BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di jaman kuno dimasa hidupnya Aristoteles , dia telah menyatakan bahwa dalam
suatu negara selalu terdapat mereka yang kaya sekali , mereka yang melarat , dan
mereka yang berada ditengah – tengahnya. Uraian yang dikemukakan Aristoteles itu
membuktikan bahwa dimasa itu telah dikenal sistem lapis - berlapis dalam
masyarakat , dan besar kemungkinan dijaman sebelumnya orang sudah mengenal
adanya lapisan – lapisan di dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat
– tingkat dari bawah keatas.1
Begitu juga kiranya bangsawan Melayu Serdang sebagai salah satu bagian dari
lapis - berlapis dari masyarakat Melayu yang ada di Serdang mempunyai kedudukan
lebih tinggi sedikit dari masyarakat Melayu di Serdang oleh karena adanya semacam
“kontrak sosial” yang dilakukan penduduk setempat dengan Tuanku Umar Johan
Pahlawan Alamsyah bergelar Kejeruan junjongan ( 1703 - 1782 ) yang tidak berhasil
merebut haknya atas tahta Deli dalam perebutan dengan saudaranya Panglima Gandar
Wahid sewaktu terjadinya perang suksesi sekitar tahun 1720. Maka ia bersama
ibundanya Tuanku Puan Sampali pindah dari Sampali dan mendirikan Kampung Besar
1MuhammadAbduh , et. al. Pengantar Sosiologi ( Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera
( Serdang ) disekitar tahun 1723.2 Kampung besar yang mereka dirikan itu dalam
perkembangan selanjutnya menjadi negara dan mendaulatkan mereka sebagai
bangsawan Serdang. Namun beberapa abad kemudian bangsawan Melayu Serdang itu
dipaksa melepaskan kekuasaannya atas warisan berkuasa yang mereka terima secara
turun – temurun dari pendahulu terdahulunya melalui suatu revolusi.
Revolusi itu bermula dari kejatuhan imprealisme Jepang kemudian disusul oleh
adanya pendeklarasian kemeredekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Deklarasi
kemeredekaan inilah yang dikenal sebagai awal dari revolusi Indonesia. Dalam
perkembangan selajutnya revolusi Indonesia di Sumatera Timur ini tidak hanya
menuntut pembentukan pemerintahan nasional tetapi juga mengarah kepada
“pemebersihan” antek – antek Belanda. Pembersihan antek – antek Belanda ini lebih
mengarah kepada bangsawan – bangsawan Melayu yang juga imabsan “pembersihan”
itu diarahkan juga kepada bangsawan Melayu Serdang. Bagian dari pembersihan ini
secara resminya lebih dikenal dengan sebagai “Maret Kelabu” atau revolusi sosial
1946 di Sumatera Timur tersebut.
Berbeda dari penulisan sejarah – sosial ekonomi di jurusan sejarah pada fakultas
Sastra USU ; penulisan sejarah revolusi kurang begitu banyak dibandingkan dengan
penulisan sejarah sosial – ekonomi tersebut. Padahal menurut keyakinan saya bahwa
pengkajian sejarah itu tidak hanya menganalisa tentang sejarah sosial – ekonomi saja ,
tetapi ada semacam yang terlupa oleh kita bahwa ilmu sejarah yang mengkhususkan
2Luckman. Sari Sejarah Serdang ( Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , 1970 ) hal.
diri ke sejarah politik dalam artian mengkaji sejarah revolusi juga sangat penting.
Walaupun kepustakaan mengenai bangsawan Melayu Serdang dalam revolusi
Indonesia di Sumatera Timur cukup luas dan banyak penulis yang mengulas akan soal
ini ; namun kiranya penulis beranggapan bahwa pengkajian revolusi itu bersifat umum.
Artinya ada menurut keyakinan saya bahwa hal – hal yang lebih khusus terabaikan dan
belum banyak yang dikaji oleh penulis lain. Untuk mencari dan mengungkapan hal –
hal khusus itu saya berusaha untuk mengungkapkanya ke dalam skripsi ini. Saya sudah
mempertimbangkan seandainya nanti kiranya dijumpai sedikit sekali kemajuan yang
dicapai oleh saya dalam mencari dan mengungkapkan hal – hal khusus tersebut , saya
siap menerima hasil ini dengan hasil yang terburuk sekalipun.
Ada suatu pernyataan yang berbunyi sebagai berikut : “politik adalah sejarah masa
kini dan sejarah adalah politik masa lalu”.3 Dari pernyataan ini kiranya dapatlah
diartikan bahwa politik sangat berhubungan dekat dengan sejarah khususnya sejarah
politik yang menganalisa revolusi Indonesia di Sumatera Timur.
Di Sumatera Timur banyak dijumpai kerajaan – kerajaan Melayu seperti
diantaranya kerajaan Serdang , kerajaan Deli , dan kerajaan Langkat. Ketiga kerajaan
Melayu ini terkena revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia dari tahun 1945 sampai
dengan tahun 1950 merupakan suatu revolusi yang dimengerti oleh bangsa Indonesia
sebagai suatu cara untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan asing atau dalam
artian sebagai cara untuk merebut kemerdekaan. Arti revolusi bagi kebanyakan rakyat
3Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah ( rev . ed. ; Jakarta : PT Gramedia
di Sumatera Timur ialah ingin melakukan perubahan kehidupan dari kehidupan susah
menjadi kehidupan senang walaupun menghalalkan segala cara. Revolusi Indonesia di
Sumatera Timur berarti melenyapkan kekuasaan kaum bangsawan atas peri kehidupan
rakyat , karena bangsawan dianggap rakyat sebagai kakitanggannya kaum penjajah.
Bertolak dari pokok pikiran terdahulu , maka penelitian ini bermaksud untuk
mempelajari bangsawan Melayu Serdang dalam revolusi Indonesia di Sumatera Timur
yang dengan batasan waktu dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1950.
1.2 Batasan Masalah dan Pengertian
Agar penelitian dapat lebih mendalam dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
maka kiranya saya perlu memberikan batasan jangkauan dari segi ruang lingkup
maupun daerah penelitian yang menyangkut bangsawan Melayu Serdang dalam
revolusi Indonesia. Sedangkan daerah penelitian terbatas di Sumatera Timur tetapi
bukan Sumatera Timur keseluruhan melainkan hanya terbatas di kerajaan Serdang.
Adapun yang saya maksudkan dengan pengertian bangsawan Melayu Serdang
dalam penelitian ini ialah sekelompok orang – orang Melayu yang dapat berkuasa dan
mendirikan kekuasaanya tersebut di wilayah yang mereka daulatkan sebagai kerajaan
Serdang.
Yang saya maksudkan dengan revolusi Indonesia ialah suatu gelombang besar dari
pemberontakan rakyat untuk merebut kembali kebebasaannya yang telah hilang dari
Sedangkan yang saya maksudkan dengan pengertian 1945 – 1950 dalam penelitian
ini ialah merupakan kurun waktu lahirnya gerakan rakyat untuk mencapai kebebasan
untuk mengatur dan mengurus diri dan lingkungannya terlepas dari kekuasaan –
kekuasaan manapun yang menghadangnya.
Penggunaan istilah Bangsawan Melayu Serdang Dalam Revolusi Indonesia Di
Sumatera Timur ( 1945 – 1950 ) yang saya maksudkan dalam penelitian ini yakni
berarti : Keberadaan Bangsawan Melayu Serdang di tengah – tengah gelombang besar
dari gerakaan pemberontakan rakyat untuk membebaskan diri dan lingkungannya atas
kekuasaan manapun yang menghadangnya ; memakan waktu selama lima tahun.
Jadi berdasarkan atas uraian – uraian terdahulu yang saya perbuat sebelumnya ,
maka kiranya dapatlah dirumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bangsawan Melayu Serdang dalam memahami revolusi
Indonesia di Sumatera Timur itu dari keanekaragaman dan pertumbuhannya
yang dinamis serta subur tersebut.
2. Seperti apa bentuk / tampilan yang digunakan bangsawan Melayu Serdang
dalam revolusi Indonesia di Sumatera Timur itu.
1.3 Tinjauan Pustaka
Bahan – bahan literatur yang kiranya relevan dengan kajian yang akan saya teliti
adalah karya dari Anthony Reid ; The Blood Of The People Revolution And The End
Of Traditional Rule In Northern Sumatra , yang diterjemahkan oleh Tim PSH ( Pustaka
mengenai kajian dari susunan daulat raja – raja Melayu ; dalam karya ini digambarkan
bagaimana keahlian khas raja – raja Melayu dalam menjalin hubungan dengan
penduduk yang suka merompak dan suku – suku lain yang lebih besar jumlahnya tanpa
mengorbankan nilai – nilai adat kebiasaan dari raja – raja Melayu tersebut. Yang lebih
penting dalam karya ini juga menggambarkan pelopor – pelopor revolusi di Sumatera
Timur tersebut. Disamping The Blood Of The People Revolution And The End Of
Traditional Rule In Northern Sumatra yang diterjemahkan ini , Revolusi Nasional
Indonesia juga menjadi kerangka analisa utama saya dalam penulisan skripsi ini
disamping karya – karya pendukung lainnya.
Karya selanjutnya yang saya pakai adalah karya dari Tengku Luckman Sinar
dalam Sari Sejarah Serdang. Pada karya ini , saya merasa terbantu untuk mengerti akan
latarbelakang dan mengenai daerah – daerah yang masuk kedalam wilayah kerajaan
Serdang tersebut. Disamping Sari Sejarah Serdang ; Jati Diri Melayu juga saya pakai
karena dengan adanya karya ini saya lebih memahami akan budaya politik Melayu
yang kiranya membantu saya dalam memahami akan bangsawan Melayu Serdang.
Selanjutnya tulisan dalam Denyut Nadi Revolusi yang menguraikan disekitar Sumatera
Timur menjelang proklamasi dan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Izharry Agusjaya Moenzir dalam Tengku Nurdin : Bara Juang Nyala Di Dada ;
karya ini menguraikan bagaimana perjalanan hidup seorang bangsawan revolusioner
dari kehidupan dalam istana hingga terjun langsung kekancah pertempuran untuk
Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah cetakan ke – 2 oleh Sartono
Kartodirdjo ; alasan saya memilih bahan literatur ini oleh karena saya untuk
memahami penulisan skripsi ini membutuhkan salah satu pegangan metodologis dalam
hal mempertanggungjawabkan secara ilmiah dari kajian yang saya teliti. Dalam karya
ini banyak hal yang dapat saya ambil untuk lebih memperkuat landasan kajian yang
saya teliti seperti untuk konsep dan perspektif sejarah ( Teori dan Metodologi Sejarah )
serta pengertian pendekatan – pendakatan yang dilakukan ilmu sejarah terhadap ilmu –
ilmu sosial lainnya.
Selain karya dari Sartono ; saya juga menggunakan bahan – bahan literatur lain
untuk metode dari penulisan sejarah. Karya yang saya anggap sangat membantu juga
adalah karya – karya sejarah yang di sunting dari beberapa makalah yang digabungkan
kedalam satu karya seperti Pemahaman Sejarah Indonesia : Sebelum dan Sesudah
Revolusi oleh William H. Frederick dan Soeri Soeroto. Dalam karya ini yang dapat
saya ambil sebagai penambah untuk mengarahkan saya kiranya menuju kearah
kesempurnaan dalam pengkajian dari permasalahan yang saya teliti ; seperti , empat
unsur dalam pemikiran sejarah yang merupakan proses untuk dapat memahami masa
lampau yang umum diakui di dunia masa kini sebagai sesuatu yang tidak dapat
dihindarkan. Selain unsur pemikiran sejarah hal – hal yang saya ambil dalam karya ini
adalah landasan utama daripada metode sejarah ; bagian ini menerangkan
bagaimanakah seorang historiograf dalam menangani bukti – bukti yang diyakini
sebagai sesuatu dari bukti sejarah kemudian setelah didapat bukti – bukti tersebut
Abdul Latiff Abu Bakar dalam Melaka dan Arus Gerak Kebangsaan Malaysia
dalam karya ini ada diungkapkan mengenai budaya politik Melayu ; untuk memahami
akan budaya Melayu maka sangat tetaptlah kiranya saya memakai tulisan Abdul Latiff
Abu Bakar ini.
Tim Pengumpulan , Penelitian , dan Penulisan Sejarah Perkembangan
Pemerintahan DATI I Sumatera Utara dalam Draf Sejarah Perkembangan
Pemerintahan propinsi Sumatera Utara , 1945 – 1950. Karya ini menguraikan
mengenai hal – hal Sumatera Utara dalam revolusi Indonesia.
Karl J. Pelzer dalam Planter And Peasant , Colonial Policy And The Agrarian
Strunggle In East Sumatera ( 1863 - 1947 ) atau Toen Keboen Dan Petani : Politik
Kolonial Dan Perjuangan Agraria Di Sumatera Timur , 1863 – 1947 yang
diterjemahkan oleh J. Rumbo. Pada karya ini secara luas meguraikan kehidupan kaum
bangsawan setelah kedatangan bangsa asing yang secara tidak langsung
memperkenalkan keberadaan Sumatera timur tersebut.
Selanjutnya tulisan dari Indera dalam Peranan Deli Spoorweg Maatchappij
Sebagai Alat Transportasi Perkebunan Di Sumatera Timur , 1883 – 1940 dalam Buletin
Historisme edisi No. 9 bulan Januari ditahun 1998. Dalam tulisan ini diuraikan
bagaimana suatu perusahaan perkebunan dapat membuka kota seperti kota Medan ,
Binjai , Tebing Tinggi , dan lain – lain. Disamping karya Peranan Deli Spoorweg
Maatchappij Sebagai Alat Transportasi Perkebunan Di Sumatera Timur , 1883 – 1940
didalam buletin yang sama di edisi No. 11 pada bulan Januari ditahun 1999 dengan
ditemukannya tanaman tembakau yang berkualitas sangat membantu Sumatera Timur
dalam pemasukan devisa ke kas dibanyak negara di Sumatera timur.
George Mc Turnan Kahin dalam Nationalism And Revolution In Indonesia , atau
Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik : Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia
yang diterjemahkan oleh Nin Bakdi Soemanto. Dalam karya ini digambarkan
bagaimana awal – awal dari revolusi Indonesia sampai pengakuan kedaulatan Belanda
atas keberadaan Indonesia.
Panitia Konfrensi Internasional dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Karya ini
menguraikan bagaimana sebenarnya gerakan – gerakan revolusioner yang dilakukan
oleh rakyat dalam revolusi Indonesia yang mewabah diseluruh wilayah Indonesia.
Ben Anderson dalam Java In A Time Of Revolution Occuption And resistences ,
1944 – 1946 atau Revolusi Pemuda : Pendudukan Jepang dan Perlawanan Di Jawa ,
1944 – 1946 yang diterjemahkan oleh Jiman Rumbo. Dalam karya ini saya merasa
terbantu dalam memahami akan latarbelakang pemuda menjadi radikal. Karya ini juga
menguraikan bagaimana hubungan Tan Malaka melalui persatuan perjuangannya yang
dalam kenyataannya organisasi perjuangan ini dituduh sebagai otak dari tragedi tahun
1946 di Sumatera.
Biliver Singh dalam Dwifungsi ABRI : The Dual Function Of The Indonesian
Armed Forces , atau Dwifungsi ABRI : Asal – Usul , Aktualisasi dan Implikasinya
Bagi Stabilitas dan Pembangunan yang diterjemahkan oleh Robert Hariono Imam
dalam politik Indonesia di jaman revolusi , khsususnya kebijakan – kebijakan yang
dibuat oleh angkatan darat.
Ulf Sundhaussen dalam Road To Power : Indonesian Military Politics , 1945 –
1967 atau Politik Militer Indonesia : Menuju Dwifungsi ABRI yang diterjemahkan
oleh Hasan Basari. Dalam karya ini diuraikan bagaimana sebenarnya latarbelakang
terbentuknya militer Indonesia dan latarbelakang prajurit dan perwiranya menurut
suku , agama , dan latarbelakang didikan militer yang mereka dapatkan tersebut serta
perkembangan militer itu sendiri.
Ralf Dahrendorf dalam Class and Class Conflik In Industrial Societiey yang
diterjemahkan oleh Ali Mandan dalam Konflik dan Konflik dalam Masyarakat
Industri : Sebuah Analisa Kritik. Pada karya ini saya merasa terbantu untuk mengerti
akan doktrin – doktrin Marxian dilihat dari sudut perubahan historis dan wawasan
sosiologis ; strukstur sosial dan perubahan – perubahan sosial , perubahan sosial dan
pertentangan kelas , pertentangan kelas dan revolusi , pemilikan dan kelas sosial ;
kepentingan kelompok , kelompok – kelompok yang bertentangan , struktur wewenang
negara , peran birokrasi , wewenang politik , dan kelas penguasa.
S.N Eisenstadt dalam Revolution and The Transformation of Societies , yang
diterjemahkan oleh Chandra Johan dalam Revolusi dan Transformasi Dalam
Masyarakat. Pada karya ini saya merasa terbantu untuk mengerti akan sebab musabab
terjadinya revolusi atau perubahan yang revolusioner dengan mengemukakan kerangka
kerja studi perbandingan peradapan. Karya ini di samping memberikan pandangan
terjadinya perubahan di dalam peradapan – peradapan besar. Bertumpu pada ajakan itu
, Eisenstadt menarik kesimpulan bahwa perubahan revolusioner cendrung mengambil
tempat pada negara – negara kerajaan feodal dan feodal kerajaan.
Tan Malaka dalam Dari Penjara Ke Penjara pada Jilid 1 , menguraikan bagaimana
sebenarnya kehidupan seorang yang berasal dari bangsawan Minangkabau tertarik
akan marxisme. Disamping karya Dari Penjara Ke Penjara pada Jilid 1 , saya juga
memakai karya Tan Malaka yang lain yaitu Madilog. Dalam Madilog ini diuraikan
bagaimana sebenarnya Tan Malaka dalam memahami marxisme dan dia melihat bahwa
marxis “internasional” yang kiranya tidak cocok dengan alam Indonesia. Dalam karya
ini Tan Malaka mengatakan bahwa “komunis Indonesia sudah tumbuh dari jaman
Indonesia kuno dengan gotong – royong sebagai ciri khas utamanaya”. Dalam
pengertian perjuangan kelas Tan Malaka menguraikan sebagai berikut : “pergerakan
revolusioner Indonesia bertumpu pada kerjasama antara semua kelompok atau
golongan yang mempunyai kepentingan bersama untuk mengalahkan musuh – musuh
dari kelompok penentang”.
Notosoetardjo dalam Dokumen – Dokumen Konfrensi Meja Bundar : Sebelum ,
Sesudah dan Pembubarannya. Dalam karya ini dapat dilihat gambaran bagaimana
sebenarnya kebijakan yang diambil untuk politik nasional ditahun 1946 – 1947 baik itu
untuk muatan dalam negeri sendiri maupun untuk kebijakan luar negeri ( perjanjian
dengan Belanda ).
Adnan Buyung Nasution dalam The Aspiration For Constitutional Government In
Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia : Studi Sosio – Legal Atas
Konstituante , 1956 - 1959 yang diterjemahkan oleh Sylvia Tiwon. Dalam karya ini
yang dapat saya ambil sebagai bahan pengkajian saya ialah bahwa karya ini
menguraikan mengenai latarbelakang proses ketatanegaraan Indoensia beserta pelaku –
pelaku sejarah yang sangat berperan dalam menyusun ketatanegraan ini. Dalam karya
ini juga diungkapkan bagaimana militer ( angkatan darat ) dengan mitra sipilnya
menyususun undang – undang dasar yang akan diberlakukan untuk seluruh wilayah
Indonesia ini.
Seketariat Negara Republik Indonesia dalam 30 Tahun Indonesia Merdeka , dalam
karya ini yang kiranya relevan sebagai bahan yang mendukung pengkajian saya ini
ialah mengenai campur tangan militer ( angkatan darat ) dalam kebijakan – kebijakan
dari politik nasional yang dibuat oleh mitra sipilnya.
Sudijono Sastoadmodjo dalam Perilaku Politik , dalam karya ini yang dapat saya
ambil sebagai salah satu bahan dari pengkajian ini ialah mengenai budaya politik
Indonesia menurut Lucian Pye yang dikutip dalam karya ini ; disamping itu karya ini
lebih membantu saya dalam memahami akan budaya politik para elit.
Jon Elster dalam An Introductions To Karl Marx atau Marxisme : Analisis Kritis
yang diterjemahkan oleh Sudarmaji. Pada karya ini saya merasa terbantu untuk
memahami apa sebenarnya marxisme itu. Samakah marxisme yang diterapkan oleh
dunia internasional dengan marxisme yang diterapkan oleh para revolusioner di
wacana penggerak revolusi Indonesia dan bukan sebagai ideologi yang dilaksanakan
untuk selamanya.
Fransz Magnis Suseno dalam Etika Jawa : Sebuah Analisa Filsafi Tentang
Kebijakan Hidup Jawa , dalam karya ini yang saya ambil hanya untuk sebagai studi
banding mengenai antara pemahaman kekuasaan menurut Jawa dengan pandangan
kekuasaan menurut paham Melayu dan dalam karya ini juga ada ditampilkan
pemahaman kekuasaan menurut Barat.
Karya dari Muhammad Abduh dan kawan – kawan dalam Pengantar Sosiologi.
Dalam karya ini dijelaskan bagaimana peranan sosiologi dalam menganalisa
masyarakat secara umum maupun secara khusus.
Yang terahir karya dari Gorys Keraf dalam Komposisi. Pada karya ini , penulis
merasa terbantu untuk mengerti akan cara – cara mengutip , cara membuat catatan kaki
, penerapan catatan kaki dan singkatan serta penyusunan bibliografi.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Revolusi seperti dinyatakan oleh Jalaluddin Rakhmat merupakan manifestasi
perubahan sosial yang paling spektakuler. Revolusi mengengarai fundamental dalam
sejarah , membentuk masyarakat kembali dari dalam dan merancang lagi bangsa.
Revolusi tidak membiarkan apapun seperti sebelumnya ; revolusi menutup satu jaman
dan membuka jaman baru.4 Oleh karena pengetahuan tentang revolusi sangat berguna
4Rakhmat.Rekayasa Sosial : Reformasi , Revousi atau ManusiaBesar (rev . ed. ; Bandung : PT
untuk kajian sejarah , maka tujuan saya dalam mengkaji akan peristiwa sejarah ini
ialah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah sebenarnya bangsawan Melayu Serdang
dalam memahami revolusi Indonesia di Sumatera Timur itu dari
keanekaragaman dan pertumbuhannya yang dinamis serta subur tersebut.
2. Ingin mengetahui seperti apa bentuk / tampilan yang digunakan bangsawan
Melayu Serdang dalam revolusi Indonesia di Sumatera Timur itu.
Oleh karena pengetahuan tentang revolusi juga merupakan sebagai suatu kajian
sejarah yang sampai dengan sekarang ini banyak diminati dan dikaji oleh para
sejarahwan baik internasional maupun serajahwan nasional itu sendiri ; maka saya
berkeyakinan bahwa kajian revolusi ini kiranya bermanfaat untuk :
1. Sebagai salah satu kajian untuk bahan evaluasi sejarah politik dalam artian
memperbanyak kajian sejarah yang berwawasan muatan lokal ;
2. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat menambah pengetahuan orang –
orang Melayu akan sejarahnya.
1.5 Metodologi Penelitian
Ilmu sejarah seperti ilmu – ilmu lainnya mempunyai unsur yang merupakan alat
untuk mengorganisasi seluruh tubuh pengetahuannya serta merekontruksi pikiran ,
yaitu metode sejarah. Kalau metode berkaitan dengan masalah “bagaimana orang
“mengetahui bagaimana harus mengetahui” ( to know how to know ). Secara implisit
metodologi mengandung unsur teori.5
Dalam metode sejarah terdapat empat unsur pemikiran sejarah yang merupakan
proses untuk memahami masa lampau ; diakui umum di dunia masa kini sebagai
sesuatu yang tidak dapat dihindarkan yaitu waktu , fakta ( bisa juga kenyataan ) ,
tekanan pada sebab – musabab , dan tidak lagi membatasi wilayah penyelidikan. Ada
sebuah pernyataan yang baik memberikan indikasi dalam persoalan ini :
“Dalam metode sejarah ini terdapat empat unsur pemikiran sejarah yang merupakan proses untuk memahami masa lampau ; diakui umum di dunia masa kini sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Yang paling penting ialah pengertian waktu ( barangkali harus mengatakan waktu ) sebagai sesuatu yang langgeng dan berurutan. Para ahli sejarah kontemporer memandang waktu dan berlalunya waktu dengan kecepatan yang teratur dan yang dapat diukur , sebagai pangkal pemikiran sejarah oleh karena waktu dan ciri - ciri khasnya itu dapat diuraikan sebagai sesuatu yang mutlak dalam sejarah. Kejadian hanya terjadi satu kali dan satu atau dua kejadian hanya dapat mempunyai satu kaitan dalam waktu. Apa lagi , waktu juga merupakan suatu segi masa lampau yang dapat kita ukur secara tepat. Seorang sejarahwan moderen haruslah dapat mengerti secermat mungkin kapan kejadian itu terjadi dan apa kaitannya dengan kejadian yang lain dalam waktu yang bersamaan atau berurutan. Dalam ukuran yang lebih besar atau lebih kecil “kerangka besi” ini membentuk segala segi yang menyangkut tafsiran modern tentang masa lampau. Inilah perbedaan yang antara pandangan moderen yang pengamatan pra atau non – moderen. Unsur selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh sejarahwan modren ialah kesadaran akan sifat dasar fakta – fakta ; yaitu kerumitannya. Dalam bahasa umum kata fakta ( “fact” ) atau bisa juga : kenyataan , mengandung kepastian yang diterima begitu saja. Tapi ahli sejarah moderen sadar akan “kelicinan” fakta. Yang paling sederhana sekalipun merupakan “fakta” , umpamanya ;bahwa sebatang potlot dilihat dari satu sudut pandangan tanpak panjang dan tipis. Tapi bilamana kita putar potlot itu sehingga kita lihat dari ujung ke ujung ternyata bentuknya berlainan sama sekali. Kita pun bisa “tergoda” untuk mengatakan suatu pernyataan yang mencakup berbagai “fakta”. misalnya orang tua Soekarno adalah guru sekolah yang miskin dengan penghasilan hanya sekian rupiah sebulan. Fakta – fakta itu dapat digunakan untuk memperoleh kesimpulan yang menyesatkan bila kita tidak menegaskan bahwa penghasilan yang sekian rupiah itu serta status pekerjaan seorang guru sekolah , menempatkan keluarga Soekarno dalam golongan masyarakat teratas yang berjumlah 2 – 3 persen pada waktu itu. Singkatnya , fakta tidak atau jarang
sekali merupakan bahan keterangan yang abstrak dan mutlak. Fakta itu harus dilihat dari berbagai sudut sebanyak mungkin , serta diperlakukan dengan berhati – hati sekali. Segi lainnya dari fakta yang seharusnya diperhatikan oleh sejarahwan secara khusus ; bahwa yang disebut “fakta” atau “data” murni harus ditanggapi dengan penuh perhatian , sama seperti halnya dengan. Unsur ketiga yang merupakan ciri khas pemikiran sejarah moderen ialah tekanan pada sebab – musabab. Para ahli sejarah masa kini ingin mengetahui sejelas – jelasnya bukan saja kapan suatu kejadian itu terjadi , apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bagaimana terjadinya , tetapi juga mengapa. Di sini , masalah yang dihadapi memang tidak sekongkrit masalah waktu atau fakta. Meskipun demikian pemecahannya tidak dapat dilakukan secara serampangan. Sejarah moderan mempunyai metode untuk membimbing penyelidikan dan mempertimbangkan buktinya. Penggunaan metode ini dinyatakan dengan dua pendekatan terhadap pernyataan tentang sebab – musabab dalam sejarah. Pertama : ada perbedaan antara “hubungan” dan “sebab”. Bisa saja ada hubungan ( dalam waktu ) ; tetapi tanpa bukti tambahan , maka penulis tidak dapat mengusulkan bahwa antara kedua kejadian itu ada kaitan penyebabnya. Kedua : para ahli sejarah masa kini menerima pendapat bahwa pada umumnya kejadian – kejadian mempunyai banyak penyebab ; bukan hanya satu. Penyebab – penyebab itu dapat disusun sedemikian rupa sehingga terlihat bagaimana sesungguhnya mereka saling mempengaruhi. Akhirnya ; sejarah dewasa ini , tidak lagi membatasi wilayah penyelidikannya. Pada hakekatnya , setiap topik yang dapat dibayangkan manusia dapat dilihat dari sudut sejarah. Semakin banyak ahli sejarah mengkhususkan diri dalam bidang yang mungkin kedengarannya sempit dan aneh , sebagai contoh ; kebudayaan popular – termasuk nyanyian – nyanyian rakyat dan film. Untuk selanjutnya terpulang kepada penulis untuk mewujudkan apa sebenarnya arti dari topik semacam itu”6
Sebagai permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah dapat disebut
masalah pendekatan. Penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat tergantung
pada pendekatan ; ialah dari segi mana kita memandangnya , dimensi mana yang
diperhatikan , unsur - unsur mana yang diungkapkan , dan lain sebagainya. Hasil
pelukisan akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai. Dalam
menghadapi gejala historis yang serba kompleks , setiap penggambaran atau deskripsi
menuntut adanya pendekatan yang memungkinkan penyaringan data yang diperlukan.
6Frederick , Soeri Soeroto.Pemahaman Sejarah Indonesia : Sebelum dan Sesudah Revolusi
Suatu seleksi akan dipermudah dengan adanya konsep - konsep yang berfungsi sebagai
kriteria.7
Secara sederhana untuk merekontruksi peristiwa yang saya teliti ini dilakukan
dalam beberapa langkah ; yaitu : heuristik , kritik , interprestasi , dan historiografi.
Pada tahap heruistik ; penelusuran dan pengumpulan bahan data saya lakukan
dengan melalui teknik quota sampling. Dalam teknik ini jumlah populasi tidak saya
perhitungkan , akan tetapi dilkasifikasikan dalam beberapa kelompok. Sampel diambil
dengan memberikan jatah atau quotum tertentu pada setiap kelompok yang seolah –
olah berkedudukan masing – masing sebagai sub populasi. Pengumpulan data
dilakukan langsung pada unit sampling yang saya temui. Setelah jumlahnya
diperkirakan oleh saya mencukupi , pengumpulan data dihentikan. Bahan – bahan
yang digunakan adalah bahan – bahan yang berhasil saya kumpulkan melalui sumber –
sumber tertulis ; dalam hal pengumpulan sumber – sumber tertulis ini saya
menekankan pada penggunaan studi pustaka atau library research sebagai
pengumpulan sumber utama sejarah yang saya kaji ditambah dengan hasil wawancara
dengan beberapa tokoh yang terlibat baik secara langsung maupun tokoh – tokoh yang
terlibat secara tidak langsung pada peristiwa sejarah tersebut.
Adapun tokoh – tokoh yang saya wawancarai itu adalah sebagai berikut :
1. Bapak Tengku Luckman Sinar , SH. Bapak ini merupakan salah seorang anak
dari almarhum Sultan Serdang. Sekarang bapak ini berkedudukan sebagai
Seketaris dari Dewan Kesultanan Serdang. Bapak ini berumur kira – kira 68
Tahun dan sekarang tinggal di Jalan Abdulla Lubis No. 42 / 47 Medan.
2. Bapak Tengku Syahrial. Bapak ini juga merupakan salah seorang anak dari
almarhum Sultan Serdang. Pada masa revolusi Indonesia , bapak ini
menggabungkan diri kedalam TRI dan juga sebagai Seketaris dari Jenderal
Timur Pane. Bapak ini berumur kira – kira 80 Tahun dan sekarang beralamat
di Jalan Kalimantan III No. 18 B Kompleks Perumahan Pelabuhan , km 20
Belawan.
3. Bapak Tengku Syahrul. Bapak ini merupakan salah seorang bangsawan
Melayu Langkat. Sewaktu revolusi Indonesia terjadi bapak ini masih berumur
kira – kira 5 tahun dan masih mengingat kejadian – kejadian diseputar revolusi
Indonesia di Langkat. Bapak ini berumur kira – kira 61 tahun dan sekarang
beralamat di Jalan Fatahila No.12 Selesai.
4. Bapak Tengku Muhammad Abra. Bapak ini merupakan salah seorang
bangsawan Melayu Deli. Sewaktu revolusi Indonesia terjadi bapak ini masih
berumur kira – kira 5 tahun dan masih mengingat kejadian – kejadian
diseputar revolusi Indonesia di Deli ; dimana pada waktu revolusi sosial 1946
istana Maimun diserang oleh kelompok sipil bersenjata yang anti – feodal.
Bapak ini berumur kira – kira 60 tahun dan sekarang beralamat di Jalan
Lampu Kompleks Rispa No.15 Medan.
Dari jawaban – jawaban informan atas dasar pengalaman dan pendapat mereka
bagaimanakah sebenarnya bangsawan Melayu Serdang dalam memahami revolusi
Indonesia di Sumatera Timur itu dari keanekaragaman dan pertumbuhannya yang
dinamis serta subur tersebut dan mengenai seperti apa bentuk / tampilan yang
digunakan bangsawan Melayu Serdang dalam revolusi Indonesia di Sumatera Timur
itu. Pada tahap ini saya telah melakukan penelitian terhadap bahan - bahan koleksi dari
bapak Tengku Lukcman Sinar , SH , buku – buku koleksi dari perpustakaan USU ,
buku – buku koleksi pribadi dari milik Mahardi , dan buku – buku koleksi saya
pribadi. Tindakan yang saya lakukan ini sesuai dengan tahapan kedua dari metode
sejarah yakni merekonstruksi peristiwa ini dengan mengadakan kritikan terhadap
sumber – sumber data yang telah saya kumpulkan dan yang kemudian berdasarkan
kebutuhan objek peneltian selanjutnya saya seleksi.
Setelah sumber – sumber data yang terseleksi ini ; maka tindakan selanjutnya yang
saya lakukan ialah mengadakan interprestasi terhadap sumber – sumber data tersebut
untuk menemukan struktur logis dengan kebutuhan akan sumber – sumber data yang
mendukung peristiwa ini sehingga mempunyai makna.
Akhirnya dengan kombinasi langkah – langkah yang sebelumnya saya lakukan ;
maka barulah saya ketengah tulisan ini ke khalayak pembaca melalui suatu bentuk
BAB II
GAMBARAN UMUM SUMATERA TIMUR
2.1 Sejarah Dan Latar Belakang Sumatera Timur
Dalam permulaan abad ke - 19 negara - negara yang ada diantara Tamiang dan
Barumun Panai mengakui sultan Siak sebagai raja. Tidak satupun dari negara - negara
pantai timur ini pernah menarik perhatian yang serius bagi negara - negara Eropa
sebelum tahun 1820. Penduduk pribumi Melayu dan Batak yang hidup berserak
-serakan dibelahan Sumatera Timur ini dianggap seperti tidak ada dimata kaum
kapitalis Eropa tersebut.
Inggrislah yang pertama kali menunjukan perhatian yang sungguh - sungguh
terhadap Sumatera Timur tersebut. Bagian Sumatera yang sampai saat itu tidak
diacuhkan mulai menjadi penting pada awal tahun 1800 sebagai pasar bagi barang
-barang ekspor Penang maupun impor terutama ladanya.1 Di Sumatera Timur
masyarakatnya masih tergolong “homogen” interaksi sosial yang terjadi hanya bersifat
“bilateral” antara suku Melayu dengan suku Karo yang sangat penting tersebut.
Interaksi sosial di negeri ini hanya berlangsung atas kedua kelompok tersebut dengan
berbagai variabel - variabel interaksi seperti antara golongan kaum elit dengan
golongan rakyat kebanyakan antara golongan terpelajar dengan golongan agama.
1Karl J. Pelzer. Planter And Peasant , Colonial Policy AndTheAgrarian Strunggle In East
Dalam segala kemungkinan yang ada tidaklah ada daerah tropik yang mengalami
pertumbuhan perkerbunan secepat atau mencapai kemakmuran sesubur Sumatera
Timur walaupun dalam taraf - taraf perkebunan tradisional. Sebelum kedatangan kaum
kapitalis di Sumatera Timur ; perbedaan yang terjadi antara golongan atas dengan
golongan bawah tidak begitu mencolok. Kehidupan penduduk begitu sangat sederhana.
Ciri khas pejabat yang ada di Sumatera Timur adalah bahwa ia tinggal dalam sebuah
rumah yang dalam tata bentuk maupun bahan bangunannya sangat serupa dengan
rumah - rumah rakyat biasa ; sebuah rumah yang rangka dan dindingnya berbahan
kayu dan papan beratapkan sirip - sirip nipah ; hanya sedikit lebih besar dari rumah
rakyat.
Tetapi setelah datangnya kaum kapitalis dengan tiba – tiba penguasa Sumatera
Timur mampu membangun tempat – tempat kediaman yang luas dan istana – istana
yang besar. Tidak hanya sebatas ini saja dampak kedatangan kaum kapitalis tersebut
adalah Jacobus Nienhuys yang membawa suatu kemajuan dan kelak dimasa yang akan
datang juga membawa bencana bagi Sumatera Timur ini seorang yang dikirim dari
negeri Belanda untuk mengembangkan penanaman tembakau di Jawa , mendarat di
pinggir sungai Deli tanpa menyadari bahwa tanah yang diinjaknya tersebut sangat
subur tiada duanya dan sangat cocok untuk pengembangan industri perkebunan ;
terutama untuk penanaman tembakau gulung. Begitu diketahui betapa besarnya nilai
tembakau gulung yang ditanam di tanah Deli dan wilayah Langkat yang bertentangga ;
berkerumunlah para pengusaha – pengusaha kaum kapitalis pencari untung tersebut
tanpa memperdulikan kesejahteraan rakyat mereka dengan sangat senang memberikan
konsensi – konsensi tanah kepada pendatang. Mula – mula untuk masa 90 tahun dan
kemudian untuk masa 75 tahun. Dalam suatu ekspansi yang drastis , jumlah
onderneming tembakau bertambah dari 22 dalam tahun 1872 menjadi 49 dalam tahun
1880 ; menjadi 148 dalam tahun 1888.
Berbagai keuntungan yang diperoleh dari hasil kesuburan tanah di Sumatera Timur
yang pada ab saya ad ke- 20 dikenal sebagai “tanah dolar”. Sebutan ini erat kaitannya
dengan derasnya keuntungan yang mengalir dari hasil onderneming yang melimpah
ruah. Dari hasil ini juga berbagai dampak baik positif maupun negatif yang dapat
dihasilkannya. Secara positif dengan adanya onderneming itu maka terdapat berbagai
pembangunan yang dihasilkannya ; seperti pembangunan jaringan kereta api ,
kemajuan alat transportasi serta komunikasi yang akan membuka wilayah dan
kesempatan produksi petani ke pasar dunia. Disamping itu juga munculnya kota – kota
perdagangan seperti Medan , Tebing Tinggi , Lubuk Pakam , Binjai , dan sebagainya.2
Disamping adanya dampak positif ada juga dampak negatifnya seperti diantaranya
terjadinya pengambilan tanah rakyat dengan program memajukan konsensi – konsensi
tanah yang sampai puluhan tahun ; hilangnya / pudarnya batas antara rakyat penunggu
tanah ulayat ( tanah adat ) dengan pendatang yang mendapatkan tanah melalui grant
sultan maupun grant – grant yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang
mengakibatkan ketidakjelasan akan hak pakai atau menjadi hak milik tanah bagi para
2Indera. “Peranan Deli Spoorweg Maatchappij Sebagai Alat Transportasi Perkebunan Di
pendatang di Sumatera Timur tersebut. Disamping itu diterapkannya poenale sanctie
sebagai peraturan pekerja yang lebih banyak bersifat menguntungkan tuan – tuan
kebun daripada para pekerja yang mengolah kebun – kebun tersebut.3 Seperti
ungkapan Tan Malaka yang menggambarkan suasana setelah masuknya kaum kapitalis
di onderneming – onderneming Sumatera Timur tersebut sebagai berikut ;
“Gouland , tanah emas , surga buat kaum kapitalis. Tetapi tanah keringat air mata mau , neraka buat kaum ploretar . . . Disana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga , serta antara penjajah dan terjajah”4
2.2 Keadaan Geografis
Dibatasi oleh Aceh di barat laut , Tapanuli di barat daya , Bengkalis di tenggara
dan Selat Malaka di timur laut , luas Sumatera Timur dewasa ini meliputi 31.715
kilometer persegi atau 6,7 % dari seluruh daerah Sumatera.
Sumatera Timur membentang mulai dari titik batas di puncak – puncak barisan
bukit ( yang dulu disebut Wilhelmina Gebergte ) dan juga barisan bukit Simanuk –
manuk dan dari sana berangsur – angsur menurun , menyentuh pantai timur Danau
Toba , terus kedaratan – daratan rendah dan rawa – rawa pantai sepanjang Selat
Malaka. Dua barisan bukit itu adalah bagian dari sistem Bukit Barisan yang
membentang dari Banda Aceh di utara sampai Tanjung Cina di Selat Sunda di selatan ,
membagi Sumatera dalam keseluruhan panjangnya dengan 1.650 kilometer. Dilihat
dari titik tengah yang terletak lebih dekat ke pantai barat daripada ke pantai timur
3Lihat juga , Indera. “Perkebunan Tembakau Deli , 1863 – 1891” , Buletin Historisme , 11
( Januari , 1999 ) , hal. 45.
pulau Sumatera , sistem Bukit Barisan itu mengarah dari barat laut ke tenggara ,
begitupun arah letak pulau itu secara keseluruhan. Kenyataan ini diabaikan dalam
pemakaian istilah – istilah umum utara – selatan – barat – timur terhadap pulau itu.5
2.3 Kependudukan
Peta – peta bahasa suku Sumatera memperlihatkan suatu jalur lebar tentang
penduduk yang berbahasa Melayu mulai dari Aceh sampai Asahan dengan
memisahkan Batak Karo dan Batak Simalungun dari perairan Selat Malaka. Akan
tetapi pada waktu kunjungan Anderson , daerah pemukiman Batak Karo dan Batak
Simalungun lebih mendekat ke pantai membuat jalur Melayu itu menjadi lebih sempit
daripada yang dilukiskan pada peta – peta bahasa yang moderen. Anderson
menemukan bahwa hanya kampung – kampung pada bagian sungai – sungai yang
lebih kehilir itulah yang dihuni oleh masyarakat Islam yang berbahsa Melayu.
Penduduk di situ keturunan para imigran Melayu dari Jambi , Palembang , dan
Semenanjung Malaya , dan juga beberapa keturunan Minangkabau , Bugis , dan Jawa
yang telah menetap disepanjang pantai. Tidak jauh dari garis pantai , jalaur berbahasa
Melayu ini berbatasan dengan tempat – tempat pemukiman suku Batak sehingga pada
hakekatnya sebagian penduduk Sumatera Timur terdiri dari orang Batak. Mungkin
sekali dimasa lampau suku Batak Karo menghuni pantai Langkat , Deli , dan Serdang ;
sementara orang Batak Simalungun di pantai Batu Bara. Mereka seperti juga suku
Batak Toba masih menduduki pantai antara sungai – sungai Asahan dan Barumun
tetapi berangsur – angsur terdesak atau telah berbaur dengan unsur pendatang Melayu.
Anderson melihat berlangsungnya perkawinan campuran antara orang Melayu dan
wanita Batak di Langkat dan Deli. Kepala – kepala suku Melayu Batu Bara mengawini
putri – putri kepala – kepala suku Batak Simalungun untuk memperoleh hak – hak
istimewa berdagang dan untuk menjamin keselamatan pribadi di daerah Batak.
Menurut tambo , pendiri keluarga penguasa Deli adalah seorang Islam India yang
bekerja untuk Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Orang India ini datang ke Deli tahun
1630 ketika daerah ini dibawah kekuasaan Aceh , dan ia mengawini putri kepala suku
Karo di Sunggal. Beberapa keturunannya kawin dengan putri – putri dari keluarga –
keluarga Karo terkemuka lainnya. Sultan yang terahir sering menceritakan dengan
bangga bahwa ia adalah separuh India dan separuh Batak Karo dan menghubungkan
lengan dan tangannya yang berbulu kepada leluhurnya dari India. Bekas keluarga –
keluarga penguasa Asahan dan Langkat konon adalah keturunan Batak Toba atau
Batak Karo tetapi telah masuk Islam sejak beberapa generasi. Kampung – kampung
Islam dewasa ini yang terletak di hulu tepi – tepi sungai Deli atau Belawan di dalam
jalur Melayu , pada waktu kedatangan Anderson berada diluar jalur Melayu itu dan
termasuk daerah Karo penyembah berhala sebagaimana terbukti dengan adanya babi –
babi di desa – desa itu. Orang Batak yang beralih masuk Islam segera mulai mengikuti
dan menganggap diri mereka sebagai orang – orang Melayu ; namun mereka tidak
pernah melupakan marga Bataknya.6
Untuk mengetahui mengenai jumlah penduduk di Sumatera Timur sampai dengan
10 Maret 1943 maka kiranya dapat dilihat dari data statistik terperinci yang dilengkapi
oleh Jepang pada akhir perang dengan jelas memperlihatkan jumlah penduduk
tersebut. Adapun jumlah penduduk Sumatera Timur ini dapat dilihat dalam tabel 1
sebagai berikut ini :
Tabel 1
Pembagian Suku - Suku Di Sumatera Timur Tahun 1930
Banyak % Jumlah %
Sumber : Anthony Reid dalam The Blood of the People : Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra ; atau Perjuangan Rakyat : Revolusi Dan Hancurnya Kerajaan Di Sumatera terjemahan Tim PSH , hal. 85.
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah suku terbanyak di Sumatera Timur di
tahun 1930 didominasi oleh suku pendatang ( suku Jawa ) sekitar 589.836 jiwa dari
1.685.873 jiwa atau 35 % dari penduduk Sumatera Timur dan penduduk Melayu
sebagai penduduk asli hanya menempati posisi kedua setelah penduduk suku Jawa ,
yaitu sekitar 334.870 jiwa dari 1.685.873 jiwa atau 19,9 % dari jumlah keseluruhan
penduduk Sumatera Timur.
Sedangkan menurut data – data dari Jepang sampai dengan 10 Maret 1943
kepadatan penduduk di Sumatera Timur per km2 dari daerah – daerah yang berada
dalam kawasan wilayah Sumatera Timur penduduk yang terpadat terdapat di kota
Medan dengan rata – rata per km2 7.240,0 % dari rata – rata kepadatan penduduk per
Tabel 2
Sumber : Karl J. Pelzer dalam Planter and Peasant : Colonial policy and the agrarian strunggle in East Sumatera 1863 – 1947 ; atau Toean Keboen Dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863 – 1947 terjemahan J. Rumbo , hal. 156
Disamping jumlah kepadatan rata – rata penduduk per penduduk Sumatera Timur
berdasarkan daerah , penulis juga menampilkan jumlah penduduk berdasarkan dari
golongan suku – suku besar yang ada di Sumatera Timur. Adapun penduduk tersebut
dapat dilihat dalam tabel 3 sebagai berikut ini :
TABEL 3
PENDUDUK SUMATERA TIMUR DARI GOLONGAN – GOLONGAN SUKU BESAR
Golongan Suku 1930 1943 Persen
Berdasarkan tabel 3 dapat kiranya diketahui bahwa sebagian besar dari penduduk
yang mayoritas di Sumatera Timur ini sampai dengan tahun 1943 ditempati oleh suku
Jawa dengan 850.000 jiwa , dan menyusul suku Batak yang menempati posisi kedua
terbanyak dengan jumlah penduduk dari suku ini sebesar 470.000 jiwa ; sedangkan
suku Melayu hanya menempati posisi ke keempat ( 60.000 jiwa ) setelah penduduk
BAB III
KELAHIRAN DAN EVOLUSI
BANGSAWAN MELAYU SERDANG
3.1
Suksesi Di Kerajaan Deli Sebagai Embrio Dari Bangsawan
Serdang Tahun 1720
Berdirinya kerajaan Serdang diawali dari perang suksesi dalam perebutan tahta di
Deli disekitar tahun 1820. Perang suksesi ini merupakan sebagai embrio terbentuknya
bangsawan Melayu Serdang sekaligus telah mewujudkan kerajaan Serdang. Namun
kerajaan yang didirikan oleh permaisuri Tengku Puan Sampali bersama putranya
Tengku Umar Johan Pahlawan Alamsyah dan adiknya Tengku Tarwar serta mendapat
bantuan dari Datuk Sunggal dan Datuk Tanjung Morawa marga Saragih Dasalah itu
bukanlah merupakan tujuan semata – mata , melainkan hanyalah alat untuk mencapai
cita – cita bangsa dan tujuan negara yakni membentuk masyarakat adil dan makmur
berdasarkan raja adil raja disembah raja zalim raja disanggah.
Kerajaan Serdang merupakan perkawinan antara kerajaan Perbaungan asal
Minangkabau , Denai 7 , Lubuk Pakam , Batang Kuis , Percut Sei Tuan sampai Selatan
, sampai kebatas Sungai Ular melalui Namu Rambe dari Hulu sampai ke pantai Selat
Malaka. 8
7Wawancara dengan Bapak Tengku Luckman Sinar , SH ; dirumah : JL. Abdulla Lubis No. 42 / 47
Medan , tanggal 31 Maret 2001.
8Luckman. Sari Sejarah Serdang ( Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , 1970 )
Adapun arti daripada suksesi 1720 itu dalam garis – garis besarnya ialah :
1. Lahirnya bangsawan Melayu Serdang ;
2. Puncak perjuangan Tengku Umar Johan Perkasa Alamsyah untuk
memperebutkan tahta kerajaan Deli namun gagal ;
3. Titik tolak untuk membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan raja adil
raja disembah raja jalim raja disanggah.
Semenjak suksesi 1720 itu sejarah bangsa Melayu Serdang merupakan daripada
suatu bangsa yang merdeka dan bernegara ; sejarah bangsa Melayu Serdang yang
menyusun pemerintahannya.
3.2 Bangsawan Serdang Dalam Kekuasaan Tradisional (
1723 – 1862 )
3.2.1 Raja Dalam Kerajaan
Jati diri Melayu umumnya mengajarkan kepada orang – orang Melayu akan adanya
siklus antara daulat dan derhaka. Secara simbolik jati diri ini diaktualisasikan dalam tiga
unsur mendasar yaitu Raja / Sultan , para pembesar dari berbagai hirarki , dan rakyat
yang menjadi wadah untuk menjunjung kedua unsur terdahulu. Ketiga unsur ini
bertalian erat diantara satu dengan lainnya. Bangsawan Serdang merupakan bagian dari
bangsawan Melayu. Seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam , berbahasa
Melayu sehari – harinya dan beristiadat Melayu. Dalam adat Melayu terdapat satu
ungkapapan yang dipedomani. Ungkapan ini ; “adat bersendi hukum syarak , syarak
bersendikan kitabullah”. Jadi orang Melayu itu adalah etnis secara kultural ( budaya )
kekeluargaan orang Melayu menganut sistem “parental” ( kedudukan pihak ibu dan
pihak bapak sama ). Pada awalnya ketika agama Islam mulai dikembangkan oleh orang
Melayu ( pedagang ) ke seantero Nusantara ; pengertian Melayu merupakan pengertian
suatu wadah orang Islam dalam menghadapi golongan non – Islam.9
Dalam kesadaran Barat kekuasaan merupakan gejala yang khas antarmanusia.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain , untuk
membuat mereka melakukan tindakan – tindakan yang kita kehendaki. Kekuasaan
pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang abstrak yang hanya menjadi kongkret dalam
sebab – sebab dan akibatnya. Kekuasaan terdiri dalam hubungan tertentu antara
orang – orang ataupun kelompok orang dimana salah satu pihak dapat memenangkan
kehendaknya terhadap yang satunya. Kekuasaan muncul dalam bentuk yang beraneka
ragam misalnya sebagai kekuasaan orang tua , karismatik , politik , fisik , finansial ,
inteletual , dan tergantung dari dasar empirisnya.10
Dalam paham Melayu kekuasaan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Sistem
kerajaan – kerajaan Melayu yang tumbuh di Sumatera Timur dan ada sejak kerajaan
Haru di Deli lenyap karena serangan Aceh pada 1539 M merupakan bersifat kerajaan
Islam Mazhab Syafii yang mengutamakan mufakat ( konsensus ) dalam pemerintahan
sehari – hari diantara Raja / Sultan yang dianggap sebagai “zilullah fi’l alam” bayang –
bayang Tuhan diatas dunia atau “kalifatullah fi’l ard” wakil Tuhan di dunia dengan
9Lihat juga , Tengku Luckman Sinar , SH. Jati Diri Melayu ( Medan : Lembaga Pembinaan dan
Pengembangan Budaya Melayu – MABMI , 1994 ) hal. 8 – 15.
10Magnis. Etika Jawa : Sebuah Analisa Filsafi Tentang Kebijakan Hidup Jawa ( rev . ed. ;
rakyat diwakili oleh para “Orang Besar” telah diciptakan ketika terjadi “kontrak
sosial” antara sang sapurba dengan demang lebar daun di Bukit Seguntang Maha Meru
seperti yang diceritakan oleh sejarah Melayu. Dalam “kontrak sosial” ini Raja / Sultan
( penguasa ) tidak boleh menghina dan memperkosa hak rakyat. Raja tidak akan
membuat keputusan tanpa mufakat dan persetujuan segenap Orang Besar. Taatnya
orang Melayu kepada Raja / Sultan yang dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia /
kepala pemerintahan Islam / kepala adat sejak dahulu sebelumnya terungkap dalam
pepatah “ada raja adat berdiri , tiada raja adat mati”. Oleh sebab itu Raja / Sultan
mempunyai “Daulat” selaku penguasa pemerintahan , penguasa Islam dikerajaannya ;
dan selaku kepala adat Melayu. Pemberontakan terhadap Raja / Sultan dianggap
merusak keseimbangan kosmos di alam tindakan mana disebut “Durhaka” , yang
hukumnya sangat berat sampai melibatkan keluarga dan harta benda pendurhaka itu.
Oleh sebab itu dapatlah kita lihat didalam sejarah kerajaan – kerajaan Melayu sebelum
penjajahan Barat untuk melenyapkan ketidakadilan rakyat memakai tiga cara :
1. Cara pertama : Memprotes sesuai pepatah “Raja adil Raja disembah , Raja
zalim Raja disanggah”. Pepatah ini memperlihatkan bahwa hak azasi manusia
sudah lama dipraktekan pada orang Melayu dibandingkan orang diluar
Melayu ;
2. Cara kedua ; sering kita lihat dengan meracuni raja itu hingga tewas ;
3. Cara ketiga ; rakyat yang merasa ditekan lalu berangkat pindah dengan
keluarganya ke kerajaan lain sehingga daulat raja itu jadi berkurang. Dalam
ibarat disambar garuda”. Dengan banyak keluar rakayatnya maka raja yang
zalim itu hilanglah pamornya ( daulatnya ) dan turunlah derarajat kerajaannya
menjadi miskin.5
Ketiga unsur ; Raja / Sultan , para pembesar dari berbagai hirarki , dan rakyat yang
menjadi wadah untuk menjunjung kedua unsur terdahulu itu merupakan semacam
matarantai yang tidak dapat dipisahkan. Siapa dan apa yang menaikan martabat
seorang raja atau sultan tidaklah terlepas dari rakyat walaupun sekecil apapun pengikut
dan rakyat yang mendaulati beginda dari kerajaan itu. Sebaliknya tentulah tidak akan
terwujud suatu sistem , peraturan , atau organisasi sesuatu kerajaan atau kesultanan ,
masyarakat yang teratur , tata cara hidup yang bernorma dan berbudaya seandainya
ketiadaan raja atau sultan yang didaulati sebagai unsur tertinggi dalam tata cara
berkerajaan dan berpemerintahan. Sebagai pemimpin sebuah masyarakat yang besar
dalam tradisi kemepimpinan Melayu – Islam ia perlu diakui sebagai khalifah di dunia.
Apabila merujuk kepada tradisi pribumi ; rakyat suatu kerajaan atau suatu
kesultanan dianggap sebagai tanah. Hanya unsur tanah saja yang boleh menumbuhkan
pohon. Dan apabila mengambil contoh tradisi kepemimpinan Parsi , raja diibaratkan
pohon dan rakyatnya diumpamakan sebagai akarnya. Hanya apakah ada akar barulah
pohonnya boleh tumbuh dan berkembang. Tanah yang segar , akar yang kuat tentu
dapat menghasilkan pohon yang subur dan baik. Perantaraan diantara raja atau sultan
dengan rakyatnya adalah pembesar. Para pembesar dari pelbagai hirarki melaksakan
fungsi – fungsi fiskal dalam melangsungkan kewibawaan dan berkuasanya seorang
raja atau sultan terhadap seluruh rakyatnya. Tidak mungkin kesemua tanggungjawab
itu dilakukan oleh raja atau sultan. Maka memang sangat diperlukanlah hal – hal yang
bersifat kompleks itu dibagi – bagikan ( pembagian kekuasaan ) kepada para pembesar
tersebut.
Seorang raja atau sultan mempunyai tugas pertama – tama ia harus mengangkat
bendahara , kedua ia juga mengangkat tumenggung , tugas yang ketiga seorang raja
atau sultan yang bijaksana juga harus melakukan pengangkatan terhadap syahbandar.
Demikianlah , betapa raja atau sultan dan pembesar saling perlu memerlukan ibarat api
dengan kayu tidak akan mungkin menyala api apabila tanpa adanya kayu. Maka
wajarlah apabila raja atau sultan , pembesar , dan rakyat menjadi dasar dalam
pandangan hidup perpolitikan Melayu dalam membentuk sebuah kerajaan dengan
berbagai keragaman institusinya. Selanjutnya apabila dikaitkan seorang raja atau sultan
yang berwibawa serta yang pemegang kekuasaan tertinggi dalam institusi kerajaan
yang memakai gelar sultan tersebut maka wujud dari kerajaan itu berwujud kesultanan.
Instutusi inilah yang menjadi tonggak dari penggagasan , penumbuhan ,
perkembangan , dan kelangsungan daripada suatu kerajaan dan warisan – warisan
Melayu berikutnya. Begitu penting institusi ini dalam menyumbang untuk
mewujudkan sebuah kerajaan sehingga diungkapkan secara falsafah dalam budaya
politik Melayu “…negeri ( kerajaan ) kalah , apabila rajanya mati”.6
6Latiff.Melaka dan Arus Gerak Kebangsaan Malaysia ( Kuala Lumpur : Universiti Malaya ,
Dari ungkapan ini dapat diyakini bahwa raja atau sultan dalam paham Melayu
memiliki kosmis. Kosmis ialah suatu kekuatan yang dimiliki oleh seorang raja
(penguasa ) berdasarkan keseimbangan dalam berpedomankan akan kestabilan kosmos
( alam semesta ). Artinya seorang raja atau sultan dapat berkuasa apabila jumlah total
kekuasaan dalam alam semesta tetap sama saja. Individu - individu yang berkuasa
dianggap penuh kekuatan batin dalam arti baik atau buruk. Pada prinsipnya kekuatan
adi dunia itu ada dimana - mana tetapi ada tempat , benda , dan manusia dengan
pemusatan yang lebih tinggi. Raja atau sultan yang dipenuhi oleh kekuatan ini tidak
bisa dikalahkan dan tak dapat dilukai dengan kata lain raja atau sultan itu sakti
kekuatan yang membuat sakti disebut kesaktian. Kekuasaan politik adalah ungkapan
kesaktian maka tidak merupakan sesuatu yang abstrak suatu nama belakang bagi
hubungan antara dua unsur yang kongkret yaitu manusia atau kelompok manusia.
Kekuasaan mempunyai substansi pada dirinya sendiri ( kehendak dari raja atau sultan
yang bersangkutan ) berinteraksi pada dirinya sendiri dan tidak tergantung dari dan
mendahului terhadap segala pembawaan empiris. Dalam kenyataannya kekuasaan
hakekat realitas sendiri , dasar ilahinya dilihat dari segi kekuatan yang menagalir pada
dirinya sendiri itu merupakan sesuatu yang abstrak yang hanya menjadi kongret dalam
sebab - sebab dan akibat - akibatnya. Kekuasaan terdiri dari hubungan tertentu antara
orang - orang atau kelompok orang tertentu dimana salah satu pihak dapat
memenangkan kehendaknya terhadap satunya. Kekuasaan muncul dalam bentuk yang
beraneka ragam ; misalnya sebagai kekuasaan orang tua yang kharismatik , politik ,
kekuasaaan itu raja atau sultan dapat dimengerti sebagai orang yang memusatkan
suatu takaran kekuatan kosmis yang besar dalam dirinya sendiri sebagai orang yang
sakti sesaktinya. Kita bisa membayangkan sebagai pintu air yang menampung seluruh
air sungai dan bagi tanah yang lebih rendah merupakan satu - satunya sumber air dan
kesuburan , atau sebagai lensa pembakar yang memusatkan cahaya matahari dan
mengarahkannya kebawah. Kesaktian sang raja atau sultan diukur pada besar kecilnya
monopoli kekuasaan yang dipegangnya. Kekuasaan semakin besar semakin luas
wilayah kekuasaan yang dipegangnya. Dari seorang raja atau sultan akan mengalirlah
ketenangan dan kesejahteraan kedaerah sekelingnya. Tidak ada musuh dari luar atau
kekacauan didalam yang menggangu petani pada pekerjaannya di sawah karena
kekuasaaan yang berpusat dalam raja atau sultan sedemikian besar sehingga semua
faktor yang bisa mengganggu kekuatanya seakan - akan dikeringkan daya pengacau
dari pihak - pihak yang dianggap berbahaya seakan - akan dihisap kedalam raja atau
sultan. Dalam wilayah kekuasaanya akan dapat ketentraman dan keadilan serta setiap
pihak dapat menjalankan usaha - usahanya tanpa perlu takut dan kaget. Kekuasaan dari
raja atau sultan juga nampak dari kesuburan tanah dan apabila tidak terjadi bencana
-bencana alam seperti banjir , letusan gunung berapi , dan gempa bumi karena semua
peristiwa alam dari kekuatan kosmis yang sama dan dipusatkan dalam diri raja atau
sultan , maka apabila kekuasaannya raja atau sultan itu menyeluruh maka akan terlepas
dari apa yang dikatakan dengan tidak adanya kekuatan - kekuatan selain kekuatan
pusat ( basis kekuasaan ) termasuk kekuatan - kekuatan alam masih bisa bergerak.
kesuburan alam serta masyarakat. Jadi apabila semuanya tentram , bila tanah memberi
panen yang berlimpah - limpah , bila setiap penduduk dapat makan dan berpakaian
secukupnya dan semua orang merasa puas inilah yang dikatakan bahwa raja atau sultan
masih memiliki kosmis yang direalisasikan sebagai keadaan yang “…negeri
( kerajaan ) apabila rajanya mati”. Apabila kosmis itu tidak dimiliki lagi oleh raja atau
sultan tersebut maka akan terjadinya kekacauan , kritikan - kritikan , dan
perlawanan – perlawanan. Apabila tidak ada lagi terdapat pusat - pusat kekuasaan yang
belum tergantung daripadanya atau memberontak terhadap pemerintahan pusat dan
apabila terjadi segala macam ganguan terhadap ketentraman serta keselarasan dalam
wilayah kekuasaanya tersebut.7
Dengan demikian , faktor – faktor berikut akan menjadi landasan utama secara
umum dalam menegaskan dan meneruskan kelangsungan institusi kerajaan – kerajaan
Melayu sebagai berikut : Hardinya seorang raja atau sultan yang didaulati. Baginda
harus beragama Islam. Dalam melaksanakan hukum – hukum dan perundang –
undangan kerajaan maka syariat Islam diterapkan bersama – sama peraturan –
peraturan dari adat – istiadat setempat. Landasan kepada penegakan daulat ialah adil.
Baginda menjadi pelindung kepada kesejahteraan rakyat dan kerajaan. “Memangsai
rakyat tanpa dosanya ( melalaikan dosa menderhaka kepada raja ) , alamat kerajaan
akan binasa”. Ukuran dari tingginya daulat yang dimiliki oleh raja atau sultan dapat
ditaidai dengan taat dan setianya rakyat serta kemakmuran seluruh kerajaan.
Perdagangan maju dan banyaknya alim ulama yang masuk ke negeri ini.
Pembesar dan para menteri yang menjalankan tugasnya dan menjunjung tinggi
perintah raja / sultan dengan setianya. Filsuf mengungkapkan “bahwa kerja / titah raja
dijunjung , kerja sendiri terabaikan , ini adalah idealismenya.
Orang kebanyakan baik yang berada di tanah Melayu sendiri ataupun kawasan –
kawasan yang menjadi taklukan Melayu menjadi rakyat kebawah Duli Yang Maha
Mulia. Secara idealnya mereka melindungi sebaliknya mereka adalah penegak daulat
raja. Interaksi mereka dengan raja adalah renggang tetapi untuk menyeimbangi
kereanggangan tersebut dibarengi dengan kepercayaan dan pendukungan terhadap
daulat secara spiritual , peranan , dan fungsi pembesar ke atas mereka.
Hadirnya kerjasama , saling topang – menopang , dan dukung – mendukung secara
langsung maupun secara tidak langsung diantara ketiga unsur ( raja / sultan ,
pembesar , dan rakayat ) ini. Dengan fenomena ini akan terbentuk suatu konsensus
masyarakat yang diaktualisasikan kepada pegangan dan kepatuahan kepada wadah
( kontrak sosial ) “sang spurba taram seri tri buana ( pihak yang diperintah )” dengan
“demang selebar daun ( pihak yang diperintah )”. Ini merupakan suatu tradisi turun –
temurun dalam politik Melayu.
Secara historis dalam budaya berpolitik Melayu menjurus kearah terbinanya
sebuah kerajaan , apabila tonggak bernegara ialah institusi kerajaan atau kesultanan
maka unsur yang sangat mendasari akan kedua aspek ini ialah pemegang dan penguasa
muncul dari dukungan dan pengakuan dari kalangan – kalangan seperti pembesar ,
menteri , dan rakyat tetapi harus didukung juga oleh adanya penguatan dengan mitos –
mitos dan kepercayaan diwariskan oleh pendahulu – pendahulu terdahulu secara
turun – temurun mengenai asal usul dari raja / sultan tersebut.8
3.2.2 Orang Besar Kerajaan : Gelar dan Fungsinya
Dalam bidang pemerintahan kerajaan Melayu pada umumnya , dan di kerajaan
Serdang pada khususnya selalu memakai Orang Besar dalam jumlah astrologi
( mendapat pengaruh dari Hindu ) yaitu : 4 , 8 , 16 , dan kadang – kadang sampai 32
orang. Struktur pemerintahan di Serdang dan negeri – negeri Melayu lainnya di
Sumatera Timur berdasarkan asal struktur perkembangan dari pemerinatahnnya mula –
mula sangat sederhana sekali. Kita dapat membuat hipotesa bahwa perkampungan –
perkampungan kecil disepanjang Selat Malaka yang hampir – hampir tidak
berpengaruh itu mempunyai kepala – kepala kaum dimana penghuni – penghuni
kampung menganggap dirinya sebagai raja mereka yang kadang – kadang
pemerintahannya bersifat despotis dan otokratis , yang kadang – kadang juga dengan
atau tanpa mufakat bersama – sama mengambil saja sesuatu gelar untuk dirinya dan
juga memberikan gelar – gelar kepada kaum – kaum lainnya yang dengan sukarela
menetap didaerahnya ataupun dapat dilakukannya dengan peperangan. Untuk
memperkuat kekuasaannya ia mengangkat pula anggota – anggota keluarganya atau
orang – orang kepercayaannya untuk memegang fungsi – fungsi tertentu seperti :
panglima perang , syahbandar , dan lain – lain. Pemberian gelar – gelar itu mempunyai
arti apa – apa dan pemberian gelar itu hanyalah sebagai mutan politik untuk mengikat
persahabatan guna menjaga stabilitas negerinya. Penghasilan yang diperoleh dari raja –
raja tersebut umumnya dari peradilan , bea – cuaki , hasil – hasil muara sungai ,
persembahan – persembahan yang diterima , barang larangan , pancong alas , bea
masuk orang asing yang memasuki wilayahnya ; dan bersamaan dengan daerah –
daerah kediaman orang – orang Batak keuntungan biasanya didapatkan dari monopoli
garam , candu , dan sering juga dari ekspor budak – budak ( biasanya orang – orang
kafir ) yang dijual oleh pedagang Cina ke Malaya didaerah pertambangan timah dan
perak di Perak dan Selangor. Didaerah – daerah yang ditaklukkannya raja – raja itu
pada umumnya tidak pernah meninggalkan pasukan tetap tetapi mengambil salah
seorang anak raja yang dikalahkannya atau pengganti raja untuk dididik di istananya.
Sering pula raja penakluk itu menunggu datangnya utusan – utusan pemberian upeti
( Bunga Emas ) dan menerima pendapatan hasil cukai dari raja – raja taklukkan.
Intervensi di daerah – daerah jajahan dalam bidang pemerintahan hampir tidak ada.
Mengenai biaya untuk pemerintahan ditanggung bersama – sama oleh kepala daerah –
daerah taklukkan , dan biaya – biaya untuk peperangan biasanya ditanggung sebagian
oleh mereka.
Orang Besar kerajaan atau Rijsgroten adalah dimaksudkan sebagai para
fungsionaris yang menjadi kepala – kepala daerah di daerah – daerah yang menjadi
bagian dari daerah suatu kerajaan tersebut atau juga mereka berfungsi sebagai kepala
kerajaan Serdang umumnya hampir sama dengan negeri Melayu lainnya yang ada di
Sumatera Timur yang didapat dari pengaruh kerajaan Melayu Melaka dan Johor –
Riau serta Siak.
Adapun Menteri yang utama ( Perdana Menteri atau Patih di Jawa ) ialah yang
bertindak sebagai Mangkubumi adalah Datuk Paduka Setia Maharaja yang
mendampingi Raja Muda. Sedangkan Raja Muda itu mempunyai fungsi sebagai
berikut : mengambil keputusan – keputusan atas nama Raja / Sultan mengenai semua
hal tentang Batak Dusun sepanjang wakil Raja / Sultan di Batak Timur atau Kejuruan
Senembah tidak dapat menyelesaikannya ; Kepala kantor dan Kepala polisi raja – raja ;
pejabat Ketua Kerapatan ; hakim tunggal mengenai perkara – perkara yang dianggap
tidak penting ; kepala peradilan mengenai keturunan – keturunan raja atau orang –
orang besar ; dan kepala peradilan mengenai penghuni – penghuni istana atau keraton.
Dialah Menteri Tunggal yang sangat berkuasa dan merupakan kepala pemerintahan
sehari – hari. Dibawhnya ada Tumenggung yang berfungsi sebagai jaksa merangkap
kepala kepolisian. Selanjutnya Laksamana yang berfungsi sebagai panglima angkatan
laut dan merngkap panglima angkatan perang. Hulubalang merupakan panglima
perang yang ditugaskan sebagai panglima perang angkatan darat. Syahbandar
fungsinya sebagai mengurus cukai dipelabuhan , mengurus imigrasi , dan untuk urusan
perdagangan. Betara kanan adalah merupakan ajudan Raja / Sultan. Betara Kiri
merupakan sebagai penghulu istana dan penghulu bangsawan ( Kepala rumah tangga