• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kontrastif Giongo Gitaigo (擬音語 æ“¬æ ‹èªž) dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa (Kajian Sintaksis dan Semantik).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kontrastif Giongo Gitaigo (擬音語 æ“¬æ ‹èªž) dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa (Kajian Sintaksis dan Semantik)."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

SINOPSIS 1.

Mimetics (onomatopoeia)

(ideophone)

1) 2)

2.

(2)

(1)

(Practical Guide Mimetic Expressions, 1994:82) Gludhug lan bledheg ambal-ambalan, tumuli mak-bres, udan deres.

(Candhikala Kapuranta, 2002:9)

mak-bres

mak-bres

mak-(2)

(Atauda & Hoshino, 1995:335) Dene suwarane bedil pating jledor lan suwara metraliyur kang sajak diempet-empet ngratani kuta ora mratelakake yen akeh wong tangi: sing muni kuwi sajak mung barang mati, mbledos karepe dewe.

(Sastra Jawa Mutakhir “Dedemitan Mlebu Kuta” Suparto Brata, 1995:54)

pating jledor Pating-

(3)

(Atauda & Hoshino, 1995:44) 'Klontang!' tekene jeng Murni ambruk ing jogan, kumandang.

(Sastra Jawa Mutakhir “Keluwargane Bu Nyai Blorong” Peni, 1985:97)

klontang

(3)

(4)

(Atauda & Hoshino, 1995:338) Dhog! Dhog! Dhog! Lawang ngarep ana sing ndhodhog.

(Candhikala Kapuranta, 2002:50)

(Atauda & Hoshino, 1995:336) Dog, dog-dog. Lawang kamare Rahayu didodog lirih saka njaba.

(Sastra Jawa Mutakhir “Ilang” Ty. Suwandi, 1985:146)

dhog dog

Dhog

dog h

(5)

(Practical Guide Mimetic Expressions, 1994:50) Asih mider-mider karo nyekel keris ligan.

(Candhikala Kapuranta, 2002:129) Jumadi bingung, mlaku midar-mider.

(Candhikala Kapuranta, 2002:165)

Mider-mider midar-mider

(4)

(6)

(Itadaki High Jump, 2016 3 16 , 10:38-10-43) Sanalika atine dheg-dhegan, raine pucet.

(Candhikala Kapuranta, 2002:25)

dheg-dhegan Dheg-dhegan

-an -an

(7) :

(Itadaki High Jump, 2016 2 24 , 2:14-2:18)

Plong, atine Kandar!

(Sastra Jawa Mutakhir “Keblinger” A. Saerozi A.M, 1985:106)

plong Plong

3.

1) ●

a)

dwilingga salin swara

(5)

b)

a) mimetics

b)

mak- pating- -an

(6)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

PERNYATAAN PUBLIKASI SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... .viii

BAB I PENDAHULUAN ... ..1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Metode Penelitian dan Teknik Kajian ... 10

1.4.1 Metode Penelitian ... 10

1.4.2 Teknik Kajian ... 12

1.5 Organisasi Penulisan ... 12

BAB II KAJIAN TEORI ... 14

2.1 Sintaksis ... 14

2.1.1 Struktur Sintaksis ... 15

2.1.1.1 Fungsi Sintaksis ... 15

2.1.1.2 Kategori Sintaksis ... 19

2.1.1.2.1 Kategori Sintaksis Bahasa Jepang ... 19

2.1.1.2.2 Kategori Sintaksis Bahasa Jawa ... 20

(7)

2.1.1.3.1 Adverbia Monomorfemis ... 24

2.1.1.3.2 Adverbia Polimorfemis ... 25

2.1.1.3.3 Adverbia Berunsur mak- atau pating- ... 26

2.1.2 Satuan Sintaksis ... 27

2.1.2.1 Kata... 27

2.1.2.2 Frase ... 29

2.1.2.3 Klausa ... 30

2.1.2.4 Kalimat ... 30

2.2 Semantik ... 32

2.2.1 Makna Leksikal ... 33

2.2.2 Makna Gramatikal ... 33

2.3 Analisis Kontrastif Bahasa ... 34

2.4 Giongo Gitaigo ... 35

BAB III ANALISIS DATA ... 41

3.1 Sumber Data ... 41

3.2 Klasifikasi Data ... 42

3.3 Analisis Data ... 43

3.3.1 Giongo 擬音語 ... 43

3.3.2 Giseigo 擬声語 ... 55

3.3.3 Gitaigo 擬態語 ... 61

3.3.4 Gijoogo 擬情語 ... 77

3.4 Rangkuman Data ... 91

(8)

x

DAFTAR PUSTAKA... xi

LAMPIRAN ... .xiii

SINOPSIS ... xxv

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap hari manusia tidak terlepas dari proses terjadinya interaksi dan komunikasi. Bahasa digunakan oleh manusia sebagai alat untuk mengekspresikan dan mengungkapkan apa yang ada di dalam hati, pikiran, dan perasaan manusia. Di berbagai belahan dunia, bahasa juga menjadi hal yang paling esensial dan menjadi identitas negara. Contohnya, bahasa Indonesia menjadi bahasa identitas bangsa Indonesia dan bahasa Jepang merupakan bahasa nasional negara Jepang.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang multikultural. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan suku bangsa, budaya, dan bahasa. Keunikan dari berbagai macam etnis di Indonesia membawa Indonesia menjadi suatu negara yang sarat akan kebudayaan, termasuk bahasa daerah. Sama halnya seperti bahasa negara, bahasa daerah juga memiliki ciri khas tersendiri dari masing-masing daerah.

Salah satu suku bangsa yang berada di Indonesia adalah suku Jawa. Bahasa Jawa menjadi bahasa yang mencerminkan kehidupan berkomunikasi pada masyarakat Jawa. Bahasa Jawa juga memiliki variasi bahasa seperti memiliki tata bahasa penghormatan, peribahasa, teka-teki, dan juga mimesis.

(10)

'Signs that may have originally been mimetic (similar to miming) or iconic (with a nonarbitrary relationship between form and meaning) change historically as do words, and the iconicity is lost. There is some sound symbolism in language—that is, words whose pronounciation suggests the meaning. A few words in most language are onomatopoeic—the sounds of the words supposedly imitate the sounds of nature. Even here, the sounds differ from one language to another, reflecting the particular sound system of the language.'

'Tanda yang pada dasarnya merupakan tiruan (sama seperti meniru-niru) atau berkenaan dengan gambar (berhubungan antara bentuk dan makna yang nonarbitrer) berubah menjadi kata dan secara gambarannya hilang. Dalam bahasa terdapat simbol bunyi yang merepresentasikan makna. Sebagian besar kata-kata tersebut di dalam berbagai bahasa disebut dengan istilah onomatope yang memiliki arti bunyi-bunyi yang meniru suara alam. Ujaran bunyi-bunyi yang ada berbeda dari satu bahasa dengan bahasa lainnya karena terdapat ciri khusus dari bahasa tersebut.'

Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa mimesis yang dapat disebut juga dengan ikonik (iconic) adalah suatu bagian dari bahasa yang pada dasarnya merupakan sebuah tanda yang meniru gambaran keadaan yang terjadi, yang di dalamnya terdapat kata-kata yang disebut dengan onomatope yang merepresentasikan bunyi-bunyi alam.

Selanjutnya, Fromkin & Rodman (1974:8) juga memberikan contoh mengenai mimesis sebagai berikut:

'In English we say cockadoodledoo to represent the rooster's crow, but in Russian they say kukuriku.'

'Dalam bahasa Inggris cockadoodledoo merepresentasikan suara ayam berkokok, akan tetapi dalam bahasa Rusia dilafalkan dengan kata kukuriku.'

Mimesis berbeda pada masing-masing bahasa karena mimesis itu sendiri merupakan karakteristik bahasa tersebut. Onomatope yang termasuk ke dalam mimesis juga memiliki berbagai macam ragam bunyi sehingga memberikan suatu ciri khas atas bahasa itu sendiri.

(11)

Kemudian, ahli linguistik Jepang, Tsujimura (1996:93) mengungkapkan tentang mimesis dalam bahasa Jepang sebagai berikut:

'Many languages have sound symbolic words. There are at least two types of these. One type is onomatopoeia; words that sound like what they mean, for example, words depicting animal sounds. The other is a more abstract type and is referred to as an ideophone. Ideophones and onomatopoeia together are subsumed under the rubric of mimetics.'

'Ada banyak bahasa yang mempunyai kata simbolik untuk bunyi. Setidaknya terdapat 2 jenis. Jenis yang pertama disebut dengan onomatope yang berarti kata-kata dari bunyi yang sesuai dengan maksud, misalnya suara-suara hewan. Jenis yang lainnya adalah jenis yang lebih abstrak dan disebut dengan ideofon. Ideofon dan onomatope berada di dalam ruang lingkup mimesis.'

Dari pernyataan Tsujimura di atas, dapat dipahami bahwa onomatope dan ideofon termasuk dalam mimesis. Onomatope lebih mengacu kepada bunyi atau suara, sedangkan ideofon lebih mengacu kepada bentuk dan keadaan. Mimesis sendiri menganalogikan tentang ekspresi manusia untuk mempertegas bunyi atau kondisi keadaan yang sebenarnya terjadi.

Dari kedua teori mengenai mimesis yang dikemukakan oleh Fromkin & Rodman (1974:8) dan Tsujimura (1996:93), dapat ditemukan persamaan bahwa onomatope termasuk ke dalam mimesis. Mimesis dalam bahasa Jepang dijabarkan menjadi 2 jenis. Yang pertama adalah onomatope yang disebut dengan giongo (

) dan ideofon yang disebut dengan gitaigo ( ).

Kindaichi (1978) dalam Sasaki (1999:3) menjelaskan pengertian dan sebagai berikut:

'

(12)

'Giongo no hou ga gitaigo yori mo oto to imi no kankei ga chokusetsuteki de, masa ni oto to imi ga shizen no kankei ni aru keredo, gitaigo to naru to, nonbaabaru na joukyou byousha dakara moshasei ga toboshii.'

'Giongo lebih mengacu kepada arti dari suara yang secara langsung daripada gitaigo karena giongo lebih merujuk kepada bunyi-bunyi alam. Sedangkan karena gitaigo lebih mengacu kepada gambaran deskriptif dari suatu keadaan secara nonverbal, maka hal yang dapat ditiru menjadi terbatas.'

Contoh mimesis dalam bahasa Jepang menurut Tsujimura (1996:93) adalah 'pota-pota' yang memiliki arti dripping 'menetes'. Perhatikan contoh kalimat

berikut ini: (1)

Suidou no sen ga yurunde, shimeta tsumori demo pota-pota moreru. Karena keran airnya longgar, ditutup sekalipun tetap saja bocor dan

airnya terus menetes-netes.

(Atauda & Hoshino, 1995:505) Menurut Atauda & Hoshino (1995:505) pota-pota bermakna sebagai berikut:

Suiteki jou no mono ga renzoku shite shitatari ochite uchi ataru oto yousu. Suara dari tetesan air yang turun menetes secara berulang-ulang.

Dengan demikian, pota-pota pada kalimat (1) berfungsi sebagai adverbia yang menjelaskan predikat yang memiliki arti terus menerus menetes jika dilihat dari segi sintaksisnya sehingga makna dari kalimat tersebut adalah pota-pota pada kalimat (1) memiliki pengertian bunyi tetesan air yang jatuh menetes secara perlahan-lahan tetapi terjadi dalam proses yang terus menerus. Pota-pota termasuk ke dalam onomatope atau giongo ( ).

Selanjutnya, contoh mimesis lain bahasa Jepang yang diungkapkan oleh Tsujimura (1996:93) adalah 'pika-pika' yang memiliki arti glaring 'bersinar'. Perhatikan contoh kalimat berikut ini:

(13)

(2)

Sora no hate de inabikari ga pika-pika to hikatta. Di ujung langit ada kilat yang bersinar-sinar.

(Atauda & Hoshino, 1995:399) Menurut Atauda & Hoshino (1995:399) pika-pika bermakna sebagai berikut:

Renzoku shite hikari kagayaku yousu. Mata, koutaku ga atte hikatteiru yousu.

Suatu keadaan yang menggambarkan cahaya bersinar dengan mengkilap.

Secara sintaksis, pika-pika pada kalimat (2) juga berfungsi sebagai keterangan yang menerangkan predikat verba yang memiliki makna bersinar. Secara semantik, pika-pika pada kalimat (2) memiliki pengertian suatu keadaan yang menunjukkan adanya kilat yang bersinar di langit sehingga terlihat seperti sesuatu yang mengkilap. Pika-pika termasuk ke dalam gitaigo ( ).

Sama halnya dengan bahasa Jepang, dalam bahasa Jawa pun terdapat mimesis. Menurut Purwadi (2005:98-102) mimesis dalam bahasa Jawa termasuk ke dalam kata ulang. Masih menurut Purwadi, sistem pengulangan dalam bahasa Jawa disebut dengan tembung rangkep yang artinya adalah kata yang diucapkan dua kali sebagian atau seluruhnya dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tembung dwilingga, tembung dwipurwa, tembung dwiwasana.

Dalam bahasa Jawa, mimesis merujuk kepada kata reduplikasi yang disebut dengan tembung dwilingga. Tembung dwilingga menurut Wedhawati (2006:41) adalah pengulangan keseluruhan bentuk dasar di dalam morfologi bahasa Jawa. Pengulangan itu ada tiga macam, yaitu:

(14)

b. Pengulangan dengan perubahan vokal (Upv), misalnya {turu 'tidur' + Upv} menjadi tura-turu 'tidur berulang-ulang dengan selang waktu antartindakan yang relatif agak panjang'. Disebut dengan tembung dwilingga salin swara.

c. Pengulangan semu (Us) yang tidak jelas bentuk dasarnya dan tidak pernah mandiri sebagai kata, misalnya unyeng-unyeng 'pusar kepala'.

Wedhawati (2006:42) mengemukakan bahwa tembung dwipurwa dan tembung dwiwasana merupakan pengulangan sebagian bentuk dasar atau

pengulangan parsial (Up). Tembung dwipurwa adalah pengulangan konsonan awal bentuk dasar plus vokal pepet, misalnya {luhur 'terhormat' + Up} menjadi leluhur 'nenek moyang', (bungah 'gembira' + Up} menjadi bebungah 'hadiah'.

Tembung dwiwasana adalah pengulangan suku akhir bentuk dasar dengan

disertai pelesapan konsonan akhirnya, misalnya {celuk 'panggil + Up} menjadi celuluk 'berucap', {penthung 'pukul' + Up} menjadi penthunthung 'tiba-tiba

membesar'. Reduplikasi dalam bahasa Jawa termasuk ke dalam kelas kata adverbia yang disebut dengan tembung katrangan.

Definisi adverbia menurut Wedhawati (2006:329) adalah kata yang berfungsi memberi keterangan bagaimana suatu tindakan yang dinyatakan oleh verba dilakukan. Di dalam perkembangannya pengertian itu meluas menjadi kata yang berfungsi memberi keterangan pada unsur tertentu di dalam suatu kontruksi. Unsur itu dapat berupa kata, frasa, atau klausa. Unsur yang diberi keterangan itu dapat berupa verba, adjektiva, nomina, pronomina, numeralia, atau adverbia lain. Di dalam klausa kalimat, adverbia memberi keterangan pada subjek, predikat, objek, pelengkap, keterangan, atau keseluruhan klausa atau kalimat.

(15)

Berikut adalah contoh mimesis dalam bahasa Jawa:

(3) Dumadakan Endah mbengok banjur mlayu girap-girap. Tiba-tiba Endah menjerit lalu lari dengan penuh ketakutan.

(Wedhawati, 2006:338) Secara sintaksis, girap-girap pada kalimat (3) memiliki kelas kata adverbia yang berfungsi sebagai keterangan untuk menerangkan predikat mlayu 'lari'. Secara semantik, girap-girap menggambarkan suatu keadaan dari perbuatan mlayu 'lari' terbirit-birit dengan penuh ketakutan yang ditunjukkan oleh Endah yang menjadi subjek dan berperan sebagai pelaku pada kalimat (3). Girap-girap termasuk ke dalam tembung dwilingga yang berarti sistem pengulangan seluruh kata secara utuh.

Selanjutnya, ada juga mimesis dalam bahasa Jawa yang dapat mengalami derivasi dari segi sintaksisnya. Berikut adalah contoh mimesis dalam bahasa Jawa yang mengalami perubahan kelas kata dalam suatu konstruksi kalimat:

(4) Aja jedhal-jedhul neng kene. Jangan tiba-tiba muncul di sini.

(16)

Bahasa Jepang mempunyai mimesis, bahasa Jawa pun mempunyai mimesis. Dan setelah diamati terdapat mimesis bahasa Jepang yang mempunyai kemiripan arti dengan mimesis bahasa Jawa, seperti pada contoh bahasa Jepang berikut ini:

(5)

Kagu ga gishi-gishi iu no de jishin da to kizuita.

Sadar bahwa ada gempa bumi karena mebel yang bergoyang-goyang. (Atauda & Hoshino, 1995:78) Menurut Atauda & Hoshino (1995:78) gishi-gishi bermakna sebagai berikut:

Mokuzai de kumitate buttai ga shindou de sureatte kishimu renzokuon. Bunyi kayu yang bergesekan karena ada getaran atau goncangan.

Dengan demikian, gishi-gishi pada kalimat (5) berfungsi sebagai keterangan yang digunakan untuk menjelaskan suara gesekan kayu yang terdengar dari mebel yang seolah-olah akan jatuh di saat terjadinya gempa bumi.

Kemudian, di dalam bahasa Jawa juga terdapat kata mimesis seperti gishi-gishi yang mengacu pada arti yang sama. Berikut adalah contoh mimesis dalam

bahasa Jawa:

(6) Bocah iku turune ngolang-ngaling. Anak itu tidurnya berguling-guling.

(Purwadi, 2005:99) Ngolang-ngaling memiliki kelas kata adverbia yang berfungsi sebagai keterangan

untuk menerangkan predikat turu 'tidur'. Dari kalimat (6) tersebut dapat dipahami bahwa maksud dari ngolang-ngaling adalah keadaan anak tersebut yang sedang tidur seolah-olah tidak memiliki keseimbangan dan tidak terarah sehingga memiliki kemungkinan bahwa anak itu bisa saja terjatuh dari tempat tidurnya.

(17)

Ngolang-ngaling termasuk ke dalam reduplikasi berubah bunyi yang disebut

dengan tembung dwilingga salin swara.

Mimesis dalam bahasa Jepang mencakup dua jenis, yaitu onomatope ( ) dan ideofon ( ), sedangkan mimesis dalam bahasa Jawa sebenarnya tidak ada kata secara khusus untuk menyebutkan kata mimesis itu sendiri, akan tetapi mimesis dalam bahasa Jawa termasuk ke dalam ruang lingkup kategori adverbia yang berupa kata reduplikasi atau tembung dwilingga. Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti secara kontrastif untuk mengetahui persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat dari keunikan mimesis dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa.

Penelitian mengenai giongo gitaigo pernah dilakukan oleh Marisa Rianti pada tahun 1996 dan Linda Rosaprilia pada tahun 2016 dengan judul “Analisis Gitaigo ( ) dalam Bahasa Jepang yang Berkaitan dengan Perasaan (Kajian Sintaksis dan Semantik)”. Penelitian ini berbeda dari penelitian terdahulu karena penulis menganalisis secara kontrastif bahasa Jepang dengan bahasa ibu dari penulis, yaitu bahasa Jawa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan, penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1) Apa persamaan dan perbedaan dan dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa?

(18)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dan dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa.

2) Mendeskripsikan makna yang terbentuk dari dan dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa.

1.4 Metode Penelitian dan Teknik Kajian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode analisis kontrastif dengan menggunakan teknik kajian kontrastif dan teknik studi kepustakaan.

1.4.1 Metode Penelitian

Kridalaksana (1983:11) mengemukakan bahwa analisis kontrastif (contrastive analysis, differential analysis, differential linguistics) merupakan metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang diiterapkan dalam masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan.

Menurut Tarigan (2009:5) metode analisis kontrastif yang berupa prosedur kerja adalah aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur B1 dengan struktur B2 untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan di antara kedua bahasa.

(19)

Metode analisis kontrastif membandingkan unsur antara dua bahasa yang bersangkutan. Dilihat dari fungsi dan kategori kata atau frasa dalam kalimat, unsur persamaan dan perbedaan yang terdapat pada giongo gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa, dan makna yang dapat dipahami dari giongo gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa tersebut.

Bahasa Jepang Bahasa Jawa

Kata ngolang-ngaling

Kategori adverbia adverbia

Klasifikasi suara gesekan kayu ( ) keadaan tidur ( )

Arti oleng oleng

Tabel tersebut menunjukkan bahwa ada persamaan dan perbedaan dari giongo gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Giongo gitaigo bahasa Jepang dan

bahasa Jawa tersebut memiliki jenis pembentukan kata yang sama yaitu reduplikasi, akan tetapi ngolang-ngaling merupakan reduplikasi berubah bunyi atau tembung dwilingga salin swara. Kelas kata dan ngolang-ngaling juga sama, yaitu adverbia. Namun, dalam bahasa Jepang termasuk ke dalam giongo, sedangkan ngolang-ngaling dalam bahasa Jawa termasuk ke dalam gitaigo. dan ngolang-ngaling mengacu kepada arti yang sama yang berarti oleng.

[image:19.595.113.513.222.589.2]
(20)

1.4.2 Teknik Kajian

Teknik kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teknik Kajian Kontrastif

Menurut Tarigan (1992:131), langkah-langkah yang digunakan dalam analisis kontrastif adalah pemerian atau deskripsi dan perbandingan atau komparasi. Teknik kajian kontrastif merupakan salah satu teknik penelitian yang digunakan untuk menemukan perbedaan dan melakukan penelitian terhadap unsur dari dua bahasa yang berbeda.

2. Teknik Studi Kepustakaan

Nazir (1988:111) mengatakan bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Studi kepustakaan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu mengetahui jenis pustaka yang dibutuhkan berdasarkan bentuk dan isi pustaka, mengkaji dan mengumpulkan bahan pustaka, dan menyajikan studi kepustakaan.

1.5 Organisasi Penulisan

Adapun penelitian “Analisis Kontrastif Giongo Gitaigo

dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa (Kajian Sintaksis dan Semantik)” ini disusun berdasarkan struktur penulisan sebagai berikut:

Bab I memaparkan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dari penelitian, metode penelitian dan teknik kajian yang digunakan untuk

(21)

penelitian, dan organisasi penulisan skripsi yang memberikan gambaran struktur dari keseluruhan penelitian. Selanjutnya, Bab II berisi kajian teori yang mencakup teori-teori mengenai linguistik umum, antara lain teori tentang sintaksis dan semantik. Ada juga teori tentang analisis kontrastif bahasa dan giongo gitaigo. Kemudian, Bab III berisi tentang analisis secara kontrastif mengenai makna yang terbentuk, persamaan dan perbedaan giongo gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa yang data-datanya diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, cerita, novel, lagu, acara dan serial televisi. Bab IV berisi simpulan dari analisis data di bab III.

(22)

BAB IV

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan dalam

menganalisis data kontrastif dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa,

maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Terdapat persamaan dan perbedaan dari giongo gitaigo dalam bahasa

Jepang dan bahasa Jawa. Persamaan yang penulis dapatkan dari giongo

dan gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah sebagai berikut:

a) Giongo dan gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa dapat berupa

morfem, bentuk kata reduplikasi utuh, dan reduplikasi berubah bunyi.

b) Giongo dan gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa sama-sama

berkategori sebagai adverbia, akan tetapi dapat mengalami perubahan atau

mengalami derivasi menjadi verba dan nomina.

Demikian pula terdapat perbedaan dari giongo gitaigo dalam bahasa

Jepang dan bahasa Jawa, yaitu sebagai berikut:

a) Dalam bahasa Jepang, mimesis disebut dengan giongo dan gitaigo yang

diklasifikasikan menjadi empat jenis (giongo, giseigo, gitaigo, dan

gijoogo) sedangkan mimesis di dalam bahasa Jawa tidak memiliki kata

yang digunakan untuk menyebutkan mimesis itu sendiri.

b) Mimesis dalam bahasa Jepang dapat berupa morfem, bentuk kata

reduplikasi utuh, dan reduplikasi berubah bunyi. Namun, mimesis dalam

(23)

bahasa Jawa tidak hanya berupa morfem, bentuk kata reduplikasi utuh, dan

reduplikasi berubah bunyi saja, ada pula mimesis yang dilekati dengan

unsur prefiks mak- atau pating- dan penambahan sufiks -an.

2. Giongo gitaigo memberikan makna yang mempengaruhi makna kalimat

secara menyeluruh. Jika dilihat dari posisi fungsi sintaksis sebagai

keterangan pada kalimat tersebut, giongo gitaigo menerangkan predikat

pada kalimat tersebut. Jika giongo gitaigo menempati posisi fungsi

sintaksis sebagai predikat pada kalimat tersebut, maka giongo gitaigo

merupakan makna inti dari perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh

subjek pada kalimat yang bersangkutan.

Kesan makna yang berbeda juga dapat terbentuk dari proses pembentukan

kata giongo gitaigo itu sendiri. Misalnya, mimesis dengan huruf konsonan

mempengaruhi persepsi tentang sesuatu yang lebih besar dan lebih kuat

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Akimoto, Miharu etc. 1987. 1 .

Tokyo : Aratakeshutsupan.

Aramu, Yukiko Sasaki. 1999. Gengogaku to Nihongo Kyouiku. Tokyo : Sakamoto

Seihonjo.

Atauda, Toshiko dan Kazuko Hoshino. 1995. Gitaigo Giongo Tsukaikata Jiten.

Tokyo : Soutakusha.

Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.

Chang, Andrew C. 1990. A Thesaurus of Japanese Mimesis and Onomatopoeia :

Usage by Categories (Gitaigo Giongo Bunrui Youhou Jiten). Tokyo :

Taishukan Shoten.

Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1974. An Introduction to Language Sixth

Edition. United States of America : Harcourt Brace & Company.

Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta : PT Gramedia.

Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Purwadi dkk. 2005. Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta : Media Abadi.

Ramlan. 1986. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta : CV. Karyono.

Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta : Temprint.

Richards, Jack etc. 1985. Longman Dictionary of Applied Linguistics. London :

Longman Group Limited.

Sriwibawa, Sugiarta. 2002. Candhikala Kapuranta. Jakarta : Pustaka Jaya.

(25)

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung :

Angkasa.

Tofani, M. Abi. 2004. Kawruh Basa Jawi Pepak. Surabaya : Pustaka Agung

Harapan.

Tomita, Takayuki. 1991. Bunpo no Kiso Chisiki to Sono Oshiekata. Tokyo :

Bonjinsha.

Tsujimura, Natsuko. 1996. An Introduction to Japanese Linguistics. Oxford :

Blackwell Publishers.

Wedhawati dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta : Kanisius.

Gambar

Tabel tersebut menunjukkan bahwa ada persamaan dan perbedaan dari

Referensi

Dokumen terkait

Kata し ( soshite ) dalam kalimat (7) menunjukkan bahwa kata tersebut merupakan setsuzokushi karena berfungsi sebagai penyambung kalimat inti dengan kalimat lain yang

konstruksi - いる ini menyatakan kegiatan yang sedang dilakukan.  Kata sifat juga dapat membentuk sebuah kalimat menjadi statif, kata. sifat yang dapat membentuk

Tetapi, kata itu tidak dapat digunakan dalam kalimat bila kata itu hanya muncul sendiri (tidak mempunyai makna jika muncul sendiri), biasanya, menambahkan arti pada kata di

„ Orang Jepang dalam ribuan tahun dikelilingi alam, dan karena tinggal di rumah “ kayu dan kertas ” sekarang pun banyak orang yang berpikir kalau bisa sih ingin tinggal

Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai jenis klausa berbahasa Jawa berdasarkan kategori kata/ frasa yang menduduki fungsi Pb. Mahasiswa dapat mendiskripsikan berbagai

15) Makna Idiom : Satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan. 16) Makna Peribahasa : Suatu kiasan / bunga bahasa dalam menggambarkan

Dalam penggunaan kata-kata Tabu berhubungan dengan fungsi alami tubuh manusia dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa memiliki persamaan yaitu sama-sama langsung mengacu pada

Apabila kita perhatikan stuktur frasa kedua bahasa cukup berbeda, yang menonjol dalam bahasa Jepang adalah terdapat Aux pada struktur kalimat, urutan terbalik dengan bahasa Inggris