1
TUGAS AKHIR
PENGARUH PERKEMBANGAN KOTA SURAKARTA
TERHADAP PERMUKIMAN DI KAWASAN SOLOBARU
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Jenjang Strata-1 Perencanaan Wilayah dan Kota
Oleh :
Panganti Widi Astuti
NIM. I 0606034
2 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan kota merupakan perubahan yang dialami oleh daerah
perkotaan pada aspek-aspek kehidupan dan penghidupan, seperti kondisi fisik,
perekonomian, sosial dan kemasyarakatan. Perkembangan kota didefinisikan
sebagai proses perubahan keadaan ke keadaan lain dalam kurun waktu yang
berbeda (Yunus, 1978). Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh
meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah
perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang. Oleh karena itu, kota
sebagai perwujudan geografis selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu
(Yunus, 1987).
Perkembangan kota-kota di Indonesia yang semakin pesat dewasa ini
membawa banyak perubahan pada kondisi internal kota. Perkembangan kota di
Indonesia mulai dirasakan sejak dekade 1950an yang merupakan masa transisi
dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan (Sujarto, D, 2005 dalam tesis Ilyas
Ali, 2006). Hal-hal yang tampak nyata sebagai dampak dari perkembangan kota
adalah pesatnya perkembangan penduduk, tingginya angka kepadatan penduduk,
pesatnya perkembangan daerah terbangun, serta tingginya kebutuhan akan
fasilitas dan utilitas kota termasuk kebutuhan akan perumahan.
Untuk kota yang sudah padat bangunannya, semakin bertambahnya
penduduk dengan segala aspek kehidupannya akan mengakibatkan kota tidak lagi
dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena itu, akan mengakibatkan
terjadinya proses densifikasi permukiman di dearah pinggiran kota dengan
berbagai dampaknya. Terbatasnya wilayah administrasi kota akan mengakibatkan
adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kota ke daerah pinggiran kota
(urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik
kekotaan ke arah luar (urban sprawl) (Kustiwan dan Anugrahani, 2001; Giyarsih,
2001). Akibat selanjutnya di daerah pinggiran kota akan mengalami proses
3 sosial ekonomi sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial.
Proses densifikasi permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan
realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan.
Dahulu, Kota Surakarta merupakan satu kesatuan wilayah pemerintahan
Kasunanan dengan Kabupaten Sukoharjo, Sragen, Boyolali, dan Klaten. Namun,
dengan keluarnya Penetapan Pemerintah Nomor : 16/SD tanggal 15 Juli 1946,
maka secara formal wilayah pemerintahan Kasunanan sudah tidak ada lagi, dan
wilayah-wilayahnya menjadi wilayah Karesidenan Surakarta. Kemudian
Karesidenan Surakarta menjadi Kota Surakarta yang wilayahnya meliputi 5
kecamatan yakni Kecamatan Jebres, Banjarsari, Serengan, Pasar Kliwon, dan
Laweyan.
Kota Surakarta merupakan kota menengah yang mengalami
perkembangan di seluruh bagian kotanya. Dalam penelitian ini, perkembangan
Kota Surakarta yang dimaksud adalah perkembangan fisik, sosial, dan ekonomi.
Indikator perkembangan Kota Surakarta salah satunya dapat dilihat dari aspek
sosial yakni jumlah penduduknya yang mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Jumlah penduduk tahun 1975 yaitu 426.032 jiwa sedangkan tahun 1985
sejumlah 502.150 jiwa, dari data tersebut terlihat bahwa dalam dekade 10 tahun
yakni tahun 1975-1985, jumlah penduduk Kota Surakarta mengalami
pertambahan sebesar 76.118 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk tahun 1995 yaitu
533.628 jiwa sehingga dapat dilihat bahwa tahun 1985-1995 jumlah penduduk
Kota Surakarta mengalami peningkatan sebesar 31.478 jiwa. Jumlah penduduk
tahun 2005 sejumlah 560.046 jiwa sehingga dapat dilihat peningkatan jumlah
penduduk yang terjadi selama kurun waktu 10 tahun (1995-2005) sebesar 26.418
jiwa (Surakarta dalam Angka Tahun 1975-2005).
Pertambahan penduduk dari tahun ke tahun tersebut mempengaruhi
adanya perkembangan fisik Kota Surakarta. Perkembangan fisik Kota Surakarta
disebabkan karena adanya pertambahan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi
penduduk. Semakin bertambahnya penduduk Kota Surakarta maka kebutuhan
akan ruang semakin bertambah. Kebutuhan ruang ini tidak hanya untuk perluasan
4 tersebut mengakibatkan adanya konversi lahan dari lahan tak terbangun menjadi
lahan terbangun. Luas lahan terbangun tahun 1975 di Kota Surakarta adalah
2.868,16 Ha sedangkan luas lahan terbangun tahun 2005 adalah 3.521,85 Ha
(Surakarta dalam Angka Tahun 1975-2005). Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa konversi lahan tak terbangun menjadi terbangun yang terjadi dalam dekade
30 tahun (tahun 1975-2005) di Kota Surakarta adalah sebesar 653,69 Ha
Perubahan penggunaan lahan ini menunjukkan adanya indikasi perkembangan
fisik Kota Surakarta.
Perkembangan ekonomi Kota Surakartasalah satunya ditunjukkan dengan
peningkatan PDRB Kota Surakarta dari tahun ke tahun. Pada tahun 1975 tingkat
PDRB Kota Surakarta mencapai 32.547,768 juta. Angka tersebut meningkat pada
tahun 1990 hingga mencapai 386.649,904 juta dan tahun 2005 menjadi
3.858.169,670 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan ekonomi Kota
Surakarta semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Sedangkan perkembangan permukiman di Kota Surakarta dapat dilihat
dari adanya peningkatan luas lahan permukiman di seluruh wilayah kota. Luas
lahan permukiman di Kota Surakarta tahun 1975 yaitu 2.868,16 Ha, sedangkan
luas lahan permukiman tahun 1996 meningkat menjadi 3.372,4849 Ha. Namun,
pada tahun 2005 luas permukimannya menurun menjadi 2.707,27 Ha (Surakarta
dalam Angka Tahun 1975-2005). Sehingga dapat dilihat dalam kurun waktu 30
tahun yakni tahun 1975-2005, luas lahan permukiman di Kota Surakarta
mengalami kenaikan namun setelah tahun 1997 luasnya mengalami penurunan.
Perkembangan permukiman yang signifikan dalam dekade 30 tahun tersebut
terjadi pada tahun 1980 ketika Kota Surakarta mengalami pemekaran fisik kota
(perembetan fisik kota) karena dampak dari urbanisasi dan industrialisasi yang
terjadi pada tahun 1970an di Kota Surakarta.
Berdasarkan studi tim P2KT (Proyek Pengembangan Kota Terpadu) pada
tahun 2000 Kota Surakarta mengalami pemekaran kota seluas ±12000 ha yang
terjadi pada hinterlandnya yakni seluas ±7000 ha pada Kabupaten Sukoharjo
(Baki, Grogol, dan Kartasura) dan seluas ±5000 ha pada Kabupaten Karanganyar
5 lebih banyak berkembang mengarah ke bagian selatan yakni Kabupaten
Sukoharjo.
Pemekaran kota ini ditandai dengan mulai menjamurnya pembangunan
perumahan (real estate, perumnas, komplek hunian baru) di hinterland Kota
Surakarta termasuk di Kabupaten Sukoharjo. Pembangunan perumahan di
pinggiran Kabupaten Sukoharjo ini merupakan limpahan dari adanya pertambahan
lahan permukiman di Kota Surakarta. Pembangunan perumahan di pinggiran
Kabupaten Sukoharjo yang paling terlihat adalah di Kawasan Solobaru. Kawasan
Solobaru menjadi daerah limpahan pertambahan kebutuhan lahan permukiman
Kota Surakarta karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Kota Surakarta dan
topografinya yang cenderung lebih sama dengan Kota Surakarta bila
dibandingkan dengan daerah hinterland Kota Surakarta yang lainnya. Berdasarkan
sejarah dari Kawasan Solobaru, pembangunan perumahan di Kawasan Solobaru
dimulai pada tahun 1987 oleh PT. Pondok Solo Permai (PSP). PT. Pondok Solo
Permai (PSP) yang awalnya berencana hanya membangun perumahan, kemudian
timbul gagasan baru untuk menciptakan kota baru. Akhirnya rencana
pembangunan perumahan dirubah menjadi menciptakan kota baru yang diberi
nama kota mandiri Solobaru dengan luas 1.075 Ha. Hingga kini kota mandiri
Solobaru terus berkembang dan perkembangan wilayahnya disebut dengan
Kawasan Solobaru yang meliputi dua kecamatan yakni kecamatan Baki dan
Grogol (RUTRK Solobaru tahun 1990-2010). Perkembangan Kawasan Solobaru
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal di Kawasan Solobaru tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor eksternal dari Kawasan Solobaru yakni adanya
pembangunan Kota Surakarta yang pesat sebagai akibat dari perkembangan Kota
Surakarta.
Adanya perkembangan Kawasan Solobaru merupakan dampak dari
perkembangan Kota Surakarta baik secara fisik maupun non fisik. Perkembangan
Kota Surakarta menjadikan Kawasan Solobaru sebagai daerah limpahan
kebutuhan permukiman Kota Surakarta. Hingga kini permukiman di Kawasan
Solobaru terus berkembang seiring dengan perkembangan Kota Surakarta.
6 penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perkembangan Kota Surakarta
terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
masalah dari penelitian yang dilakukan adalah bagaimana pengaruh
perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
1.3 Tujuan dan Sasaran
1.3.1 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka dapat
dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Mengetahui variabel perkembangan Kota Surakarta yang mana saja yang
dominan berpengaruh terhadap perkembangan permukiman di Kawasan
Solobaru.
2. Mengetahui bagaimana pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap
fisik, ekonomi, dan sosial permukiman di Kawasan Solobaru.
1.3.2 Sasaran
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, maka dapat
dirumuskan sasaran penelitian sebagai berikut :
1. Mengetahui perkembangan luas permukiman di Kota Surakarta dan Kawasan
Solobaru (tahun 1975-2005).
2. Mengetahui perkembangan jumlah rumah di Kota Surakarta dan Kawasan
Solobaru (tahun 1975-2005).
3. Mengetahui perkembangan jumlah sarana pendidikan, kesehatan, dan
perdagangan di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru (tahun 1975-2005).
4. Mengetahui perkembangan prasarana jalan di Kota Surakarta dan Kawasan
Solobaru (tahun 1975-2005).
5. Mengetahui perkembangan tingkat ekonomi (PDRB) Kota Surakarta dan
7 6. Mengetahui perkembangan jumlah penduduk Kota Surakarta dan Kawasan
Solobaru (tahun 1975-2005).
7. Mengetahui perkembangan interaksi sosial budaya masyarakat di Kawasan
Solobaru.
8. Mengetahui besaran pengaruh variabel perkembangan Kota Surakarta secara
bersama-sama terhadap perkembangan permukiman di Kawasan Solobaru.
9. Mengetahui besaran pengaruh setiap variabel perkembangan Kota Surakarta
terhadap perkembangan permukiman di Kawasan Solobaru.
1.4 Batasan Penelitian
Batasan wilayah penelitian yaitu Kawasan Solobaru seluas 5174 Ha yang
terdiri dari 2 kecamatan yakni kecamatan Baki dan Grogol (mengacu pada
Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Solobaru tahun 1990-2010) sebagai
kawasan yang perkembangannya dipengaruhi oleh Kota Surakarta dan Kota
Surakarta sebagai kota yang mempengaruhinya. Batasan wilayah penelitian
8
34 Lingkup materi penelitian yaitu mengenai pengaruh fisik, ekonomi, dan
sosial dari perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan
Solobaru.
Batasan waktu yang digunakan dalam penelitian adalah perkembangan
kota tahun 1975-2005 karena berdasarkan sejarah Kota Surakarta, pada tahun
1970an terjadi urbanisasi dan industrialisasi yang berdampak pada pemekaran
kota sehingga pada tahun 1987 menjadi awal terbentuknya Kawasan Solobaru.
1.5 Kerangka Pikir
Pola pikir yang mendasari perumusan penelitian ini selengkapnya dapat
35
Dampak Terhadap Berbagai Aspek Kota
Peningkatan Kebutuhan Kota
Kebutuhan Ruang Kota
Intensifikasi Ekstensifikasi Perkembangan Kawasan Solobaru
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
1.6 Sistematika Penulisan
TAHAP 1 PENDAHULUAN
Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
sasaran penelitian, batasan penelitian, kerangka pikir penelitian dan
36 TAHAP 2 LANDASAN PUSTAKA
Berisi tentang pengertian perumahan dan permukiman,
pertambahan penduduk (urbanisasi), teori perkembangan kota,
teori pemekaran kota, teori kebutuhan manusia terhadap hunian,
teori perumahan dan permukiman, teori bermukim, teori interaksi
desa-kota.
TAHAP 3 METODOLOGI PENELITIAN
Berisi mengenai metode yang digunakan dalam penelitian ini. Baik
itu metode dalam pengumpulan data maupun metode dalam
analisis.
TAHAP 4 TINJAUAN OBYEK KOTA SURAKARTA DAN KAWASAN
SOLOBARU
Berisi sejarah perkembangan Kota Surakarta dan Kawasan
Solobaru (tahun 1975-2005), data luas permukiman di Kota
Surakarta dan Kawasan Solobaru, data jumlah sarana perkotaan
(pendidikan, kesehatan, perdagangan) di Kota Surakarta dan
Kawasan Solobaru, data kependudukan, ekonomi, dan sosial
masyarakat Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru.
TAHAP 5 KAJIAN PENGARUH PERKEMBANGAN KOTA
SURAKARTA TERHADAP PERMUKIMAN DI KAWASAN
SOLOBARU
Berisi diskripsi kecenderungan perkembangan fisik, ekonomi, dan
sosial Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru (tahun 1975-2005),
pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap fisik, ekonomi,
dan sosial permukiman di Kawasan Solobaru, serta analisis jalur
(path analisys) untuk mengetahui besaran pengaruh perkembangan
Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
TAHAP 6 PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran.
BAB 2
37
2.1 Pengertian Pengaruh
a. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (2002, 849), pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang.
b. Menurut Badudu dan Zain (2004, 1031), pengaruh adalah : Daya yang menyebabkan sesuatu yang terjadi.
Sesuatu yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain. Tunduk atau mengikuti karena kuasa atau kekuatan orang lain.
2.2 Perkembangan Kota
2.3.1 Pengertian Perkembangan Kota
Menurut Hendarto, 1997 (dalam Ilyas Ali, 2006), perkembangan kota dapat diartikan sebagai suatu perubahan menyeluruh, yaitu yang menyangkut segala perubahan di dalam masyarakat kota secara menyeluruh, baik perubahan sosial ekonomi, sosial budaya, maupun perubahan fisik.
Pada umumnya terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kota, yaitu :
Faktor penduduk, yaitu adanya pertambahan penduduk, baik disebabkan karena pertambahan alami maupum karena migrasi.
Faktor sosial ekonomi, yaitu perkembangan kegiatan usaha masyarakat dan peningkatan PDRB kota.
Faktor sosial budaya, yaitu adanya perubahan pola kehidupan dan tata cara masyarakat akibat pengaruh luar, komunikasi, dan sistem informasi.
38
2.3.2 Struktur Perkembangan Kota
Struktur perkembangan kota dalam Yunus, 2000 dikemukakan oleh beberapa pakar yang menghasilkan beberapa teori struktur perkembangan kota, antara lain sebagai berikut :
a. Teori Konsentrik
Teori konsentrik yang diciptakan oleh E.W. Burgess ini didasarkan pada pengamatanya di Chicago pada tahun 1925, E.W. Burgess menyatakan bahwa perkembangan suatu kota akan mengikuti pola lingkaran konsentrik, dimana suatu kota akan terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini sekaligus mencerminkan tipe penggunaan lahan yang berbeda.
Gambar 2.1 Teori Konsentris (E.W. Burgess)
Keterangan :
Daerah pusat bisnis atau The Central Bussiness District (CBD)
Zona ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: (1) Bagian paling inti disebut RBD (Retail Business District). Merupakan daerah paling dekat dengan pusat kota. Di daerah ini terdapat toko, hotel, restoran, gedung, bioskop dan sebagainya. Bagian di luarnya disebut sebagai WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar antara lain seperti pasar, pergudangan dan gedung penyimpan barang supaya tahan lebih lama.
Daerah Transisi atau The Zone of Transition
39 Daerah pemukiman para pekerja atau The Zo e of Workki g e ’s ho es
Zona ini banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja pabrik, industri. Kondisi pemukimanya sedikit lebih baik dibandingkan dengan daerah transisi. Para pekerja disini berpenghasilan lumayan sehingga memungkinkan untuk hidup sedikit lebih baik.
Daerah tempat tinggal golongan kelas menengah atau The Zone of Middle Class Develiers
Daerah ini dihuni oleh kelas menengah yang terdiri dari orang-orang yang profesional, pemilik usaha/bisnis kecil-kecilan, manajer, para pegawai dan lain sebagainya. Fasilitas pemukiman terencana dengan baik sehingga kenyamanan tempat tinggal dapat dirasakan pada zona ini.
Daerah para penglaju atau The Commuters Zone
Merupakan daerah terluar dari suatu kota, di daerah ini bermunculan permukiman baru yang berkualitas tinggi. Daerah ini pada siang hari bisa dikatakan kosong, karena orang-orangnya kebanyakan bekerja.
Ciri khas utama teori ini adalah adanya kecenderungan, dalam perkembangan tiap daerah dalam cenderung memperluas dan masuk daerah berikutnya (sebelah luarnya). Prosesnya mengikuti sebuah urutan-urutan yang dikenal sebagai rangkaian invasi (invasion succesion). Cepatnya proses ini tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi kota dan perkembangan penduduk. Sedangkan di pihak lain, jika jumlah penduduk sebuah kota besar cenderung menurun, maka daerah disebelah luar cenderung tetap sama sedangkan daerah transisi menyusut kedalam daerah pusat bisnis. Penyusutan daerah pusat bisnis ini akan menciptakan daerah kumuh komersial dan perkampungan. Sedangkan interprestasi ekonomi dari teori konsentrik menekankan bahwa semakin dekat dengan pusat kota semakin mahal harga tanah.
40 Teori ini dikemukakan oleh Humer Hyot (1939), menyatakan bahwa perkembangan kota terjadi mengarah melalui jalur-jalur sektor tertentu. Sebagian besar daerah kota terletak beberapa jalur-jalur sektor dengan taraf sewa tinggi, sebagian lainnya jalur-jalur dengan tarif sewa rendah yang terletak dari dekat pusat kearah pinggiran kota. Dalam perkembangannya daerah-daerah dengan taraf sewa tinggi bergerak keluar sepanjang sektor atau dua sektor tertentu. Menurut Humer Hyot kecenderungan penduduk untuk bertempat tinggal adalah pada daerah-daerah yang dianggap nyaman dalam arti luas. Nyaman dapat diartikan dengan kemudahan-kemudahan terhadap fasilitas, kondisi lingkungan baik alami maupun non alami yang bersih dari polusi baik fiskal maupun nonfiskal, prestise yang tinggi dan lain sebagainya.
Gambar 2.2 Teori Sektor (Humer Hyot)
Keterangan :
Daerah Pusat Bisnis
Zona ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: (1) Bagian paling inti disebut RBD (Retail Business District). Merupakan daerah paling dekat dengan pusat kota. Di daerah ini terdapat toko, hotel, restoran, gedung, bioskop dan sebagainya. Bagian di luarnya disebut sebagai WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar antara lain seperti pasar, pergudangan dan gedung penyimpan barang supaya tahan lebih lama.
Daerah Industri ringan dan perdagangan
41
transportasi dan komunikasi yang berfungsi menghubungkan zona ini dengan
pusat bisnis.
Daerah pemukiman kelas rendah
Dihuni oleh penduduk yang mempunyai kemampuan ekonomi lemah. Sebagian zona ini membentuk persebaran yang memanjang di mana biasanya sangat dipengaruhi oleh adanya rute transportasi dan komunikasi. Walaupun begitu faktor penentu langsung terhadap persebaran pada zona ini bukanlah jalur transportasi dan komunikasi melainkan keberadaan pabrik-pabrik dan industri-industri yang memberikan harapan banyaknya lapangan pekerjaan.
Daerah pemukiman kelas menengah
Kemapanan ekonomi penghuni yang berasal dari zona 3 memungkinkannya tidak perlu lagi bertempat tinggal dekat dengan tempat kerja. Golongan ini dalam taraf kondisi kemampuan ekonomi yang menanjak dan semakin baik.
Daerah pemukiman kelas tinggi
Daerah ini dihuni penduduk dengan penghasilan yang tinggi. Kelompok ini
dise ut se agai status seekers , yaitu orang-orang yang sangat kuat status ekonominya dan berusaha mencari pengakuan orang lain dalam hal ketinggian status sosialnya.
c. Teori Pusat Kegiatan Banyak
42
Gambar 2.3 Teori pusat kegiatan banyak (Harris-Ulman)
Keterangan:
Daerah Pusat Bisnis
Zona ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: (1) Bagian paling inti disebut RBD (Retail Business District). Merupakan daerah paling dekat dengan pusat kota. Di daerah ini terdapat toko, hotel, restoran, gedung, bioskop dan sebagainya. Bagian di luarnya disebut sebagai WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar antara lain seperti pasar, pergudangan dan gedung penyimpan barang supaya tahan lebih lama.
Daerah Industri ringan dan perdagangan
Persebaran pada zona ini banyak mengelompok sepanjang jalur kereta api dan dekat dengan daerah pusat bisnis.
Daerah pemukiman kelas rendah
Zona ini mencerminkan daerah yang kurang baik untuk pemukiman sehingga penghuninya umumnya dari golongan rendah.
Daerah pemukiman kelas menengah
Zona ini tergolong lebih baik dari zona 3, dikarenakan penduduk yang tinggal di sini mempunyai penghasilan yang lebih baik dari penduduk pada zona 3.
Daerah pemukiman kelas tinggi
Zona ini mempunyai kondisi paling baik untuk permukiman dalam artian fisik maupun penyediaan fasilitas. Lokasinya relatif jauh dari pusat bisnis, namun untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di dekatnya dibangun daerah bisnis baru yang fungsinya sama seperti daerah pusat bisnis.
Daerah industri berat
43 lapangan pekerjaan. Penduduk berpenghasilan rendah bertempat tinggal dekat zona ini.
Daerah bisnis
Zona ini muncul seiring munculnya daerah pemukiman kelas tinggi yang lokasinya jauh dari daerah pusat bisnis, sehingga untuk memenuhi kebutuhan penduduk pada daerah ini maka diciptakan zona ini.
Daerah tempat tinggal pinggiran
Penduduk disini sebagian besar bekerja di pusat-pusat kota dan daerah ini hanya khusus digunakan untuk tempat tinggal.
Daerah industri di daerah pinggiran
Unsur transportasi menjadi prasyarat hidupnya zona ini. Pada perkembangan selanjutnya dapat menciptakan pola-pola persebaran keruangannya sendiri dengan proses serupa.
2.3 Urbanisasi
Pengertian urbanisasi dijelaskan dengan mengutip pendapat Nas yakni adanya sejumlah pengertian yang bisa ditarik dari pengertian urbanisasi, yaitu perubahan daerah pedesaan ke arah sifat kehidupan kota, pertumbuhan suatu pemukiman menjadi kota, perpindahan penduduk ke kota yang terlihat pada berbagai bentuk mobilitas penduduk, serta kenaikan proporsi penduduk yang tinggal di kota. Menurut Charles Whynne-Hammond (dalam Daldjoeni, 1987), salah satu faktor terjadinya urbanisasi adalah adanya industrialisasi.
44 pendidikan yang telah dicapai oleh setiap warga masyarakat yang bersangkutan; (3) adanya persepsi yang sampai saat ini berlaku, bahwa kota adalah pusat modernisasi dan merupakan segala-galanya untuk kemajuan orang perorangan atau kelompok orang; (4) terjadinya proses cepat dalam pergeseran nilai-nilai sosio-budaya di kalangan masyarakat pedesaan sebagai akibat arus informasi yang semakin menjagat; (5) semakin baik dan lancarnya sistem transportasi yang menjalin wilayah-wilayah perkotaan dengan wilayah-wilayah hinterlandnya; (6) urbanisasi adalah salah satu indikasi kemajuan ekonomi dari suatu kawasan tertentu.
2.4 Urban Fringe
Daerah pinggiran kota (urban fringe) sebagai suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai bidang ilmu seperti geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930an saat pertama kali istilah urban fringe
dikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan fisikal misal perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi (Subroto, dkk, 1997). Pokok persoalan yang terdapat di daerah urban fringe pada dasarnya dipicu oleh proses transformasi spasial dan sosial akibat perkembangan daerah urban yang sangat intensif. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah perkembangan kota yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang berdampak pada perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggiran kota.
Menurut Howard pada akhir abad ke 19 (dalam Daldjoeni, 1987), diantara daerah perkotaan, daerah perdesaan, dan daerah pinggiran kota, ternyata daerah pinggiran kota memberikan peluang paling besar untuk usaha-usaha produktif maupun peluang paling menyenangkan untuk bertempat tinggal. Manusia sebagai penghuni daerah pinggiran kota selalu mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya. Adaptasi dan aktivitas ini mencerminkan dan juga mengakibatkan adanya perubahan sosial, ekonomi, kultural, dan lain-lain (Daldjoeni, 1987).
45 ekonomi yang lebih baik ini para pemukim di daerah pinggiran kota cenderung mempunyai tingkat pendidikan yang lebih baik pula.
Salah suatu teori yang menjelaskan gejala perkembangan kota yaitu teori kekuatan dinamisyang dikemukakan oleh Colby pada tahun 1959. Salah satu hal yang mendasari teori ini adalah karena adanya persepsi terhadap lingkungan dari penduduk yang berbeda-beda maka timbulah kekuatan-kekuatan yang menyebabkan pergerakan penduduk yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan di luar kota atau daerah pinggiran kota. Kekuatan dari teori kekuatan dinamis adalah kekuatan sentripetal yaitu kekuatan yang menyebabkan berpindahnya penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan dari bagian dalam ke arah luar dari pada suatu kota. Dan kekuatan sentrifugal yaitu kekuatan yang mengakibatkan pengaruh perubahan bentuk tata guna lahan suatu kota yang realisasinya berwujud sebagai gerakan penduduk yang berasal dari dalam kota menuju luar kota.
2.5 Urban Sprawl
Urban sprawl atau pemekaran kota adalah perluasan wilayah kota akibat terjadinya perkembangan dan pertumbuhan kota. Arah pemekaran kota berbeda-beda bergantung pada kondisi kota dan kondisi wilayah sekitarnya. Kondisi alam seperti perbukitan dan lautan dapat menghentikan laju pemekaran kota. Daerah-daerah yang menjadi penghambat pemekaran kota tersebut dianggap sebagai daerah lemah. Sementara itu, daerah-daerah yang memiliki potensi ekonomi yang baik dapat menjadi daerah yang memiliki daya tarik yang kuat untuk pemekaran kota.
Suatu kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik. Khususnya mengenai aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan perkotaan maupun penggunaan lahan pedesaan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan arealnya yang dise ut pe dekata orfologi kota atau Ur a Morphologi al Approa h (Yunus, 2000).
46 cultural dan lingkungan dimana kota tersebut berkembangan. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut ur a spra l . Adapun macam ur a
spra l (dalam Yunus, 2000) adalah sebagai berikut :
a. Tipe 1 : Perembetan konsentris (Concentric Development / Low Density
continous development)
Gambar 2.4 Perembetan konsentris
Tipe perembetan konsentris dikemukakan pertama kali oleh Harvey Clark (1971) yang menyebut tipe ini sebagai lo de sity, o ti ous de elop e t dan Wallace (1980) menyebut o e tri de elop e t . Tipe perembetan paling lambat, berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakkan fisik kota yang sudah ada sehingga akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang kompak. Peran transportasi terhadap perembetannya tidak begitu besar.
b. Tipe 2: Perembetan memanjang (ribbon development/lineair
development/axial development)
Gambar 2.5 Perembetan Linear
47 pusat kota. Daerah di sepanjang rute transportasi merupakan tekanan paling berat dari perkembangan (Yunus, 2000).
Tipe ini perembetannya tidak merata pada semua bagian sisi luar dari pada daerah kota utama. Perembetan bersifat menjari dari pusat kota disepanjang jalur transportasi.
c. Tipe 3: Perembetan yang meloncat (leap frog development/checkkerboard
development)
Gambar 2.6 Perembetan Meloncat
Perembetan yang terjadi pada tipe ini dianggap paling merugikan oleh kebanyakan pakar lingkungan, tidak efisien dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian, sehingga cepat menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan pertanian pada wilayah yang luas sehingga penurunan produktifitas pertanian akan lebih cepat terjadi.
Menurut Northam (dalam Yunus, 2000), mengacu pada hubungan antara eksistensi batas fisik kota dengan batas administrasi kota, terlihat ada 3 macam kemungkinan hubungan, yakni :
Sebagian batas fisik kekotaan berada jauh di luar batas administrasi kota. Kondisi kota yang mengalami situasi seperti ini disebut sebagai “under
bounded city.
48
Batas fisik kota konsiden dengan batas administrasi kota. Kondisi kota yang mengalami situasi seperti ini disebut sebagai “true bounded city.
2.6 Perumahan dan Permukiman
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan fisiologis yang saling melengkapi dengan kebutuhan keamanan dan keselamatan. Berikut adalah pengertian dari perumahan dan permukiman.
2.7.1 Pengertian Perumahan
Perumahan menurut UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
Menurut Soedjajadi Keman dalam bukunya yang berjudul Kesehatan Perumahan, perumahan didefinisikan sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan misalnya penyediaan air minum, pembuangan sampah, listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan lingkungan pemukiman berfungsi sebagaimana mestinya dan sarana lingkungan yaitu fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan serta pengembangan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya, seperti fasilitas taman bermain, olah raga, pendidikan, pertokoan, sarana perhubungan, keamanan,serta fasilitas umum lainnya.
2.7.2 Pengertian Permukiman
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan, maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman).
49 idaman, berhubungan secara timbal balik dengan lingkungan fisik tempat tinggalnya. Karena tempat bermukim adalah gejala budaya yang wujud dan keteraturannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya pemukimnya (Rapoport, 1987). Menurut Doxiadis (1968), permukiman mempunyai lima elemen yaitu alam yang dibangun, manusia yang membentuk dan mendiami alam, kehidupan sosial kemasyarakatan yang berupa hubungan antar manusia, wadah yang melindungi, dan jaringan yang memberi kemudahan bagi manusia untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatannya. Permukiman terbentuk dari beberapa komponen (dalam buku Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, 2006) yaitu :
a. Alam
Geologi
Geologi merupakan kondisi batuan dimana permukiman tersebut
berada. Sifat dan karakter geologi suatu permukiman (wilayah) akan
berbeda dengan permukiman yang lain. Perbedaan tersebut antara lain
disebabkan oleh adanya kondisi dan letak geografis yang berbeda.
Misalnya wilayah pegunungan dengan daerah di tepi pantai akan
mempunyai kondisi geologi yang berbeda.
Topografi
Topografi merupakan kemiringan suatu wilayah yang juga ditentukan
oleh letak dan kondisi geografis suatu wilayah. Kemiringan permukaan
suatu wilayah permukiman dengan wilayah permukiman yang lain pasti
berbeda. Sebagai contoh, topografi suatu lereng pegunungan akan miring
relatif terjal, akan tetapi pada daerah selain pegunungan maka
topografinya cendeung datar.
Tanah
Tanah merupakan media untuk meletakkan bangunan (rumah) dan
menanam tanaman yang dapat digunakan untuk menopang kehidupan,
yaitu untuk mencukupi kebutuhan pangan. Tanah sebenarnya juga
mempunyai ciri dan karakter yang berbeda. Oleh karena itu untuk
melakukan pembangunan perumahan harus dipikirkan juga faktor
50 sesuai dengan peruntukannya, kemudian pembagian peruntukannya juga
harus disesuaikan dengan peraturan kelembagaan yang berlaku (misalnya
perbandingan daerah terbangun dan wilayah terbuka sebesar 40%
dibanding 60% dan sebagainya, agar kelestarian lingkungan tetap terjaga
sepanjang masa.
Air
Air merupakan sumber kehidupan yang pokok dan vital sepanjang
kehidupan masih berlangsung, baik untuk manusia maupun makhluk hidup
yang lain. Oleh karenanya dalam perencanaan pembangunan permukiman
perlu dipertimbangkan dengan masak, baik penataan maupun persentase
peruntukan lahannya, agar kondisi air tanah tetap terjaga
keseimbangannya.
Tumbuh-tumbuhan
Tumbuh-tumbuhan merupakan salah satu elemen yang dapat dijadikan
sebagai bahan makanan guna mempertahankan dan meningkatkan kualitas
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Hewan
Hewan merupakan jenis makhluk hidup lain yang keberadaannya dapat
mendukung dan menguntungkan kehidupan manusia. Dengan adanya
hewan tersebut manusia bisa tercukupi kebutuhannya (sebagai alat bantu).
Hewan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan dalam kehidupan
sehari-hari.
Iklim
Iklim merupakan kondisi alami pada suatu wilayah permukiman,
dimana antara satu permukiman yang satu dengan yang lain mempunyai
kondisi yang berbeda, tergantung letak dan posisi geografis wilayah
tersebut.
b. Manusia
Di dalam suatu wilayah permukiman, manusia merupakan pelaku utama
kehidupan, di samping makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan, dan
51 manusia membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang kelangsungan
hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur, dan
lain-lain), perasaan dan persepsi kebutuhan emosional, serta kebutuhan akan
nilai-nilai moral.
c. Masyarakat
Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam
suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang
berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang
mendiami suatu wilayah permukiman adalah sebagai berikut :
Kepadatan dan komposisi penduduk.
Kelompok sosial.
Bangunan (rumah) merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh
karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan
perhatian khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di
tempat tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang dapat digunakan sepanjang
operasional kehidupan manusia bisa dikategorikan sesuai dengan fungsi
masing-masing, yaitu :
Rumah pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lain-lain).
Fasilitas rekreasi (fasilitas hiburan).
Pusat perbelanjaan (perdagangan) dan pemerintahan.
Industri.
52 Networks merupakan sistem buatan maupun alam yang menyediakan
fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman. Untuk sistem buatan,
tingkat pemenuhannya bersifat relatif, dimana antara wilayah permukiman
yang satu dengan yang lain tidak harus sama. Sebagai contoh, untuk daerah
pegunungan akan berbeda dengan daerah perkotaan dalam hal pemenuhan air
bersih. Di daerah pegunungan air bersih dapat dengan mudah diperoleh
sehingga tidak membutuhkan jaringan air bersih. Di wilayah perkotaan,
jaringan air bersih mutlak diperlukan karena air dari sumur biasanya sudah
tercemar dengan limbah, baik industri maupun rumah tangga. Sistem buatan
yang keberadaannya diperlukan di dalam suatu wilayah, antara lain adalah :
Sistem jaringan air bersih.
Sistem jaringan listrik.
Sistem transportasi.
Sistem komunikasi.
Drainase dan air kotor.
Tata letak fisik.
Menurut Friedmann (dalam Yunus, 2006), perkembangan permukiman kekotaan disebabkan oleh dua proses yang terkait satu sama lain, yakni proses sosial ekonomi dan proses spasial. Proses sosial ekonomi mendahului proses spasial namun adakalanya proses spasial mendahului proses sosial ekonomi.
2.7 Kebutuhan Manusia Terhadap Hunian
53
Gambar 2.7 Hierarki Kebutuhan Manusia Terhadap Hunian (Maslow, 1970)
a. Survival Needs
Tingkat kebutuhan yang paling dasar ini merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi pertama kali. Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana untuk
menunjang keselamatan hidup manusia. Kebutuhan untuk dapat selamat
berarti manusia menghuni bangunan rumah agar dapat selamat dan tetap
hidup, terlindung dari gangguan iklim maupun makhluk hidup yang lain.
b. Safety and Security Needs
Kebutuhan terhadap keselamatan dan keamanan yang ada pada tingkat
berikutnya ini terkait dengan keselamatan dari kecelakaan, keutuhan anggota
badan serta hak milik. Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana
perlindungan untuk keselamatan anggota badan dan hak milik tersebut.
c. Affiliation Needs
Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana agar dapat diakui sebagai
anggota dalam golongan tertentu. Hunian di sini berperan sebagai identitas
seseorang untuk diakui dalam golongan masyarakat.
Cognitive and Aesthetic Needs
Esteem Needs
Survival Needs Safety and Security Needs
54
d. Esteem Needs
Kebutuhan berikutnya terkait dengan aspek psikologis. Manusia butuh
dihargai dan diakui eksistensinya. Terkait dengan hal ini hunian merupakan
sarana untuk mendapatkan pengakuan atas jati dirinya dari masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Pada tingkatan ini, rumah sudah bukan tergolong
kebutuhan primer lagi, tetapi sudah meningkat kepada kebutuhan yang lebih
tinggi yang harus dipenuhi setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Rumah yang
mewah, bagus, dapat memberikan kebanggaan dan kepuasan kepada pemilik
rumah tersebut.
e. Cognitive and Aesthetic Needs
Tingkatan yang paling tinggi dari kebutuhan manusia ini terkait dengan
aspek psikologos, seperti halnya esteem needs. Hanya saja pada level ini
hunian tidak saja merupakan sarana peningkatan kebanggaan dan harga diri,
tetapi juga agar dapat dinikmati keindahannya. Pada tingkatan ini, produk
hunian tidak hanya sekedar untuk digunakan tetapi juga dapat memberi
dampak kenikmatan (misalnya dinikmati secara visual) pada lingkungan
sekitarnya.
2.8 Kecenderungan Pemilihan Lokasi Bermukim
55
2.9.1 Menurut E. W Burgess
Menurut teori burges yang menggambarkan bahwa kota adalah sebuah radial dengan lapisan didalamnya dimana tiap lapisan menunjukkan fungsi-fungsi lahan. Menurut teori konsentris Burges dapat digambarkan :
PDK (Pusat Daerah Kegiatan) Daerah Transisi
Permukiman MBR Permukiman MBM Permukiman MBT
Gambar 2.8 Konsep Bermukim Menurut Burgess
Secara ideal antara selaput lapisan mempunyai batasan yang jelas namun pembentukan tidak selalu radial dapat berupa elips atau bentuk lain dan tetap mempunyai inti tunggal. Permukiman pinggiran disini terletak pada lapisan ke 4 dan 5 dari dalam. Dengan ditunjukkan bahwa masyarakat disana adalah yang berpenghasilan menengah ke atas.
2.9.1 Menurut Turner
Konsep bermukim di daerah pinggiran menurut Turner dapat dijelaskan sebagai berikut :
Prioritas
S
K
56
I II III
Gambar 2.9 Konsep Bermukim Menurut Turner
I : golongan ekonomi lemah (squatting) II : golongan ekonomi lemah
III : golongan ekonomi menengah dan tinggi J : jarak dari pusat kota
S : status tanah K : kenyamanan
Dari konsep Turner diatas golongan ekonomi menengah keatas cenderung memilih lokasi bermukim yang semakin jauh dari pusat kota karena menginginkan kenyamanan dari lingkungan perumahan yang ditempati. Tidak terlalu memikirkan besarnya biaya transportasi yang tinggi apabila lokasi tersebut jauh dari pusat kota.
2.9 Interaksi Desa Kota (rural-urban lingkage)
Interaksi desa-kota adalah proses hubungan yang bersifat timbal balik antar unsur-unsur yang ada di kota dan di desa dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan melalui kontak langsung, berita yang didengar atau surat kabar sehingga melahirkan sebuah gejala baru, baik berupa fisik maupun non fisik.
Wujud interaksi desa-kota antara lain adalah adanya pergerakan barang dari desa ke kota atau sebaliknya seperti pemindahan hasi pertanian, produk industri dan barang tambang, pergerakan gagasan dan informasi terutama dari kota ke desa, pergerakan manusia dalam bentuk rekreasi, urbanisasi, mobilitas penduduk baik yang sifatnya sirkulasi maupun komutasi.
Interaksi antara desa-kota melahirkan suatu perkembangan baru bagi desa maupun bagi kota. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan potensi yang dimiliki desa maupun kota, dan adanya persamaan kepentingan. Menurut Edward Ulman ada 3 faktor penyebab interaksi antar wilayah, yaitu :
57 Wilayah yang memiliki potensi sumber daya yang berbeda-beda baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Perbedaan sumber daya kota dan desa menyebabkan timbulnya interaksi. Jadi ada kebutuhan saling melengkapi atau komplementaritas. Ini didorong oleh permintaan dan penawaran. Perancis berdagang anggur dengan Belanda karena Belanda merupakan konsumennya. Relasi komplementaritas hanya terjadi jika tawaran bermanfaat bagi pihak yang minta. Manfaatnya ditentukan oleh banyak hal seperti : budaya, pengetahuan, teknik, kondisi kehidupan dan sebagainya. Semakin besar komplementaritas, semakin besar arus komoditas.
Manfaat Interaksi Desa-Kota bagi Perkotaan :
Terpenuhinya sumber daya alam sebagai bahan mentah/bahan baku industri. Terpenuhinya kebutuhan pokok yang dihasilkan pedesaan.
Terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan bagi perkotaan. Tersedianya tempat pemasaran hasil industri.
Manfaat Interaksi Desa-Kota bagi Pedesaan :
Terpenuhinya barang-barang yang tidak ada di desa
Masuknya pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari kota ke pedesaan.
Membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian. b. Intervening Opportunity (kesempatan untuk berintervensi)
Adalah adanya kesempatan untuk timbulnya interaksi antarwilayah dan dapat memenuhi kebutuhan sumber daya wilayah tersebut. Jadi, semakin besar intervening opportunity, semakin kecil arus komoditas.
c. Spatial Transfer Ability (kemudahan pemindahan dalam ruang)
Adalah kemudahan pemindahan dalam ruang baik berupa barang, jasa, manusia maupun informasi. Proses pemindahan dari kota ke desa atau sebaliknya dipengaruhi antara lain :
Jarak mutlak maupun jarak relatif antarwilayah
58 Jadi, semakin mudah transfer abilitas, semakin besar arus komoditas.
Kedudukan desa dalam interaksi adalah, desa berfungsi sebagai hinterland atau daerah dukung yang berfungsi sebagai suatu daerah pemberi bahan makanan pokok seperti padi, jagung, ketela disamping bahan makanan lain seperti kacang, kedelai, buah-buahan dan bahan makanan lain yang berasal dari hewan. Dari sudut ekonomi, sebagai lumbung bahan mentah, pensupplai tenaga kerja. Dari segi kegiatan kerja (occupation) desa dapat merupakan desa agraris, desa manufaktur, desa industri, desa nelayan dan sebagainya.
Dampak adanya interaksi desa-kota dapat menimbulkan pengaruh positif maupun pengaruh negatif terhadap desa dan kota termasuk penghuninya.
a. Dampak positif interaksi desa-kota :
Tingkat pengetahuan penduduk desa bertambah karena lebih banyak sekolah di pedesaan. Demikian pengetahuan tentang pemilihan bibit unggul, pemeliharaan keawetan atau kelestarian kesuburan tanah menjadi lebih diperhatikan. Pengetahuan mengenai usaha-usaha lain di bidang yang nonagraris menjadi lebih terbuka.
Mengurangi ketertinggalan dan ketimpangan. Terbukanya wilayah desa karena transportasi yang baik sehingga hubungan sosial-ekonomi warga desa dan kota semakin baik.
Masuknya para ahli di berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan banyak bermanfaat bagi desa dalam melestarikan lingkungan pedesaan khususnya pencegahan erosi dan pencarian sumber air bersih dan di bidang pengairan. Teknologi masuk desa menyebabkan deversifikasi produk, misalnya teknologi
tepat guna di bidang pertanian dan peternakan meningkatkan produksi desa, sehingga penghasilan penduduk desa dapat bertambah.
Campur tangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah meningkatkan kualitas dan kuantitas di bidang wiraswasta seperti kerajinan tangan, industri rumah tangga, peternak unggas dan sapi.
59 Pengetahuan dan kesadaran mempunyai keluarga kecil telah mulai diresapi di banyak daerah pedesaan.
Berkembangnya koperasi dan organisasi sosial di pedesaan telah menunjukkan bukti juga adanya pengaruh positif di daerah pedesaan.
b. Dampak negatif :
Penetrasi kebudayaan kota ke desa yang tidak sesuai dengan kebudayaan atau tradisi desa mengganggu tata pergaulan atau seni budaya desa. Misalnya
pe garuh dari fashion-show , atau er agai ko tes ke a tika telah ditiru oleh
para wanita di beberapa daerah pedesaan.
Pengaruh televisi mempunyai segi negatif, misalnya pengaruh dari film-film barat yang berbau kejahatan dapat meningkatkan kriminalitas di pedesaan. Terbukanya kesempatan kerja dan daya tarik kota di berbagai bidang telah
banyak menyerap pemuda desa sehingga desa mengalami pengurangan tenaga potensial di bidang pertanian karena yang tinggal di pedesaan hanya orang-orang tua yang semakin kurang produktif.
Motivasi urbanisasi tinggi sehinga terjadi perluasan kota dan masuknya orang-orang kota ke daerah pedesaan yang telah banyak mengubah tata guna lahan di pedesaan, terutama di tepian kota yang berbatasan dengan kota. Banyak daerah hijau telah menjadi daerah pemukiman atau bangunan lainnya.
Munculnya slum area dan squatter area.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Obyek Penelitian
3.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dengan judul Pengaruh Perkembangan Kota Surakarta terhadap
Permukiman di Kawasan Solobaru ini berlokasi di Kota Surakarta dan Kawasan
60 perkembangan Kota Surakarta. Penentuan lokasi penelitian ini, didasarkan pada
pertimbangan bahwa perkembangan Kawasan Solobaru dipandang relatif
dipengaruhi oleh Kota Surakarta walaupun ada faktor lain di luar Kota Surakarta
maupun Kawasan Solobaru yang mempengaruhinya. Berdasarkan studi tim P2KT
(Proyek Pengembangan Kota Terpadu) pada tahun 2000 Kota Surakarta
mengalami pemekaran kota seluas ±12000 ha yang terjadi pada hinterlandnya
yakni seluas ±7000 ha pada kabupaten Sukoharjo (Baki, Grogol, dan Kartasura)
dan seluas ±5000 ha pada kabupaten Karanganyar (Ngringo dan Colomadu). Hal
ini menunjukkan bahwa pemekaran Kota Surakarta lebih banyak berkembang
mengarah ke bagian selatan yakni kabupaten Sukoharjo. Banyak penduduk
Kawasan Solobaru yang memilih tinggal di Kawasan Solobaru karena dekat
dengan Kota Surakarta. Penduduk di Kawasan Solobaru juga tidak sedikit yang
menggunakan fasilitas di Kota Surakarta.
3.1.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dengan judul Pengaruh Perkembangan Kota Surakarta
terhadap Permukiman di Kawasan Solobaru ini adalah 6 bulan yakni dari bulan
februari sampai bulan juli 2010.
Tahun penelitian ditentukan tahun 1975 – 2005 karena kurun waktu 30
tahun tersebut digunakan untuk mencari pengaruh dari perkembangan Kota
Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru. Tahun 1975 dipilih sebagai
awal penelitian karena pada tahun 1970 terjadi industrialisasi dan urbanisasi di
Kota Surakarta hingga menyebabkan pemekaran kota pada tahun 1980. Kemudian
pada tahun 1984 merupakan awal mula perkembangan Kawasan Solobaru yang
dimulai dengan pembangunan perumahan di Kawasan Solobaru oleh PT. PSP.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dengan judul Pengaruh Perkembangan Kota Surakarta
terhadap Permukiman di Kawasan Solobaru ini adalah penelitian deskriptif –
eksplanatory. Menurut Sugiyono (2003), penelitian deskriptif eksplanatory adalah
61 serta hubungan antara satu variable dengan variable yang lain. Penelitian
deskriptif eksplanatory yang dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Penelitian deskriptif
Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha
menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.
Penelitian ini juga sering disebut non eksperimen, karena pada penelitian ini
penelitian tidak melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian.
Dengan metode deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan
hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan
mengembangkan teori yang memiliki validitas universal.
Dalam penelitian ini, pendekatan deskriptif digunakan untuk memaparkan
perkembangan Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru dalam kurun waktu 30
tahun yakni tahun 1975 sampai 2005. Deskriptif perkembangan kota yang
dipaparkan adalah perkembangan fisik, ekonomi dan sosial.
b. Penelitian eksplanatory
Penelitian eksplanatory merupakan penelitian yang bertujuan untuk
menjelaskan bagaimana sebuah fenomena sosial terjadi. Dalam penelitian ini,
pendekatan eksplanatory digunakan dalam pembahasan yakni dalam
menganalisis variabel perkembangan Kota Surakarta yang berpengaruh
terhadap permukiman di Kawasan Solobaru. Analisis tersebut dilakukan
dengan path analisys untuk menemukan besaran pengaruh dari setiap
indikator perkembangan Kota Surakarta yang berpengaruh terhadap
permukiman di Kawasan Solobaru.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara
verifikasi dari kajian pustaka. Adapun variabel yang digunakan adalah variabel
independent, variabel dependent dan variabel lain.
a. Variabel Independent
Variabel independent merupakan variabel bebas. Yang dimaksud variabel
bebas dalam penelitian ini adalah faktor perkembangan Kota Surakarta yang
62 perkembangan Kota Surakarta yang dianggap dominan berpengaruh terhadap
perkembangan hinterlandnya, yakni sebagai berikut :
Tabel 3.1 Variabel Independent dalam Penelitian
Faktor Perkembangan
Kota Surakarta
Verifikasi variabel penelitian dengan landasan pustaka
Deskripsi Tokoh
Pertambahan Jumlah Penduduk
Salah satu faktor perkembangan kota adalah faktor penduduk, yaitu adanya pertambahan penduduk, baik disebabkan karena pertambahan alami maupum karena migrasi.
Hendarto (1997)
Pertambahan Rumah
Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang.
Yunus (1987)
Luas
Permukiman
Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang.
Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang.
Yunus (1987)
Prasarana Jalan Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang.
Yunus (1987)
Peningkatan PDRB
Salah satu faktor perkembangan kota adalah faktor sosial ekonomi, yaitu peningkatan PDRB kota dan perkembangan kegiatan usaha masyarakat.
Hendarto (1997)
Interaksi Sosial Salah satu faktor perkembangan kota adalah faktor sosial budaya, yaitu adanya perubahan pola kehidupan dan tata cara masyarakat akibat pengaruh luar/interaksi sosial, komunikasi, dan sistem informasi.
Hendarto (1997)
Sumber : Hasil Identifikasi, 2010
Jumlah sarana yang dimaksud dalam penelitian ialah jumlah sarana
perdagangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan sarana industri dan
rekreasi menjadi variabel lain, karena industri besar di Kota Surakarta sudah
semakin berkurang meskipun terdapat industri kreatif yang semakin
bermunculan, dan Kota Surakarta bukanlah kota untuk tujuan rekreasi tetapi
hanyalah kota rekreatif. Berikut adalah penurunan jumlah industri besar di
63
Gambar 3.1 Penurunan Jumlah Industri Besar di Kota Surakarta
b. Variabel Dependent
Variabel dependent merupakan variabel terikat. Yang dimaksud variabel
terikat dalam penelitian ini yaitu :
Jumlah Penduduk Kawasan Solobaru
Jumlah Rumah Kawasan Solobaru
Luas Permukiman Kawasan Solobaru
Jumlah Sarana Kawasan Solobaru c. Variabel Lain
Variabel lain adalah faktor yang mempengaruhi variabel dependent tetapi
tidak dijadikan variabel independent, seperti :
Bertambahnya pedagang kaki lima atau sektor informal lain yang berkembang di Kota Surakarta.
Bertambahnya industri kreatif yang semakin banyak di Kota Surakarta.
Meningkatnya prasarana jalan di Kawasan Solobaru.
Bertambahnya tempat rekreasi di Kota Surakarta.
Perkembangan komunikasi dan sistem informasi.
Dan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi variabel dependent.
3.4 Populasi dan Sampel
Menurut Singarimbun (1995), populasi ialah jumlah keseluruhan dari unit
analisa yang ciri-cirinya akan diduga. Populasi yang akan dijadikan dasar
pengambilan sample dalam penelitian ini adalah penduduk yang ada di Kota
64 Menurut Suharsimi (1996), sampel adalah sebagian atau wakil populasi
yang diteliti. Perhitungan sample menurut Gay dan Diehl, 1992 (dalam artikel
“Teknik Sampling” oleh Hasan Mustafa, 2000) dalam penelitian perbandingan kausal, sample yang digunakan adalah minimal 30. Karena penelitian ini
merupakan penelitian yang bersifat kausalitas, maka dalam penelitian ini sampel
yang diambil adalah 30.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati,
dan dicatat untuk pertama kalinya. Data primer ini diperoleh dari hasil
pengamatan lapangan pada waktu studi dilakukan, angket (kuesioner) dan
wawancara dengan informan yang terkait. Instrument yang digunakan adalah
pedoman wawancara, angket (kuesioner) bagi sejumlah responden.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh tidak secara langsung. Data ini diperoleh
dari instansi-instansi terkait dengan penelitian ini.
Berikut ini adalah tabel kebutuhan data primer dan data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini :
Tabel 3.2 Data yang Digunakan dalam Penelitian
Aspek Data Sifat Jenis Data Sumber
Fisik
a. Literatur mengenai sejarah perkembangan Kota Surakarta dan Solobaru.
Kualitatif Sekunder
65 b. Kebijakan penggunaan lahan di
Kota Surakarta dan Solobaru
(RTRW Surakarta, RTRW
kabupaten Sukoharjo, dan RUTR Kawasan Solobaru).
Kualitatif Sekunder
Solobaru
c. RTRW provinsi Jawa Tengah Kualitatif Sekunder
d. Data dan peta penggunaan lahan di Kota Surakarta dan Solobaru.
Kuantitatif dan Kualitatif
Sekunder
e. Data jumlah rumah dan luas permukiman di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru.
Kuantitatif Sekunder
f. Data jumlah sarana perkotaan
(pendidikan, kesehatan,
perdagangan) dan prasarana jalan di Kota Surakarta dan Solobaru.
Kuantitatif Sekunder
Ekonomi a. PDRB Kota Surakarta Kuantitatif Sekunder BPS
Sosial
a. Jumlah penduduk tahun
1975-2005 Kuantitatif Sekunder
BPS, Kecamatan, Penduduk (wawancara,
kuesioner), observasi.
b. Interaksi Sosial Budaya Kualitatif Primer
Sumber : Identifikasi Peneliti
Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara merupakan suatu teknik mendekati sumber informasi dengan
jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berdasarkan
tujuan penelitian. Wawancara merupakan percakapan dengan tujuan tertentu
dan dilakukan oleh pewawancara dan informan (Moleong, 1993).
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan pendekatan
menggunakan petunjuk umum wawancara yaitu pewawancara membuat
kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses
wawancara kepada informan yang bertindak sebagai responden yang terdiri
dari sejumlah penduduk yang tinggal di Kawasan Solobaru serta instansi
pemerintah. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara terbuka yaitu
wawancara yang dilakukan secara terbuka, akrab dan penuh kekeluargaan.
Wawancara terbuka ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang menuntut
66
beberapa kata atau hanya pada jawaban “ya” atau “tidak” saja, tetapi dapat
memberikan keterangan dan cerita yang panjang. Wawancara ini dimaksudkan
untuk memperoleh informasi yang sifatnya mendalam terhadap
masalah-masalah yang diajukan.
b. Observasi Langsung
Menurut Sutrisno Hadi (Metode Research, 1981), observasi adalah suatu
proses pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan kemudian
melakukan pencataan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang
terjadi.
Observasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang apa yang
dilihat dan diperhatikan pada saat dilapangan. Kegiatan ini tidak hanya
dilakukan sekali melainkan berulang-ulang. Sebab dengan pengulangan
diharapkan data yang diperoleh akan lebih valid dan akan diperoleh hasil yang
nyata dan mendalam.
Dalam penelitian ini, data hasil observasi digunakan untuk mengetahui
interaksi penduduk Kawasan Solobaru dengan Kota Surakarta sehingga dapat
digunakan untuk mendukung data yang lain.
c. Dokumentasi
Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data guna
mendukung penelitian. Teknik dokumentasi bertujuan untuk memperoleh data
berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari buku-buku, literatur, laporan
serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penulisan. Dokumen ini
dapat diperoleh dari lembaga pemerintah dan arsip serta dokumen pribadi. Hal
ini sesuai dengan pendapat H.B Sutopo (Metode Penelitian Kualitatif, 1990),
yaitu bahwa dokumen dan arsip adalah sumber informasi tertulis yang
berkaitan dengan suatu peristiwa atau kegiatan.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode dokumentasi
adalah cara pengumpulan data yang dibutuhkan sebagai bukti dan keterangan
dalam bentuk tulisan maupun yang tampak. Dokumentasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah berupa arsip yang berkaitan dengan perkembangan
67 d. Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu
untuk dijawab oleh responden. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
teknik kuesioner untuk mengetahui sikap responden terhadap pengaruh
perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner terbuka, yaitu kuesioner yang
memberi kesempatan penuh memberi jawaban menurut apa yang dirasa perlu
oleh responden.
Dalam penelitian ini diusahakan memperoleh validitas data yang dapat
dipertanggung jawabkan. Validitas merupakan keakuratan data yang telah
dikumpulkan yang nantinya akan dianalisa dan ditarik kesimpulannya pada
akhir penelitian. Usaha meningkatkan validitas data dilakukan dengan :
Trianggulasi
Menurut Moleong (1993), trianggulasi merupakan teknik pemeriksaan
keabsahan data dengan menggunakan sesuatu yang lain selain data
tersebut untuk memeriksa atau untuk membandingkan data yang telah ada
tersebut.
Untuk menjamin kesahan data yang diperoleh dalam penelitian ini
maka dilakukan dengan trianggulasi data. Trianggulasi dilakukan dengan
trianggulasi data sumber. Trianggulasi data sumber dalam penelitian ini
diperoleh dengan cara mengumpulkan beberapa data dari berbagai sumber
yang berbeda baik dari hasil wawancara, observasi, kuesioner maupun
dokumentasi yang telah diperoleh untuk mendapatkan data yang sama
jenis, memperoleh kepercayaan terhadap suatu data dengan
membandingkan data yang diperoleh dari sumber yang berbeda sehingga
data yang satu akan dikontrol dengan data yang lain.
Review Informan
Selain teknik pemeriksaan data dengan trianggulasi data, digunakan
68 informasi yang sama kepada informan yang berbeda. Menurut H.B Sutopo
(Metode Peneltian Kualitataif, 1990), review informan adalah laporan
yang diperiksa kembali key informan untuk mengetahui apakah yang
ditulis merupakan sesuatu yang disetujui oleh mereka.
3.6 Metode Analisis
Analisis data yang dipergunakan dalam mengolah data atau informasi
yang diperoleh baik data yang berupa hasil wawancara, kuesioner maupun data
hasil observasi disinkronkan dengan teori yang mendasari dan kemudian
dilakukan analisis. Sedang yang dimaksud dengan analisis sendiri adalah proses
penyusunan data agar dapat ditafsirkan yaitu dengan menggolongkan,
mengurutkan, menstrukturisasikan sampai dengan mengumpulkan data sehingga
mempunyai arti.
Analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Analisis perkembangan kota
Analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif untuk mengetahui
perkembangan Kota Surakarta dan perkembangan Kawasan Solobaru dengan
kurun waktu 30 tahun yakni dari tahun 1975 sampai 2005. Analisis ini
dilakukan dengan dasar data (tahun 1975-2005) mengenai perkembangan Kota
Surakarta dan perkembangan Kawasan Solobaru serta peta perkembangan
permukiman yang dioverlay dari tahun ke tahun. Perkembangan kota yang
dianalisis secara deskriptif ini meliputi perkembangan fisik, ekonomi, dan
sosial kedua kota.
b. Analisis pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di
Kawasan Solobaru
Analisis yang dilakukan menggunakan metode deskriptif eksplanatori
dimana data yang ada mengenai perkembangan Kota Surakarta dan Kawasan
Solobaru kemudian dikaji dengan teori untuk mengetahui bagaimana
pengaruhnya. Sedangkan untuk besaran pengaruhnya akan dijelaskan dengan
69 c. Analisis Jalur (Path Analysis)
Menurut Robert D. Retherford (dalam Ali Muhidin, Sambas dan Maman
Abdurahman, 2009), analisis jalur ialah suatu teknik untuk menganalisis
hubungan sebab akibat yang tejadi pada regresi berganda jika variabel
bebasnya mempengaruhi variabel tergantung tidak hanya secara langsung
tetapi juga secara tidak langsung. Analisis jalur (path analysis) dikembangkan
oleh Sewall Wright, 1934 (dalam Ali Muhidin, Sambas dan Maman
Abdurahman, 2009). Analisis jalur digunakan untuk mengetahui pengaruh
secara serempak atau mandiri beberapa variabel penyebab terhadap sebuah
variabel akibat. Analisis jalur merupakan pengembangan korelasi yang diurai
menjadi beberapa interpretasi akibat yang ditimbulkannya. Lebih lanjut,
analisis jalur mempunyai kedekatan dengan regresi berganda, atau dengan
kata lain, regresi berganda merupakan bentuk khusus dari analisis jalur.
Teknik ini juga dikenal sebagai model sebab-akibat (causing modeling).
Penamaan ini didasarkan pada alasan bahwa analisis jalur memungkinkan
pengguna dapat menguji proposisi teoritis mengenai hubungan sebab dan
akibat tanpa memanipulasi variabel-variabel.
Dalam penelitian ini, analisis jalur (path analysis) menggunakan SPSS
yang digunakan untuk mengetahui besaran pengaruh variabel perkembangan
Kota Surakarta terhadap variabel perkembangan permukiman di Kawasan
Solobaru baik secara bersama-sama maupun secara parsial.
d. Model Analisis Jalur
Model merupakan representasi dari suatu sistem yang sedang diamati.
Dalam penelitian ini, model yang digunakan adalah model skematis dan
matematis. Model skematis dibuat dalam suatu diagram jalur yang digunakan
untuk menggambarkan kerangka hubungan kausal antar jalur (satu variabel
terhadap variabel lainnya). Sedangkan model matematisnya merupakan model
persamaan regresi yang juga menjelaskan hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat. Dalam analisis jalur terdapat banyak model jalur yaitu
model satu persamaan jalur, model dua persamaan jalur, model tiga persamaan