1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hama Ulat Api (Setothosea asigna) Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insekta Ordo : Lepidoptera Family : Limacodidae Genus : Setothosea
Species : Setothosea asigna Van Eecke
Hama ulat api (Setothosea asigna) merupakan salah satu hama penting di Indonesia yang dapat merusak tanaman kelapa sawit. Spesies ulat api yang sering dijumpai pada berbagai daerah di Indonesia antara lain adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Setothosea asigna, Darna dicuta, dan Darna trima. Klasifikasi ulat api Setothosea asigna termasuk dalam family Limacodidae (Sudharto, 1991).
Ulat api ini merupakan salah satu hama yang dapat menyebabkan kerusakan terberat serta sangat merugikan di Indonesia. Disebut ulat api karena punggungnya berbulu kasar kaku dan beracun. Racunnya keluar dari bulu kasar tersebut berupa cairan yang jika terkena tangan terasa gatal dan panas (Sulistyo, 2012).
2
Ulat api (Setothosea asigna) berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak khas di bagian punggungnya dan dilengkapi duri-duri yang kokoh. Ulat instar terakhir berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm. stadia ulat ini berlangsung 49-51 hari (Fauzi dkk, 2012).
2.2 Siklus Hidup
Tabel 2.2 Siklus hidup (Setothosea asigna)
Stadia Lama(hari) *Lama (hari)
Keterangan
Telur 6 3-6 Jumlah telur 300-400 butir Larva 50 61-75 Terdiri dari 9 instar,
konsumsi daun 300-500 cm2
Pupa 40 35-45 Habitat di tanah Imago - 7-10 Jantan lebih kecil dari
betina
Total 96 106-136 Tergantung pada lokasi dan lingkungan
Sumber : (Sulistyo, 2012)
2.2.1 Telur (Setothosea asigna)
Telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat berukuran tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet 3 – 4 baris sejajar pada permukaan daun bagian bawah, biasanya pada pelepah daun ke 6 dan ke 17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur sebanyak 300 - 400 butir. Telur menetas 4 - 8 hari setelah diletakkan (Susanto dkk, 2012).
3
Gambar 2.1 Telur Setothosea asigna (Sumber Foto : Pahan, 2012)
2.2.2 Larva (Setothosea asigna)
Larva yang baru menetas, hidupnya secara berkelompok, memakan bagian permukaan bawah daun. Larva instar 2 - 3 memakan bagian helaian daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun. Selama perkembangannya larva mengalami pergantian instar sebanyak 7-8 kali atau 8-9 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm2 (Sulistyo, 2012).
Larva berwarna hijau kekuningan dengan duri-duri yang kokoh di bagian punggung dan bercak bersambung sepanjang punggung, berwarna coklat sampai ungu keabu-abuan dan putih. Warna larva dapat berubah-ubah sesuai dengan instarnya, semakin tua umurnya akan menjadi semakin gelap. Larva instar terakhir (instar ke - 9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm, sedangkan apabila sampai instar ke - 8 ukurannya sedikit lebih kecil. Menjelang berpupa, ulat menjatuhkan diri ke tanah. Stadia larva ini berlangsung selama 49 - 50,3 hari (Sulistyo, 2012).
4
Gambar 2.2 Larva Setothosea asigna (Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi, 2020)
2.2.3 Pupa (Setothosea asigna)
Pupa berada di dalam kokon yang terbuat dari campuran air liur ulat dan tanah, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap, terdapat di bagian tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Larva yang berkepompong membuat kokon dengan ukuran 16 x 13mm untuk jantan dan 20 x 16,5mm untuk betina. Masa kepompong ± 40 hari. Waktu akan menetas menjadi kupu-kupu kepompong berwarna coklat tua (Sulistyo et al, 2010).
Gambar 2.3 Pupa Setothosea asigna (Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi, 2020)
5 2.2.4 Imago (Setothosea asigna)
Lebar rentangan sayap serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing 41 mm dan 51 mm. Sayap depannya berwarna coklat kemerahan dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda (Susanto dkk, 2012).
Gambar 2.4 Imago Setothosea asigna (Sumber Foto : wikipedia)
2.3 Gejala Serangan Ulat Api (Setothosea asigna)
Helaian daun berlubang atau habis sama sekali sehingga hanya tinggal tulang daun. Gejala ini dimulai dari daun bagian bawah. Dalam kondisi yang parah tanaman akan kehilangan daun sekitar 90%. Pada tahun pertama setelah serangan dapat menurunkan produksi sekitar 69% dan sekitar 27% pada tahun kedua. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak serangan ulat api yang tidak terkendali (Fauzi dkk, 2012).
Ulat muda biasanya bergerombol di sekitar tempat letakan telur dan mengikis daun mulai dari permukaan bawah daun kelapa sawit serta meninggalkan epidermis daun bagian atas. Bekas serangan terlihat jelas seperti jendela jendela memanjang pada helaian daun, sehingga akhirnya daun yang terserang berat akan mati kering seperti bekas terbakar (Fauzi dkk, 2012).
6
Mulai instar ke 3 biasanya ulat memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja dan sering di sebut gejala melidi (Manik, 2012). Ambang ekonomi dari hama ulat api (Setothosea asigna) pada tanaman kelapa sawit rata-rata 5-10 ekor per pelepah untuk tanaman yang berumur 7 tahun ke atas dan 5 ekor larva untuk tanaman yang lebih muda.Pengendalian hama dilakukan untuk menurunkan populasi hama sampai pada tingkat ambang batas sehingga tidak merugikan secara ekonomi dan tidak melampaui batas kritis (Manik, 2012).
2.3.1 Kriteria Serangan
Kriteria serangan digunakan untuk mengetahui tingkat serangan dari hama dan juga untuk menentukan tindakan pengendalian yang harus dilakukan untuk menurunkan tingkat serangan. Menurut (Sulistyo, 2012) kriteria tingkat serangan ulat api (Setothosea asigna) yaitu:
Ringan : bila terdapat <5 ekor ulat api per pelepah Sedang : bila terdapat 5-10 ekor ulat api per pelepah Berat : bila terdapat >10 ekor ulat api per pelepah
Gambar 2.5 Gejala Serangan Ulat Api
7
2.4 Metode Pengendalian Hama Ulat Api (Setothosea asigna) 2.4.1 Pengendalian Secara Mekanik
Secara mekanik dengan pengutipan semua stadia hama seperti telur, ulat, pupa/kepompong maupun ngengat/kupu-kupu. Cara mekanik lain adalah melakukan pemerangkapan stadia ngengat menggunakan perangkap cahaya/light trap (Susanto dkk, 2015).
2.4.2 Pengendalian Secara Hayati
Dilakukan dengan menggunakan parasitoid larva seperti Trichogramma sp dan predator berupa Eucanthecona sp, penggunaan virus seperti Granulosis Baculoviruses, MNPV (Multiple Nucleo Polyhedro Virus) dan jamur Bacillus thuringiensis. Selain itu dilakukan penanaman bunga pukul delapan (Turnera subulata) sebagai habitat dari organisme parasitoid, yang dikarenakan memiliki madu (nectar) sebagai sumber makanan dari parasitoid tersebut (Susanto dkk, 2015).
Gambar 2.6 Bunga pukul delapan (Turnera subulata) (Sumber Foto : Wikipedia)
2.4.3 Pengendalian Insektisida
Pengendalian hama ulat pemakan daun kelapa sawit dapat menggunakan insektisida kimia merupakan cara umum yang dilakukan diperkebunan kelapa sawit untuk mengatasi ledakan populasi ulat. Ulat api dapat
8
dikendalikan dengan penyemprotan atau injeksi batang menggunakan insektisida. Untuk tanaman yang lebih muda (≤ umur 2 tahun), knapsack sprayer dapat digunakan untuk penyemprotan. Untuk tanaman yang lebih dari 3 tahun, aplikasi insektisida dengan menggunakan fogging atau injeksi batang. Karena bahan bakunya adalah bahan kimia yang sangat bahaya, izin harus diperlukan dari komosi pestisida untuk tujuan dan cara aplikasi (Prawirosukarto dkk, 2002).
2.4.4 Pengendalian Hama Terpadu
Dalam sistem ini, pengenalan terhadap biologi hama sasaran di perlukan sebagai penyusunan strategi pengendalian. Tindakan pengendalian hama dilaksanakan sesuai dengan hasil monitoring populasi hama dilapangan, dan hanya di lakukan apabila padat populasi kritis yang di tentukan, serta mengutamanakan pelestarian dan pemanfaataan musuh alami yang ada dalam ekosistem perkebunan kelapa sawit (Prawirosukarto dkk, 2002).
Pada beberapa perkebunan kelapa sawit di Sumatera telah ditemukan 33 jenis parasitoid dan 11 jenis predator hama pemakan daun. Parasitoid dan predator tersebut berperan penting sebagai faktor pengendali populasi hama secara alami di perkebunan kelapa sawit sehingga perlu dijaga kelestariannya dan perlu diperhitungkan serta dimanfaatkan didalam pengendalian UPDKS (Sulistyo, 2010).
2.5 Tanaman Sukun (Artocarpus altilis)
Sukun merupakan tanaman serbaguna yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Mulai dari buahnya sebagai bahan pangan, daunnya untuk mengatasi berbagai penyakit, bunganya dapat dijadikan obat pengusir nyamuk, dan batangnya dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (Supriyati, 2010). Tanaman sukun menghasilkan buah yang memiliki karbohidrat dan kandungan gizi tinggi, sehingga potensial sebagai bahan makanan pokok alternatif pengganti beras (Adinugraha dan Kartikawati, 2004).
9
Sukun (Artocarpus altilis) juga merupakan salah satu jenis tanaman obat yang memiliki efek diuretik yang disebabkan oleh bahan-bahan yang aktif dikandungannya. Kandungan dalam buah sukun (Artocarpus altilis) adalah kalsium, kalium, riboflavin, dan niasin (Adeleke, 2010). Daun sukun (Artocarpus altilis) mengandung saponin, tanin, flavonoid, triterpenoid, sulfur, kumarin dan steroid yang berfungsi sebagai pestisida. Senyawa flavonoid pada daun sukun memiliki sifat insektisida yaitu dengan menimbulkan kelayuan syaraf pada beberapa organ vital hama yang dapat menyebabkan kematian seperti pernafasan (Wuri dkk, 2013).
2.5.1 Klasifikasi Tanaman Sukun
Menurut Utami (2013) klasifikasi tanaman sukun (Artocarpus altilis) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Family : Moraceae Genus : Artocarpus
Species : Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg.
10 2.5.2 Morfologi Tanaman Sukun
Tumbuhan sukun memiliki tinggi mencapai 30 meter, namun rata-rata tingginya hanya 12-15 meter. Jenis tanaman sukun dapat tumbuh baik sepanjang tahun (evergreen) di daerah tropis basah dan bersifat semi deciduous serta di daerah yang beriklim monsoon. Jenis akar tanaman sukun yaitu akar tunggang, yang apabila akar tersebut terluka atau terpotong akan memacu tumbuhnya tunas alam atau tunas yang sering digunakan untuk bibit (Subroto, 2017).
Tanaman sukun biasanya menghasilkan buah dan bunga dua tahun sekali. Daun sukun merupakan sebuah tanaman yang berukuran sangat lebar, berbulu kasar, daunnya tunggal, berseling, lonjong, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi bertoreh serta memiliki panjang 50-70 cm, lebar 25-50 cm. Bunga tanaman sukun berkelamin tunggal bunga betina dan bunga jantan terpisah (Utami, 2013).
Bunga jantan berbentuk pipih memanjang disebut ontel yang berwarna kuning, sedangkan bunga betina berbentuk bundar dan bertangkai pendek disebut babal. Daun sukun memiliki nama ilmiah Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg, dengan berbagai nama ilmiah lain seperti Artocarpus communis Forst., Artocarpus communis dan Artocarpus incisa L (Utami, 2013).
2.5.3 Kandungan Kimia Daun Sukun
Daun sukun memiliki sejumlah kandungan senyawa kimia seperti flavonoid, saponin, triterpenoid, tanin, polifenol, asetilkolin, asam fenolat dan riboflavin yang dapat digunakan sebagai insektisida. Mekanisme racun perut dapat diakibatkan oleh senyawa flavonoid, saponin, tanin dan triterpenoid. Mekanisme racun pernapasan dapat diakibatkan oleh senyawa flavonoid dan mekanisme racun saraf dapat diakibatkan oleh senyawa triterpenoid (Kurniawan dkk. 2013).
11
Pada organ pencernaan terdapat sel goblet yang berfungsi untuk melindungi sel-sel epitelium yang ada di organ pencernaan dari serangan patogen. Sehingga ketika patogen masuk seperti senyawa flavonoid, saponin, tanin dan triterpenoid dari ekstrak daun sukun akan menyebabkan sel goblet tidak dapat mensintesis dan mensekresikan mukus yang dapat melindungi organ pecernaan (Balqis dkk, 2015).
Flavonoid dapat menghambat hormon otak, ekdison dan pertumbuhan (juvenil hormone) yang merupakan hormon utama dalam pertumbuhan larva, akibatnya metamorfosis terhambat (Kurniawan dkk, 2013). pada umumnya pestisida sintetik dapat membunuh langsung hama sasaran dengan cepat. Hal ini berbeda dengan pestisida nabati seperti ekstrak daun sukun yang dapat mematikan hama dengan cara seperti berikut :
1. Reppelent, yaitu menolak kehadiran serangga terutama disebabkan baunya yang menyengat.
2. Antifeedan, menyebabkan serangga tidak menyukai tanaman, misalnya disebabkan rasa yang pahit.
3. Mencegah serangga meletakkan telur dan menghentikan proses penetasan telur.
4. Racun syaraf, serangga yang teracuni akan mati kelaparan yang disebabkan oleh kelumpuhan alat-alat mulut serta sel-sel syaraf.
5. Mengacaukan hormon di dalam tubuh serangga.
6. Attractant, sebagai pemikat kehadiran serangga yang dapat digunakan sebagai perangkap (Kurniawan dkk, 2013).
12
Berikut ini adalah jenis-jenis kandungan yang terdapat pada daun sukun : 1. Saponin
Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin memiliki rasa pahit dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Mekanisme kerja saponin sebagai anti bakteri yaitu dapat menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari dalam sel Saponin dapat menjadi anti bakteri karena zat aktif permukaannya mirip detergen, akibatnya saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak permebialitas membran. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel (Madduluri dkk,2013).
2. Flavonoid
Flavonoid termasuk golongan fenol terbesar yang memiliki sifat khusus berupa bau yang tajam. Flavonoid sebagai bahan anti mikroba, anti virus dan pembunuh serangga dengan mengganggu/menghambat pernapasan. Flavonoid dapat menghambat hormon otak, ekdison dan pertumbuhan (juvenil hormone) yang merupakan hormon utama dalam pertumbuhan larva, akibatnya metamorfosis terhambat. Flavonoid memiliki dampak dalam menekan produksi energi dalam tubuh Hama, sehingga ketika produksi energi tersebut turun dapat menimbulkan efek buruk bagi metabolisme tubuh Hama, seperti metabolisme tidak bekerja maksimal dan berujung pada kematian (Kurniawan dkk, 2013).
3. Triterpenoid
Triterpenoid dapat mematikan walang sangit karena memiliki mekanisme sebagai repellent, dan antifeedant yaitu ketika dalam konsentrasi ekstrak yang tinggi, serangga tidak akan memakan bulir padi yang terkena ekstrak tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya asupan makanan dan produksi energi pada walang sangit serta dapat berujung pada kematian (Kurniawan dkk, 2013).
13 4. Tanin
Tanin sebagai zat yang dapat menyusutkan jaringan kulit. Sehingga diduga zat ini dapat menghambat perkembangan hama seperti Plutella xylostella yang menyebabkan jaringan kulit ulat ini menjadi mengerut dan lebih kering. Dengan demikian tanaman yang mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoid dan tanin dapat bersifat larvasida dan insektisida (Asikin, 2012).
Berdasarkan dari jurnal Efektivitas Ekstrak Daun Sukun (Artocarpus altilis) terhadap Mortalitas Hama Walang Sangit (Leptocorisa acuta) tahun 2019 bahwa pengaplikasian ekstrak daun sukun dengan konsentrasi 30% merupakan perlakuan terbaik untuk mengendalikan hama walang sangit (Leptocorisa acuta) karena menyebabkan mortalitas hama walang sangit telah mencapai 86% waktu awal kematian 24 jam setelah aplikasi (Sadewo,2015).
Sesuai dengan pernyataan Sadewo (2015), bahwa semakin tinggi konsentrasi dosis ekstrak yang digunakan pada penelitian maka kandungan bahan aktifnya semakin tinggi, sehingga daya racun yang dihasilkan pestisida nabati tersebut semakin tinggi. Daya racun yang tinggi tersebut dapat meningkatkan mortalitas hama.
2.6 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Galih, 2013).
14 2.6.1 Maserasi
Maserasi adalah peroses pengekstrakan dengan cara mengektraksi bahan nabati yaitu direndam mengunakan pelarut bukan air (pelarut non polar) atau setengah air misalnya etanol encer, selama periode waktu (Istiqomah, 2013). Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara merandam serbuk kedalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel dari tanaman melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan kosenterasi antara larutan didalam sel dengan diluar sel (Istiqomah, 2013). Ekstraksi pelarut dilakukan dengan cara dingin (maserasi). Proses ekstraksi dengan teknik maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu ruang. Keuntungan cara ini mudah dan tidak perlu pemanasan sehingga kecil kemungkinan bahan alam menjadi rusak atau terurai. Pemilihan pelarut berdasarkan kelarutan dan polaritasnya memudahkan pemisahan bahan alam dalam sampel. Pengerjaan metode maserasi yang lama dan keadaan diam selama maserasi memungkinkan banyak senyawa yang akan terekstraksi (Istiqomah, 2013).