• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dari Ritual ke Pasar: Pergeseran Makna Saguer pada Masyarakat Halmahera Utara (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Gossoma, Halmahera Utara) T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dari Ritual ke Pasar: Pergeseran Makna Saguer pada Masyarakat Halmahera Utara (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Gossoma, Halmahera Utara) T1 BAB II"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Saguer dalam Interaksi Sosial

Dalam kehidupan masyarakat Tobelo, penggunaan Saguer dijadikan sebagai media komunikasi. Media komunikasi ini bertujuan untuk mempererat tali kekeluargaan. Komunikasi merupakan bagian dari interaksi sosial yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial. Pada bukunya yang berjudul “sosiologi suatu pengantar”, Soekanto (2010), mengatakan bahwa interaksi merupakan kunci utama dalam kehidupan sosial. Tidak ada interaksi berarti tidak mungkin ada kehidupan bersama.

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok-kelompok manusia (Soekanto, 2010). Interaksi sosial selalu terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh adanya sejumlah pola perilaku masyarakat yang terjaring dalam relasi-relasi baik itu orang perorangan, kelompok, maupun orang dengan kelompok.

Simmel, 1858-1918 (dalam Soekanto, 2010), berpendapat bahwa dalam Masyarakat terdiri dari jaringan relasi-relasi antara orang, yang menjadikan mereka bersatu. Masyarakat bukan badan fisik, juga bukan bayangan saja didalam kepala orang, melainkan sejumlah pola perilaku yang disepakati dan ditunjang bersama. Sejumlah pola perilaku tersebut tentunya menghasilkan bentuk-bentuk interaksi. Bentuk-bentuk interaksi sosial adalah Asosiatif dan Disasosiatif (Soekanto, 2010), :

a. Asosiatif

(2)

12

tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

b. Diasosiatif

Diasosiatif terdiri dari persaingan (competition), kontravensi (contravention), dan pertentangan (conflict). Persaingan diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Pertentangan merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan kalan menentang pihak lawan yang sering disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.

Terlepas dari bentuk-bentuk interaksi seperti yang dikemukakan diatas, interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorangan, antar kelompok-kelompok manusia dan antar orang dengan kelompok-kelompok masyarakat. Interaksi terjadi apabila dua orang atau kelompok saling bertemu dan pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunikasi terjadi diantara kedua belah pihak (Yulianti, 2003).

Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial karena itu tanpa adanya interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antar individu dengan golongan didalam usaha mereka untuk memecahkan persoalan yang diharapkan dan usaha mereka untuk mencapai tujuannya (Ahmadi, 2009).

(3)

13

modal ekonomi, budaya sosial dan simbolik adalah Pierre Bourdieu dalam teorinya yang terkenal yaitu Habitus.

2.2. Saguer dalam Habitus Mayarakat Halmahera Utara

Dalam sebuah wawancara dengan P. Lamaison pada tanggal 4 Maret 1985 (Fashri, 2014), Bourdieu mengemukakan bahwa seluruh pemikirannya bermula dari pertanyaan “how can behavior be regulated without being the product of obedience to rules?”. Dari pertanyaan ini, Bourdieu mengajukan konsep khasnya yaitu Habitus untuk menengahi dualisme antara individu/masyarakat dengan pelaku/struktur. Menurut Bourdieu, hubungan agensi dan struktur bukanlah dua kutub yang berdiri secara terpisah, melainkan berupa relasi dialektis yang berjalan tidak linear.

Habitus tidaklah diciptakan sendiri oleh Bourdieu, namun merupakan gagasan filosofis tradisional yang ia hidupkan kembali (Bourdeau and Wacquant, 1992). Dalam tradisi filsafat, habitus diartikan sebagai kebiasaan yang sering disebut dengan habitual yakni penampilan diri, yang nampak (appearance); tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh seperti : cara kita makan, berjalan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus kita. Menurut Aristoteles, habitus diartikan sebagai kategori yang melengkapi subjek sebagai substansi. Tidak adanya kategori, tidak pula mengubah substansi. Kategori apakah yang melekat pada substansi dan tidak terpisahkan? Menurut Aristoteles adalah kualitas rasionalitas dan idealitas.

(4)

14

budaya, seluruh masyarakat bisa berdampingan dan bertahan di dengan budaya yang ada di Halmahera Utara. Ranah adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan dimanfaatkan (Ritzer dan Goodman, 2012). Dengan kata lain ranah berarti berarti penggunaan Saguer dalam kegiatan budaya di Halmahera Utara. Praktik sosial antar masyarakat Halmahera Utara yang mengkonsumsi Saguer yang terdiri dari berbagai individu menggambarkan habitus dan kapital yang berbeda-beda.

Lewat ide habitus, Bourdieu mencoba mengurai praktik sosial sehari-hari beserta prinsip-prisnsip keteraturan yang mengiringinya. Habitus dapat diandaikan sebagai mekanisme pembentuk bagi praktik sosial yang beroperasi dari dalam diri aktor (Takwim, 2003).

Konsep habitus dalam teori Bourdieu memang membutuhkan energi ekstra untuk memahaminya. Tidak sekedar menampilkannya secara tekstual, tetapi juga membutuhkan proses yang mendalam. Bourdieu sendiri mendekati pengertian habitus melalui cara yang kompleks. Seperti defenisi habitus yang diberikan Bourdieu dibawah ini.

“...systems of durable, transposable dispositions, structured structure

predisposed to function as structuring structures, that is, as principle which

generate and organize practices and representations that can be objectively

adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an

express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively

‘regulated’ and ‘regular’ without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the

organizing action of a conductor” (Bourdieu, 1990)

(5)

15

merta dapat membuat Saguer dalam kualitas yang baik namun membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan proses pengalaman yang cukup panjang

Definisi ini memuat beberapa hal prinsipil yang kemudian menjadi ciri khas habitus. Pertama, habitus mencakup dimensi kognitif dan afektif yang terejewantahkan dalam sistim disposisi. Istilah disposisi merujuk pada tiga makna yang berbeda: (1) disposisi dimengerti sebagai hasil dari tindakan yang mengatur. (2) merujuk pada cara meng-ada (a way of being), kondisi habitual (a habitual state); dan (3) disposisi sebagai sebuah predisposisi, tendensi, niat, atau kecenderungan. Disposisi terbentuk melalui praktek individu dengan pengalaman personalnya, interaksi individu dengan orang lain dan dengan struktur objektif. Kecenderungan-kecenderungan ini dipupuk didalam posisi-posisi sosial suatu ranah dan memberikan kerangka penyesuaian subjektif terhadap posisi sosial tersebut. Disposisi diandaikan sebagai sikap, kecenderungan dalam mempersepsi, merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat kondisi objektif seseorang (Ritzer, 2010). Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Agen-agen individual mengembangkan disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang dihadapinya. Dengan cara ini, Bourdieu menteorikan penanaman struktur sosial obyektif ke dalam pengalaman mental dan subyektif dari si agen.

Sehubungan dengan itu, disposisi pada hakikatnya mencakup kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung lama dan dapat diterapkan dalam berbagai ranah berbeda. Selain itu, habitus menurut Bourdieu (dalam Fashri, 2014:92) dapat dilihat sebagai produk sejarah karena terikat pada ruang dan waktu serta kondisi material yang mengelilinginnya. Pengaruh masa lalu tidak disadari sepenuhnya dan dianggap sesuatu yang alamiah atau wajar. Ketidaksadaran kultural yang melekat dalam habitus senantiasa diawetkan dari generasi ke generasi berikutnya dan terus- menerus diproduksi ulang bagi pembentukan praksis kehidupan sehari-hari.

(6)

16

habitus; (b) habitus disesuaikan dengan kondisi objektif; dan (c) terdapat hubungan resiprokal atau dialektis diantara mereka. habitus juga dapat dipilah menjadi dua aspek: habitus yang dimiliki individu secara khas yang mana didapatkan melalui pengalaman (experience) dan sosialisasi (socialisation), dan habitus kolektif sebagai fenomena kolektif yang menunjuk pada suatu kelas. Kedua aspek ini berguna bagi individu dalam beradaptasi dengan lingkungannya dan penyesuaian lingkungan terhadap individu.

Dalam uraian di atas Bourdieu memandang habitus sebagai aspek yang mendasari timbulnya tindakan dan pemikiran yang dalam hal ini sangat tampak pada tiga konsepsi habitus yaitu sebagai berikut:

1. Habitus Memiliki Dimensi Kognitif dan Afektif yang Terjewantahkan di dalam Sistem Disposisi.

Disposisi yang dipahami disini yaitu sikap kecenderungan dalam mempersepsikan, merasakan, melakukan dan berfikir dimana semua itu diinternalisasikan oleh individu akibat kondisi objektif dari seseorang. Sehingga dalam hal ini habitus tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis, bahkan aktor dapat mengubah habitusnya sesuai dengan ranah yang dihadapinya.

2. Habitus Merupakan Struktur-Struktur yang Dibentuk dan Struktur-Struktur yang Membentuk.

Habitus dapat membentuk kehidupan sosial, disisi lain Habitus juga berperan sebagai struktur yang membentuk kehidupan sosial. Dengan demikian Habitus dapat dipahami sebagai suatu proses dialektis bagian dari eksternalisasi dan internalisasi.

(7)

17

2.3. Modal Dalam Perspektif Teori Bourdieu

Modal menurut Bourdieu (1984) mendefinisikan secara kompleks dan mencakup hal-hal yang material (yang dapat memiliki nilai simbolik) maupun atribut-atribut yang tak tersentuh namun memiliki signifikasi secara budaya misalnya prestise, status, dan otoritas (yang dirujuk pada modal simbolik), serta modal budaya yang didefinisikan sebagai selera budaya dan pola-pola konsumsi.

Modal (kapital) adalah hal yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Saguer memiliki empat modal yaitu: modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik. Modal bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya (Bourdieu, 1984).

Modal memainkan peran yang cukup sentral dalam hubungan kekuatan sosial. Dimana modal menyediakan sarana dalam bentuk non-ekonomi dominasi dan hierarkis, sebagai kelas yang membedakan dirinya. Modal merupakan simbolik dari adanya perbedaan dalam masyarakat. Dimana masyarakat terstratifikasi dari kepemilikan modal. Adanya aktor produsen, penyalur, penjual, konsumen, tokoh masyarakat, kepala desa dan ketua adat mencerminkan dalam hal kepemilikan modal. Barang siapa yang memiliki modal, maka dia akan menguasai arena, atau bisa menyesuaikan diri dengan arena yang ada.

Modal dapat digolongkan menjadi: (1) Modal ekonomi, yang mencakup alat-alat produksi (mesin dan tanah), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, (2) Modal budaya, yang mencakup keseluruhan klasifikasi intelektual yang dapat diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga, (3) Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki perilaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa, dan (4) Modal simbolik, mencakup segala bentuk prestise, status, otoritas dan legitimasi (Fashri, 2014:98).

2.3.1. Saguer sebagai Modal Ekonomi

(8)

18

dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Fashri, 2014). Di Tobelo, para produsen Saguer dan Captikus (pelaku yang memproduksi minuman Saguer dan Captikus) memiliki modal berupa tanah dan benda-benda yang dipakai untuk memproduksi Saguer. modal inilah yang kemungkinan besar mempengaruhi setiap tindakan ekonomi para produsen Saguer dan Captikus. Hal yang serupa juga terjadi pada penyalur dan penjual Saguer maupun Cap Tikus, modal yang ada memunkinkan mereka untuk terus mendapatkan kesempatan-kesempatan dalam kelangusungan usahanya.

Produsen Saguer di Halmahera Utara tidak selalu memiliki modal ekonomi yang besar, hal ini karena mereka lebih mengutamakan keahlian dalam mengolah Saguer. Dalam habitus produsen, modal ekonomi tidak dimengerti sebagai keuntungan uang semata. Modal dapat diperoleh jika para aktor Saguer memiliki habitus yang tepat. Jika produsen, penyalur dan penjual Saguer ingin berhasil dalam bisnisnya, maka ia harus memiliki habitus yang tepat (ulet bekerja dan hemat) serta kapital bisnis (uang sebagai modal usaha) maupun kapital budaya (jaringan kenalan yang luas). Jika masyarakat Halmahera Utara telah memiliki habitus dan kapital sebagai seorang produsen, penyalur dan penjual Saguer yang baik maka kemungkinan besar, mereka akan tetap terus dapat melestarikan minuman ini.

(9)

19

dapat dipakai untuk melihat praktik sosial secara umum, melainkan juga dalam arena sosial yang khas seperti Saguer.

Saguer merupakan struktur budaya yang telah ada sejak lama di Halmahera Utara. Saguer merupakan sebuah abstraksi yang dapat bertahan lama yang memiliki nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga membentuk suatu sistem. Sistem akan berjalan dengan baik apabila masing-masing unsur di dalamnya berfungsi dengan baik. Produsen, penyalur, penjual, tokoh masyarakat, tokoh adat dan konsumen berhubungan dengan minuman Saguer secara tak sadar ditentukan oleh struktur yang diatur oleh sistem (nilai-nilai budaya Saguer). 2.3.2. Saguer sebagai Modal Sosial

Bourdieu mendefinisikan modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalkan.

Bourdieu (1984) menjelaskan modal sosial sebagai bagian dari penjelasan modal budaya, modal simbolis dan modal ekonomi. Saguer merupakan sumber daya yang memiliki kaitan erat dengan Masyarakat Halmahera Utara. Besarnya modal sosial yang dimiliki aktor dalam Saguer bergantung dari ukuran seberapa besar jaringan yang bisa ia manfaatkan secara efektif dan besarnya modal lainnya (ekonomi, budaya atau simbolik) yang bisa diakses dari hubungan melalui jaringan itu. Modal sosial, menurut Bourdieu, berfungsi mengandalkan modal lain.

(10)

20

sisi lain menurut Bourdieu, untuk membangun modal sosial dibutuhkan investasi dengan modal ekonomi dan modal budaya.

Penggunaan dan peredaran Saguer dan Captikus di Tobelo juga terjadi karena didalam Saguer dan Captikus terdapat Modal sosial. Artinya bahwa, melalui saguer dan captikus, para aktor bekerja sama untuk mencapai tujuan serta keuntungan bersama yang di topang dengan adanya jaringan, norma-norma dan kepercayaan.

2.3.3. Saguer sebagai Modal Budaya

Gagasan Pierre Bourdieu terelaborasi dengan beberapa konsep utama, yaitu habitus, ranah perjuangan, kekuasaan simbol dan modal budaya. Para aktor Saguer menempati posisi-posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi: pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki; dan kedua, sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka: “untuk memahami bahwa sistem kepemilikan yang sama (yang menentukan posisi di dalam arena perjuangan kelas) memiliki unsur yang dapat menjelaskan, apapun bidang yang dikaji, konsumsi Saguer, penggunaan Saguer di acara adat, opini tentang Saguer dan Cap Tikus atau Cap Tikus yang dihubungkan dengan aturan agama, dan bahwa bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda di satu arena dengan yang lain, dalam arena perjuangan adat memiliki bobot modal budaya, di arena produksi memiliki modal ekonomi, arena konsumen memiliki modal sosial.

Modal Budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri didepan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat/gelar kesarjanaan (Fashri, F. 2014). Modal budaya lebih menekankan pada kemampuan yang dimiliki seseorang, yang diperoleh dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitarnya.

Modal budaya menurut Bourdieu dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : “embodied”, “objectified” and “institionalized” (Bourdieu, 1989). Modal budaya

(11)

21

sebuah sifat yang turun temurun. Modal budaya tidak berpindah serta-merta seperti hadiah wasiat, sebaliknya ia diperoleh dari masa ke masa. Saguer dan Captikus merupakan modal budaya “embodied” masyarakat Tobelo. Hal ini

dikarenakan Saguer dan Captikus secara turun temurun diwariskan dalam bentuk pengetahuan tentang bagaimana proses pembuatan minuman keras.

Modal budaya “Objectified” terdiri dari pada benda-benda fizikal yang dimiliki, seperti alat-alat saintifik atau karya-karya seni. Barang-barang budaya ini bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Melihat fenomena yang terjadi pada sekarang ini, Saguer dan Captikus kelihatannya dikategorikan memiliki modal budaya “objectified”. Saguer dan Captikus sekarang ini bisa jadi dipandang

sebagai objek yang memiliki nilai ekonomi. Modal budaya “institutionalized”

terdiri daripada pengiktirafan dari sebuah intitusi di mana modal budaya yang dimiliki oleh seoarang individu diperoleh melalui akademik.

Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua dimensi. Pertama, dimensi vertikal, dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku – yang memiliki modal besar dalam hal ekonomi dan budaya – dengan mereka yang memiliki modal sedikit. Kedua, susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam konteks ini dipertentangkan antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan mereka yang memiliki modal budaya yang besar. Hal inilah yang menjadi dasar pergeseran makna Saguer menjadi Cap Tikus.

2.3.4. Saguer sebagai Modal Simbolik

Simbol tetap memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat global. Setiap interaksi sosial maupun komunikasi selalu menggunakan simbol-simbol yang menyediakan perangkat tanda untuk memudahkan terjadinya kesepahaman atau saling pengertian. Dengan kata lain, masyarakat tidak mungkin ada tanpa hadirnya simbol-simbol.

(12)

22

tersimpan kekuatan untuk memberikan nama, tafsiran, atau pengetahuan resmi atas dunia sosial.

Masyarakat Halmahera Utara dipandang sebagai wilayah yang mengandung sistem dan relasi-relasi tempat terjadinya pengaruh kekuatan. Selalu terjadi pertarungan sosial di dalam setiap ranah, hal ini menuntut produsen Saguer untuk memiliki modal-modal khusus untuk dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Kondisi objektif aktor dalam lingkungan budaya Saguer sangat ditentukan oleh kepemilikannya akan modal-modal tersebut, modal-modal yang dimiliki akan menunjukkan eksistensi para aktor dalam masyarakat Halmahera Utara. Modal simbolik bersifat khusus, ia selalu terikat dan tergantung pada lingkungan dan gaya hidup. Status sebagai konsumen Saguer, dan mampu melestarikan suatu nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya menjadi modal simbolik bagi Masyarakat Halmahera Utara.

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan, bahwa salah satu aspek simbol yaitu sesuatu yang lebih besar atau tertinggi atau terakhir seperti nilai, dan modal merupakan sumber daya, maka modal simbolik bisa diartikan sebagai sumber daya yang memiliki nilai. Saguer dan Captikus yang ada di Tobelo, memiliki nilai-nilai diantaranya nilai adat yang melekat dan tetap diwariskan. Nilai yang lain yaitu nilai sosial, dimana saguer dijadikan sebagai sarana interaksi sosial. 2.4. Saguer dalam Arena Masyarakat Halmahera Utara

Dengan memiliki habitus dan modal budaya, para aktor dapat bersaing dan bertahan di arena produksi dan konsumsi Saguer. Arena adalah pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal (ekonomi, budaya, sosial dan simbolik). Dalam penelitian ini arena adalah interaksi masyarakat dalam mempraktikan Saguer di Halmahera Utara. Arena sosial ketika penjual dan konsumen Saguer, yang terdiri dari beberapa individu aktor menggambarkan pula habitus dan modal yang berbeda-beda pula.

(13)

23

meningkatkan modal budaya (melestarikan) dan modal sosial (pertemanan). Dalam kaitan hal tersebut, arena juga dapat terjadi dalam interaksi komunikasi melalui media telepon dan media sosial dalam membangun hubungan masyarakat satu dengan lainnya terutama ketika mereka hendak melakukan praktik Saguer.

Arena dapat pula mempengaruhi habitus dan modal sosial oleh karenanya Saguer menjadi sangat dikenal di dalam Masyarakat Halmahera Utara hingga kini. Dalam interaksinya di dunia sosial seperti acara adat, para aktor menggunakan Saguer di dalam arenanya. Di dalam pemilihan antara Saguer dan Cap Tikus: modal, habitus dan arena terdapat kelompok berbeda-beda dalam masyarakat antar aktor dengan keinginan refleksi Saguer adalah kebudayaan dan kelompok yang mendefinisikan bahwa Cap Tikus juga merupakan minuman sehari-hari dengan mengesampingkan dampaknya..

2.5. Penelitian Terdahulu

Wahyu Wulan Sari (2008) melakukan penelitian dengan judul: Studi Deskriptif Kualitatif tentang Persepsi, Motivasi dan Perilaku Remaja dalam Mengkonsumsi Minuman Keras di Desa Kateguhan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo. Persepsi remaja terhadap minuman keras sudah beragam, Hal ini terbukti dengan anggapan remaja bahwa minuman keras adalah minuman yang sebenarnya membahayakan namun menjanjikan berbagai kenikmatan karena dengan mengkonsumsi minuman keras mereka bisa melupakan berbagai masalah ataupun beban yang sedang dihadapi. Sebagian dari mereka juga menganggap bahwa minuman keras adalah simbol gaya hidup jaman modern. Mengenai motivasi remaja dalam mengkonsumsi minuman keras disebabkan karena adanya rasa ingin tahu, coba-coba, ajakan teman, frustasi dengan masalah keluarga atau teman dekat dan untuk menambah rasa percaya diri. Sedangkan untuk perilaku mereka sering mengkonsumsi jenis minuman vodka, mensen, asoka, colombus, topi miring, red rebel, mix max, gordons dan masih banyak lagi. Tempat yang biasa mereka jadikan tempat berpesta minuman keras adalah warung-warung, perempatan jalan, pinggiran jalan raya, dan tempat-tempat hiburan malam.

(14)

24

Timur Kabupaten Minahasa Selatan. Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen atau lebih yang dihasilkan melalui penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam bahasa daerah Minahasa). Tinggi rendahnya kadar alkohol pada cap tikus tergantung pada kualitas penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula kadar alkoholnya. Untuk mendapatkan saguer, bambu penampungan digantung pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut saringannya yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer semakin manis. maka cap tikus yang dihasilkan pun semakin tinggi kualitasnya

Agung Sanjaya (2015) melakukan penelitian dengan judul: Perilaku Sosial Pengguna Minuman Keras di Kelurahan Sungai Dama Kota Samarinda. Bentuk-bentuk perilaku pengguna minuman keras sangat beragam yaitu meliputi pencurian, free sex (seks bebas), pemalakan, dan tawuran/perkelehian, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menggunakan minuman keras antara lain, meliputi pengangguran, pergaulan bebas, dan kenikmatan.

Penelitian di atas belum menjelaskan bentuk minuman tradisional dalam aspek budaya dalam masyarakat. Perbedaan lainnya yaitu dalam penelitian ini menggunakan teori Bourdieu sebagai landasan dalam menghasilkan kerangka pembahasan.

2.6. Kerangka Pikir Penelitian

(15)

25 Gambar 2.1

Kerangka Pikir Penelitian

Saguer sebagai habitus merupakan struktur mental yang dengannya orang dapat berhubungan dengan dunia sosial. Hal ini dikarenakan aktor yang berperan telah memiliki serangkaian skema atau pola berpikir yang telah diinternalisasikan untuk memahami, menyadari dan menilai dunia sosial Saguer. Saguer telah membekali Masyarakat di Halmahera Utara dengan habitus. Sementara tindakan sosial antar individu tidak selalu dipengaruhi oleh kesadaran dan ketaatan terhadap aturan. Sehingga dalam penelitian ini Makna Saguer dalam Masyarakat Halmahera Utara adalah meneliti tentang interaksi yang terjadi antar individu dari perspektif dulu dan sekarang.

SAGUER

Habitus Habitus

Dulu Sekarang

Tindakan Sosial

Dari Ritual Ke Pasar Pergeseran Makna Saguer Dalam Masyarakat

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, ekstrak daun mangrove (S. alba) yang digunakan dalam pengujian antibakteri secara kualitatif dapat dikategorikan sebagai bahan yang mampu menghambat

Selain itu dengan mempertimbangkan Hasil Pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu dengan hasilkesimpulan bahwa Tim Medis Asesmen menyatakan terperiksa (pelaku)

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Jadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

Metodologi Penelitian Kualitatif: Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik , dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama.. Yogyakarta:

Isu adalah suatu hal atau trending topic yang sedang di bicarakan saat ini yang bersifat kekinian, atau sementara tetapi jika di respon dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan

Untuk mendeskripsikan apakah ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran problem posing dan pemberian motivasi terhadap kreatifitas berfikir matematika siswa

Ada beberapa hambatan dalam upaya penanggulangan kejahatan kasus pemalsuan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor(BPKB). Diantaranya kurangnya pemahaman Lembaga Penjaminan

• Siswa secara individu dapat menuliskan Menuliskan rumus luas permukaan dan volume kubus balok, menghitung luas permukaan dan volume kubus balok. • Siswa