudian mengalami central neurogenic hyperventilation, dan akhirnya irregular gasping yang merupakan keadaan preterminal.2

Pasien dengan lesi batang otak atau medula spinalis servikal atas akan mengalami gangguan pernapasan volunter dan involunter. Pada kondisi ini diperlukan bantuan ventilator, dan tindakan trakeostomi untuk pembersihan trakea (tracheal suction).2

Gangguan kontrol respirasi dijumpai pada 6 dari 19 pasien sklerosis multipel yang mengalami komplikasi respirasi.8 Pada

penderita sklerosis multipel, dijumpai Gambar 1Peranan Susunan Saraf dalam Kontrol Pernapasan3

Otot saluran

napas atas

N.XII

Otot polos jalan napas

Formasio retikularis

Neuron Respirasi Medula oblongata

(rhythm generator)

Otot Pernapasan Stimulus

sensorik (nyeri)

Motor neuron respirasi medula

spinalis

Emosi (fore brain)

Sistem limbik

Ventilasi paru

- Kontrol volunter (korteks motorik) - Batuk, bersin (medula oblongata) - Postur (serebelum)

N.X

Reseptor saluran napas dan paru

Reseptor otot

PO2 Ion H+

Kemoreseptor perifer

(Carotid bodies)

Kemoreseptor sentral (medula oblongata)

(3)

pernapasan yang abnormal akibat paresis diafragma, hiperventilasi paroksismal, pernapasan apneustik (ditandai dengan terhentinya napas sebentar setelah inspirasi). Perubahan pola napas tergantung dari lokasi lesi di otak.1

Pada pasien-pasien penyakit Parkinson dapat terjadi gangguan kontrol pernapasan berupa pernapasan disritmik, central apnea, pernapasan Cheyne-Stokes, pernapasan klaster, pernapasan apneustik, dan hipoventilasi sentral. Gangguan pernapasan lebih sering dijumpai pada penyakit Parkinson yang disertai dengan gangguan autonom.9

Gangguan Otot Pernapasan

Gejala gangguan paru biasanya terjadi belakangan pada penyakit neurologis, dan sering dipresipitasi oleh demam dan infeksi. Hal ini menyebabkan kebutuhan ventilasi meningkat dan melemahkan otot pernapasan, atau terkadang malah dapat menyebabkan eksaserbasi penyakit saraf, misalnya pada sklerosis multipel.1

Pada saat awal, otak beradaptasi terhadap gangguan otot respirasi dan mempertahankan kadar oksigen serta karbon dioksida dengan cara meningkatkan output respirasi sehingga frekuensi napas meningkat. Bila penyakit makin berat, respon adaptasi sentral dapat berupa timbulnya hipoventilasi untuk menghindari periode dispnea dan kelelahan. Kapasitas vital yang rendah, gangguan aliran jalan napas, dan gangguan menghela napas (sigh) juga berperan dalam timbulnya atelektasis dan hipoksemia, yang akhirnya makin meningkatkan kebutuhan ventilasi. Perkembangan berikutnya terjadi kelelahan otot pernapasan, memburuknya ventilasi alveolar, dan asidemia.

Kelemahan Otot Ekspirasi dan Otot Bulbar

Walaupun ekspirasi kebanyakan merupakan proses pasif, otot-otot ekspirasi diperlukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret, misalnya dengan cara batuk. Pada beberapa penyakit saraf, terjadi kelemahan otot bulbar (dipersarai oleh saraf kranial IX,X,XII), otot pengunyah (N. V) dan otot laring (dipersarai radiks C1). Walaupun tidak berperan langsung dalam respirasi, otot-otot ini berfungsi untuk bicara, menelan dan proteksi saluran napas.

Gangguan otot-otot ini dapat menyebabkan disartria, disfonia, disfagia, tersedak, batuk yang lemah, dan kerentanan terjadinya atelektasis dan pneumonia aspirasi.1

Otot-otot bulbar dan otot-otot ekspirasi dapat terganggu pada kelainan saraf pusat ataupun kelainan saraf perifer, misalnya penyakit Parkinson, sklerosis multipel, sindrom Guillain-Barre, amyotrophic lateral sclerosis (ALS), dan miastenia gravis. Pada penyakit Parkinson, terjadi gangguan otot jalan napas atas serta gangguan batuk sehingga berisiko tinggi aspirasi dan berhubungan dengan mortalitas akibat penyakit ini.

Gangguan Tidur

Pasien penyakit saraf disertai keterlibatan awal bulbar atau diafragma sangat rentan untuk mendapat gangguan pernapasan saat tidur, terutama pada fase tidur Rapid Eye Movement

(REM). Pemeriksaan di klinik tidur dapat mendeteksi gangguan otot respirasi dini dan kebutuhan bantuan ventilasi. Misalnya, pada beberapa pasien ALS terdapat desaturasi nokturnal walaupun kapasitas vital paksa masih di atas 50% nilai prediksi.

Beberapa mekanisme dapat menjelaskan fenomena ini. Pada pasien dengan gangguan diafragma dapat terjadi desaturasi saat tidur akibat perubahan normal beban otot diafragma selama tidur fase REM. Pada pasien dengan gangguan bulbar dapat timbul hipopnea (pernapasan lambat dan dangkal) selama fase REM sleep. Selain itu, efek

withdrawal dari kerja pusat napas di siang hari dapat menyebabkan hypercapnic central apnea saat tidur.

Gangguan mekanisme respirasi sentral saat tidur dapat dijumpai pada pasien gangguan susunan saraf pusat, misalnya sklerosis multipel dan penyakit Parkinson. Obstructive apnea dapat dijumpai pada pasien sklerosis multipel dengan lesi di tegmentum medula, juga pada pasien penyakit Parkinson dengan gangguan autonom dan obstruksi laring.1

EVALUASI KLINIS

Gejala dan Tanda

Gejala yang harus dievaluasi segera adalah gangguan tidur yang baru terjadi, bangun tidur dengan perasaan lelah, nyeri kepala di pagi hari, hilangnya dengkuran, dan terjadinya ortopnea (napas terasa sesak saat berbaring).

Perkusi dinding dada dapat mendeteksi kelemahan gerakan diafragma saat inspirasi. Ortopnea merupakan tanda yang sering dijumpai pada penyakit saraf. Indikasi gangguan otot-otot bulbar berupa bicara cadel, sulit menelan cairan, aspirasi yang memberikan gejala batuk-batuk, atau tersedak.

Progresivitas penyakit menyebabkan kelelahan otot inspirasi, memberikan gejala peningkatan frekuensi napas, diikuti dengan pernapasan dada dan abdomen bergantian (respiratory alternans), serta gerakan paradoksal abdomen ke dalam selama inspirasi (abdominal paradox).1

Pada pasien gagal napas dengan pneumonia, terkadang klinisi tidak mencari gangguan neurologis yang menjadi penyebab dasarnya. Beberapa gambaran klinis yang mencurigakan adanya gangguan neurologis penyebab gagal napas adalah tidak adanya gangguan kardiopulmonal kronik, pemeriksaan i sik, EKG dan Rontgen toraks yang relatif normal, serta perbaikan cepat dengan ventilator tapi sangat sulit melepas ventilator (weaning).

Pemeriksaan Fungsi Paru

Pada penyakit neurologis, biasanya pe-meriksaan fungsi paru memberikan gambaran:

• Penurunan tekanan otot ekspirasi dan inspirasi maksimal

• Pada memeriksaan spirometri memperlihatkan gambaran restriktif berupa kapasitas vital paksa (forced vital capacity)

yang menurun, dengan kapasitas total paru

(total lung capacity) yang baik sampai penyakit mencapai stadium lanjut (gambar 2).

• Peningkatan volume residual

• Penurunan kapasitas vital

• Kapasitas residual fungsional tetap baik

Penurunan kapasitas paru total yang merupakan kriteria penyakit paru restriktif, tidak selalu terdapat pada penyakit saraf. Kapasitas vital paksa adalah salah satu alat yang digunakan untuk follow up fungsi paru pada penyakit saraf.1

Kapasitas residual fungsional ditentukan oleh keseimbangan antara kemampuan recoil

(4)

penyakit miastenia gravis, yang menyebabkan penurunan kapasitas residual fungsional akibat penurunan recoil elastis dinding dada ke arah luar.

Pemeriksaan spirometri dalam keadaan terlentang dan duduk berguna untuk evaluasi fungsi diafragma. Pada orang normal, kapasitas vital paksa saat terlentang lebih rendah 5%-10% dibanding saat duduk. Pada pasien dengan gangguan fungsi diafragma, biasanya terdapat penurunan 40%-50% kapasitas vital paksa saat terlentang dibanding saat duduk.1

PENATALAKSANAAN

Dukungan Ventilasi dan Pemantauan Fungsi Inspirasi

Ventilasi non invasif biasanya terdiri dari ventilasi tekanan positif melalui masker hidung atau masker wajah. Cara ini dapat memperpanjang angka ketahanan hidup (survival), memperbaiki kualitas hidup, meningkatkan fungsi kognitif, menurunkan kejadian pneumonia dan perawatan rumah sakit.10,11,12

Indikasi penggunaan ventilasi tekanan positif pada pasien penyakit saraf (salah satu dari hal tersebut di bawah):

• Kapasitas vital paksa < 50% dari nilai prediksi

• Desaturasi nokturnal ≤ 88% untuk ≥ 5 menit (selama pasien tidur)

• Maximal inspiratory pressure < 60 cm H2O

• Awake partial pressure CO2 (arterial) ≥ 45mmHg pada fraksi oksigen inspirasi biasa

Kontraindikasi (salah satu dari hal tersebut di bawah):

• Obstruksi jalan napas atas

• Assisted peak cough l ows < 2,7 L/detik dengan kegagalan membersihkan sekresi

• Tidak ada masker yang sesuai

• Tidak dapat mentoleransi intervensi

Pada penyakit yang progresif cepat dan potensial reversibel, misalnya pada miastenia gravis dan sindrom Guillain-Barre, deteksi dini kelemahan otot napas dan gagal napas membutuhkan pengawasan ketat kapasitas vital dan tekanan inspirasi statik maksimal. Observasi sebaiknya dilakukan di unit perawatan intensif (ICU), jika kapasitas vital kurang dari 10-15 mL/kg disarankan intubasi. Tekanan inspirasi maksimal bila ≥ 30cm H2O cukup untuk napas spontan, akan tetapi bila Tabel 1 Perjalanan Klinis dan Gangguan Respirasi Pada Beberapa Penyakit Saraf 1

Penyakit saraf dan lokasinya Perjalanan klinis Prevalensi gangguan respirasi dan prognosis

Susunan Saraf Pusat

Sklerosis multipel Berulang Gangguan fungsi paru 63%, gagal napas atau infeksi fatal 5%

Penyakit Parkinson Progresif lambat Pneumonia menyebabkan 20% kematian, mungkin akibat kelemahan otot saluran napas atas dan batuk yang lemah

Medula Spinalis

Trauma Permanen Lesi tinggi (C1-C3) biasanya membutuhkan ventilasi mekanik jangka panjang

Motor Neuron

Sindrom Postpolio Progresif sangat lambat Gangguan respirasi hanya pada yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan saat infeksi awal

Amyotrophic Lateral Sclerosis Progresif Hampir semua kematian disebabkan komplikasi respirasi

Saraf Motorik

Sindrom Guillain-Barre Reversibel lambat Gagal napas 28%

Neuromuscular Junction

Miastenia Gravis Reversibel Pneumonia aspirasi menyebabkan krisis miastenia dengan kematian 6%

Botulisme Reversibel lambat Kematian 8% akibat gagal napas; gangguan respirasi bisa melebihi 1 tahun bila bertahan hidup

Otot

Duchene muscular dystrophy Progresif Penyebab kematian adalah gagal napas

Polimiositis/ dermatomiositis Variabel Tes paru normal, disfungsi diafragma

(5)

diafragma. Akan tetapi, karena teofilin mempunyai jendela terapi yang sempit, penggunaannya harus hati-hati untuk menghindari efek toksik.15

Untuk menghindari memburuknya hiper-kapnia, suplementasi oksigen mungkin harus dibatasi untuk pasien sudah dalam bantuan ventilasi, atau untuk pasien yang kemungkinan hipoventilasi telah disingkirkan. 1

SIMPULAN

Susunan saraf sentral dan perifer mempunyai peranan penting dalam kontrol pernapasan. Beberapa penyakit saraf dapat menjadi progresif sehingga mengganggu fungsi respirasi. Gejala gangguan tidur yang baru terjadi, hilangnya dengkuran, atau ortopnea memerlukan pemeriksaan fungsi paru lebih lanjut untuk mendeteksi adanya gangguan respirasi. Pemeriksaan spirometri pada penyakit saraf memperlihatkan gambaran restriktif berupa kapasitas vital paksa yang menurun dengan kapasitas total paru yang cukup baik sampai penyakit mencapai stadium lanjut. Penatalaksanaan dapat berupa noninvasive positive-pressure ventilation melalui masker hidung, alat suction,

assisted cough, amitriptilin, N-asetilsistein inhalasi, bronkodilator inhalasi, latihan otot pernapasan, dan terapi teoi lin pada kasus tertentu.

nilainya ≤ 20 cm H2O mengindikasikan tubuh tidak sanggup mempertahankan tekanan parsial CO2 (Pa CO2) yang normal. Pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan tiap 2 jam untuk pasien miastenia gravis, dan tiap 4-6 jam untuk pasien sindrom Guillain-Barre.1

Ventilasi invasif perlu dipertimbangkan pada pasien yang gagal, atau tidak dapat mentoleransi, atau terdapat kontraindikasi dengan metode non invasif. Tindakan ventilasi invasif permanen dengan tindakan trakeostomi perlu mempertimbangkan sikap

caregiver, diagnosis, dan prognosis penyakit yang mendasarinya.

Bantuan Fungsi Ekspirasi

Penggunaan alat untuk membantu pembersihan sekret dikombinasikan dengan alat bantu inspirasi secara signii kan menurunkan angka rawat inap akibat komplikasi respirasi serta memperpanjang ketahanan hidup. Bantuan ekspirasi berupa alat suction, serta teknik bantuan batuk

(assisted cough) manual atau dengan alat.1

Penatalaksanaan Sekresi Oral

Masalah tambahan pasien dengan gejala bulbar adalah produksi saliva yang berlebih, saliva menetes keluar, dan ketidakmampuan mengeluarkan sekret. Obat yang dapat digunakan adalah golongan anti-kolinergik,

misalnya benztropin mesilat, amitriptilin, dan skopolamin transdermal. Intervensi bedah kadang dibutuhkan pada penyakit saraf yang progresif lambat untuk mengurangi atau mengalihkan saliva. N-asetilsistein yang diberikan dengan cara inhalasi dapat mengencerkan mukus yang kental dan dikombinasi dengan bronkodilator untuk mencegah spasme bronkus.13

Latihan Otot Respirasi

Latihan otot inspirasi akan memperbaiki tekanan inspirasi maksimal dan ketahanan kerja otot. Latihan otot ekspirasi, misalnya dengan latihan otot pektoralis akan memperbaiki batuk dan fungsi otot ekspirasi, serta mengurangi volume residual pada pasien tetraparesis. Pada penelitian pasien dengan sklerosis multipel, latihan otot ekspirasi dengan resistive device memperbaiki kekuatan otot ekspirasi dan batuk sampai 3 bulan pascalatihan.14

Terapi Medis

Teofilin mempunyai efek yang baik untuk meningkatkan kontraktilitas diafragma. Pada pasien ALS, teofilin mempunyai efek meningkatkan tekanan negatif inspirasi dan kapasitas vital. Pada cedera medula spinalis servikal (penelitian binatang), teofilin mempunyai efek menguntungkan pada nervus frenikus dan aktivasi

DAFTAR PUSTAKA

1. Aboussouan LS. Respiratory disorders in neurologic diseases. Cleve Clin J Med. 2005;72:511-20.

2. Polkey MI, Lyall RA,Moxham J, Leigh PN. Respiratory aspects of neurological disease. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1999;66:5-15.

3. Mateika JH. Control of breathing [Internet]. 2007 [cited 2013 Apr 1]. Availbale from: http://www.med.wayne.edu/physiology/facultyproi le/mateika/Organization of the Respiratory

Control System 2007.pdf.

4. Oppenheimer S, Hachinski V. Complications of acute stroke. Lancet. 1992;339:721-4.

5. Rowat AM, Wardlaw JM, Dennis MS. Abnormal breathing patterns in stroke: Relationship with location of acute stroke lesion and prior cerebrovascular disease. J Neurol Neurosurg

Psychiatry. 2007;78:277-9.

6. Nopmaneejumruslers C, Kaneko Y, Hajek V, Zivanovic V, Bradley TD. Cheyne-stokes respiration in stroke relationship to hypocapnia and occult cardiac dysfunction. J Respir Crit Care Med.

2005;171:1048-52.

7. Siccoli MM, Valko PO, Hermann, DM, Bassetti, CL. Central periodic breathing in 74 patients with acute ischemic stroke - neurogenic versus cardiogenic factors. Journal of Neurology.

2008;255(11):1687-92.

8. Howard RS, Wiles CM, Hirsch NP, Loh L, Spencer GT, Newsom-Davis J. Respiratory involvement in multiple sclerosis. Brain. 1992;115:479-94.

9. Brown LK. Respiratory dysfunction in Parkinson’s disease. Clin Chest Med. 1994;15:715-27.

10. Aboussouan LS, Khan SU, Meeker DP, Stelmach K, Mitsumoto H. Ef ect of noninvasive positive-pressure ventilation on survival in amyotrophic lateral sclerosis. Ann Intern Med.

1997;127:450-3.

11. Gomez-Merino E, Bach JR. Duchenne muscular dystrophy: Prolongation of life by noninvasive ventilation and mechanically assisted coughing. Am J Phys Med Rehabil. 2002;81:411-5.

12. Kleopa KA, Sherman M, Neal B, Romano GJ, Heiman-Patterson T. Bipap improves survival and rate of pulmonary function decline in patients with ALS. J Neurol Sci. 1999;164:82-8.

13. Rao S, Wilson DB, Brooks RC, Sproule BJ. Acute ef ects of nebulization of N-acetylcysteine on pulmonary mechanics and gas exchange. Am Rev Respir Dis. 1970;102:17-22.

14. Gosselink R, Kovacs L, Ketelaer P, Carton H, Decramer M. Respiratory muscle weakness and respiratory muscle training in severely disabled multiple sclerosis patients. Arch Phys Med

Rehabil. 2000;81:747-51.

Gambar

Gambar 1 Peranan Susunan Saraf dalam Kontrol Pernapasan3
Tabel 1 Perjalanan Klinis dan Gangguan Respirasi Pada Beberapa Penyakit Saraf 1

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan tindakan Dalam tahap ini peneliti akan melakukan tindakan sesuai dengan perencanaan yang telah disusun dan terfokus pada tujuan dilakukannya penelitian, yaitu

sebelum janin lahir. Beberapa jenis perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes di antara selaput ketuban dan uterus kemudian lolos keluar yang menyebabkan

Fedik juga menambahkan bahwa Pengmas FKH merupakan salah satu program pelatihan untuk mencetak pemimpin yang berkarakter, serta mengasah kemampuan mahasiswa untuk menjadi

Sampel urin yang digunakan untuk urinalisa khususnya dalam pemeriksaan skrining maupun diagnosa infeksi saluran kemih tidak boleh dilakukan penundaan transport

Puji dan syukur bagi Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah dan berkat yang melimpah bagi penulis sehingga penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “Hubungan Skor IPSS dengan

2009, ‘Pengaruh Ekstrak Herba Putri Malu (Mimosa pudica Linn.) terhadap Efek Sedasi pada Mencit BALB/C’, Skripsi, Sarjana Fakultas Kedokteran, Universitas

Isolat khamir yang diperoleh kemudian diseleksi berdasarkan kemampuannya mengkonsumsi substrat dengan cara memfermentasikan isolat khamir pada media yang mengandung glukosa (10%)

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul: ”ANALISIS EFEKTIFITAS